Akan tetapi Ang I Niocu mana sudi
memberitahukan namanya dan sambil menyerang terus ia berseru, “Hwesio jahat tak
usah menanya nama! Awaslah pedangku akan menyambar lehermu!”
Boan Sip yang mendengar ini lalu berkata
kepada suhunya, “Suhu, Nona Baju Merah itu adalah Ang I Niocu yang sombong!”
Bo Lang Hwesio pernah mendengar nama besar Ang
I Niocu, maka sambil tertawa ia berkata, “Bagus! Ang I Niocu, pinceng Bo Lang
Hwesio memang sudah lama mendengar nama besarmu. Nah, kauperlihatkanlah
kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana tingginya!”
Sehabis berkata demikian, Bo Lang Hwesio lalu
menghadapi Ang I Niocu dengan tangan kosong, akan tetapi setelah berkelahi dua
puluh jurus lebih, diam-diam Ang I Niocu terkejut dan mengeluh. Ternyata
kepandaian hwesio jubah hitam ini benar-benar tinggi dan setingkat lebih tinggi
dari kepandaiannya sendiri! Ang I Niocu mengigit bibir dan memutar pedangnya
secepatnya untuk menghadapi hwesio yang amat tangguh ini.
Sebaliknya, biarpun sudah mendapat petunjuk
dari Ang I Niocu dan kepandaiannya sudah banyak maju, namun Lin Lin masih belum
dapat mengatasi kepandaian Boan Sip yang kosen. Makin lama, pedang Boan Sip
makin rapat mengurung dirinya hingga Lin Lin menjadi bingung dan terdesak
sekali keadaannya! Ketika ia mengerling Ang I Niocu, ia menjadi makin gugup
oleh karena melihat betapa Ang I Niocu juga sangat didesak oleh hwesio itu.
Karena bingung dan gugup, gerakannya menjadi lambat dan tiba-tiba sebuah
tendangan Boan Sip mengenai pergelangan tangannya membuat pedang pendeknya
terlempar ke atas dan disambut cepat oleh Boan Sip yang tertawa bergelak-gelak.
Perwira muda itu lalu menyerang terus dan memutar-mutar pedangnya sehingga Lin
Lin terpaksa harus mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari menghindarkan
diri dari tusukan pedang lawan! Ia tidak berdaya oleh karena pedangnya telah
terampas lawan dan pada saat ia sudah amat terdesak, tiba-tiba ia kena ditotok
pundaknya oleh Boan Sip hingga roboh terguling dengan tubuh lemas tak berdaya!
Boan Sip tertawa lagi. “Ha, ha, ha! Hanya
sebegini saja kepandaianmu dan kau mencari aku untuk membalas dendam? Nah,
terimalah hadiahku ini!” Ia mengangkat pedangnya ke atas, akan tetapi ketika ia
memandang wajah Lin Lin perasaan cintanya yang dulu timbul kembali dan hatinya
tidak tega. Ia lalu membungkuk dan menyambar tubuh Lin Lin yang terus dikempit
dan dibawa lari!
“Bangsat hina dina, lepaskan adikku!” Ang I
Niocu meloncat hendak mengejar, akan tetapi Bo Lang Hwesio mencegahnya dengan
serangan berbahaya hingga terpaksa Ang I Niocu melayani hwesio kosen ini lagi!
Hati Dara Baju Merah ini tidak karuan rasanya dan permainan pedangnya menjadi kalut.
Setelah mendesak Ang I Niocu dengan hebatnya akan tetapi ternyata pertahanan
pedang Gadis Baju Merah itu pun amat kuat hingga setelah bertempur lama belum
juga ia dapat merobohkan gadis itu, tiba-tiba Bo Lang Hwesio meloncat pergi
sambil berkata,
“Cukup, Ang I Niocu, sudah cukup kita
bermain-main. Lain waktu kita boleh bertemu kembali!”
Ang I Niocu hendak mengejar, akan tetapi
gerakan hwesio yang gesit itu dan juga oleh karena merasa bahwa ia kalah tinggi
kepandaiannya, Ang I Niocu mengurungkan maksudnya mengejar. Apa gunanya
mengejar kalau ia tidak dapat menangkap hwesio ini dan tidak dapat mengejar
Boan Sip yang menculik pergi Lin Lin? Yang perlu adalah menolong Lin Lin, maka
ia lalu mengendurkan larinya dan bermaksud untuk mengikuti hwesio itu dengan
diam-diam agar mengetahui ke mana mereka membawa Lin Lin.
Akan tetapi ternyata bahwa waktu yang lama
tadi telah memberi kesempatan kepada Boan Sip lari jauh sekali! Dan juga Bo
Lang Hwesio yang cerdik tidak mau diikuti olehnya hingga hwesio itu lari
secepatnya menyusul muridnya. Ang I Niocu kehilangan jejak mereka, maka Gadis
Baju Merah ini dengan sedih dan marah lalu berkeliaran di sekitar daerah itu
mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh karena ia masih asing dengan
daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka, bahkan ia lalu tersesat jalan
dan tanpa disengaja, akhirnya ia bertemu dengan rombongan Pangeran Vayami dan
kemudian dengan tipu dayanya menarik hati pangeran yang mata keranjang itu, ia
berhasil menolong dan membawa lari Cin Hai yang keadaannya telah menjadi
seperti boneka hidup itu.
Dapat dibayangkan betapa bingung dan sedihnya
hati Ang I Niocu. Memikirkan keadaan Lin Lin yang terculik oleh Boan Sip,
perwira jahat itu saja, hatinya sudah menjadi bingung dan sedih sekali. Apalagi
sekarang ia bertemu dengan Cin Hai dalam keadaan seperti itu, maka hatinya
menjadi makin bingung dan sedih.
Cin Hai, satu-satunya orang yang dikasihinya,
satu-satunya orang yang diharapkan tenaga bantuan untuk mencari Lin Lin dan
membasmi musuh besar keluarga Kwee, telah hilang ingatan menjadi orang tolol
setolol-tololnya. Celaka betul!
Sambil melarikan kudanya keras-keras, kepala
Ang I Niocu berputar-putar dan ia merasa jengkel sekali mendengar betapa yang
diingat oleh Cin Hai hanyalah bahwa pemuda itu adalah “Pendekar Bodoh”! Ketika
angin malam yang sejuk meniup mukanya dan muka Cin Hai yang duduk di
belakangnya, pemuda itu tertawa senang dan berkata,
“Angin sejuk! Angin enak!”
Mendengar ini, Ang I Niocu menahan dan
menghentikan kudanya, lalu melompat turun. Juga Cin Hai meniru perbuatannya dan
melompat turun.
“Hawa sejuk, angin dingin! Sungguh nyaman!”
kata Cin Hai.
Timbul harapan Ang I Niocu mendengar seruan
dan melihat kegembiraan ini. Ia segera memegang tangan Cin Hai dan berkata,
“Hai-ji! Ingatkah kau sekarang? Tahukah kau
siapa aku?”
“Kau adalah sahabat baik, dan aku... aku
Pendekar Bodoh!”
“Bukan bodoh, tetapi tolol! Tolol sekali!” Ang
I Niocu membentak dan tiba-tiba gadis itu menjatuhkan dirinya duduk di atas
sebuah batu hitam sambil menangis. Hatinya sedih dan bingung, dan baru kali ini
selama hidupnya ia merasa amat sengsara. Ia sedih dan bingung memikirkan nasib
Lin Lin dan ia gemas melihat Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu.
Apakah yang ia perbuat? “Sahabatku? Mengapa engkau menangis? Apakah engkau
lapar?” tanya Cin Hai dengan penuh perhatian. Agaknya dalam ingatannya yang
kosong ini, Cin Hai teringat ketika ia masih kecil dan ketika ia merantau dan
menderita kelaparan. Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan
sengsaranya orang yang menderita kelaparan!
Ang I Niocu menjadi mendongkol dan gemas
sekali. Ia menjadi makin bingung ketika ia teringat kepada Kwee An. Di manakah
adanya pemuda itu? Hatinya terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia menduga
bahwa tak salah lagi Kwee An tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda itu
tadinya bersama Cin Hai, sedangkan Cin Hai tertawan musuh dan keadaannya begini
macam, tentu sekali keadaan Kwee An juga tak dapat diharapkan selamat.
“Hai-ji... Hai-ji, kaucobalah untuk
mengingat-ingat! Di manakah adanya Kwee An? Putarlah otakmu dan gunakan
ingatanmu!” katanya gemas.
“Kwee An? Siapakah dia? Aku tak kenal, tidak
tahu... aku tidak tahu apa-apa!”
Ang I Niocu menghela napas, akan tetapi ia
dapat menenangkan hatinya. Ia pikir dalam keadaan seperti ini, ia harus
menggunakan ketenangan dan mencari akal. Kalau ia bingung dan sedih, hal ini
takkan menolong bahkan akan makin mengacaukan urusan. Ia harus lebih dulu
mencarikan obat memulihkan ingatan Cin Hai yang telah lupa akan segala apa ini.
Demikianlah dengan penuh kesabaran Ang I Niocu
mengajak Cin Hai melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Boan Sip dan
gurunya yang melarikan Lin Lin. Setiap saat, tiada bosannya Ang I Niocu
mengajak Cin Hai bercakap-cakap tentang hal-hal dahulu untuk mengembalikan
ingatan pemuda itu, akan tetapi pengaruh madu merah memang mujijat sekali. Cin
Hai biarpun merasa senang sekali mendengar penuturan Ang I Niocu dan tiap-tiap
kali gadis itu bercerita, ia memandang wajahnya dengan mata berseri, akan
tetapi, sama sekali pemuda itu tidak dapat mengingat hal yang terjadi di masa
lalu!
Sampai tiga hari mereka berkeliaran di daerah
utara tanpa berhasil mendapat jejak Boan Sip penculik Lin Lin hingga makin hari
makin gelisahlah hati Ang I Niocu. Dalam tiga hari ini, Gadis Baju Merah itu
menjadi kurus dan pucat!
Pada malam ke tiga, di waktu bulan bersinar
penuh dan sebulatnya hingga malam itu amat indah dan romantis sekali, Ang I
Niocu sambil menuntun kuda culikannya berjalan dengan perlahan, Cin Hai
berjalan di sebelahnya dan keduanya tak bercakap-cakap, melamun dalam pikiran
masing-masing. Ketika mereka melalui daerah yang banyak terdapat batu-batu
karang besar dan hitam hingga menyeramkan tampaknya di bawah sinar bulan itu,
tiba-tiba Ang I Niocu mendengar suara tertawa yang aneh dan menyeramkan dari
tempat jauh!
“Setan dan iblis juga turut menggodaku!” gadis
itu menggerutu dengan marah, karena siapakah orangnya yang akan tertawa seperti
itu di tengah-tengah padang yang luas dan sunyi ini kecuali setan dan iblis?
“Bukan setan dan iblis, itu suara orang
ketawa,” tiba-tiba Cin Hai berkata, oleh karena biarpun telah kehilangan
ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman telinga Cin Hai tak menjadi
berkurang karenanya. Kalau telinga Ang I Niocu tak dapat menangkap suara ketawa
itu dengan jelas oleh karena suara itu diliputi gema yang keras, adalah Cin Hai
dapat menangkap suara itu dengan jelas dan tahu bahwa yang tertawa adalah
manusia biasa, akan tetapi yang menggunakan tenaga khikang di dalam suara
ketawanya hingga terdengar dari tempat jauh dan amat menyeramkan.
Bagaikan tertarik oleh tenaga gaib, Cin Hai
lalu menujukan tindakan kakinya ke arah suara ketawa tadi dan Ang I Niocu juga
berjalan mengikuti pemuda itu. Setelah melewati beberapa gunduk batu karang,
akhirnya mereka tiba di tempat terbuka di mana tanahnya rata dan luas merupakan
satu tempat terbuka yang kering dan berumput serta terang karena mendapat sinar
bulan dengan sepenuhnya. Dan ketika mereka keluar dari belakang sebuah gunung
karang, Cin Hai berdiri diam dan Ang I Niocu juga berhenti bertindak dan
berdiri di belakang pemuda itu dengan hati terasa ngeri dan seram ketika
melihat pemandangan yang dilihatnya di tempat itu.
Di tempat terbuka itu, di atas tanah, melihat
dua tumpuk tengkorak-tengkorak manusia merupakan gundukan tinggi seperti
batu-batu bundar dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah kira-kira dua
tombak jauhnya. Di atas tiap tumpukan tengkorak terlihat dua orang dalam
keadaan aneh, yang seorang berjongkok sambil meluruskan kedua tangan ke depan,
dan yang seorang lagi berdiri di atas puncak gundukan itu dengan kepala di
bawah dan kedua kaki di atas! Kedua orang ini saling berhadapan dan saling
menggerak-gerakkan kedua tangan seakan-akan sedang melakukan pukulan-pukulan
dan nampaknya menyeramkan sekali. Apalagi ketika Ang I Niocu melihat orang yang
berjongkok itu, diam-diam ia bergidik oleh karena orang itu dapat disebut
seorang rangka hidup! Muka itu tua dan kurus sekali, mukanya tak berdaging
sedikitpun juga hingga merupakan tengkorak terbungkus kulit. Rambutnya yang
hanya sedikit di atas kepala itu diikat dengan sehelai kain dan pakaiannya
seperti pakaian pendeta.
Orang ke dua yang berdiri dengan kepala di
bawah di atas tumpukan tengkorak itu adalah seorang hwesio tinggi besar dan
bermuka menyeramkan dan ketika Ang I Niocu memandang dengan penuh perhatian,
ternyata bahwa hwesio ini bukan lain ialah Hai Kong Hosiang! Berdebarlah hati
Ang I Niocu melihat hwesio kosen ini, akan tetapi oleh karena di situ ada Cin
Hai, ia tidak takut sama sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua
renta yang seperti rangka itu menguji tenaga khikang secara aneh dan
menyeramkan sekali. Harus diketahui bahwa tumpukan tengkorak itu licin dan
mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di puncak tumpukan saja membutuhkan
kepandaian ginkang yang amat tinggi, apalagi kalau harus mengerahkan tenaga
mengadu khikang! Lebih-lebih kalau berdirinya dengan kepala di bawah dan kaki
di atas seperti yang dilakukan oleh Hai Kong Hosiang, maka diam-diam Ang I
Niocu merasa kagum dan ngeri melihat kemajuan dan kehebatan Hai Kong Hosiang.
Pada saat itu, biarpun Hai Kong Hosiang telah mengerahkan tenaga di kedua
tangannya mendorong dan memukul ke depan, akan tetapi kakek tua renta yang berjongkok
di puncak tumpukan tengkorak ke dua itu tak bergerak sedikitpun juga, sedangkan
ketika kakek tua renta itu mengayun kedua tangannya, biarpun hanya dengan
gerakan perlahan saja, namun tubuh Hai Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan
terayun-ayun seakan-akan didorong-dorong dan hendak roboh! Dari sini dapat
diduga bahwa tenaga khikang kakek itu lebih tinggi daripada tenaga Hai Kong
Hosiang!
Ketika Hai Kong Hosiang yang berdiri jungkir
balik itu melihat kedatangan Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio ini lalu berseru
keras,
“Hai, bagus sekali kalian datang mengantar
kematian!” Dan ia lalu memberi tanda dengan kedua tangannya yang
menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah kakek tua renta itu. Kakek ini lalu
memutar tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan Cin Hai dengan gerakan ringan
sekali dan dari atas tumpukkan tengkorak itu ia mengirim pukulan dengan kedua
tangannya ke arah Cin Hai dan Ang I Niocu!
Sungguh hebat tenaga pukulan kakek itu yang
dilancarkan dari tempat jauh. Ang I Niocu merasa betapa angin tenaga raksasa
mendorongnya dan cepat-cepat gadis ini meloncat ke samping agar jangan sampai
terluka oleh tenaga pukulan maut ini. Sebaliknya, Cin Hai yang dapat juga
merasai datangnya tenaga hebat ini, segera menggunakan kedua tangannya untuk
mendorong ke depan dan mengerahkan tenaga khikangnya! Dua tenaga raksasa
bertemu dari dorongan dua orang ini dan Cin Hai lalu terhuyung mundur sampai
empat langkah! Sedangkan kakek itu kedudukannya menjadi miring, tanda bahwa ia
pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai yang tidak lemah!
Ang I Niocu terkejut karena maklum bahwa adu
tenaga ini menyatakan bahwa kakek tua renta ini masih lebih kuat dan lebih
lihai daripada Cin Hai. Hal ini belum seberapa, akan tetapi kenyataan bahwa
kakek ini mentaati permintaan Hai Kong Hosiang yang dilakukan dengan gerak
tangan menandakan bahwa kakek ini berdiri di pihak Hai Kong Hosiang! Hal ini
berbahaya sekali oleh karena dapat diduga betapa tingginya kepandaian kakek
itu!
Akan tetapi pada saat itu, kakek tua renta dan
Hai Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras sekali. Kemudian keduanya lalu
bergerak dan meloncat turun dari tumpukan tengkorak bagaikan orang ketakutan!
Ketika Ang I Niocu memperhatikan, ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja
ia menjerit. Ternyata bahwa di antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk,
di tengah-tengah tumpukan, tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi
terdapat sebuah kepala yang bukan tengkorak, oleh karena kepala ini mempunyai
sepasang mata yang dapat melirik ke sana ke mari dan masih berambut sungguhpun
rambutnya telah putih semua! Sedangkan di tengah tengah tumpukan tengkorak yang
dinaiki kakek tua renta tadi pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan
suara tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan. Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan
takut di dalam hati Ang I Niocu berubah rasa girang oleh karena ia segera dapat
mengenal suara ketawa terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya orang luar biasa
itu, entah bagaimana telah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak
oleh kakek tua renta itu.
Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam
tumpukan terjadi gerakan yang membuat semua tengkorak menggelinding ke sana ke
mari, muncullah Bu Pun Su dari tumpukan itu sambil berseri mukanya dan mulutnya
tertawa geli. Dengan gerakan sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang
satu lagi menjadi runtuh dan dari dalam tumpukan itu muncullah seorang suku
bangsa Jungar yang sudah tua sekali dan yang sama sekali tidak dikenal oleh Ang
I Niocu. Ternyata orang tua bangsa Mongol ini adalah dukun atau ahli pengobatan
yang ikut dalam rombongan Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu Pun Su
dan dibawa ke situ serta dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan
tengkorak.
Hai Kong Hosiang menjadi pucat sekali ketika
melihat Bu Pun Su. Ia maklum akan kelihaian kakek jembel ini, akan tetapi oleh
karena ia ditemani oleh kakek tua renta yang bukan lain adalah supeknya (uwa
gurunya) yang bernama Kam Ki Sianjin, orang yang sudah tua usianya hingga telah
gagu tak dapat bicara pula, maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan
mengandalkan tenaga supeknya ini untuk melawan Bu Pun Su.
“Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang
telah berkali-kali menggangu teecu!” Hai Kong Hosiang berkata sambil menuding
ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri sambil tertawa. Kam Ki Sianjin masih dapat
menggunakan telinganya untuk mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman
pendengaran yang luar biasa, akan tetapi lidahnya telah membeku dan ia tak
dapat berbicara lagi. Maka ia lalu menatap wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba
menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu Pun Su dengan tangan kiri dan
arah diri sendiri dengan tangan kanan, lalu mengangkat kedua tangan itu ke atas
kepala dengan jari-jari ke atas dan sama tingginya. Ia hendak menyatakan bahwa
dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu karena tingkat kepandaian mereka sama
tingginya.
Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli,
kemudian ia pun menepuk tangan, menuding ke arah tengkorak-tengkorak yang
bergelimpangan di bawah dan ke arah Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua
tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia hendak menyatakan bahwa Kam Ki Sianjin
mempunyai tingkat yang sama rendahnya dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan
semata-mata penghinaan yang tak berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek
tua renta itu berjuluk Si Tengkorak Hidup.
Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera
melompat maju menyerang Bu Pun Su. Gerakannya cepat bagaikan menyambarnya kilat
hingga Ang I Niocu terkejut sekali oleh karena belum pernah ia menyaksikan
ginkang demikian tingginya, lalu menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua
itu dengan bengong tapi nyata kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke
arah Ang I Niocu yang menepuk pundaknya, Ang I Niocu berkata,
“Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai
Kong Hosiang dan ia adalah musuh besarmu. Hayo kita serang dia!”
“Aku tidak punya musuh. Apakah engkau
bermusuhan dengan dia?” tanya Cin Hai. Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata
keras,
“Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang
dia!”
“Baik! Kalau dia musuhmu, aku, akan menyerang
dia!” Ia lalu melompat dan menyerang Hai Kong Hosiang yang melayaninya sambil
memaki-maki.
“Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan
curang!”
“Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!”
Ang I Niocu berseru marah dan mencabut pedangnya, terus membantu Cin Hai
mengeroyok hwesio itu.
Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak
yang bergelimpangan di atas tanah dan oleh dukun tua berbangsa Mongol yang
berdiri tak bergerak bagaikan hantu malam, di tempat yang mengerikan itu
terjadi perkelahian hebat sekali. Yang paling hebat adalah perkelahian yang
terjadi antara Bu Pun Su dan Kam Ki Sianjin, oleh karena di tempat mereka
bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama sekali, yang ada hanyalah dua
bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang bertempur.
Tak terdengar suara tangan atau kaki mereka,
akan tetapi di sekitar tempat mereka bertempur itu bertiup angin keras yang
membuat tengkorak-tengkorak yang tadi menggelinding dekat, kini menggelinding
lagi menjauhi seakan-akan tengkorak itu takut dan ngeri menyaksikan
pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!
Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan
Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang merasa sibuk sekali. Baru menghadapi seorang di
antara mereka saja, terutama Cin Hai, ia takkan dapat menang, apalagi kini
dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah
memainkan tongkat ularnya dengan ganas, akan tetapi tetap saja terdesak hebat
oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan Cin Hai!
Sebetulnya, selama beberapa hari ini,
kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama lweekang dan khikangnya, telah naik dan
maju pesat sekali oleh karena ia mendapat latihan lweekang dengan berjungkir
balik dari supeknya, yaitu Kam Ki Sianjin! Akan tetapi oleh karena latihannya
belum masak benar, maka kini menghadapi dua orang muda yang tangguh itu, ia tak
berdaya dan terdesak hebat. Keringat dingin mengucur dari jidatnya dan setiap
saat jiwanya terancam bahaya maut.
Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su tertawa
bergelak dan dari tempat ia bertempur, nampak bayangan Kam Ki Sianjin melesat
keluar dari kalangan pertempuran, dan kakek tua renta ini langsung menyambar ke
arah Hai Kong Hosiang dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat
sekali!
Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan
Bu Pun Su dan ketika ia hendak kabur, ia melihat betapa Hai Kong Hosiang
terdesak, maka ia mempergunakan kecepatan untuk menolong murid keponakannya itu
dan membawa lari dari situ!
Bu Pun Su masih tertawa bergelak ketika Ang I
Niocu menjatuhkan diri berlutut di depannya. Akan tetapi Cin Hai yang tidak
ingat siapa adanya kakek tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan
memandang dengan sinar mata kosong.
“Bagus, Im Giok. Kau telah dapat menolongnya
sebelum terlambat. Dan orang Mongol inilah yang akan menyembuhkannya!” Bu Pun
Su lalu memanggil dukun tua itu mendekat, lalu ia menunjuk kepada Cin Hai
sambil berkata dalam bahasa Mongol, “Obatmu yang membuat dia menjadi seperti
itu dan obatmu pula yang harus menyembuhkannya!”
Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk
dan dengan tenang ia mengeluarkan sebuah guci tanah kecil dari kantung dalam.
“Cin Hai, kaumajulah dan terimalah pengobatan
dari dukun sihir ini!” berkata Bu Pun Su dengan suara memerintah kepada Cin Hai
yang tidak mengenal nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.
“Anak tolol!!” Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba
kakek ini berkelebat ke arah muridnya dan menyerang dengan sebuah totokan. Akan
tetapi Cin Hai cepat mengelak dan setelah tujuh kali menyerang dengan gagal,
barulah ke delapan kalinya Bu Pun Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu
roboh tak ingat orang! Di sini dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian
Cin Hai pula oleh karena biasanya tiap kali menyerang orang, jarang ada yang
dapat mengelak dari serangan kakek jembel ini!
Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun
itu lalu menuangkan isi guci yang berbau harum ke mulut Cin Hai, kemudian ia
memijit-mijit dan mengurut-urut kepala pemuda itu. Agaknya dukun itu bekerja
dengan sepenuh tenaga dan semangat oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya
berpeluh, padahal malam itu hawa amat dingin! Akhirnya, setelah beberapa lama
ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia berdiri sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu maju dan menepuk pundak Cin Hai yang
segera sadar,
Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah
mimpi buruk. Ia memandang dan ketika melihat Ang I Niocu, ia tersenyum.
Sebaliknya ketika melihat suhunya berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan
diri berlutut sambil berkata,
“Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa
Suhu datang di sini dan... dan... sebenarnya teecu berada di manakah?”
Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa
hatinya girang sekali melihat betapa muridnya telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu
tak dapat menahan keharuan hatinya hingga dua titik air mata melompat keluar
dari pelupuk matanya.
Ang I Niocu lalu menuturkan betapa ia
mendapatkan pemuda itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami dalam keadaan
linglung dan hilang ingatan. Kemudian dukun bangsa Mongol itu melanjutkan
cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa rombongan pangeran itu menolong Cin Hai
dari dalam air dan memberi madu merah. Maka teringatlah Cin Hai bahwa ketika
itu ia berkelahi mati-matian dengan Hai Kong Hosiang dan akhirnya ia hanyut
dalam sungai dalam keadaan pingsan. Cin Hai berlutut lagi di depan suhunya dan
berkata,
“Baiknya Suhu datang dan membawa dukun ini
untuk menyembuhkan teecu. Kalau tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”
“Ha, ha, kalau aku tidak mendengar tentang
keadaanmu, tentu saja sampai sekarang kau masih menjadi pendekar tolol dan Im
Giok masih bingung dan sedih. Hai, Im Giok, setelah Cin Hai sembuh, mengapa kau
masih saja berduka?” tanya Bu Pun Su kepada Ang I Niocu.
Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu
menahan air matanya dan ia pun lalu bertutut sambil berkata, “Susiok-couw,
bagaimana teecu takkan bersedih? Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan
suhunya yang lihai, yaitu Bo Lang Hwesio!” Cin Hai terkejut sekali dan menjadi
pucat mendengar ini, dan Ang I Niocu lalu menuturkan pengalamannya. Tak
tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai, ia lalu berdiri dan membanting-banting
kakinya.
“Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin
Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu biar kau lari sampai ke neraka sekalipun!”
Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu
Pun Su melihat ini lalu mengangguk-angguk maklum.
“Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee
ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, kali ini kau benar-benar harus dipuji!”
Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat
dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa
Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu berkata,
“Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah
tugas lagi. Akulah yang akan mencari tunanganmu, Cin Hai!”
Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat
menjatuhkan diri berlutut sambil menghaturkan terima kasih, akan tetapi ketika
mereka mengangkat muka memandang, ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari
situ.
Setelah suhunya pergi, mereka berdua dapat
bercakap-cakap dengan leluasa dan kembali Ang I Niocu menuturkan pengalamannya
dengan lebih jelas dan panjang lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya,
“Dan di manakah adanya Kwee An? Aku telah
bertemu dengan Ma Hoa dan mendengar akan perjodohan anak muda itu.”
Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya
dengan Kwee An ketika bertempur dengah Hai Kong Hosiang dan pengawal-pengawal
Pangeran Vayami, hingga Kwee An tercebur ke dalam air sungai yang deras.
“Entah bagaimana dengan nasib Kwee An,” Cin
Hai menutup ceritanya dengan penuh hati kuatir, “mari kita mencarinya dan
sekalian mencari Hai Kong Hosiang si keparat itu!”
Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan
ketika Ang I Niocu mencari kuda putihnya, ternyata kuda itu telah lenyap dan di
atas tanah dapat dibaca coret-coretan di atas tanah yang berbunyi, “Kuda dan
dukun yang dipinjam harus dikembalikan kepada pemiliknya!”
Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu
perbuatan Bu Pun Su yang berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka mereka
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan asyik.
Kita ikuti Lin Lin yang ditangkap dan dibawa
lari oleh Boan Sip, perwira yang lihai itu. Biarpun Boan Sip mempergunakan ilmu
larinya yang cukup tinggi, akan tetapi tak lama kemudian ia dapat tersusul oleh
gurunya yaitu Bo Lang Hwesio. Mereka berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah
rumah yang telah disediakan oleh Boan Sip untuk tempat tinggal sementara ia
bersembunyi dari kejaran musuhnya.
Menurut kehendak Boan Sip ia hendak membunuh
gadis itu, akan tetapi Bo Lang Hwesio melarangnya, dan adanya hwesio ini
menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh karena Boan Sip sama sekali tidak berani
mengganggu atau mencelakainya.
“Kau bermusuhan dengan keluarga Kwee hanya
oleh karena engkau ingin mengawini gadis ini. Sekarang keluarga Kwee telah
terbasmi dan gadis ini telah kautawan, kalau engkau membunuhnya pula, maka hal
ini adalah keterlaluan sekali. Boan Sip, aku tidak peduli akan segala
perbuatanmu yang kau lakukan menghadapi urusan-urusan pribadi, akan tetapi aku
merasa malu kalau engkau melakukan gangguan terhadap seorang gadis di depan
mataku. Selama engkau minta pembelaanku dan aku berada di sini, aku takkan
mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu, kecuali kalau engkau sudah tidak
membutuhkan tenaga bantuanku lagi!”
Tentu saja Boan Sip tak berdaya. Ia merasakan
perlunya Bo Lang Hwesio mengawaninya, oleh karena selama Cin Hai dan Kwee An
masih belum dibunuh dan berkeliaran mencarinya, ia merasa tidak aman kalau
berada jauh dari gurunya. Oleh karena ini maka ia terpaksa menurutinya hingga
Lin Lin hanya dikurung dalam sebuah kamar saja dengan tak berdaya melarikan
diri oleh karena jalan darahnya telah ditotok hingga ia tak dapat mempergunakan
tenaganya!
Pada beberapa hari kemudian, di waktu malam,
di atas genteng rumah persembunyian Boan Sip nampak berkelebat bayangan hitam
yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata hingga kalau kebetulan ada orang
yang melihat bayangan itu, ia takkan tahu apakah bayangan itu bayang-bayang
burung yang sedang terbang atau bayangan apa.
Akan tetapi Bo Lang Hwesio yang sedang duduk
bersamadhi di dalam kamarnya, dapat mendengar desir angin yang lain daripada
desir angin biasa. Selagi ia masih berada dalam keadaan curiga dan ragu-ragu,
tiba-tiba dari atas genteng terdengar orang berkata,
“Bo Lang! Percuma saja engkau bersamadhi kalau
perbuatanmu tidak sesuai dengan jubah pendetamu!”
Bo Lang Hwesio terkejut sekali. Bagaimana ada
orang yang begitu tinggi ilmu ginkangnya hingga suara kakinya sama sekali tak
dapat terdengar olehnya? Padahal Bo Lang Hwesio memiliki ketajaman pendengaran
yang luar biasa dan terlatih puluhan tahun lamanya. Belum pernah ia bertemu
dengan orang yang memiliki kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya
hingga biarpun sedang dalam samadhi, ia sama sekali tak mendengarnya!
“Sahabat yang berilmu tinggi, jangan bicara
seperti setan tak berujud, kau masuklah memperlihatkan muka!” kata Bo Lang
Hwesio, akan tetapi orang di atas genteng terkekeh--kekeh dan menjawab,
“Bo Lang Hwesio aku datang untuk minta kembali
Kwee-siocia yang kautawan, apakah engkau tetap tidak mau keluar? Aku tidak mau
bertindak sebagai maling, lebih baik kuminta terang-terangan!”
Bo Lang Hwesio merasa mendongkol juga
mendengar orang berlaku begitu berani dan menantang, maka tiba-tiba ia
menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor burung besar, hwesio ini sudah
melayang keluar jendela, terus menuju ke atas genteng.
Ternyata bahwa di atas genteng itu telah
berdiri seorang kakek dengan sikap tenang dan ketika Bo Lang Hwesio melihat
kakek ini, tak terasa pula ia berseru keras, “Ah... Bu Pun Su! Apakah
kehendakmu dengan malam-malam datang di sini? Apakah kau hendak mengganggu
pinceng pula?”
“Ha, ha, Bo Lang, hwesio gundul! Kau kira aku
memang mengganggu manusia tanpa alasan? Dulu aku mengganggumu di Thian-san oleh
karena kau hendak merusak persahabatan dengan tokoh Thian-san-pai. Sekarang aku
datang oleh karena kau telah mengumbar nafsu dan membela seorang perwira yang berlaku
sewenang-wenang!”
“Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa kau memang
memiliki kepandaian tinggi, tapi jangan kira pinceng takut kepadamu. Bo Lang
Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio sekarang!”
“Benar, benar! Bo Lang Hwesio dulu nafsunya
sendiri yang bernyala-nyala, sedangkan Bo Lang Hwesio sekarang karena sudah tua
bangka maka mengumbar nafsunya dengan membela muridnya yang murtad!”
“Bu Pun Su, jembel tua! Jangan sembarang
menuduh. Seorang guru membela muridnya yang terancam bahaya oleh
musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya? Boan Sip dikejar-kejar
musuh-musuhnya yang lihai dan kalau bukan pinceng yang membela, habis siapa
lagi? Tentang Nona Kwee yang tertawan kami perlakukan baik-baik dan adalah
salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya hingga kalah oleh
muridku!”
“Ha, ha, alasan anak kecil! Sudahlah, Bo Lang
Hwesio, kalau kau menyerahkan Lin Lin Siocia dengan baik-baik aku si tua bangka
pun tak mau membuat ribut lagi. Akan tetapi kalau kau menolak biarlah kita
main-main sebentar!”
“Kau sombong!” teriak Bo Lang Hwesio yang lalu
menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Pukulannya ini luar biasa hebatnya
hingga biarpun gerakan tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su,
namun baju dan rambut kakek jembel itu telah berkibar tertiup angin pukulan!
“Bagus, lweekangmu sudah banyak maju!” jawab
Bu Pun Su yang lalu mengelak dan membalas memukul dengan lima jari tangan kanan
terbuka. Pukulan ini tertuju kepada pundak kanan Bo Lang Hwesio dan untuk
menilai kehebatan pukulan ini dapat diukur dari suara genteng pecah, dan
ternyata genteng di belakang Bo Lang Hwesio yang cepat berkelit itu menjadi
terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang menggunakan gerak tipu Burung Merak
Mengulur Cakar ini tidak mengenai sasaran. Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan
seluruh kepandaiannya yang lihai dan sebentar saja kedua orang tua yang gagah
itu telah bergerak-gerak pergi datang di atas genteng itu.
Bo Lang Hwesio memang lihai sekali dan tingkat
kepandaiannya lebih tinggi setingkat daripada kepandaian Hek Pek Moko, akan
tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia tak dapat berbuat banyak. Setelah bertempur
sengit dua puluh jurus lebih akhirnya Bo Lang Hwesio tak kuat menghadapi kakek
jembel itu lebih lama lagi oleh karena gerakan Bu Pun Su benar-benar cepat hingga
bagi Bo Lang Hwesio, tubuh lawannya seolah-olah berubah menjadi puluhan
banyaknya yang menyerang dan mengeroyoknya dari seluruh jurusan. Kalau orang
lain yang menghadapi Bu Pun Su, tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini
mempergunakan ilmu sihir, akan tetapi Bo Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek
ini sudah sampai di puncak kesempurnaan, sedangkan tenaga lweekangnya sudah
jauh lebih tinggi daripada tenaganya sendiri.
Bu Pun Su memang tidak mau mencelakakan atau
melukai Bo Lang Hwesio, maka kakek itu hanya mempermainkannya saja dengan
gerakannya yang cepat dan kadang-kadang menowel pundak atau perut Si Hwesio. Bo
Lang Hwesio menjadi jerih dan berseru,
“Bu Pun Su, benar-benar kau lihai dan aku
tidak malu untuk mengaku kalah!” Setelah berseru demikian, Bo Lang Hwesio lalu
melompat ke belakang dengan cepat sekali dan alangkah heran dan kagetnya ketika
ia merasa betapa dadanya dingin tertiup angin dan ketika ia memandang, mukanya
menjadi pucat sekali oleh karena jubahnya di bagian dada telah robek dan bolong.
Ia bergidik oleh karena maklum bahwa kalau Bu Pun Su memang bermaksud jahat,
tentu jiwanya telah melayang sejak tadi. Ia menghela napas dan
menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan ia tidak berani mengejar ketika
melihat tubuh kakek jembel itu melayang turun ke dalam rumah. Ia harapkan saja
kakek itu tidak akan mencelakakan Boan Sip.
Akan tetapi, tak lama kemudian nampak Bu Pun
Su melayang naik lagi dan tahu-tahu telah berada di hadapannya sambil
membentak,
“Bo Lang Hwesio! Jangan kau mempermainkan aku!
Di mana adanya Nona Kwee dan di mana pula sembunyinya muridmu yang jahat itu?”
Bo Lang Hwesio memandang heran. “Bu Pun Su,
jangan kau sembarang menuduh aku. Biarpun dengan bersumpah, pinceng berani
menerangkan bahwa kedua orang itu masih berada di dalam rumah!”
“Hm, kalau begitu kau bersumpah!”
Mendengar bahwa benar-benar ia tidak dipercaya
Bu Pun Su, Bo Lang Hwesio marah sekali, akan tetapi ia tidak berdaya untuk
membantah, apalagi ia sendiri yang sanggup untuk mengangkat sumpah. Maka ia merangkapkan
kedua tangan di dada dan bersumpah, “Kalau keteranganku tadi tidak betul
biarlah Buddha yang suci akan mengutukku!”
“Bagus, kau benar-benar tidak bohong!” setelah
berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh kakek jembel itu telah lenyap.
“Bu Pun Su, lain kali kutebus hinaan ini!” Bo
Lang Hwesio berseru, akan tetapi kakek pendekar yang luar biasa itu telah pergi
jauh.
Memang sebenarnya Bo Lang Hwesio tidak
membohong ketika ia katakan bahwa sebelum ia bertempur dengan Bu Pun Su, Boan
Sip masih berada di dalam rumah demikian pula Lin Lin masih dikeram di dalam
kamar tahanannya. Hwesio ini sama sekali tidak mengira bahwa muridnya yang
licin telah membawa Lin Lin pergi dari tempat itu!
Oleh karena maklum bahwa yang datang menolong
Lin Lin adalah seorang tua yang sakti maka Boan Sip tidak berani menunda-nunda
larinya. Ia mengempit tubuh Lin Lin sambil berlari secepatnya di malam gelap,
menuju ke sebuah anak sungai yang berada kurang lebih dua puluh li dari tempat
itu. Ketika ia tiba di tepi sungai, di situ telah menanti sebuah perahu yang
cukup besar dan tiga orang kelihatan berdiri di kepala perahu. Seorang di
antaranya adalah seorang berpakaian asing dan ternyata bahwa ia adalah seorang
Turki yang berkulit hitam dan bermata lebar. Usianya kurang lebih empat puluh
tahun dan jubahnya panjang dan lebar, terbuat daripada kain berbulu yang indah.
“Eh, eh, Boan-ciangkun, mengapa malam-malam
datang tergesa-gesa?”
“Yo-suhu (nama aselinya Yousuf), lekas
jalankan perahu. Cepat!” Sambil berkata demikian Boan Sip melompat ke dalam
perahu pula.
Yousuf tersenyum dan ia tetap tenang akan
tetapi ia lalu memerintahkan kepada dua orang anak buahnya untuk menjalankan
perahunya sebagaimana yang diminta oleh Boan Sip.
“Heran sekali, siapakah adanya orang yang begitu
ditakuti oleh Boan-ciangkun?” tanyanya.
“Yo-suhu, kau tidak tahu. Seorang kakek luar
biasa yang bernama Bu Pun Su dan yang kepandaiannya seratus kali lebih tinggi
dari kepandaianku sendiri, sedang mengejarku, dan celakalah kalau ia dapat
menyusulku!”
“Aah, Saudara Boan benar-benar tidak memandang
aku. Bukankah aku sahabat baikmu?”
Boan Sip teringat bahwa Yousuf adalah seorang
berilmu tinggi pula, maka ia segera menjura, “Maaf, Yo-suhu. Bukan maksudku
hendak merendahkanmu, akan tetapi Bu Pun Su ini benar-benar lihai dan namanya
sudah cukup membikin gemetar semua orang.”
Kemudian Yusuf menunjuk ke arah Lin Lin yang
masih terduduk di dalam perahu dan yang kini tangannya telah diikat olah Boan
Sip, lalu bertanya dengan suara kurang senang,
“Dan Nona ini siapakah, Saudara Boan?”
“Dia ini adalah musuh besarku yang hendak
membunuhku, akan tetapi dapat kutawan. Tadinya hendak kubinasakan, tetapi Suhu
melarangku dan... dan aku sayang kepadanya.”
Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya, “Memang
Suhumu benar. Tak pantas membunuh seorang gadis yang tak berdaya.” Sambil
berkata demikian, orang Turki itu lalu menghampiri Lin Lin yang menjadi kuatir
dan takut, akan tetapi orang Turki ini lalu menggerakkan tangan ke arah
belenggu yang mengikat tangan Lin Lin. Sekali ia menggerakkan tenaga, belenggu
itu terlepas dengan mudahnya!
Boan Sip terkejut sekali oleh karena ia tahu
bahwa Lin Lin kini telah terlepas daripada pengaruh totokan, dan inilah yang
memaksanya tadi untuk mengikat kedua tangan nona ini.
“You-suhu, kalau ia dilepas, ia berbahaya
sekali!”
Akan tetapi Yousuf hanya tersenyum menyindir
seakan-akan mentertawakan sikap Boan Sip yang begitu ketakutan.
Sebaliknya, Lin Lin ketika merasa bahwa kedua
lengan tangannya telah bebas, merasa terkejut sekali. Tadi ia telah mengerahkan
tenaganya, akan tetapi tali yang mengikat tangannya bukan tali biasa, terbuat
dari semacam kain yang dapat mulur hingga tak mudah diputuskan dengan tenaga
lweekang. Akan tetapi, orang asing ini hanya meraba saja dan ikatan itu telah
terlepas! Ia tak tahu bahwa Yousuf adalah seorang ahli sulap yang berdasarkan
ilmu sihir, maka jangankan baru belenggu biasa saja, biar belenggu baja
sekalipun, orang Turki ini pasti akan dapat membukanya dengan mudah!
Lin Lin yang merasa gemas dan marah sekali
kepada Boan Sip, ketika merasa dirinya telah bebas segera meloncat maju dan
menyerang perwira itu sambil berseru,
“Manusia rendah, saat ini aku hendak mengadu
jiwa dengan kau!” Lin Lin lalu menyerang dengan pukulan yang paling berbahaya
dan ketika Boan Sip hendak menangkis, tiba-tiba perahu itu miring hingga Boan
Sip kehilangan keseimbangan tubuhnya! Lin Lin menjadi girang sekali karena
merasa yakin bahwa kali ini ia tentu akan dapat memukul mampus musuh besarnya
ini, akan tetapi tiba-tiba dari samping meluncur sehelai sabuk sutera hijau
yang panjang dan lemas dan tahu-tahu sabuk itu telah melingkar pergelangan
tangan yang melakukan pukulan hingga sekarang menjadi gagal. Ketika ia hendak
melepaskan sabuk yang melibat pergelangan tangan lengannya, tiba tiba Yousuf
menarik ujung sabuk yang dipegangnya dan tubuh Lin Lin menjadi limbung dan
hampir jatuh!
“Nona, sabar dan tenanglah. Kini kau berada di
dalam perahuku dan aku berhak melarang semua orang yang berada di sini untuk
sembarangan bergerak dan membikin goncang perahuku! Apakah kau ingin perahuku
ini terguling dan kita semua tenggelam?”
Lin Lin ketika merasa betapa tarikan sabuk itu
amat kuat, maklum bahwa orang Turki ini memiliki kepandaian tinggi, maka untuk
sejenak menjadi ragu-ragu. Apalagi ketika mendengar bahwa perahu itu mungkin
tenggelam di tengah sungai, ia lalu berdiri dengan bingung dan tak tahu harus
berbuat apa.
Sebaliknya Boan Sip yang hampir saja menjadi
korban pukulan Lin Lin menjadi marah sekali. Ia menuding ke arah muka Lin Lin
sambil membentak, “Perempuan rendah! Aku telah berlaku baik dengan menawan dan
menjagamu baik-baik, tak pernah mengganggumu, oleh karena aku sayang padamu.
Akan tetapi sekarang, baru saja kau terlepas dari belenggu, gerakanmu pertama
kali adalah untuk membinasakan aku! Benar-benar kau tak boleh diberi kesempatan
hidup lagi!” Sambil berkata demikian, Boan Sip lalu mencabut golok besarnya dan
maju menyerang Lin Lin dengan muka buas!
Lin Lin bukanlah seorang gadis lemah dengan
cepat ia dapat mengelak dan balas menyerang dengan kepalan tangannya.
“Hai, tahan, tahan!” teriak Yousuf, akan
tetapi dalam marahnya, Boan Sip tidak mempedulikan teriakan ini. Tiba-tiba
sebuah sinar hijau berkelebat dan tahu-tahu golok di tangan Boan Sip telah
terlepas dari pegangan dan ternyata gagangnya telah tergulung oleh sutera hijau
yang dilepas oleh Yousuf.
“Yo-suhu! Apa maksudmu menyerangku?” tanya
Boan Sip dengan muka merah.
“Saudara Boan! Kau berada di dalam perahuku
dan siapa pun adanya kau, orang-orang di dalam perahuku harus tunduk kepadaku!
Nona, kau masuklah ke dalam bilik kecil dan beristirahatlah, selama ada aku di
sini, jangan kau takut diganggu orang! Saudara Boan, tidak ingatkah kau sedang
berhadapan dengan siapa, maka kau berani memperlihatkan kekerasanmu?” Suara
orang Turki ini sekarang terdengar amat berpengaruh dan Lin Lin mulai menaruh
kepercayaan kepada orang asing yang aneh dan lihai ini, maka oleh karena ia
memang merasa lelah sekali, ia lalu masuk ke dalam bilik itu dan memasang palang
pintunya. Karena merasa aman dan lega bahwa dirinya terhindar dari kekuasaan
Boan Sip, gadis yang telah beberapa lama tak dapat tidur dengan hati tenteram,
kini segera pulas di atas sebuah pembaringan bambu yang kasar!
Sebaliknya, di luar bilik, sambil duduk di
lantai perahu, Yousuf lalu memberi teguran dan nasihat kepada Boan Sip yang
mendengarkan dengan muka merah dan kepala ditundukkan.
Siapakah adanya orang Turki yang berpengaruh
dan lihai ini? Dia ini sebenarnya adalah seorang penyelidik dari Angkatan
Perang Turki yang telah siap di perbatasan Tiongkok dan hendak menyerbu. Yousuf
sebenarnya masih seorang bangsawan keturunan pangeran dan oleh karena
kepandaiannya yang tinggi maka ia telah terpilih untuk menjadi pemimpin
mata-mata dan diam-diam mengadakan kontak dengan para perwira bangsa Han yang
dapat dibujuk untuk bersekutu dengan tentara Turki dan untuk bersama-sama
menjatuhkan pemerintah yang sekarang. Di antara perwira-perwira yang mengadakan
hubungan dengannya, terdapat Boan Sip yang diam-diam juga melakukan
pengkhianatan oleh karena pengaruh harta, hadiah dan janji-janji yang muluk
dari Yousuf. Sesungguhnya, tentara Turki ini sekali-kali tidak ingin menjajah
Tiongkok, akan tetapi mereka ini mempunyai tujuan tertentu, yaitu untuk
menguasai sebuah pulau kecil di pantai Laut Tiongkok, oleh karena menurut
penyelidik mereka yang terdiri dari Yousuf dan beberapa orang kawannya di pulau
kecil itu terdapat sumber emas yang besar, bahkan menurut keterangan mereka
ini, di situ terdapat sebuah bukit penuh dengan logam berharga ini.
Boan Sip yang menjadi pengkhianat negara itu
telah lama mengadakan perhubungan dengan Yousuf bahkan hari ini telah berjanji
untuk mengadakan pertemuan di sungai itu, hingga bukan tidak disengaja bahwa
Yousuf telah menanti di sungai dengan perahunya. Akan tetapi, adanya Lin Lin di
situ adalah terjadi di luar rencana Yousuf. Boan Sip yang mewakili
kawan-kawannya atau rombongan perwira dan pejabat tinggi yang bersekutu dengan
pihak Turki, mendapat tugas untuk membuktikan cerita pihak Turki tentang pulau
emas, oleh karena rombongan perwira pengkhianat ini belum percaya akan
keterangan yang diberikan oleh orang-orang Turki.
Demikianlah, maka perahu Yousuf yang membawa
Boan Sip dan Lin Lin itu meluncur cepat menurut aliran Sungai menuju ke laut.
“Saudara Boan,” kata Yousuf dalam pelayaran
itu, “tugas kita kali ini adalah tugas penting dan besar maka janganlah urusan
pribadi mengacau tugas penting ini. Kalau kiranya engkau tidak sanggup mentaati
aku yang dalam hal ini lebih berkuasa daripada kau, maka kau boleh turun dan
meninggalkan perahu ini.”
Boan Sip mendengar kata-kata orang Turki ini
dengan tunduk. Ia maklum akai kelihaian dan kekuasaan Yousuf maka ia tidak
berani membantah.
“Akan tetapi, bagaimanakah dengan gadis ini?”
tanyanya. “Apakah tidak lebih baik dia disingkirkan agar jangan menjadikan
penghalang bagi pekerjaan kita?
Yousuf menggeleng kepala dengan keras. “Tidak
bisa, tidak bisa, tidak bisa! Mengapa engkau tidak bisa memikir dengan lebih
luas dan hati-hati? Gadis itu telah melihat perahuku, dan yang lebih panting
lagi, ia telah melihat aku! Hal ini berbahaya sekali oleh karena ia tentu
merasa heran melihat seorang asing di sini dan kalau hal ini ia ceritakan di
luaran, bukankah akan mendatangkan kecurigaan dan menjadi berbahaya sekali?
Apalagi ia telah melihat bahwa kita saling kenal?”
“Nah, mengapa kau tidak membinasakan dia saja?
Lemparkan dia ke dalam air sungai dan habis perkara! Kau takkan terancam bahaya
sedangkan aku pun akan dapat melenyapkan seorang musuh besar!” kata Boan Sip
lebih lanjut.
Kembali Yousuf menggeleng-geleng kepala dan
menggunakan tangan kirinya untuk membikin beres sorbannya yang terbuat daripada
kain kuning.
“Ini lebih-lebih tidak boleh lagi! Kami bangsa
Turki mempunyai sebuah kepercayaan suci yang kami pegang teguh.
Kepercayaan-kepercayaan ini banyak sekali macamnya dan di antaranya ialah bahwa
dalam melakukan sebuah tugas mulia dan besar, sekali-kali kami tidak boleh
menurunkan tangan jahat kepada orang-orang wanita!”
Boan Sip mengangguk-angguk maklum dan ia sama
sekali tidak pernah mengira bahwa orang Turki yang cerdik ini sebetulnya hanya
menggunakan alasan kosong belaka dan bahwa pada hakekatnya Yousuf merasa
kasihan dan suka kepada Lin Lin!
Demikianlah, perahu itu meluncur terus makin
cepat membawa Lin Lin yang masih tertidur di dalam bilik perahu, dan makin lama
sungai yang dilalui perahu makin lebar, tanda bahwa mereka telah tiba dekat
laut.
Tiba-tiba para penumpang perahu itu terkejut
sekali oleh karena perahu itu telah tertumbuk oleh sebuah perahu lain dengan
keras! Yousuf dan Boan Sip segera memandang dan mereka melihat sebuah perahu
kecil melintang di depan perahu mereka dan di dalam perahu itu duduk dua orang
yang memegang dayung. Dua orang ini bukan lain Si Nelayan Cengeng Kong Hwat
Lojin dan muridnya Ma Hoa, gadis yang berpakaian sebagai seorang pemuda itu!
