Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Minggu, 06 Maret 2016

PENDEKAR BODOH kph 4 201 - 300

SAMBUNGAN YANG  200 ......

 Akan tetapi Ang I Niocu mana sudi memberitahukan namanya dan sambil menyerang terus ia berseru, “Hwesio jahat tak usah menanya nama! Awaslah pedangku akan menyambar lehermu!”

 Boan Sip yang mendengar ini lalu berkata kepada suhunya, “Suhu, Nona Baju Merah itu adalah Ang I Niocu yang sombong!”

 Bo Lang Hwesio pernah mendengar nama besar Ang I Niocu, maka sambil tertawa ia berkata, “Bagus! Ang I Niocu, pinceng Bo Lang Hwesio memang sudah lama mendengar nama besarmu. Nah, kauperlihatkanlah kepandaianmu, hendak kulihat sampai di mana tingginya!”

 Sehabis berkata demikian, Bo Lang Hwesio lalu menghadapi Ang I Niocu dengan tangan kosong, akan tetapi setelah berkelahi dua puluh jurus lebih, diam-diam Ang I Niocu terkejut dan mengeluh. Ternyata kepandaian hwesio jubah hitam ini benar-benar tinggi dan setingkat lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Ang I Niocu mengigit bibir dan memutar pedangnya secepatnya untuk menghadapi hwesio yang amat tangguh ini.

 Sebaliknya, biarpun sudah mendapat petunjuk dari Ang I Niocu dan kepandaiannya sudah banyak maju, namun Lin Lin masih belum dapat mengatasi kepandaian Boan Sip yang kosen. Makin lama, pedang Boan Sip makin rapat mengurung dirinya hingga Lin Lin menjadi bingung dan terdesak sekali keadaannya! Ketika ia mengerling Ang I Niocu, ia menjadi makin gugup oleh karena melihat betapa Ang I Niocu juga sangat didesak oleh hwesio itu. Karena bingung dan gugup, gerakannya menjadi lambat dan tiba-tiba sebuah tendangan Boan Sip mengenai pergelangan tangannya membuat pedang pendeknya terlempar ke atas dan disambut cepat oleh Boan Sip yang tertawa bergelak-gelak. Perwira muda itu lalu menyerang terus dan memutar-mutar pedangnya sehingga Lin Lin terpaksa harus mengelak sambil berloncatan ke sana ke mari menghindarkan diri dari tusukan pedang lawan! Ia tidak berdaya oleh karena pedangnya telah terampas lawan dan pada saat ia sudah amat terdesak, tiba-tiba ia kena ditotok pundaknya oleh Boan Sip hingga roboh terguling dengan tubuh lemas tak berdaya!

 Boan Sip tertawa lagi. “Ha, ha, ha! Hanya sebegini saja kepandaianmu dan kau mencari aku untuk membalas dendam? Nah, terimalah hadiahku ini!” Ia mengangkat pedangnya ke atas, akan tetapi ketika ia memandang wajah Lin Lin perasaan cintanya yang dulu timbul kembali dan hatinya tidak tega. Ia lalu membungkuk dan menyambar tubuh Lin Lin yang terus dikempit dan dibawa lari!

 “Bangsat hina dina, lepaskan adikku!” Ang I Niocu meloncat hendak mengejar, akan tetapi Bo Lang Hwesio mencegahnya dengan serangan berbahaya hingga terpaksa Ang I Niocu melayani hwesio kosen ini lagi! Hati Dara Baju Merah ini tidak karuan rasanya dan permainan pedangnya menjadi kalut. Setelah mendesak Ang I Niocu dengan hebatnya akan tetapi ternyata pertahanan pedang Gadis Baju Merah itu pun amat kuat hingga setelah bertempur lama belum juga ia dapat merobohkan gadis itu, tiba-tiba Bo Lang Hwesio meloncat pergi sambil berkata,

 “Cukup, Ang I Niocu, sudah cukup kita bermain-main. Lain waktu kita boleh bertemu kembali!”

 Ang I Niocu hendak mengejar, akan tetapi gerakan hwesio yang gesit itu dan juga oleh karena merasa bahwa ia kalah tinggi kepandaiannya, Ang I Niocu mengurungkan maksudnya mengejar. Apa gunanya mengejar kalau ia tidak dapat menangkap hwesio ini dan tidak dapat mengejar Boan Sip yang menculik pergi Lin Lin? Yang perlu adalah menolong Lin Lin, maka ia lalu mengendurkan larinya dan bermaksud untuk mengikuti hwesio itu dengan diam-diam agar mengetahui ke mana mereka membawa Lin Lin.

  

 Akan tetapi ternyata bahwa waktu yang lama tadi telah memberi kesempatan kepada Boan Sip lari jauh sekali! Dan juga Bo Lang Hwesio yang cerdik tidak mau diikuti olehnya hingga hwesio itu lari secepatnya menyusul muridnya. Ang I Niocu kehilangan jejak mereka, maka Gadis Baju Merah ini dengan sedih dan marah lalu berkeliaran di sekitar daerah itu mencari-cari jejak Boan Sip. Akan tetapi, oleh karena ia masih asing dengan daerah utara, maka usahanya ini sia-sia belaka, bahkan ia lalu tersesat jalan dan tanpa disengaja, akhirnya ia bertemu dengan rombongan Pangeran Vayami dan kemudian dengan tipu dayanya menarik hati pangeran yang mata keranjang itu, ia berhasil menolong dan membawa lari Cin Hai yang keadaannya telah menjadi seperti boneka hidup itu.

 Dapat dibayangkan betapa bingung dan sedihnya hati Ang I Niocu. Memikirkan keadaan Lin Lin yang terculik oleh Boan Sip, perwira jahat itu saja, hatinya sudah menjadi bingung dan sedih sekali. Apalagi sekarang ia bertemu dengan Cin Hai dalam keadaan seperti itu, maka hatinya menjadi makin bingung dan sedih.

 Cin Hai, satu-satunya orang yang dikasihinya, satu-satunya orang yang diharapkan tenaga bantuan untuk mencari Lin Lin dan membasmi musuh besar keluarga Kwee, telah hilang ingatan menjadi orang tolol setolol-tololnya. Celaka betul!

 Sambil melarikan kudanya keras-keras, kepala Ang I Niocu berputar-putar dan ia merasa jengkel sekali mendengar betapa yang diingat oleh Cin Hai hanyalah bahwa pemuda itu adalah “Pendekar Bodoh”! Ketika angin malam yang sejuk meniup mukanya dan muka Cin Hai yang duduk di belakangnya, pemuda itu tertawa senang dan berkata,

 “Angin sejuk! Angin enak!”

 Mendengar ini, Ang I Niocu menahan dan menghentikan kudanya, lalu melompat turun. Juga Cin Hai meniru perbuatannya dan melompat turun.

 “Hawa sejuk, angin dingin! Sungguh nyaman!” kata Cin Hai.

 Timbul harapan Ang I Niocu mendengar seruan dan melihat kegembiraan ini. Ia segera memegang tangan Cin Hai dan berkata,

 “Hai-ji! Ingatkah kau sekarang? Tahukah kau siapa aku?”

 “Kau adalah sahabat baik, dan aku... aku Pendekar Bodoh!”

 “Bukan bodoh, tetapi tolol! Tolol sekali!” Ang I Niocu membentak dan tiba-tiba gadis itu menjatuhkan dirinya duduk di atas sebuah batu hitam sambil menangis. Hatinya sedih dan bingung, dan baru kali ini selama hidupnya ia merasa amat sengsara. Ia sedih dan bingung memikirkan nasib Lin Lin dan ia gemas melihat Cin Hai yang hanya tolal-tolol seperti boneka itu. Apakah yang ia perbuat? “Sahabatku? Mengapa engkau menangis? Apakah engkau lapar?” tanya Cin Hai dengan penuh perhatian. Agaknya dalam ingatannya yang kosong ini, Cin Hai teringat ketika ia masih kecil dan ketika ia merantau dan menderita kelaparan. Maka melihat orang menangis, otomatis ia teringat akan sengsaranya orang yang menderita kelaparan!

 Ang I Niocu menjadi mendongkol dan gemas sekali. Ia menjadi makin bingung ketika ia teringat kepada Kwee An. Di manakah adanya pemuda itu? Hatinya terpukul dan dengan penuh kekhawatiran ia menduga bahwa tak salah lagi Kwee An tentu telah mengalami kecelakaan. Pemuda itu tadinya bersama Cin Hai, sedangkan Cin Hai tertawan musuh dan keadaannya begini macam, tentu sekali keadaan Kwee An juga tak dapat diharapkan selamat.

 “Hai-ji... Hai-ji, kaucobalah untuk mengingat-ingat! Di manakah adanya Kwee An? Putarlah otakmu dan gunakan ingatanmu!” katanya gemas.

 “Kwee An? Siapakah dia? Aku tak kenal, tidak tahu... aku tidak tahu apa-apa!”

 Ang I Niocu menghela napas, akan tetapi ia dapat menenangkan hatinya. Ia pikir dalam keadaan seperti ini, ia harus menggunakan ketenangan dan mencari akal. Kalau ia bingung dan sedih, hal ini takkan menolong bahkan akan makin mengacaukan urusan. Ia harus lebih dulu mencarikan obat memulihkan ingatan Cin Hai yang telah lupa akan segala apa ini.