Bagaimana mendadak Nelayan Cengen dan Ma Hoa
dapat muncul di sungai itu?? Ini adalah akibat daripada malapetaka yang menimpa
keluarga Ma Hoa yang perlu dituturkan lebih dulu agar jalan cerita dapat
diikuti dengan lancar. Sebagaimana diketahui, ketika Nelayan Cengeng bersama
muridnya, dibantu oleh Ang I Niocu dan Lin Lin, melabrak para perwira yang
dipimpin oleh Beng Kong Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang, maka seorang
perwira dapat mendengar percakapan mereka dan dapat mengetahui rahasia Ma Hoa
bahwa “pemuda” itu adalah gadis atau puteri dari Ma Keng In, perwira Sayap
Garuda! Hal ini tentu saja dibongkar oleh perwira itu dan pada suatu hari Ma
Keng In ditangkap oleh para perwira atas perintah kaisar! Tidak saja Ma Keng In
yang ditangkap, akan tetapi juga seluruh keluarganya, dan mereka ini semua
dijatuhi hukuman mati sebagai pemberontak-pemberontak atau pengkhianat!
Untung sekali bahwa Ma Hoa dapat melarikan diri.
Di depan sidang pengadilan yang memeriksa perkaranya, Ma Keng In yang jujur
secara gagah mengakui bahwa Ma Hoa adalah anaknya, bahkan dengan suara lantang,
perwira ini berkata,
“Memang Ma Hoa adalah anakku, dan aku merasa
menyesal dan bosan dengan kedudukan dan pekerjaan sebagai Perwira Sayap Garuda,
dan aku merasa sebal dan benci melihat sepak terjang kawan-kawan sejawatku,
yang menjadi perwira kerajaan tidak untuk menjaga keamanan rakyat bahkan
sebaliknya berlaku sewenang-wenang dan mengandalkan pengaruh untuk menindas dan
mencekik orang-orang lemah! Aku Ma Keng In, merasa berbabagia bahwa anakku yang
tunggal itu tidak mengikuti jejakku yang sesat, dan benar-benar menjadi seorang
pelindung rakyat yahg gagah perkasa! Aku kutuk perbuatan-perbuatan kawan
sejawatku di bawah pimpinan Beng Kong Hosiang dan Hai Kong Hosiang,
pendeta-pendeta palsu yang kejam dan jahat!”
Tentu saja ucapannya ini merupakan keputusan
terakhir dan ia beserta keluarganya semua mendapat hukuman mati! Ketika Ma Hoa
mendengar malapetaka yang dialami oleh seluruh keluarganya itu ia jatuh pingsan
di bawah kaki gurunya, Si Nelayan Cengeng! Ketika ia siuman kembali ia menangis
tersedu-sedu dan gurunya menangis pula bahkan lebih keras dan lebih hebat
daripada tangis muridnya sendiri.
Tiba-tiba Ma Hoa berdiri dan mencabut
pedangnya. “Suhu, saksikanlah sumpah teecu! Aku bersumpah untuk membasmi para
perwira durna penjahat-penjahat liar yang mempergunakan kedudukan dan pangkat
untuk menjadi kedok kejahatan mereka!”
Nelayan Cengeng menghiburnya dan kemudian ia
membawa muridnya yang bersedih itu untuk melakukan perjalanan hingga mereka
tiba di sungai yang mengalir di sebelah utara. Di dalam perjalanan mereka,
Nelayan Cengeng dan Ma Hoa tiada hentinya memusuhi para perwira yang bertugas dan
dari seorang perwira mereka dapat mendengar tentang pengkhianatan beberapa
orang rombongan mereka yang mengadakan hubungan dengan para mata-mata bangsa
Turki dan mereka yang dengan diam-diam mengadakan persekutuan dengan
orang-orang Mongol!
Makin bencilah Nelayan Cengeng dan muridnya
terhadap perwira-perwira Sayap Garuda yang palsu ini. Selain memusuhi para
perwira yang bertemu dengan mereka juga kedua orang ini sekalian mencari-cari
jejak Cin Hai dan Kwee An, serta mengharapkan untuk bertemu dan menggabung
dengah Ang I Niocu dan Lin Lin.
Dan kebetulan sekali, pada pagi hari ketika
mereka berdua mendayung perahu ke mudik, mereka melihat sebuah perahu besar
bergerak ke hilir. Mata Nelayan Cengeng yang tajam segera melihat adanya
seorang yang berpakaian perwira Sayap Garuda di dalam perahu itu, dan melihat
pula seorang Turki. Maka sengaja ia menabrakkan perahunya yang kecil kepada
perahu depan itu hingga mengejutkan para penumpang perahu di depan itu!
Dua orang pendayung perahu Yousuf marah sekali
dan mereka lalu mendamprat kepada nelayan tua itu,
“Eh, tua bangka kurang ajar! Apakah matamu
telah buta?”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar
makian ini. “Ha, ha, ha, ha! Kalau mataku buta, bagaimana aku bisa menumbuk
perahumu?” Sambil berkata demikian, ia mengangkat dayungnya dan memukul ke
badan perahu di depan itu sekerasnya. Perahu itu bergoncang hebat dan bolong!
Nelayan Cengeng sengaja memukul di bagian yang berada di bawah permukaan air,
hingga sebentar saja air sungai mengalir masuk ke dalam perahu Yousuf!
Bukan main marah dan terkejutnya kedua orang
pendayung itu. Mereka berteriak-teriak, “Celaka! Perahu bocor! Perahu bocor!
Celaka, kita bertemu dengan orang gila!”
Memang hebat pukulan dayung yang dilakukan
oleh Nelayan Cengeng itu oleh karena bagian yang pecah demikian besarnya hingga
sebentar saja air yang mengalir masuk sudah demikian banyaknya sukar dibendung
lagi!
“Kurang ajar!” terdengar Yousuf berseru dan
tubuhnya lalu meloncat, diikuti oleh Boan Sip yang merasa kuatir sekali melihat
betapa perahu yang ditumpanginya mulai tenggelam dan miring! Kedua pendayung
itu pun tidak berdaya lagi dan mereka keduanya lalu menceburkan diri ke dalam
air!
Terdengar Nelayan Cengeng tertawa
bergelak-gelak, seakan-akan kejadian itu merupakan suatu hal yang lucu sekali,
bahkan Ma Hoa dalam kesedihannya ikut tersenyum melihat perbuatan gurunya yang
nakal.
“Hayo kita kejar mereka, Suhu!” serunya ketika
melihat Boan Sip yang berpakaian perwira.
“Memang aku hendak mengejar mereka!” kata
suhunya lalu mendayung perahu kecil ke pinggir.
Pada saat itu terdengar suara memanggil yang
keluar dari perahu Yousuf yang sudah hampir tenggelam,
“Cici Hoa! Lo-cianpwe!!”
“Eh, itu Lin Lin!” kata Ma Hoa dengan girang
sekali dan Lin Lin yang telah membuka pintu bilik dan melihat bahwa perahu yang
ditumpanginya hampir tenggelam, segera menggenjot tubuhnya yang melayang ke
perahu Ma Hoa!
“Lin Lin! Bagaimana kau bisa berada di perahu
itu?” tanya Ma Hoa dengan heran.
“Cici! Tangkap penjahat besar itu! Perwira itu
adalah Boan Sip, musuh besarku! Mereka tadi menawanku di dalam perahu!”
Bukan main marahnya Ma Hoa mendengar ini. Ia
dan gurunya sudah sampai di pinggir dan di situ Boan Sip bersama Yousuf telah
menanti dengan muka marah!
Lin Lin tak membuang waktu lagi, ia melompat
dan menerjang Boan Sip yang menangkis sambil tersenyum mengejek. “Sekarang
terpaksa aku harus membunuhmu!” katanya. Akan tetapi pada saat itu, dari
samping berkelebat sinar pedang yang cepat gerakannya hingga ia menjadi
terkejut sekali. Tidak tahunya, Ma Hoa yang sudah tiba di situ lalu menyerang
dengan pedangnya. Melihat datangnya serangan yang lihai ini, Boan Sip lalu
melompat ke pinggir sambil mencabut goloknya dan bertempurlah mereka dengan
hebat dan seru, Lin Lin yang tidak bersenjata lalu menghampiri perahu Ma Hoa
dan mengambil keluar sebuah dayung. Dengan dayung ini ia lalu mengeroyok Boan
Sip lagi dengan melancarkan pukulan-pukulan sengit.
Sementara itu, Nelayan Cengeng berhadapan
dengan Yousuf yang masih kelihatan tenang-tenang saja. Ketika orang tua ini
telah datang dekat, Yousuf berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar,
“Nelayan tua, apakah tiba-tiba setan yang
berkeliaran di sungai ini memasuki tubuhmu hingga tanpa sebab kau memukul pecah
perahuku? Kalau betul demikian halnya, jangan kuatir, aku sudah biasa mengusir
iblis yang memasuki tubuh manusia!”
Ucapan ini dikeluarkan oleh Yousuf setengah
bersungguh-sungguh setengah mengejek oleh karena betapapun juga ia merasa
mendongkol sekali melihat perahunya dirusak orang tanpa sebab. Untuk sesaat
Nelayan Cengeng tercengang mendengar ini, kemudian ia tertawa bergelak sampai
mengeluarkan air mata dari kedua matanya. Yousuf tidak tahu akan keanehan orang
tua ini yang selalu mengeluarkan air mata, ia menjadi curiga.
“Ah, benar-benar ada setan memasuki tubuhmu!”
Yousuf tangannya dilempangkan ke depan menuju ke arah dada dan kepala Nelayan
Cengeng, kemudian ia membentak keras sambil mendorongkan kedua tangannya ke
depan,
“Setan penasaran, keluarlah kamu dari tubuh
orang tua ini!”
Tiba-tiba suara tertawa Nelayan Cengeng
terhenti oleh karena orang tua ini menjadi kaget sekali. Dorongan orang Turki
ini mengeluarkan angin yang aneh dan ia merasa seakan-akan semangatnya hendak
didorong keluar dari tubuhnya. Ia tidak tahu bahwa benar-benar Yousuf
mengeluarkan aji kesaktiannya untuk mengusir roh jahat yang disangka
bersembunyi di dalam tubuhnya. Cepat-cepat Nelayan Cengeng mengerahkan
lweekangnya untuk memukul kembali tenaga dorongan yang dahsyat ini hingga
Yousuf berseru,
“Aha, setan dari manakah berani melawan
tenagaku? Apakah benar-benar kau tidak mau keluar dari tubuh orang tua ini?”
Sikap Nelayan Cengeng menjadi sungguh-sungguh,
oleh karena ia mengerti bahwa orang Turki ini bukan sedang main-main dan
menyangka betul-betul ia sedang kemasukan setan sungai. Maka ia segera menjura
dan berkata,
“Tuan, kau sungguh lihai dan baik, bahkan kau
terlampau baik terhadap kami orang-orang Han, terutama terhadap perwira itu
yang bersama-sama denganmu di dalam perahu. Kebaikan itu selalu mengandung
maksud tersembunyi yang kurang sempurna. Salahkah dugaan ini?”
Terkejut hati Yousuf mendengar ini, dan ia
berlaku hati-hati.
“Ah, jadi aku telah salah sangka? Maaf, maaf.
Perwira yang sedang bertempur itu memang kenalanku, akan tetapi apakah salahnya
berkenalan di antara dua bangsa? Nelayan tua, tenagamu hebat sekali, dan apakah
maksudmu merusak perahuku dan mengganggu perjalananku?”
“Kalau Tuan tidak bersama dengan perwira itu,
aku orang tua tidak nanti berani berlaku kurang ajar. Akan tetapi ketahuilah,
bahwa perwira itu telah melakukan kejahatan besar dan bahwa ia telah berani
menawan seorang gadis yang menjadi sahabat muridku! Agaknya Tuan juga
melindungi perwira itu!”
“Hem, siapa yang hendak melindungi dia?” kata
Yousuf yang percaya penuh akan kegagahan Boan Sip. Akan tetapi ketika ia
menengok dan memandang ke arah pertempuran, ia menjadi terkejut sekali. Biarpun
Boan Sip berkepandaian tinggi, akan tetapi oleh karena dikeroyok oleh Lin Lin
dan Ma Hoa yang tidak rendah ilmu pedangnya, perwira ini menjadi terdesak
hebat. Terutama dayung di tangan Lin Lin yang mengamuk hebat amat mendesaknya
hingga kini Boan Sip hanya dapat menangkis sambil main mundur saja. Yousuf
merasa terkejut dan khawatir. Betapapun juga Boan Sip adalah seorang utusan pihak
perwira kerajaan untuk menyaksikan dan membuktikan adanya pulau emas itu. Kalau
Boan Sip sampai kalah dan tewas, bagaimanakah pekerjaan yang sedang dikerjakan
ini dapat menjadi beres? Ia memang tidak suka kepada Boan Sip, akan tetapi demi
tugas pekerjaannya, ia harus membantu. Yousuf membuat gerakan dan hendak
melompat membantu Boan Sip, akan tetapi tiba-tiba ia melihat bayangan
berkelebat dan tahu-tahu Nelayan Cengeng telah berdiri di depannya sambil
bertolak pinggang.
“Biarlah yang muda bertempur melawan yang muda
pula. Kita tua sama tua boleh main-main, kalau kau kehendaki. Dengarlah, orang
asing, aku sama sekali tidak hendak mengganggumu kalau saja engkau tidak turun
tangan terlebih dulu. Biarkan perwira keparat itu berkelahi melawan muridku dan
musuhnya, dan takkan mengganggu sedikit pun!”
Kini Yousuf maklum bahwa pertempuran tak dapat
dihindarkan lagi, maka ia lalu memandang kepada nelayan tua itu dengan penuh
perhatian. Ia melihat bahwa nelayan ini biarpun kelihatan seperti seorang biasa
akan tetapi mempunyai sepasang mata yang bersinar-sinar aneh, maka ia dapat
menduga bahwa orang ini tentulah seorang ahli lweekeng yang tinggi ilmu
kepandaiannya.
“Kakek Nelayan, engkau tidak tahu sedang
berhadapan dengan siapa, maka engkau berani main-main. Ketahuilah aku bernama
Yousuf, dan di dalam negeriku, aku disebut Malaikat Pengusir Iblis!
Kauminggirlah dan percayalah bahwa aku pun tak hendak mengganggu kedua anak
muda itu. Aku hanya ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara
mereka dan sahabatku!”
Mendengar kata-kata ini, Nelayan Cengeng dapat
mempercayai omongannya, oleh karena semenjak tadi pun ia maklum bahwa orang
asing ini bukanlah orang jahat atau curang. Akan tetapi, setelah muridnya Lin
Lin berhasil mendesak Boan Sip, mana ia memperbolehkan lain orang menolong
perwira jahat itu?
“Tidak bisa, Saudara You Se Fei (lidahnya
tidak dapat menyebut nama Yousuf). Kalau kau bergerak, aku Khong Hwat Lojin pun
terpaksa bergerak juga!”
“Bagus! Marilah kita mencoba-coba kepandaian!”
Sambil berkata demikian, Yousuf menarik keluar sebatang pedang hitam yang
ujungnya melengkung ke atas dan kelihatannya tajam sekali! Pedang ini memang
luar biasa indah, oleh karena pada gagangnya nampak dihias emas permata yang
berkilauan! Nelayan Cengeng juga bersiap sedia dengan dayung yang sejak tadi
terpegang di tangannya.
“Lihat pedang!” Yousuf berseru sambil menubruk
maju. Gerakannya gesit dan cepat, sedangkan kedua kakinya berdiri di atas ujung
jari kaki, tanda bahwa ia sedang mempergunakan ilmu ginkangnya yang aneh dan
lihai. Cara berdiri macam ini membuat ia cepat sekali dapat bergerak dan
mengubah kedudukan. Melihat serangan ini, tahulah Khong Hwat Lojin bahwa ia
berhadapan dengan orang pandai maka ia pun segera menggerakkan dayungnya dan
mereka berdua lalu bertempur dengan hebat. Pedang di tangan Yousuf mengeluarkan
angin dan menimbulkan bunyi bagaikan suling sedangkan dayung di tangan Nelayan
Cengeng berputar seperti kitiran angin dan membuat debu mengepul ke atas!
Demikianlah, di pagi hari yang cerah sunyi di
tepi sungai itu, terjadilah pertempuran yang amat hebat dan dahsyat, sehigga
dua orang pendayung perahu Yousuf yang telah berenang ke tepi, kini ke duanya
berjongkok dengan tubuh menggigil karena ketakutan.
Kepandaian Nelayan Cengeng untuk daerah utara
sudah amat terkenal dan jarang ada jago dapat menandinginya, akan tetapi kini
ia bertemu dengan seorang jago dari bangsa lain yang memiliki silat tinggi dan
sama sekali asing baginya. Demikianpun Yousuf, baginya ilmu silat kakek nelayan
ini hebat dan aneh hingga keduanya berlaku hati-hati sekali oleh karena tak
dapat menduga lebih dulu perkembangan gerakan lawan.
Sementara itu, Boan Sip sudah lelah sekali.
Keringatnya mengucur membasahi seluruh tubuhnya dan wajahnya menjadi pucat oleh
karena ia harus menghadapi serangan dua singa betina yang sedang mengamuk
hebat! Sambil bertempur, Lin berkata, “Cici, kita harus buat mampus anjing ini.
Dia inilah biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga Kwee! Engko An tentu
akan sangat berterima kasih kepadamu apabila engkau dapat membunuh anjing
penjilat ini.”
Mendengar ucapan ini, tentu saja Ma Hoa
menjadi makin bersemangat untuk segera merobohkan Boan Sip, untuk membuktikan
setia dan cintanya kepada tunangannya yang selalu terbayang di depan matanya itu!
Ia mengertak gigi dan mainkan pedangnya dalam serangan yang paling berbahaya,
sedangkan Lin Lin juga menggunakan dayung di tangannya untuk menyerang kalang
kabut hingga Boan Sip makin terdesak saja. Ketika Boan Sip sedang melangkah
mundur dengan bingung, tiba-tiba ia menginjak sebuah batu yang bundar licin
hingga ia tergelincir dan terhuyung lalu terjatuh di atas tanah. Lin Lin dan Ma
Hoa menubruk dan pedang Ma Hoa yang menusuk dadanya serta dayung Lin Lin yang
menghantam kepalanya membuat nyawa Boan Sip melayang pada saat itu juga!
Melihat betapa musuh besarnya telah
menggeletak di atas tanah dalam keadan tak bernyawa, Lin Lin tiba-tiba merasa
girang dan terharu sekali. Girang bahkan ia berhasil membunuh manusia yang amat
dibencinya ini dengan tangan sendiri, dan terharu oleh karena teringat kepada
orang tuanya. Tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata perlahan,
“Ayah, anak yang puthau (tak berbakti) baru
berhasil membalas dendam kepada anjing terkutuk ini!” Kemudian ia menangis
terisak-isak ingat kepada ayahnya, ibu tirinya, dan saudara-saudaranya yang
terbunuh mati oleh Boan Sip dan kawan-kawannya. Ma Hoa juga ikut merasa terharu
dan sambil memeluk pundak Lin Lin, Ma Hoa lalu menangis pula.
Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara
Si Nelayan Cengeng dan Yousuf, masih berlangsung dengan ramai sekali. Akan
tetapi, setelah bertempur hampir seratus jurus, Yousuf akhirnya harus mengakui
keunggulan lawan. Dayung Si Nelayan Cengeng sungguh-sungguh hebat dan lihai
sekali. Perlahan tapi tentu, orang Turki itu terdesak mundur dan terpaksa
mempergunakan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari sambaran dayung!
Pada saat Yousuf sudah terdesak sekali,
tiba-tiba terdengar Lin Lin berseru, “Kong Hwat Locianpwe! Jangan mencelakai
dia! Dia adalah penolongku!”
Mendengar seruan ini, Nelayan Cengeng cepat
melirik dan ketika ia melihat bahwa Boan Sip sudah dibinasakan ia lalu tertawa
bergelak dan melompat mundur menahan gerakan dayungnya.
Yousuf menjura sangat dalam sampai sorbannya
hampir menyentuh tanah. “Kau orang tua sungguh hebat sekali dan patut menjadi
guruku!”
“Ah, jangan kau terlalu memuji, Saudara Yo Se
Fei! Kepandaianmu pun hebat dan mengagumkan!” jawab Si Nelayan Cengeng.
Kemudian Yousuf memandang ke arah Lin Lin dan
senyumnya melebar serta pandangan matanya melembut. “Nona, kau benar-benar
seorang berbudi tinggi.” Ketika pandangan matanya melihat mayat Boan Sip yang
menggeletak di atas tanah ia menghela napas dan berkata,
“Memang hukum alam adil sekali. Dia memang
orang jahat dan sudah sepatutnya mati di ujung senjata!”
Melihat sikap orang asing ini, Nelayan Cengeng
menjadi tertarik hatinya. Ia memegang tangan orang itu dan berkata, “Sahabat,
kita adalah sama orang gagah, biarpun kita berkebangsaan lain! Marilah kita
bersahabat dan menuturkan riwayat masing-masing.”
“Apakah kau terpengaruh pula oleh keadaan
negara dan politiknya, orang tua?”
Nelayan Cengeng tertawa terkekeh hingga
kembali air matanya mengalir. “Siapa sudi memperhatikan keadaan politik yang
jahat? Tidak, bagiku politik hanya satu yaitu yang jahat harus dibasmi dan yang
baik dibela! Kau orang asing asal saja jangan mengganggu tanah air dan
bangsaku, aku akan menjadi sahabat baikmu!”
Kembali Yousuf menghela napas. “Kalian
orang-orang Han memang aneh dan patut dikagumi! Kalian berjiwa patriot dan
mencinta tanah air dan bangsa, akan tetapi kalian tidak mau terlibat dalam
urusan ketatanegaraan dan segala politiknya yang serba berbelit-belit!
Sebenarnya, mengapakah kalian bermusuhan dengan perwira itu?”
Lin Lin maju dan memberi penjelasan. “Perwira
itu adalah seorang jahat yang oleh karena ditolak lamarannya oleh Ayah terhadap
diriku, lalu mengajak kawan-kawannya untuk membasmi keluargaku. Ayah serta
kakak-kakak dan juga Ibuku telah dia bunuh habis. Tinggal aku dan seorang
kakakku yang masih hidup. Ketika aku bertemu dengan dia dan bertempur, atas
bantuan gurunya yang juga jahat ia berhasil menawanku dan membawaku ke sebuah
tempat tahanan. Kemudian ia membawa aku lari dan bertemu dengan kau.”
“Hm, pantas, pantas! Pantas kau membunuhnya,
memang hutang nyawa harus dibayar jiwa pula!”
“Dan kau hendak pergi ke manakah Saudara? Aku
mendengar dari percakapanmu bahwa kau hendak pergi ke sebuah pulau dengan
perwira itu,” kata pula Lin Lin.
Yousuf termenung sejenak. Tiba-tiba ia
mendapat pikiran yang tak disengaja. Telah lama ia mempunyai sebuah cita-cita
untuk dapat menduduki tahta kerajaan. Ketika ia dan beberapa orang kawannya
yang merantau mendapatkan pulau emas itu, telah timbul dalam hatinya cita-cita
ini. Dengan memiliki semua harta kekayaan itu, mudah saja baginya untuk merebut
kekuasaan Raja Turki yang sekarang dan menggantikannya. Memang masih ada darah
pangeran dalam tubuh Yousuf dan sayangnya ia adalah seorang miskin. Kalau saja
pulau itu dapat terjatuh ke dalam tangannya! Kini, melihat Lin Lin, ia merasa
sangat tertarik dan suka. Ia merasa yakin bahwa di dalam kehidupannya yang dulu
tentu ada hubungan sesuatu antara dia dan Lin Lin, oleh karena entah mengapa,
ia merasa suka sekali dan rela membela gadis itu, biar dengan jiwanya
sekalipun. Perasaan inilah yang merupakan cita-cita ke dua baginya, dan timbul
setelah ia bertemu dengan Lin Lin. Ia juga ingin mendapatkan harta di Pulau
Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja dan membujuk Lin Lin agar suka menjadi
permaisurinya. Inilah cita-citanya dan inilah pikiran yang pada saat itu
mengaduk hati dan otaknya. Ia telah melihat kegagahan Nelayan Cengeng dan
muridnya yang ternyata seorang gadis pula, telah menyaksikan pula kegagahan Lin
Lin yang tidak lemah. Kalau ditambah dengan dia sendiri menjadi empat orang,
dan bukankah empat orang gagah yang tangguh, kuat, akan sanggup mengusir musuh
yang manapun juga?
Untuk menjawab pertanyaan Lin Lin ia
mengangguk, “Memang benar, Nona Lin Lin, aku hendak pergi menuju ke sebuah
Pulau Emas. Sayang sekali perahu telah rusak dan tenggelam.”
Mendengar disebutnya Pulau Emas, Nelayan
Cengeng tertarik sekali dan ia lalu berkata, “Saudara Yo Se Fei! Benar-benar
adakah pulau dongeng itu? Semenjak aku masih kecil, seringkali aku mendengar
dongeng tentang Pulau Emas, dan dalam beberapa hari ini, telah dua kali aku
mendengar pula tentang Pulau Emas ini.”
Yousuf memandangnya tajam. “Telah dua kali?
Lo-enghiong, dari siapa pulakah kau mendengar tentang Pulau Emas ini?”
Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa
beberapa hari yang lalu, dalam perantauannya dengan Ma Hoa, ia bertemu dengan
seorang bangsa Mongol tua yang juga menyebut akan adanya Pulau Emas itu, bahkan
orang Mongol itu dalam mengobrol telah membuka rahasia bahwa Pangeran Vayami,
pemimpin Agama Buddha Merah itu, juga hendak mencari pulau ini.
Yousuf terkejut sekali mendengar ini. “Ah,
sudah kusangka bahwa Pangeran Vayami tentu mempunyai maksud tertentu dengan
kunjungannya ke pedalaman dan hendak menghadap Kaisar Tiongkok! Tidak tahunya,
ia juga menghendaki pulau itu. Ah, kita harus cepat ke sana, jangan sampai
didahului orang!”
Melihat bahwa orang Turki ini pucat dan
bingung, Nelayan Cengeng bertanya lagi, “Saudara yang baik, sebetulnya pulau
itu dimanakah letaknya dan apa namanya?”
Yousuf telah habis sabar, akan tetapi oleh
karena maklum bahwa kakek nelayan yang gagah ini merupakan tenaga bantuan yang
amat berguna, ia bersabar dan menerangkan dengan singkat, “Pulau itu bernama
Kim-san-to (Pulau Gunung Emas) dan berada di sebelah timur pantai Tiongkok.
Kalau belum tahu jalannya, memang sukar sekali rnencari pulau yang berada di
antara puluhan pulau-pulau kecil lain itu.”
Nelayan Cengeng menjadi sangat tertarik
hatinya dan demikianlah, kedua orang ini bercakap-cakap dan Yousuf dengan amat
sabarnya menjawab tiap pertanyaan Nelayan Cengeng sehingga kakek nelayan ini
akhirnya terbangkit pula keinginan tahunya dan ia ingin sekali melihat dan
menyaksikan dengan mata sendiri keadaan pulau yang telah dikenal dalam dongeng
itu.
Sementara itu, Lin Lin lalu menceritakan
kepada Ma Hoa tentang semua pengalamannya dan ketika Ma Hoa bertanya di mana
adanya Ang I Niocu, ia menjawab, “Siapa yang dapat mengetahui dimana adanya dia
sekarang.” Lin Lin menghela napas khawatir. “Sungguh sial sekali, belum juga
kami bertemu dengan Hai-ko, sekarang Cici Im Giok sudah harus berpisah lagi
denganku! Ah, sekarang menjadi makin ruwet, karena selain harus mencari Hai-ko
dan Ang-ko, aku pun harus mencari Cici Im Giok! Eh, Enci Hoa, semenjak tadi aku
saja yang banyak mengobrol sedangkan kau hanya menjadi pendengar saja.
Kauceritakanlah, bagaimanan kau bisa sampai di sini dan menolong aku?”
Memang Ma Hoa orangnya agak pendiam dan tak
banyak bicara. Kini mendengar pertanyaan Lin Lin, tiba-tiba kedua matanya
menjadi merah dan ia mengeraskan hati untuk menahan keluarnya air matanya. Lin
Lin terkejut dan memegang lengannya. “Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi?
Kau nampak pucat sekali!”
Dengan mengeraskan hati, Ma Hoa lalu
menceritakan malapetaka yang menimpa keluarganya, akan tetapi ketika melihat
betapa sepasang mata Lin Lin yang lebar itu memandangnya dengan terbelalak dan
dari kedua matanya itu mengalir butiran-butiran air mata karena terharu dan
kasihan, Ma Hoa tak dapat menahan lagi kesedihannya. Ia mengakhiri penuturannya
dengan kata-kata yang sukar keluarnya, “Adik Lin, habislah seluruh keluargaku,
mereka telah binasa semua, tinggal aku seorang diri... sebatangkara...!”
Lin Lin memeluk gadis itu dan keduanya lalu
bertangis-tangisan oleh karena memang terdapat banyak persamaan antara mereka
berdua, oleh karena seperti juga Ma Hoa, keluarga Lin Lin juga habis binasa.
“Enci Hoa, jangan kau khawatir, bukankah kau
masih mempunyai kawan-kawan baik seperti Suhumu itu dan aku dan Engko An? Juga
Hai-ko dan Enci Im Giok adalah kawan-kawan yang baik dan yang senantiasa
bersiap sedia membantu dan menolongmu!”
Mendengar hiburan ini, agak redalah kesedihan
yang menekan hati Ma Hoa dan mereka berdua lalu memandang ke arah Yousuf yang
masih bercakap-cakap dengan Nelayan Cengeng. Sebuah permufakatan telah dicapai
oleh kedua orang ini, yaitu Nelayan Cengeng telah mengambil keputusan untuk
ikut Yousuf mencari Pulau Emas!
“Hai, Ma Hoa dan Lin Lin, ke marilah! Jangan
hanya bertangis-tangisan saja, ada kabar baik yang harus dibicarakan bersama!”
Si Nelayan Cengeng berkata dan kedua orang gadis itu lalu menghampiri mereka
sambil menyusut air mata dengan saputangan.
Nelayan Cengeng lalu memberitahukan bahwa
mereka bertiga akan ikut Yousuf mencari Pulau Emas itu.
“Akan tetapi, Locianpwe, bagaimana dengan
usahaku mencari saudara dan kawan-kawanku?”
Nelayan Cengeng tersenyum. “Dengarlah, Lin
Lin. Kita tidak tahu ke mana perginya mereka itu dan tanpa petunjuk yang tepat,
ke manakah kita harus mencari mereka! Pula, dari Saudara Yo Se Fei ini aku
mendengar bahwa besar sekali kemungkinan Pangeran Vayami juga akan pergi
mencari Pulau Emas ini hingga bukan tak mungkin bahwa Hai Kong Hosiang akan
menemani rombongan Pangeran Vayami itu. Sudah terang bahwa Cin Hai, Kwee An,
maupun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio itu dan apabila hwesio itu berada
dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu mereka akan menuju ke pulau itu pula!
Nah, bukankah ini lebih baik daripada kita berkeliaran tidak karuan tanpa
tujuan tertentu?”
Lin Lin menganggap alasan ini cukup kuat, oleh
karena ia tahu bahwa Ang I Niocu sedang mencari Cin Hai dan Kwee An, sedang
kedua pemuda itu mengejar Hai Kong Hosiang, maka kalau benar hwesio itu pergi
juga mencari pulau emas, memang bukan tak mungkin mereka semua menuju ke tempat
yang sama! Maka akhirnya ia berkata,
“Terserah kepada Locianpwe saja, aku yang muda
dan bodoh hanya menurut dan percaya penuh kepadamu, orang tua!”
Mendengar persetujuan yang keluar dari mulut
gadis ini, Yousuf menjadi girang sekali, akan tetapi ia menyembunyikan
perasaannya ini dan berkata,
“Nah, kita berempat bisa berangkat sekarang
juga, akan tetapi, perahumu begitu kecil. Sayang sekali perahuku telah
tenggelam!”
Nelayan Cengeng biarpun sudah tua, akan tetapi
pandangan matanya tajam. Melihat wajah orang Turki itu berseri-seri ketika
mendengar kata-kata persetujuan yang diucapkan oleh Lin Lin, di dalam hatinya
timbul kecurigaan yang membuatnya menjadi hati-hati. Akan tetapi, sambil
tertawa ia menjawab pertanyaan Yousuf, “Apakah susahnya untuk mendapatkan
perahu yang tenggelam?” Setelah berkata demikian, kakek nelayan ini lalu
memperlihatkan kepandaiannya di dalam air yang benar-benar hebat.
Ia menanggalkan jubah luarnya dan dengan
pakaian ringkas lalu meloncat ke dalam air. Tubuhnya yang kurus itu terjun ke
dalam air tanpa bersuara seakan-akan sebatang anak panah dilepas ke dalam air
saja. Agak lama semua orang menanti dengan hati berdebar, kecuali Ma Hoa yang
sudah maklum akan kepandaian gurunya. Kemudian air itu bergelombang hebat dan
dari bawah muncullah tubuh perahu Yousuf yang tadi tenggelam! Ternyata Si
Nelayan Cengeng telah mendapatkan tubuh perahu itu dan menariknya ke atas
permukaan air dalam keadaan miring hingga tidak ada air yang memasuki tubuh
perahu itu. Kemudian Si Nelayan Cengeng berenang cepat ke pinggir dan sekali ia
menggerakkan tangan, perahu besar itu dapat didorongnya ke pinggir hingga
meluncur cepat dan mendarat di pinggir sungai! Yousuf segera menarik perahu itu
ke atas dan tiada hentinya memuji.
“Ah, kau betul-betul gagah luar biasa. Di
darat kau telah membuat aku kagum, akan tetapi kepandaianmu di air ini
betul-betul membuat aku tunduk!” Sambil berkata demikian Yousuf lalu menjura di
depan Kong Hwat Lojin yang telah melompat ke darat. Akan tetapi kakek nelayan
itu hanya tertawa sambil mengeringkan tubuhnya dengan jubah luarnya yang tadi
ditanggalkan, lalu berkata,
“Sudahlah di antara kawan sendiri mana ada
aturan puji-memuji? Lebih baik kita sekarang memperbaiki perahumu ini agar
dapat segera berangkat!”
Kedua orang itu lalu memperbaiki badan perahu
yang tadi pecah berlubang karena pukulan dayung Si Nelayan Cengeng dan sebentar
saja perahu itu telah baik kembali. Yousuf lalu memerintahkan kedua orang
pembantunya untuk pergi dari situ oleh karena ia tak memerlukan tenaga mereka
lagi. Ia merogoh kantongnya dan memberi empat potong uang emas kepada dua orang
itu yang menerimanya dengan girang.
Setelah itu, maka berangkatlah Yousuf bersama
Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Lin Lin. Perahu mereka meluncur cepat oleh
karena selain terbawa hanyut oleh aliran sungai yahg deras, juga dibantu oleh
tenaga dayung Si Nelayan Cengeng yang kuat sekali. Sebelum senja hari, perahu
mereka telah sampai di mulut sungai dan memasuki laut yang luas!
Baik kita tinggalkan dulu Lin Lin bersama
kawan-kawannya yang menuju ke Pulau Kim-san-to itu, dan kita mengikuti
pengalaman Kwee An!
Ketika terjadi perkelahian bebas di atas
perahu Pangeran Vayami dan menerima tendangan di betisnya yang dilakukan oleh
Pangeran Mongol itu hingga ia terjatuh ke dalam sungai, Kwee An telah mencoba
tenaga dan kepandaiannya yang dipelajari dari Nelayan Cengeng untuk berenang ke
pinggir. Akan tetapi, aliran air sungai itu amat deras dan kuatnya, hingga
usahanya gagal bahkan tubuhnya hanyut dengan cepatnya!
Baiknya Kwee An telah mendapat latihan dari
Nelayan Cengeng, kalau tidak, pasti ia akan tenggelam atau tubuhnya akan hancur
terbentur pada batu-batu karang yang banyak menonjol di permukaan air. Ia lalu
mengeluarkan kepandaiannya dan menggunakan gerakan Ular Air Menyeberang Laut
berenang sambil mengikuti aliran air dalam cara berlenggang-lenggok bagaikan
seekor ular hingga ia dapat menghindarkan diri daripada tubrukan dengan
batu-batu karang. Ia masih dapat melihat betapa perahu di mana Cin Hai masih
bertempur seru melawan Hai Kong Hosiang itu terbakar hebat, hingga diam-diam ia
menjadi gelisah, menguatirkan keselamatan kawannya itu. Akan tetapi, sungai itu
mengalir dalam sebuah tikungan yang tajam sekali hingga ia harus mencurahkan
seluruh perhatiannya untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri.
Setelah hanyut jauh sekali, sedikitnya
terpisah lima li dari tempat di mana ia terjatuh, aliran air mulai lemah dan
dengan hati girang Kwee An berenang ke pinggir dengan maksud setelah dapat
mendarat akan segera lari kembali ke tempat tadi dan membantu Cin Hai. Akan
tetapi, tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat beberapa ekor
binatang aneh yang berenang cepat menuju ke arah dirinya. Kwee An cepat
berenang ke tepi, akan tetapi, kembali ia terkejut oleh karena
binatang-binatang seperti yang sedang berenang di tengah sungai itu, terdapat
pula di darat dan memenuhi tepi sungai. Agaknya mereka sedang berjemur diri di
pantai itu dan jumlah yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.
Binatang-binatang yang terlihat oleh Kwee An
ini adalah binatang sebangsa buaya, akan tetapi lebih menyerupai cecak besar
dan panjangnya sampai ada sepuluh kaki dan mulutnya terbuka lebar. Ketika Kwee
An tiba di tepi, maka binatang-binatang yang berada di pantai itu pun lalu maju
merangkak dan menyerbu.
Kwee An menjadi bingung. Untuk naik ke darat,
puluhan ekor binatang buas ini telah siap menanti sedangkan untuk tinggal di
dalam air, dari tengah telah berenang beberapa belas ekor yang menuju
kepadanya. Ia pikir, lebih baik menghadapi puluhan ekor di darat daripada
belasan ekor di air, oleh karena binatang itu dapat berenang cepat sekali
sedangkan kepandaiannya di dalam air masih rendah. Ia lalu terus berenang ke
pinggir dan ketika air telah menjadi dangkal hingga sampai ke paha, dari tepi
telah turun lima ekor yang terbesar dan cepat menyerbunya dengan mulut
ternganga lebar. Kwee An lalu menggenjot tubuhnya melompat hingga kedua kakinya
melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya itu menyambar dengan mulut
mereka yang runcing, ia lalu menendangkan kaki kanan ke arah kepala binatang
itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu lonpatan ke darat.
Akan tetapi jumlah binatang-binatang itu
terlalu banyak hingga ke mana saja ia melompat, ia selalu disambut oleh
beberapa ekor buaya yang menyerbunya dengan dahsyat dan liar. Kwee An lalu
mempergunakan kecepatan dan seluruh tenaganya untuk melawan. Ia menendang,
memukul, menangkap ekor dan membanting, hingga sebentar saja puluhan ekor
binatang kena dibinasakan. Akan tetapi yang datang makin banyak saja hingga
Kwee An kehabisan tenaga dan menjadi ngeri dan jijik. Binatang-binatang yang
masih hidup segera menerkam dan menyerang yang terluka dan makan daging
kawan-kawannya sendiri, sedangkan yang lain-lain masih saja menyerbu dengan
hebat. Oleh karena merasa ngeri melihat banyaknya binatang yang mengeroyoknya,
dan oleh karena tenaganya tadi memang telah banyak dihabiskan untuk melawan air
hingga ia menjadi lelah sekali, maka Kwee An berlaku kurang cepat hingga tiba-tiba
ia merasa kaki kirinya sakit sekali. Ia menengok dan melihat bahwa seekor buaya
telah berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat Kwee An berjongkok dan
sekali tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya berhasil memasuki
rongga mata buaya yang menggigit itu! Binatang itu merasa kesakitan dan tak
terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor hingga dengan cepat melepaskan
kakinya! Darah mengucur membasahi kaus kaki dan celananya, dan dengan muka
meringis kesakitan, pemuda itu menjadi begitu marah hingga ia lalu mengamuk
hebat! Ia mencabut pedangnya dan dengan senjata ini ia menghajar semua buaya
yang berani mendekat hingga mayat binatang itu sampai bertumpuk-tumpuk dan
malang melintang di sekitarnya.
Tiba-tiba terdengar suara suitan keras dan
aneh! Buaya-buaya yang masih hidup dan belum terluka, lalu nampak terkejut dan
buru-buru mereka lari ke sungai! Kwee An sudah terlalu lemah, maka kepalanya
menjadi pening dan pemandangan matanya berkunang-kunang.
Ia melihat seorang gemuk tetapi pendek sekali
berdiri di depannya dengan sebuah cambuk panjang di tangan dan suara orang itu
terdengar keras dan besar ketika menegur,
“Pemuda kurang ajar dari manakah berani
mengganggu dan membunuh hewan ternakku?”
Kwee An yang sudah lelah dan pusing itu,
merasa seperti bertemu dengan iblis sungai, oleh karena siapakah orangnya yang
menganggap buaya-buaya itu sebagai hewan ternaknya selain iblis sungai? Pemuda
itu tak dapat menguasai dirinya lagi oleh karena lapar, lelah, dan lemas
kehilangan banyak darah.
“Aku... aku... lelah...” katanya dan ia lalu
roboh terguling dan pingsan. Tubuhnya roboh di atas mayat-mayat binatang yang
tadi diamuknya!
Ketika ia sadar kembali, Kwee An mendapatkan
dirinya telah berbaring di atas balai-balai bambu dalam sebuah kamar yang
terbuat daripada bambu pula. Ia segera bangun dan mengeluh oleh karena kaki
kirinya terasa sakit dan perih. Ketika ia teringat akan luka di kakinya oleh
gigitan buaya itu, ia segera menengok ke arah betisnya dan ternyata bahwa
kakinya telah dibalut erat-erat. Ia dapat menduga bahwa orang pendek yang
disangkanya iblis sungai itu tentu yang telah menolongnya, maka ia merasa
berterima kasih sekali.
Biarpun keluhan suaranya perlahan sekali, akan
tetapi ternyata telah didengar orang, oleh karena dari luar pintu kamar segera
terdengar suara orang, “Eh, anak muda, kau sudah bangun?”
Ketika Kwee An memandang, ternyata penolongnya
yang pendek itu muncul dari pintu dengan sepiring masakan yang masih mengepul
berada di tangan kirinya. Si Kate memasuki bilik itu dan berkata sambil
tertawa, “Nah, kaumakanlah. Kesehatanmu tentu akan pulih lagi seperti
sediakala!”
Ketika Kwee An hendak bangkit untuk
menghaturkan terima kasih, tiba-tiba ia merasa lehernya seakan-akan tercekik
dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu akan terlihat menjadi pucat sekali
kalau saja kulit mukanya tidak memang sudah pucat sekali hingga tidak nampak
perubahan itu. Pada saat itu ia telah mengenal orang pendek ini yang bukan lain
adalah Hek Moko, Si Iblis Hitam yang lihai dan yang dulu pernah bertempur
dengan Cin Hai di depan rumahnya! Kwee An berpikir cepat dan ia segera memaksa
mulutnya bersenyum. Sambil menerima piring itu ia berkata dengan pura-pura
masih lemas tak bertenaga,
“Terima kasih, Lopek. Kau baik sekali dan atas
pertolonganmu ini aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih.” Kwee An sengaja
berbuat seakan-akan ia tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum bahwa
iblis ini pun tidak tahu siapa adanya dia dan kalau iblis ini tahu bahwa Cin
Hai berada dekat, tentu ia akan pergi mengejarnya!
“Kau makanlah yang enak. Aku hendak mengurus
hewan ternakku lebih dulu! Kau gagah sekali dan telah berhasil membunuh dua
puluh empat ekor hewanku hingga aku menderita rugi bukan sedikit!” katanya lalu
keluar dari pintu dengan langkah-langkahnya yang pendek tetapi cepat.
Kwee An menarik napas lega. Ternyata iblis itu
tidak mengenal dan tidak mencurigainya, hingga untuk sementara waktu ia akan
selamat. Ia maklum bahwa Iblis Hitam ini lihai sekali apalagi kalau di situ ada
pula Iblis Putih yang tinggi besar oleh karena menurut penuturan Cin Hai, kedua
Iblis Hitam Putih atau Hek Pek Moko ini jarang sekali berpisah.
Sambil memikirkan jalan untuk melarikan diri
dari tempat berbahaya ini, Kwee An yang telah merasa lapar sekali, lalu makan daging
yang masih panas mengepul di atas piring itu. Ia tidak tahu masakan daging
apakah ini, akan tetapi oleh karena perutnya lapar sekali, ia tidak peduli dan
segera makan daging itu. Di luar dugaannya semula, daging ini rasanya manis dan
harum serta gurih sekali hingga sebentar saja sepiring besar daging itu telah
habis memasuki perutnya! Kemudian ia turun dari pembaringan dan mencoba
berjalan. Ia dapat berjalan, akan tetapi dengan pincang dan tak mungkin untuk
melarikan diri, oleh karena ia belum dapat mempergunakan ilmu lari cepat. Kwee
An menjadi bingung dan ia amat menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur
di atas perahu melawan Hai Kong Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah
dibakar oleh Pangeran Vayami!
Tak lama kemudian, Hek Moko masuk ke dalam
kamar itu sambil tertawa-tawa. Jubahnya yang hitam itu melambai-lambai di
belakangnya.
“Ha, kau sudah makan! Bagaimana, enakkah
hidanganku itu?”
KweeAn tersenyum. “Enak sekali, entah daging
apakah yang Lopek suguhkan tadi?”
Tiba-tiba Hek Moko tertawa bergelak-gelak dan
suara ketawanya membuat bulu tengkuk KweeAn berdiri oleh karena memang suara
ini amat menyeramkan. “Ha-ha, anak muda. Memang kaupantas merasakan masakan
daging luar biasa itu. Ketahuilah, daging yang kau makan itu adalah daging
hewan ternakku!”
Kwee An tercengang dan sama sekali tidak
pernah menduga bahwa daging buaya yang liar itu demikian enaknya. Kini ia
mengerti mengapa Iblis Hitam ini memelihara hewan ternak yang luar biasa ini.
“Apakah memang pekerjaan Lopek memelihara
hewan ternak yang luar biasa ini?”
Hek Moko mengangguk-angguk. “Memang inilah
pekerjaanku sejak dulu! Tadinya buaya ini hanya ada beberapa belas pasang saja
akan tetapi sekarang telah menjadi beratus-ratus pasang banyaknya! Dan hanya
orang gagah dan orang besar saja yang mendapat kesempatan merasakan kenikmatan
daging hewan ternakku ini. Tahukah kau bahwa untuk daging seekor saja kaisar
berani membayar dengan tiga puluh potong uang emas? Ha, ha, ha!”
“Lopek, kau benar-benar orang luar biasa dan
baik hati. Aku telah berlancang tangan membunuh banyak hewan ternakmu, akan
tetapi kau tidak marah kepadaku, sebaliknya kau telah menolong dan merawatku.
Sungguh aku berhutang budi kepadamu!”
“Hush! Jangan kau berkata begitu. Di antara
ayah dan anak tidak ada perhitungan budi!”
Kwee An terkejut dan heran sekali, oleh karena
ia benar-benar tidak mengerti akan maksud kata-kata Iblis Hitam ini. Di antara
ayah dan anak? Apa maksudnya?
Kembali Si Iblis Hitam tertawa bergelak-gelak,
“Ya, di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi dan kau akan menjadi
anakku yang baik!”
Bukan main terkejutnya Kwee An. Ia pikir bahwa
Iblis Hitam ini telah menjadi gila dan mengaku dia sebagai anaknya. Akan tetapi
ia maklum akan kelihaian iblis ini, maka ia pikir untuk sementara waktu baik ia
tidak membantahnya dan tinggal diam saja.
“Eh, anak muda yang gagah. Kau bernama siapa
dan mengapa kau bisa hanyut di sungai ini?” Sambil bertanya demikian, Iblis
Hitam itu memandang dengan mata tajam dan pandang mata menyelidiki.
“Namaku Kwee An,” jawab pemuda itu dan
tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik. Ia maklum bahwa iblis ini lihai
sekali dan kepandaiannya mungkin sekali lebih tinggi daripada kepandaian Hai
Kong Hosiang, maka ia lalu melanjutkan, “Dan aku hanyut karena perbuatan
seorang hwesio bernama Hai Kong Hosiang.”
Benar saja, disebutnya nama hwesio ini membuat
Hek Moko memandang heran. “Hai Kong? Bagaimana kau bertemu dengan hwesio itu?”
“Aku adalah seorang perantau dan ketika aku
hendak menyeberang sungai ini, aku bertemu dengan Hai Kong Hosiang. Kami
berebut perahu dan kami berkelahi. Akan tetapi aku kalah dan ia melemparku ke
dalam sungai.”
“Ha, ha, ha! Kau benar-benar patut menjadi
puteraku! Kau telah bertempur melawan Hai Kong dan kau tidak mendapat luka! Bagus,
bagus! Aku tidak suka akan namamu dan mulai sekarang kau bernama Siauw Moko
(Iblis Kecil).”
Kwee An merasa mendongkol sekali, akan tetapi
ia tidak begitu bodoh untuk memperlihatkan perasaan ini. Ia hanya berkata,
“Lopek, aku telah berhutang budi kepadamu maka
tentu saja aku tidak berani membantah kehendakmu. Akan tetapi, nama yang
kauberikan kepadaku itu kurang sedap didengar!”
Hek Moko memandangnya dengan mata melotot.
“Apa? Kurang sedap didengar? Hai, anak muda, sampai di manakah kepandaianmu
hingga kau merasa kurang patut bernama Siauw Moko? Ketahuilah, aku yang bernama
Hek Moko memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu. Kau harus menurut
segala kata-kataku oleh karena kau adalah anakku Siauw Moko yang dulu telah
meninggal, akan tetapi sekarang kau hidup kembali. Anakku yang baik, jangan
kuatir, aku akan melatihmu dan dalam beberapa bulan saja jangan kata baru
seorang Hai Kong Hosiang, biar ada tiga orang Hai Kong, engkau tak usah merasa
takut lagi!!”
Setelah berkata demikian, Hek Moko lalu maju
memeluk dan menciumi muka Kwee An sebagai seorang ayah menciumi anaknya dengan
penuh kasih sayang!
Kwee An merasa terkejut, takut, dan juga
terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa dulu tentu Iblis Hitam ini mempunyai
seorang putera dan putera itu meninggal dunia. Dan ketika melihatnya, iblis ini
teringat kepada puteranya hingga tiba-tiba saja mengakui ia sebagai anaknya!
Akan tetapi diam-diam Kwee An merasa girang juga oleh karena ia akan menerima
pelajaran silat dari kakek iblis yang berbahaya dan lihai ini!
Memang dugaan Kwee An itu tepat. Dulu, Hek
Moko mempunyai seorang putera yang wajahnya hampir sama dengan wajah Kwee An.
Dan puteranya ini meninggal dunia karena terserang semacam penyakit berbahaya.
Padahal ia telah menunangkan puteranya itu dengan puteri Pek Moko, yaitu Pek
Bin Moli yang cantik jelita dan berotak miring. Tentu saia kematian puteranya
ini membuat Hek Moko menjadi sedih dan membuat ia menjadi makin jahat, liar dan
gila! Bersama Pek Moko yang menjadi sutenya, ia merupakan sepasang hantu yang
menjagoi seluruh daerah Tibet dan mendengar namanya saja, semua orang telah
ketakutan setengah mati.
Tempat tinggal Hek Pek Moko memang tidak tentu
dan mereka ini merantau dari satu ke lain jurusan. Akan tetapi, kebanyakan
mereka selalu berdua dan jarang nampak mereka berpisah. Kali ini Pek Moko tidak
nampak bersama suhengnya oleh karena Iblis Putih ini sedang pergi mencari anak
perempuannya, yaitu Pek Bin Moli yang telah lama minggat dan mencari suaminya,
yaitu Ong Hu Lin yang menjadi piauwsu dan mengadakan perhubungan dengan
Giok-gan Kui-bo kakak seperguruan Ang I Niocu sehingga timbul perkelahian
antara Giok-gan Kui-bo dan Pek Bin Moli dan akhirnya Pek Bin Moli dapat
menemukan kembali suaminya itu yang dibawanya pergi!
Sejahat-jahatnya manusia, ia masih mempunyai
perasaan kasih sayang yang bersifat suci murni terhadap anaknya. Demikian pun
Hek Moko biarpun manusia ini telah terkenal sebagai iblis yang jahat dan kejam,
akan tetapi kini setelah bertemu kembali dengan puteranya, ia memperlakukan
Kwee An dengan baik sekali hingga diam-diam Kwee An menjadi terharu dan timbul
rasa kasihan di dalam hatinya terhadap iblis tua ini. Kwee An memang telah
kehilangan ayahnya dan dulu ia telah lama meninggalkan ayahnya, yaitu ketika
merantau mempelajari ilmu, maka kini biarpun maklum akan kejahatan dan
kekejaman Hek Moko, namun mendapat perlakuan yang demikian penuh perhatian dan
baik, serta menerima latihan-latihan silat dengan penuh keikhlasan, timbul juga
rasa sayang dalam hatinya terhadap Iblis Hitam ini!
Atas paksaan Hek Moko, Kwee An menyebut ayah
kepada iblis pendek yang luar biasa ini, sedangkan Hek Moko menyebutnya
Siauw-moi atau Setan Kecil. Kwee An belajar dengan tekun dan rajin dan biarpun
ia merasa girang menerim latihan ilmu silat yang amat tinggi dan lihai dari
ayah angkatnya ini, namun diam-diam ia bergidik menyaksikan betapa ilmu silat
yang dipelajarinya ini benar-benar keji dan ganas! Akan tetapi baru satu bulan
saja mendapat kemajuan pesat sekali, oleh karena memang ia telah mempunyai
dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan pelajaran ini, mudah saja diterima
olehnya dan tentu saja Moko menjadi girang sekali. Ketika merasa bahwa ilmu
silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko lalu berkata,
“Siauw-mo anakku, sekarang kau takkan kalah
menghadapi Hai Kong!”
Kwee An menghaturkan terima kasih dengan
sepenuh hatinya. “Ayah, sekarang juga anakmu mau pergi mencari Kong untuk
membalas dendam karena kekalahan yang lalu!”
“Bagus, bagus! Tidak ada orang di dunia ini
yang boleh menghina anakku! Aku akan pergi bersamamu dan menghajar hwesio
gundul itu!”
Kwee An terkejut, karena ia ingin mencari Cin
Hai, bagaimana ia bisa nembawa serta ayah angkatnya ini? Ia lalu mencari akal
dan berkata,
“Ayah, apakah Ayah mau membikin aku menjadi malu?
Kalau Ayah ikut, Hai Kong akan menganggap bahwa aku takut kepadanya dan sengaja
mengajak kau orang tua! Untuk menghadapi Hai Kong saja, aku yang telah menerima
kepandaianmu, sudah cukup. Untuk apa Ayah harus mencapaikan diri dan mengotori
tangan untuk menghukum dia. Dan pula, bagaimana dengan hewan ternak di sini
kalau Ayah ikut pergi?”
Hek Moko terdiam dan tak dapat menjawab, ia
memikir bahwa anaknya ini benar juga dan pantas alasan-alasannya, maka ia lalu
mengurungkan maksudya hendak ikut. “Baiklah, kau pergi dan hajarlah hwesio itu.
Aku menunggumu di sini! Tetapi kau harus lekas kembali, dan jangan meninggalkan
Ayahmu lama-lama, Siauw-mo. Ingat, aku sudah tua sekali dan mungkin hidupku di
dunia ini takkan lama lagi!”
Ucapan ini menusuk perasaan Kwee An dan
menyentuh sanubarinya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Hitam
itu dan berkata,
“Ayah, aku takkan melupakan kau selama
hidupku!” Setelah berkata demikian, Kwee An lalu meninggalkan tempat itu. Ia
segera menuju ke tempat di mana dulu dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran
Vayami, akan tetapi di situ telah sunyi dan tidak terlihat sedikit pun
bekas-bekas adanya Cin Hai. Kwee An berdiri termenung di tepi sungai dengan
hati bingung dan sedih. Tiba-tiba terdengar gerakan perlahan di belakangnya dan
ia tahu bahwa itu adalah Hek Moko yang datang! Benar saja, suara Hek Moko
segera terdengar dan Iblis Hitam itu telah berada di belakangnya.
Kwee An segera menengok dan melihat bahwa ayah
angkatnya itu telah datang beserta Pek Moko yang kelihatan menyeramkan sekali
oleh karena wajahnya yang buruk itu kini nampak muram dan marah, sedangkan
rambutnya telah putih semua yang membuat ia nampak tua sekali! Iblis putih ini
memandang kepada Kwee An dengan tajam dan ia mengangguk-angguk sambil berkata,
“Anak pungutmu ini terlalu cakap, Suheng, tapi
ia cukup baik menjadi anakmu!”
Hek Moko tertawa senang dan berkata kepada
Kwee An, “Anakku, ini adalah Susiokmu yang bernama Pek Moko. Kau cukup
menyebutnya Pek-susiok saja!”
Kwee An berpura-pura belum pernah melihat Pek
Moko dan ia lalu berlutut memberi hormat, “Pek-susiok, terimalah hormat teecu.”
Pek Moko mengeluarkan suara jengekan dari
hidungnya. “Jangan terlalu menghormat, Siauw-mo, aku tidak biasa dihormati
orang seperti ini!”
Kwee An terkejut, akan tetapi Hek Moko hanya
tertawa senang.
“Siauw-mo, kau takkan dapat mencari Hai Kong
oleh karena hwesio itu telah pergi mencari Pulau Emas! Bahkan aku dan Susiokmu
ini pun hendak pergi ke sana pula. Hayo kau ikut kami dan tentu di sana kau akan
dapat bertemu dengan Hai Kong Hosiang!”
Kwee An menjadi girang, akan tetapi sebetulnya
ia tidak senang harus pergi bersama sepasang iblis ini. “Bagaimana Ayah bisa
tahu bahwa dia pergi ke Pulau Emas dan dimanakah letak pulau itu?” tanyanya.
Hek Moko lalu menceritakan pengalaman Pek
Moko. Ternyata bahwa ketika mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli, Pek
Moko dapat menemukan anak perempuannya itu dalam keadaan mati! Ong Hu Lin,
mantunya yang menjadi suami Pek Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah
dibawa pergi oleh isterinya yang gila, di tengah jalan lalu mencari akal dan
akhirnya pada suatu malam, ketika isterinya yang berotak miring itu sedang
tidur pulas, ia dengan kejam telah membunuh isterinya ini! Ketika Pek Moko
mendengar tentang hal ini, lalu mencari Ong Hu Lin dan setelah bertemu, ia
menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh kemarahan hingga tubuh Ong Hu Lin
dihancurkan sampai tidak karuan macamnya lagi! Peristiwa ini membuat Pek Moko
berduka sekali hingga seluruh rambutnya memutih dan wajahnya menjadi kejam dan
muram selalu. Kemudian dengan kebetulan Iblis Putih ini mendengar tentang
adanya Pulau Emas yang kini sedang dicari-cari dan agaknya dijadikan rebutan
antara orang-orang Turki, suku bangsa Mongol, dan oleh Pemerintah Kaisar
sendiri! Ia segera mencari kakak seperguruannya, yaitu Hek Moko dan setelah ia
menceritakan semua ini, Hek Moko lalu mengajak menyusul Kwee An yang baru saja
pergi dari situ untuk diajak bersama-sama pergi mencari Pulau Emas.
Kwee An yang mendengar semua cerita ini, lalu
berpikir pula bahwa besar kemungkinan Hai Kong Hosiang juga pergi mencari pulau
itu dan apabila Hai Kong pergi ke sana, maka jika Cin Hai masih hidup, tentu
pemuda itu mengejar juga ke sana! Oleh karena ini, tanpa ragu-ragu pula ia lalu
menyatakan kesediaannya untuk ikut dengan Hek Moko ini. Berbeda dengan
rombongan Nelayan Cengeng, Hek Pek Moko menuju ke laut melalui jalan darat dan
mengikuti sepanjang tepi sungai.
Cin Hai yang tertolong oleh Bu Pun Su dan
telah sembuh dari pengaruh madu merah yang mujijat dan setelah pikirannya pulih
kembali seperti biasa dan dapat mengingat semua kejadian telah lalu, merasa
berduka sekali oleh karena tidak tahu bagaimana keadaan Kwee An dan Lin Lin.
Terutama sekali ia merasa gelisah dan bingung jika teringat akan nasib Lin Lin
yang tertawan oleh perwira Boan Sip! Ingin sekali ia segera bertemu dengan Boan
Sip untuk membuat perhitungan dan menumpahkan rasa dendam dan marahnya, akan
tetapi ke mana harus mencari orang she Boan itu?
Ang I Niocu maklum akan kesedihan Cin Hai ini,
akan tetapi ia sendiri pun tidak berdaya dan hanya mengucapkan kata-kata
hiburan di sepaniang perjalanan. Untuk menghibur hati pemuda yang gelisah ini,
Ang I Niocu lalu bertanya dan minta ia mengutarakan tentang pertempuran dengan
Hai Kong Hosiang.
“Hwesio itu benar-benar telah mendapat
kemajuan dalam ilmu silatnya,” kata Cin Hai. “Sukar sekali bagiku untuk
merobohkannya, walaupun aku dapat mengimbangi semua serangannya. Ia agaknya
sudah kenal baik serangan-seranganku yang berdasarkan Liong-san-kun-hwat dan
Ngo-lian-hwat, hingga dapat berjaga diri dengan baik. Juga dalam ilmu
kepandaian lweekang, hwesio itu kini amat kuat dan jauh lebih kuat daripada
dulu.”
Ang I Niocu mendengarkan dengan penuh
perhatian ketika Cin Hai menuturkan jalannya pertempuran. Kemudian Gadis Baju
Merah yang telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran ini, lalu berkata,
“Hai-ji, cabutlah pedangmu dan mari coba kuuji
sampai di mana kepandaianmu!”
Cin Hai terkejut, akan tetapi ketika ia
melihat sinar mata Ang I Niocu, ia maklum bahwa Dara Baju Merah ini hendak
memberi petunjuk-petunjuk kepadanya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mencabut
pedangnya Liong-coan-kiam, sedangkan Ang I Niocu juga sudah mencabut keluar
pedangnya.
“Awas serangan!” kata Ang I Niocu yang lalu
menyerang dengan pedangnya. Sebagaimana biasa, sekali pandang saja secara
otomatis Cin Hai dapat mengenal dasar gerakan serangan ini, maka dengan mudah
ia pun lalu mengelak dan balas menyerang. Ang I Niocu terus menyerang dan
mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sian-li Kiam-sut yang
mempunyai gerakan indah dan daya serang luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi Cin
Hai dengan amat mudahnya mengetak dan menangkis serangan ini dengan tepat dan
sempurna.
“Kaubalaslah menyerang, jangan menahan diri
saja,” teriak Ang I Niocu sambil mengirim tusukan. Cin Hai lalu balas menyerang
dan oleh karena ia tidak mengenal lain ilmu pedang maka ia pun lalu menyerang
dengan Sian-li Kiam-sut yang ditirunya dari Ang I Niocu.
Tentu saja serangan ini amat mudah dikenal dan
diketahui perubahan atau perkembangannya oleh Ang I- Niocu hingga gadis ini
mudah saja mengelak atau menangkis.
“Jangan menyerang dengan Sian-li Kiam-sut,
tidak ada gunanya! Pakailah ilmu pedang lain!” Ang I Niocu berseru lagi sambil
terus menyerang lagi.
Cin Hai tahu kekeliruannya oleh karena
menghadapi gadis yang menjadi ahli Silat Bidadari itu, sungguh tolol kalau
mempergunakan ilmu pedangnya dan kini memainkan Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hwat
yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin. Ia sekarang telah memiliki ilmu
ginkang dan lweekang yang sangat tinggi oleh karena menerima latihan dari Bu
Pun Su secara istimewa yakni mempelajari dasar-dasarnya hingga boleh dibilang
Cin Hai telah memiliki kepandaian pokok yang mutlak. Akan tetapi oleh karena
pengetahuannya tentang ilmu silat hanya dangkal saja, yaitu terbatas pada ilmu
silat dari Liong-san-pai dan ilmu silat yang ia pelajari dari An I Niocu, maka
daya tempurnya amat lemah. Memang kalau menghadapi orang yang belum matang
betul dalam hal ilmu silat tinggi, dengan mudah saja Cin Hai akan dapat
mengalahkannya, akan tetapi apabila menghadapi tokoh persilatan yang tinggi dan
matang ilmu pedangnya, pemuda ini hanya dapat bertahan saja dengan luar biasa
uletnya, akan tetapi juga sukar untuk melancarkan serangan-serangan lain
kecuali kedua macam ilmu silat yang telah dipelajarinya itu, hingga menghadapi
tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek Moko atau Hai Kong Hosiang, juga menghadapi
Ang I Niocu pemuda ini menjadi pihak yang selalu didesak dan diserang,
sungguhpun harus diakui bahwa semua serangan itu dapat ditangkis atau
dielakkannya dengan amat mudah oleh karena ia telah tahu betul akan
perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!
Ang I Niocu menghabiskan seluruh kepandaiannya
untuk digunakan menyerang anak muda itu, akan tetapi tak sedikit pun ia dapat
mempengaruhi atau mengacaukan Cin Hai yang istimewa. Diam-diam gadis ini merasa
kagum sekali oleh karena boleh dibilang di dunia ini tidak ada keduanya bila
dicari orang yang dapat mempertahankan diri sedemikian baiknya terhadap
serangan-serangannya yang dilakukan sampai semua jurus Sianli Kiam-sut habis
dimainkan tanpa nampak terdesak sedikit pun! Akan tetapi biarpun
serangan-serangan Cin Hai luar biasa dahsyatnya, namun baginya serangan-serangan
itu kurang berbahaya, dan kelihaiannya hanya terdorong oleh tenaga lweekang dan
gerakan yang hebat dari anak muda itu dan sama sekali bukan karena ilmu
pedangnya yang hebat.
“Benar seperti yang kuduga!” Ang I Niocu
berseru sambil melompat mundur. Cin Hai menahan pedangnya. “Memang benar,
Susiok-couw hanya memberi pokok-pokok dasar ilmu silat kepadamu, tanpa memberi
pelajaran penting untuk melakukan penyerangan. Mengapa engkau dulu tidak mau
minta supaya orang tua yang aneh itu menurunkan satu atau dua macam ilmu silat
agar dapat kaugunakan untuk menyerang lawan?”
Dengan tersenyum Cin Hai berkata, “Niocu,
apakah kau masih belum kenal adat Suhu yang kukoai (aneh)? Kalau dia sendiri
tidak menghendaki, biarpun diminta sampai menangis pun takkan ia berikan!”
Ang I Niocu memang sungguh-sungguh sayang
kepada Cin Hai, maka pada saat itu gadis ini memutar-mutar otaknya demi
kebaikan anak muda itu. Ia tahu bahwa dengan kepandaiannya yang sekarang ini,
Cin Hai tak usah merasa takut terhadap seorang lawan yang mana pun juga, akan
tetapi, tanpa memiliki daya serang yang lihai, bagaimana ia akan dapat
menjatuhkan musuh-musuhnya? Apalagi sekarang masih ada seorang musuh yang amat
tangguh, yaitu Hai Kong Hosiang yahg agaknya dibantu oleh pendeta tua renta
yang gagu dan lihai sekali itu. Kalau pemuda ini tidak memiliki ilmu serangan
yang dahsyat, banyak kemungkinan mendapat celaka dari tangan Hai Kong Hosiang.
Cin Hai yang melihat betapa Ang I Niocu
termenung, lalu meninggalkan gadis itu untuk mengumpulkan kayu kering. Mereka
telah tiba dalam sebuah hutan dan hari telah mulai gelap, sedangkan di tempat
itu banyak nyamuk dan hawa dingin.
Tiba-tiba Ang I Niocu melompat ke atas dan
berkata dengan girang. “Benar, benar! Kau harus melakukan itu,” katanya kepada
Cin Hai hingga pemuda ini tentu saja menjadi terheran-heran oleh karena tidak
mengerti apakah yang dimaksudkan oleh gadis itu yang nampak demikian gembira.
“Hai-ji, kau harus menciptakan ilmu pedang
sendiri!” katanya kepada Cin Hai.
Cin Hai terkejut dan mukanya menjadi merah.
“Ah, Niocu, kau ini ada-ada saja! Aku yang bodoh dan tolol ini mana bisa
menciptakan ilmu pedang? Jangan mentertawakan aku, Niocu!”
“Anak bodoh! Merendahkan diri di depan orang
lain memang baik, akan tetapi memandang rendah kesanggupan sendiri hanya
dilakukan oleh orang-orang malas dan kurang semangat. Kau dapat melihat
dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau memang mau, mengapa kau tidak
bisa menggabungkan semua ilmu silat itu menjadi satu dan menciptakan sendiri gerakan-gerakan
serangan yang kauanggap tepat dan lihai?”
Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh oleh
karena memang belum mengerti. “Niocu, tolong kauberi tahu kepadaku, bagaimana
caranya!”
Ang I Niocu lalu memberi penjelasan dengan
sabar dan telaten. “Hai-ji, terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa
Sianli Utauw atau Tarian Bidadari itu pun aku sendiri yang menciptakan. Maka
kalau kau memang tekun, kau pun pasti akan dapat mencipta ilmu pedang yang
tidak ada keduanya di dunia ini. Caranya begini. Kauperhatikan dan ingat semua
ilmu silat yang telah kaulihat dan lalu kaupilih gerakan-gerakan serangan musuh
yang dilancarkan kepadamu. Mana yang kauanggap lihai dan baik, boleh kaupilih.
Kemudian gerakan-gerakan ini lalu kaurangkai menjadi semacam ilmu pedang yang
lihai. Tentu saja kau harus merubahnya sedikit agar tidak sama dengan aselinya
lagi, dan bahkan harus diperbaiki mana yang kurang tepat. Hanya kau dan
Susiok-couw yang mempunyai kemampuan seperti ini.”
Mendengar ucapan Ang I Niocu, diam-diam Cin
Hai lalu tertarik hatinya. Mengapa tidak ia coba? Memang tidak enak kalau
selalu mempertahankan serangan orang, dan pula memang memang memalukan kalau
menghadapi seorang lawan lalu menyerang lawan itu dengan ilmu silat yang
ditirunya dari lawan itu sendiri. Alangkah senangnya kalau ia memiliki ilmu
pedang sendiri yang dapat dibanggakan.
Cin Hai lalu duduk termenung dan ia lalu
bersamadhi mengumpulkan seluruh perhatian dan perasaannya. Ia bayangkan semua
ilmu-ilmu silat yang telah dilihatnya. Oleh karena ia telah mempunyai dasar
batin yang kuat dan pikirannya telah jernih oleh latihan-latihan napas dan
samadhi, maka sebentar saja di dalam otaknya terlintas semua gerakan ilmu silat
yang pernah dilihatnya. Di antara semua ilmu silat, gerakan-gerakan Hek Pek
Moko yang paling dahsyat dan kejam, sedangkan ilmu silat dan gerakan-gerakan
Ang I Niocu yang ia anggap paling indah dan baik. Ia lalu mengumpulkan
ingatannya dan mencatat di dalam hati gerakan-gerakan yang dianggapnya paling
lihai, kemudian dengan mata masih meram dan membayangkan gerakan-gerakan itu,
tubuhnya lalu berdiri dan bergerak-gerak menurut gambaran gerakan yang masih
tampak di dalam matanya yang meram itu.
Ang I Niocu mengikuti gerakan pemuda ini
dengan heran dan kagum. Ia melihat betapa Cin Hai memainkan ilmu-ilmu silat
yang aneh-aneh dan bermacam-macam, bahkan di situ ia lihat pula Cin Hai
memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-san Kun-hwat. Ia tahu bahwa pemuda itu
sedang memilih-milih, maka ia tidak mau mengganggu, hanya mencari tambahan kayu
kering dan menjaga agar api unggun itu tidak padam. Setengah malam lebih Cin
Hai tiada hentinya bergerak ke sana ke mari sambil memejamkan mata. Ia tidak
merasa bahwa ia telah bersilat selama itu, sedangkan Ang I Niocu masih tetap
duduk di dekat api dengan setia. Ia sedikitpun tidak mau mengganggu Cin Hai dan
hanya mernandang pemuda yang disayanginya itu dengan penuh harapan.
Setelah lewat tengah malam tiba-tiba Cin Hai
menghentikan gerakan-gerakannya dan mukanya menjadi agak pucat. Ia memandang kepada
Ang I Niocu dan berkata, “Niocu, terima kasih atas petunjuk dan nasihatmu tadi.
Agaknya aku telah mendapatkan semacam ilmu silat ciptaanku sendiri.”
Ang I Niocu girang sekali dan berkata, “Coba
kau sempurnakan ilmu itu dengan pedang, Hai-ji!”
Cin Hai lalu mencabut pedangnya dan berkata
lagi,
“Ketika aku bersilat dan mengumpulkan
tipu-tipu gerakan semua cabang persilatan yang pernah kulihat, tiba-tiba aku
melihat bahwa memang selama ini aku terlalu lemah dan tidak mempunyai pikiran
untuk membalas menyerang lawan. Aku tidak ingat bahwa tak perlu aku kerahkan
seluruh perhatian untuk pertahanan, karena sebetulnya aku telah memiliki daya
tahan yang otomatis dan tak perlu menggunakan seluruh perhatian lagi. Oleh
karena kesalahan itu, maka dulu aku tidak melihat lowongan-lowongan dan
kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat kumasuki untuk merobohkan lawan.”
Setelah berkata demikian, ia menghampiri serumpun bambu dan tetumbuhan lain
yang tumbuh dengan suburnya di dekat situ. Tetumbuhan itu penuh dengan
daun-daun hingga batang-batangnya yang kecil hampir tak tampak dari luar dan
oleh karena angin malam pada saat itu bertiup kencang, maka semua daun-daun itu
yang berbentuk runcing bagaikan ratusan senjata menyerang ke depan dan
melindungi batang-batang mereka yang kecil.
Cin Hai lalu membayangkan bahwa ratusan daun
itu adalah senjata-senjata musuh yang melindungi tubuh musuh, dan bahwa ia
harus berusaha menyerang tubuh-tubuh musuh yang kini dilindungi oleh ratusan
pisau yang bergerak-gerak itu. Ia lalu menggerakkan Liong-coan-kiam di tangan
kanannya dan mulai bersilat dengan gerakan aneh. Gerakannya mula-mula lambat
dan mengintai rumpun itu, akan tetapi makin lama makin cepat. Ia berusaha untuk
melukai tubuh-tubuh yang bersembunyi di balik ratusan senjata itu tanpa mengadu
pedangnya dengan senjata itu! Hal ini tentu saja sukar bukan main oleh karena
ratusan daun itu bergerak-gerak cepat dan tidak menentu karena tertiup angin
hingga tubuh-tubuh atau batang-batang itu hanya nampak sekelebat dan sekilat
saja! Akan tetapi, Cin Hai berlaku cepat dan hati-hati dan tiap kali daun-daun
itu bergerak dan sebatang pohon kecil nampak, biarpun hanya sekilas, namun
dengan pedangnya telah memasuki lowongan itu dan tepat ujung pedangnya menusuk
batang itu tanpa mematahkannya!
Gerakan-gerakan pedangnya ini luar biasa
sekali hingga Ang I Niocu yang masih duduk di dekat api, ketika melihat ini
menjadi kagum sekali. Ia merasa begitu bergembira, hingga diam-diam ia pun
menggerakkan kedua tangan dan bersilat meniru-niru dan mengimbangi gerakan
pedang Cin Hai! Ia melihat betapa gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak
kaku, maka sambil menggerakkan kedua tangannya, ia berkali-kali menyerukan
bahwa tangan kiri pemuda itu harus begini dan sikap tubuhnya harus begitu!
Pendeknya, Cin Hai pada saat itu sedang menciptakan semacam ilmu pedang
bersama-sama Ang I Niocu. Cin Hai mencipta ilmu pedangnya, sedangkan Gadis Baju
Merah itu memperbaiki gerak gayanya!
Setelah Cin Hai selesai bersilat, Ang I Niocu
lalu menghampiri rumpun bambu dan ketika ia membuka daun-daun yang menutupnya,
ternyata batang-batang yang puluhan jumlahnya itu semua telah berlubang bekas
tusukan ujung pedang Ci Hai! Ang I Niocu bersorak girang dan menari-nari
bagaikan anak kecil!
Cin Hai juga merasa girang sekali dan ia tidak
menolak ketika Ang I Niocu mengajak ia sekali lagi bertanding dan ia harus
mempergunakan ilmu pedangnya yang baru saja diciptakannya itu! Dan hasilnya
benar-benar hebat! Tiap jurus apabila Cin Hai menyerang selalu serangannya ini
membingungkan Ang I Niocu dan kalau saja pemuda itu menyerang dengan
sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus saja Pendekar Wanita Baju Merah ini pasti
akan roboh! Ternyata bahwa Cin Hai telah menciptakan sebuah ilmu pedang yang
benar-benar luar biasa, oleh karena ilmu pedangnya ini didasarkan atas
kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan ilmu silat lain yang telah
dilihatnya. Ia menggunakan kesempatan untuk mengisi lowongan-lowongan dan
menyerbu bagian-bagian yang lemah dari gerakan-gerakan aneh, bahkan kadang-kadang
kedudukan kaki atau tangannya berbalik dan merupakah kebalikan daripada gerakan
ilmu silat biasa!
Ang I Niocu merasa girang sekali dan minta Cin
Hai bersilat pedang lagi seorang diri. Pada gerakan yang kaku, gadis yang
memang ahli tari dan memiliki gerak gaya indah ini lalu memperbaiki tanpa
merusak gerakan aseli.
Sampai fajar menyingsing, kedua orang ini
tiada hentinya melatih, atau lebih tepat lagi Cin Hai melatih diri dan Ang I
Niocu membantunya dengan nasihat-nasihat mengenai keindahan gerakannya. Semalam
suntuk mereka tidak beristirahat.
Pada keesokan harinya mereka hanya
beristirahat sebentar kemudian Cin Hai kembali melatih diri dengan ilmu silat
pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu melihat dari samping memberi petunjuk di
bagian yang masih kaku gerakannya. Walaupun ilmu pedang ini dapat dilihat dan
ditiru oleh Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena untuk mempergunakan ilmu
pedang ini harus sebelumnya dimiliki kepandaian dan pengertian pokok tentang
segala gerakan ilmu silat sebagaimana yang telah dimiliki Cin Hai, maka ilmu
pedang ini tidak akan ada gunanya bagi Ang I Niocu. Pendeknya, tanpa
pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Pun Su, orang lain tidak mungkin
mempergunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan!
Demikianlah, setelah berlatih terus-menerus
selama tiga hari tiga malam, akhirnya ilmu pedang ini dapat dimainkan dengan
baik sekali oleh Cin Hai hingga Ang I Niocu menjadi puas dan girang. Ketika ia
mencoba untuk melawan ilmu pedang ini dengan ilmu pedangnya, maka dalam tiga
jurus saja pedangnya telah dapat dirampas oleh Cin Hai.
“Aduh Hai-ji! Ilmu pedangmu ini benar-benar
luar biasa dan jangankan Hai Kong Hosiang biarpun Hek Pek Moko sendiri tentu
akan roboh di tanganmu! Kionghi, kionghi! (Selamat).”
Tiba-tiba terdengar suara orang berkata dengan
suara nyaring, “Ya, kionghi, kionghi! Akan tetapi hati-hatilah kau, Cin Hai
agar ilmu jahat ini tidak merusak hatimu menjadi jahat dan kejam pula!”
Cin Hai dan Ang I Niocu terkejut sekali dan
tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di dekat mereka!
“Cin Hai, ilmu pedang tadi memang baik sekali
dan tidak kusangka bahwa kau yang bodoh ini dapat mencipta ilmu pedang seperti
itu! Akan tetapi oleh karena kau melatih dengan melukai batang-batang bambu
dengan ujung pedangmu, maka apabila menghadapi lawan, kau baru akan dapat
merobohkan dia dengan tusukan yang melukainya pula! Ini jahat sekali, muridku!”
Cin Hai merasa bingung dan terkejut sekali
oleh karena memang betul seperti yang dikatakan oleh gurunya ini. Tadi ia
berhasil merampas pedang Ang Niocu oleh karena gadis pendekar itu terlalu
terdesak oleh ilmu pedangnya hingga memungkinkan ia menyambar dan merampas
pedang gadis itu, sedangkan kalau bertempur dengan lawan yang melawan
mati-matian, maka untuk merobohkannya ia harus mempergunakan pedangnya yang
mengirim serangan-serangan maut itu!
“Mohon ampun, Suhu, dan sudi memberi
petunjuk-petunjuk kepada teecu,” katanya.
Bu Pun Su tersenyum dan tiba-tiba dengan suara
sungguh-sungguh ia berkata, “Coba cabutlah pedangmu itu dan seranglah aku!”
Cin Hai tidak ragu-ragu untuk melakukan hal
ini oleh karena ia mempunyai kepercayaan penuh akan kesaktian suhunya, maka
setelah memberi hormat sekali lagi, ia lalu mencabut Liong-coan-kiam dan
menyerangnya dengan hebat. Pedangnya berkelebat merupakan sinar yang
melenggang-lenggok dan ia telah mempergunakan jurus ke lima yang dianggapnya
cukup berbahaya. Ia maklum bahwa suhunya memiliki mata tajam sekali dan telah
hafal sekali akan segala gerakan pundak yang mendahului semua gerakan pukulan
tangan dan juga telah tahu akan pergerakan lutut yang mendahului semua gerakan
kaki, maka ia lalu mengeluarkan serangan jurus ke lima ini. Memang dalam
menciptakan ilmu pedangnya, Cin Hai juga memikirkan kemungkinan apabila
menghadapi seorang yang telah mempunyai kepandaian melihat gerakan orang
seperti yang sudah dipelajarinya dari Bu Pun Su, maka dalam beberapa gerakan ia
sengaja membuat ilmu serangan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan terbalik!
Menurut gerakan ilmu silat biasa, jika pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda
bahwa pedang di tangan kanannya akan ditusukkan ke depan, akan tetapi belum
juga pedangnya menusuk, secepat kilat gerakan itu telah dibalik dan menjadi
sabetan pada kedua kaki lawan dan sebelum sabetan ini diteruskan, telah
dibalikkan pula dan menjadi sebuah serangan memutar ke arah leher!
“Ganas sekali!” Bu Pun Su berseru sambil
meloncat ke belakang oleh karena guru yang lihai ini benar-benar tercengang dan
terkejut melihat kehebatan serangan muridnya. “Hayo kauserang terus dan
keluarkan semua ilmu pedangmu yang liar ini!” katanya dan Cin Hai tak berani
membantah dan segera maju menyerang terus.
Akan tetapi, ilmu meringankan tubuh dari Bu
Pun Su sudah sampai di tingkat tertinggi hingga boleh dibilang tubuhnya seperti
sehelai bulu yang dapat bergerak pergi tiap kali angin pedang menyambar hingga
biarpun pedang Cin Hai hampir menyerempet pakaian kakek itu, namun tetap pedang
itu tak dapat melukainya! Namun benar-benar kali ini Bu Pun Su menghadapi
semacam ilmu pedang yang luar biasa dan hanya dengan mengerahkan seluruh
ginkangnya saja maka ia dapat mengelak bagaikan seekor burung beterbangan di
antara sambaran pedang! Ang I Niocu memandang demonstrasi yang dilakukan oleh
guru dan murid ini dengan mata terbelalak saking kagum dan herannya. Selama
hidupnya belum pernah ia melihat kelihaian seperti ini dan hatinya diam-diam
girang sekali memikirkan bahwa Cin Hai kini telah menjadi seorang jago pedang
tingkat tinggi!
Ilmu pedang Cin Hai semuanya ada tiga puluh
sembilan dan setelah dimainkan semua, akhirnya pemuda ini meloncat ke belakang
sambil berkata dengan napas terengah-engah, “Sudahlah, Suhu, teecu tak kuat
lagi!” Ia lalu berlutut dengan muka merah karena hatinya kecewa betapa dengan
mudahnya kakek itu dapat mengelak serangannya. Ia anggap ilmu pedangnya ini
tiada gunanya sama sekali dan bahwa ia telah menyia-nyiakan waktu tiga hari
tiga malam!
“Ha, ha ha.” Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh
karena kakek ini maklum dan dapat membaca isi hati Cin Hai dari muka pemuda
itu, “Jangan kau kecewa, Cin Hai. Ketahuilah, ilmu pedang yang baru saja kau
mainkan ini kehebatannya jauh melebihi dugaanku semula!”
“Mohon Suhu jangan mentertawakan kebodohan
teecu,” kata Cin Hai.
“Siapa mentertawakan kau? Anak bodoh, dengan
ilmu pedangmu ini, kau boleh menjelajah di seluruh negeri dan mengharapkan
kemenangan dari setiap pertempuran! Akan tetapi, jangan kira bahwa aku merasa
senang atau bangga melihat ilmu pedangmu ini! Kaukira aku tidak percaya atau
tidak suka kepadamu maka aku tak pernah menurunkan ilmu kepandaian menyerang
kepadamu? Ketahuilah, dan kau juga Im Giok, aku memang sengaja tidak
mengajarkan ilmu serangan kepadamu, oleh karena apakah baiknya menyerang orang?
Akan tetapi, memang segala apa sudah ditentukan oleh takdir hingga kau yang
tidak mempelajari ilmu menyerang, ternyata kini menghadapi banyak musuh yang
lihai. Dan jangan kauanggap bahwa ilmu pedangmu ini saja akan cukup kuat untuk
menghadapi Si Rangka Hidup Kam Ki Sianjin, supek dari Hai Kong Hosiang itu! Ah,
kau terlalu mengunggulkan diri kalau kau mempunyai pikiran demikian! Di dunia
ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai dan mungkin kalau sewaktu-waktu
kau akan menemui musuh yang lebih lihai lagi! Sekarang kau telah berhasil
menciptakan semacam ilmu menyerang, maka biarlah agar jangan kepalang tanggung,
kau pelajari juga Ilmu Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih) dan Ilmu Silat
Tangan Kosong Kong-ciak-sin-na.”
Bukan main girang rasa hati Cin Hai dan segera
mengangguk-anggukkan kepala menghaturkan terima kasih.
“Juga kau yang telah banyak membuat jasa boleh
mempelajari ilmu ini, Im Giok.” Ang I Niocu lalu berlutut dan mengucapkan
terima kasih pula.
Demikianlah, selama dua pekan, Bu Pun Su
memberi pelajaran dua macam ilmu silat itu kepada Cin Hai dan Ang I Niocu yang
dipelajari dengan penuh perhatian oleh kedua pendekar muda itu. Pek-in-hoat-sut
adalah ilmu sihir yang sebetulnya hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena
ilmu ini gerakan ilmu silat yang sepenuhnya digerakkan oleh tenaga khikang
hingga dari kedua kepalan tangan yang memainkannya keluar uap putih bagaikan
awan yang dapat menolak setiap hawa serangan yang bagaimana jahat pun dari
lawan! Uap ini terjadi dari keringat yang berubah menjadi uap sebagai akibat
dari dorongan tenaga khikang yang panas dan disalurkan ke arah kedua lengan
dalam setiap serangan. Biarpun lawan menggunakan ilmu hitam atau pukulan keji
seperti Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) dan lain-lain, apabila bertemu
dengan orang yang mempergunakan Pek-in-hoat-sut ini akan mati kutunya, tenaga
serangan mereka yang buyar dengan sendirinya. Oleh karena tenaga hebat inilah
maka ilmu ini disebut ilmu sihir!
Ilmu ke dua adalah Ilmu Silat Tangan Kosong
Kong-ciak-sin-na atau Ilmu Silat Tangan Kosong Burung Merak. Gerakan-gerakan
ilmu silat ini selain memukul, juga menggunakan jari-jari tangan untuk
mencengkeram dan merampas senjata musuh hingga tepat sekali dipergunakan dengan
tangan kosong apabila menghadapi lawan yang bersenjata.
Setelah kedua orang itu mempelajari dua macam
ilmu silat itu dengan sempurna, Bu Pun Su lalu berkata,
“Cin Hai dan Im Giok! Biarpun kalian tidak
bertanya, akan tetapi aku maklum bahwa kalian ingin sekali mendengarkan tentang
nasib Lin Lin.”
Cin Hai mendengarkan dengan wajah tiba-tiba
berubah pucat, sedang Ang I Niocu juga mendengarkan dengan hati berdebar
khawatir.
“Kalian jangan khawatir, menurut dugaanku Lin
Lin telah selamat dan kalau tidak keliru ia sedang melakukan perjalanan dengan
kawan-kawan baik. Sekarang ada hal yang lebih penting lagi. Orang-orang Turki
dan orang-orang Mongol sedang berlomba untuk merebut sebuah pulau di laut timur
dan apabila pulau ini sampai terjatuh ke dalam tangan mereka, maka bahaya besar
mengancam seluruh negeri! Aku menyaksikan dengan mata sendiri, betapa ratusan
orang-orang Turki dan Mongol dengan diam-diam dipimpin oleh orang-orang berilmu
dari kedua bangsa itu dan secara bersembunyi mereka menyerbu ke daerah timur
untuk berlomba menemukan pulau itu. Oleh karena ini, kalian berdua segera
berangkatlah ke laut timur melalui sungai yang mengalir di sebelah utara ini,
oleh karena hanya di sana saja, maka kalian akan dapat bertemu dengan Lin Lin,
bahkan mungkin dapat bertemu dengan musuh besarmu yang bernama Hai Kong Hosiang
itu. Nah, sekarang aku hendak pergi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu maklum akan sikap aneh
dari orang tua ini yang bicaranya selalu mengandung rahasia. Mereka maklum pula
bahwa mereka secara membuta mereka harus menurut petunjuk ini, oleh karena
petunjuk ini pasti betul dan biarpun tidak jelas, namun kalau tidak nyata
takkan dikeluarkan dari mulut kakek luar biasa itu.
Tanpa menunda lagi, Cin Hai dan Ang I Niocu
berlari cepat ke utara dan tak lama kemudian mereka bertemu dengan sungai yang
melintang dan mengalir ke arah timur itu. Di situ tidak terlihat perahu dan
keadaannya sunyi sekali, maka keduanya lalu mempergunakan ilmu lari cepat dan
mengikuti aliran sungai menuju ke timur. Akan tetapi, jalan di tepi sungai itu
sukar sekali, penuh rawa dan hutan-hutan berbahaya, juga amat sukar dilalui.
Setelah mereka berlari selama dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun
kecil dan mereka menjadi girang ketika melihat beberapa buah perahu diikat di
pinggir sungai. Segera Cin Hai mencari pemilik perahu untuk disewa atau
dibelinya. Dua orang menghampiri mereka dan bertanya, “Jiwi membutuhkan perahu?”
“Betul,” kata Cin Hai dengan girang. “Kami
berdua hendak menyewa atau membeli sebuah perahu.”
“Membeli?” kedua orang itu saling pandang “Ah,
Kongcu. Di sini tidak ada yang mau menjual perahunya. Pernah kau mendengar ada
orang menjual isterinya?”
“Apa katamu?” Cin Hai bertanya heran, dan tak
senang, oleh karena menyangka bahwa nelayan itu hendak mempermainkannya.
“Kongcu hendak membeli perahu, sedangkan
sebuah perahu adalah sama dengan seorang isteri bagi seorang nelayan. Siapakah
yang mau menjual perahu atau isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian berdua
hendak menyewa, boleh kalian pakai perahuku ini. Biarpun kecil, tetapi kuat dan
laju!”
Cin Hai tersenyum geli. “Boleh, aku hendak
menyewa perahumu ini.”
“Jiwi hendak ke manakah?” tanya nelayan yang
seorang lagi.
Ang i Niocu tidak senang melihat ada orang
lain ikut bicara, bahkan bertanya tentang maksud kepergian mereka.
“Apa perlunya kau ikut campur dan bertanya ke
mana kami hendak pergi?” tanyanya tak senang.
Orang itu berkata sambil mengangkat dadanya,
“Aku berhak penuh untuk ikut campur, oleh karena perahu ini adalah milik kami
berdua!”
Cin Hai tertawa. “Aha, kalau begitu isterimu
ini mempunyai dua orang suami?”
Kedua orang nelayan itu tertawa. “Kongcu, kami
adalah orang-orang miskin, dan dua orang memiliki sebuah perahu saja.”
“Kami berdua hendak menuju ke laut dan hendak
mencari sebuah pulau.”
Kedua orang itu nampak terkejut sekali. “Apa?
Hendak mencari pulau? Apakah Pulau Emas?”
Cin Hai dan Ang I Niocu tercengang, akan tetapi
mereka memang hendak menyelidiki pulau yang belum pernah meraka ketahui ini
sedangkan Bu Pun Su juga tidak memberi penjelasan, maka Cin Hai lalu tersenyum
dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, kami mencari Pulau Emas!”
Tiba-tiba seorang di antara kedua nelayan itu
menjadi pucat dan berkata kepada kawannya, “Twako, marilah kita pergi dan
jangan melayani mereka ini. Agaknya mereka ini pun sudah kegilaan emas dan
mungkin akan timbul malapetaka lagi apabila kita membawa mereka seperti hal
kita tempo hari itu!”
Cin Hai menjadi tertarik, dan Ang I Niocu
segera membentak,
“Apakah yang terjadi? Apa ada orang lain yang
juga mencari Pulau Emas itu?”
Kedua nelayan itu saling pandang dan keduanya
lalu berdiri hendak meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak berani menjawab.
Ang I Niocu lalu meloncat dan sekali tangannya bergerak, maka pedang yang tajam
telah dicabutnya dari pedang itu kini menempel di leher seorang nelayan,
“Ke mana engkau hendak pergi? Jangan
main-main, sebelum kalian menceritakan hal itu kepada kami, jangan harap akan
dapat pergi dengan kepala menempel di lehermu!”
Nelayan itu menghela napas. “Apa kataku,
Twako? Benar-benar Pulau Emas itu pulau berhantu dan setan-setan saja yang
berani mengunjungi pulau itu! Toanio, harap kau berlaku murah dan jangan begini
galak. Kami hanya nelayan-nelayan biasa saja dan kalau Toanio menghendaki,
baiklah kami tuturkan pengalaman kami. Beberapa hari yang lalu, kami kedatangan
seorang asing yang sangat murah hati dan royal dengan hadiah-hadiahnya. Ia
minta kami suka mendayung perahunya yang besar, oleh karena ia berkata bahwa ia
tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi ke laut dan mencari Pulau Emas seperti
kalian pula. Akan tetapi, pada suatu malam, perahu orang asing bangsa Turki ini
kedatangan seorang perwira yang galak dan gagah, sedangkan perwira ini ketika
datangnya saja sudah sangat aneh dan menakutkan yaitu ia mengempit tubuh
seorang gadis muda yang cantik jelita!”
Berdebarlah hati Cin Hai dan Ang I Niocu.
Bukankah gadis yang dimaksudkan ini Lin Lin adanya? Akan tetapi Cin Hai lalu
mendesak, “Teruskan, teruskan ceritamu!”
“Setelah perwira galak ini naik ke dalam
perahu kami, maka kami berdua lalu mendapat perintah untuk mendayung perahu dan
sepanjang yang kami dengar, perwira itu tadinya hendak membunuh gadis yang
ditawannya, akan tetapi maksudnya dihalangi oleh orang asing itu, dan agaknya
Si Perwira takut dan tunduk kepadanya. Gadis itu lalu ditahan di dalam kamar
perahu dan tidak diganggu. Akan tetapi, memang setan berkeliaran di atas sungai
ini! Tiba-tiba perahu yang kami dayung itu bertumbuk dengan sebuah perahu lain
yang biarpun kecil, akan tetapi maju dengan kuat hingga perahu kami terhalang.
Dan yang lebih hebat lagi, ketika kami menegur nelayan tua yang berada di
perahu kecil itu, ia menjadi marah dan sekali pukulkan dayungnya yang besar,
perahu yang kami dayung menjadi pecah dan bocor hingga tenggelam!”
“Nelayan Cengeng!” tak terasa lagi Cin Hai
berseru. Nelayan yang bercerita itu menjadi kaget karena menyangka bahwa dialah
yang dimaki cengeng tetapi sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah
mendesaknya lagi. “Teruskanlah, teruskanlah!”
“Penumpang-penumpang kami orang Turki yang
aneh dan perwira yang galak itu menjadi marah dan melompat ke darat, sedangkan
gadis cantik yang ditawan itu pun tak tersangka-sangka lihai juga dan dapat
melompat ke darat! Kami berdua tak dapat melompat sejauh itu maka kami lalu
menceburkan diri ke dalam air dan berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu
terjadi pertempuran hebat! Orang Turki bertempur melawan nelayan tua yang
memegang dayung dan yang telah memecahkan perahu kami, sedangkan Si Perwira
dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang pemuda tampan kawan nelayan tua
itu.”
“Ma Hoa!” kata Ang I Niocu dan kembali nelayan
itu memandang heran karena tidak tahu maksud Dara Baju Merah yang berseru
karena amat tertarik mendengar penuturan ini.
“Dan bagaimana hasil pertempuran itu?” Cin Hai
mendesak dengan tak sabar, karena ia telah merasa pasti bahwa yang mengeroyok
perwira itu tentu Lin Lin dan Ma Hoa dan yang bertempur melawan orang Turki
tentu Si Nelayan Cengeng.
“Kesudahannya mengerikan sekali...” nelayan
yang pandai bercerita itu sengaja berhenti sebentar untuk membikin
pendengar-pendengarnya makin bernafsu dan ceritanya makin menarik, “perwira
yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya remuk dipukul oleh dayung yang
dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya bolong-bolong tertembus pedang Si
Pemuda tampan!”
Baik Cin Hai maupun Ang I Niocu menghela napas
lega. “Mampuslah si keparat!” seru Cin Hai dengan gembira, kemudian ia
menegaskan, “Bukankah perwira itu masih muda, kira-kira tiga puluh tahun, dan
bibirnya tebal?”
Nelayan itu memandangnya heran, “Betul sekali,
apakah Kongcu kenal padanya?”
Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab pertanyaan
ini, hanya bertanya lagi, “Dan bagaimana hasil pertempuran orang Turki melawan
nelayan tua itu?”
“Mereka bertempur secara luar biasa sekali
hingga kami berdua tidak dapat melihat siapa menang siapa kalah. Tiba-tiba
mereka berhenti bertempur dan agaknya lalu mengikat persahabatan. Si Nelayan
Tua itu benar-benar setan air! Ia menyelam ke dalam air dan berhasil mencari
dan mengambil perahu yang telah tenggelam itu. Bukan main! Selama hidupku belum
pernah aku melihat orang dapat melakukan hal semacam itu. Tentu ia iblis air
sungai itu!”
“Hush! Jangan membuka mulut sembarangan saja.
Sekali lagi kau memaki dia, kutampar mulutmu!” kata Cin Hai sambil mendelikkan
matanya hingga nelayan itu terkejut dan takut. “Teruskan ceritamu, bagaimana
selanjutnya dengan mereka itu?”
“Selanjutnya? Tidak ada apa-apa lagi. Mereka
berempat setelah memperbaiki perahu lalu berangkat pergi dan kami ditinggalkan
dengan perahu kecil ini dan hadiah uang!”
“Jadi perahu kecil ini adalah perahu kepunyaan
nelayan tua itu?” tanya Cin Hai dengan girang. Kedua nelayan itu menjadi pucat
karena mereka telah kelepasan omong.
“Kalau begitu kami hendak memakai perahu ini,”
kata Ang I Niocu yang merogoh keluar dua potong uang perak dari sakunya. “Nih,
kalian ambil seorang satu! Perahu ini kami ambil!”
Melihat bahwa perahu itu hanya diganti dengan
dua potong uang perak, kedua nelayan itu menjadi bingung, “Eh, Siocia, eh...
Toanio, nanti dulu, perahu... perahu kami ini harganya lebih dari lima potong
uang perak!”
Ang I Niocu mengangkat tangan mengancam.
“Perahu ini bukan perahu kalian! Memberi dua potong perak sudah terlalu banyak
untukmu dan itu pun bukan untuk membeli perahu ini, akan tetapi sebagai upah
kalian bercerita tadi!”
Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke dalam
perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai. Kedua nelayan itu tidak
berani berbuat sesuatu, hanya melihat perahu itu pergi makin jauh dengan hati
memaki-maki kalang kabut, akan tetapi mulut tidak berani bersuara!
Dua hari kemudian ketika perahu melalui sebuah
hutan, Ang I Niocu melihat pohon-pohon buah lenci di dekat pantai.
Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak
itu, timbul seleranya dan ia mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat
sebentar sambil mencari dan makan buah. Cin Hai setuju, oleh karena ia pun
merasa ingin makan buah yang segar nampaknya itu. Mereka lalu mendayung perahu
ke pinggir dan menarik perahu kecil itu ke darat. Kemudian, oleh karena melihat
tempat itu sunyi dan indah sekali, timbul kegembiraan mereka dan keduanya lalu
melompat ke atas cabang pohon dan memilih buah sesuka hati mereka.
Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai berseru kaget
dan cepat melompat turun dan ketika Ang I Niocu memandang ke arah perahu
mereka, ia pun terkejut sekali. Seorang tosu (pendeta penganut Agama Tao)
sedang menarik perahu mereka ke arah air, dan agaknya ia hendak mempergunakan
kesempatan itu untuk mencuri perahu mereka! Ang I Niocu menjadi marah sekali
dan ia pun cepat melompat turun dari atas pohon.
Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah
perahu mereka, tiba-tiba dari balik batang pohon besar melompat keluar seorang
hwesio (pendeta penganut Agama Buddha) yang bertubuh pendek tapi gemuk sekali.
Hwesio ini kelihatan lucu sekali, mukanya seperti muka anak kecil yang gemuk,
dan jika dilihat, ia persis seperti boneka besar atau Jilaihud yang berwajah
baik dan peramah. Mukanya yang bulat itu selalu tersenyum ramah, tubuhnya
bagian atas yang serba bulat dan gemuk hanya menutup kedua pundak dan lengannya
saja, sedangkan tubuh atas bagian depan terbuka sama sekali! Dadanya yang
bergajih dan pusarnya yang besar kelihatan menambah kelucuannya.
Ia menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil
tertawa dan berkata, “Ai, ai, kalian sepasang burung dara yang bahagia! Mengapa
melayang turun dari pohon dan berlari-lari. Bukankah lebih senang bermain-main
di atas pohon?”
Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini,
sedangkan Ang I Niocu dengan muka merah lalu membentak, “Bangsat gundul kurang
ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!”
Akan tetapi hwesio tadi memandang heran dan
tertawa lagi, “Eh, eh, mengapa marah-marah? Apakah aku mengganggu kalian?”
“Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan
kami!” kata Cin Hai yang lebih sabar, “Kami akan mengejar pencuri perahu itu!”
Si Hwesio tertawa terus dan berkata, “Pencuri
perahu? Kau maksudkan tosu itu? Ah, dia adalah saudaraku! Kami hanya ingin
pinjam sebentar perahumu itu!”
“Bagus, hwesio maling!” kata Ang I Niocu yang
segera melompat maju dan mengayun kepalan tangan menghantam dada hwesio yang
gemuk itu. Akan tetapi Ang I Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa
hwesio segemuk ini dapat bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan
Ang I Niocu.
“Waduh, ganas... ganas...!” seru hwesio gendut
itu yang masih saja tertawa-tawa sungguhpun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi
dengan pukulan cepat hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot
sekali.
Sementara itu, tosu yang hendak mencuri perahu
tadi, ketika melihat betapa saudaranya diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak
sekali, segera menarik kembali perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah
tempat pertempuran.
“Jangan kau memukul Adikku!” teriaknya dan
segera menyerang Ang I Niocu. Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin
Hai lalu maju menangkis dan keduanya lalu bertempur ramai! Keadaan tosu ini
sama sekali berbeda dengan hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk dan pendek
bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti
orang mewek dan menangis, matanya yang sipit itu seakan-akan memandang dengan
sedih hingga membikin sedih pula kepada orang yang melihatnya.