 Demikianlah dengan penuh kesabaran Ang I Niocu mengajak Cin Hai melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Boan Sip dan gurunya yang melarikan Lin Lin. Setiap saat, tiada bosannya Ang I Niocu mengajak Cin Hai bercakap-cakap tentang hal-hal dahulu untuk mengembalikan ingatan pemuda itu, akan tetapi pengaruh madu merah memang mujijat sekali. Cin Hai biarpun merasa senang sekali mendengar penuturan Ang I Niocu dan tiap-tiap kali gadis itu bercerita, ia memandang wajahnya dengan mata berseri, akan tetapi, sama sekali pemuda itu tidak dapat mengingat hal yang terjadi di masa lalu!

 Sampai tiga hari mereka berkeliaran di daerah utara tanpa berhasil mendapat jejak Boan Sip penculik Lin Lin hingga makin hari makin gelisahlah hati Ang I Niocu. Dalam tiga hari ini, Gadis Baju Merah itu menjadi kurus dan pucat!

 Pada malam ke tiga, di waktu bulan bersinar penuh dan sebulatnya hingga malam itu amat indah dan romantis sekali, Ang I Niocu sambil menuntun kuda culikannya berjalan dengan perlahan, Cin Hai berjalan di sebelahnya dan keduanya tak bercakap-cakap, melamun dalam pikiran masing-masing. Ketika mereka melalui daerah yang banyak terdapat batu-batu karang besar dan hitam hingga menyeramkan tampaknya di bawah sinar bulan itu, tiba-tiba Ang I Niocu mendengar suara tertawa yang aneh dan menyeramkan dari tempat jauh!

  

 “Setan dan iblis juga turut menggodaku!” gadis itu menggerutu dengan marah, karena siapakah orangnya yang akan tertawa seperti itu di tengah-tengah padang yang luas dan sunyi ini kecuali setan dan iblis?

 “Bukan setan dan iblis, itu suara orang ketawa,” tiba-tiba Cin Hai berkata, oleh karena biarpun telah kehilangan ingatannya, namun kepandaian dan ketajaman telinga Cin Hai tak menjadi berkurang karenanya. Kalau telinga Ang I Niocu tak dapat menangkap suara ketawa itu dengan jelas oleh karena suara itu diliputi gema yang keras, adalah Cin Hai dapat menangkap suara itu dengan jelas dan tahu bahwa yang tertawa adalah manusia biasa, akan tetapi yang menggunakan tenaga khikang di dalam suara ketawanya hingga terdengar dari tempat jauh dan amat menyeramkan.

 Bagaikan tertarik oleh tenaga gaib, Cin Hai lalu menujukan tindakan kakinya ke arah suara ketawa tadi dan Ang I Niocu juga berjalan mengikuti pemuda itu. Setelah melewati beberapa gunduk batu karang, akhirnya mereka tiba di tempat terbuka di mana tanahnya rata dan luas merupakan satu tempat terbuka yang kering dan berumput serta terang karena mendapat sinar bulan dengan sepenuhnya. Dan ketika mereka keluar dari belakang sebuah gunung karang, Cin Hai berdiri diam dan Ang I Niocu juga berhenti bertindak dan berdiri di belakang pemuda itu dengan hati terasa ngeri dan seram ketika melihat pemandangan yang dilihatnya di tempat itu.

 Di tempat terbuka itu, di atas tanah, melihat dua tumpuk tengkorak-tengkorak manusia merupakan gundukan tinggi seperti batu-batu bundar dan putih, dan tumpukan tengkorak itu terpisah kira-kira dua tombak jauhnya. Di atas tiap tumpukan tengkorak terlihat dua orang dalam keadaan aneh, yang seorang berjongkok sambil meluruskan kedua tangan ke depan, dan yang seorang lagi berdiri di atas puncak gundukan itu dengan kepala di bawah dan kedua kaki di atas! Kedua orang ini saling berhadapan dan saling menggerak-gerakkan kedua tangan seakan-akan sedang melakukan pukulan-pukulan dan nampaknya menyeramkan sekali. Apalagi ketika Ang I Niocu melihat orang yang berjongkok itu, diam-diam ia bergidik oleh karena orang itu dapat disebut seorang rangka hidup! Muka itu tua dan kurus sekali, mukanya tak berdaging sedikitpun juga hingga merupakan tengkorak terbungkus kulit. Rambutnya yang hanya sedikit di atas kepala itu diikat dengan sehelai kain dan pakaiannya seperti pakaian pendeta.

 Orang ke dua yang berdiri dengan kepala di bawah di atas tumpukan tengkorak itu adalah seorang hwesio tinggi besar dan bermuka menyeramkan dan ketika Ang I Niocu memandang dengan penuh perhatian, ternyata bahwa hwesio ini bukan lain ialah Hai Kong Hosiang! Berdebarlah hati Ang I Niocu melihat hwesio kosen ini, akan tetapi oleh karena di situ ada Cin Hai, ia tidak takut sama sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan kakek tua renta yang seperti rangka itu menguji tenaga khikang secara aneh dan menyeramkan sekali. Harus diketahui bahwa tumpukan tengkorak itu licin dan mudah sekali runtuh, maka baru berdiri di puncak tumpukan saja membutuhkan kepandaian ginkang yang amat tinggi, apalagi kalau harus mengerahkan tenaga mengadu khikang! Lebih-lebih kalau berdirinya dengan kepala di bawah dan kaki di atas seperti yang dilakukan oleh Hai Kong Hosiang, maka diam-diam Ang I Niocu merasa kagum dan ngeri melihat kemajuan dan kehebatan Hai Kong Hosiang. Pada saat itu, biarpun Hai Kong Hosiang telah mengerahkan tenaga di kedua tangannya mendorong dan memukul ke depan, akan tetapi kakek tua renta yang berjongkok di puncak tumpukan tengkorak ke dua itu tak bergerak sedikitpun juga, sedangkan ketika kakek tua renta itu mengayun kedua tangannya, biarpun hanya dengan gerakan perlahan saja, namun tubuh Hai Kong Hosiang telah bergerak-gerak dan terayun-ayun seakan-akan didorong-dorong dan hendak roboh! Dari sini dapat diduga bahwa tenaga khikang kakek itu lebih tinggi daripada tenaga Hai Kong Hosiang!

 Ketika Hai Kong Hosiang yang berdiri jungkir balik itu melihat kedatangan Cin Hai dan Ang I Niocu, hwesio ini lalu berseru keras,

 “Hai, bagus sekali kalian datang mengantar kematian!” Dan ia lalu memberi tanda dengan kedua tangannya yang menggerak-gerakkan jari-jari tangan ke arah kakek tua renta itu. Kakek ini lalu memutar tubuhnya menghadapi Ang I Niocu dan Cin Hai dengan gerakan ringan sekali dan dari atas tumpukkan tengkorak itu ia mengirim pukulan dengan kedua tangannya ke arah Cin Hai dan Ang I Niocu!

 Sungguh hebat tenaga pukulan kakek itu yang dilancarkan dari tempat jauh. Ang I Niocu merasa betapa angin tenaga raksasa mendorongnya dan cepat-cepat gadis ini meloncat ke samping agar jangan sampai terluka oleh tenaga pukulan maut ini. Sebaliknya, Cin Hai yang dapat juga merasai datangnya tenaga hebat ini, segera menggunakan kedua tangannya untuk mendorong ke depan dan mengerahkan tenaga khikangnya! Dua tenaga raksasa bertemu dari dorongan dua orang ini dan Cin Hai lalu terhuyung mundur sampai empat langkah! Sedangkan kakek itu kedudukannya menjadi miring, tanda bahwa ia pun kena dorong oleh tenaga Cin Hai yang tidak lemah!

  

 Ang I Niocu terkejut karena maklum bahwa adu tenaga ini menyatakan bahwa kakek tua renta ini masih lebih kuat dan lebih lihai daripada Cin Hai. Hal ini belum seberapa, akan tetapi kenyataan bahwa kakek ini mentaati permintaan Hai Kong Hosiang yang dilakukan dengan gerak tangan menandakan bahwa kakek ini berdiri di pihak Hai Kong Hosiang! Hal ini berbahaya sekali oleh karena dapat diduga betapa tingginya kepandaian kakek itu!

 Akan tetapi pada saat itu, kakek tua renta dan Hai Kong Hosiang tiba-tiba berseru keras sekali. Kemudian keduanya lalu bergerak dan meloncat turun dari tumpukan tengkorak bagaikan orang ketakutan! Ketika Ang I Niocu memperhatikan, ia pun merasa terkejut sekali dan hampir saja ia menjerit. Ternyata bahwa di antara sekian banyaknya tengkorak yang ditumpuk, di tengah-tengah tumpukan, tengkorak yang dinaiki Hai Kong Hosiang tadi terdapat sebuah kepala yang bukan tengkorak, oleh karena kepala ini mempunyai sepasang mata yang dapat melirik ke sana ke mari dan masih berambut sungguhpun rambutnya telah putih semua! Sedangkan di tengah tengah tumpukan tengkorak yang dinaiki kakek tua renta tadi pun terdapat sebuah kepala yang kini mengeluarkan suara tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan. Akan tetapi, tiba-tiba rasa ngeri dan takut di dalam hati Ang I Niocu berubah rasa girang oleh karena ia segera dapat mengenal suara ketawa terkekeh ini. Bu Pun Su, kakek gurunya orang luar biasa itu, entah bagaimana telah bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak yang diinjak oleh kakek tua renta itu.