Ang I Niocu biarpun sedang marah, akan tetapi
melihat betapa hwesio itu biarpun terdesak sekali masih saja tertawa-tawa
dengan muka sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati
untuk melukainya, dan hanya mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya
dari Bu Pun Su, yaitu ilmu Silat Kong-ciak-sin-na hingga hwesio itu tak dapat
membalas menyerang dan dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing.
Ang I Niocu memang sengaja menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu
silatnya yang baru dan ia merasa girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu
silat yang dipelajarinya dari Bu Pun Su ini memang betul-betul luar biasa.
Sebaliknya dengan mudah Cin Hai pun dapat
mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya berhasil menggaet kaki tosu itu
yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh kesakitan.
“Nah, biar kau kapok mendapat hajaran
sedikit!” kata Cin Hai. “Dan agar lain kali tidak berani mencoba untuk mencuri
perahu lain orang.”
Si Tosu itu dengan muka seperti orang menangis
menoleh ke arah hwesio yang masih diserang kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia
mengeluh lagi dan berseru. “Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini
bukan makanan kita!” Mendengar kata-kata ini, hwesio gemuk itu lalu melompat
mundur dan berkata sambil tertawa, “Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!” Ang
I Niocu menjadi geli hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus.
“Kalian dua orang tua ini siapakah dan mengapa
hendak mencuri perahu kami?” tanyanya.
Kedua pendeta itu saling pandang dan sambil
menjura, tosu itu berkata. “Kami dua kakak beradik adalah pendeta-pendeta
perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek Hwesio dan pinto sendiri bernama Ceng To
Tosu. Tadinya kami kira bahwa kalian berdua adalah sepasang orang muda yang
hendak berpelesir di sini, maka kami berani mengganggu dan hendak meminjam
perahu kalian. Tidak tahunya, melihat pakaian dan kepandaian Nona ini, kami
tidak akan heran apabila kau mengaku wanita yang berjuluk Ang I Niocu!”
Ang I Niocu tersenyum. “Memang dugaanmu tepat
sekali, Totiang. Aku adalah Ang I Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar
Bodoh!”
Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu
dipentang lebar. “Apa? Dengan kepandaiannya seperti itu, ia masih disebut
Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya setinggi ini, apalagi
yang pintar?” Biarpun tosu ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar,
namun tetap saja mukanya mewek seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk
itu tetap tersenyum dengan muka sesenang-senangnya!
Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara
yang aneh ini, maka ia lalu bertanya. “Harap kau dua orang suci suka berkata
terus terang saja. Sebetulnya mau meminjam perahu kami hendak pergi ke
manakah?”
Kini hwesio gemuk itu yang menjawab dan
ucapannya penuh kejujuran. “Kami hendak pergi ke laut dan mencari sebuah
pulau.”
“Pulau Emas?” Cin Hai cepat menyambung dan
kedua pendeta itu tercengang.
“Kau... sudah tahu?”
“Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!”
“Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah
kalian dua anak muda tahu di mana letaknya Kim-san-to (Pulau Gunung Emas)?”
Terus terang saja Cin Hai menyatakan belum
tahu. Kedua pendeta itu lalu saling pandang dan akhirnya Si Tosu berkata,
“Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu
ini cukup lebar untuk ditumpangi empat orang. Kami berdua membonceng kalian dan
sekalian menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi tidak
kenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu!
Bukankah kita dapat saling menolong?”
Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling
berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan berkata,
“Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita
sama-sama mencari pulau itu dan kalian berdua menjadi petunjuk jalan!”
“Akan tetapi perahu kita kecil dan hwesio
gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak banyak bergerak hingga
jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!” kata Ang I Niocu
sambil tertawa sehingga mereka berempat sama-sama tertawa gembira. Cin Hai dan
Ang I Niocu merasa suka kepada dua orang aneh itu dan mereka dapat menduga
bahwa kedua orang ini tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.
Beberapa hari kemudian, keempat orang dalam
perahu kecil itu telah sampai di samudera dan mulai dengan usaha mereka mencari
Pulau Kim-san-tho. Atas petunjuk kedua pendeta itu, perahu didayung ke kiri dan
melalui pantai yang curam dan batu-batu karang yang tinggi.
Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi
batu karang yang tinggi dan hitam, tiba-tiba dari atas menyambar turun bayangan
yang cepat sekali gerakannya! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut
Ceng Tek Hwesio yang telanjang.
Kaget sekali empat orang di dalam perahu itu
ketika melihat bahwa yang menyambar adalah seekor burung rajawali yang besar
dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik oleh kegemukan dada dan perut Ceng
Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu, hingga ia menyambar turun hendak
mencengkeram daging gemuk itu!
Ceng Tek Hwesio kaget dan hendak berkelit,
akan tetapi berat badannya membuat perahu berguncang!
“Hai, jangan bergerak!” Ang I Niocu mencegah
dan gadis ini dengan cepat lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun
itu dan alangkah kagetnya ketika burung itu dengan cepat dapat mengelak
tendangannya dan melayang ke atas lagi!
Cin Hai yang berdiri di kepala perahu dan
memandang tajam, juga ia merasa kagum melihat ketangkasan dan kecepatan burung
yang besar itu. Sedangkan hwesio pendek gemuk itu, melihat bahwa dirinya
diserang oleh burung rajawali, hanya tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha-hi-hi
saja, dan biarpun hatinya berdebar ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum.
Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin nampak sedih dan mewek bagaikan benar-benar
hendak menangis tersedu-sedu oleh karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada
burung pemakan manusia itu.
Kini burung rajawali menyambar turun dari atas
dengan cepatnya. Ang I Niocu yang merasa mendongkol melihat tendangannya tadi
dapat dikelit oleh burung besar itu, berkata kepada kawan-kawannya,
“Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus
burung celaka itu!” Ketika burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak
menyerang hwesio gendut itu, Ang I Niocu cepat menghantam dengan tangan
kanannya sekerasnya! Kembali ia tertegun oleh karena burung itu dapat miringkan
tubuh dan mengibas dengan sayapnya seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu!
Akan tetapi pukulan itu bukanlah pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga
lweekang hingga biarpun burung itu menangkis dengan sayap, namun tubuh burung
itu terlempar jauh dan oleh karena sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras
burung yang terlempar ke atas itu mengeluarkan kotoran yang jatuh menimpa
berhamburan ke arah perahu bagaikan hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh
tepat ke arah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hingga muka dan baju kedua
pendeta itu menjadi kotor kena kotoran burung itu.
Ang I Niocu makin gemas dan marah karena
burung itu agaknya tidak terluka dan hanya terpental dan kaget saja. Juga
burung itu kini terbang berputaran di atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring.
Ang I Niocu mencabut keluar pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia
berkata,
“Burung keparat, turunlah kalau kau berani!”
Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar
tantangan gadis itu, burung rajawali yang berbulu kuning emas dan berparuh
merah itu memekik panjang dan kembali menyerang turun dan kini bukan menyerang
kepada hwesio gendut, akan tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena
agaknya ia marah sekali kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya
itu.
Burung ini adalah semacam Kim-tiauw atau
Rajawali Emas yang jarang terdapat dan yang disebut raja segala burung. Ketika
ia menyerang Ang I Niocu, gerak tubuhnya cepat dan tak terduga oleh karena ia
bukan menyerang langsung dari atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke
kanan kiri dengan cepatnya. Ang I Niocu bukanlah sembarangan gadis yang takut
akan segala macam burung. Dengan seruan keras, sebelum burung itu menyambar,
Ang I Niocu sudah mendahului melompat ke atas sambil menyambar dengan
pedangnya. Burung Kim-tiauw itu kembali secara aneh dapat mengelak dan mumbul
lagi ke atas, kemudian berkali-kali ia menyerang turun. Terjadilah pertempuran
yang hebat dan indah dipandang antara Ang I Niocu di atas perahu dan burung
rajawali yang menyambar-nyambar dari atas. Beberapa kali pedang Ang I Niocu
yang hampir dapat memenggal leher burung itu, tiba-tiba dapat disampok dengan
sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga Ang I Niocu menjadi makin marah
dan penasaran saja. Biarpun Ang I Niocu belum berhasil membunuh Kim-tiauw, akan
tetapi banyak bulu burung itu telah rontok ketika sayapnya menyampok pedang,
sedangkan burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan menyerang gadis
perkasa itu.
Sebenarnya kalau ia berada di atas tanah
keras, tentu Ang I Niocu sudah berhasil membunuh Kim-tiauw itu, akan tetapi ia
berada di atas perahu yang bergerak-gerak hingga membuat gerakannya tidak
leluasa sekali. Setelah berkali-kali gagal serangannya, bahkan hampir saja
pedang tajam menembus dadanya dan memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu
agaknya mengakui kelihaian Ang I Niocu dan sambil mengibaskan sayapnya yang
lebar dan kuat dan mengeluarkan bunyi seperti orang mengeluh panjang, ia lalu
terbang pergi dengar cepat sekali hingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan
titik kuning emas di langit biru.
Ang I Niocu menyimpan kembali pedangnya dan
duduk dengan muka merengut, hatinya tidak puas sekali karena kegagalannya
membunuh burung besar itu, akan tetapi Ceng To Tosu lalu ber kata sambil
menghela napas panjang,
“Baiknya kau tidak membunuhnya Lihiap.”
“Eh, mengapa, kau berkata baik sedangkan
hatiku kecewa sekali karena tidak berhasil membunuhnya?” kata Ang I Niocu
sambil memandang heran.
Burung itu adalah burung Kim-sin-tiauw atau
Rajawali Sakti Berbulu Emas, dan burung itu di daerah ini terkenal burung
pembawa rezeki dan kebahagiaan. Kita telah bertemu dengan dia dan memusuhi
kita, hal ini tidak baik sekali, apalagi kalau kau tadi sampai salah tangan dan
membunuhnya!”
Diam-diam Cin Hai terkejut sekali mendengar
ini, akan tetapi Ang I Niocu berkata, “Burung jahat itu mana bisa membawa
kebahagiaan?” Biarpun Cin Hai tidak setuju mendengar ucapan gadis ini akan
tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa gadis ini tidak takut apa pun juga, ia
diam saja dan tidak menyatakan kekuatirannya, hanya berkata memuji,
“Kim-sin-tiauw itu lihai sekali dan gerakannya
tangkas dan cepat.”
“Kalau di darat ada harimau menjadi raja dan
di laut ada naga, maka di udara Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi raja
udara!” kata Ceng Tek Hwesio yang masih tersenyum-senyum seakan-akan kejadian
tadi adalah hal yang menyenangkan hatinya!
“Dan raja udara itu hampir saja berpesta pora
menikmati kelezatan dagingmu yang gemuk!” kata Cin Hai dan semua orang tertawa
geli, kecuali Ceng To Tosu yang agaknya selama hidup tak pernah tertawa, dan ia
hanya mengutarakan kegelian hatinya dengan mewek makin menyedihkan!
Kita tinggalkan dulu perahu kecil yang dinaiki
empat orang yang sedang mencari Pulau Emas itu, pulau yang aneh dan mengandung
rahasia dan yang pada waktu itu menjadikan sebab terjadinya hal-hal yang hebat
oleh karena tiga bangsa sedang berusaha merampasnya!
Kerajaan Turki di waktu itu yang telah
mendengar tentang adanya Pulau Emas di laut timur Negara Tiongkok telah
mengirim dan menyebar para penyelidiknya, di antaranya Yousuf yang cerdik dan
yang menjadi orang pertama mendapatkan pulau itu. Di samping menyebar
mata-mata, Kerajaan Turki lalu mengirim sejumlah besar tentaranya untuk
menyerbu ke daerah ini. Mereka tidak berani melalui daratan Tiongkok, oleh
karena maklum bahwa apabila mereka melalui daratan pedalaman Tiongkok, mereka
akan menghadapi rintangan-rintangan besar yang memungkinkan gagalnya usaha
mereka, oleh karena Tiongkok selain mempunyai daerah luas yang berbahaya, juga
memiliki banyak orang pandai yang tentu akan melawan tentara Turki yang
menjelajah negaranya. Oleh karena ini, barisan Turki itu mengambil jalan
memutar dari utara, bergerak ke timur melalui sepanjang perbatasan Negara
Tiongkok dan masuk di daerah Mongol dan mereka ini pun tidak tinggal diam dan
melawan barisan asing yang tanahnya. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu
bangsa Mongol masih belum kuat dan hidupnya berkelompok-kelompok ini dapat
dihalau oleh barisan Turki yang kuat.
Barisan Turki ini dipimpin oleh orang-orang
pandai, bahkan di dalam barisan terdapat seorang pemimpin aneh yang merupakan
seorang pendeta bertubuh besar sekali bagaikan seorang raksasa akan tetapi agak
pendek. Pendeta ini berkepala botak, berjenggot hitam dan kaku bagaikan kawat
dan yang menyongot ke sana ke mari tidak terawat. Tubuhnya yang gemuk besar itu
mengenakan pakaian yang aneh pula, oleh karena pakaian ini terbuat dari banyak
macam kain kembang yang ditambal-tambal. Dilihat dari keadaan pakaiannya,
pendeta ini lebih pantas disebut seorang pengemis jembel!
Pendeta ini lihai dan sakti sekali dan ia
menjadi jago nomor satu di seluruh Kerajaan Turki. Namanya di Turki terkenal
sebagai Balutin, sedangkan pendeta yang telah seringkali merantau di pedalaman
Tiongkok ini disebut dalam bahasa Tiongkok sebagai Pouw Lojin. Oleh karena
sering masuk di daerah Tiongkok, maka Balutin pandai bicara dalam bahasa
Tionghoa.
Dengan adanya pendeta ini, maka ekspedisi
Turki ini tidak mengalami banyak rintangan, oleh karena setiap penghalang yang
kuat selalu hancur apabila berhadapan dengan Balutin yang lihai. Selain ilmu
silatnya yang tinggi, Balutin juga mahir dalam ilmu sihir, dan lweekang serta
khikangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.
Oleh karena adanya gerakan tentara Turki
inilah yang membuat bangsa Mongol gelisah sekali. Mereka ini merasa pun
akhirnya dapat juga mencari tahu akan rahasia Kerajaan Turki dan dapat
mengetahui bahwa bangsa Turki ini hendak mencari sebuah Pulau Emas di Laut
Tiongkok. Maka, bangsa Mongol lalu menguasakan kepada Pangeran Vayami yang
cerdik dan untuk menghubungi Kaisar Tiongkok. Ini pulalah sebabnya maka Hai
Kong Hosiang diutus oleh kaisar untuk mengundang Pangeran Vayami datang ke
istana kaisar. Setelah Vayami bertemu dengan kaisar secara cerdik sekali Vayami
lalu menghasut dan memberi tahu bahwa tentara Turki bermaksud mengurung ibu
kota Tiongkok dan merampas sebuah pulau di Laut Tiongkok yang mengandung banyak
emas! Secara cerdik sekali Pangeran Vayami menghasut dan hendak mengadudombakan
tentara Turki dan tentara Tiongkok, sedangkan diam-diam pangeran yang cerdik
dan licin ini telah mempersiapkan kaki tangannya untuk secara mendadak menyerbu
pulau itu. Ia mengambil siasat “Membiarkan Dua Ekor Anjing Berebut Tulang” dan
kemudian diam-diam membawa tulang itu berlari sementara kedua anjing itu masih
bergumul!
Akan tetapi, Kaisar Tiongkok pun bukan seorang
bodoh, dan seandainya ia sendiri bodoh, namun para penasehatnya adalah
orang-orang cendekiawan yang berpemandangan luas. Oleh karena ini biarpun
kaisar telah masuk dalam perangkapnya dan mengirimkan barisan besar yang
dikepalai oleh Beng Kong Hosiang dan beberapa orang perwira tertinggi
kepandaiannya bahkan kepala bayangkari, seorang perwira kekasih kaisar yang
amat tinggi kepandaiannya dan bernama Lui Siok In, mendapat tugas khusus untuk
memimpin barisan itu bersama-sama Beng Kong Hosiang dan lain-lain perwira,
bergerak menuju ke pantai laut di sebelah utara dekat tapal batas Tiongkok, di
mana menurut keterangan Pangeran Vayami tentara Turki itu berkumpul. Sementara
itu, kaisar memerintahkan Hai Kong Hosiang untuk tetap menemani Pangeran Vayami
dengan alasan melindungi keselamatan tamu agung itu dalam perjalanannya kembali
ke negerinya, sedangkan sebetulnya kaisar ini bukan hendak menjaga keselamatan
orang, akan tetapi bahkan ingin mengawasi dan mengikuti gerak-geriknya, dan
membatasi usaha-usaha kecurangan yang mungkin hendak dilakukan oleh Pangeran
Vayami yang cerdik. Oleh karena ini, Hai Kong Hosiang mendapat tugas istimewa
dan hwesio ini pun lalu mengajak supeknya, yaitu Kiam Ki Sianjin yang telah
pikun dan gagu, akan tetapi masih lihai sekali itu.
Pangeran Vayami lalu keluar dari istana
bersama Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, dan pangeran ini langsung menuju
ke utara pula dan memberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang tentang adanya Pulau
Emas itu. Hai Kong Hosiang walaupun seorang pendeta, namun hatinya tertarik dan
ingin sekali mendapatkan gunung emas itu, maka ia pun lalu menyetujui ajakan
Pangeran Vayami untuk menyaksikan pulau itu dari dekat dan kalau mungkin
mendarat di pulau itu. Hal ini menurut Hai Kong Hosiang tidak ada salahnya,
oleh karena tugasnya yang didapat dari kaisar hanya mengawasi dan menjaga agar
pangeran ini jangan melakukan sesuatu yang akan merugikan, pendeknya kaisar
mencurigai Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang bertugas mengawasinya.
Ketika tentara Turki yang dipimpin dan
dilindungi oleh Balutin itu tiba di tepi pantai laut, mereka berhenti dan
memasang kemah. Sementara itu, bagian perlengkapan lalu sibuk membuat
perahu-perahu untuk keperluan menyeberang. Biarpun mereka telah lebih dulu
menyediakan segala keperluan untuk membuat perahu-perahu ini, akan tetapi oleh
karena jumlah tentara yang hendak diseberangkan ini tidak kurang dari seribu
orang, maka pembuatan perahu itu makan waktu berhari-hari.
Dan pada waktu mereka sedang sibuk membuat
persiapan menyeberang, datanglah tentara Kerajaan Tiongkok yang dipimpin oleh
Lui Siok In, Beng Kong Hosiang dan perwira-perwira lain! Tentara Tiogkok lebih
banyak jumlahnya dan karena mereka datang di waktu hari telah menjadi gelap,
maka tentara Tiongkok di bawah pimpinan Lui Siok In yang pandai, lalu diam-diam
mengurung perkemahan tentara Turki. Kemudian, serentak tentara Tiongkok, yang
sudah mengurung ini memasang obor hingga keadaan menjadi terang sekali bagaikan
siang hari!
Tentu saja, ketika tiba-tiba melihat ribuan
obor menyala mengelilingi tempat mereka, tentara Turki menjadi panik. Akan
tetapi, Balutin dengan senyumnya yang selalu menghias mukanya yang bulat dan
gemuk, berhasil menyuruh anak buahnya berlaku tenang. Mereka diperintahkan
untuk memasang dan memegang obor pula, kemudian ia lalu berdiri di depan
barisannya menanti kedatangan musuh.
Lui Siok In dengan tindakan gagah, pedang di
pinggang dan sayap garuda menghias topinya, tanda bahwa ia adalah seorang
perwira Sayap Garuda tingkat tertinggi, diikuti oleh perwira-perwira lain dan
Beng Kong Hosiang, maju menghampiri Balutin dan berkata dengan suara lantang,
“Hai, tentara Turki! Kalian telah melanggar
wilayah kami dan karena sekarang kamu telah dikurung dan tak berdaya, maka
lebih baik kamu menyerah saja agar menjadi orang-orang tawanan yang akan kami
perlakukan dengan baik-baik!”
Di bawah penerangan obor di sekeliling mereka
yang dipegang oleh tentara kedua belah fihak, Balutin kelihatan seperti seorang
raksasa pendek. Pendeta Turki ini lalu melangkah maju dan sambil tertawa ia
menuding ke arah Lui Siok In dan berkata, “Hai, Perwira muda! Siapakah yang
menjadi pemimpin besar barisanmu ini? Suruhlah dia sendiri maju, dan jangan
majukan segala perwira hijau untuk bicara dengan aku!”
Mendengar dirinya disebut “perwira hijau” oleh
pengemis jembel yang gemuk sekali ini, tentu saja Lui Siok In menjadi marah.
“Bangsat jembel, siapakah kamu?”
Balutin tertawa bergelak sambil memegangi
perutnya. “Kau mau tahu aku siapa? Akulah pemimpin besar barisan Turki! Akulah
Balutin atau boleh juga kausebut Pouw Lojin! Anak muda, panggillah keluar
pemimpin besarmu agar dapat bicara dengan aku!”
Lui Siok In terkejut mendengar bahwa yang
berdiri di depannya seperti seorang pengemis jembel ini adalah Balutin sendiri,
tokoh yang amat terkenal semenjak tentara Turki menyerbu melalui Mongol. Nama
Balutin ini pernah disebut-sebut oleh kaisar sendiri ketika memberi perintah
kepadanya untuk memimpin barisan, oleh karena kaisar pun telah mendengar dari
Pangeran Vayami yang sangat memuji-muji Balutin sebagai orang gagah dan
pemimpin besar. Lui Siok In tidak sudi memperlihatkan kelemahan dan
kejerihannya, maka sambil tertawa ia berkata,
“Aha, tidak tahunya pemimpin besar tentara
Turki yang bernama Balutin dan yang disohorkan sangat gagah perkasa itu
hanyalah seorang pengemis jembel yang terlantar. Ha-ha-ha! Ketahuilah, Jembel
gemuk, akulah pemimpin barisar ini dan namaku Lui Siok In. Lebih baik kau menyerah
saja agar kau dapat diberi makan enak dan tak usah mampus di ujung senjata!”
Balutin memandang heran dan hampir tak percaya
bahwa panglima besar tentara Tiongkok hanyalah seorang perwira muda ini. Ia
lalu berkata menghina,
“Agaknya Tiongkok sudah kehabisan orang gagah,
maka terpaksa memajukan kau sebagai panglima. Mari, hendak kulihat sampai di
mana kepandaianmu!'
Sambil berkata demikian, Balutin menengok ke
arah pohon yang tumbuh di dekat situ. Daun-daun pohon itu bergantungan di
atasnya dan ia lalu menggerakkan kedua tangannya menampar ke arah daun-daun
pohon itu. Angin besar keluar dari kedua lengannya yang dipenuhi tenaga khikang
itu dan beberapa helai dauh pohon itu lalu rontok dan melayang ke bawah!
Balutin masih menggerak-gerakkan kedua tangannya dan daun-daun pohon yang
melayang ke bawah itu bergerak-gerak di udara dan tak dapat melayang turun,
seakan-akan tertahan oleh tiupan dari bawah dan kini bermain-main di udara
bagaikan hidup!
Lui Siok In terkejut sekali dan ia mengerti
bahwa Balutin sedang mempergunakan kepandaian khikang yang disebut
Mempermainkan Daun Rontok! Ia maklum bahwa daun-daun ini biarpun ringan, akan
tetapi dapat digerakkan dengan tenaga khikang dan dapat dipakai menyerang lawan
bagaikan senjata-senjata hasia hebat! Di Tiongkok juga terdapat ilmu ini yang
dipelajari sambil menggunakan tenaga khikang dan angin gerakan tangan dapat
diarahkan kepada daun-daun itu hingga daun-daun itu dapat digerakkan ke mana
saja menurut kehendak orang.
Benar saja sebagaimana dugaan Lui Siok In.
Tiba-tiba Balutin lalu membuat gerakan dengan kedua telapak tangannya dan
daun-daun itu dari atas lalu menyambar turun hendak menyerang tubuh Lui Siok
In. Perwira muda ini bukan orang sembarangan dan ia juga memiliki kepandaian
tinggi. Kalau ia tidak lihai, mana ia bisa diterima menjadi kepala pengawal
pribadi kaisar. Ia lalu berseru keras dan membuat gerakan dengan jari-jari
tangannya pula yang ditelentangkan. Dari kedua telapak tangannya ini keluarlah
tenaga khikang yang hebat pula dan aneh. Daun-daun yang tadinya dari atas
melayang naik kembali dan terapung-apung di tengah udara. Pertempuran hebat dan
adu tenaga khikang ini berlangsung lama dan menegangkan hingga semua tentara
yang memegang obor dan menyaksikan pertandingan hebat ini menahan napas. Kedua
panglima itu berhadapan dengan mata saling pandang dan kedua tangan
bergerak-gerak dan diulur ke depan seakan-akan dua orang pengemis sedang minta
sedekah, sedangkan daun-daun itu melayang-layang di tengah udara, sebentar
menyambar turun, sebentar melayang naik kembali.
Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa Lui Siok
In kalah tinggi kepandaiannya dan tenaga khikangnya masih kalah setingkat oleh
Balutin yang lihai itu. Beberapa kali kedua orang itu berseru mengerahkan
tenaga, dan perlahan tapi tentu, kedua tangan Lui Siok In mulai gemetar,
sedangkan pada mukanya yang pucat itu mengucur peluh membasahi jidat dan
pipinya. Daun-daun yang bergerak-gerak di udara itu mulai mendesak turun dan
makin mendekati kepala Lui Sok In.
Perwira she Lui itu maklum bahwa apabila adu
khikang ini diteruskan, keadaannya akan berbahaya sekali. Maka secepat kilat ia
lalu membuat gerakan Ikan Gabus Melompat Tinggi, menjatuhkan diri ke belakang
sambil membuat gerakan berjungkir balik, lalu cepat menjatuhkan diri pula sambil
bergulingan di atas tanah. Ia memang harus menggunakan gerakan ini, karena
kalau tidak ia akan terpukul oleh tenaga khikang yang telah menekan dan
mendesaknya. Dengan cara bergulingan itu ia memulihkan aliran darahnya kembali
dan membebaskan ia daripada serangan daun-daun itu yang lalu meluncur dan jatuh
ke atas tanah.
Balutin tertawa bekakakan sambil bertolak
pinggang. “Ha-ha-ha! Hanya begitu saja kepandaianmu, Perwira muda! Dan kau
berani bersombong hendak menawan aku? Ha-ha-ha!”
“Balutin jembel busuk, jangan sombong!” teriak
Lui Siok In dengan marah sekali dan ia lalu mencabut pedang dan menyerang
Balutin dengan hebat. Balutin hanya tertawa dan ia memberi tanda ke belakang
sambil mengelak ke samping. Seorang pembantunya segera melompat dan melemparkan
sebatang tongkat yang panjang dan besar kepada Balutin. Setelah Balutin
menerima senjatanya ini ternyata oleh Sui Siok In bahwa senjata itu adalah
sebatang tongkat yang nampaknya berat sekali dan entah terbuat dari apa, karena
kekuning-kuningan dan berkilau bagaikan emas. Maka keduanya lalu bertanding
hebat sekali dan para tentara yang tadinya bersorak-sorak saja menyaksikan
pertandingan ini, lalu bergerak maju makin mendekat! Perwira-perwira kedua
belah fihak telah melompat maju dan pertandingan semakin seru hingga akhirnya
kedua barisan maju saling gempur menimbulkan suara hiruk-pikuk!
Ujung pedang, golok dan lain-lain senjata
berkelebat dan berkilauan di bawah sinar obor dan terdengarlah pekik jerit
kemenangan tercampur keluh kesakitan. Darah mengucur keluar bersama peluh dan
membasahi tanah yang terpaksa harus menerima segala kengerian yang dilakukan
oleh manusia-manusia tu!
Balutin benar-benar tangguh sekali. Baru
bertempur beberapa puluh jurus saja maklumlah Lui Siok In bahwa ia takkan dapat
mengalahkan pendeta gemuk ini, maka ia lalu berteriak memberi perintah hingga
beberapa orang perwira maju mengeroyok. Juga Beng Kong Hosiang tidak
ketinggalan mengeroyok Balutin. Kepandaian Beng Kong Hosiang setingkat dengan
kepandaian Lui-ciangkun, maka tentu saja ketika ia pun ikut menyerbu dengan
perwira-perwira lain, Balutin mulai terdesak. Akan tetapi, dua orang perwira
Turki maju dengan ilmu silat mereka yang aneh dan cepat hingga kembali pihak
Balutin dan kawan-kawannya yang mendesak hebat!
Beng Kong Hosiang yang melihat betapa pihaknya
terdesak hebat, menjadi marah sekali. Ia lalu memutar-mutar senjatanya yang
istimewa, yaitu pacul yang bergagang bengkok itu dan menyerang Balutin dengan
sepenuh tenaga. Memang semenjak tadi, yang diperhatikan oleh Balutin hanya Beng
Kong Hosiang yang menyerangnya dengan ganas, maka ia cepat menangkis dan kedua
orang ini bertempur seru sekali. Pada suatu saat, ketika Beng Kong Hosiang
menyerampang kaki Balutin dengan paculnya, Balutin lalu menangkis sekuat
tenaganya hingga terdengar bunyi keras sekali dan gagang pacul Beng Kong
Hosiang telah patah! Akan tetapi, tongkat di tangan Balutin juga terlepas dari
pegangan. Demikian hebat dan keras benturan tenaga itu! Melihat betapa
senjatanya telah patah, Beng Kong Hosiang berseru keras dan ia menyambitkan
sisa senjatanya ke arah Balutin yang mengelak cepat. Gagang pacul yang
disambitkan itu meluncur cepat bagaikan sebatang anak panah terlepas dari
busurnya dan dengan jitu menancap di dada seorang Turki yang bertempur di
belakang Balutin!
Beng Kong Hosiang masih marah dan bagaikan
seekor banteng terluka, ia lalu menubruk maju ke arah Balutin dengan
Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda! Tangan kirinya mencengkeram ke
arah dada dan tangan kanannya ke arah leher lawan! Serangan ini hebat sekali
dan Balutin berseru keras, menundukkan kepala untuk menghindari serangan leher
dan serangan tangan pada dadanya ia tangkis dengan tangan kiri. Akan tetapi,
gerakan Beng Kong Hosiang cepat dan ganas sekali hingga ketika lengan kiri Balutin
menangkis, maka tangan kirinya itu berhasil mencengkeram lengan tangan Balutin
yang menangkis! Balutin berseru kesakitan dan tangan kanannya lalu memukul ke
dada lawan.
“Buk!” terdengar suara keras ketika pukulan
tangan ini dengan jitu menghantam dada Beng Kong Hosiang. Pukulan ini keras
sekali datangnya hingga dari mulut Beng Kong Hosiang keluar darah segar dan
tubuh hwesio itu terpental ke belakang dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Akan
tetapi, cengkeraman tangannya pada lengan kiri Balutin masih belum terlepas
hingga tubuh Balutin terbawa maju.
Balutin cepat sekali menggunakan jarinya
mengetuk sambungan siku lawannya yang telah mati itu. Urat lengan Beng Kong
Hosiang yang telah kaku itu ketika kena totokan ini menjadi mengendur dan
pegangan atau cengkeramannya terlepas hingga tubuhnya lalu menggelinding ke
bawah.
Balutin memandang ke arah lengan kirinya yang
telah menjadi matang biru karena cengkeraman lawan tadi! Ia menggeleng-geleng
kepala dan kagum akan ketangguhan Beng Kong Hosiang. Luka di lengan kirinya
tidak berbahaya, maka ia lalu mengambil senjatanya lagi dan mengamuk hebat.
Banyak perwira roboh di bawah pukulan tongkatnya.
Sementara itu, tentara Tiongkok yang kurang
terlatih oleh karena kaisar dan para perwira hanya ingat bersenang-senang saja
selama ini, tidak kuat pula menghadapi tentara musuh. Apalagi mereka baru habis
melakukan perjalanan hingga keadaan mereka masih lelah sekali, sedangkan pihak
musuh sudah berhari-hari beristirahat di situ, maka biarpun jumlah mereka lebih
besar, namun korban yang jatuh di pihak mereka juga lebih banyak.
Melihat kerugian yang diderita oleh pihaknya
dan melihat kelihaian Balutin, Lui Siok In lalu memberi perintah mundur,
sedangkan ia sendiri pun lalu melompat mundur. Tentara Tiongkok menarik diri
dan mundur. Beberapa orang perwira segera diutus untuk mencari bala bantuan!
Tentara Turki tidak mau mengejar oleh karena
mereka mempunyai tugas yang lebih penting, yaitu menyelesaikan pembuatan perahu
untuk dipakai menyeberang dan mengurus korban yang roboh di pihak mereka.
Mereka hanya berjaga jaga saja kalau-kalau pihak musuh menyerbu lagi.
Akan tetapi, oleh karena bala bantuan yang
diharapkan masih jauh dan belum tentu akan dapat segera datang maka pihak Turki
mendapat kesempatan untuk menyelesaikan pembuatan perahu dan mereka lalu
beramai-ramai menurunkan perahu-perahu itu ke air dan mulai berlayar! Beberapa
orang kawan Yousuf yang dulu bersama-sama pergi mendapatkan Pulau Emas itu,
menjadi penunjuk jalan. Ketika bala bantuan yang diharapkan datang jauh
letaknya dari tempat itu pihak tentara kerajaan pun lalu mempergunakan
perahu-perahu untuk mengejar hingga terjadi pengejaran ramai di atas laut. Akan
tetapi perahu-perahu Tiongkok ini terlambat dua hari hingga tertinggal jauh.
Dengan mempergunakan sebuah perahu besar dan
mewah, Pangeran Vayami, pangeran bangsa Mongol yang menjadi pemimpin Agama
Sakia Buddha itu berlayar ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin.
Di atas perahu besar ini telah disediakan dua buah perahu-perahu kecil untuk
keperluan khusus dan perahu ini berlayar cepat ke tengah samodra. Ketika
terjadi pertempuran di malam hari, Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang melihat
dari atas perahu mereka. Akan tetapi mereka hanya melihat obor menerangi
seluruh tepi dan mendengar suara teriakan mereka yang berperang. Diam-diam
Pangeran Vayami bersorak girang di dalam hatinya oleh karena tipu dayanya
berhasil baik. Ia telah memberi perintah kepada anak buahnya, yaitu
pendeta-pendeta Sakia Buddha untuk dengan diam-diam menuju ke Pulau Emas yang
diperebutkan itu.
Tipu daya Pangeran Vayami amat jahat dan
licin. Ia memerintahkan para pengikutnya itu untuk mengangkut harta benda
berupa emas yang berada di pulau itu, setelah berhasil mencari dan
mengangkutnya ke perahu, para pendeta itu diharuskan membakar sebuah telaga
yang mengandung minyak bakar agar pulau itu terbakar habis!
Sebetulnya, ketika mendengar akan adanya Pulau
Emas itu, Pangeran Vayami pernah pergi menyelidiki dan ia mendapat kenyataan
bahwa pada malam hari, pulau itu mengeluarkan cahaya berkilauan dan terang
sekali seakan-akan gunung di pulau itu seluruhnya terbuat dari pada emas yang
bersinar gemilang, Akan tetapi, ketika ia mendarat di pulau itu, ia tidak bisa
mendapatkan di mana adanya emas yang bercahaya di waktu malam itu, bahkan yang
didapatkannya hanya sebuah telaga kecil yang airnya berkilauan dan berwarna
kehitam-hitaman. Untuk penyelidikan, ia mengambil sebotol air dan ketika pada
malam harinya ia membuat penerangan, hampir saja tangannya terbakar. Tangan
yang masih basah terkena benda cair itu tercium api, lalu bernyala hebat! Ia
tidak tahu bahwa pulau itu mengandung minyak tanah dan hanya menduga benda cair
di telaga itu adalah air mujijat yang mudah terbakar. Ia lalu menyulut air di
dalam botol itu yang berkobar dan terbakar dengan mudah sekali. Oleh karena
inilah, ia menggunakan tipu daya untuk membakar telaga itu apabila emas sudah
terdapat oleh kaki tangannya, agar semua orang yang berada di pulau itu dan
hendak mencari emas, termakan habis oleh api yang membakar pulau dan anak
buahnya dapat melarikan emas itu dengan aman!
Tentu saja ia tidak memberitahukan kepada Hai
Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin tentang tipu dayanya ini, oleh karena ia pun
maklum bahwa kedua orang tua luar biasa ini mendapat tugas untuk menjaga
dirinya, dan ia dapat menduga pula bahwa kaisar telah mencurigainya!
Pangeran Vayami sengaja memutar-mutar
perahunya dan tidak mau membawa Hai Kong Hosiang menuju ke pulau itu untuk
memberi kesempatan kepada anak buahnya. Demikianlah, perahunya hanya berputaran
melalui pulau-pulau yang banyak sekali itu, dan ketika rombongan perahu Turki
menyeberang ke lautan, Pangeran Vayami merasa kuatir sekali. Anak buahnya belum
kelihatan kembali dan sekarang perahu-perahu Turki telah menyeberang ke pulau
itu! Ia menjadi gelisah sekali, terutama ketika melihat betapa rombongan perahu
tentara kerajaan mengejar pula. Celaka, pikirnya, pulau itu tentu akan penuh
dengan tentara kedua pihak dan mungkin sekali akan terjadi perang hebat di
pulau itu. Bagaimana anak buahnya akan dapat bekerja baik?
Ia ingin sekali pergi ke pulau itu untuk
memimpin sendiri pekerjaan anak buahnya, akan tetapi ia tidak berdaya oleh
karena selalu ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Tiba-tiba
Pangeran Vayami yang cerdik ini mendapatkan akal baik.
Ketika itu, Hai Kong Hosiang juga berdiri di
kepala perahu dan melihat betapa perahu-perahu Turki telah mendahului berlayar
dan kemudian dikejar oleh perahu-perahu tentara kerajaan, dan hwesio ini
memandang dengan kuatir. Ia dapat menduga bahwa peperangan semalam tentu
dimenangkan oleh pihak musuh, kalau tidak demikian tentu musuh tak akan dapat
menyeberang!
”Hai Kong Bengyu,” kata Pangeran Vayami.
”Apakah kau dapat menduga apa yang menjadikan kegelisahan hatiku?”
Hai Kong Hosiang sebenarnya dapat menduga
bahwa Pangeran Mongol ini tentu menjadi gelisah dan kuatir melihat pergerakan
barisan Turki itu, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan menggelengkan
kepala.
“Hai Kong Bengyu, tidakkah kau melihat betapa
barisan Turki sudah mempergunakan perahu-perahu dan menyeberang ke pulau-pulau?
Ini berarti bahwa barisan kerajaanmu telah kalah perang! Dan apakah kau tega
melihat hal itu terjadi begitu saja? Kurasa di pihak barisan Turki terdapat
orang-orang pandai maka memang sebaiknya kau dan supekmu tinggal saja di sini.”
Pangeran Vayami di samping mencela juga
menyinggung-nyinggung hati pendeta itu, akan tetapi Hai Kong Hosiang diam saja,
seakan-akan tidak mengerti akan maksud sindiran Pangeran Vayami.
”Untung sekali kau berada di sini, Hai Kong
Bengyu, kalau kau ikut menyerbu tentu kau berada dalam bahaya. Aku mendengar
bahwa panglima Turki yang bernama Balutin atau Pouw Lojin, amat sakti dan lihai
hingga kurasa tidak ada orang Han (Tionghoa) yang mampu mengalahkannya!”
Hai Kong Hosiang tak dapat menahan sabarnya
lagi dan ia memandang kepada Vayami dengan mata mendelik. Akan tetapi Vayami
tidak mempedulikannya bahkan berlaku seakan-akan tidak melihat kemarahan Hai
Kong Hosiang, dan ia menambah omongannya seperti berikut,
“Celaka sekali. Aku mendengar bahwa suhengmu
yang bernama Beng Kong Hosiang juga ikut dalam barisan kerajaan! Jangan-jangan
Suhengmu terkena celaka, oleh karena aku merasa ragu-ragu apakah dia sanggup
menghadapi Balutin yang sakti itu?”
“Vayami! Kau sungguh-sungguh memandang rendah
kekuatan kami! Kaukira aku takut kepada segala macam orang seperti Balutin itu?
Baik! Aku dan Suhuku akan menyusul dan menghancurkan mereka itu, anjing-anjing
bangsa asing yang kurang ajar!” Dalam makian ini, otomatis Vayami terkena
dimaki juga, karena bukankah ia pun di hadapan Hai Kong Hosiang merupakan orang
asing pula?
Hai Kong Hosiang lalu memberitahu kepada
supeknya yang gagu itu, dan Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk menyatakan setuju
untuk menggempur barisan Turki. Hai Kong Hosiang lalu menurunkan sebuah
daripada perahu kecil yang berada di situ, kemudian ia menghampiri Vayami dan
berkata,
“Pangeran Vayami, aku dan Supek akan pergi
dulu, dan kau...” Setelah berkata demikian, secepat kilat Hai Kong Hosiang
mengulurkan tangan menotok, Vayami terkejut sekali, akan tetapi terlambat, oleh
karena jari tangan Hai Kong Hosiang telah menotok jalan darahnya dengan tepat
hingga pangeran itu roboh terduduk dengan tubuh lemas dan tak mampu bergerak
lagi.
“Maaf, Pangeran Vayami. Aku terpaksa melakukan
ini untuk menjaga agar kau tidak bisa sembarangan bergerak.” Hai Kong Hosiang
lalu tertawa bergelak-gelak dengan girangnya dan Vayami terpaksa tak dapat
berdaya sesuatu dan hanya memandang keberangkatan dua orang itu dengan hati
gemas dan mendongkol sekali.
Sambil tertawa-tawa puas melihat hasil
kecerdikannya, Hai Kong Hosiang dan Kam Ki Sianjin mendayung perahu kecilnya
menuju ke arah pulau di mana kedua barisan itu menuju. Di atas pulau itu telah
terjadi pertempuran hebat lagi antara barisan kerajaan yang telah mendapat bala
bantuan. Akan tetapi, kembali Balutin mengamuk dan puluhan perajurit kerajaan
tewas dalam tangannya. Banyak perwira mengeroyoknya, akan tetapi tak seorang
pun yang dapat menandingi kelihaian pendeta gemuk ini.
Ketika tiba di tempat pertempuran, Hai Kong
Hosiang mendengar tentang kematian suhengnya di tangan Balutin, maka bukan
kepalang marahnya. Sambil mencabut keluar tongkat ularnya, ia melompat dan
menerjang Balutin sambil berteriak,
“Balutin bangsat besar! Akulah lawanmu!” Ia
lalu menyerang dengan hebat sekali. Balutin terkejut melihat sepak terjang
pendeta ini dan melawan dengan hati-hati. Mereka berdua ternyata merupakan
tandingan yang setimpal dan seimbang, baik dalam kepandaian maupun dalam
kehebatan tenaga mereka. Tak seorang perwira dari kedua pihak berani maju
mendekat oleh karena beberapa orang perwira yang mencoba untuk membantu kawan,
ternyata baru beberapa gebrakan saja telah roboh dan tewas oleh amukan kedua
orang yang sedang bertempur sengit ini. Keduanya mengeluarkan seluruh
kepandaian dan tenaganya. Adapun Kiam Ki Sianjin yang sudah tua itu memandang
dan menonton dari pinggir saja, akan tetapi dengan penuh perhatian dan siap
menolong apabila Hai Kong Hosiang berada dalam bahaya.
Perahu besar Vayami yang ditinggal seorang
diri terapung-apung di atas laut, terdampar ombak dan kebetulan sekali
mendekati pulau itu. Tiba-tiba kelihatan perahu kecil yang cepat sekali majunya
dan perahu ini bukan lain adalah perahu yang ditumpangi oleh Cin Hai, Ang I Niocu,
Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu. Melihat perahu besar yang terombang-ambing
seakan-akan tidak ada orangnya yang mengemudikannnya itu, Cin Hai dan Ang I
Niocu lalu melompat ke atas perahu itu dan meninggalkan tosu dan hwesio itu di
dalam perahu kecil.
Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat
Vayami duduk tak bergerak bagaikan patung batu. Juga Vayami terkejut sekali
melihat kedua orang ini, akan tetapi ia hanya dapat duduk tanpa mengeluarkan
suara apa-apa. Cin Hai maklum bahwa pangeran ini berada di bawah pengaruh
totokan, maka ia lalu mengulurkan tangan memulihkan totokan yang mempengaruhi
tubuh Pangeran Vayami.
Pangeran Vayami lalu berdiri menjura dengan
hormat sekali kepada Cin Hai dan Ang I Niocu.
“Terima kasih, Taihiap. Sukur engkau datang
menolong, kalau tidak entah bagaimana dengan nasibku yang buruk ini.” Sambil
berkata demikian, ia mengerling kepada Ang I Niocu dengan bibir tersenyum, akan
tetapi hatinya berdebar khawatir dan takut!
Cin Hai dan Ang I Niocu merasa sebal dan benci
melihat pangeran ini, akan tetapi mereka berdua tertarik untuk mengetahui
apakah yang sedang dilakukan oleh pangeran aneh dan licin ini di atas perahu di
dekat Pulau Emas itu.
“Bagaimana kau bisa berada di sini seorang
diri dan berada dalam keadaan tertotok orang? Siapakah yang melakukan itu dan
apa pula maksudmu berada di sini?” tanya Cin Hai tanpa memakai banyak peradatan
lagi.
Pangeran Vayami menghela napas da ia
mengebut-ngebutkan pakaiannya yang indah model bangsawan Han itu. “Dasar Hai
Kong Hosiang yang jahat dan berhati palsu!”
Cin Hai girang sekali mendengar nama itu
disebut-sebut. “Eh, apakah bangsat Hai Kong Hosiang berada di sini? Katakanlah
di mana dia!”
Vayami menghela napas dan memutar otaknya yang
licin dan cerdik. Ia maklum bahwa di antara Hai Kong dan anak muda ini tentu
terdapat permusuhan besar sekali hingga pemuda ini selalu berusaha membunuhnya,
dan ia teringat pula bahwa dulu Cin Hai di perahunya pernah memberitahu bahwa
Hai Kong Hosiang adalah musuh besarnya. Maka ia lalu mengarang sebuah alasan
untuk mengadu domba lagi demi keuntungannya sendiri.
“Sebagaimana kauketahui Hai Kong Hosiang
membawaku untuk menemui kaisar, akan tetapi hwesio itu mendengar bahwa aku
mengetahui tentang Pulau Emas di laut ini, lalu timbul hati jahatnya dan
bersama Supeknya yang gila dan gagu itu, ia memaksa aku mengantarkan mereka
berdua ke sini! Akan tetapi setelah sampai di sini dan mengetahui tempat itu
dia lalu menotokku dan mencuri perahu kecilku dan bersama dengan Supeknya ia
lalu menuju ke sana!”
Mendengar tentang Pulau Emas ini tiba-tiba Ang
I Niocu dan Cin Hai teringat kepada si tosu dan si hwesio yang tak kelihatan
lagi, dan ketika mereka memandang ternyata perahu kecil itu telah bergerak maju
dan telah jauh meninggalkan tempat itu!
”Hai...!!” Ang I Niocu berteriak marah
”Kembalilah kalian!!”
Akan tetapi dari jauh kedua pendeta hanya
melambaikan tangan saja, si hwesio tetap tertawa dan si tosu tetap mewek! Ang I
Niocu marah sekali dan hendak menggunakan perahu kecil yang berada di perahu
besar Vayami itu untuk mengejar, akan tetapi Vayami mengangkat kedua tanganya
dan berkata mencegah,
“Lihiap janganlah mengejar, mereka akan pergi
ke Kim-san-to, biarlah mereka ikut dibakar hidup-hidup!”
Ang I Niocu dan Cin Hai terkejut dan memandang
kepada pangeran yang tersenyum-senyum girang itu dengan heran. Pada waktu itu,
hari telah gelap dan angin bertiup kencang.
“Pangeran Vayami, apa maksudmu dengan ucapan
tadi?” tanya Cin Hai dan Ang I Niocu tidak jadi mengejar kedua pendeta itu oleh
karena ia pun tidak mempunyai urusan dengan mereka. Tadi ia hendak mengejar
hanya karena marah saja dan kini kedua pendeta itu telah lenyap dan tak tampak
lagi pula.
Vayami tersenyum dan berkata, “Sebelum aku
menceritakan kepada kalian, lebih dahulu bantulah aku memasang layar ini karena
aku hendak memperlihatkan sebuah pemandangan indah kepada kalian!”
Cin Hai lalu membantunya memasang layar dan
sebentar perahu besar itu bergerak laju ke kanan. Ternyata Vayami yang juga
pandai mengemudikan perahu, memutarkan perahunya mengelilingi Pulau Kim-san-to
dan berada di belakang pulau setelah melakukan pelayaran lebih dari dua jam.
“Nah, kalian lihat itu!” kata Pangeran Vayami
menunjuk ke pulau.
Ang I Niocu dan Cin Hai cepat memandang dan
mereka berdua menjadi tercengang sekali melihat pemandangan yang mereka lihat
di depan mereka. Di atas Pulau Kim-san-to itu kelihatan sebuah bukit yang
menjulang tinggi dan berujung runcing. Kini di dalam gelap senja, bukit itu
nampak bercahaya dan seakan-akan mengeluarkan sinar yang berkilauan! Puncak
bukit itu nampak nyata berwarna putih kuning kemerah-merahan bagaikan emas
murni, dan di bawah bukit membentang pohon-pohon yang gelap dan hitam. Ang I
Niocu berdiri di pinggir perahu dengan penuh takjub hingga gadis itu untuk
beberapa lama berdiri tak bergerak bagaikan patung! Sementara itu Cin Hai yang
dapat menekan perasaan heran dan kagetnya, segera minta keterangan dari Vayami!
“Ketahuilah, Taihiap, inilah Bukit Emas yang
dicari-cari oleh mereka semua! Tentu kau juga telah melihat bahwa
tentara-tentara Turki dan tentara kerajaan telah saling gempur dan sekarang ini
pun saling bertempur mati-matian di atas pulau itu untuk memperebutkan Bukit
Emas itu, semua orang yang berjumlah ribuan itu, mereka berebut mati-matian
untuk memiliki Bukit Emas. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka telah
berada di tepi neraka, Ha, ha! Juga Hai Kong yang jahat itu sebentar lagi
takkan dapat menyombongkan kepandaiannya karena ia pun akan mati terpanggang
api, di pulau itu, ha, ha, ha!”
Mendengar keterangan ini, Cin Hai merasa heran
sekali dan ia lalu membentak, “Pangeran Vayami! Kaujelaskanlah semua ini
kepadaku! Apakah maksudmu?”
Setelah berusaha sekerasnya untuk menekan
kegirangan dan kegelian hatinya yang hendak tertawa saja, Vayami lalu berkata
lagi,
“Dengarlah, Taihiap dan kau juga, Lihiap. Kami
orang-orang Mongol tidaklah segoblok orang-orang Turki atau orang-orang dari
kaisarmu itu. Aku tidak sudi harus bersusah payah mengerahkan barisan tentara
untuk memperebutkan pulau ini. Sebentar lagi, pulau ini akan menjadi lautan api
dan semua emas akan berada di tanganku. Ya, semua emas akan berada di tangan
Pangeran Vayami!”
Cin Hai makin heran dan ia memandang Pangeran
Pemuka Agama Sakya Buddha yang muda dan tampan ini. Ia melihat bahwa pakaiannya
pemberian kaisar sebagai hadiah dan tanda perhahabatan, akan tetapi tetap saja
mukanya masih jelas bahwa ia adalah seorang Mongol. Cin Hai sama sekali tidak
pernah menyangka bahwa Pangeran Vayami yang cerdik ini sengaja membawa
perahunya ke tempat itu oleh karena memang ia telah berjanji kepada anak
buahnya untuk menanti dengan perahu besar di tempat itu untuk menerima mereka
setelah selesai mengerjakan tugas mereka.
Pangeran Vayami memang mempunyai pikiran yang
cerdik sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianli lihai
sekali, maka setelah melihat munculnya Cin Hai dan Ang I Niocu, ia berniat
menarik kedua orang ini untuk menjadi pembela-pembelanya dan untuk menghadapkan
kedua orang gagah ini kepada Hai Kong Hosiang apabila hwesio itu muncul untuk
mengganggunya. Oleh karena ia menganggap bahwa kedua orang muda gagah ini tidak
mempunyai hubungan sesuatu dengan Turki maupun dengan tentara kerajaan, maka
tanpa ragu-ragu lagi ia lalu melanjutkan ceriteranya dengan suara yang jelas
menyatakan kebanggaan akan kecerdikannya.