 Memang benar, ketika tiba-tiba di dalam tumpukan terjadi gerakan yang membuat semua tengkorak menggelinding ke sana ke mari, muncullah Bu Pun Su dari tumpukan itu sambil berseri mukanya dan mulutnya tertawa geli. Dengan gerakan sebelah tangannya, Bu Pun Su membuat tumpukan yang satu lagi menjadi runtuh dan dari dalam tumpukan itu muncullah seorang suku bangsa Jungar yang sudah tua sekali dan yang sama sekali tidak dikenal oleh Ang I Niocu. Ternyata orang tua bangsa Mongol ini adalah dukun atau ahli pengobatan yang ikut dalam rombongan Pangeran Vayami dan yang telah diculik oleh Bu Pun Su dan dibawa ke situ serta dipaksa masuk dan bersembunyi di dalam tumpukan tengkorak.

 Hai Kong Hosiang menjadi pucat sekali ketika melihat Bu Pun Su. Ia maklum akan kelihaian kakek jembel ini, akan tetapi oleh karena ia ditemani oleh kakek tua renta yang bukan lain adalah supeknya (uwa gurunya) yang bernama Kam Ki Sianjin, orang yang sudah tua usianya hingga telah gagu tak dapat bicara pula, maka Hai Kong Hosiang berbesar hati dan mengandalkan tenaga supeknya ini untuk melawan Bu Pun Su.

 “Supek, inilah Bu Pun Su si manusia jahil yang telah berkali-kali menggangu teecu!” Hai Kong Hosiang berkata sambil menuding ke arah Bu Pun Su yang masih berdiri sambil tertawa. Kam Ki Sianjin masih dapat menggunakan telinganya untuk mendengar, bahkan ia memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa, akan tetapi lidahnya telah membeku dan ia tak dapat berbicara lagi. Maka ia lalu menatap wajah Bu Pun Su dan tiba-tiba menepuk kedua tangan sekali, menunjuk ke arah Bu Pun Su dengan tangan kiri dan arah diri sendiri dengan tangan kanan, lalu mengangkat kedua tangan itu ke atas kepala dengan jari-jari ke atas dan sama tingginya. Ia hendak menyatakan bahwa dia dan Bu Pun Su boleh mengadakan pibu karena tingkat kepandaian mereka sama tingginya.

 Bu Pun Su tertawa lagi dengan hati geli, kemudian ia pun menepuk tangan, menuding ke arah tengkorak-tengkorak yang bergelimpangan di bawah dan ke arah Kam Ki Sianjin, lalu menurunkan kedua tangannya ke bawah, sama rendahnya. Ia hendak menyatakan bahwa Kam Ki Sianjin mempunyai tingkat yang sama rendahnya dengan tengkorak-tengkorak itu! Ini bukan semata-mata penghinaan yang tak berdasar oleh karena Bu Pun Su tahu bahwa kakek tua renta itu berjuluk Si Tengkorak Hidup.

 Kam Ki Sianjin menjadi marah sekali dan segera melompat maju menyerang Bu Pun Su. Gerakannya cepat bagaikan menyambarnya kilat hingga Ang I Niocu terkejut sekali oleh karena belum pernah ia menyaksikan ginkang demikian tingginya, lalu menepuk pundak Cin Hai yang memandang semua itu dengan bengong tapi nyata kelihatan tertarik sekali. Ketika ia menengok ke arah Ang I Niocu yang menepuk pundaknya, Ang I Niocu berkata,

 “Hai-ji, hwesio tinggi besar itu adalah Hai Kong Hosiang dan ia adalah musuh besarmu. Hayo kita serang dia!”

 “Aku tidak punya musuh. Apakah engkau bermusuhan dengan dia?” tanya Cin Hai. Ang I Niocu menjadi gemas dan ia berkata keras,

 “Ya, ya, dia musuh besarku, hayo kita serang dia!”

 “Baik! Kalau dia musuhmu, aku, akan menyerang dia!” Ia lalu melompat dan menyerang Hai Kong Hosiang yang melayaninya sambil memaki-maki.

 “Ang I Niocu! Perempuan rendah, perempuan curang!”

  

 “Bangsat gundul, hari ini kau harus mampus!” Ang I Niocu berseru marah dan mencabut pedangnya, terus membantu Cin Hai mengeroyok hwesio itu.

 Demikianlah, disaksikan oleh puluhan tengkorak yang bergelimpangan di atas tanah dan oleh dukun tua berbangsa Mongol yang berdiri tak bergerak bagaikan hantu malam, di tempat yang mengerikan itu terjadi perkelahian hebat sekali. Yang paling hebat adalah perkelahian yang terjadi antara Bu Pun Su dan Kam Ki Sianjin, oleh karena di tempat mereka bertempur itu tidak kelihatan apa-apa sama sekali, yang ada hanyalah dua bayangan yang berkelebat ke sana ke mari bagaikan dua iblis sedang bertempur.

 Tak terdengar suara tangan atau kaki mereka, akan tetapi di sekitar tempat mereka bertempur itu bertiup angin keras yang membuat tengkorak-tengkorak yang tadi menggelinding dekat, kini menggelinding lagi menjauhi seakan-akan tengkorak itu takut dan ngeri menyaksikan pertandingan yang dahsyat itu dari dekat!

 Sementara itu, dikeroyok dua oleh Cin Hai dan Ang I Niocu, Hai Kong Hosiang merasa sibuk sekali. Baru menghadapi seorang di antara mereka saja, terutama Cin Hai, ia takkan dapat menang, apalagi kini dikeroyok dua! Ia telah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, bahkan ia telah memainkan tongkat ularnya dengan ganas, akan tetapi tetap saja terdesak hebat oleh pedang Ang I Niocu dan kepalan tangan Cin Hai!

 Sebetulnya, selama beberapa hari ini, kepandaian Hai Kong Hosiang, terutama lweekang dan khikangnya, telah naik dan maju pesat sekali oleh karena ia mendapat latihan lweekang dengan berjungkir balik dari supeknya, yaitu Kam Ki Sianjin! Akan tetapi oleh karena latihannya belum masak benar, maka kini menghadapi dua orang muda yang tangguh itu, ia tak berdaya dan terdesak hebat. Keringat dingin mengucur dari jidatnya dan setiap saat jiwanya terancam bahaya maut.

 Tiba-tiba terdengar suara Bu Pun Su tertawa bergelak dan dari tempat ia bertempur, nampak bayangan Kam Ki Sianjin melesat keluar dari kalangan pertempuran, dan kakek tua renta ini langsung menyambar ke arah Hai Kong Hosiang dan tahu-tahu ia telah dikempit dengan gerakan cepat sekali!

 Ternyata bahwa Kam Ki Sianjin tak kuat melawan Bu Pun Su dan ketika ia hendak kabur, ia melihat betapa Hai Kong Hosiang terdesak, maka ia mempergunakan kecepatan untuk menolong murid keponakannya itu dan membawa lari dari situ!

 Bu Pun Su masih tertawa bergelak ketika Ang I Niocu menjatuhkan diri berlutut di depannya. Akan tetapi Cin Hai yang tidak ingat siapa adanya kakek tua kosen ini, hanya berdiri dengan bingung dan memandang dengan sinar mata kosong.

 “Bagus, Im Giok. Kau telah dapat menolongnya sebelum terlambat. Dan orang Mongol inilah yang akan menyembuhkannya!” Bu Pun Su lalu memanggil dukun tua itu mendekat, lalu ia menunjuk kepada Cin Hai sambil berkata dalam bahasa Mongol, “Obatmu yang membuat dia menjadi seperti itu dan obatmu pula yang harus menyembuhkannya!”

 Dukun tua bangsa Mongol itu mengangguk-angguk dan dengan tenang ia mengeluarkan sebuah guci tanah kecil dari kantung dalam.

 “Cin Hai, kaumajulah dan terimalah pengobatan dari dukun sihir ini!” berkata Bu Pun Su dengan suara memerintah kepada Cin Hai yang tidak mengenal nama sendiri dan tidak mengenal pula kakek lihai itu.

 “Anak tolol!!” Bu Pun Su mencela dan tiba-tiba kakek ini berkelebat ke arah muridnya dan menyerang dengan sebuah totokan. Akan tetapi Cin Hai cepat mengelak dan setelah tujuh kali menyerang dengan gagal, barulah ke delapan kalinya Bu Pun Su berhasil menotok Cin Hai hingga pemuda itu roboh tak ingat orang! Di sini dapat diukur kepandaian Bu Pun Su dan kelihaian Cin Hai pula oleh karena biasanya tiap kali menyerang orang, jarang ada yang dapat mengelak dari serangan kakek jembel ini!

 Setelah Cin Hai dibikin tidak berdaya, dukun itu lalu menuangkan isi guci yang berbau harum ke mulut Cin Hai, kemudian ia memijit-mijit dan mengurut-urut kepala pemuda itu. Agaknya dukun itu bekerja dengan sepenuh tenaga dan semangat oleh karena ternyata bahwa seluruh mukanya berpeluh, padahal malam itu hawa amat dingin! Akhirnya, setelah beberapa lama ia mengurut-urut kepala Cin Hai, ia berdiri sambil mengangguk-anggukkan kepalanya kepada Bu Pun Su. Kakek ini lalu maju dan menepuk pundak Cin Hai yang segera sadar,

 Pemuda ini seakan-akan baru sadar dari sebuah mimpi buruk. Ia memandang dan ketika melihat Ang I Niocu, ia tersenyum. Sebaliknya ketika melihat suhunya berada di situ pula, ia cepat menjatuhkan diri berlutut sambil berkata,

 “Maafkan teecu, suhu. Teecu tidak tahu bahwa Suhu datang di sini dan... dan... sebenarnya teecu berada di manakah?”

 Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh, tanda bahwa hatinya girang sekali melihat betapa muridnya telah sembuh kembali. Juga Ang I Niocu tak dapat menahan keharuan hatinya hingga dua titik air mata melompat keluar dari pelupuk matanya.

  

 Ang I Niocu lalu menuturkan betapa ia mendapatkan pemuda itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami dalam keadaan linglung dan hilang ingatan. Kemudian dukun bangsa Mongol itu melanjutkan cerita Ang I Niocu, menceritakan betapa rombongan pangeran itu menolong Cin Hai dari dalam air dan memberi madu merah. Maka teringatlah Cin Hai bahwa ketika itu ia berkelahi mati-matian dengan Hai Kong Hosiang dan akhirnya ia hanyut dalam sungai dalam keadaan pingsan. Cin Hai berlutut lagi di depan suhunya dan berkata,

 “Baiknya Suhu datang dan membawa dukun ini untuk menyembuhkan teecu. Kalau tidak, entah bagaimana dengan keadaan teecu.”

 “Ha, ha, kalau aku tidak mendengar tentang keadaanmu, tentu saja sampai sekarang kau masih menjadi pendekar tolol dan Im Giok masih bingung dan sedih. Hai, Im Giok, setelah Cin Hai sembuh, mengapa kau masih saja berduka?” tanya Bu Pun Su kepada Ang I Niocu.

 Mendengar pertanyaan ini, Gadis Baju Merah itu menahan air matanya dan ia pun lalu bertutut sambil berkata, “Susiok-couw, bagaimana teecu takkan bersedih? Adik Lin Lin telah terculik oleh Boan Sip dan suhunya yang lihai, yaitu Bo Lang Hwesio!” Cin Hai terkejut sekali dan menjadi pucat mendengar ini, dan Ang I Niocu lalu menuturkan pengalamannya. Tak tertahan lagi kesedihan hati Cin Hai, ia lalu berdiri dan membanting-banting kakinya.

 “Boan Sip, kalau kau sampai mengganggu Lin Lin, aku Cin Hai akan mengejarmu biar kau lari sampai ke neraka sekalipun!” Pemuda ini mengepal-ngepal tinjunya dan matanya menyinarkan kemarahan besar. Bu Pun Su melihat ini lalu mengangguk-angguk maklum.

 “Jadi Nona Lin Lin adalah puteri Kwee ciangkun? Bagus, bagus, Im Giok, kali ini kau benar-benar harus dipuji!” Sehabis mengeluarkan ucapan yang tak dimengerti oleh Cin Hai akan tetapi dapat dimengerti oleh Ang I Niocu itu, Bu Pun Su lalu mengempit tubuh dukun bangsa Mongol yang tadi menolong Cin Hai, lalu berkata,

 “Biarlah aku Si Tua Bangka melakukan sebuah tugas lagi. Akulah yang akan mencari tunanganmu, Cin Hai!”

 Cin Hai dan Ang I Niocu cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut sambil menghaturkan terima kasih, akan tetapi ketika mereka mengangkat muka memandang, ternyata kakek jembel itu telah lenyap dari situ.

 Setelah suhunya pergi, mereka berdua dapat bercakap-cakap dengan leluasa dan kembali Ang I Niocu menuturkan pengalamannya dengan lebih jelas dan panjang lebar. Kemudian Ang I Niocu bertanya,

 “Dan di manakah adanya Kwee An? Aku telah bertemu dengan Ma Hoa dan mendengar akan perjodohan anak muda itu.”

 Dengan sedih Cin Hai menuturkan pengalamannya dengan Kwee An ketika bertempur dengah Hai Kong Hosiang dan pengawal-pengawal Pangeran Vayami, hingga Kwee An tercebur ke dalam air sungai yang deras.

 “Entah bagaimana dengan nasib Kwee An,” Cin Hai menutup ceritanya dengan penuh hati kuatir, “mari kita mencarinya dan sekalian mencari Hai Kong Hosiang si keparat itu!”

 Keduanya lalu meninggalkan tempat itu dan ketika Ang I Niocu mencari kuda putihnya, ternyata kuda itu telah lenyap dan di atas tanah dapat dibaca coret-coretan di atas tanah yang berbunyi, “Kuda dan dukun yang dipinjam harus dikembalikan kepada pemiliknya!”

 Kedua anak muda itu maklum bahwa ini tentu perbuatan Bu Pun Su yang berwatak aneh dan penuh rahasia. Maka mereka melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sambil bercakap-cakap dengan asyik.

 Kita ikuti Lin Lin yang ditangkap dan dibawa lari oleh Boan Sip, perwira yang lihai itu. Biarpun Boan Sip mempergunakan ilmu larinya yang cukup tinggi, akan tetapi tak lama kemudian ia dapat tersusul oleh gurunya yaitu Bo Lang Hwesio. Mereka berdua lalu membawa Lin Lin ke sebuah rumah yang telah disediakan oleh Boan Sip untuk tempat tinggal sementara ia bersembunyi dari kejaran musuhnya.

 Menurut kehendak Boan Sip ia hendak membunuh gadis itu, akan tetapi Bo Lang Hwesio melarangnya, dan adanya hwesio ini menyelamatkan jiwa Lin Lin, oleh karena Boan Sip sama sekali tidak berani mengganggu atau mencelakainya.

 “Kau bermusuhan dengan keluarga Kwee hanya oleh karena engkau ingin mengawini gadis ini. Sekarang keluarga Kwee telah terbasmi dan gadis ini telah kautawan, kalau engkau membunuhnya pula, maka hal ini adalah keterlaluan sekali. Boan Sip, aku tidak peduli akan segala perbuatanmu yang kau lakukan menghadapi urusan-urusan pribadi, akan tetapi aku merasa malu kalau engkau melakukan gangguan terhadap seorang gadis di depan mataku. Selama engkau minta pembelaanku dan aku berada di sini, aku takkan mengizinkan engkau berlaku sesuka hatimu, kecuali kalau engkau sudah tidak membutuhkan tenaga bantuanku lagi!”

  

 Tentu saja Boan Sip tak berdaya. Ia merasakan perlunya Bo Lang Hwesio mengawaninya, oleh karena selama Cin Hai dan Kwee An masih belum dibunuh dan berkeliaran mencarinya, ia merasa tidak aman kalau berada jauh dari gurunya. Oleh karena ini maka ia terpaksa menurutinya hingga Lin Lin hanya dikurung dalam sebuah kamar saja dengan tak berdaya melarikan diri oleh karena jalan darahnya telah ditotok hingga ia tak dapat mempergunakan tenaganya!

 Pada beberapa hari kemudian, di waktu malam, di atas genteng rumah persembunyian Boan Sip nampak berkelebat bayangan hitam yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata hingga kalau kebetulan ada orang yang melihat bayangan itu, ia takkan tahu apakah bayangan itu bayang-bayang burung yang sedang terbang atau bayangan apa.

 Akan tetapi Bo Lang Hwesio yang sedang duduk bersamadhi di dalam kamarnya, dapat mendengar desir angin yang lain daripada desir angin biasa. Selagi ia masih berada dalam keadaan curiga dan ragu-ragu, tiba-tiba dari atas genteng terdengar orang berkata,

 “Bo Lang! Percuma saja engkau bersamadhi kalau perbuatanmu tidak sesuai dengan jubah pendetamu!”

 Bo Lang Hwesio terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang begitu tinggi ilmu ginkangnya hingga suara kakinya sama sekali tak dapat terdengar olehnya? Padahal Bo Lang Hwesio memiliki ketajaman pendengaran yang luar biasa dan terlatih puluhan tahun lamanya. Belum pernah ia bertemu dengan orang yang memiliki kepandaian meringankan tubuh sedemikian sempurnanya hingga biarpun sedang dalam samadhi, ia sama sekali tak mendengarnya!

 “Sahabat yang berilmu tinggi, jangan bicara seperti setan tak berujud, kau masuklah memperlihatkan muka!” kata Bo Lang Hwesio, akan tetapi orang di atas genteng terkekeh--kekeh dan menjawab,

 “Bo Lang Hwesio aku datang untuk minta kembali Kwee-siocia yang kautawan, apakah engkau tetap tidak mau keluar? Aku tidak mau bertindak sebagai maling, lebih baik kuminta terang-terangan!”