“Orang-orang Turki dan barisan kerajaan kaisar
sedang memperebutkan harta di pulau itu, dan oleh karena mereka sedang
bertempur mati-matian, mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk
mencari emas itu yang belum dapat diketahui pasti di mana tempatnya. Dan
diam-diam aku telah menyuruh anak buahku yang tiga puluh enam orang banyaknya
untuk mencarinya semenjak tiga hari sebelum tentara-tentara kedua pihak itu
tiba dan telah memerintahkan apabila mereka telah dapat mengangkut harta itu,
mereka segera harus membakar sebuah danau di pulau itu yang airnya dapat
terbakar seperti minyak domba! Bahkan aku memerintahkan agar seluruh hutan di
situ dibakar semua sampai habis, baru mereka mengangkat kaki dan mengangkut
semua emas itu ke sini!”
Cin Hai dan Ang I Niocu bergidik memikirkan
kekejian orang ini, dan Cin Hai yang teringat kepada Lin Lin tiba-tiba menjadi
pucat wajahnya dan saling pandang dengan Ang I Niocu. Juga Ang I Niocu teringat
bahwa Lin Lin diduga pergi ke pulau itu, maka cepat bertanya,
“Bilakah kiranya perintahmu yang kejam itu
dilakukan?”
Vayami memandang dengan muka berseri. “Malam
ini, tepat tengah malam, jadi tak lama lagi!” katanya sambil memandang ke arah
pulau dan diam-diam pangeran ini juga merasa kuatir sekali oleh karena
orang-orangnya yang ditunggu-tunggu belum kelihatan muncul seorang pun.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa makin terkejut.
“Vayami, tahukah kau di mana adanya seorang Turki Yang bernama Yousuf?” tanya
Cin Hai yang teringat bahwa Lin Lin, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng berlayar
dengan orang Turki ini dan nama ini ia dengar dari dua orang nelayan yang
menceritakan pengalaman mereka dulu.
Vayami berubah air mukanya mendengar nama ini.
Ia pernah bertemu dengan Yousuf dan tahu akan kelihaian orang Turki ini yang
sebenarnya menjadi penemu pertama dari Kim-san-to. “Kau mencari setan itu? Ha,
ha, ha! Tentu dia juga berada di pulau itu. Ya, setan yang bernama Yousuf itu
pun berada di atas pulau dan sebentar lagi ia pun akan musnah!”
“Dan kawan-kawannya yang berlayar bersama
dia?” tanya pula Cin Hai dengan suara gemetar.
“Kawan-kawannya?” kata Vayami yang menyangka
bahwa kawan-kawannya yang dimaksudkan oleh Cin Hai ini tentulah orang-orang
Turki lainnya. “Ha, ha, ha! Semua kawan-kawan Yousuf juga akan terpanggang
mampus di pulau itu.”
“Bangsat besar!” Tiba-tiba Cin Hai memaki dan
ketika tangannya menampar, pipi Vayami kena ditampar hingga giginya rontok dan
tubuhnya terguling ke atas papan perahu. Pangeran ini mengeluh dan
merintih-rintih sambil memegang-megang pipinya yang menjadi matang biru dan
memandang kepada Cin Hai dengan heran.
“Niocu, jaga bangsat ini! Aku hendak menyusul
Lin Lin!”
“Jangan Hai-ji! Pulau itu sebentar lagi akan
terbakar dan siapa tahu, danau berminyak itu bisa meledak'!' kata Ang I Niocu
dengan wajah pucat.
“Lin Lin berada di sana, bahaya besar apakah
yang dapat mencegah aku pergi menolongnya?” tanya Cin Hai dengan napas memburu
dan ia lalu pergi ke perahu kecil dan hendak melemparnya ke air untuk dipakai
menyusul ke Pulau Kim-san-to.
Akan tetapi, pada saat itu, ia melihat bahwa
perahu itu telah dikelilingi oleh banyak perahu-perahu kecil dan tiba-tiba dari
perahu-perahu kecil itu berlompatan naik tubuh orang-orang tinggi besar yang
berjubah merah. Ternyata orang-orang ini adalah anak buah Pangeran Vayami,
pendeta-pendeta Sakia Buddha yang berilmu tinggi dan yang kini berlompatan ke
atas perahu besar dengan senjata di tangan. Jumlah mereka banyak sekali hingga
terpaksa Cin Hai melompat mundur ke dekat Ang I Niocu bersiap sedia menghadapi
keroyokan.
Pangeran Vayami ketika melihat bahwa tiba-tiba
anak buahnya muncul, menjadi girang sekali dan ia lalu timbul pikiran jahat.
Memang hatinya amat tertarik oleh kecantikan Ang I Niocu dan kalau saja
kepandaiannya lebih tinggi dari Gadis Baju Merah yang cantik jelita itu, tentu
ia telah memaksa Ang I Niocu untuk menjadi isterinya. Kini melihat datangnya
semua anak buahnya yang ia percaya akan dapat menundukkan kedua anak muda itu
dengan keroyokan, lalu ia memerintah,
“Tangkap pemuda itu dan lempar dia ke laut!
Tapi jangan ganggu gadis itu dan tawan dia.”
Bagaikan serombongan anjing pemburu yang
terlatih dan mendengar perintah tuannya, tiga puluh enam orang pendeta Sakia
Buddha itu lalu menyerbu dengan mengeluarkan seruan-seruan menyeramkan. Cin Hai
dan Ang I Niocu mencabut pedang masing-masing dan melakukan perlawanan dengan
gagah. Semua pendeta itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dibawa oleh
Vayami untuk melakukan tugas pekerjaan penting, maka mereka ini rata-rata
memiliki kepandaian yang tidak rendah, bahkan ilmu silat mereka yang bercorak
ragam itu membuat Ang I Niocu dan Cin Hai menjadi bingung juga. Akan tetapi,
kedua orang muda ini memiliki ilmu kepandaian sempurna terutama Cin Hai, maka
baru beberapa jurus mereka bertempur, dua orang pengeroyok telah dapat
dirobohkan. Sungguhpun demikian, kesetiaan anak buah Pangeran Vayami terhadap
pangeran itu besar sekali. Mereka tidak mundur bahkan makin mendesak maju.
Jangankan baru menghadapi dua orang anak muda yang lihai, biarpun harus
menyerbu ke lautan api, mereka takkan segan-segan untuk mentaatinya asal keluar
dari mulut Pangeran Vayami, oleh karena mereka menaruh kepercayaan penuh bahwa
kesetiaan mereka ini akan diganjar hadiah Sorga ke tujuh oleh pemimpin agama itu.
Cin Hai dan Ang I Niocu menjadi serba salah.
Untuk membinasakan semua pengeroyok ini bukanlah hal terlalu sukar bagi mereka
berdua, akan tetapi mereka tidak tega untuk membunuh sekian banyak orang yang
hanya menjalankan perintah. Dan keduanya masih merasa gelisah memikirkan nasib
Lin Lin yang berada di pulau itu!
Pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan
hebat dan tahu-tahu tiga bayangan orang melompat ke atas perahu dan mengamuk
dengan hebat disertai suara tertawa menyeramkan! Ketika Cin Hai memandang,
ternyata bahwa yang naik adalah Hek Mo-ko, Pek Mo-ko, dan Kwee An! Ia merasa
girang sekali akan tetapi berbareng juga terkejut dan heran oleh karena
bagaimana pemuda itu dapat datang bersama kedua iblis ini? Ketika melihat Pek
Hek Mo-ko dan Kwee An mengamuk dan membabat semua pendeta Sakia Buddha, Cin Hai
lalu melompat ke pinggir perahu dengan maksud hendak menyusul Lin Lin. Akan
tetapi, ketika ia memandang, ia menjadi terkejut sekali oleh karena di dalam
kekalutan itu, Ang I Niocu telah mendahuluinya dan telah melempar perahu kecil
yang tadi berada di atas perahu dan mendayungnya sekuat tenaga menuju ke pulau
yang bukitnya bersinar-sinar itu!
“Niocu, tunggu!” teriak Cin Hai, akan tetapi
Ang I Niocu melambaikan tangan kepadanya sambil menjawab,
“Jangan, Hai-ji. Biarlah aku saja yang
menyusul, jangan kita berdua terancam bahaya bersama. Kautunggulah saja, aku
akan membawa Lin Lin kepadamu!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu mendayung
makin cepat!
Cin Hai bingung sekali dan ia melihat ke bawah
oleh karena teringat bahwa semua pendeta Sakia Buddha tadi datang dengan
perahu-perahu kecil. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan
bahwa kini tak sebuah pun perahu kecil nampak di situ, dan perahu-perahu ini
telah dipukul hancur dan tenggelam oleh Hek Pek Mo-ko dan Kwee An ketika
ketiganya datang dan melompat ke atas!
Dalam kebingungannya, dan karena keadaan di
situ makin gelap hingga sukar mencari perahu kecil yang dapat membawanya ke
Pulau Kim-san-to, Cin Hai lalu berlaku nekad dan mengayun dirinya ke laut! Ia
mengambil keputusan bendak berenang ke arah pulau yang tak seberapa jauh itu!
Ia tidak rela kalau sampai Ang I Niocu berkorban seorang diri dalam usaha
menolong Lin Lin, sedangkan dia sendiri harus enak-enak menunggu!
Sementara itu, dalam kegembiraan mereka
mengamuk dan membasmi para pendeta Sakia Buddha itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko
tidak mempedulikan lagi hal-hal lain dan sama sekali tidak melihat Cin Hai dan
Ang I Niocu. Sedangkan Kwee An yang melihat mereka, tidak mengerti maksud
mereka itu dan ia pun sedang dikeroyok oleh banyak lawan hingga tak mendapat
kesempatan bertanya lagi. Amukan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko hebat sekali, bagaikan
sepasang naga yang haus darah. Terutama sekali Pek Mo-ko yang masih menderita
sedih karena kematian puterinya, kini mengamuk dan merupakan seorang iblis
tulen! Baik Hek Mo-ko maupun Pek Mo-ko tidak mempunyai alasan untuk memusuhi
pendeta-pendeta baju merah ini dan mereka bertempur hanya atas permintaan Kwee
An yang melihat Cin Hai dan Ang I Niocu dikeroyok! Kedua iblis ini memang suka
sekali bertempur, dan asal mereka bisa bertempur dan membunuh banyak orang,
tidak peduli lagi apa alasannya, mereka sudah cukup merasa senang dan puas!
Inilah sifat aneh yang membuat kedua orang ini disebut Iblis Putih dan Iblis
Hitam! Sedangkan Kwee An yang juga tidak mengerti sebab-sebab pertempuran,
hanya bertindak untuk menolong kedua orang kawannya itu. Kini melihat kedua
orang itu lari ke laut, ia menjadi menyesal akan tetapi tidak berdaya untuk
mencegah kedua iblis itu mengamuk dan melakukan pembunuhan besar-besaran.
Tak lama kemudian, habislah ketiga puluh enam
orang pendeta Sakia Buddha ini berikut Pangeran Vayami terbunuh mati semua oleh
Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko! Sambil tertawa bergelak-gelak kedua iblis ini lalu
menendangi mayat-mayat itu ke dalam laut. Pangeran Vayami yang bernasib malang
itu sampai tidak mengetahui bagaimana hasil dari perintahnya kepada anak
buahnya untuk mencari emas itu! Kalau ia tahu bahwa anak buahnya tidak
mendapatkan emas sepotong pun, jika ia masih hidup pun tentu ia akan jatuh
binasa karena kecewa dan menyesal! Anak buahnya ternyata tak berhasil
mendapatkan sedikitpun emas di pulau itu, biarpun sudah berhari-hari mereka
mencari-cari, karena di pulau itu tidak terdapat emas sepotong kecil pun! Akan
tetapi, mereka mentaati perintah Pangeran Vayami dan ketika melihat peperangan
hebat yang terjadi antara barisan Turki melawan barisan dari kaisar, mereka
lalu membakar minyak yang memenuhi danau kecil di atas bukit itu! Danau itu
mulai terbakar dan bernyala-nyala hebat, akan tetapi hal ini masih belum
diketahui oleh kedua fihak yang mabok perang!
Cin Hai mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya untuk berenang secepat mungkin, akan tetapi di dalam air ia tidak
seleluasa seperti di darat di mana ia boleh mempergunakan ginkangnya untuk
bergerak cepat. Tidak saja kepandaian renangnya memang kurang sempurna, akan
tetapi air laut itu berombak dan ia tidak kuat melawan ombak air hingga
tubuhnya hanya maju perlahan saja dan sebentar juga perahu yang dinaiki Ang I
Niocu telah jauh meninggalkannya. Keadaan di atas permukaan laut itu lebih
gelap lagi dan penunjuk jalan satu-satunya bagi Cin Hai ialah cahaya terang
yang memancar keluar dari Bukit Kim-san-to itu.
Ia masih bergulat dengan ombak laut ketika Ang
I Niocu sudah lama mendarat dan gadis ini tanpa mempedulikan mereka yang
berperang mati-matian, lalu berlari naik ke atas bukit untuk mencari Lin Lin.
Ketika ia naik makin tinggi, sungguh luar biasa, karena cahaya terang itu makin
menghilang dan keadaan di atas bukit sunyi sekali! Bahkan di atas bukit itu
tidak terlihat pohon sama sekali Ang i Niocu berseru keras memanggil,
“Lin Lin…” Suaranya yang dikerahkan dengan
tenaga khikang ini terdengar bergema keras sekali, bahkan terdengar lapat-lapat
oleh Cin Hai yang masih berenang di laut!
“Niocu...!” Cin Hai berseru memanggil karena
ia mengenal suara Ang I Niocu. Hatinya bingung dan cemas sekali. Akan tetapi,
biarpun ia mengerahkan khikangnya, di dalam air itu suaranya tak terdengar jelas
dan menjadi kacau oleh bunyi riak ombak yang menggelora.
“Lin Lin...!” terdengar lagi teriakan Ang I
Niocu dan suara ini membangunkan semangat Cin Hai yang lalu mengerahkan
tenaganya sehingga ia dapat maju lebih cepat.
Ang I Niocu berlari terus ke atas sambil
memanggil nama Lin Lin. Ia sudah berjanji kepada Cin Hai untuk menemukan gadis
kekasih pemuda itu, maka ia bertekad takkan kembali sebelum mendapatkan Lin
Lin. Ketika Ang I Niocu tiba di sebuah puncak yang tinggi, tiba-tiba ia
memandang ke bawah dan kedua matanya terbelalak dan ia menggunakan kedua tangan
untuk menutupi matanya oleh karena tiba-tiba matanya menjadi silau. Di bawah,
tak jauh dari situ ia melihat pemandangan yang dahsyat dan menggetarkan
sanubarinya. Di bawah puncak itu ia melihat api besar sekali berkobar-kobar dan
bernyala-nyala seakan-akan neraka sendiri terbuka di hadapan kakinya! Inilah
danau penuh minyak tanah yang dibakar oleh kaki tangan Pangeran Vayami!
Dengan hati penuh kengerian dan cemas, Ang I
Niocu berteriak lagi, “Lin Lin…! Lin Lin…! Di mana kau…??”
Akan tetapi suara teriakannya yang keras ini
seakan-akan hanya menambah besar berkobarnya api yang membakar seluruh danau
itu! Ang I Niocu dengan mata terbelalak memandang ke arah api dan tiba-tiba ia
melihat seakan-akan bayangan Pangeran Vayami berdiri di tengah-tengah api
sambil tersenyum-senyum dan melambai-lambaikan tangan kepadanya! Ang I Niocu
menggigil dengan penuh kengerian dan mukanya penuh keringat. Ia menggosok-gosok
kedua matanya akan tetapi bayangan Pangeran Vayami makin jelas saja. Sambil
berseru ngeri dan takut, Ang I Niocu berlari ke sana ke mari sambil
memekik-mekik memanggil nama Lin Lin,
“Lin Lin...! Lin Lin...! Keluarlah, Lin Lin.
Hai-ji menunggu kau...!”
Akan tetapi, sampai serak suaranya memanggil-manggil
dengan kerasnya sambil berlari-lari menubruk sana menubruk sini, namun yang
dipanggilnya tidak juga menjawab atau muncul.
Nyala api di danau yang membesar dan membubung
tinggi itu nampak juga oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Maka Hai Kong
Hosiang segera menyerang makin keras kepada Balutin sambil berteriak minta
supeknya membantu. Kiam Ki Sianjin lalu melompat maju dan menyerang Balutin
dengan kebutan ujung lengan bajunya yang lebar. Balutin terkejut sekali oleh
karena merasa betapa angin sambaran ujung baju itu keras dan luar biasa! Ia
mencoba berkelit, akan tetapi serangan susulan dari Kiam Ki Sianjin membuatnya
terhuyung-huyung ke belakang dan pada saat itu tongkat ular Hai Kong Hosiang
tepat menusuk jalan darah lehernya. Sambil mengeluarkan teriakan keras, Balutin
roboh dan tewas!
Kiam Ki Sianjin lalu mengempit tubuh Hai Kong
Hosiang dan dengan lari cepat bagaikan terbang, kakek gagu ini meninggalkan
tempat pertempuran menuju ke pantai dan keduanya lalu melarikan diri di atas
sebuah perahu!
Cin Hai juga melihat membubungnya api yang
menjilat-jilat langit dan seakan-akan membakar awan-awan di atas itu. Ia makin
bingung dan gelisah, lalu berteriak-teriak sambil berenang cepat-cepat.
“Niocu...! Lin Lin...!” Akan tetapi lagi-lagi
suaranya tenggelam ditelan suara ombak menderu.
Pada saat itu, terdengar ledakan yang kerasnya
sampai menggetarkan tubuh Cin Hai yang berenang di air! Pemuda ini melihat
betapa api yang berkobar di atas bukit itu tiba-tiba saja pecah dan pulau itu
dalam sekejap mata menjadi terang oleh karena telah terbakar menjadi lautan
api! Tepat sebagaimana ramalan Pangeran Vayami, pulau itu berubah menjadi
neraka! Cin Hai membelalakkan matanya dan pada saat setelah suara menggelegar
itu lenyap, ia masih mendengar suara Ang I Niocu lapat-lapat.,
“Lin Lin... Lin Lin... Hai-ji...!”
Cin Hai merasa seakan-akan jantungnya berhenti
berdetik dan tenggorokannya seakan-akan tercekik sesuatu! Tiba-tiba, sebagai
akibat daripada letusan dahsyat itu, ombak besar datang menggulung dirinya dan
tubuhnya terlempar ke atas, lalu diterima lagi oleh ombak dan dibawa hanyut
jauh kembali ke tempat semula!
Cin Hai mencoba berseru lagi. “Niocu... Lin
Lin...!” akan tetapi suaranya tak dapat keluar dari kerongkongannya dan ia
merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan tidak kuat berenang pula!
Perlahan-lahan tubuhnya tenggelam, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara
bisikan.
“Hai-ji... kuatkanlah hatimu... Lin Lin
menanti-nantimu...”
Cin Hai terkejut. Inilah suara Ang I Niocu!
Cepat ia mengerahkan tenaga dan dapat timbul lagi ke permukaan air. Ia
memandang ke sana ke mari mencari-cari, akan tetapi yang nampak hanya ombak
dengan kepala ombak keputih-putihan menyambar lagi dan ia terombang-ambing
menjadi permainan ombak. Kembali tubuhnya menjadi lemas dan ketika ia telah
merasa putus asa tiba-tiba ia melihat bayangan wajah Ang I Niocu di dalam air
dan bibir bayangan gadis itu bergerak-gerak dalam bisikan,
“Hai-ji... kuatkanlah hatimu... kuatkanlah,
aku mencari Lin Lin untukmu...”
Dengan tenaga terakhir Cin Hai berenang lagi
dan tiba-tiba tangannya menyentuh benda keras yang ternyata adalah sebuah
perahu kecil yang terbalik. Ia segera mengangkat perahu itu dan membalikkannya,
dan itu adalah perahunya yang siang tadi ia naiki bersama Ang I Niocu dan yang
telah dilarikan oleh Si Hwesio dan Si Tosu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu!
Agaknya perahu itu terpukul ombak dan terguling, dan entah bagaimana nasib
kedua pendeta itu! Dengan sekuat tenaga Cin Hai mengangkat tubuhnya ke dalam
perahu dan akhirnya jatuh pingsan di dalam perahu kecil yang masih
terombang-ambing oleh ombak besar itu.
Ternyata bahwa oleh karena pulau itu
mengandung minyak yang terbakar dan meletus, maka minyak yang telah menjadi api
itu membakar seluruh pulau, bahkan kini minyak yang bernyala-nyala terbawa oleh
air sampai di mana-mana hingga seakan-akan laut itu telah terbakar! Daya tekan
letusan hebat itu telah menimbulkan gelombang hebat yang susul menyusul dengan
dahsyatnya.
Seluruh benda, berjiwa maupun tidak, yang berada
di atas pulau itu binasa dan terbakar habis. Jangankan mahluk tak bersayap yang
tak dapat melarikan diri, sedangkan burung-burung yang berada di pohon pun tak
dapat menghindarkan diri dari bencana dan sebelum mereka terbang cukup tinggi,
telah terpukul oleh letusan itu dan runtuh ke atas tanah untuk menjadi korban
api yang mengamuk hebat.
Perahu kecil yang ditumpangi Cin Hai terdampar
ombak dan kembali ke pantai daratan Tiongkok. Ketika Cin Hai siuman dari
pingsannya, ia merasa kepalanya masih pening. Pemuda itu bangkit perlahan dan
ternyata ia telah berada di dalam perahu kecil itu semalam penuh oleh karena
waktu itu telah menjelang pagi! Karena melihat bahwa dekat dengan pantai, maka
Cin Hai lalu melompat turun ke air yang dangkal dan berlari cepat ke pantai.
Tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa,
teriakan yang dibarengi suara senjata beradu! Ia cepat berlari menuju ke arah
suara itu dan menjadi kaget berbareng girang melihat bahwa di sebelah kiri,
dekat pantai di mana air laut masih bergelombang memukul batu-batu karang, di
situ terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat! Ketika ia telah datang
dekat, maka yang bertempur itu adalah Hek Mo-ko melawan Pek Mo-ko. Inilah yang
membuat ia kaget dan heran, sedangkan yang membuat hatinya memukul girang
adalah ketika ia melihat bahwa di dekat tempat pertempuran itu, empat orang
sedang berdiri sebagai penonton, yaitu bukan lain Kwee An, Biauw Suthai, Pek I
Toanio dan Si Nelayan Cengeng!
Melihat hadirnya Si Nelayan Cengeng di situlah
yang membuat hati Cin Hai berdebar girang sekali, karena bukanlah Lin Lin
bersama-sama dengan nelayan tua itu? Akan tetapi hatinya kecut dan cemas
kembali, karena ia tidak melihat Lin Lin dan Ma Hoa berada di situ!
Cin Hai lalu berlari keras menghampiri mereka
dan tanpa mempedulikan orang lain maupun yang sedang bertempur, ia lalu
menghampiri Kong Hwat Tojin Si Nelayan Cengeng dan terus menjatuhkan diri
berlutut sambil bertanya dengan suara tak sabar,
“Locianpwe, di mana adanya Lin Lin?”
Kedatangan pemuda ini sama sekali di luar
dugaan Nelayan Cengeng dan yang lain-lain, maka mereka berempat lalu mengurung
pemuda ini, hanya Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko yang tidak ambil peduli dan terus
bertempur dengan hebat dan mati-matian!
“Locianpwe, bagaimana dengan Lin Lin?” tanya
pula Cin Hai dengan muka pucat dan tubuh menggigil karena terdorong oleh gelora
hatinya yang penuh kecemasan.
“Ah, Cin Hai... engkau selamatkah...?” tanya
Si Nelayan Cengeng dengan terharu sekali, kemudian melihat keadaan pemuda itu
yang amat mengkhawatirkan ia segera menyambung. “Lin Lin dan Ma Moa selamat,
mereka berdua pergi dengan Yousuf!”
Mendengar betapa Lin Lin selamat, Cin Hai
tiba-tiba menangis tersedu-sedu, menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan
setelah menjerit perlahan, “Lin Lin... ah, Niocu...!” lalu pemuda itu jatuh
pingsan lagi!
Semua orang sibuk sekali, terutama Kwee An
yang terus memeluk tubuh kawannya itu dan memijat-mijat belakang kepala Cin Hai
hingga tak lama kemudian pemuda ini sadar kembali dalam pelukan Kwee An.
Melihat Kwee An, Cin Hai lalu membalas memeluk dan pemuda ini menangis lagi.
Seribu satu macam hal yang telah berada di
ujung lidah mereka hendak diceritakan dan ditanyakan kepada Cin Hai, akan
tetapi kini mereka terganggu oleh pertempuran hebat di dekat mereka. Bahkan Cin
Hai tak sempat menceritakan pengalamannya, dan sambil memandang ke arah dua
iblis yang sedang bertempur itu, ia tak tahan pula untuk tidak menyatakan
keheranannya dan bertanya kepada Kwee An,
“Mengapa mereka saling hantam sendiri?”
Dengan muka sedih Kwee An berkata kepadanya
tanpa menjawab pertanyaan itu, “Cin Hai, hanya kau yang bisa menolong.
Pergunakanlah kepandaianmu dan cegahlah mereka saling membunuh.”
Cin Hai tidak mengerti akan maksud Kwee An
oleh karena ia tidak tahu hubungan Kwee An dengan Hek Mo-ko, akan tetapi oleh
karena ia percaya penuh kepada Kwee An, ia lalu bangkit berdiri dan
mengumpulkan seluruh tenaganya yang telah lemas.
Akan tetapi ia terlambat. Pada saat itu, Hek
Mo-ko dan Pek Mo-ko yang bertempur sambil mempergunakan pedang mereka yang luar
biasa, telah mempergunakan serangan-serangan nekad dan pada suatu saat,
keduanya menjerit ngeri dan terhuyung-huyung ke belakang. Pek Mo-ko terus roboh
binasa dengan dada terluka oleh pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini sendiri
telah terkena pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat menghantam dadanya
hingga Pek Mo-ko mendapat luka dalam yang hebat dan jantungnya terguncang.
Setelah melihat Pek Mo-ko roboh tak bernyawa,
Hek Mo-ko yang masih dapat bergerak, lalu merangkak menghampiri adik
seperguruannya ini dan setelah tertawa bergelak-gelak ia lalu memeluk mayat Pek
Mo-ko sambil menangis sedih sekali. Kemudian ia muntahkan darah dari mulutnya
dan roboh pingsan di dekat mayat Pek Mo-ko.
Mengapa kedua iblis yang biasanya sehidup
semati dan saling membela ini tiba-tiba bisa bertempur mati-matian dan saling
membunuh di pantai itu, ditonton oleh Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan
Si Nelayan Cengeng? Baiklah kita melihat keadaan di situ sebelum Cin Hai
terdampar ke pantai.
Setelah Kwee An dan kedua iblis itu mengamuk
dan membasmi Pangeran Vayami dan seluruh anak buahnya, mereka bertiga lalu
mengajukan perahu itu ke arah Pulau Kim-san-to. Akan tetapi di pulau itu,
mereka melihat api berkobar hebat hingga menjadi takut dan memutar arah perahu.
Tiba-tiba terjadi letusan hebat itu dan perahu mereka yang besar menjadi
permainan gelombang air laut dan terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali.
Dengan pucat dan ketakutan ketiganya lalu melompat ke darat sambil memandang ke
arah Pulau Emas yang menjadi neraka itu. Mereka bergidik, bahkan Hek Pek Mo-ko
dua iblis yang berhati kejam dan tak kenal takut, kini setelah melihat
pemandangan mengerikan itu, menjadi pucat dan merasa ngeri juga.
Terutama sekali Kwee An, oleh karena pemuda ini
teringat akan Cin Hai dan Ang I Niocu yang telah disaksikan dengan kedua mata
sendiri bahwa kedua orang itu tadi menuju ke Pulau Emas. Bagaimanakah nasib
mereka? Kwee An tak terasa pula mengalir air mata oleh karena ia tidak
ragu-ragu lagi bahwa jiwa kedua orang itu pasti sukar ditolong dalam keadaan
seperti itu. Siapakah orangnya yang kuasa menolong mereka yang berada di dekat
neraka dan lautan api itu?
Menjelang fajar, tiba-tiba sesosok bayangan
orang melompat dari air ke dekat mereka dan ternyata bahwa bayangan orang ini
adalah Si Nelayan Cengeng! Tepat pada saat itu, dari jurusan darat datang
berlari dua orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika telah dekat, dua
orang itu bukan lain ialah Biauw Suthai dan Pek I Toanio! Kwee An yang mengenal
ketiga orang yang baru muncul pada waktu yang sama ini segera berlari
menghampiri berteriak memanggil.
Akan tetapi, Pek Mo-ko yang masih haus darah
dan agaknya masih belum puas dengan pembunuhan-pembunuhan hebat yang ia lakukan
dengan Hek Mo-ko di atas perahu Pangeran Vayami, telah mendahului Kwee An dan
tanpa bertanya apa-apa lagi ia lalu menyerang Si Nelayan Cengeng yang berada
terdekat. Kaget sekali Nelayan Cengeng ketika melihat dirinya diserang hebat
oleh seorang tinggi besar yang berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng
bukanlah orang lemah maka dengan mudah ia lalu berkelit dan balas menyerang
sambil berseru,
“Eh, iblis dari mana datang-datang menyerang
orang? Apakah tiba-tiba kau kemasukan setan Pulau Kim-san-to?”
Akan tetapi, ketika melihat bahwa kakek yang
muncul dari dalam air itu dengan mudah dapat mengelak seranganpya, Pek Mo-ko
menjadi marah sekali dan menyerang lebih hebat lagi.
“Pek-susiok, jangan menyerang dia! Dia adalah
Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!” Akan tetapi, Pek Mo-ko tidak mau pedulikan
teriakan Kwee An bahkan menyerang makin hebat lagi.
Sementara itu, Biauw Suthai yang mendengar
nama kedua orang yang sedang bertempur itu disebut oleh Kwee An, tak ragu-ragu
lagi untuk memilih hak. Ia telah lama mendengar nama Nelayan Cengeng sebagai
seorang tokoh persilatan golongan pendekar berbudi, sedangkan nama Pek Mo-ko
telah terkenal bagai iblis jahat yang kejam, maka ketika melihat bahwa lambat
laun Si Nelayan Cengeng terdesak hebat, Biauw Suthai lalu melompat maju sambil
mencabut keluar hudtimnya dan berseru,
“Pek Mo-ko, jangan kau mengganggu orang di
depanku!”
Pek Mo-ko tertawa ketika melihat tokouw ini,
oleh karena ia dapat mengenal wanita pendeta yang bermata satu dan beroman
buruk ini.
“Biauw Suthai, kebetulan sekali aku sedang
gembira! Mari kau maju sekalian untuk menerima binasa!” Sambil berkata begini
Pek Mo-ko lalu mencabut keluar pedangnya yang luar biasa itu dan menyerang
dengan penuh semangat, Biauw Suthai menangkis dan Si Nelayan Cengeng yang
mendengar nama Biauw Suthai, lalu berkata,
“Suthai, jangan kuatir, aku membantumu
membasmi iblis ini,” lalu kakek nelayan yang gagah ini maju pula dengan tangan
kosong melawan pedang Pek Mo-ko. Ia mengeluarkan pukulan-pukulan keras dan
lihai dan biarpun bertangan kosong, namun kakek yang lihai ini tidak kurang
berbahayanya. Dikeroyok dua Pek Mo-ko menjadi sibuk juga dan terdesak.
Pengeroyoknya bukanlah orang-orang biasa dan adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi,
maka tidak heran apabila Pek Mo-ko kehilangan kegarangannya menghadapi mereka
ini.
Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan
hitam dan tahu-tahu Hek Mo-ko telah menyerbu ke tengah pertempuran, membantu
Pek Mo-ko. Ilmu silat kedua iblis ini memang merupakan kepandaian pasangan dan
apabila kedua iblis ini telah maju berbareng, maka kelihaian mereka menjadi
berlipat-ganda. Sebentar saja Biauw Suthai dan Nelayan Cengeng terdesak hebat
oleh kedua pedang Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang luar biasa.
Pek I Toanio ketika melihat gurunya berada
dalam bahaya, tidak mau tinggal dan maju membantu. Namun apa artinya bantuan
Pek I Toanio yang tingkatnya masih kalah jauh? Tetap saja sepasang iblis itu
mendesak hebat sambil tertawa-tawa.
Kwee An menjadi sibuk sekali. Berkali-kali ia
berteriak mencegah Hek Pek Mo-ko, akan tetapi suaranya tidak dihiraukan oleh
kedua iblis yang sedang bergembira itu, seperti biasa kalau mereka berkelahi
dan dapat mendesak serta mempermainkan lawan! Kwee An tak dapat membiarkan
kedua iblis itu membunuh tiga orang ini, maka terpaksa ia lalu mencabut pedang dan
menyerbu membantu Biauw Suthai dan kawan-kawannya. Pertempuran makin hebat,
akan tetapi ketika Hek Mo-ko melihat “anaknya” maju membantu lawan, menjadi
ragu-ragu dan tiba-tiba ia berteriak,
“Tahan dan mundur semua!” Suaranya menggeledek
dan berpengaruh sekali hingga semua orang menahan senjata masing-masing.
“Siauw-mo (Setan Cilik), mengapa kau membantu
musuh?” tanya Hek Mo-ko sambil memandang Kwee An dengan heran tapi suaranya
penuh nada mencinta.
“Maaf, Ayah. Mereka ini adalah kawan-kawan
baikku, bahkan Kong Hwat Locianpwe ini masih dapat disebut guruku sendiri.
Tidak boleh Ayah dan Pek-susiok membinasakan mereka!” kata Kwee An dengan gagah
sambil menentang pandangan mata ayah angkatnya.
Hek Mo-ko menghela napas dan berkata perlahan,
“Kalau begitu biarlah aku tidak menyerang mereka lagi.”
Akan tetapi Pek Mo-ko tiba-tiba menjadi
beringas dan marah sekali. Ia menuding dengan pedangnya ke arah Kwee An dan
membentak. “Anjing tak kenal budi! Beginikah kau membalas kami? Bagaimana juga,
hari ini aku harus mencium bau darah orang-orang ini!”
Setelah berkata demikian, Pek Mo-ko maju
menyerang lagi dengan hebat, akan tetapi pedang Kwee An menangkis pedangnya dan
anak muda ini berseru, '“Pek-susiok! Kebaikan mereka lebih dari pada
kekejamanmu! Kalau kau tetap berkeras, terpaksa aku memberanikan diri
melawanmu!”
Pek Mo-ko makin marah. “Bagus sekali! Aku akan
membunuh kau lebih dahulu!” Ia lalu mengirim serangan hebat dan ketika Kwee An
menangkis, pemuda ini terkejut oleh karena tenaga Pek Mo-ko benar-benar hebat
sehingga tangkisan itu membuat ia terhuyung-huyung belakang. Pek Mo-ko memburu
dan mengirim serangan hebat hingga terpaksa Kwee An membuang diri ke belakang
sambil bergulingan di atas tanah, untuk menghindarkan diri dari serangan maut.
“Ha-ha-ha! Bangsat rendah, kau hendak lari ke
mana!” teriak Pek Mo-ko sambil memburu untuk memberi tusukan terakhir, tetapi
pada saat itu Hek Mo-ko melompat maju dan menangkis pedang Pek Mo-ko sehingga
terdengar suara keras dan kedua pedang itu mengeluarkan api! Baru kali ini
selama mereka hidup, pedang mereka ini saling beradu.
Pek Mo-ko memandang kepada Hek Mo-ko dengan
mata terbelalak dan muka berubah merah, tanda bahwa ia merasa penasaran dan
marah sekali, juga heran.
“Suheng, kau... kau... hendak melawan aku?”
tanyanya gagap.
Hek Mo-ko memandang tajam. “Sute, kau tidak
boleh turunkan tangan kepada anakku!”
“Apa? Dia bukan anakmu, dia adalah kawan
musuh-musuh kita!” bentak Pek Mo-ko sambil menubruk lagi ke arah Kwee An yang
telah bersiap sedia dan menangkis.
“Pek-sute! Jangan kauserang anakku!” teriak
Hek Mo-ko dengan marah.
“Suheng, tinggal kaupilih. Kau membela aku
atau membela binatang ini!” jawab Pek Mo-ko dengan melolotkan mata.
“Pikir saja sendiri olehmu! Anak dan Sute,
mana lebih berat?”
Tiba-tiba Pek Mo-ko tertawa bergelak. “Anak?
Ha-ha, kau mabok, Suheng! Kau tidak punya anak! Ha-ha, kau tidak punya anak
lagi! Anakmu telah mampus, seperti anakku!”
Mengertilah semua orang kini bahwa sebenarnya
Pek Mo-ko yang kematian puterinya itu, merasa iri hati melihat Hek Mo-ko
mengambil Kwee An sebagai anak angkat! Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Si
Nelayan Cengeng memandang perdebatan ini dengan penuh perhatian dan tak terasa
pula mereka berdiri saling mendekati, merupakan kelompok yang menonton
pertentangan antara kedua iblis itu.
Hek Mo-ko menjadi marah sekali mendengar
ucapan adiknya itu, maka ia lalu menggerak-gerakkan pedang di tangannya dan
berkata tegas. “Siapa peduli ocehanmu? Pendeknya, kalau kau mengganggu Siauw
Mo, kau harus dapat mengalahkan pedangku ini dulu!”
“Kau sudah bosan hidup!” Pek Mo-ko membentak
dan menyerang dengan hebat. Hek Mo-ko juga menggereng marah dan menangkis lalu
balas menyerang. Demikianlah, kedua saudara yang tadinya sehidup semati itu
lalu bertempur mati-matian sehingga mereka tidak menghiraukan kedatangan Cin
Hai dan bahkan kemudian Pek Mo-ko mati di ujung pedang Hek Mo-ko, sedangkan
Iblis Hitam ini terkena pukulan hebat dari Pek Mo-ko hingga menderita luka
dalam yang berbahaya dan roboh pingsan.
Melihat keadaan Hek Mo-ko itu, hati Kwee An
yang merasa sayang karena berhutang budi, menjadi terharu sekali. Pemuda ini
menubruk tubuh Hek Mo-ko dan mengangkat kepala iblis itu di pangkuannya sambil
mengeluh,
“Ayah...” Tentu saja Cin Hai dan lain-lain
merasa heran sekali dan saling pandang dengan tak mengerti melihat kelakuan
Kwee An itu!
Kwee An segera memeriksa keadaan Hek Mo-ko,
lalu pemuda ini menengok kepada Biauw Suthai yang pandai hal pengobatan sambil
berkata,
“Suthai, tolonglah kauobati dia ini!”
Biarpun hatinya ragu-ragu untuk memeriksa dan
menolong Iblis Hitam yang terkenal jahat dan kejam itu, Biauw Suthai tidak
menolak permintaan Kwee An. Ia lalu menghampiri dan memeriksa dada yang
terpukul, akan tetapi ia lalu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata,
“Tak ada gunanya lagi. Jantungnya telah kena
pukul dan terluka. Tidak ada obatnya bagi pukulan ini.” Ia lalu mengurut dan
menotok dada Hek Mo-ko untuk mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Iblis
Hitam itu.
Tak lama kemudian Hek Mo-ko membuka matanya
ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan Kwee An, ia tersenyum dan dari
kedua matanya mengalir air mata!
“Bagus... bagus... kau betul-betul anakku yang
kusayang, Siauw Mo! Aku... aku puas dapat mati dalam pelukan anakku...” Agaknya
Hek Mo-ko telah menggunakan tenaganya yang terakhir untuk mengucapkan kata-kata
ini, karena lehernya lalu tiba-tiba menjadi lemas dan ia menghembuskan napas
terakhir.
Kwee An menahan isak tangis yang mendorong
perasaannya dari dada. Kemudian dengan sedih dan tak banyak mengeluarkan
kata-kata ia lalu menggali lubang, dan dibantu oleh Cin Hai dan Si Nelayan
Cengeng, mereka lalu mengubur kedua jenazah sepasang iblis yang telah
menggemparkan kalangan kang-ouw untuk puluhan tahun lamanya itu.
Setelah penguburan kedua jenazah itu selesai
barulah semua orang berkumpul untuk menuturkan riwayat dan perjalanan
masing-masing. Sebelum menuturkan pengalamannya, Cin Hai menengok ke arah Pulau
Kim-san-to dengan pandangan sayu dan melihat betapa pulau itu masih tetap
berkobar bagaikan api neraka mengamuk. Lalu dengan suara terputus-putus dan
keharuan besar mempengaruhi lidahnya ia menceritakan riwayatnya, semenjak
berpisah dari Kwee An dalam pertempuran melawan Hai Kong Hosiang dulu sampai
tertolong oleh Ang I Niocu dan bersama Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu mencari
Pulau Emas. Ketika ia menceritakan tentang pertempuran Ang I Niocu dengan
seekor burung Kim-tiauw, ia menghela napas dan berkata,
“Memang betul ramalan pendeta itu bahwa
pertempuran dengan burung Rajawali Emas itu mendatangkan bencana besar. Niocu
yang bertempur melawan burung itu sekarang tidak ketahuan nasibnya di pulau
yang berubah menjadi neraka, sedangkan kedua pendeta yang tertimpa kotoran
burung itu pun agaknnya terkena bencana pula. Buktinya perahu mereka kudapatkan
terbalik di lautan sedangkan mereka tidak kelihatan lagi!”
Semua orang merasa terharu dan kasihan sekali
kepada Ang I Niocu yang telah mencegah Cin Hai mendekati pulau untuk mencari
Lin Lin, bahkan yang menggantikan pemuda itu menuju ke pulau yang berbahaya,
padahal telah mendengar dari Pangeran Vayami bahwa pulau itu hendak dibakar dan
diledakkan! Dara Baju Merah yang luar biasa itu ternyata telah mengorbankan
diri guna menolong dan membela Cin Hai dan Lin Lin. Sungguh perbuatan yang
mulia sekali. Apalagi bagi Cin Hai yang mengetahui apa yang terkandung dalam
hati sanubari Dara Baju Merah itu terhadap dirinya.
Setelah Cin Hai selesai menuturkan
pengalamannya yang mengerikan, lalu tiba giliran Kwee An untuk menuturkan
perjalanannya. Ia menceritakan betapa setelah ia terlempar ke dalam sungai
dirinya terbawa hanyut dan diserang oleh ratusan ekor buaya yang ganas dan
kemudian jiwanya tertolong oleh Hek Mo-ko. Kemudian ia diambil anak oleh Iblis
Hitam itu dan diberi pelajaran silat, dan bersama Hek Pek Mo-ko lalu pergi
mencari Pulau Emas dan berhasil membantu Cin Hai dan Ang I Niocu yang dikeroyok
di perahu Pangeran Vayami. Ia menuturkan betapa kedua iblis itu telah membasmi
seluruh anak buah Pangeran Vayami dan membinasakan pangeran itu sendiri dan
betapa perahunya terdampar oleh gelombang besar ke pantai.
Setelah ia menuturkan semua pengalamannya,
maka mengertilah semua orang mengapa Kwee An yang telah diaku anak dan diberi
nama Siauw Mo atau Iblis Kecil oleh Pek Mo-ko itu demikian sayang kepada lblis
Hitam ini. Dan hal ini pun dianggap wajar oleh semua pendengarnya, oleh karena
memang demikianlah seharusnya sifat seorang ksatria yang biarpun kejam dan
jahat, namun masih diliputi hati sayang dan cinta suci terhadap seorang anak
pungut.
Biauw Suthai dan Pek I Toanio yang mendapat
giliran menuturkan pengalaman mereka, tidak dapat bercerita banyak. Mereka ini
oleh karena mengkhawatiran keadaan Ang I Niocu dan Lin Lin yang diam-diam pergi
meninggalkan rumah tanpa memberi tahu, lalu menyusul. Akan tetapi, biarpun
telah merantau berapa lama, mereka tak berhasil mendapatkan jejak kedua orang
gadis itu. Akhirnya mereka bertemu dengan orang-orang dusun di utara yang
bicara tentang penyerbuan tentara Turki ke timur hingga hal yang aneh ini
menarik hati Biauw Suthai dan ia mengajak muridnya untuk menyusul ke timur dan
melihat apakah sebenarnya yang dikerjakan oleh barisan asing itu. Akhirnya
mereka dapat menyusul ke pantai ini dan melihat Si Nelayan Cengeng bertempur
melawan Pek Mo-ko dan membantu kakek nelayan yang gagah ini.
Setelah tiba giliran Si Nelayan Cengeng untuk
menuturkan riwayatnya yang didengar dengan penuh perhatian oleh Cin Hai, Kwee
An, Biauw Suthai dan muridnya, Kong Hwat Lojin menghela napas berulang-ulang,
kemudian ia mulai ceritanya yang panjang.
Sebagaimana telah diketahui di bagian depan,
setelah Nelayan Cengeng memperlihatkan kemahirannya di dalam air dan berhasil
mengambil perahu Yousuf yang tenggelam dari dasar sungai, dia dan Yousuf dengan
bantuan Ma Hoa dan Lin Lin lalu memperbaiki perahu itu dan kemudian berangkat
berlayar menuju ke laut.
Di sepanjang pelayaran mereka, Yousuf dapat
menggembirakan hati Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa dengan macam-macam
cerita yang didongengkannya. Ternyata bahwa orang Turki ini telah mempunyai
banyak sekali pengalaman hidup dan sudah banyak melakukan perantauan-perantauan
ke luar negeri. Ia bercerita tentang orang-orang yang tinggi besar seperti
raksasa, berambut merah dan bermata biru, hingga Lin Lin dan Ma Hoa menjadi
ngeri dan takut.
“Apakah mereka itu suka makan orang?” tanya Ma
Hoa sambil menggeser duduknya mendekati Lin Lin oleh karena ketika itu telah
malam dan kegelapan malam membuat ia membayangkan hal-hal yang mengerikan
ketika mendengar cerita Yousuf tentang orang-orang aneh itu.
Mendengar pertanyaan ini, Yousuf tertawa geli.
“Aah, tidak, mereka itu juga manusia seperti kita. Bahkan, mereka itu memiliki
ilmu kepandaian tinggi dan dapat membuat barang-barang yang aneh dan indah.
Hanya saja, mereka itu bersikap kasar dan tidak tahu adat. Mereka tinggal di
Barat.”
“Apakah yang disebut Dunia Barat?” tanya Lin
Lin. Pada waktu itu Tiongkok telah kenal dengan India yang di sebut Dunia
Barat, bahkan Agama Buddha datangnya juga dari India. Mendengar bahwa
raksasa-raksasa berambut merah dan bermata biru itu berada di Barat, maka Lin
Lin mengajukan pertanyaan itu.
“Bukan, mereka bahkan tinggal lebih jauh lagi
dari Dunia Barat. Orang-orang di Dunia Barat memang tinggi besar akan tetapi
kulit dan warna rambut mereka sama dengan kita. Mungkin banyak yang lebih hitam
kulitnya kalau dibandingkan dengan kalian orang-orang Han. Akan tetapi adat
istiadat mereka itu tak berbeda jauh dengan kita sendiri.”
Kemudian Yousuf menceritakan pula
pengalaman-pengalamannya ketika ia merantau jauh ke utara hingga ia
menyebut-nyebut tentang bukit-bukit es yang dinginnya membuat ludah yang
dikeluarkan dari mulut menjadi beku sebelum tiba di atas tanah! Pendeknya,
banyak hal-hal aneh yang terjadi di luar Tiongkok yang bagi ketiga orang
pendengarnya, jangan kata menyaksikan, bahkan mendengar pun belum pernah,
diceritakan oleh Yousuf hingga ketiga orang itu menjadi tertarik dan senang
sekali. Juga perasaan mereka terhadap Yousuf yang peramah dan pandai membawa
diri itu menjadi makin berkesan baik. Setelah bergaul selama beberapa hari di
atas perahu, kedua gadis itu harus mengakui bahwa Yousuf adalah seorang
laki-laki yang sopan santun, pandai berkelakar dengan sopan, dan mempunyai
pribadi tinggi. Bahkan Nelayan Cengeng terpaksa harus melempar syakwasangka
yang tadinya timbul di hatinya ketika bertemu dengan orang Turki ini.
“Dulu kau berkata tentang Pulau Kim-san-to,
maukah kau menceritakan tentang pulau itu? Kita sedang menuju sana, maka ada
baiknya bagi kami bertiga untuk mengetahui serba cukup tentang hal-ihwal pulau
itu,” kata Nelayan Cengeng, dan Lin Lin serta Ma Hoa pun mendesak sambil
mendengarkan.
Setelah bergaul dengan ketiga oraang Han ini,
Yousuf juga mendapat kesan baik sekali dan ia mengagumi sepenuh hatinya
sifat-sifat mereka yang gagah berani. Ia kini percaya bahwa di Tiongkok memang
banyak sekali pendekar-pendekar atau orang-orang gagah yang pekerjaannya hanya
menolong sesama manusia dan menjadi pelopor-pelopor serta penegak-penegak
keadilan. Terhadap Nelayan Cengeng ia merasa kagum sekali dan memandang penuh
hormat seperti seorang saudara tua, sedangkan terhadap Ma Hoa don Lin Lin, ia
merasa sayang dan suka. Hatinya yang tadinya tertarik seperti tertariknya hati
laki-laki terhadap seorang wanita, lambat laun berubah menjadi kasih sayang
seorang tua terhadap anaknya atau seorang kakak terhadap adiknya. Hal ini
timbul dari kesadarannya yang tinggi yang tidak mengizinkan hatinya untuk
memaksa seorang gadis mencintainya, dan biarpun ia mencinta gadis itu dengan
sungguh-sungguh, melihat sikap Lin Lin terhadapnya yang polos dan jujur
bagaikan sikap seorang adik sendiri, maka nafsu-nafsu berahi yang tadinya
mengotori kasih sayangnya terhadap gadis itu, menjadi luntur dan banyak
mengurang.
Ketika mendengar permintaan mereka untuk
menceritakan perihal Pulau Kim-san-to, Yousuf merasa ragu-ragu. Akan tetapi,
kemudian ia berkata,
“Cerita ini sekaligus membongkar rahasiaku dan
keadaan diriku. Apakah hal ini takkan menimbulkan kekecewaan kalian dan tidak
akan membuat kalian membenciku? Sungguh tidak enak kalau kita yang melakukan
pelayaran seperahu dan setujuan ini akan mempunyai perasaan tak suka, dan benci
satu kepada yang lain!”
Nelayan Cengeng tertawa. “Saudara Yo Se Fei!
Kau sungguh-sungguh terlalu sungkan-sungkan! Kalau sekiranya hal ini tak dapat
kauceritakan kepada kami, janganlah kauceritakan! Kami juga tidak begitu nekat
untuk memaksamu, bukankah begitu, anak-anak?”
Akan tetapi Nelayan Cengeng tertegun ketika Ma
Hoa dan Lin Lin dengan suara berbareng dan tegas berkata, “Ah, Yo-sianseng
(Tuan Yo) harus menceritakan tentang pulau itu kepada kita!”
Bahkan Lin Lin lalu berkata lagi, “Apakah
Yo-sianseng kurang percaya kepada kami hingga masih menyimpan segala rahasia?”
Kalau Nelayan Cengeng tercengang, Yousuf
tertawa terbahak-bahak dan ia lalu berkata, “Ha-ha, Kong Hwat Lojin yang masih
mempunyai sikap sungkan-sungkan, bukan aku dan bukan pula kedua nona ini!
Baiklah, aku akan menceritakan pengalamanku!” Kemudian setelah minum air teh
yang dibuat oleh Lin Lin dan dihidangkan oleh Ma Hoa, orang Turki itu
bercerita,
“Beberapa tahun yang lalu, aku dan dua orang
kawanku berlayar di laut ini. Pada suatu malam, ketika kami melalui banyak
pulau di pantai laut ini, tiba-tiba kami dikejutkan oleh pemandangan yang
dahsyat dan aneh dan yang sebentar lagi kalian juga akan dapat menyaksikannya.
Sebuah pulau di depan kami yakni pulau yang
disebut Pulau Gunung Emas, nampak bercahaya mengeluarkan sinar kuning emas yang
menakjubkan. Kami bertiga merasa takut sekali karena pemandangan itu sungguh
aneh sekali. Kami lalu berhenti berlayar dan malam itu kami tidak tidur, terus
berdiri di perahu mengagumi keindahan pulau itu dari jauh. Pada keesokan
harinya, kami mendayung perahu mendekati pulau itu kami mendarat. Akan tetapi,
apa yang menyambut kami? Sungguh di luar dugaan! Ketika kami mendarat di pulau
itu, tiba-tiba dari belakang sebatang pohon, keluarlah seekor harimau besar
yang mempunyai sebuah tanduk di tengah-tengah kepalanya! Harimau itu lari
menerjang, kami terpaksa melawannya. Harus diketahui bahwa kedua kawanku itupun
memiliki kepandaian yang hanya berada sedikit di bawah kepandaianku, akan
tetapi kami bertiga masih tak dapat mengalahkan harimau itu! Dan dalam saat
yang berbahaya itu tiba-tiba dari atas menyambar turun seekor burung rajawali
berbulu kuning emas ke arah kami dan menyerang dengan tidak kalah hebatnya!
Kami menjadi sibuk dan terdesak hebat, bahkan seorang kawan kami telah kena
cakar harimau itu dan dipukul dengan sayap oleh Kim-tiauw hingga keadaan kami
makin berbahaya! Akan tetapi, ketika kami telah berada di tepi jurang maut,
tiba-tiba datanglah penolong yang tidak kalah anehnya. Penolong ini adalah
seekor burung merak yang besar sekali dan bulunya hijau bercampur kuning
keemasan yang indah sekali. Merak ini menyambar turun sambil mengeluarkan suara
nyaring dan aneh! Begitu melihat merak ajaib ini, Rajawali Emas dan Harimau
Bertanduk itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan berlari pergi seolah-olah
dalam ketakutan hebat!”
“Merak ajaib itu lalu turun dan sambil
mengembangkan semua sayap dan ekornya yang indah, ia berjalan hilir mudik
seakan-akan membanggakan keunggulan dan kecantikannya. Aku merasa sangat
tertarik dan timbul keinginanku hendak menangkap dan memelihara Sin-kong-ciak
(Merak Sakti) itu, akan tetapi tiba-tiba ia mengibaskan sayap kirinya dan aku
jatuh terpelanting! Angin kibasan sayapnya ini mempunyai tenaga yang luar biasa
besarnya hingga aku mengerti mengapa Harimau Bertanduk dan Rajawali Emas itu
takut menghadapinya. Ternyata merak itu bukanlah binatang sembarangan dan mempunyai
kesaktian luar biasa!”
Nelayan Cengeng menjadi kagum sekali mendengar
cerita tentang merak ajaib ini, maka ia lalu berkata, “Aku pernah mendengar
tentang burung merak yang datang dari negeri sebelah selatan Tiongkok, dan
kabarnya merak di negeri itupun amat cantik dan kuat, akan tetapi belum pernah
aku mendengar tentang burung merak sehebat seperti yang kauceritakan itu.”
Juga Lin Lin dan Ma Hoa merasa kagum sekali,
dan Lin Lin segera mendesak agar Yousuf suka melanjutkan penuturannya!
“Terpaksa kami berdua membawa kawan kami yang
terluka dan melarikan diri ke atas perahu. Kami tidak berani mendarat oleh
karena pulau itu ternyata mempunyai penghuni yang aneh-aneh dan lihai. Kami
hanya mendayung perahu mengitari pulau itu dan sungguh aneh. Selain tiga ekor
binatang aneh itu, kami tidak melihat apa-apa lagi. Kami lalu mendarat dari
bagian lain untuk menyelidiki dan ternyata di puncak bukit terdapat sebuah
telaga yang air berwarna indah, kadang-kadang hijau, ada merahnya, lalu kuning,
bagaikan warna pelangi di udara, akan tetap pada dasarnya berwarna
kehitam-hitaman. Kami mempunyai keyakinan bahwa pulau itu tentu menyimpan harta
yang luar biasa, maka kami lalu berputar sambil memeriksa. Untung sekali kami
tidak pergi terlalu jauh dari pantai, oleh karena selagi kami berjalan,
tiba-tiba dari atas terdengar suara yang menakutkan dan betul saja, burung
Rajawali Emas yang kami takuti itu telah menyambar dari atas dan menyerang
kami! Kami berdua lalu memutar-mutar pedang di atas kepala untuk melindungi
kepala kami dari terkaman burung hantu itu sambil berlari ke perahu kami. Dan
dengan penuh ketakutan, kami lalu pergi dari pulau itu, dan kawan kami yang
terluka itu terpaksa kami lempar ke laut oleh karena ia meninggal dunia karena
lukanya. Demikianlah kami kembali ke negeri kami dan Raja kami yang mendengar
tentang penuturanku, lalu memerintahkan barisan besar untuk menyelidiki keadaan
pulau itu. Dan harap kalian jangan kaget, aku adalah seorang yang ditugaskan
untuk memimpin rombongan penyelidik atau mata-mata Pemerintah Turki.”
Ketika melihat betapa ketiga orang Han itu
tidak terpengaruh oleh pengakuannya, ia lalu melanjutkan, “Dan aku pergi
sekarang ini pun oleh karena perintah Rajaku untuk membuka jalan sebagai
perintis menuju ke pulau itu.” Sambil berkata begini, ia memandang tajam kepada
Nelayan Cengeng untuk melihat perubahan muka pendengarnya, akan tetapi Nelayan
Cengeng agaknya tidak tertarik sama sekali, bahkan lalu berkata,
“Aku ingin sekali melihat binatang-binatang
aneh itu.”
Juga Lin Lin dan Ma Hoa berkata. “Alangkah
senangnya kalau dapat membawa pulang burung merak sakti itu.”
Maka gembiralah hati Yousuf melihat keadaan
ketiga orang itu yang sama sekali tidak mau atau ambil peduli tentang segala
urusan negeri. Saking girang dan lega hatinya, Yousuf lalu bernyanyi sebuah
lagu Turki yang didengar oleh kawan-kawannya dengan penuh perhatian, kagum dan
geli, oleh karena biarpun mereka harus mengakui bahwa Yousuf memiliki suara
yang empuk dan merdu, namun lagu yang dinyanyikannya terasa asing bagi telinga
mereka hingga terdengar sumbang dan lucu.
Pada saat Yousuf selesai bernyanyi, hari telah
menjadi gelap dan mereka telah tiba di dekat Pulau Kim-san-to. Tiba-tiba Yousuf
menunjuk ke depan dan berkata, “Nah, kalian lihatlah baik-baik, bukanlah Kim-san-to
benar-benar pulau yang menakjubkan?”
Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa menengok
dan ketiganya menahan napas dengan mata terbelalak ketika melihat pemandangan
ajaib yang terbentang di depan mata mereka. Mereka telah melihat Kim-san-to di
waktu malam, melihat bukit yang mencorong dan berkilauan seakan-akan bukit itu
terbuat daripada emas murni.
“Mungkinkah ini?” Nelayan Cengeng menggerakkan
bibirnya.
“Apakah aku sedang mimpi?” bisik Lin Lin
sambil mengucek-ngucek kedua matanya seakan-akan tak percaya kepada matanya
sendiri. Ma Hoa juga terpesona hingga gadis ini berdiri diam bagaikan patung
batu.
“Hebat bukan? Aku sendiri ketika melihat untuk
pertama kalinya, telah berlutut dan menyebut nama Dewata, karena menyangka
bahwa aku telah melihat Surga diturunkan di atas tempat ini. Tempat seperti
itu, pantasnya menjadi kediaman para Dewata, bukan?” terdengar Yousuf berkata
hingga ketiga orang itu tersadar dan menghela napas.
“Benar-benar hebat, Saudara Yousuf. Terus
terang saja, tadinya aku masih ragu-ragu dan timbul persangkaanku bahwa kau
membohong atau melebih-lebihkan ceritamu, akan tetapi melihat pemandangan ini
aku menjadi percaya penuh kepadamu, juga tentang penghuni pulau yang aneh-aneh
itu,” kata Nelayan Cengeng.
“Mari kita ke sana sekarang juga!” kata Ma Hoa
dengan gembira, dan Lin Lin juga mendesak supaya mereka segera pergi ke pulau
indah dan ajaib itu. Akan tetapi Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya dan
berkata,
“Jangan pergi sekarang aku belum tahu benar,
apakah selain ketiga binatang sakti itu tidak ada lain makhluk berbahaya di
pulau itu. Mendarat malam-malam adalah hal yang sembrono dan berbahaya sekali.
Lebih baik kita menanti di perahu sampai besok pagi, barulah kita mendarat
dengan hati-hati.”
Nelayan Cengeng yang dapat memaklumi hal ini
dan dapat berpikir lebih luas menyetujui ucapan ini hingga terpaksa Lin Lin dan
Ma Hoa yang sudah tidak sabar menanti itu menekan perasaan mereka dan semalam
suntuk mereka tidak mau tidur, hanya duduk di atas perahu sambil menikmati pemandangan
indah itu dan mengaguminya. Melihat pemandangan indah sekali itu, Lin Lin dan
Ma Hoa yang duduk berdua saja, lalu teringat kepada kekasih masing-masing. Dan
tiba-tiba wajah mereka menjadi berduka. Ma Hoa tahu akan perubahan pada muka
Lin Lin dan ia bertanya perlahan,
“Lin Lin mengapa tiba-tiba kau menghela napas
dan seperti orang berduka?” Lin Lin tiba-tiba menjadi merah mukanya dan dengan
perlahan sambil memegang tangan Ma Hoa, ia bertanya, “Enci Hoa, apakah kau
tidak teringat pada kakakku Kwee An?”
Ma Hoa memegang tangan Lin Lin erat-erat
sambil bermerah muka, lalu berkata, “Jadi itukah yang mengganggu pikiranmu?
Kita harus meneguhkan hati dan bersabar, Adikku. Aku yakin bahwa Saudara Cin
Hai dan... dia akan selamat oleh karena mereka berdua memiliki kepandaian yang
tinggi.”
Lin Lin maklum bahwa keadaan hati dan pikiran
Ma Hoa pada saat itu sama dengan keadaan hati dan pikirannya maka ia tidak mau
bicara tentang hal kedua pemuda itu terlebih lanjut. Dalam berdiam, mereka
seakan-akan mendengar bisikan jantung mereka masing-masing yang membuat mereka
merasa saling tertarik lebih dekat lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah
matahari naik ke puncak bukit, Yousuf baru berani mendarat di pulau yang aneh
itu. Dilihat pada siang hari, pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang
berbukit satu dan yang kelihatan biasa saja seperti pulau-pulau lainnya.
Mereka berempat lalu mendarat dan bersiap
sedia dengan senjata mereka kalau-kalau ada binatang luar biasa yang datang
menyerang. Akan tetapi aneh sekali, dan terutama Yousuf merasa heran karena tak
seekor binatang pun yang dulu dilihatnya kelihatan muncul.
“Apakah selama beberapa tahun ini mereka telah
mati?” katanya pada diri sendiri akan tetapi diucapkan dengan mulut.
“Mungkin juga, karena benda atau mahluk apakah
di dunia ini yang tidak akan menyerah terhadap kematian?” kata Nelayan Cengeng
yang membawa dayungnya yang besar dan berat dipanggul di pundak.
Mereka lalu menjelajah di pulau itu dan
ternyata bahwa selain burung-burung kecil yang berkicau di atas pohon pulau itu
nampaknya tidak ada mahluk yang berbahaya. Mereka lalu mengunjungi danau yang
dulu diceritakan oleh Yousuf dan bersama-sama mengagumi danau yang berwarna
macam-macam itu.
“Ada sesuatu yang mengerikan di bawah danau
ini agaknya,” kata Nelayan Cengeng hingga Lin Lin dan Ma Hoa lalu saling
mendekat dan saling berpegang tagan oleh karena kedua gadis ini pun merasa
betapa danau ini berbeda dengan danau biasa, seakan-akan di dasarnya yang hitam
dan mengerikan!
Yousuf lalu mengajak mereka memeriksa terus
keadaan pulau itu dengan pengharapan untuk mendapatkan harta atau emas yang
disangkanya berada di pulau itu akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu
yang berharga.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba
di sebuah puncak lain yang ditumbuhi banyak bunga-bunga indah. Tiba-tiba Lin
Lin berseru,
“Ada gua di sini!” Ketika semua orang
menghampiri, benar saja, tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi terdapat
pintu gua yang cukup besar dan tinggi. Gua itu tadinya gelap oleh karena
terhalang oleh alang-alang, akan tetapi segera setelah Yousuf menggunakan
pedangnya untuk membabat alang-alang itu, di dalam gua menjadi terang oleh
karena kebetulan sekali gua menghadap ke barat dan matahari yang sudah condong
ke barat itu menyinarkan cahayanya ke dalam gua.
Dengan didahului Yousuf dan Nelayan Cengeng,
keempat orang itu memasuki gua dengan perlahan dan hati-hati, dan tak lupa
mereka menyiapkan senjata di tangan masing-masing menghadapi bahaya yang
mungkin timbul. Gua itu ternyata memang cukup luas, akan tetapi dalamnya hanya
kira-kira tiga tombak saja dan di dalamnya kosong tidak menampakkan sesuatu
yang aneh.
Tiba-tiba Lin Lin menjerit perlahan dan
melompat seakan-akan diserang oleh sesuatu yang mengerikan dari bawah tanah!
Semua orang terkejut dan bertanya, “Ada apakah?”
Lin Lin dengan tangan menggigil menunjuk ke
bawah dan ternyata bahwa kaki gadis itu tadi telah tersangkut oleh sebuah
tulang tangan orang yang menonjol keluar dari tanah yang tertutup pasir itu!
Tangan ini hanya kelihatan lima jarinya saja, sedangkan tulang rangka
selebihnya terpendam di bawah pasir! Tentu saja melihat lima buah jari tangan
yang sudah menjadi rangka itu di tempat yang mengerikan menimbulkan hati takut
dan ngeri.
“Tentu ada apa-apanya di bawah ini,” berkata
lagi Nelayan Cengeng dan ia segera mulai menggali pasir yang menimbun tangan
rangka itu. Setelah digali, maka tampaklah rangka manusia yang lengkap
terpendam di pasir dan disebelah rangka itu terdapat sebatang pedang yang telah
habis dimakan karat dan pedang itu hanya tinggal sisanya sepanjang paling
banyak satu kaki saja lagi. Sisa ini pun telah merupakan besi berkarat dan
gagangnya sudah tinggal sepotong kayu lapuk.
Sambil memegang pedang bobrok itu dan
mengamat-amatinya dengan penuh perhatian, Nelayan Cengeng berkata sambil
menghela napas.
“Ah, kalau saja pedang bobrok ini dapat
bicara, tentu ia akan menceritakan riwayat orang ini yang tentu indah menarik
sekali. Apalagi tubuh manusia sedangkan pedang yang aku percaya tadinya adalah
sebatang pedang pusaka yang ampuh, kini hanya tinggal sisanya yang sudah tidak
berharga lagi saja!” Sambil berkata demikian, Nelayan Cengeng lalu menaruh
kembali pedang yang tinggal sepotong dan karatan itu di dekat rangka itu.
“Kita harus tanam kembali rangka ini dengan
pasir,” katanya penuh kekecewaan karena tidak mendapatkan sesuatu di situ.
“Nanti dulu, Locianpwe!” tiba-tiba Lin Lin
berkata. “Agaknya tidak percuma tangan rangka ini tadi menowel kakiku dan
karena di sini tidak terdapat sesuatu, biarlah kusimpan sisa pedang ini sebagai
kenang-kenangan kunjunganku ke pulau ini.”
Nelayan Cengeng tertawa. “Kau ini memang aneh!
Untuk apakah sisa pedang bobrok itu?” Akan tetapi semua orang tidak melarang
ketika Lin Lin dengan hati-hati mengambil pedang bobrok itu dan membungkusnya
dengan baik-baik di dalam saputangannya, lalu menyelipkannya di ikat pinggang.
Setelah mengubur kembali rangka itu dengan
baik-baik, mereka lalu mengambil keputusan untuk bermalam di gua ini yang
merupakan tempat baik sekali untuk berlindung dari serangan angin atau binatang
buas yang mungkin menyerang di waktu malam.
Berhari-hari keempat orang itu tinggal di
Pulau Kim-san-to dan setiap hari Yousuf keluar melakukan pemeriksaan dan
mencari-cari harta yang disangkanya berada di pulau itu. Akan tetapi usahanya
selalu gagal dan sia-sia, karena yang didapatnya di pulau itu hanyalah
batu-batu karang yang tidak berharga. Sedangkan Nelayan Cengeng dan kedua orang
gadis itu yang tidak sangat bernafsu untuk mencari harta terpendam, jarang ikut
dan hanya berjalan-jalan menikmati pemandangan di pulau itu.
Pada hari ke tiga, tiba-tiba terdengar jeritan
Yousuf dari dekat. Ketiga orang kawannya menjadi kaget sekali dan cepat memburu
ke arah suara jeritannya. Mereka kaget melihat Yousuf sedang mencekik seekor
ular yang besarnya hanya selengan tangan orang, akan tetapi wajah orang Turki
itu telah menjadi pucat sekali. Lin Lin memburu dengan pedang di tangan dan
sekali bacok saja tubuh ular itu telah terpotong menjadi dua.
Yousuf melepaskan leher ular yang sedang
dicekiknya itu ke atas tanah, akan tetapi semua orang terkejut sekali melihat
bahwa bagian yang seharusnya menjadi ekor ular itu, ternyata merupakan kepala
pula dan yang telah menggigit pundak Yousuf dan kini masih menempel di situ.
Ternyata bahwa ular itu adalah seekor ular
kepala dua. Ketika Yousuf sedang memeriksa dan mencari-cari sambil menyingkap
rumput alang-alang, tiba-tiba ular tadi menyambar dan hendak menggigitnya,
Yousuf tidak keburu berkelit, maka cepat mengulur tangan menangkap leher ular
yang menyambarnya itu dan terus menggunakan kekuatannya mencekik leher ular
yang tak dapat melepaskan diri lagi. Akan tetapi, tiba-tiba Yousuf merasa
pundaknya sakit sekali dan alangkah kaget dan herannya ketika melihat bahwa ekor
ular itu dapat menggigit pundaknya. Dia tidak menyangka bahwa ekor ular itupun
merupakan kepala kedua sehingga ia tidak sempat mengelak dan kena tergigit
pundaknya.
Yousuf merasa tubuhnya menjadi panas dan
pundaknya sakit sekali, maka tanpa terasa pula ia menjerit hingga
kawan-kawannya datang menolong.
Setelah melepaskan kepala ular yang
dicekiknya, Yousuf lalu roboh pingsan dengan muka merah sekali. Ketika Nelayan
Cengeng meraba jidatnya, ternyata tubuh orang Turki itu panas sekali. Kong Hwat
Lojin lalu mencabut kepala ular yang masih menggigit pundak walaupun telah mati
dan melemparkannya jauh-jauh, kemudian ia memondong tubuh Yousuf ke dalam gua
tempat mereka bermalam.
Lin Lin yang biarpun sedikit pernah
mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya yaitu Biauw Suthai lalu memeriksa luka
di pundak Yousuf. Ia terkejut sekali melihat betapa pundak itu telah menjadi
matang biru dan maklum bahwa ular yang menggigit Yousuf itu adalah ular beracun
yang berbahaya sekali.
Selagi mereka bertiga kebingungan tiba-tiba di
luar gua terdengar suara aneh. Mereka memburu keluar dan melihat seekor burung
merak yang berbulu biru bercampur kuning keemas-emasan hingga dari jauh nampak
seperti hijau. Merak ini indah sekali dan juga besarnya melebihi merak biasa.
Mereka terkejut karena teringat akan cerita Yousuf tentang merak sakti yang
amat lihai. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah siap dengan senjata mereka untuk
menyerbu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru,
“Jangan ganggu dia! Lihat, dia membawa buah
Pek-kim-ko (Buah Emas Putih). Buah inilah yang kubutuhkan pada saat ini untuk
menolong jiwa Yo sian seng.”
Merak itu seakan-akan mengerti bicara Lin Lin,
karena ia berhenti dan berdiri di depan Lin Lin sambil memandang ke arah gadis
itu dengan kedua matanya yang merah dan indah. Lin Lin lalu melangkah maju
tanpa kelihatan jerih sedikit pun, karena dalam hatinya ia menganggap tak
mungkin seekor burung yang begini indahnya dapat mempunyai watak jahat.
Setelah dekat Lin Lin tidak berani mengambil
buah itu dari mulut merak karena menganggap hal itu kurang patut dan tidak
menghargai burung itu, maka ia lalu mengulurkan tangan kanan seperti orang
minta-minta. Dan benar saja, merak ajaib itu lalu mengulurkan lehernya ke depan
dan menjatuhkan buah yang berwarna putih itu ke dalam telapak tangan Lin Lin.
Lin Lin menerima buah itu dan ketika melihat bahwa itu benar-benar buah
Pek-kim-ko seperti yang ia duga, ia menjadi girang sekali dan tak terasa pula
ia mengangguk kepada burung merak itu dan berkata,
“Sin-kong-ciak-ko (Saudara Merak Sakti),
terima kasih banyak!” Lalu gadis ini berlari masuk ke dalam gua diikuti oleh
Nelayan Cengeng dan Ma Hoa yang memandang terheran-heran. Lin Lin segera
menghampiri Yousuf yang masih rebah di pembaringan tanpa dapat berkutik lagi
dan mukanya makin menjadi merah serta tubuhnya penas sekali bagaikan dibakar.
Tanpa banyak membuang waktu dan banyak bicara
lagi, Lin Lin lalu mencabut pedangnya dan menggunakan ujung pedang itu untuk
digoreskan ke pundak Yousuf yang telah dibuka bajunya, yaitu di bagian yang
bengkak dan matang biru, bekas gigitan ular tadi. Kulit pundak dan daging di
situ terbuka dengan mudah oleh ujung pedang yang tajam dan runcing itu,
kemudian setelah menyimpan pedangnya, Lin Lin lalu memasukkan buah Pek-kim-ko
itu ke mulutnya terus dikunyah dan dimakan. Rasa buah itu pahit sekali dan di
dalamnya mengandung getah yang melekat di seluruh lidah, gigi, dan kulit dalam
mulut. Lin Lin lalu menempelkan bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu ke
arah luka bekas goresan pedang di pundak Yousuf lalu dihisapnya! Setelah
menghisap, ia lalu meludahkan darah hitam yang dapat disedot dari luka itu.
Berkali-kali ia menghisap dan meludah sambil kadang-kadang berhenti untuk
mengurut jalan darah di sekitar pundak yang tergigit ular itu. Akhirnya,
habislah bisa ular yang meracuni darah Yousuf dan lenyaplah warna merah di
mukanya dan warna matang biru di pundaknya, sedangkan panasnya juga otomatis
menurun.
Ternyata bahwa khasiat buah Emas Putih itu
ialah untuk menjaga mulut dan tenggorokan Lin Lin, agar jangan sampai
terpengaruh bisa yang jahat itu. Tanpa buah Pek-kim-ko, Lin Lin takkan berani
melakukan penghisapan bisa dengan mulutnya itu, karena hal ini berbahaya
sekali, dan dapat menewaskannya.
Setelah jiwa Yousuf tertolong dari ancaman
bisa ular, Lin Lin lalu keluar dari gua untuk mencari air dan mencuci mulutnya
sampai bersih. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa saling pandang dan rasa haru yang
mendalam terasa oleh hati kedua orang ini melihat ketinggian budi Lin Lin.
Mereka memuji kemuliaan hati gadis itu.
Ketika Lin Lin sedang mencuci mulut dan
tangannya di sebuah sumber air kecil di puncak gunung itu, tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara geraman hebat di belakangnya dan ketika ia menoleh,
terlihat olehnya seekor harimau yang besar sekali! Yang aneh adalah bahwa di
tengah-tengah jidat harimau itu tumbuh sebuah tanduk yang melengkung ke atas
bagaikan tanduk seekor badak. Lin Lin cepat berdiri dan melompat ke tempat yang
lebih lega dan rata, karena maklum bahwa binatang ini tentulah harimau jahat dan
lihai yang pernah diceritakan oleh Yousuf di atas perahu dulu.
Memang benar bahwa harimau inilah yang dulu
menyerang Yousuf dan kawan-kawannya dan binatang ini lihai dan kuat. Akan
tetapi melihat Lin Lin, harimau ini agaknya ragu-ragu untuk menyerang, hanya
memandang dan menggeram beberapa kali, lalu mengaum kecil seakan-akan
menyatakan keraguannya apakah ia harus menyerang gadis ini atau tidak.
Tiba-tiba terdengar suara pukulan sayap dari
atas dan Lin Lin merasa datangnya angin menyambar kepalanya dari atas. Cepat
gadis ini mengelak dengan tepat oleh karena tanpa peringatan lagi, dari atas
telah manyambar turun seekor Rajawali Emas yang besar! Kalau Lin Lin tadi tidak
mengelak dengan tepat, tentu kepalanya telah kena dipatuk oleh burung yang
gelak itu! Lin Lin makin terkejut oleh karena ia telah mendengar akan kelihaian
burung ini dan kini setelah dua macam binatang lihai ini barada di depannya,
apakah yang dapat ia lakukan? Sedangkan Yousuf yang begitu gagah dan dibantu
oleh dua orang kawannya pun masih tak kuat melawan dua ekor binatang ini,
apalagi dia berada seorang diri dan tidak memegang senjata pula? Namun gadis
ini memang mempunyai hati yang tabah dan pada mukanya tidak terlihat rasa takut
sedikit pun. Bahkan ketika itu ia memandang kepada harimau dan rajawali sakti
itu dengan pandangan mata kagum dan senang. Rajawali itu setelah menyambar
turun, lalu berdiri di dekat harimau bertanduk dan ternyata bahwa tubuh
rajawali itu jauh lebih tinggi daripada tubuh harimau itu! Kedua ekor binatang
ini memandang kepada Lin Lin dan agaknya mereka keduanya merasa ragu-ragu
melihat seorang manusia cantik yang tidak mengambil sikap bermusuhan dengan
mereka, bahkan tidak mengeluarkan senjata untuk melukai mereka.
Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring dari atas dan
ketika Lin Lin memandang, ternyata merak yang luar biasa tadi telah melayang
turun dan berdiri di atas tanah di depan kedua binatang itu. Harimau bertanduk
lalu menggoyang-goyangkan ekornya dan menundukkan kepala sedangkan Rajawali
Emas itu lalu mengebut-ngebutkan sepasang sayapnya sambil bertunduk pula,
seakan-akan keduanya memberi hormat kepada merak ini. Merak Sakti itu
mengangkat dadanya dengan bangga lalu memutar menghadapi Lin Lin dan gadis ini
girang sekali oleh karena ternyata bahwa merak ini berdiri hanya dengan sebelah
kakinya dan kakinya sebelah lagi mencengkeram serumpun daun Coa-tok-te, yaitu
semacam daun yang merupakan obat khusus untuk menyembuhkan luka akibat gigitan
ular beracun. Lin Lin dengan girang melangkah maju dan sambil tersenyum manis
gadis itu berkata,
“Ah, Saudara Merak Sakti. Sungguh kau
benar-benar baik hati dan pandai.” Sambil berkata demikian Lin Lin mengeluarkan
tangan menerima rumput atau daun-daun penjang itu dari kaki merak. Kemudian
dengan mesra Lin Lin mengelus-elus bulu merak yang indah sekali dan halus serta
bersih itu. Merak itu menggunakan lehernya yang panjang untuk dibelai-belaikan
kepada lengan tangan gadis yang mengelus-elusnya itu, seakan-akan ia merasa
gembira sekali. Sikapnya seperti seekor binatang peliharaan yang amat jinak.
Sedangkan harimau bertanduk dan Rajawali Emas itu pun melangkah maju
perlahan-lahan dengan mata mengeluarkan pandangan mengiri. Lin Lin tertawa dan
dengan tabahnya ia pun lalu menghampiri kedua binatang buas itu dan
mengelus-elus punggung mereka. Si Harimau bertanduk menggoyang-goyangkan
ekornya dan mengeluarkan keluhan perlahan seperti seekor kucing yang merasa
senang dan manja, sedangkan Rajawali Emas itupun lalu mengembangkan sayapnya
dan merendahkan diri sambil membuka paruhnya seperti seekor burung murai yang
dibelai oleh pemiliknya dengan kasih sayang.
Tiba-tiba harimau itu mencium-cium ke arah
pinggang Lin Lin dan tiba-tiba ia menggeram keras sehingga gadis itu terkejut,
juga Rajawali Emas dan Merak Sakti nampak kaget. Lin Lin teringat akan pedang
karatan yang berada di pinggangnya dan otomatis ia mencabut pedang itu, dan
aneh. Ketika melihat pedang karatan itu, ketiga binatang itu lalu mengeluarkan
keluhan panjang dan sedih dan ketiganya lalu mendekam di hadapan Lin Lin
seakan-akan berlutut.
Lin Lin adalah seorang gadis yang cerdik dan
dapat mengerjakan otaknya cepat sekali. Ia dapat menduga tepat bahwa ketiga
binatang sakti ini tentulah murid-murid atau binatang-binatang peliharaan orang
sakti yang telah meninggal dunia di dalam gua dan kini ketiga ekor binatang ini
mengenal pedang pusaka orang sakti itu! Maka Lin Lin lalu berlutut pula dan
mengangkat pedang itu tinggi-tinggi, seakan-akan hendak memperlihatkan kepada
ketiga binatang itu bahwa dia juga menjunjung tinggi dan menghormat pemilik
pedang itu. Kemudian ia berdiri dan memasukkan pedang bobrok itu ke dalam ikat
pinggang lagi. Kini ketiga binatang nampak girang sekali dan mereka menjadi
begitu jinak seperti tiga ekor anjing yang amat menurut.
Pada saat itu terdengar seruan heran dan
ketika Lin Lin memandang, ternyata bahwa Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah
berdiri mengintai dari balik pohon dengan mata terbelalak heran. Lin Lin
tersenyum lalu berkata kepada binatang itu dengan suara keras tapi halus,
“Sin-kong-ciak (Merak Sakti), Sin-Kim-tiauw
(Rajawali Emas Sakti), dan kau It-kak-houw (Harimau Tanduk Satu). Lihatlah
baik-baik kepada dua orang itu. Mereka adalah sahabat-sahabat baikku dan
janganlah kalian mengganggunya. Juga kawan yang sedang terluka oleh ular
berbisa itu adalah kawan baikku!”
Ketiga ekor binatang sakti itu
mengangguk-angukkan kepala seakan-akan mereka dapat mengerti ucapan Lin Lin
hingga Nelayan Cengeng dan Ma Hoa menjadi terheran dan girang sekali. Kini
mereka tidak ragu-ragu lagi dan melangkah maju serta mengelus-elus pundak
ketiga binatang itu yang menjadi heran sekali. Terutama Ma Hoa, gadis ini
merasa suka benar kepada Sin-kong-ciak dan mengagumi bulu merak itu tiada
habisnya. Kemudian mereka lalu kembali ke gua, diikuti oleh tiga ekor binatang
itu. Ternyata bahwa tadi Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar suara
binatang-binatang itu hingga mereka lalu memburu keluar karena kuatir
kalau-kalau Lin Lin berada dalam bahaya, akan tetapi mereka berdiri tercengang
dan mengintai dari balik pohon ketika melihat peristiwa yang aneh dan
menakjubkan yang terjadi antara Lin Lin dan ketiga binatang itu.
Lin Lin lalu meremas-remas daun Racun Ular dan
obat ini digunakan untuk mengobati luka Yousuf, dibalurkan di tempat bekas
gigitan dan sebagian airnya diminumkan.
Tak lama kemudian Yousuf siuman kembali dan
keadaannya baik sekali. Ketika melihat betapa Lin Lin merawatnya dengan telaten
dan open, tak terasa pula air mata mengalir turun dari kedua matanya. Apalagi
ketika Ma Hoa menceritakan betapa Lin Lin menyedot keluar semua racun yang
berada di tubuhnya dengan menggunakan mulutnya, Orang Turki ini tak dapat
menahan keharuan hatinya dan ia menangis terisak-isak di atas pembaringannya.
Ia tak dapat mengucapkan kata-kata, hanya memandang kepada Lin Lin dengan pandangan
penuh mengandung pernyataan terima kasih yang besar.
Lin Lin tersenyum dengan muka merah.
“Enci Ma Hoa,”, katanya kepada gadis itu,
“mengapa kauceritakan hal itu? Kau hanya melelebih-lebihkan hal yang tidak ada
artinya.” Kemudian kepada Yousuf ia berkata,
“Yo-sianseng, kita adalah sahabat-sahabat baik
yang berada di tempat asing dan berbahaya. Kalau kita tidak saling menolong,
bagaimana kita bisa hidup? Aku yakin bahwa kau pun tentu takkan ragu-ragu lagi
melakukan hal ini apabila aku yang mendapat kecelakaan.”
Yousuf hanya mengangguk-anggukkan kepala, akan
tetapi ia masih belum dapat mengeluarkan kata-kata oleh karena hatinya merasa
terharu sekali dan penyesalan besar membuat ia tak kuasa membuka mulut. Ia
ingin sekali membenturkan kepalanya pada dinding gua karena menyesal kepada
diri sendiri dan diam-diam ia memaki pada diri sendiri. “Ah, Yousuf! Kau
manusia tersesat dan gila! Mengapa kaubiarkan setan menguasai hati dan
pikiranmu hingga kau pernah tergila-gila dan mempunyai pikiran buruk terhadap
seorang gadis yang demikian mulia hatinya? Kalau kau mempunyai seorang anak
perempuan pun belum tentu ia akan semulia dan sebakti gadis ini!”
Demikianlah Yousuf menyesali diri oleh karena
memang ia pernah mengandung maksud untuk mengambil Lin Lin sebagai
permaisurinya kalau tercapai cita-citanya. Semenjak saat itu rasa cintanya
kepada Lin Lin sama sekali berubah dari cinta seorang laki-laki kepada seorang
wanita menjadi cinta kasih seorang ayah terhadap seorang anak perempuannya!
“Lin Lin,” katanya ketika gadis itu menyiapkan
obat untuknya dan mereka berada berdua saja, karena Ma Hoa dan Nelayan Cengeng
dengan ditemani oleh harimau bertanduk dan Rajawali Emas sedang keluar mencari
buah-buahan yang enak dimakan. “Setelah apa yang kaulakukan untuk membelaku,
sudilah kiranya kau menyebut Ayah kepadaku? Kau kuanggap anakku sendiri, Lin
Lin, dan oleh karena kau tak berayah ibu lagi, biarlah aku menjadi pengganti
Ayahmu. Sukakah kau, Nak?”
Mendengar suara yang diucapkan dengan
menggetar dan melihat betapa wajah Yousuf memandangnya dengan penuh harapan,
Lin Lin menjadi terharu dan teringat kepada ayahnya. Maka ia lalu berlutut di
depan pembaringan Yousuf dan tanpa ragu lagi ia menyebut, “Ayah!” sambil
menangis.
Yousuf yang sudah kuat kembali tubuhnya lalu
bangun dan duduk. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kepala gadis itu dan
berkata,
“Lin Lin, semenjak saat ini kau adalah anakku
dan aku akan membelamu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, semoga Dewata Yang
Agung memberkahimu.”
Ketika Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar
tentang pemungutan anak ini, mereka berdua juga merasa girang sekali. Nelayan
Cengeng telah percaya penuh akan ketulusikhlasan dan kejujuran hati orang Turki
itu, maka ia pun tidak merasa keberatan apa-apa, sedangkan Ma Hoa yang juga telah
kehilangan ayahnya, lalu menangis dengan terharu sekali sambil memeluk leher
Lin Lin.
Nelayan Cengeng menghela napas, “Ma Hoa, aku
tahu apa yang menjadikan kau merasa sedih, akan tetapi kauingatlah, Ma Hoa,
bahwa semenjak saat kau merantau denganku, aku Kong Hwat Lojin sudah menjadi
guru dan ayahmu sendiri! Biarpun kau menyebut Suhu kepadaku, namun kau kuanggap
anak sendiri dan hal ini pun kaumaklumi, maka janganlah kau bersedih, Anakku.”
Ma Hoa menjatuhkan diri berlutut di depan
suhunya dan berkata,
“Terima kasih, Suhu, dan demi Tuhan, sedikit
pun tak pernah teecu meragukan kemuliaan hati Suhu.”
Setelah Yousuf sembuh kembali, mereka
melanjutkan pemeriksaan dan mencari harta di pulau itu, akan tetapi kalau dulu
Yousuf mencari dengan cita-cita hendak mengangkat diri menjadi kaisar dan
mengawini Lin Lin, kini cita-citanya itu diubah sedikit. Ia masih ingin menjadi
kaisar dan memiliki harta besar itu, akan tetapi semua itu demi kemuliaan Lin
Lin yang akan dijadikan seorang puteri kerajaan yang agung. Akan tetapi
ternyata setelah bebeapa hari tinggal di pulau itu belum juga didapatkan
tanda-tanda bahwa pulau itu benar-benar mengandung banyak emas seperti yang
tadinya disangka.
Dan pada suatu hari, ketika Yousuf dan
kawan-kawannya sedang memeriksa di puncak bukit, mereka melihat banyak sekali
pendeta-pendeta Sakia Buddha anak buah Pangeran Vayami naik di pulau itu dan
melakukan pemeriksaan pula. Yousuf dan kawan-kawannya lalu cepat mempergunakan
alang-alang dan pohon-pohon kecil untuk dipakai menutupi gua mereka sehingga
tidak mungkin akan terlihat oleh orang lain dan diam-diam mereka mengintai
pendeta-pendeta itu untuk melihat apa yang mereka kerjakan. Ketika Nelayan
Cengeng mengusulkan untuk menyerang Pendeta-pendeta Jubah Merah itu, Yousuf mencegahnya
dan berkata,
“Aku tahu, mereka ini adalah kaki tangan
Vayami, Pangeran dari Mongol dan agaknya mereka sudah tahu di mana letak harta
terpendam. Baiknya kita menanti sampai mereka mendapatkannya baru kita turun
tangan. Sementara itu, biarlah kita mengintai saja dan melihat apa yang mereka
lakukan.”
Lin Lin lalu memerintahkan kepada ketiga
binatang sakti untuk berdiam diri dan jangan menyerang orang-orang itu. Selama
tiga hari pendeta-pendeta itu bekerja, akan tetapi sebagaimana hasil kerja
Yousuf, mereka juga tidak mendapatkan apa-apa.
Kemudian, dengan terkejut sekali Yousuf dan
kawan-kawannya melihat datangnya perahu-perahu barisan Turki yang disusul dan
dikejar oleh perahu-perahu barisan kerajaan. Yousuf tahu bahwa barisan
bangsanya telah tiba dan hendak menguasai pulau itu sebagaimana direncanakannya
dan tahu pula bahwa kalau mereka melihatnya, tentu ia akan ditangkap oleh
karena selama itu ia tidak memberi kabar tentang hasil penyelidikannya dan ia
dapat dituduh sebagai pengkhianat yang hendak mengambil sendiri harta itu.
Kemudian mereka melihat pertempuran besar yang terjadi antara barisan Turki dan
barisan Tiongkok, dan ketika Yousuf menyelidiki keadaan Pendeta Sakia Buddha
itu, ia menjadi terkejut sekali oleh karena pendeta-pendeta itu lalu menyalakan
api dan membakar danau minyak yang berkobar hebat menjadi lautan api.
“Celaka! Danau itu dibakar dan mungkin akan
meledak. Hayo, cepat kita harus pergi dari pulau neraka ini!' katanya. Kawannya
menjadi panik dan Nelayan Cengeng segera memanggil Lin Lin dan Ma Hoa yang
masih mengintai dan menonton pertempuran hebat dari jauh.
Kedua orang gadis itupun terkejut sekali
mendengar berita ini dan Lin Lin lalu memberi tanda suitan memanggil ketiga
binatang sakti itu. Mereka lalu lari cepat ke perahu mereka yang disembunyikan
di balik alang-alang, diikuti oleh ketiga binatang itu. Akan tetapi, ketika
mereka telah naik ke atas perahu, tiba-tiba ketiga binatang itu memekik keras
dan ketiganya lalu membalikkan diri dan kembali ke pulau.
Lin Lin berteriak-teriak memanggil sambil
mengejar dan ketika ia memasuki gua, ternyata ketiga ekor binatang sakti itu
mendekam dan berlutut di depan makam rangka yang mereka tanam dulu. Lin Lin
membetot-betot mereka, akan tetapi ketiganya tidak mau pindah dari tempat mereka,
seakan-akan bersiap untuk mati di depan kuburan tuannya. Lin Lin menjadi
bingung dan memeluk leher Merak Sakti, ia berkata sambil menangis,
“Saudara Merak Sakti, bagaimana aku dapat tega
meninggalkan kau? Kau adalah seperti saudaraku sendiri, dan pulau ini akan
terbakar habis. Marilah kauikut padaku. Tegakah kau membiarkan aku merasa sedih
seumur hidupku?”
Merak Sakti itu mengeluarkan keluhan panjang
dan dari kedua matanya yang indah itu mengalir keluar dua butir air mata. Dari
jauh terdengar suara Yousuf memanggil-manggil namanya, dan Lin Lin terpaksa
keluar dari gua sambil menangis. Beberapa kali ia menengok memandang ketiga
kawannya yang aneh ini. Dan ketika ia berlari ke perahu dengan tubuh lemas dan
hati berduka, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kepalanya dan ternyata
bahwa Merak Sakti itu telah menyusulnya. Lin Lin menjadi girang sekali dan
segera lari ke perahu diikuti oleh Merak Sakti yang agaknya tidak tega untuk
melepas Lin Lin pergi seorang diri dan ikut menyusul.
Baru saja Lin Lin naik ke perahu, tiba-tiba
serombongan Pendeta Baju Merah itu melihat mereka. Sambil berteriak-teriak buas
mereka menyerbu dan Nelayan Cengeng serta kawan-kawannya segera menyambut
serangan mereka dan terjadilah pertempuran sengit.
“Lekas, kalian bertiga jalankan perahu, biar
aku sendiri yang menahan serbuan anjing-anjing merah ini!” kata Nelayan
Cengeng. Yousuf yang melihat betapa api berkobar makin hebat, lalu cepat
menjalankan perahu, akan tetapi Ma Hoa berteriak,
“Suhu jangan melawan mereka seorang diri,
teecu akan membantumu!”
“Jangan!” teriak Si Nelayan Cengeng dengan
suara tetap dan keras. “Kau harus ikut pergi lebih dulu! Aku tidak takut segala
anjing ini, dan biarpun tanpa perahu, aku mudah saja menyeberang ke daratan
Tiongkok!” jawab suhunya yang gagah perkasa sambil memutar-mutar dayungnya
mengamuk hebat.
Lin Lin mendapatkan akal. Ia lalu menghampiri
Merak Sakti dan berkata, “Saudaraku yang baik. Kaubantulah Nelayan Cengeng dan
cakarlah habis-habis pendeta busuk itu!”
Sin-kong-ciak mengeluarkan pekik keras, tanda
bahwa ia girang sekali menerima tugas ini dan sebentar saja tubuhnya melesat
dan melayang ke atas. Setelah Merak Sakti ini menyerbu, maka terdengarlah jerit
dan tangis yang ribut sekali di kalangan para Pendeta Sakia Buddha ini dan
Nelayan Cengeng menjadi gembira sekali.
“Bagus Kong-ciak-ko, bagus! Hayo, kita hantam
bersama!”
Perahu yang ditumpangi oleh Yousuf, Lin Lin
dan Ma Hoa, telah pergi jauh dan Pendeta-pendeta Baju Merah itu merasa tidak
kuat menghadapi Nelayan Cengeng yang tangguh dan yang dibantu oleh Merak Sakti
yang aneh itu. Maka sambil berteriak-teriak ketakutan mereka lalu melarikan
diri ke arah perahu-perahu kecil mereka di lain bagian. Dengan cepat mereka
lalu melarikan diri dengan perahu-perahu itu dari pulau yang telah mulai
berkobar hebat itu. Nelayan Cengeng juga tidak membuang waktu lagi, ia berkata
kepada Merak Sakti,
“Kong-ciak-ko, sekarang kauterbanglah menyusul
perahu Lin Lin dan aku akan berenang. Hayo kita berlumba, kau terbang dan aku
berenang. Siapa yang lebih cepat menyusul perahu, dia menang!”
Merak Sakti agaknya mengerti omongan ini dan
sambil mengeluarkan teriakan panjang dan girang, ia lalu terbang melayang ke
atas dan mencari-cari perahu Lin Lin yang telah berlayar jauh sekali.
Sementara itu, Nelayan Cengeng juga segera
menceburkan diri ke dalam laut dan mempergunakan kepandaian tenaganya yang luar
biasa untuk berenang ke daratan pantai Tiongkok. Akan tetapi ia telah
tertinggal jauh dan ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengejar
perahu itu hingga ia berenang cepat sekali bagaikan seekor ikan besar. Air
tidak kelihatan terpercik ke atas, namun tubuhnya bergerak maju pesat sekali.
Akan tetapi, tiba-tiba setelah ia dapat
melihat bayangan perahu itu dalam gelap, terdengar letusan hebat dari pulau
yang terbakar itu hingga Kong Hwat Lojin terlempar jauh, terbawa ombak yang
datang setinggi gunung dan yang melemparkannya ke arah lain, jauh dari kapal
itu, dan di lain jurusan!
Ilmu kepandaian di dalam air yang dimiliki
oleh Nelayan Cengeng memang hebat sekali, maka ketika melihat betapa dirinya
menjadi permainan ombak, ia lalu menahan napas dan menyelam ke dalam. Tekanan
air makin ke bawah makin kuat, akan tetapi tidak bergelombang sehebat di
permukaan air itu. Dengan demikian, Nelayan Cengeng dapat berenang terus, dekat
di atas dasar laut itu dan ia menuju ke pantai. Akan tetapi oleh karena
gelombang yang hebat itupun membuat perahu yang ditumpangi oleh Yousuf dan
kedua gadis itu terbawa ombak dan tidak tentu arahnya, ketika Nelayan Cengeng
sudah muncul di darat, ia berada jauh sekali dari perahu itu, dan sedikit pun
tidak tahu dirinya berada di mana!
Dan pada saat ia melompat ke darat, datanglah
Hek Pek Mo-ko, dan Pek Mo-ko lalu menyerangnya hingga terjadi pertempuran
sengit yang kemudian disusul oleh datangnya Biauw Suthai dan Pek I Toanio dan
yang mengeroyok Hek Pek Mo-ko. Sebagaimana telah diketahui, akhirnya karena
Kwee An ikut mencampuri pertempuran itu, Hek Mo-ko bertempur sendiri melawan
Pek Mo-ko yang mengakibatkan tewasnya kedua orang Iblis Hitam dan Putih itu!
Kwee An dan Cin Hai merasa senang sekali
mendengar bahwa Lin Lin dan Ma Hoa berada di bawah perlindungan Yousuf yang
baik hati. Biarpun mereka tidak tahu ke mana perginya ketiga orang itu, namun
mereka percaya bahwa kedua gadis itu tentu berada dalam keadaan selamat.
Sementara itu, Pulau Kim-san-to masih saja
berkobar sampai dua hari dua malam! Cin Hai berkeras tidak mau meninggalkan
pantai sebelum keadaan aman kembali dan ia berniat hendak menggunakan perahu mencari
Ang I Niocu! Semua orang tahu akan isi hati dan kehancuran kalbu pemuda ini,
maka oleh karena mereka semua pun merasa kagum dan kasihan kepada Ang I Niocu,
mereka juga menunggu di pantai sambil melihat ke arah pulau yang musnah dimakan
api itu.
Pada hari ke tiga, padamlah api yang membakar
seluruh Pulau Kim-san-to dan lenyaplah gelombang-gelombang besar yang
diakibatkan oleh peristiwa mengerikan itu. Laut menjadi tenang kembali dan
semua orang memandang ke arah pulau itu, hati mereka tertegun dan untuk
beberapa lama tak seorang pun di antara mereka dapat mengeluarkan kata-kata.
Ternyata bahwa pulau yang tadinya menjulang dari permukaan laut dan pada malam
hari nampak bagaikan sorga itu, kini telah lenyap sama sekali, bagaikan
sepotong kue besar yang habis ditelan oleh mulut raksasa. Sedikit pun tak
nampak bekas-bekasnya lagi.
Semua orang lalu mulai dengan usaha mereka
mencari-cari, akan tetapi ke manakah mereka harus mencari Ang Niocu? Cin Hai
sendiri lalu mempergunakan perahu kecil bersama Kwee An dan mendayung perahu
itu ke tempat di mana tadinya terdapat pulau itu. Mereka melihat banyak barang
mengambang permukaan air laut, orang besar kecil yang merupakan benda-benda
hitam memenuhi air laut itu. Ketika mereka telah berputar-putar sehari lamanya
dan orang-orang lain telah kembali ke pantai oleh karena telah berputus asa,
tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu mengambang di air dan ia lalu menjerit dengan
suara mengandung isak tangis.
“Niocu!” Kemudian pemuda ini lalu melompat ke
dalam air. Kwee An terkejut sekali dan mendayung perahunya mengejar Cin Hai
yang berenang cepat ke depan. Ia melihat Cin Hai mengambil sesuatu dari
permukaan air laut itu dan ketika dilihatnya, ternyata bahwa yang dipegang oleh
Cin Hai adalah selembar kain berwarna merah. Cin Hai sambil menangis berenang
lagi ke perahu dan naik ke dalam perahu sambil memegang potongan kain merah itu
erat-erat, lalu ia terduduk menangis dan menyembunyikan mukanya di dalam kain
itu sambil mengeluh tiada hentinya.
“Niocu... Niocu...”
Kwee An teringat bahwa kain ini sama benar
dengan kain pakaian yang biasa dipakao olen Ang I Niocu, maka ia menjadi amat
terharu dan tak dapat berkata-kata apa kecuali menggunakan tangannya
menepuk-nepuk Cin Hai.
“Kuatkanlah hatimu, Cin Hai... dan bolehkah aku
mendayung perahu kembali ke pantai?”
Cin Hai tak dapat mengeluarkan suara, hanya
mengangguk-angguk dengan muka masih tersembunyi ke dalam sobekan kain merah
itu. Agaknya Ang I Niocu telah hancur tubuhnya karena ledakan dahsyat itu dan
secara ajaib sekali sepotong pakaiannya telah terlempar dan terbawa hawa
ledakan hingga jatuh di air dan tidak ikut terbakar. Tentu saja Cin Hai menjadi
sedih sekali oleh karena sobekan pakaian ini menjadi bukti nyata bahwa Gadis
Baju Merah itu telah tewas dan hanya meninggalkan sesobek kain dari pakaiannya.
Nelayan Cengeng yang hampir sehari penuh
berenang kian-kemari mencari-cari, juga tidak menemukan sesuatu dan sekarang
telah berada di pantai dengan orang-orang lain. Ketika mereka melihat kain
merah yang ditemukan Cin Hai, mereka hanya dapat menghela napas saja, bahkan
Pek I Toanio tak dapat menahan keharuan hatinya lalu berkata kepada Cin Hai.
“Jangan kau terus bersedih hati, karena itu tidak ada gunanya. Ang I Niocu
agaknya telah tewas akan tetapi ia tewas sebagai seorang pendekar gagah perkasa
dan boleh dibanggakan maka tak perlu kita terlalu menyedihi kematiannya.
Bukankah kita semua ini kelak pun akan pergi ke tempat di mana dia mendahului
kita? Lebih baik sekarang kita berusaha mencari di mana adanya Lin Lin dan Ma
Hoa.”
Nelayan Cengeng yang diam-diam juga
mengalirkan air mata tanda menangis itu lalu menggunakan ujung lengan bajunya
yang basah karena air untuk mengusap pipinya sambil mengangguk-angguk. “Benar
ucapan Biauw Suthai. Marilah kita sekarang menyusul dan mencari ke mana
mendaratnya perahu Yousuf itu.”
Kata-kata ini memperingatkan Cin Hai bahwa Lin
Lin masih hidup dan hal ini merupakan hiburan yang besar sekali. Ia lalu
mempertahankan dan menguatkan hatinya, lalu memandang kepada mereka.
“Maafkanlah kelemahanku dan terima kasih
kuucapkan kepada Cuwi sekalian yang telah begitu baik hati untuk ikut bersusah
payah.”