 Bo Lang Hwesio merasa mendongkol juga mendengar orang berlaku begitu berani dan menantang, maka tiba-tiba ia menggerakkan tubuhnya dan bagaikan seekor burung besar, hwesio ini sudah melayang keluar jendela, terus menuju ke atas genteng.

 Ternyata bahwa di atas genteng itu telah berdiri seorang kakek dengan sikap tenang dan ketika Bo Lang Hwesio melihat kakek ini, tak terasa pula ia berseru keras, “Ah... Bu Pun Su! Apakah kehendakmu dengan malam-malam datang di sini? Apakah kau hendak mengganggu pinceng pula?”

 “Ha, ha, Bo Lang, hwesio gundul! Kau kira aku memang mengganggu manusia tanpa alasan? Dulu aku mengganggumu di Thian-san oleh karena kau hendak merusak persahabatan dengan tokoh Thian-san-pai. Sekarang aku datang oleh karena kau telah mengumbar nafsu dan membela seorang perwira yang berlaku sewenang-wenang!”

 “Bu Pun Su, pinceng tahu bahwa kau memang memiliki kepandaian tinggi, tapi jangan kira pinceng takut kepadamu. Bo Lang Hwesio dulu bukan Bo Lang Hwesio sekarang!”

 “Benar, benar! Bo Lang Hwesio dulu nafsunya sendiri yang bernyala-nyala, sedangkan Bo Lang Hwesio sekarang karena sudah tua bangka maka mengumbar nafsunya dengan membela muridnya yang murtad!”

 “Bu Pun Su, jembel tua! Jangan sembarang menuduh. Seorang guru membela muridnya yang terancam bahaya oleh musuh-musuhnya, bukankah hal itu sewajarnya? Boan Sip dikejar-kejar musuh-musuhnya yang lihai dan kalau bukan pinceng yang membela, habis siapa lagi? Tentang Nona Kwee yang tertawan kami perlakukan baik-baik dan adalah salah Nona itu sendiri mengapa kurang tinggi kepandaiannya hingga kalah oleh muridku!”

 “Ha, ha, alasan anak kecil! Sudahlah, Bo Lang Hwesio, kalau kau menyerahkan Lin Lin Siocia dengan baik-baik aku si tua bangka pun tak mau membuat ribut lagi. Akan tetapi kalau kau menolak biarlah kita main-main sebentar!”

 “Kau sombong!” teriak Bo Lang Hwesio yang lalu menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Pukulannya ini luar biasa hebatnya hingga biarpun gerakan tangannya masih jauh jaraknya dari tubuh Bu Pun Su, namun baju dan rambut kakek jembel itu telah berkibar tertiup angin pukulan!

 “Bagus, lweekangmu sudah banyak maju!” jawab Bu Pun Su yang lalu mengelak dan membalas memukul dengan lima jari tangan kanan terbuka. Pukulan ini tertuju kepada pundak kanan Bo Lang Hwesio dan untuk menilai kehebatan pukulan ini dapat diukur dari suara genteng pecah, dan ternyata genteng di belakang Bo Lang Hwesio yang cepat berkelit itu menjadi terdorong oleh angin pukulan Bu Pun Su yang menggunakan gerak tipu Burung Merak Mengulur Cakar ini tidak mengenai sasaran. Bo Lang Hwesio lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang lihai dan sebentar saja kedua orang tua yang gagah itu telah bergerak-gerak pergi datang di atas genteng itu.

  

 Bo Lang Hwesio memang lihai sekali dan tingkat kepandaiannya lebih tinggi setingkat daripada kepandaian Hek Pek Moko, akan tetapi menghadapi Bu Pun Su, ia tak dapat berbuat banyak. Setelah bertempur sengit dua puluh jurus lebih akhirnya Bo Lang Hwesio tak kuat menghadapi kakek jembel itu lebih lama lagi oleh karena gerakan Bu Pun Su benar-benar cepat hingga bagi Bo Lang Hwesio, tubuh lawannya seolah-olah berubah menjadi puluhan banyaknya yang menyerang dan mengeroyoknya dari seluruh jurusan. Kalau orang lain yang menghadapi Bu Pun Su, tentu akan mengira bahwa kakek aneh ini mempergunakan ilmu sihir, akan tetapi Bo Lang Hwesio maklum bahwa ginkang kakek ini sudah sampai di puncak kesempurnaan, sedangkan tenaga lweekangnya sudah jauh lebih tinggi daripada tenaganya sendiri.

 Bu Pun Su memang tidak mau mencelakakan atau melukai Bo Lang Hwesio, maka kakek itu hanya mempermainkannya saja dengan gerakannya yang cepat dan kadang-kadang menowel pundak atau perut Si Hwesio. Bo Lang Hwesio menjadi jerih dan berseru,

 “Bu Pun Su, benar-benar kau lihai dan aku tidak malu untuk mengaku kalah!” Setelah berseru demikian, Bo Lang Hwesio lalu melompat ke belakang dengan cepat sekali dan alangkah heran dan kagetnya ketika ia merasa betapa dadanya dingin tertiup angin dan ketika ia memandang, mukanya menjadi pucat sekali oleh karena jubahnya di bagian dada telah robek dan bolong. Ia bergidik oleh karena maklum bahwa kalau Bu Pun Su memang bermaksud jahat, tentu jiwanya telah melayang sejak tadi. Ia menghela napas dan menggeleng-geleng kepala saking kagumnya dan ia tidak berani mengejar ketika melihat tubuh kakek jembel itu melayang turun ke dalam rumah. Ia harapkan saja kakek itu tidak akan mencelakakan Boan Sip.

 Akan tetapi, tak lama kemudian nampak Bu Pun Su melayang naik lagi dan tahu-tahu telah berada di hadapannya sambil membentak,

 “Bo Lang Hwesio! Jangan kau mempermainkan aku! Di mana adanya Nona Kwee dan di mana pula sembunyinya muridmu yang jahat itu?”

 Bo Lang Hwesio memandang heran. “Bu Pun Su, jangan kau sembarang menuduh aku. Biarpun dengan bersumpah, pinceng berani menerangkan bahwa kedua orang itu masih berada di dalam rumah!”

 “Hm, kalau begitu kau bersumpah!”

 Mendengar bahwa benar-benar ia tidak dipercaya Bu Pun Su, Bo Lang Hwesio marah sekali, akan tetapi ia tidak berdaya untuk membantah, apalagi ia sendiri yang sanggup untuk mengangkat sumpah. Maka ia merangkapkan kedua tangan di dada dan bersumpah, “Kalau keteranganku tadi tidak betul biarlah Buddha yang suci akan mengutukku!”

 “Bagus, kau benar-benar tidak bohong!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh kakek jembel itu telah lenyap.

 “Bu Pun Su, lain kali kutebus hinaan ini!” Bo Lang Hwesio berseru, akan tetapi kakek pendekar yang luar biasa itu telah pergi jauh.

 Memang sebenarnya Bo Lang Hwesio tidak membohong ketika ia katakan bahwa sebelum ia bertempur dengan Bu Pun Su, Boan Sip masih berada di dalam rumah demikian pula Lin Lin masih dikeram di dalam kamar tahanannya. Hwesio ini sama sekali tidak mengira bahwa muridnya yang licin telah membawa Lin Lin pergi dari tempat itu!

 Oleh karena maklum bahwa yang datang menolong Lin Lin adalah seorang tua yang sakti maka Boan Sip tidak berani menunda-nunda larinya. Ia mengempit tubuh Lin Lin sambil berlari secepatnya di malam gelap, menuju ke sebuah anak sungai yang berada kurang lebih dua puluh li dari tempat itu. Ketika ia tiba di tepi sungai, di situ telah menanti sebuah perahu yang cukup besar dan tiga orang kelihatan berdiri di kepala perahu. Seorang di antaranya adalah seorang berpakaian asing dan ternyata bahwa ia adalah seorang Turki yang berkulit hitam dan bermata lebar. Usianya kurang lebih empat puluh tahun dan jubahnya panjang dan lebar, terbuat daripada kain berbulu yang indah.

 “Eh, eh, Boan-ciangkun, mengapa malam-malam datang tergesa-gesa?”

 “Yo-suhu (nama aselinya Yousuf), lekas jalankan perahu. Cepat!” Sambil berkata demikian Boan Sip melompat ke dalam perahu pula.

 Yousuf tersenyum dan ia tetap tenang akan tetapi ia lalu memerintahkan kepada dua orang anak buahnya untuk menjalankan perahunya sebagaimana yang diminta oleh Boan Sip.

 “Heran sekali, siapakah adanya orang yang begitu ditakuti oleh Boan-ciangkun?” tanyanya.

 “Yo-suhu, kau tidak tahu. Seorang kakek luar biasa yang bernama Bu Pun Su dan yang kepandaiannya seratus kali lebih tinggi dari kepandaianku sendiri, sedang mengejarku, dan celakalah kalau ia dapat menyusulku!”

 “Aah, Saudara Boan benar-benar tidak memandang aku. Bukankah aku sahabat baikmu?”

  

 Boan Sip teringat bahwa Yousuf adalah seorang berilmu tinggi pula, maka ia segera menjura, “Maaf, Yo-suhu. Bukan maksudku hendak merendahkanmu, akan tetapi Bu Pun Su ini benar-benar lihai dan namanya sudah cukup membikin gemetar semua orang.”

 Kemudian Yusuf menunjuk ke arah Lin Lin yang masih terduduk di dalam perahu dan yang kini tangannya telah diikat olah Boan Sip, lalu bertanya dengan suara kurang senang,

 “Dan Nona ini siapakah, Saudara Boan?”

 “Dia ini adalah musuh besarku yang hendak membunuhku, akan tetapi dapat kutawan. Tadinya hendak kubinasakan, tetapi Suhu melarangku dan... dan aku sayang kepadanya.”

 Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya, “Memang Suhumu benar. Tak pantas membunuh seorang gadis yang tak berdaya.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu lalu menghampiri Lin Lin yang menjadi kuatir dan takut, akan tetapi orang Turki ini lalu menggerakkan tangan ke arah belenggu yang mengikat tangan Lin Lin. Sekali ia menggerakkan tenaga, belenggu itu terlepas dengan mudahnya!

 Boan Sip terkejut sekali oleh karena ia tahu bahwa Lin Lin kini telah terlepas daripada pengaruh totokan, dan inilah yang memaksanya tadi untuk mengikat kedua tangan nona ini.

 “You-suhu, kalau ia dilepas, ia berbahaya sekali!”

 Akan tetapi Yousuf hanya tersenyum menyindir seakan-akan mentertawakan sikap Boan Sip yang begitu ketakutan.

 Sebaliknya, Lin Lin ketika merasa bahwa kedua lengan tangannya telah bebas, merasa terkejut sekali. Tadi ia telah mengerahkan tenaganya, akan tetapi tali yang mengikat tangannya bukan tali biasa, terbuat dari semacam kain yang dapat mulur hingga tak mudah diputuskan dengan tenaga lweekang. Akan tetapi, orang asing ini hanya meraba saja dan ikatan itu telah terlepas! Ia tak tahu bahwa Yousuf adalah seorang ahli sulap yang berdasarkan ilmu sihir, maka jangankan baru belenggu biasa saja, biar belenggu baja sekalipun, orang Turki ini pasti akan dapat membukanya dengan mudah!

 Lin Lin yang merasa gemas dan marah sekali kepada Boan Sip, ketika merasa dirinya telah bebas segera meloncat maju dan menyerang perwira itu sambil berseru,

 “Manusia rendah, saat ini aku hendak mengadu jiwa dengan kau!” Lin Lin lalu menyerang dengan pukulan yang paling berbahaya dan ketika Boan Sip hendak menangkis, tiba-tiba perahu itu miring hingga Boan Sip kehilangan keseimbangan tubuhnya! Lin Lin menjadi girang sekali karena merasa yakin bahwa kali ini ia tentu akan dapat memukul mampus musuh besarnya ini, akan tetapi tiba-tiba dari samping meluncur sehelai sabuk sutera hijau yang panjang dan lemas dan tahu-tahu sabuk itu telah melingkar pergelangan tangan yang melakukan pukulan hingga sekarang menjadi gagal. Ketika ia hendak melepaskan sabuk yang melibat pergelangan tangan lengannya, tiba tiba Yousuf menarik ujung sabuk yang dipegangnya dan tubuh Lin Lin menjadi limbung dan hampir jatuh!

 “Nona, sabar dan tenanglah. Kini kau berada di dalam perahuku dan aku berhak melarang semua orang yang berada di sini untuk sembarangan bergerak dan membikin goncang perahuku! Apakah kau ingin perahuku ini terguling dan kita semua tenggelam?”

 Lin Lin ketika merasa betapa tarikan sabuk itu amat kuat, maklum bahwa orang Turki ini memiliki kepandaian tinggi, maka untuk sejenak menjadi ragu-ragu. Apalagi ketika mendengar bahwa perahu itu mungkin tenggelam di tengah sungai, ia lalu berdiri dengan bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

 Sebaliknya Boan Sip yang hampir saja menjadi korban pukulan Lin Lin menjadi marah sekali. Ia menuding ke arah muka Lin Lin sambil membentak, “Perempuan rendah! Aku telah berlaku baik dengan menawan dan menjagamu baik-baik, tak pernah mengganggumu, oleh karena aku sayang padamu. Akan tetapi sekarang, baru saja kau terlepas dari belenggu, gerakanmu pertama kali adalah untuk membinasakan aku! Benar-benar kau tak boleh diberi kesempatan hidup lagi!” Sambil berkata demikian, Boan Sip lalu mencabut golok besarnya dan maju menyerang Lin Lin dengan muka buas!

 Lin Lin bukanlah seorang gadis lemah dengan cepat ia dapat mengelak dan balas menyerang dengan kepalan tangannya.

 “Hai, tahan, tahan!” teriak Yousuf, akan tetapi dalam marahnya, Boan Sip tidak mempedulikan teriakan ini. Tiba-tiba sebuah sinar hijau berkelebat dan tahu-tahu golok di tangan Boan Sip telah terlepas dari pegangan dan ternyata gagangnya telah tergulung oleh sutera hijau yang dilepas oleh Yousuf.

 “Yo-suhu! Apa maksudmu menyerangku?” tanya Boan Sip dengan muka merah.

  

 “Saudara Boan! Kau berada di dalam perahuku dan siapa pun adanya kau, orang-orang di dalam perahuku harus tunduk kepadaku! Nona, kau masuklah ke dalam bilik kecil dan beristirahatlah, selama ada aku di sini, jangan kau takut diganggu orang! Saudara Boan, tidak ingatkah kau sedang berhadapan dengan siapa, maka kau berani memperlihatkan kekerasanmu?” Suara orang Turki ini sekarang terdengar amat berpengaruh dan Lin Lin mulai menaruh kepercayaan kepada orang asing yang aneh dan lihai ini, maka oleh karena ia memang merasa lelah sekali, ia lalu masuk ke dalam bilik itu dan memasang palang pintunya. Karena merasa aman dan lega bahwa dirinya terhindar dari kekuasaan Boan Sip, gadis yang telah beberapa lama tak dapat tidur dengan hati tenteram, kini segera pulas di atas sebuah pembaringan bambu yang kasar!

 Sebaliknya, di luar bilik, sambil duduk di lantai perahu, Yousuf lalu memberi teguran dan nasihat kepada Boan Sip yang mendengarkan dengan muka merah dan kepala ditundukkan.

 Siapakah adanya orang Turki yang berpengaruh dan lihai ini? Dia ini sebenarnya adalah seorang penyelidik dari Angkatan Perang Turki yang telah siap di perbatasan Tiongkok dan hendak menyerbu. Yousuf sebenarnya masih seorang bangsawan keturunan pangeran dan oleh karena kepandaiannya yang tinggi maka ia telah terpilih untuk menjadi pemimpin mata-mata dan diam-diam mengadakan kontak dengan para perwira bangsa Han yang dapat dibujuk untuk bersekutu dengan tentara Turki dan untuk bersama-sama menjatuhkan pemerintah yang sekarang. Di antara perwira-perwira yang mengadakan hubungan dengannya, terdapat Boan Sip yang diam-diam juga melakukan pengkhianatan oleh karena pengaruh harta, hadiah dan janji-janji yang muluk dari Yousuf. Sesungguhnya, tentara Turki ini sekali-kali tidak ingin menjajah Tiongkok, akan tetapi mereka ini mempunyai tujuan tertentu, yaitu untuk menguasai sebuah pulau kecil di pantai Laut Tiongkok, oleh karena menurut penyelidik mereka yang terdiri dari Yousuf dan beberapa orang kawannya di pulau kecil itu terdapat sumber emas yang besar, bahkan menurut keterangan mereka ini, di situ terdapat sebuah bukit penuh dengan logam berharga ini.

 Boan Sip yang menjadi pengkhianat negara itu telah lama mengadakan perhubungan dengan Yousuf bahkan hari ini telah berjanji untuk mengadakan pertemuan di sungai itu, hingga bukan tidak disengaja bahwa Yousuf telah menanti di sungai dengan perahunya. Akan tetapi, adanya Lin Lin di situ adalah terjadi di luar rencana Yousuf. Boan Sip yang mewakili kawan-kawannya atau rombongan perwira dan pejabat tinggi yang bersekutu dengan pihak Turki, mendapat tugas untuk membuktikan cerita pihak Turki tentang pulau emas, oleh karena rombongan perwira pengkhianat ini belum percaya akan keterangan yang diberikan oleh orang-orang Turki.

 Demikianlah, maka perahu Yousuf yang membawa Boan Sip dan Lin Lin itu meluncur cepat menurut aliran Sungai menuju ke laut.

 “Saudara Boan,” kata Yousuf dalam pelayaran itu, “tugas kita kali ini adalah tugas penting dan besar maka janganlah urusan pribadi mengacau tugas penting ini. Kalau kiranya engkau tidak sanggup mentaati aku yang dalam hal ini lebih berkuasa daripada kau, maka kau boleh turun dan meninggalkan perahu ini.”

 Boan Sip mendengar kata-kata orang Turki ini dengan tunduk. Ia maklum akai kelihaian dan kekuasaan Yousuf maka ia tidak berani membantah.

 “Akan tetapi, bagaimanakah dengan gadis ini?” tanyanya. “Apakah tidak lebih baik dia disingkirkan agar jangan menjadikan penghalang bagi pekerjaan kita?

 Yousuf menggeleng kepala dengan keras. “Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisa! Mengapa engkau tidak bisa memikir dengan lebih luas dan hati-hati? Gadis itu telah melihat perahuku, dan yang lebih panting lagi, ia telah melihat aku! Hal ini berbahaya sekali oleh karena ia tentu merasa heran melihat seorang asing di sini dan kalau hal ini ia ceritakan di luaran, bukankah akan mendatangkan kecurigaan dan menjadi berbahaya sekali? Apalagi ia telah melihat bahwa kita saling kenal?”

 “Nah, mengapa kau tidak membinasakan dia saja? Lemparkan dia ke dalam air sungai dan habis perkara! Kau takkan terancam bahaya sedangkan aku pun akan dapat melenyapkan seorang musuh besar!” kata Boan Sip lebih lanjut.

 Kembali Yousuf menggeleng-geleng kepala dan menggunakan tangan kirinya untuk membikin beres sorbannya yang terbuat daripada kain kuning.

 “Ini lebih-lebih tidak boleh lagi! Kami bangsa Turki mempunyai sebuah kepercayaan suci yang kami pegang teguh. Kepercayaan-kepercayaan ini banyak sekali macamnya dan di antaranya ialah bahwa dalam melakukan sebuah tugas mulia dan besar, sekali-kali kami tidak boleh menurunkan tangan jahat kepada orang-orang wanita!”

 Boan Sip mengangguk-angguk maklum dan ia sama sekali tidak pernah mengira bahwa orang Turki yang cerdik ini sebetulnya hanya menggunakan alasan kosong belaka dan bahwa pada hakekatnya Yousuf merasa kasihan dan suka kepada Lin Lin!

 Demikianlah, perahu itu meluncur terus makin cepat membawa Lin Lin yang masih tertidur di dalam bilik perahu, dan makin lama sungai yang dilalui perahu makin lebar, tanda bahwa mereka telah tiba dekat laut.

  

 Tiba-tiba para penumpang perahu itu terkejut sekali oleh karena perahu itu telah tertumbuk oleh sebuah perahu lain dengan keras! Yousuf dan Boan Sip segera memandang dan mereka melihat sebuah perahu kecil melintang di depan perahu mereka dan di dalam perahu itu duduk dua orang yang memegang dayung. Dua orang ini bukan lain Si Nelayan Cengeng Kong Hwat Lojin dan muridnya Ma Hoa, gadis yang berpakaian sebagai seorang pemuda itu!

 Bagaimana mendadak Nelayan Cengen dan Ma Hoa dapat muncul di sungai itu?? Ini adalah akibat daripada malapetaka yang menimpa keluarga Ma Hoa yang perlu dituturkan lebih dulu agar jalan cerita dapat diikuti dengan lancar. Sebagaimana diketahui, ketika Nelayan Cengeng bersama muridnya, dibantu oleh Ang I Niocu dan Lin Lin, melabrak para perwira yang dipimpin oleh Beng Kong Hosiang, suheng dari Hai Kong Hosiang, maka seorang perwira dapat mendengar percakapan mereka dan dapat mengetahui rahasia Ma Hoa bahwa “pemuda” itu adalah gadis atau puteri dari Ma Keng In, perwira Sayap Garuda! Hal ini tentu saja dibongkar oleh perwira itu dan pada suatu hari Ma Keng In ditangkap oleh para perwira atas perintah kaisar! Tidak saja Ma Keng In yang ditangkap, akan tetapi juga seluruh keluarganya, dan mereka ini semua dijatuhi hukuman mati sebagai pemberontak-pemberontak atau pengkhianat!

 Untung sekali bahwa Ma Hoa dapat melarikan diri. Di depan sidang pengadilan yang memeriksa perkaranya, Ma Keng In yang jujur secara gagah mengakui bahwa Ma Hoa adalah anaknya, bahkan dengan suara lantang, perwira ini berkata,

 “Memang Ma Hoa adalah anakku, dan aku merasa menyesal dan bosan dengan kedudukan dan pekerjaan sebagai Perwira Sayap Garuda, dan aku merasa sebal dan benci melihat sepak terjang kawan-kawan sejawatku, yang menjadi perwira kerajaan tidak untuk menjaga keamanan rakyat bahkan sebaliknya berlaku sewenang-wenang dan mengandalkan pengaruh untuk menindas dan mencekik orang-orang lemah! Aku Ma Keng In, merasa berbabagia bahwa anakku yang tunggal itu tidak mengikuti jejakku yang sesat, dan benar-benar menjadi seorang pelindung rakyat yahg gagah perkasa! Aku kutuk perbuatan-perbuatan kawan sejawatku di bawah pimpinan Beng Kong Hosiang dan Hai Kong Hosiang, pendeta-pendeta palsu yang kejam dan jahat!”

 Tentu saja ucapannya ini merupakan keputusan terakhir dan ia beserta keluarganya semua mendapat hukuman mati! Ketika Ma Hoa mendengar malapetaka yang dialami oleh seluruh keluarganya itu ia jatuh pingsan di bawah kaki gurunya, Si Nelayan Cengeng! Ketika ia siuman kembali ia menangis tersedu-sedu dan gurunya menangis pula bahkan lebih keras dan lebih hebat daripada tangis muridnya sendiri.

 Tiba-tiba Ma Hoa berdiri dan mencabut pedangnya. “Suhu, saksikanlah sumpah teecu! Aku bersumpah untuk membasmi para perwira durna penjahat-penjahat liar yang mempergunakan kedudukan dan pangkat untuk menjadi kedok kejahatan mereka!”

 Nelayan Cengeng menghiburnya dan kemudian ia membawa muridnya yang bersedih itu untuk melakukan perjalanan hingga mereka tiba di sungai yang mengalir di sebelah utara. Di dalam perjalanan mereka, Nelayan Cengeng dan Ma Hoa tiada hentinya memusuhi para perwira yang bertugas dan dari seorang perwira mereka dapat mendengar tentang pengkhianatan beberapa orang rombongan mereka yang mengadakan hubungan dengan para mata-mata bangsa Turki dan mereka yang dengan diam-diam mengadakan persekutuan dengan orang-orang Mongol!

 Makin bencilah Nelayan Cengeng dan muridnya terhadap perwira-perwira Sayap Garuda yang palsu ini. Selain memusuhi para perwira yang bertemu dengan mereka juga kedua orang ini sekalian mencari-cari jejak Cin Hai dan Kwee An, serta mengharapkan untuk bertemu dan menggabung dengah Ang I Niocu dan Lin Lin.

 Dan kebetulan sekali, pada pagi hari ketika mereka berdua mendayung perahu ke mudik, mereka melihat sebuah perahu besar bergerak ke hilir. Mata Nelayan Cengeng yang tajam segera melihat adanya seorang yang berpakaian perwira Sayap Garuda di dalam perahu itu, dan melihat pula seorang Turki. Maka sengaja ia menabrakkan perahunya yang kecil kepada perahu depan itu hingga mengejutkan para penumpang perahu di depan itu!

 Dua orang pendayung perahu Yousuf marah sekali dan mereka lalu mendamprat kepada nelayan tua itu,

 “Eh, tua bangka kurang ajar! Apakah matamu telah buta?”

 Nelayan Cengeng tertawa bergelak mendengar makian ini. “Ha, ha, ha, ha! Kalau mataku buta, bagaimana aku bisa menumbuk perahumu?” Sambil berkata demikian, ia mengangkat dayungnya dan memukul ke badan perahu di depan itu sekerasnya. Perahu itu bergoncang hebat dan bolong! Nelayan Cengeng sengaja memukul di bagian yang berada di bawah permukaan air, hingga sebentar saja air sungai mengalir masuk ke dalam perahu Yousuf!

 Bukan main marah dan terkejutnya kedua orang pendayung itu. Mereka berteriak-teriak, “Celaka! Perahu bocor! Perahu bocor! Celaka, kita bertemu dengan orang gila!”

  

 Memang hebat pukulan dayung yang dilakukan oleh Nelayan Cengeng itu oleh karena bagian yang pecah demikian besarnya hingga sebentar saja air yang mengalir masuk sudah demikian banyaknya sukar dibendung lagi!

 “Kurang ajar!” terdengar Yousuf berseru dan tubuhnya lalu meloncat, diikuti oleh Boan Sip yang merasa kuatir sekali melihat betapa perahu yang ditumpanginya mulai tenggelam dan miring! Kedua pendayung itu pun tidak berdaya lagi dan mereka keduanya lalu menceburkan diri ke dalam air!

 Terdengar Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak, seakan-akan kejadian itu merupakan suatu hal yang lucu sekali, bahkan Ma Hoa dalam kesedihannya ikut tersenyum melihat perbuatan gurunya yang nakal.

 “Hayo kita kejar mereka, Suhu!” serunya ketika melihat Boan Sip yang berpakaian perwira.