Setelah mengadakan perundingan, maka
diputuskan bahwa mereka akan terpecah menjadi tiga rombongan dalam usaha mereka
mencari dua gadis itu. Kwee An hendak pergi bersama Cin Hai, Pek Toanio bersama
gurunya dan Nelayan Cengeng pergi seorang diri. Tempat dimana perahu orang
Turki itu mendarat belum diketahui maka mereka segera berpencar dan mulai
mencari dan menyusul Lin Lin, Ma Hoa, dan Yousuf.
Berkat kecerdikannya dan kepandaian supeknya
yang gagu, Hai Kong Hosiang berhasil melarikan diri dari Pulau Kim-san-to dan
karenanya ia terhindar dari bahaya maut. Ketika perahunya mendarat, ia pun
dapat melihat pertempuran yang terjadi antara Nalayan Cengeng yang dibantu
Biauw Suthai dan Toanio melawan Hek Pek Mo-ko, akan tetapi oleh karena melihat
bahwa yang bertanding itu adalah tokoh-tokoh ternama yang berkepandaian tinggi
sekali terutama Hek Pek Mo-ko yang telah ia ketahui memiliki ilmu kepandaian luar
biasa, Hai Kong Hosiang lalu mengajak supeknya yang gagu untuk terus berlari
dan jangan mencampuri urusan mereka.
Hatinya merasa mendongkol dan marah sekali
oleh karena kembali ia telah mengalami kesialan. Pertama, ia telah kena dibujuk
oleh Pangeran Vayami, kedua ia telah bertemu dengan Balutin dan bertempur tanpa
bisa merobohkan pendeta asing itu, dan ketiganya ia hampir saja mendapat celaka
besar di pulau yang terbakar dan meledak.
Di sepanjang jalan Hai Kong Hosiang
menyumpah-nyumpah Cin Hai. Ia merasa menyesal sekali mengapa dulu ketika Cin
Hai terjatuh ke dalam tangan Pangeran Vayami, ia tidak lekas-lekas membunuh
anak muda itu. Sekarang, anak muda itu tentu masih hidup dan selanjutnya akan
merupakan halangan besar baginya oleh karena bahwa Cin Hai bersama beberapa
orang kawannya tentu takkan tinggal diam saja dan akan mengejar-ngejarnya untuk
membalas dendam atas kematian keluarga Kwee! Sedangkan kepandaiannya sendiri
yang tadinya dibangga-banggakan itu baru menghadapi Balutin saja belum mampu
mengalahkannya!
Maka lalu mengajak supeknya, yakni Kiam Ki
Sianjin yang sudah pikun dan gagu untuk bersembunyi di atas sebuah gunung yang
sunyi, lalu ia mengerahkan seluruh perhatiannya untuk memperdalam ilmu silatnya
di bawah pimpinan Kim Ki Sianjin yang lihai! Dengan bujukan-bujukan dan
pujian-pujian, ia berhasil mengeduk semua ilmu yang dimiliki Kim Ki Sianjin
yang lihai, sehingga kepandaian Hai Kong Hosiang sudah meningkat tinggi sekali,
bahkan ia dengan giatnya meyakinkan ilmu lweekang yang berdasarkan ilmu yoga
dari barat. Lweekang ini melatihnya secara terbalik, yaitu mengatur pernapasan
dan pergerakan tenaga dalam secara jungkir balik, kepala di bawah dan kedua
kaki di atas. Berkat latihan ini, maka Hai Kong Hosiang memiliki ilmu silat
yang diajarkan oleh supeknya, yakni Ilmu Silat Kalajengking yang amat lihai.
Ilmu silat ini bukan digerakkan dengan tubuh dalam keadaah biasa, akan tetapi
dalam keadaan kaki di atas dan kepala di bawah! Dengan kepala di atas tanah,
kedua kaki Hai Kong Hosiang dapat bergerak secara lihai sekali, mengirim
serangan-serangan maut yang tak terduga datangnya dan oleh karena tenaga kaki
memang lebih besar daripada tenaga tangan, maka kedua kaki yang
menendang-nendang dan menyerang hebat itu sukar ditahan oleh lawan. Ini masih
belum hebat, akan tetapi kedua tangannya pun tidak tinggal diam dan melancarkan
serangan-serangan dari bawah dengan secara tiba-tiba dan sukar dilawan. Kalau
lawan sampai kena terpegang kakinya oleh tangan Hai Kong Hosiang yang berada di
bawah, maka celakalah dia!
Ilmu kepandaian Kiam Ki Sianjin lebih tinggi
tingkatnya daripada kepandaian Hek Pek Mo-ko, sedangkan dalam usia yang sangat
tua saja ia sudah amat lihai, maka kini setelah Hai Kong Hosiang dapat mewarisi
seluruh kepandaiannya dapat dibayangkan betapa hebatnya kelihaian Hai Kong
Hosiang yang masih kuat dan bertenaga besar itu! Selain Ilmu Silat Kalajengking
yang lihai ini, juga Hai Kong Hosiang mempelajari Ilmu Kebal Kim-ciong-ko yang
membuat kulit dan dagingnya dapat menahan serangan senjata tajam. Kim-ciong-ko
yang bisa dipelajari oleh Hai Kong Hosiang ini bukanlah Kim-ciong-ko yang biasa
dipelajari dalam dunia persilatan, oleh karena didasarkan khikang yang dilatih
secara jungkir balik hingga ia bisa menyalurkan tenaga dalamnya disertai hawa
dalam badan yang membuat kulitnya dapat melembung dan mengempis seperti karet
dan jangankan pedang biasa, bahkan pedang pusaka yang tajam pun apabila
digunakan oleh orang yang memiliki tenaga biasa takkan dapat melukainya!
Setelah merasa bahwa kepandaiannya telah
sempurna betul, Hai Kong Hosiang turun dari gunung dan bersama supeknya lalu
pergi ke kota raja. Di situ ia mendengar tentang terbunuhnya Boan Sip. Maka
kebencian dan kemarahannya terhadap Cin Hai dan kawan-kawannya makin meluap dan
bersumpah hendak membunuh mereka ini semua! Nama-nama Cin Hai, Kwee An, Lin
Lin, Nelayan Cengeng, Ma Hoa, Biauw Suthai, dan Pek I Toanio termasuk dalam
daftarnya dan ia hendak mencari orang-orang ini untuk dibinasakan! Tentu nama
Bu Pun Su juga tak pernah terlupa olehnya walaupun ia masih merasa jerih dan
ragu-ragu apakah ia akan dapat menghadapi kakek jembel yang amat kosen itu!
Pada suatu hari, Hai Kong Hosiang dalam
perantauannya tiba di sebuah dusun kecil dan oleh karena di dusun itu tidak ada
penginapan, ia lalu memilih sebuah rumah yang terdekat dan masuk saja tanpa
permisi kepada tuan rumah.
Seorang petani tua yang mendiami rumah itu
menjadi marah sekali melihat seorang gundul memasuki rumahnya begitu saja, maka
ia lalu membentak,
“Eh, eh, hwesio dari manakah dan perlu apa
memasuki rumahku tanpa permisi.”
Hai Kong Hosiang memandang kepada petani tua
itu dengan mendelik dan sekali ia mengulurkan tangan, pundak petani itu telah
kena ia pegang dan ia lalu melemparkan tuan rumah itu keluar jendela. Tubuh petani
itu jatuh berdebuk di luar rumah dan bergulingan beberapa kali. Untung sekali
Hai Kong Hosiang tidak berniat membunuhnya dan ia terbanting di atas rumput
tebal, kalau tidak tentu ia akan tewas seketika itu juga. Petani ini menjadi
marah sekali dan ia lalu memaki-maki sambil berlari ke dalam kampung
memberitahukan kepada semua tetangga. Beberapa orang laki-laki yang mendengar
kekurangajaran ini, segera membawa senjata hendak mengusir Hai Kong Hosiang,
akan tetapi baru saja mereka tiba di muka rumah kecil itu, Hai Kong Hosiang
telah melompat keluar dengan bertolak pinggang.
“Kalian ini orang-orang dusun mau apakah?”
tanyanya dengan muka bengis.
“Hwesio kurang ajar! Mengapa kau merampas
rumah orang begitu saja?”
“Siapa merampas rumah? Aku hendak meminjamnya
sebentar untuk beristirahat. Kalian ini orang-orang kampung sungguh tidak tahu
aturan. Sepatutnya kalian segera menghidangkan makanan dan minuman untukku
sebagaimana layaknya tuan rumah menghormati tamunya.”
“Mana ada aturan macam itu?” berkata seorang
petani lain yang menjadi marah melihat sikap dan mendengar perkataan yang
keterlaluan ini. “Kau bukanlah seorang tamu, akan tetapi kau masuk rumah orang
seperti perampok, bahkan telah berani melempar tuan rumah yang mempunyai rumah
ini.”
“Sudahlah jangan banyak cakap. Kalian mau
memberi hidangan cepat keluarkan dan jangan banyak mengobrol karena aku menjadi
tidak sabar lagi.”
“Hweso jahat!” teriak orang-orang kampung itu
lalu menyerbu hendak memukul dan mengusir Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, orang-orang
kampung yang lemah dan yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini mana dapat
menghadapi seorang kosen seperti Hai Kong Hosiang yang memiliki kepandaian
tinggi. Ketika berbagai senjata menyambar ke arah tubuhnya, Hai Kong Hosiang
lalu menggunakan lengan kirinya untuk menangkis senjata-senjata itu, sedangkan
tangan kanannya tetap bertolak pinggang. Semua petani berteriak kesakitan
ketika senjata-senjata mereka beradu dengan lengan tangan Hai Kong Hosiang,
karena senjata-senjata itu terpental dan terlepas dari pegangan, sedangkan
telapak tangan mereka menjadi perih dan sakit.
Beberapa orang yang berhati tabah masih merasa
penasaran dan maju memukul, akan tetapi ketika kepalan tangan mereka mengenai
dada Hai Kong Hosiang yang bidang, mereka kembali menjerit-jerit kesakitan dan
tangan mereka menjadi bengkak-bengkak.
“Ha-ha-ha! Cacing tanah busuk! Hayo kalian
lekas ambil pergi semua makanan yang enak untukku kalau tidak, semua orang
kampung ini akan kubikin mampus semua!” Sambil berkata demikian, Hai Kong
Hosiang bergerak cepat dan melempar-lemparkan orang-orang yang terdekat
dengannya bagaikan orang melempar-lemparkan rumput kering saja.
Orang-orang kampung berteriak-teriak
kesakitan. Mereka merasa terkejut sekali dan juga takut menghadapi hwesio yang
jahat seperti setan dan yang memiliki ilmu kepandaian mujijat yang belum pernah
mereka saksikan selama hidupnya. Maka sambil berteriak-teriak mereka lalu
melarikan diri dan sekali lagi Hai Kong Hosiang membentak,
“Tidak lekas kau sediakan makanan enak dan
arak yang baik? Atau kalian menunggu sampai aku membikin dusun ini hancur
lebur?”
Takutlah orang-orang kampung itu mendengar
ancaman ini oleh karena mereka percaya bahwa hwesio jahat ini pasti sanggup
membuktikan ancamannya itu. Maka mereka lalu cepat mengeluarkan semua hidangan
yang ada pada mereka dan menyuguhkan kepada Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, demi
melihat suguhan-suguhan yang terdiri dari sayuran-sayuran dah hanya sedikit
terdapat daging, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan sekali ia menggerakkan
kakinya, semua hidangan melayang dan hancur berantakan di atas tanah.
Orang-orang kampung mundur ketakutan dan hwesio jahat itu lalu membentak,
“Bawa ke sini seekor babi. Hayo cepat!”
“Kami...kami orang sedusun tidak mempunyai
babi seekor pun,” jawab seorang petani mewakili kawan-kawannya.
“Tidak ada babi? Awas, jangan kau membohong!
Kalau kau membohong, kau sendirilah yang kujadikan babi dan kupanggang
tubuhmu!”
“Benar-benar kami tidak mempunyai babi,
Losuhu,” kata seorang petani lain. Hai Kong Hosiang baru mau percayai
keterangan mereka.
“Kalau begitu, bawa seekor kerbau ke sini!”
Orang-orang kampung itu menjadi pucat. “Kami
hanya mempunyai beberapa ekor kerbau yang kami pekerjakan sebagai penggarap
sawah ladang. Kalau Losuhu mengambilnya, bagaimana nasib kami?”
“Tutup mulut dan lekas bawa seekor kerbau yang
paling gemuk! Awas, aku sudah lapar sekali dan kalau aku habis sabar, mungkin
kau yang akan kumakan!”
Tentu saja semua orang terkejut dan ngeri
mendengar ancaman ini dan mereka terpaksa lalu menuntun kerbau tergemuk di
kampung itu ke hadapan Hai Kong Hosiang. Hwesio itu memandang tubuh kerbau yang
gemuk ini dan mulutnya tersenyum lebar.
“Nah, ini pun boleh!” Secepat kilat ia
merampas sebatang golok dari tangan seorang petani dan sekali saja tangannya
bergerak, leher kerbau itu telah putus. Darah menyembur-nyembur keluar dari
dalam perut binatang itu melalui lehernya yang berlubang dan kedua mata
binatang itu masih terbuka lebar. Keempat kakinya berkelojotan lalu terdiam.
Terdengar pekik seorang kanak-kanak dan
tiba-tiba dari rombongan para petani yang memandang penyembelihan kerbau secara
istimewa ini dengan wajah pucat dan mata terbelalak, keluar berlari seorang
anak laki-laki berusia tujuh tahun lebih. Anak ini segera menubruk tubuh kerbau
yang telah mati itu sambil menangis keras,
“He, siapakah anjing kecil ini?” tanya Hai
Kong Hosiang kepada seorang wanita yang menarik-narik anak itu sambil
mengeluarkan kata-kata hiburan.
“Dia... dia ini adalah anakku dan kerbau itu
adalah kerbau kesayangannya. Semenjak kecil ia bersama-sama kerbau ini, maka ia
menjadi sayang sekali. Maafkan dia Losuhu, karena dia tidak tega melihat kawan
bermainnya itu terbunuh.”
“Ha-ha-ha! Anak goblok! Anak bodoh! Dia belum
tahu bagaimana rasanya daging sahabatnya itu. Kalau sudah tahu, ha-ha-ha! Tentu
ia akan senang melihat sahabatnya disembelih! Hayo anak kau ikut aku pesta dan
menikmati daging sahabatmu ini!” Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang
memegang tangan anak itu dan menariknya ke dalam rumah. Ketika ibunya hendak
mengejar, Hai Kong Hosiang membentak,
“Aku hendak mengajak anakmu makan besar, apa
salahnya! Kalau kau mengganggu, aku akan bunuh kamu berdua!” Terpaksa ibu ini
melangkah mundur dengan muka pucat, kemudian ia menjatuhkan diri di atas tanah
sambil menangis. Seorang tetangganya lalu menariknya pergi dari situ oleh
karena kuatir kalau hwesio jahat itu akan marah dan benar-benar melakukan
pembunuhan.
“Hayo lekas masak daging ini!” Hai Kong
Hosiang memerintah sambil minum arak yang disuguhkan di atas meja dalam rumah
itu. Anak yang tadi ditariknya kini didudukkan di depannya dan sambil memandang
anak itu, Hai Kong Hosiang tiada hentinya minum arak sambil tertawa-tawa. Anak
itu duduk dengan muka pucat dan tubuh menggigil, tetapi ia tidak berani
berteriak!
Setelah masakan daging kerbau telah matang dan
disuguhkan di atas meja depan Hai Kong Hosiang dan anak itu, Hai Kong Hosiang
lalu mulai makan dengan enaknya.
“Hayo kaumakan daging kawanmu ini. Enak dan
lezat sekali rasanya!” kata Hai Kong Hosiang kepada anak itu. Akan tetapi
sambil menggigit bibirnya dan menahan runtuhnya air mata yang mengembeng di
bulu matanya, anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Hayo makan!” teriak Hai Kong Hosiang dengan
suara yang menggeledek bagaikan guntur hingga semua orang tani yang berada di
luar rumah itu menjadi terkejut dan kuatir sekali.
Akan tetapi, sekali lagi anak itu
menggelengkan kepala karena jangankan harus makan daging kerbaunya yang
dikasihinya itu, baru melihat saja betapa daging kawan baiknya kini telah
dimasak dan dimakan oleh hwesio itu, hatinya telah terasa perih dan hancur
sekali.
Melihat kekerasan anak ini, Hai Kong Hosiang
menjadi marah dan penasaran. Ia lalu mengambil sepotong daging dengan tangannya
dan begitu mengulur tangan, maka tangan kirinya telah menangkap mulut anak itu
hingga dipaksa menyelangap dan lalu memasukkan daging itu ke dalam mulut anak
tadi! Anak itu membelalakkan matanya dan ketika merasa betapa daging itu
dimasukkan ke dalam mulutnya, tiba-tiba ia muntah-muntah!
Bukah main marahnya Hai Kong Hosiang melihat
hal ini. Ingin ia memukul mati anak di depannya ini, akan tetapi baru saja ia
mengangkat tangannya untuk memukul, ia teringat bahwa jika membunuh anak ini,
maka setidaknya tentu terjadi heboh dan ribut yang hanya akan mengganggu
istirahatnya saja. Maka ia tidak jadi memukul, akan tetapi memegang batang
leher anak itu dan sekali ia menggerakkan tangan, anak itu menjerit karena
tubuhnya terlempar keluar pintu!
Baiknya di luar pintu, orang-orang tani sedang
duduk berkumpul dengan hati berdebar penuh kekuatiran, maka tubuh anak kecil
itu jatuh menimpa mereka hingga tidak mengalami luka hebat. Anak itu jatuh
pingsan karena sedih, ngeri dan takutnya dan orang-orang kampung itu lalu
menggotongnya pulang sambil menghela napas, bahkan ada yang mengucurkan air
mata karena merasa sedih, dan tak berdaya!
Hai Kong Hosiang melanjutkan makan-minumnya
seakan-akan tak pernah ada gangguan apa-apa. Nafsu makannya besar sekali dan
sebentar saja hidangan yang disuguhkan di atas meja itu habis bersih! Memang
hwesio ini mempunyai sifat aneh. Ia dapat bertahan tidak makan sampai tiga hari
tiga malam, dan sekali ia makan, agaknya ia hendak menebus hutangnya kepada
perutnya itu dan takaran makan yang tiga hari disekalikan! Setelah hidangan itu
habis semua, ia lalu merebahkan dirinya di atas sebuah balai-balai reyot di
dalam rumah petani itu dan sebentar lagi terdengar suaranya mendengkur keras,
seakan-akan kerbau yang dagingnya telah memasuki perutnya itu tiba-tiba bangkit
kembali di dalam perut dan menguak-uak!
Semalam suntuk Hai Kong Hosiang tertidur tanpa
berkutik dari tempatnya. Telah beberapa pekan ia meninggalkan kota raja dan
supeknya ditinggal di kota raja, oleh karena supeknya yang sudah tua itu
menyatakan lelah dan bosan merantau, hingga Hai Kong Hosiang pergi seorang
diri.
Pada keesokan harinya, kebetulan sekali Biauw
Suthai dan Pek I Toanio yang pergi mencari jejak Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf
tiba di dusun itu. Kedua orang ini merasa heran melihat kelesuan muka
orang-orang kampung itu ketika pada pagi hari itu mereka memanggul cangkul
pergi ke ladang.
Pek I Toanio lalu bertanya kepada seorang
petani tua yang bertemu di jalan,
“Lopeh (Uwa), agaknya kalian penduduk desa ini
berduka dan bingung. Malapetaka apakah gerangan yang menimpa desamu?”
Tadinya si petani tidak berani banyak bicara,
akan tetapi ketika melihat gagang pedang yang tergantung di punggung Pek I
Toanio timbul kepercayaannya, bahkan ia lalu mengharap kalau-kalau kedua wanita
yang nampak gagah ini akan dapat menolong desanya.
“Ketahuilah, Toanio. Desa kami kedatangan
seorang hwesio jahat sekali yang mengganggu kami dan bahkan merampok kami. Itu
masih belum seberapa, bahkan ia berani memukul dan melukai orang.”
Bangkitlah semangat pendekar dalam dada Pek I
Toanio ketika mendengar penuturan ini, sedangkan Biauw Suthai yang lebih sabar
lalu minta kepada petani tua itu untuk menuturkan sejelasnya. Petani itu lalu
menceritakan tentang kejahatan Hai Kong Hosiang dan Biauw Suthai menjadi marah
sekali, apalagi ketika mendengar betapa hwesio jahat itu memaksa anak kecil itu
makan daging kerbaunya sendiri dan kemudian melempar tubuh anak itu keluar
ketika dia tidak mau makan daging kerbau kesayangannya.
“Hwesio bangsat kurang ajar! Hendak kulihat siapakah
dia yang begitu jahat tak mengenal kemanusiaan itu.”
Setelah berkata demikian, Biauw Suthai dengan
tindakan kaki lebar dan diikuti oleh muridnya, lalu pergi menuju ke rumah yang
diceritakan oleh petani tadi. Sementara itu, petani tua itu lalu menceritakan
kepada kawan-kawannya, sebentar saja semua orang tahu bahwa ada dua orang
wanita gagah yang hendak mengusir dan menghukum hwesio jahat yang mengganggu
mereka. Semua orang lalu meninggalkan pekerjaan mereka dan beramai-ramai menuju
ke rumah itu. Akan tetapi mereka tidak datang dekat, hanya memandang dari jauh
dengan perasaan tegang.
Ketika melihat bahwa pintu rumah itu masih
tertutup, Biauw Suthai dan Pek I Toanio lalu melompat ke atas genteng dan
membuka dua genteng dan mengintai ke dalam. Dan mereka melihat pemandangan yang
aneh. Seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis menakutkan,
sedang berdiri dengan kepala di tanah dan kedua kaki di atas. Hwesio ini
menaruh kedua tangannya di belakang kepala dan saat itu sedang memutar-mutar
tubuhnya sedemikian rupa hingga kelihatan dari atas seperti sebuah gangsingan
atau semacam barang permainan yang terputar-putar. Di dekatnya kelihatan
menggeletak sebuah topi bambu yang lebar. Ketika Biauw Suthai dan muridnya
memandang dengan penuh perhatian, mereka terkejut sekali karena mengenal hwesio
itu yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang. Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang
sedang melatih lweekangnya yang hebat dan aneh. Kepalanya dapat
berloncat-loncat dan berpindah-pindah dengan cepat tanpa mengeluarkan suara,
sedang sepasang kakinya bergerak-gerak hingga di dalam kamar itu berkesiur
angin yang kuat. Tiba-tiba terdengar Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan
tahu-tahu kedua kakinya ditendangkan ke atas. Angin hebat menyerang ke atas
genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio sedang mengintai.
“Awas!” seru Biauw Suthai dan untung ia masih
keburu membetot lengan muridnya, oleh karena tiba-tiba genteng di mana mereka
tadi berdiri tiba-tiba pecah dan terpental ke atas tinggi sekali sebagai akibat
pukulan angin tendangan Hai Kong Hosiang yang dahsyat.
”Hai Kong pendeta bangsat!” Biauw Suthai
memaki keras dan tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang sudah berada di luar dan
berdiri sambil tertawa berkakakan dan memandang ke atas genteng di mana Biauw
Suthai dan Pek I Toanio masih berdiri.
Biauw Suthai menjadi marah sekali dan sambil
mencabut senjata yang istimewa, yaitu sebuah kebutan berbulu merah, ia lalu
melayang turun dari genteng diikuti oleh Pek I Toanio yang juga telah mencabut
keluar pedangnya.
“Ha, ha, ha, tokouw mata satu yang buruk!
Akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau. Dan agaknya engkaulah orang pertama
yang akan mampus di tanganku, mendahului anjing-anjing lain yang hendak kubasmi
semua. Dan muridmu yang cantik ini pun takkan ketinggalan dan mengiringkan kau!
Ha, ha, ha!”
“Hai Kong Hwesio keparat yang pantas mampus.
Memang sudah lama pinni hendak menyingkirkan kau dari muka bumi ini oleh karena
kedosaanmu telah melewati takaran. Bersedialah untuk mati!” Sambil berkata
demikian, Biauw Suthai menggerak-gerakkan hudtimnya yang lihai.
Kalau dulu sebelum memperdalam ilmu silatnya,
jika ia harus berhadapan dengan Biauw Suthai, tentu Hai Kong Hosiang akan
merasa jerih oleh karena ia telah maklum akan ketangguhan tokouw mata satu ini,
dan karena ia maklum akan kelihaian para musuh-musuhnya, maka ia lalu mengajak
supeknya untuk menemaninya dalam perantauan. Akan tetapi, sekarang setelah
mempelajari banyak macam ilmu silat yang lihai-lihai dari Kiam Ki Sianjin, ia
memandang rendah kepada musuh-musuhnya, dan melakukan perjalanan seorang diri
tanpa dikawani supeknya. Memang Hai Kong Hosiang mempunyai dasar watak yang
sombong dan tinggi hati serta memandang rendah kepandaian orang lain, akan
tetapi harus diakui bahwa ia memang mempunyai dasar atau bakat yang baik
sekali. Jarang ada orang yang dapat mempelajari ilmu silat sebaik dan secepat
dia. Ilmu Silat Kalajengking yang aneh gerakannya dan dilakukan secara
berjungkir balik itu telah dapat dimainkan dengan sempurna dalam waktu tidak
lebih dari tiga bulan saja. Juga selain ilmu silat ini, ia telah meyakinkan
ilmu-ilmu silat lain dan bahkan telah mendapat kemajuan ilmu lweekang yang
berdasarkan yoga dari Barat.
Kini melihat betapa Biauw Suthai telah
menggerak-gerakkan ujung kebutan yang lihai hingga bulu-bulu halus kebutan itu
mulai menggetar dan seakan-akan menjadi hidup oleh karena tenaga dalam tokouw
itu telah disalurkan ke dalam senjatanya untuk menghadapi hwesio yang amat
tangguh ini, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak lagi dan tiba-tiba ia
menyerang dengan tangan kosong. Serangan ini berarti penghinaan dan memandang
rendah kepada Biauw Suthai yang memegang kebutan, maka tokouw ini menjadi marah
sekali. Benar-benarkah hwesio ini mengangap ia begitu ringan hingga tak perlu
dilawan dengan senjata? Ia berseru keras dan menggerakkan kebutannya dalam tipu
gerakan Angin Badai Memutar Ombak. Terdengar angin bersuitan ketika hudtim
berkelebat merupakan sinar merah dan dalam segebrakan saja ujung hudtimnya
menyambar-nyambar ke tiga tempat, pertama ke arah pelipis kepala Hai Kong
Hosiang lalu ke dua meluncur terus ke arah jalan darah di leher untuk melakukan
totokan maut dan terus disambung lagi dengan serangan ke tiga yaitu mengebut ke
arah uluhati hwesio itu.
Akan tetapi Hai Kong Hosiang memang lihai
sekali. Melihat gerakan serangan yang sekali serang mengancam tiga tempat yang
berbahaya dan yang membawa hawa maut ini, ia tidak menjadi gugup. Ia gunakan
kedua tangannya yang dibuka untuk digerak-gerakkan ke arah ujung kebutan dan
ternyata tenaga khikang yang kuat sekali itu berhasil memukul buyar ujung
hudtim sebelum senjata itu mengenai tubuhnya.
Biauw Suthai terkejut sekali. Tak pernah
disangkanya bahwa kepandaian Hai Kong Hosiang telah maju sedemikian hebatnya
dan diam-diam ia maklum bahwa tenaga dalam hwesio ini telah maju pesat dan
telah berada di tingkat yang lebih tinggi daripada tenaga dalamnya sendiri.
Akan tetapi, Hai Kong Hosiang terlampau memandang rendah Biauw Suthai. Ia tidak
tahu bahwa Tokouw ini adalah tokoh persilatan yang boleh dibilang “kawakan”
atau jago tua yang telah malang melintang dalam dunia kang-ouw sampai puluhan
tahun lamanya dan jarang menemui tandingan. Biauw Suthai telah terlalu sering
menghadapi orang-orang pandai dan lawan-lawan tangguh, hingga ia tidak menjadi
jerih menghadapi Hai Kong Hosiang, biarpun ia maklum bahwa hwesio ini
berkepandaian tinggi sekali. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang terlihai
dan kini kebutannya bergerak bagaikan seekor naga mengamuk dan semua
serangannya ditujukan ke arah urat-urat kematian Hai Kong Hosiang untuk
mempertahankan nyawanya lagi.
Setelah bertempur dengan hebat sampai lima
puluh jurus lebih, Hai Kong Hosiang terpaksa mengakui keunggulan permainan
silat Biauw Suthai dalam lima puluh jurus lebih itu, telah beberapa kali ia mengeluarkan
keringat dingin dan menjadi pucat karena hampir saja ia menjadi korban senjata
hudtim lawannya. Maka ia segera berseru keras,
“Biauw Suthai, rasakan kerasnya senjataku!”
dan ia lalu mencabut keluar tongkat ularnya yang terkenal ganas dan ampuh.
“Hai Kong manusia sombong! Hayo kau keluarkan
semua kesaktianmu, dan jangan kira aku takut kepadamu!”
“Ha, ha, ha! Biauw Suthai, kematian sudah di
depan mata tapi kau masih berani berlagak. Sungguh-sungguh tua bangka tak tahu
diri. Muridmu yang cantik itu telah menjadi pucat dan tak berani bergerak, maka
jagalah dirimu!” Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang menubruk maju sambil
menggerakkan tongkatnya yang istimewa hingga Biauw Suthai harus berlaku
hati-hati karena maklum akan berbahayanya tongkat ini.
Sementara itu, Pek I Toanio mendengar hinaan
Hai Kong Hosiang yang mengatakan bahwa ia pucat dan takut bergerak menjadi
marah sekali. Sambil melompat maju ia menyerang dengan pedangnya dan membentak,
“Hwesio gundul keparat! Aku Pek I Toanio tidak takut iblis macam kau!”
“Jangan maju!” teriak Biauw Suthai
memperingatkan muridnya, akan tetapi terlambat. Ketika pedang Pek I Toanio
merusak dada Hai Kong Hosiang, pendeta gundul ini sama sekali tidak menangkis
karena maklum bahwa tenaga Pek I Toanio tak perlu ia takuti maka sengaja ia
pasang dadanya untuk menerima tusukan itu. Terdengar bunyi kain terobek pedang
akan tetapi Pek I Toanio terkejut sekali karena di balik pakaian itu, ujung
pedangnya membentur kulit dan daging yang keras dan dapat membuat pedangnya
terpental kembali seakan-akan ia menusuk sebuah benda yang keras dan licin.
Sebelum hilang kagetnya, ujung tongkat Hai Kong Hosiang yang sebenarnya adalah
seekor ular kering dan berbisa itu telah menyambar dan tepat mengenai lehernya.
Pek I Toanio memekik perlahan sambil memegangi lehernya, tubuhnya terhuyung dan
kemudian roboh dan tewas dengan muka dan leher berubah menjadi hitam karena
pengaruh bisa yang keluar dari tongkat itu.
“Ha, ha, Biauw Suthai, lihatlah! Muridmu yang
cantik telah berubah buruk seperti mukamu!”
Bukan main marah dan sedihnya hati Biauw
Suthai melihat hal ini. Ia berubah menjadi buas dan liar karena marahnya.
“Hai Kong, kalau bukan kau yang mampus biarlah
aku yang tewas saat ini!” Lalu hudtimnya diputar hebat dan ia menyerang dengan
mati-matian! Belum pernah selama hidupnya Biauw Suthai marah seperti ini dan
tentu saja serangannya menjadi ganas dan berlipat ganda lebih hebat daripada
biasa. Hai Kong Hosiang terkejut dan diam-diam ia mengakui bahwa ilmu
kepandaian Biauw Suthai benar-benar hebat. Ia memainkan tongkatnya dengan
hati-hati dan tidak berani berlaku sembrono, karena maklum bahwa
serangan-serangan tokoh yang disertai kemarahan hebat dan penuh dendam ini
bukanlah hal yang boleh dipandang ringan!
Setelah mereka bertempur seratus jurus lebih
dengan ramai dan hebat sekali hingga orang-orang kampung yang tadinya menonton
dari jauh dan takut melihat betapa Pek I Toanio tewas, kini tidak berani
bergerak atau mengeluarkan suara melihat pertempuran luar ramainya itu,
tiba-tiba Biauw Suthai lalu merubah gerakannya dan kini ia menujukan perhatian
serta mencurahkan tenaganya untuk merampas tongkat Hai Kong Hosiang yang lihai.
Pada suatu saat ujung kebutan Biauw Suthai berhasil membelit ujung tongkat ular
itu dengan erat sekali. Hai Kong Hosiang mengerahkan tenaganya untuk menarik
kembali tongkatnya, akan tetapi tidak berhasil.
Tiba-tiba Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan
aneh dan menyeramkan dan tahu-tahu tubuhnya berjungkir balik, kepalanya di atas
tanah dan pada saat itu juga, kedua kaki dan tangannya bergerak menyerang Biauw
Suthai!
Gerakan ini sungguh-sungguh diluar dugaan
Biauw Suthai. Tadi setelah ujung hudtimnya berhasil membelit, Hai Kong Hosiang
berusaha membetot tongkatnya, maka ia mengerahkan lweekangnya untuk menahan dan
ketika tiba-tiba Hai Kong Hosiang melepaskan pegangan, tongkat itu tertarik
oleh hudtim dan melayang kepadanya, maka cepat-cepat Biauw Suthai mengelak.
Akan tetapi ia tidak menyangka sama sekali bahwa Hai Kong Hosiang setelah
melepaskan tongkatnya, lalu berjungkir balik dan menyerangnya dalam keadaan
yang aneh hingga ia jadi bingung. Sebagaimana sudah jadi watak wanita, paling
takut ia diserang dari bawah, maka Biauw Suthai terlalu mencurahkan perhatian
kepada kedua tangan Hai Kong Hosiang yang bergerak menyerang dari bawah! Ia
menggerakkan hudtimnya untuk menyapu ke bawah dan menangkis pukulan-pukulan
itu, akan tetapi tahu-tahu sepasang kaki Hai Kong Hosiang bergerak bagaikan dua
batang cangkul ke arah pundaknya di kanan kiri dengan tenaga yang hebat sekali!
Biauw Suthai terkejut hingga mengeluarkan
seruan kaget serta cepat miringkan tubuh. Ia berhasil mengelak dari serangan
pada pundak kanannya, akan tetapi pundak kirinya dengan telak telah kena
terpukul oleh ujung sepatu dari kaki Hai Kong Hosiang. Terdengar jerit perlahan
dan tubuh Biauw Suthai terhuyung-huyung ke belakang. Tokouw bermata satu ini
telah menderita pukulan maut yang hebat sekali dan kalau lain orang yang
terkena pukulan ini, pasti di saat itu juga telah roboh tak bernyawa! Biauw
Suthai yang telah menderita luka dalam yang hebat oleh karena totokan keras di
pundak ini tidak saja membuat tulang punggungnya remuk, akan tetapi hawa
pukulan juga menyerang jantungnya, masih kuat melayangkan kebutannya dengan
gerakan terakhir yang hebat ke arah tubuh Hai Kong Hosiang. Akan tetapi,
biarpun keadaannya berjungkir dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki di
atas, namun gerakan pendeta gundul ini tidak kalah cepatnya. Kepalanya membuat
gerakan dan tubuhnya tiba-tiba rebah di atas tanah, hingga sambitan hudtim itu
tidak mengenai sasaran. Hudtim itu melayang cepat dan menghantam sebuah batu
besar di belakang Hai Kong Hosiang. Terdengar suara keras dan sebagian besar
batu itu hancur terpukul hudtim! Dapat dibayangkan bahwa jika hudtim itu
mengenai tubuh manusia maka tentu akan hancur lebur. Demikianlah hebatnya
tenaga sambitan yang dilakukan dengan tenaga terakhir itu.
Setelah menyambit dengan hudtimnya, Biauw
Suthai lalu roboh dan ternyata ia telah menghembuskan napas terakhir. Tubuhnya
menggeletak di samping tubuh Pek I Toanio.
Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak, akan
tetapi setelah melakukan pembunuhan hebat ini ia merasa lebih aman untuk segera
meninggalkan tempat itu, oleh karena siapa tahu kalau-kalau kawan-kawan tokouw itu
berada di dekat tempat itu. Bukan karena ia takut kepada mereka, akan tetapi
oleh karena dalam pertempuran dengan Biauw Suthai tadi ia telah mengerahkan
banyak sekali tenaga dan telah menjadi lelah, maka kalau sekarang harus
menghadapi musuh tangguh yang lain lagi, hal ini akan berbahaya. Maka ia segera
angkat kaki dan meninggalkan tempat itu.
Setelah melihat bahwa hwesio jahat itu
betul-betul telah pergi meninggalkan kampung mereka, para petani baru berani
beramai-ramai menghampiri kedua mayat yang menggeletak di situ. Mereka merasa
terharu sekali oleh karena kedua wanita itu binasa dalam tugas membela mereka
sekampung. Maka kedua jenazah Biauw Suthai dan muridnya lalu diurus baik-baik,
ditangisi dan dikabungi, lalu dikebumikan dengan penuh penghormatan. Bahkan
petani tua yang rumahnya dirampas oleh Hai Kong Hosiang, lalu menyimpan hudtim
Biauw Suthai dan pedang Pek I Toanio yang dipasangnya di dinding rumahnya
sebagai perhormatan dan setiap orang kampung apabila melihat kedua senjata ini,
mereka menundukkan kepala kepada dua senjata itu untuk memberi hormat. Perahu
yang ditumpangi Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa bergerak maju dengan cepat
meninggalkan pulau yang telah berkobar dan dimakan api. Tak lama kemudian,
terdengar suara burung merak sakti dan Lin Lin menjadi girang sekali melihat
merak sakti melayang turun dan berdiri di atas perahu. Akan tetapi ia merasa
kuatir karena tidak melihat Nelayan Cengeng. Juga Ma Hoa semenjak tadi melihat
ke arah air oleh karena maklum bahwa suhunya tentu akan menyusul dengan
berenang.
“Kong-ciak-ko, di mana Kong Hwat Lojin?” Lin
Lin bertanya sambil memegang leher merak sakti. Binatang itu hanya mengeluarkan
suara perlahan dan memandang ke arah pulau, seakan-akan hendak mengatakan bahwa
tadi mereka berpisah di pantai Pulau Kim-san-to. Lin Lin dan Ma Hoa menjadi
gelisah sekali, demikian pun Yousuf. Mereka bertiga lalu berdiri di pinggir
perahu sambil memandang ke air. Tiba-tiba, di bawah cahaya api yang berkobar
besar, mereka melihat bayangan hitam bergerak di permukaan air.
“Itu tentu Suhu!” kata Ma Hoa dengan girang
sekali dan ia yakin bahwa yang begerak-gerak itu tentu suhunya yang berenang
cepat laksana seekor ikan. Mendengar seruan ini, Lin Lin dan Yousuf juga ikut
bergirang hati.
Tiba-tiba terdengar letusan hebat dari pulau
itu dan ketiganya terhuyung dan jatuh di dalam perahu. Bukan main terkejut hati
mereka dan sebelum mereka sempat melihat di mana adanya Nelayan Cengeng,
tiba-tiba datang gelombang sebesar gunung yang membawa perahu mereka terlempar
jauh sekali. Yousuf dengan dibantu kedua orang gadis itu, mengerahkan tenaga
dan kepandaian untuk mencegah perahu mereka terbalik dan dalam keadaan tak
berdaya mereka terpaksa mengikuti kemana ombak besar membawa perahu mereka.
Kalau perahu itu kecil, mungkin mereka masih sanggup menguasainya di antara
permainan ombak, akan tetapi perahu mereka besar dan berat hingga mereka
benar-benar tak berdaya.
Ombak demi ombak datang menyerbu dan membawa
perahu mereka makin jauh dari tempat yang mereka tuju. Perahu itu terus terbawa
menuju ke utara. Sampai satu malam penuh mereka terbawa makin jauh dan pada
keesokan harinya barulah ombak menjadi lemah hingga mereka dapat mendayung
perahu itu ke arah pantai. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka telah
terdampar jauh sekali dari pantai yang hendak mereka tuju.
Ketika mereka telah mendarat dan beristirahat
oleh karena lelah sekali, tiba-tiba datang barisan besar ke tempat itu.
Kagetlah Yousuf ketika mendapat kenyataan bahwa barisan ini adalah tentara
Turki yang sengaja datang menyusul rombongan pertama. Melihat Yousuf, pemimpin
barisan itu lalu berseru,
“Tangkap pengkhianat itu!”
Banyak anggota tentara menyerbu hendak
menangkap Yousuf, akan tetapi beberapa orang di antara mereka jatuh tunggang
langgang karena dihantam dengan sengit oleh Lin Lin dan Ma Hoa.
Pemimpin barisan merasa kaget dan heran
sekali, mengapa Yousuf dibela oleh dua orang gadis Han yang cantik jelita, maka
ia lalu tertawa menghina dan memaki,
“Bagus sekali, Yousuf! Kau tidak saja pandai
mengkhianati kerajaan dan menipu kami, akan tetapi juga pandai membujuk dua
orang gadis Han yang cantik untuk menjadi bini muda dan pembela. Ha-ha-ha...!”
“Bangsat anjing bermulut jahat!” Lin Lin
memaki sengit karena gadis ini sedikit-sedikit telah mempelajari bahasa Turki
dari Yousuf maka ia dapat mengerti ucapan pemimpin itu. Dalam kemarahannya, Lin
Lin mencabut pedang dan menyerang pemimpin barisan itu. Akan tetapi, puluhan
tentara Turki lalu maju mengeroyok karena agaknya mereka ini suka sekali untuk
menghadapi dua orang gadis cantik itu. Mereka berniat mempermainkan kedua dara
jelita ini, tidak tahunya, begitu Lin Lin bergerak diikuti oleh Ma Hoa,
beberapa orang serdadu terguling mandi darah.
Kini mereka baru tahu bahwa kedua orang gadis
itu adalah pendekar pedang yang luar biasa, maka sambil berteriak-teriak marah,
Lin Lin dan Ma Hoa dikeroyok oleh puluhan orang, sedangkan ratusan tentara
berteriak-teriak di belakang mereka yang mengeroyok. Yousuf marah sekali dan
sekali tubuhnya bergerak, ia telah menangkap dua orang tentara yang
diputar-putar di sekelilingnya dan digunakan sebagai senjata.
Tentara Turki terkejut sekali dan mereka
menjadi jerih karena telah tahu bahwa Yousuf adalah seorang jagoan terkenal di
negeri mereka, maka dengan amukan Yousuf ini, kepungan mengendur dan
pengeroyok-pengeroyok berkelahi dengan hati-hati. Tiba-tiba terdengar suara
nyaring dari atas dan tahu-tahu seekor burung merak yang indah dan besar,
menyambar-nyambar turun dan tiap kali sayapnya menyampok, seorang Turki
terpukul roboh tanpa dapat bangun kembali. Amukan burung merak ini ternyata
lebih hebat daripada amukan Yousuf.
Menghadapi empat lawan yang tangguh luar biasa
ini pengeroyokan tentara Turki menjadi kacau balau dan Yousuf yang tidak saja
segan untuk melawan dan mengamuk bangsa sendiri akan tetapi juga berpikir bahwa
tak mungkin mereka harus menghadapi jumlah lawan yang sedikitnya ada lima ratus
orang itu, lalu berseru,
“Mari kita pergi!”
Lin Lin dan Ma Hoa mengerti pula bahwa jumlah
musuh terlalu banyak, maka tanpa membantah, mereka lalu ikut melompat pergi,
melalui kepala pengeroyok dan menggulingkan tiap penghalang. Juga Sin-kong-ciak
memekik nyaring dan mengikuti ketiga orang itu. Sebenarnya burung merak ini
merasa kecewa karena baru enak-enak membabat lawan-lawannya yang empuk itu,
kini diperintahkan untuk pergi.
Ilmu berlari cepat dari ketiga orang itu cukup
tinggi untuk memungkinkan mereka lari segera meninggalkan mereka yang mengejar
sambil berteriak-teriak, dan tak lama kemudian mereka bertiga tak mendengar
lagi suara teriakan barisan Turki yang mengejar itu. Merak sakti tetap terbang
di atas mereka dan ketika Yousuf berhenti, merak itu pun melayang turun dan
membelai-belai tangan Lin Lin dengan leher dan kepalanya.
“Lin Lin dan Ma Hoa,” kata Yousuf yang kini
juga menyebut nama Ma Hoa biasa saja oleh karena orang tua ini sudah menganggap
dia sebagai keluarga sendiri. “Kalian tahu bahwa aku dikejar-kejar dan
dimusuhi, oleh karena dianggap menipu dan mengkhianati mereka.” Ia menghela
napas panjang. “Maka, demi keselamatan kalian berdua, kalian kembalilah ke
pedalaman Tiongkok untuk mencari kawan-kawanmu, dan untuk mencari Nelayan
Cengeng. Biarkan aku melarikan diri dan bersembunyi di gunung sebelah utara
itu. Kalau kalian bersama dengan aku maka kalian hanya akan menghadapi bahaya
saja.”
“Ayah, jangan kau berkata begitu,” bantah Lin
Lin. “Bagiku, kau adalah ayahku sendiri, dan ke mana kau pergi, aku sudah
sewajarnya ikut.”
“Yo-peh-peh,” kata Ma Hoa yang kini menyebut
peh-peh atau uwa kepada Yousuf, “benar seperti yang dikatakan Lin Lin. Semenjak
berlayar kita telah bersama-sama dan aku pun menganggap kau sebagai orang tua
sendiri, maka mengapakah sedikit bahaya saja membuat kita harus berpisah?
Marilah Peh-peh bersama aku dan Adik Lin Lin kembali ke selatan dan mencari
Suhu dan kawan-kawan lain. Adapun tentang segala bahaya yang menyerang dirimu,
akan kita hadapi bertiga, bahkan berempat dengan Sin-kong-ciak.”
Yousuf merasa terharu sekali. Ia menggunakan
kedua tangannya untuk memegang tangan Lin Lin dan Ma Hoa. “Kalian memang
anak-anak baik dan berhati mulia. Aku semenjak dulu hidup sebatang kara,
setelah bertemu dengan kalian, seakan-akan mendapat kurnia besar sekali. Takkan
ada di dunia ini perkara yang lebih kusukai daripada hidup di dekat kalian dan
sahabat-sahabat baik seperti Kong Hwat Lojin, akan tetapi kalian anak-anak muda
harus tahu bahwa aku adalah seorang Turki. Mungkinkah aku harus melawan dan
membunuh tentara bangsaku sendiri? Ah, tak mungkin. Lebih baik untuk sementara
waktu aku bersembunyi di tempat sunyi dan kelak apabila tentara Turki sudah
kembali ke negeriku dan keadaan sudah aman kembali, barulah aku menyusul ke
selatan dan mencari kalian.”
Namun Lin Lin merasa tidak tega untuk
meninggalkan Yousuf dalam keadaan dikejar-kejar itu. Bagaimana kalau ia
diketemukan dan akhirnya sampai mati?
“Tidak, Ayah. Biarlah aku ikut kau bersembunyi
untuk sementara waktu, dan apabila keadaan telah aman kembali, kita bersama
menuju ke selatan mencari kawan-kawan.”
Ma Hoa yang berpikir bahwa keadaan itu takkan
berlangsung lama, karena setelah ternyata bahwa Pulau Kim-san-to terbakar
habis, tentu tentara Turki itu tidak mau lama-lama tinggal di tempat yang bukan
menjadi daerah mereka ini, maka ia segera berkata,
“Memang demikian sebaiknya, Yo-peh-peh. Lin
Lin dan aku akan ikut kau bersembunyi untuk beberapa pekan, atau beberapa bulan
kalau memang keadaan menghendaki.”
Yousuf merasa girang sekali dan wajahnya yang
agak kecoklat-coklatan itu berseri bergembira. “Bagus, anak-anakku, kalian
benar-benar membuat aku merasa berbahagia sekali. Jangan kalian kuatir, di
lereng bukit dekat tapal batas Tiongkok, aku dulu telah meninggalkan sebuah
rumah yang mungil dan indah. Marilah kita pergi ke sana dan untuk sementara
waktu kita tinggal di tempat itu, di mana pemandangan indah dan hawanya sejuk.
Tentang biaya, jangan kuatir!” Sambil berkata demikian, Yousuf mengeluarkan
sekantung emas yang disimpan di dalam saku dalam bajunya.
Demikianlah, ketiganya, berempat dengan Merak
Sakti, lalu cepat menuju ke bukit yang dimaksudkan oleh Yousuf. Benar saja
sebagaimana kata Yousuf, keadaan di situ menyenangkan sekali. Tamasya alam
indah mengagumkan, hawa pegunungan segar dan menyehatkan. Orang-orang yang
tinggal di sekitar bukit itu adalah orang-orang petani yang ramah tamah dan hidup
sederhana. Rumah Yousuf masih ada dan bagus, hanya agak kotor karena tidak
terawat. Ketiganya lalu bekerja keras membereskan rumah itu. Lin Lin dan Ma Hoa
lalu mengatur taman di sekitar rumah, oleh karena di bukit itu terdapat banyak
kembang-kembang yang indah. Beberapa hari kemudian, para petani yang lewat di
depan rumah itu, tidak habisnya mengagumi keindahan tempat itu dan mereka
merasa seakan-akan tempat ini berubah semenjak rombongan ini tiba. Memang,
siapa yang tidak kagum? Rumah itu kecil tapi indah bentuknya, dikelilingi oleh
kembang-kembang tanaman kedua gadis itu, dan rumah ini ditinggali oleh seorang
bangsa Turki yang bersikap halus dan ramah tamah, bersama dua orang gadis yang
cantik jelita bagaikan dua orang bidadari dari kahyangan, ditambah lagi dengan
adanya seekor merak yang berbulu bagus sekali!
Yousuf dengan hati sungguh-sungguh lalu
melatih ilmu silat kepada Lin Lin dan Ma Hoa dan oleh karena ilmu silat Turki
jauh berbeda dalam gaya dan variasi jika dibandingkan dengan ilmu silat Tiongkok
walaupun pada dasarnya tak berbeda jauh, maka Lin Lin dan Ma Hoa merasa suka
sekali mempelajari ilmu silat ini. Tingkat kepandaian Yousuf memang lebih
tinggi dari tingkat mereka dan berkat latihan-latihan ini, kepandaian kedua
orang gadis ini maju pesat. Oleh karena tiap hari belajar ilmu silat, ketiga
orang itu tidak merasa sunyi dan bahkan merasa betah dan senang tinggal di
tempat itu. Hanya, kadang-kadang saja, Lin Lin dan Ma Hoa terkenang kepada
pujaan hati masing-masing yang membuat mereka termenung, akan tetap pikiran ini
segera terhibur apabila mereka mengingat bahwa kelak mereka tentu akan bertemu
kembali.
Sementara itu, Merak Sakti yang tidak
mempunyai pekerjaan apa-apa, tiap hari hanya berjalan-jalan di dalam taman atau
kadang-kadang terbang tinggi sekali berputar-putar hingga mengagumkan
orang-orang yang melihatnya. Merak ini agaknya pun senang sekali tinggal di
situ dan bulunya makin indah mengkilap.
Pada suatu pagi yang cerah, di kala matahari
dengan sinarnya yang nakal mengusiri awan dan halimun pagi dari udara dan muka
bumi dan burung-burung menyambut kedatangan Raja Siang itu dengan nyanyian dan
pujian yang merdu dan sedap didengar, Lin Lin dan Ma Hoa telah berada di taman
bunga mereka dan mencabuti rumput-rumput liar yang hendak mengganggu keindahan
bunga. Mereka bekerja sambil bersendau gurau karena memang hawa pagi itu
membuat dan memaksa orang untuk bergembira.
“Lin Lin,” kata Ma Hoa sambil tersenyum manis.
“Alangkah senangnya hatimu kalau pada saat yang indah ini Saudara Cin Hai
berada di sini!”
Menghadapi serangan godaan ini, Lin Lin yang
pandai bicara dan lincah itu juga tersenyum dan memandang tajam lalu
mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab, “Memang betul, tentu saja hatimu akan
senang sekali, akan tetapi kau bersabariah, kawan! Tak lama lagi tentu kau akan
dapat bertemu kembali dengan dia itu!”
Ma Hoa melengak dan tidak mengerti. “Ih, eh,
apa maksudmu? Siapa yang kaumaksudkan dengan dia itu?”