 “Memang aku hendak mengejar mereka!” kata suhunya lalu mendayung perahu kecil ke pinggir.

 Pada saat itu terdengar suara memanggil yang keluar dari perahu Yousuf yang sudah hampir tenggelam,

 “Cici Hoa! Lo-cianpwe!!”

 “Eh, itu Lin Lin!” kata Ma Hoa dengan girang sekali dan Lin Lin yang telah membuka pintu bilik dan melihat bahwa perahu yang ditumpanginya hampir tenggelam, segera menggenjot tubuhnya yang melayang ke perahu Ma Hoa!

 “Lin Lin! Bagaimana kau bisa berada di perahu itu?” tanya Ma Hoa dengan heran.

 “Cici! Tangkap penjahat besar itu! Perwira itu adalah Boan Sip, musuh besarku! Mereka tadi menawanku di dalam perahu!”

 Bukan main marahnya Ma Hoa mendengar ini. Ia dan gurunya sudah sampai di pinggir dan di situ Boan Sip bersama Yousuf telah menanti dengan muka marah!

 Lin Lin tak membuang waktu lagi, ia melompat dan menerjang Boan Sip yang menangkis sambil tersenyum mengejek. “Sekarang terpaksa aku harus membunuhmu!” katanya. Akan tetapi pada saat itu, dari samping berkelebat sinar pedang yang cepat gerakannya hingga ia menjadi terkejut sekali. Tidak tahunya, Ma Hoa yang sudah tiba di situ lalu menyerang dengan pedangnya. Melihat datangnya serangan yang lihai ini, Boan Sip lalu melompat ke pinggir sambil mencabut goloknya dan bertempurlah mereka dengan hebat dan seru, Lin Lin yang tidak bersenjata lalu menghampiri perahu Ma Hoa dan mengambil keluar sebuah dayung. Dengan dayung ini ia lalu mengeroyok Boan Sip lagi dengan melancarkan pukulan-pukulan sengit.

 Sementara itu, Nelayan Cengeng berhadapan dengan Yousuf yang masih kelihatan tenang-tenang saja. Ketika orang tua ini telah datang dekat, Yousuf berkata dalam bahasa Han yang cukup lancar,

 “Nelayan tua, apakah tiba-tiba setan yang berkeliaran di sungai ini memasuki tubuhmu hingga tanpa sebab kau memukul pecah perahuku? Kalau betul demikian halnya, jangan kuatir, aku sudah biasa mengusir iblis yang memasuki tubuh manusia!”

 Ucapan ini dikeluarkan oleh Yousuf setengah bersungguh-sungguh setengah mengejek oleh karena betapapun juga ia merasa mendongkol sekali melihat perahunya dirusak orang tanpa sebab. Untuk sesaat Nelayan Cengeng tercengang mendengar ini, kemudian ia tertawa bergelak sampai mengeluarkan air mata dari kedua matanya. Yousuf tidak tahu akan keanehan orang tua ini yang selalu mengeluarkan air mata, ia menjadi curiga.

 “Ah, benar-benar ada setan memasuki tubuhmu!” Yousuf tangannya dilempangkan ke depan menuju ke arah dada dan kepala Nelayan Cengeng, kemudian ia membentak keras sambil mendorongkan kedua tangannya ke depan,

 “Setan penasaran, keluarlah kamu dari tubuh orang tua ini!”

 Tiba-tiba suara tertawa Nelayan Cengeng terhenti oleh karena orang tua ini menjadi kaget sekali. Dorongan orang Turki ini mengeluarkan angin yang aneh dan ia merasa seakan-akan semangatnya hendak didorong keluar dari tubuhnya. Ia tidak tahu bahwa benar-benar Yousuf mengeluarkan aji kesaktiannya untuk mengusir roh jahat yang disangka bersembunyi di dalam tubuhnya. Cepat-cepat Nelayan Cengeng mengerahkan lweekangnya untuk memukul kembali tenaga dorongan yang dahsyat ini hingga Yousuf berseru,

 “Aha, setan dari manakah berani melawan tenagaku? Apakah benar-benar kau tidak mau keluar dari tubuh orang tua ini?”

 Sikap Nelayan Cengeng menjadi sungguh-sungguh, oleh karena ia mengerti bahwa orang Turki ini bukan sedang main-main dan menyangka betul-betul ia sedang kemasukan setan sungai. Maka ia segera menjura dan berkata,

 “Tuan, kau sungguh lihai dan baik, bahkan kau terlampau baik terhadap kami orang-orang Han, terutama terhadap perwira itu yang bersama-sama denganmu di dalam perahu. Kebaikan itu selalu mengandung maksud tersembunyi yang kurang sempurna. Salahkah dugaan ini?”

  

 Terkejut hati Yousuf mendengar ini, dan ia berlaku hati-hati.

 “Ah, jadi aku telah salah sangka? Maaf, maaf. Perwira yang sedang bertempur itu memang kenalanku, akan tetapi apakah salahnya berkenalan di antara dua bangsa? Nelayan tua, tenagamu hebat sekali, dan apakah maksudmu merusak perahuku dan mengganggu perjalananku?”

 “Kalau Tuan tidak bersama dengan perwira itu, aku orang tua tidak nanti berani berlaku kurang ajar. Akan tetapi ketahuilah, bahwa perwira itu telah melakukan kejahatan besar dan bahwa ia telah berani menawan seorang gadis yang menjadi sahabat muridku! Agaknya Tuan juga melindungi perwira itu!”

 “Hem, siapa yang hendak melindungi dia?” kata Yousuf yang percaya penuh akan kegagahan Boan Sip. Akan tetapi ketika ia menengok dan memandang ke arah pertempuran, ia menjadi terkejut sekali. Biarpun Boan Sip berkepandaian tinggi, akan tetapi oleh karena dikeroyok oleh Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak rendah ilmu pedangnya, perwira ini menjadi terdesak hebat. Terutama dayung di tangan Lin Lin yang mengamuk hebat amat mendesaknya hingga kini Boan Sip hanya dapat menangkis sambil main mundur saja. Yousuf merasa terkejut dan khawatir. Betapapun juga Boan Sip adalah seorang utusan pihak perwira kerajaan untuk menyaksikan dan membuktikan adanya pulau emas itu. Kalau Boan Sip sampai kalah dan tewas, bagaimanakah pekerjaan yang sedang dikerjakan ini dapat menjadi beres? Ia memang tidak suka kepada Boan Sip, akan tetapi demi tugas pekerjaannya, ia harus membantu. Yousuf membuat gerakan dan hendak melompat membantu Boan Sip, akan tetapi tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nelayan Cengeng telah berdiri di depannya sambil bertolak pinggang.

 “Biarlah yang muda bertempur melawan yang muda pula. Kita tua sama tua boleh main-main, kalau kau kehendaki. Dengarlah, orang asing, aku sama sekali tidak hendak mengganggumu kalau saja engkau tidak turun tangan terlebih dulu. Biarkan perwira keparat itu berkelahi melawan muridku dan musuhnya, dan takkan mengganggu sedikit pun!”

 Kini Yousuf maklum bahwa pertempuran tak dapat dihindarkan lagi, maka ia lalu memandang kepada nelayan tua itu dengan penuh perhatian. Ia melihat bahwa nelayan ini biarpun kelihatan seperti seorang biasa akan tetapi mempunyai sepasang mata yang bersinar-sinar aneh, maka ia dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang ahli lweekeng yang tinggi ilmu kepandaiannya.

 “Kakek Nelayan, engkau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa, maka engkau berani main-main. Ketahuilah aku bernama Yousuf, dan di dalam negeriku, aku disebut Malaikat Pengusir Iblis! Kauminggirlah dan percayalah bahwa aku pun tak hendak mengganggu kedua anak muda itu. Aku hanya ingin mencegah terjadinya pertumpahan darah di antara mereka dan sahabatku!”

 Mendengar kata-kata ini, Nelayan Cengeng dapat mempercayai omongannya, oleh karena semenjak tadi pun ia maklum bahwa orang asing ini bukanlah orang jahat atau curang. Akan tetapi, setelah muridnya Lin Lin berhasil mendesak Boan Sip, mana ia memperbolehkan lain orang menolong perwira jahat itu?

 “Tidak bisa, Saudara You Se Fei (lidahnya tidak dapat menyebut nama Yousuf). Kalau kau bergerak, aku Khong Hwat Lojin pun terpaksa bergerak juga!”

 “Bagus! Marilah kita mencoba-coba kepandaian!” Sambil berkata demikian, Yousuf menarik keluar sebatang pedang hitam yang ujungnya melengkung ke atas dan kelihatannya tajam sekali! Pedang ini memang luar biasa indah, oleh karena pada gagangnya nampak dihias emas permata yang berkilauan! Nelayan Cengeng juga bersiap sedia dengan dayung yang sejak tadi terpegang di tangannya.

 “Lihat pedang!” Yousuf berseru sambil menubruk maju. Gerakannya gesit dan cepat, sedangkan kedua kakinya berdiri di atas ujung jari kaki, tanda bahwa ia sedang mempergunakan ilmu ginkangnya yang aneh dan lihai. Cara berdiri macam ini membuat ia cepat sekali dapat bergerak