Lin Lin berpura-pura memandang heran. “Siapa
lagi, bukankah kau tadi maksudkan Engko Kwee An?”
“Eh, anak bengal! Apakah telingamu sudah
menjadi tuli? Kau dengar aku bilang apakah tadi?”
Lin Lin memandang kepada Ma Hoa dengan wajah
berseri. “Enci Hoa, bukankah kau tadi berkata begini. Alangkah senang hatiku
kalau pada saat yang indah ini Kanda Kwee An berada di sini?”
Ma Hoa memandang gemas dan mengulurkan tangan
hendak mencubit Lin Lin, akan tetapi gadis itu segera mengelak.
“Lin Lin, jangan kau bicara tak karuan! Aku
tak pernah mengeluarkan ucapan itu dari mulutku.”
“Tapi siapakah yang mendengar ucapan mulutmu?
Aku tadi mendengar suara yang keluar dari hatimu hingga aku tidak mendengar
jelas suara yang keluar dari mulutmu! Bukankah hatimu tadi berkata seperti yang
kuulangi tadi?”
Ma Hoa mengerling tajam dengan bibir
menyatakan kegemasan hatinya. Memang biarpun mulutnya menyatakan dan
menyebut-nyebutnya, nama Cin Hai, namun, tepat sebagaimana godaan Lin Lin,
hatinya memaksudkan Kwee An! Maka karena malu dan gemas, Ma Hoa lalu mengejar
Lin Lin hendak dicubitnya, akan tetapi Lin Lin berlari mengitari bunga-bunga
sambil tertawa-tawa dan berkata,
“Awas, Enci Hoa, kalau engkau mencubit aku,
nanti aku akan minta Engko An untuk membalasnya.”
Ma Hoa makin gemas dan sambil tertawa, mereka
berkejaran di dalam taman bunga itu, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang cantik
dan indah.
Tiba-tiba keduanya berhenti tertawa, bahkan
lalu berdiri diam sambil memasang telinga dengan penuh perhatian. Di antara
kicau burung yang bermacam-macam itu, terdengar Merak Sakti yang memekik-mekik aneh
sekali karena mereka belum pernah mendengar suara merak itu memekik seperti ini
hingga mereka tidak tahu apakah merak itu sedang marah atau sedang bergirang.
Biasanya kedua orang gadis ini telah hafal akan tanda-tanda yang dikeluarkan
oleh suara Merak Sakti, akan tetapi kali ini mereka saling pandang dengan heran
dan terkejut. Kemudian, serentak mereka lalu melompat dan berlari cepat ke arah
suara tadi.
Ketika mereka tiba di sebuah lereng yang penuh
rumput hijau, mereka menyaksikan pemandangan yang membuat mereka tertegun dan
berhenti dengan tiba-tiba. Di atas rumput yang tebal itu, Sin-kong-ciak
mendekam seperti berlutut dan mengangangguk-anggukkan kepalanya ke bawah sambil
mengeluarkan pekik yang aneh itu, sedangkan seorang kakek yang tua sekali dan
yang memakai pakaian penuh tambalan dan butut, sedang membelai-belai leher dan
kepala merak itu. Yang membuat Lin Lin dan Ma Hoa terheran sekali adalah sikap
merak itu. Kedua orang gadis ini cukup kenal adat Merak Sakti yang angkuh dan
tidak mau tunduk kepada siapapun juga, maka melihat betapa merak itu kini
berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala, mereka menjadi heran sekali.
Tiba-tiba kakek itu lalu memegang kedua kaki
Merak Sakti, melemparkannya ke atas sambil tertawa-tawa, dan ketika merak yang
menurut saja dan membiarkan dirinya dilemparkan tanpa mengembangkan sayap untuk
terbang itu jatuh kembali, lalu diterima oleh tangan kiri pada dua kakinya,
dilempar lagi ke atas berulang-ulang. Permainan ini dilakukan oleh kakek itu
sambil tertawa-tawa girang, sedangkan Merak Sakti juga mengeluarkan suara yang
dikenal oleh orang gadis itu sebagai pernyataan hatinya yang senang dan
gembira.
Biarpun mendengar suara gembira dari merak itu
namun Lin Lin menjadi marah sekali dan menyangka bahwa kakek ini tentu menggunakan
kepandaiannya yang membuat Merak Sakti tak berdaya kemudian mempermainkan
burung itu. Gadis ini melompat maju dan membentak,
“Kakek jahat, lepaskan burung merakku!”
Akan tetapi, jangankan mentaati perintah Lin
Lin bahkan kakek itu menengokpun tidak, terus melempar-lemparkan tubuh burung
itu ke atas sambil tertawa dan kemudian bertanya kepada Merak Sakti,
“Kong-ciak, apakah kau sudah puas?”
Lin Lin marah sekali lalu maju menyerang dan
memukul dengan tangan kanan ke arah dada kakek itu untuk mendorongnya roboh.
Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia merasa betapa kepalan
tangannya seakan-akan memukul kapas hingga tenaga pukulannya menjadi lenyap
sendiri, sedangkan kakek tua itu sama sekali tidak memandangnya seakan-akan Lin
Lin tidak ada di situ.
Ma Hoa yang melihat Lin Lin mulai menyerang
kakek itu, lalu membantu dan kedua orang gadis ini lalu menyerang berbareng
kepada si kakek tua itu. Sementara itu, Merak Sakti yang agaknya telah merasa
puas dengan permainannya lalu mengembangkan sayapnya dan terbang ke atas cabang
pohon, bertengger di situ sambil menonton pertempuran.
Sebetulnya ucapan ini saja sudah cukup bagi
kedua gadis itu untuk menyadari bahwa kakek tua ini tidak bermaksud jahat akan
tetapi karena Lin Lin dan Ma Hoa merasa marah dan penasaran maka mereka lalu
maju berbareng dan menyerang dengan hebat. Akan tetapi, biarpun kakek tua itu
agaknya tidak berpindah dari tempatnya, namun pukulan kedua orang dara muda itu
satu kalipun tak pernah berhasil mengenai tubuhnya. Lin Lin merasa penasaran
sekali, demikianpun Ma Hoa karena mengira bahwa kakek ini tentu mempergunakan
ilmu sihir. Makin besar dugaan mereka ketika mereka merasa telah hampir
mengenai tubuh orang tua itu, tiba-tiba saja tangan mereka melesat ke samping
seakan-akan didorong oleh tangan kuat yang tidak kelihatan.
Mereka ini keduanya sama sekali tidak tahu
bahwa mereka sedang berhadapan dengan tokoh persilatan tertinggi yang bukan
lain orang adalah Bu Pun Su sendiri. Sebenarnya, Bu Pun Su tidak mempergunakan
ilmu sihir, hanya mengerahkan tenaga khikangnya yang telah sempurna itu hingga
hawa yang keluar dari kedua tangannya cukup kuat untuk menangkis tiap pukulan
Lin Lin dan Ma Hoa.
Pada saat kedua orang gadis itu menjadi sibuk
dan makin terheran dan marah tiba-tiba terdengar bentakan orang,
“Kakek tua! Jangan kau mengganggu kedua
anakku!”
Ternyata yang datang ini adalah Yousuf
sendiri. Lin Lin dan Ma Hoa merasa girang sekali dan Lin Lin segera berteriak,
“Ayah, kauusir kakek yang pandai sihir ini!”
Juga Ma Hoa berkata, “Dia telah menyihir dan
mempermainkan Sin-kong-ciak!”
Yousuf menjadi marah sekali, lalu membentak
kedua gadis itu, “Kalian minggirlah, biarkan aku menghadapinya! Kemudian ia
meloncat ke depan Bu Pun Su dan membentak,
“Kakek tua! Memalukan sekali untuk mengganggu
seekor burung merak dan dua orang anak masih bodoh. Marilah kita tua lawan
tua!”
Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh
hingga ia cepat-cepat mempergunakan tenaga dalamnya untuk menolak tenaga yang
keluar dari suara ketawa ini.
“Hi-hi-hi, kau orang Turki ini sungguh-sungguh
berbeda dengan yang lain! Kau benar-benar lain daripada yang lain. Bagus,
bagus! Kau lucu sekali! Usiamu paling banyak hanya setengah umurku, tapi kau
bilang tua lawan tua! Eh, kakek-kakek tua bangka, mari kita main-main
sebentar,”
Ucapan Bu Pun Su ini mendapat sambutan suara
Merak Sakti yang mengeluarkan suara terkekeh-kekeh pula, suara yang dikenal
oleh Lin Lin dan Ma Hoa apabila merak itu merasa gembira. Sungguh aneh. Lin Lin
masih menyangka bahwa merak itu masih terkena sihir, maka ia segera menghampiri
di bawah pohon di mana merak itu bertengger dan memanggil,
“Kong-ciak-ko, kauturunlah ke sini!”
Akan tetapi Merak Sakti itu sama sekali tidak
mau turun. Hal ini makin mempertebal dugaan Lin Lin dan Ma Hoa bahwa kakek luar
biasa itu tentu telah menyihir Merak Sakti, karena biasanya merak itu sangat
taat terhadap perintah Lin Lin.
“Ha, ha, ha! Nona, jangan kau heran, kong-ciak
itu bukannya bersifat palsu dan karena mendapat kawan baru lalu melupakan kawan
lama. Akan tetapi adalah bertemu majikan lama melupakan majikan baru.”
“Kakek tua, majulah dan hendak kulihat sampai
di mana kesaktianmu!” teriak Yousuf melihat betapa kakek itu memandang ringan
kepada mereka semua. Sambil berkata demikian, Yousuf lalu menyerang dengan
kedua tangannya dengan ilmu silat Turki yang paling lihai. Kedua tangannya ini
yang kanan memukul, yang kiri mencengkeram ke arah lambung lawan, dan kaki
kirinya juga menendang ke depan dengan cepat.
“Ha, ha, ha! Bagus, aku mendapat kesempatan
menyaksikan ilmu silat Turki yang lihai!” kata kakek itu yang masih tertawa
haha-hihi sambil mengelak perlahan. Aneh sekali, agaknya kakek itu telah tahu
bahwa di antara ketiga serangan ini, yang sungguh-sungguh adalah serangan kaki,
oleh karena kedua tangan yang menyerang hanya untuk menarik dan mengalihkan
perhatian lawan saja. Bu Pun Su sama sekali tidak mengelak dari serangan kedua
tangan, hanya mengelak dari tendangan kaki Yousuf. Tendangan ini ketika tidak
mengenai sasaran, tidak ditarik mundur sebagaimana biasa tendangan dalam ilmu
silat Tiongkok, akan tetapi diteruskan dan dibanting ke pinggir terus memutar
ke belakang hingga tubuh Yousuf terputar di atas sebelah kaki dan sekali
putaran ia lalu mengayun lagi kaki itu menendang, dibarengi dengan serangan
kedua tangan lagi! Ini adalah gerak tipu yang luar biasa dan tak terduga dan
biasanya dengan gerakan ini, Yousuf dapat menjatuhkan lawannya. Akan tetapi,
kali ini benar-benar kecele, karena Bu Pun Su agaknya sudah tahu akan maksud dan
gerakannya hingga dapat mengelak di waktu yang tepat. Bahkan ketika kakek
jembel ini membalas menyerangnya, Yousuf melengak karena Bu Pun Su menggunakan
serangan yang persis seperti yang dilakukannya tadi. Bahkan gerakan kakek
jembel ini lebih cepat dan lebih hebat daripada gerakannnya sendiri. Yousuf
penasaran sekali lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi, makin
lama ia makin heran hingga ia bertempur dengan mata terbelalak dan mulut
menyelangap oleh karena makin banyak ia mengeluarkan kepandaiannya, makin
banyak pula gerakan-gerakannya ditiru dengan tepat oleh Bu Pun Su!
Juga Lin Lin dan Ma Hoa ketika melihat betapa
kakek itu melawan Yousuf dengan ilmu silat Turki yang sama, tak terasa pula
saling pandang dengan terheran-heran.
“Ayah, ia tentu menggunakan ilmu sihir!” Lin
Lin memberi peringatan kepada ayah angkatnya. Yousuf teringat dan timbul
persangkaan demikian pula, maka tiba-tiba orang Turki ini mengheningkan cipta,
mengumpulkan tenaga di dalam pusar dan setelah mengerahkan seluruh tenaga
batinnya ke mulut, ia membentak sambil menunjuk ke arah dada kakek jembel itu
dan kedua matanya yang amat tajam dan hitam itu menatap mata kakek itu,
“Kau berlututlah!”
Ini adalah semacam ilmu sihir yang didasarkan
tenaga batin untuk mempengaruhi semangat dan kemauan lawan yang disebut Ilmu
Penakluk Semangat. Bahkan Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak diserang langsung oleh
ilmu ini, akan tetapi karena mereka memperhatikan dan mendengar bentakan yang
memerintah dan berpengaruh itu, tak terasa pula mendapat desakan hebat dan
tiba-tiba tanpa disadarinya lagi mereka lalu menjatuhkan diri berlutut!
Akan tetapi setelah mengeluarkan bentakan
bukan kakek jembel itu yang berlutut, bahkan Yousuf sendiri yang menjatuhkan
diri berlutut di depan kakek jembel!
“Ha, ha, ha! Aku tua bangka jembel tak layak
menerima penghormatan ini!” kata Bu Pun Su sambil tertawa bergelak dan suara
ketawanya ini agaknya membuyarkan ilmu sihir Yousuf hingga ketiga orang itu
sadar bahwa mereka sedang berlutut di depan Si Kakek jembel!
Yousuf terkejut sekali oleh karena yang dapat
melawan ilmunya ini adalah gurunya sendiri, seorang pertapa tua yang sakti di
Turki dan ia ingat gurunya pernah menerangkan bahwa apabila Ilmu Penakluk
Semangat ini digunakan untuk menyerang orang yang mempunyai ilmu batin lebih
tinggi dan kuat, maka akibatnya dapat terbalik karena tenaga itu terpental dan
memukul dirinya sendiri! Yousuf lalu melompat bangun dengan muka merah,
sedangkan kedua orang gadis itu pun dengan malu lalu mencabut pedang mereka. Yousuf
juga mencabut pedangnya dan ketiga orang ini lalu menyerbu dan menyerang Bu Pun
Su!
Tiba-tiba terdengar pekik marah dari atas dan
Merak Sakti lalu sambil mengibaskan sayapnya menangkis pedang ketiga orang itu!
Karena Merak Sakti itu pun memiliki tenaga besar, maka ia berhasil menangkis
senjata Yousuf dan Lin Lin, bahkan pedang di tangan Lin Lin terpental jauh
sekali! Akan tetapi, ternyata bahwa Merak Sakti itu tidak berniat jahat dan
hanya ingin mencegah ketiga orang itu menyerang Bu Pun Su dengan senjata tajam
dan setelah menangkis satu kali, merak itu lalu terbang lagi ke cabang tadi!
“Ha, ha, ha, bagus, Kong-ciak! Tak percuma aku
memeliharamu semenjak kecil!” kata kakek jembel itu sambil tertawa girang.
Yousuf dan Ma Hoa tercengang mendengar ini
akan tetapi Lin Lin yang merasa marah sekali karena pedangnya dibikin terpental
oleh Merak Sakti, lalu tak terasa lagi mencabut keluar pedang karatan yang dulu
ia ambil dari gua di pulau Kim-san-to. Dengan pedang buntung yang bobrok ini ia
maju lagi menyerang.
Tiba-tiba wajah Bu Pun Su berubah ketika ia
melihat pedang itu dan cepat sekali tangannya bergerak ke depan. Lin Lin tidak
tahu bagaimana kakek itu bergerak karena tahu-tahu pedangnya telah pindah
tangan.
“Han Le... betul-betulkah kau telah mendahului
aku?” kata Bu Pun Su sambil memandang pedang itu dengan muka berduka dan
kepalanya yang putih tiada hentinya menggeleng-geleng. “Han Le Sute... mengapa
kau mendahului Suhengmu? Ah, aku Bu Pun Su benar-benar telah tua sekali dan
sudah cukup lama hidup di dunia ini...” setelah berkata demikian, ia menghela
napas panjang.
Bukan main terkejutnya Lin Lin, Ma Hoa dan
Yousuf, mendengar bahwa kakek luar biasa ini adalah Bu Pun Su, guru dari Cin
Hai. Yousuf pernah diceritakan oleh Lin Lin tentang kehebatan kepandaian Cin
Hai, dan menceritakan pula bahwa suhu pemuda itu bernama Bu Pan Su, tokoh yang
telah terkenal namanya di seluruh penjuru.
Lin I Lin dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan Bu Pun Su, sedangkan Yousuf segera membungkuk dalam-dalam
hingga jidatnya hampir menyentuh tanah, satu cara penghormatan yang paling
besar dari bangsa Turki. “Locianpwe, mohon beribu ampun bahwa teecu telah
berani berlaku kurang ajar,” kata Lin Lin dengan hormat.
Bu Pun Su menghela napas. “Sudahlah, aku orang
tua tak tahu diri yang harus minta maaf. Ketahuilah, kadang-kadang aku
mempunyai keinginan untuk menjadi anak-anak kembali dan ingin mempermainkan
orang. Agaknya aku telah pikun dan telah terlalu tua...” Kemudian ia berkata
dengan suara sungguh-sungguh, “Aku tahu siapa kalian ini. Kau tentu Lin Lin
tunangan muridku Cin Hai. Syukur bahwa kau terlepas dari cengkeraman Boan Sip
si jahat itu. Dan kau ini tentu Ma Hoa murid Nelayan Cengeng. Hm, kepandaianmu
yang kaukeluarkan tadi jelas menunjukkan bahwa kau adalah murid Si Cengeng itu.
Dan kau, Sahabat, kau tentulah Yo Su Pu yang terkenal.” Memang, nama Yousuf
kalau diucapkan oleh lidah orang Han akan berubah, ada yang menyebut Yo Suhu,
Yo Se Fei, Yo Su Pu dan lain-lain.
Yousuf kembali menjura, “Saya yang bodoh dan
rendah mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan Lo-suhu yang
sakti?”
Bu Pun Su lalu berkata lagi, “Apakah artinya
kesaktian dan kepandaian? Hanya sepintas lalu saja. Siapa mau belajar dia tentu
akan menjadi pandai. Tidak dengan sengaja aku bertemu dengan Kong-ciak di
tempat ini, maka aku merasa ingin tahu siapa yang membawa Kong-ciak ke sini?
Dan melihat pedang ini di tangan Lin Lin, tahulah aku bahwa kalian tentu telah
mengunjungi pulau itu. Dan pedang yang menceritakan padaku bahwa Suteku yang
tinggal di pulau itu telah meninggal dunia, karena ini adalah pedangnya! Coba
kaututurkan pengalamanmu mendapatkan pedang dan burung merak ini,” perintahnya
kepada Lin Lin.
Sementara itu, Merak Sakti telah terbang turun
dan dan hinggap di atas pundak Bu Pun Su.
Lin Lin dengan singkat menuturkan pengalaman
mereka di Pulau Kim-san-to dan ketika ia menceritakan betapa pulau itu terbakar
musnah, Bu Pun Su mengangguk-angguk. “Ya, ya, ya. Aku kemarin telah melihat
dari pantai bahwa pulau itu telah lenyap dari permukaan laut. Dan harimau
bertanduk serta rajawali emas tentu telah tewas pula.” Kakek ini menghela napas
dan ketika mendengar disebutnya kedua binatang itu, Si Merak Sakti lalu
mengeluarkan keluhan panjang dan dua butir air mata runtuh dari sepasang
matanya yang indah. Kemudian merak ini terbang ke atas dan berputar di udara.
“Hm, kong-ciak itu memang perasa sekali. Tentu
ia bersedih mendengar nasib kedua kawannya. Ketahuilah, merak itu dan dua
binatang lain di atas pulau yang musnah adalah binatang-binatang peliharaanku.
Terutama merak ini semenjak kecil telah ikut aku di pulau itu. Setelah aku
meninggalkan pulau, maka suteku yang bernasib malang itu tinggal di pulau dan
bertapa di sana. Tidak tahunya sekarang ia telah menjadi rangka dan pedangnya
pun telah tinggal sepotong. Hm, demikianlah nasib manusia. Kepandaiannya yang
luar biasa pun turut lenyap tak berbekas. Manusia... manusia... kau calon
rangka dan debu ini, masih mau mengagulkan apamukah...?”
Kata-kata ini diucapkan oleh kakek itu sambil
memandang ke atas dan Yousuf merasa terkena sekali hatinya hingga ia
menundukkan muka dengan penuh khidmat.
“Lin Lin,” kata Bu Pun Su, “Kau memang
berjodoh dengan pedang ini maka Suteku sengaja memilih kau untuk memilikinya.
Ketahuilah, pedang ini bukan pedang sembarangan dan yang tinggal sepotong ini
adalah sari pedang itu. Tadi kulihat ketika kau memegang pedang pendek ini,
agaknya kau lebih pandai mempergunakan pedang pendek, maka biarlah pedang
potong ini kubuat menjadi pedang pendek untukmu.”
Lin Lin merasa girang sekali dan ia lalu
menghaturkan terima kasih pada Bu Pun Su. Kakek tua itu lalu tinggal di atas
bukit itu selama tiga pekan untuk menggembleng dan membuat pedang pendek dari
sisa pedang berkarat itu. Kemudian ia berikan pedang yang menjadi sebatang
belati panjang kepada Lin Lin sambil berkata,
“Terimalah pedang pendek ini yang kuberi nama
Han-le-kiam untuk memperingati nama Suteku Han Le. Dan untuk memperlengkapi
kehendak Suteku, yang memberi pedang ini kepadamu, kau berhak menerima
pelajaran ilmu silat dari persilatan kami.”
Bukan main girangnya hati Lin Lin yang lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kakek sakti itu.
“Akan tetapi bukan aku si tua bangka yang
hendak menurunkan kepandaian ini kepadamu. Aku telah satu kali menerima murid
dan itu sudah lebih dari cukup. Cin Hai atau calon suamimu itulah yang akan
bertugas menurunkan kepandaian kepadamu. Jangan menganggap aku main-main, akan
tetapi tanpa perkenanku, nanti dia tidak berani menurunkan ilmu kepandaian yang
dipelajarinya dariku, biar kepada isterinya sekalipun.”
Lin Lin segera bertanya dengan berani, “Akan
tetapi, Locianpwe, teecu masih belum tahu di mana adanya... dia!” Ma Hoa dan
Yousuf diam-diam tersenyum dan Bu Pun Su tertawa bergelak,
“Seperti juga tidak ada persatuan yang tidak
berakhir, demikian pun tidak ada perceraian yang kekal. Kelak tentu tiba
saatnya kau bertemu kembali dengan Cin Hai dan Ma Hoa dengan Kwee An. Dan kalau
kau sudah bertemu calon suamimu itu, sampaikanlah pesanku supaya kau diberi pelajaran
pokok yang telah kuajarkan kepadanya, kemudian memberi pelajaran ilmu pedang
yang baru diciptakannya kepadamu.”
Kemudian sambil memandang kepada Yousuf, Bu
Pun Su berkata pula,
“Kau tidak salah memilih Saudara Yo Su Pu ini
sebagai ayah angkatmu karena memang dia ini orang baik dan berhati mulia.
Saudara Yo, akan lebih baik lagi kalau mimpi buruk yang mengganggu hatimu itu
dapat dilenyapkan sama sekali.”
Yousuf terkejut sekali, oleh karena mendengar
ucapan ini ia dapat mengetahui bahwa kakek sakti ini ternyata telah dapat
membaca isi hatinya yang bercita-cita menjadi kaisar di negerinya. Ia lalu
tersenyum dan menjura sambil berkata,
“Lo-suhu, terima kasih atas nasihatmu ini.
Memang, semenjak bertemu dengan anakku ini, cita-cita gila itu telah kubuang
jauh-jauh.”
“Bagus sekali, itu hanya menambah tebal
keyakinanku bahwa kau memang memiliki kebijaksanaan besar yang jarang dimiliki
oleh sembarangan orang.” Kemudian Bu Pun Su pergi dari tempat itu setelah
membelai leher dan kepala Merak Sakti yang nampak sedih ditinggalkan oleh
majikan lamanya ini.
Oleh karena menyangka kalau-kalau Lin Lin dan
Ma Hoa telah mendahului pulang ke kampung Lin Lin, maka Kwee An dan Cin Hai
lalu menuju ke selatan untuk kembali ke daerah Tiang-an.
Ketika mereka langsung menuju ke rumah Kwee
An, ternyata bahwa rumah itu masih tertutup dan ketika mereka bertanya kepada
orang di kampung itu yang menyambut kedatangan Kwee An dengan girang, mereka
mendapat keterangan bahwa Lin Lin belum pernah kembali ke situ, dan bahwa Kwee
Tiong masih tetap tinggal di kelenteng Ban-hok-tong di Tiang-an, dan bahwa Kwee
Tiong kini bahkan telah mencukur rambutnya dan masuk menjadi hwesio!
Hal ini mengejutkan hati Kwee An, maka ia lalu
mengajak Cin Hai mengunjungi kakaknya itu di Kelenteng Ban-hok-tong di kota
Tiang-an. Ketika mereka tiba di kelenteng Ban-hok-tong yang mengingatkan Cin
Hai akan pengalamannya ketika masih kecil dan belajar ilmu kesusastraan dari
Kwi-sianseng guru sasterawan yang kurus kering itu, mereka disambut oleh seorang
hwesio tua yang bertubuh tegap dan sikapnya masih gagah. Hwesio ini adalah Tong
Kak Hosiang, hwesio perantau yang mengajar silat pada putera-putera Kwee
Ciangkun, seorang pendeta yang selain memiliki ilmu silat cukup tinggi dari
cabang Kun-lun-pai, juga mempunyai pengertian yang dalam tentang Agama Buddha
serta menjalankan ibadat dengan sungguh-sungguh.
Ketika Tong Kak Hosiang mendengar pengakuan
Kwee An bahwa pemuda ini adalah putera termuda dari Kwee In Liang, ia menyambut
dengan girang sekali.
“Ah, kiranya Kwee-kongcu! Silakan masuk!”
Hwesio ini memandang kepada Kwee An dengan mata kagum oleh karena Kwee Tiong
seringkali menceritakan tentang kegagahan dan ketinggian ilmu silat adiknya
ini.
“Lo-suhu, teecu mohon bertemu dengan kakakku
Kwee Tiong.”
Tong Kak Hosiang tersenyum, “Baik, baik, tentu
saja, Kwee-kongcu,” Tiong Yu memang sudah lama merindukan kau. O ya, hampir
lupa pinceng memberitahukan bahwa kakakmu kini bernama Tiong Yu Hwesio.”
Ketika hwesio tua itu mengantar mereka masuk
ke ruang dalam, mereka mendengar suara Kwee Tiong yang lantang membaca liamkeng
(kitab suci yang dibaca sambil berdoa) dan suara kayu dipukul-pukulkan untuk
mengikuti irama doa dan untuk menghalau segala gangguan yang memasuki pikiran
di waktu membaca liamkeng.
“Tiong-ko!” Kwee An memanggil dengan suara di
kerongkongan.
Suara liamkeng berhenti dan Kwee Tiong
berpaling. Alangkah bedanya wajah pemuda ini dibandingkan dengan dulu dan hal
ini pun dilihat jelas oleh Cin Hai. Pada wajah yang cakap itu kini terbayang
kesabaran dan ketenangan yang besar hingga diam-diam Cin Hai merasa kagum
sekali dan juga girang melihat perubahan besar.
Ketika melihat Kwee An, Kwee Tiong lalu
bangkit berdiri dengan tenang dan keduanya lalu berpelukan tanpa mengucapkan
sepatah kata pun. Agaknya dalam pelukan mesra ini keduanya telah mencurahkan
keharuan hati masing-masing. Ketika Kwee Tiong melepaskan pelukannya dan
memegang kedua pundak Kwee An sambil memandang wajah adiknya, ia melihat dua
butir air mata membasahi mata Kwee An. Kwee Tiong lalu tersenyum membesarkan
hati adiknya sambil mengguncang-guncangkan pundak adiknya dan berkata lantang,
“An-te, kau kelihatan makin gagah dan tampan
saja!” Sambil berkata demikian, Kwee Tiong cepat menggunakan ujung lengan
bajunya menghapus dua tetes air mata yang telah menetes di atas pipi adiknya.
“Tiong-ko, kau...”
Akan tetapi Kwee Tiong tidak memberi
kesempatan kepada adiknya untuk melanjutkan kata-katanya dan untuk melampiaskan
keharuan hatinya, maka ia lalu menarik tangan adiknya itu ke ruang tamu dengah
muka girang, sedangkan gerakan kakinya masih menunjukkan kegagahan dan
kejantanannya seperti yang dulu.
Cin Hai yang menunggu di ruang tamu ketika
melihat Kwee Tiong, lalu menjura dengan hormat.
”Eh, eh, Pendekar Bodoh ikut datang pula! Kau
memang hebat sekali, Cin Hai adikku. Tiada habisnya aku mengagumi kau.” Ucapan
ini keluar dari hatinya yang tulus hingga Cin Hai merasa girang dan terharu,
maka ia lalu angkat kedua tangan memberi hormat lagi.
“Tiong Yu Hwesio saudaraku yang baik. Kebijaksanaanmu
yang telah mengambil jalan suci ini membuat aku yang bodoh dan kasar menjadi
malu saja.”
Kwee Tiong menghampiri Cin Hai dan
menepuk-nepuk pundaknya. “Aah, jangan begitu, Cin Hai! Aku masih Kwee Tiong
bagimu, seperti dulu. Hanya saja bedanya, kini telah terbuka kedua mataku dan
aku benar-benar girang bertemu dengan kau. O ya, di mana Lin Lin adikku yang
manis?” Matanya mencari-cari dan mengharapkan munculnya Lin Lin di situ.
Setelah duduk menghadapi meja, Kwee An lalu
menceritakan pengalamannya dan bahwa kini mereka berdua sedang mencari Lin Lin.
Ketika mendengar tentang pembalasan sakit hati yang hampir selesai dan tinggal
Hai Kong seorang itu, pada wajah Kwee Tiong tidak nampak kegirangan sebagaimana
yang diduga semula, bahkan pemuda yang menjadi hwesio itu menghela napas dan
merangkapkan kedua tangan, lalu berkata,
“Aah, inilah yang membuat aku mengambil
keputusan untuk menjadi seorang yang beribadat. Tadinya aku selalu merasa takut
kepada musuh, sedih karena kehilangan orang tua dan saudara-saudara, penasaran
karena ingin membalas dendam. Tapi apakah artinya semua perasaan yang hanya
mengganggu batin itu? Setelah aku mendapat petunjuk dari Tong Kak Suhu dan
masuk menjadi hwesio, baru terbukalah mataku. Aku sekarang merasa berbahagia dan
tidak menakuti sesuatu oleh karena di dalam hatiku memang tidak ada perasaan
bermusuh kepada siapapun juga. Tentang pembalasan sakit hati itu, Adikku,
biarlah kau yang berkepandaian tinggi dan yang merasa sakit hati,
kauperjuangkan sebagai sebuah tugas suci berdasarkan kebaktian. Sedangkan aku,
yang tiada berkepandaian ini, biarlah aku setiap saat berdoa untuk
keselamatanmu, keselamatan Lin Lin, dan keselamatan kawan-kawan baik semua.”
Cin Hai yang mendengar ucapan ini,
mengangguk-angguk dan ia maklum sepenuhnya bahwa memang jalan yang diambil oleh
Kwee Tiong itu dianggapnya tepat sekali.
Setelah menuturkan pengalaman masing-masing
dan melepaskan kerinduan dengan mengobrol semalam penuh, pada keesokan harinya
Kwee An dan Cin Hai meninggalkan Kelenteng Ban-hok-tong.
“Kwee An marilah kita mampir sebentar di
Tiang-an, karena sudah lama aku tidak pernah menginjakkan kaki di kota itu.
Seringkali aku terkenang kepada kota di mana aku tinggal ketika kita masih
kecil.”
Juga Kwee An ingin melihat kota kelahirannya
maka ia menyetujui ajakan Cin Hai ini dan keduanya lalu memasuki kota Tiang-an
yang berada di dekat Kelenteng Ban-hok-tong itu. Mereka lalu berjalan-jalan di
dalam kota itu sampai sore. Dan ketika mereka berjalan sampai di ujung timur,
tiba-tiba mereka mendengar suara yang lantang dari dalam sebuah rumah.
Mendengar suara ini, Cin Hai menyentuh tangan Kwee An dan berbisik,
“Coba, kaudengarkan itu, apakah kau masih
mengenalnya?”
Kwee An memasang telinga dengan penuh
perhatian dan dari jendela rumah itu terdengar suara yang jelas sekali.
“Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-yaaaa...”
Kwee An hampir tertawa bergelak, tapi
cepat-cepat ia menggunakan tangan kanan untuk menutup mulutnya dan menahan
ketawanya. “Itulah Kwi Sianseng!” katanya.
Cin Hai tersenyum dan menganggukkan kepalanya.
“Kalau tidak salah tentu dia. Siapa lagi yang dapat mengucapkan ujar-ujar itu
demikian bagusnya? Tahukah kau berapa kali ia dulu pernah memukul dan mengetok
kepalaku yang dulu gundul?”
Kwee An hampir tertawa keras-keras dan ia
membelalakkan kepada Cin Hai sambil tersenyum lebar. “Kau juga??”
Cin Hai bertanya heran, “Apa maksudmu?”
“Kau juga menjadi korban kesukaannya memukul
kepala murid-muridnya? Ha, ha, jangankan kau yang dulu memang banyak orang
membenci, sedangkan aku sendiri pun entah sudah berapa kali merasai ketokan di
kepalaku.”
Cin Hai benar-benar tak pernah menyangka hal
ini dan sedikit kebencian yang berada di hatinya terhadap Kai Sianseng lenyap
seketika.
“Kalau begitu, Si Tua itu tentu masih saja
mengobral hadiah ketokan kepala itu kepada anak-anak yang sekarang menjadi
murid-muridnya. Hayo, kita mengintai dia!”
Bagaikan dua orang anak-anak nakal, Cin Hai
dan Kwee An menghampiri rumah kecil itu dengan perlahan dan mengintai dari
balik jendela. Benar juga dugaan mereka, di dalam rumah itu Kwi Sianseng yang
tampak sudah tua sekali dan tubuhnya makin kurus kering, sedang berdiri dengan
tangan kanan di belakang punggung dan tangan kiri memegang sebuah kitab yang
dikenal baik oleh Cin Hai dan Kwee An, oleh karena kitab yang terbungkus kulit
kambing itu adalah kitab yang dulu dipakai untuk mengajar mereka pula. Di depan
kakek sastrawan ini duduk di bangku dengan kedua tangan bersilang, tiga orang
anak laki-laki yang mengerutkan kening bagaikan kakek-kakek yang sedang
berpikir keras.
“Kalian anak-anak goblok, bodoh dan tolol!
Dengarkan sekali lagi! Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya! Apakah artinya,
siapa tahu?”
Kwee An dan Cin Hai mengintai dan menahan geli
hatinya, dan Cin Hai lalu teringat akan segala yang dialaminya di waktu kecil,
karena sifat dan sikap Kwi Sianseng sama sekali tidak berubah seperti dulu.
Seorang di antara para murid yang jumlahnya
tiga orang anak-anak itu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan, lalu berkata
dengan suara lantang,
“Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya, artinya:
kesempurnaan hati suci murni harus dicapai sendiri dengan penyempurnaan watak
pribadi. Jalan kebenaran yang menjadi sifat setiap orang harus diajukan dalam
perbuatan sendiri.”
Kakek kurus kering itu mengangguk-anggukkan
kepala seperti burung makan padi. “Bagus, bagus! Begitulah sifat seorang kuncu
(budiman) tulen!” ia memuji. “Kok-ji, kitab apa yang mengandung ujar-ujar itu
dan fasal ke berapa?”
Anak yang tadi menjawab dengan lagak bagaikan
seorang ahli pikir yang sudah kakek-kakek itu menjawab lantang,
“Terdapat di dalam kitab Tiong-yong, fasal...
fasal...” ia tidak dapat melanjutkan jawabannya dan memandang ke kanan kiri
dengan bingung.
“Anak bodoh dan tolol!” gurunya memaki dan Cin
Hai baru melihat bahwa makian ini agaknya memang telah menjadi kembang bibir
Kwi Sianseng. Baru saja anak itu dipuji-pujinya sekarang telah dimaki tolol.
Kemudian Kwi Sianseng berkata lagi, “Dengarlah, ujar-ujar itu terdapat dalam...
fasal...” Ia juga lupa dan mencari-cari di dalam kitabnya, membuka-buka buku
kitab itu dengan bingung.
Sambil menahan gelinya yang membuat perutnya
kaku, Cin Hai menjawab dari luar, “Dalam fasal dua puluh lima ayat pertama!”
Kwi Sianseng terkejut sekali dan menoleh ke
arah jendela yang rendah dan masuk ke dalam kamar. Kedua anak muda itu lalu
menjura dan memberi hormat kepada Kwi Sianseng. Cin Hai berkata,
“Kwi Sianseng, hakseng berdua menghaturkan
hormat.”
Kwi Sianseng terheran dan ragu-ragu. “Jiwi ini
siapakah?”
“Kwi Sianseng,” kata Kwee An, “sudah lupakah
kepadaku? Aku adalah Kwee An, putera Kwee-ciangkun!”
Kwi Sianseng melengak, kemudian setelah
teringat, ia lalu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri, nampak sekali
kebanggaannya melihat betapa muridnya telah menjadi dewasa, gagah, dan cakap!
Ia lalu memegang lengan Kwee An dan dengan muka yang terang berkata kepada
ketiga anak muridnya,
“Nah, kalian lihatlah! Kwee-kongcu ini dulu
adalah muridku yang baik dan pandai. Kalau kalian belajar baik-baik dari aku,
kelak kau pun akan menjadi seorang berguna seperti dia ini!” Kemudian ia
teringat kepada Cin Hai yahg telah dapat menemukan fasal dalam kitab Tiong Yong
maka ia lalu menjura dengan hormat kepada Cin Hai dan bertanya, “Dan kongcu
yang cerdik pandai dan hafal akan fasal dan ayat dalam kitab Nabi kita ini,
siapakah namamu yang mulia?”
Cin Hai menahan geli hatinya, menjawab sambil
menjura, “Sianseng, sudah lupakah kepada hakseng yang tolol dan bodoh?”
Selagi Kwi Sianseng memandang heran dan
mengingat-ingat, Kwee An yang tak dapat menahan kegembiraan hatinya lalu
berkata, “Kwi Sianseng, ini adalah Cin Hai, juga muridmu yang belajar darimu di
Kelenteng Ban-hok-tong!”
Cin Hai tertawa bergelak. “Kwee Sianseng,
sekarang hakseng tidak berani menggunduli kepala lagi, supaya jangan dijadikan
sasaran pukulan dan ketokan!”
Merahlah muka Kwi Sianseng dan ia merasa
betapa ia dulu memang sering kali memukul kepala anak gundul ini. Akan tetapi,
sebagaimana sudah lazimnya sifat manusia yang teringat selalu adalah
sifai-sifat keburukan orang lain, maka Kwi Sianseng lalu memegang tangan Cin
Hai dan kini dengan suara sungguh-sungguh berkata kepada para muridnya,
“Lihatlah Kongcu ini, demikian gagah dan
tampannya! Ketahuilah, dia ini dulu juga seorang muridku! Aku sayang sekali
kepadanya maka tidak heran sekarang menjadi seorang pandai dan sekali mendengar
saja sudah dapat menjawab pertanyaan tentang fatsal tadi! Kalian tadi mendengar
bahwa dulu aku sering mengetok kepalanya? Nah, jangan kira bahwa ketokan
kepalanya tidak ada gunanya! Tanpa diketok kepalanya, seorang murid takkan
menjadi pandai!”
Hati Cin Hai yang dulu seringkali mengenangkan
guru ini dengan benci dan mendongkol, kini menjadi lemah, bahkan ia merasa
kasihan sekali melihat betapa pakaian guru ini butut dan tambal-tambalan, tanda
bahwa keadaannya miskin sekali, sedangkan tubuhnya makin kurus kering dan lemah
bagaikan mayat hidup! Betapapun juga, guru-guru yang pandai ujar-ujar akan
tetapi tak mampu melaksanakan ini patut dikasihani oleh oleh karena dia adalah
seorang jujur dan rela hidup dalam kemiskinan dan masih tekun menurunkan
ilmu-ilmu batin yang hanya dikenal dibibir saja itu kepada anak-anak dengan
menerima upah kecil! Ia mengerti bahwa segala penderitaan, makian, pukulan yang
diterima dari guru ini dalam waktu mengajar, bukan tidak ada gunanya! Sakit dan
derita merupakan obat pahit yang dapat menguatkan batin dan meneguhkan iman.
Maka teringatlah ia kepada ucapan Bu Pun Su
dulu,
“Segala apa di dunia ini mempunyai dua muka
yang berlainan dan baik buruknya muka itu terpandang oleh seseorang, hal ini
tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri, oleh karenanya banyak
pertentangan di dunia ini yang terjadi karena perbedaan pandangan ini!” Dan ia
merasa betapa tepatnya ucapan ini. Dulu ia memandang perbuatan Kwi sianseng kepadanya
amat buruk dan kejam sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati. Akan
tetapi sekarang, ia telah mempunyai pandangan lain dan menganggap bahwa
perbuatan Kwi-sianseng itu telah menjadi watak guru ini dan bukan timbul karena
membencinya, maka ia bahkan menganggap semua siksaan itu baik, hingga
sebaliknya kini menimbulkan rasa terima kasih!
Cin Hai lalu memberi isyarat dengan matanya
kepada Kwee An dan ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa potong uang emas
yang ada padanya. Ia masukkan uang itu ke dalam saku Kwi-sianseng tanpa dilihat
oleh guru ini, kemudian setelah mereka berkelebat maka lenyaplah keduanya dari
depan Kwi-sianseng. Tentu saja hal ini tak terduga sama sekali oleh guru itu,
juga oleh anak anak tadi yang menganggap kedua pemuda ini main sulap.
“Hebat, hebat... mereka telah menjadi
orang-orang gagah yang berkepandaian luar biasa,” katanya kemudian ia berkata
keras-keras agar terdengar oleh murid-muridnya yang kecil-kecil. “Mereka hebat
sekali dan mereka itu adalah murid-muridku. Kalian bertiga yang bodoh ini kalau
mau belajar sungguh-sungguh, kelak pun akan menjadi seperti mereka.” Ketika
seorang muridnya menjatuhkan kitab ke atas tanah karena terheran-heran melihat
lenyapnya Kwee An dan Cin Hai hingga tanpa disengaja kitab yang dipegangnya
jatuh, Kwi-sianseng marah sekali dan melangkah maju, siap dengan jari-jarinya
untuk mengetuk kepala yang gundul itu. Akan tetapi tiba-tiba bayangan Cin Hai
muncul dan guru ini teringat akan kejadian dulu-dulu, maka ia lalu menahan
tangannya, dan sebaliknya ia lalu mengetok kepalanya sendiri yang sudah botak.
“Jangan kaulakukan kepada orang lain apa yang
kau sendiri tidak mau diperlakukan oleh orang lain kepadamu,” kata-kata Cin Hai
yang dulu bergema di dalam telinganya. Semenjak saat ini Kwi-sianseng mempunyai
kebiasaan baru, yaitu tiap kali ia mengetok kepala muridnya, tentu ia juga
menambahkan sebuah ketokan kepada kepalanya sendiri.
Cin Hai dan Kwee An sambil tertawa-tawa
mengenangkan peristiwa pertemuan dengan Kwi-sianseng tadi, lalu berjalan cepat
meninggalkan Tiang-an. Mereka keluar dari kota itu dari jurusan timur dan tidak
melewati Kelenteng Ban-hok-tong yang berada di sebelah barat kota itu. Hari
telah agak gelap ketika mereka tiba di sebuah hutan di luar kota.
Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berseru
minta tolong dan ketika mereka lari menghampiri, ternyata seorang laki-laki tua
yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) sedang
dikeroyok oleh lima orang perampok. Piauwsu ini biarpun melawan dengan nekad
dan memutar-mutar goloknya, namun pengeroyoknya ternyata memiliki kepandaian
yang lihai hingga pundak kiri piauwsu itu telah berlumur darah karena mendapat
luka bacokan pedang. Akan tetapi, sambil berseru minta tolong, piauwsu itu
terus saja melawan dengan nekad.
Cin Hai marah sekali melihat pengeroyokan ini
dan sekali pandang saja ia maklum bahwa piauwsu ini tentu dirampok, oleh karena
di pinggir tampak sebuah kereta dan para pendorongnya yang terdiri dari empat
orang telah berjongkok sambil menggigil ketakutan di belakang kereta.
“Perampok ganas, pergilah dari sini!” katanya
dan tubuhnya telah menyambar cepat ke arah tempat pertempuran. Cin Hai tidak
mau membuang banyak waktu, ia segera mempergunakan kepandaian Ilmu Silat Tangan
Kosong Kongciak-sin-na yang hebat. Memang ilmu silat yang belum lama ia
pelajari dari Bu Pun Su ini lihai sekali. Begitu kedua tangannya bergerak,
pedang kelima orang perampok itu tahu-tahu telah kena dibikin terpental den
sebelum kelima orang perampok yang juga memiliki ilmu silat lumayan itu tahu
apa yang terjadi, tahu-tahu mereka telah dipegang oleh tangan kanan kiri pemuda
itu dan dilempar-lemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan
kentang busuk saja.
Tentu saja mereka merasa jerih dan ngeri
melihat ilmu kepandaian sehebat ini den tanpa menoleh lagi mereka lalu berlari
secepatnya ke jurusan yang sama hingga merupakan balap lari yang ramai. Kwee An
tertawa bergelak, sedangkan Cin Hai hanya tersenyum saja melihat pemandangan
yang lucu itu.
Sedangkan piauwsu itu ketika melihat pemuda
luar biasa lihainya yang telah menolong jiwanya, lalu melangkah maju dan
menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai sambil berkata dengan suara terharu,
“Taihiap yang gagah perkasa telah menolong
jiwaku yang tak berharga, aku tua bangka lemah takkan dapat membalas budi besar
ini dan untuk menyatakan terima kasihku, biarlah Taihiap menyebut nama Taihiap
yang mulia agar dapat kuingat selama hidupku!”
Cin Hai merasa tidak enak sekali melihat
dirinya dihormati sedemikian oleh piauwsu itu maka buru-buru ia memegang pundak
piauwsu itu dan menariknya berdiri sambil berkata,
Lo-piauwsu janganlah beriaku demikian.
Pertolongan yang tidak ada artinya ini untuk apa dibesar-besarkan?”
Ketika piauwsu tua itu mengangkat muka dan
memandang dengan sepasang matanya yang luar biasa lebar, Cin Hai merasa bahwa
ia seperti pernah melihat muka ini, akan tetapi tidak ingat lagi di mana dan
bilamana. Tiba-tiba Kwee An berseru sambil meloncat menghampiri,
“Tan-kauwsu! Kaukah ini?”
Memang benar, piauwsu itu ternyata adalah
Tang-kauwsu, guru silat yang dulu pernah mengajar silat kepada putera-putera
keluarga Kwee In Liang! Tan-kauwsu memandang heran dan ia segera mengenali Kwee
An, maka sambil menjura ia berkata girang,
“Kwee-kongcu! Tak tersangka kita telah bertemu
di sini! Ah, aku orang tua telah mendengar tentang kemajuan dan kelihaianmu dan
telah mendengar pula bahwa engkau telah menjadi murid Eng Yang Cu-locianpwe,
tokoh Kim-san-pai yang lihai itu! Sukurlah kepandaianmu tentu telah berlipat ganda
dan aku orang tua yang tak berguna ini hanya merasa gembira!” Kemudian ia
memandang kepada Cin Hai dengan mata kagum dan melanjutkan kata-katanya,
“Akan tetapi, siapakah Taihiap yang muda akan
tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian lihainya hingga belum pernah
mataku yang tua menyaksikan kelihaian seperti yang telah Taihiap lakukan tadi?”
Cin Hai ketika mengingat bahwa piauwsu ini
bukan lain adalah Tan-kauwsu yang dulu membencinya dan bahkan mengejarnya untuk
membunuh, timbul pula rasa bencinya, maka ia tidak mau menjawab dan hanya
memandang tajam dengan muka tidak senang. Kwee An belum pernah mendengar
tentang kekejaman Tan-kauwsu kepada Cin Hai, oleh karena Cin Hai memang tidak
menceritakan hal itu kepada siapapun juga, maka Kwee An lalu tertawa girang dan
berkata,
“Tan-kauwsu, sesungguhnya pemuda kawanku ini
pun bukan orang luar, akan tetapi kurasa kau takkan dapat menduganya dia ini
siapa biarpun kau akan mengingat-ingat sampai semalam penuh! Biarlah aku
membantumu. Dia ini adalah Cin Hai anak gundul yang dulu pernah pula belajar
silat padamu!”
Tiba-tiba pucatlah wajah Tan-kauwsu mendengar
bahwa anak muda yang luar biasa gagahnya yang baru saja telah menolong jiwanya
itu, bukan lain adalah Si Cin Hai, anak gundul yang dulu hendak diambil
jiwanya! Kedua kaki Tan-kauwsu menggigil dan ia tak dapat menahan dirinya lagi.
Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Cin Hai dan tak tertahan
lagi kedua matanya mengucurkan air mata!
“Taihiap... aku... aku... ah, apakah yang harus
kukatakan? Kalau Taihiap suka, ambillah jiwaku. Aku tua bangka yang tak tahu
diri akan mati dengan rela di dalam tanganmu!”
Kwee An memandang heran dan segera berkata,
“Eh, eh, apa-apan ini? Tan-kauwsu, apakah kau mendadak telah menjadi mabok?”
Akan tetepi Cin Hai mengejapkan mata kepada
kawannya itu dan kini ia tidak mengangkat bangun tubuh orang tua yang berlutut
di depannya.
“Tan-kauwsu, memang benar kata ujar-ujar kuno
yang menyatakan bahwa apa yang diperbuat orang pada masa mudanya, akan mendatangkan
sesal pada masa tuanya. Kau dulu berkeras hendak membunuhku, dan sekarang kau
bahkan minta dibunuh olehku dengan rela. Bukankah ini merupakan buah dari pohon
kebencian yang dulu kautanam dengan kedua tanganmu sendiri? Kau minta aku
membalas dendam? Tidak, Tan-kauwsu! Akan terlalu senang bagimu. Biarlah
kaupikir-pikirkan perbuatanmu yang sewenang-wenang dulu itu dan menyesalinya.
Kau tak berhutang jiwa padaku, maka bagaimana aku bisa membunuhmu? Nah, selamat
tinggal! Mari, Kwee An, kita pergi dari sini!”
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu
melompat pergi dan terpaksa Kwee An menyusul kawannya itu dengan heran.
Kemudian, atas desakan Kwee An, Cin Hai lalu menuturkan pengalamannya. Kwee An
menghela napas dan berkata,
“Memang nasib manusia itu tidak tentu. Sekali
waktu ia boleh berada di bawah, di tempat yang serendah-rendahnya, akan tetapi
akan tiba masanya ia akan berada di atas, di tempat yang setinggi-tingginya.”
Setelah meninggalkan Tiang-an, kedua pemuda
itu lalu menuju ke kota raja, oleh karena selain mencari jejak Lin Lin dan Ma
Hoa, keduanya juga tidak pernah lupa untuk mencari Hai Kong Hosiang, hwesio
yang kini merupakan musuh besar satu-satunya yang masih belum berhasil mereka
balas. Dan ke mana lagi mencari hwesio itu kalau tidak di kota raja? Mereka
merasa ragu-ragu apakah Hai Kong Hosiang berada di sana, akan tetapi karena
tidak mempunyai pandangan lain di mana hwesio itu mungkin berada, mereka
mencoba-coba dan pergi ke kota raja.
Mereka langsung menuju ke Enghiong-koan,
gedung perhimpunan para perwira Sayap Garuda di mana mereka dulu pernah datang
mengacau dan berhasil membunuh mati musuh-musuhnya. Ketika mereka tiba di atas
genteng gedung itu, mereka melihat dua orang sedang bertempur mengeroyok
seorang kakek, sedangkan di sekeliling tempat pertempuran, para perwira Sayap
Garuda menonton sambil berseru-seru membesarkan hati kakek yang dikeroyok itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar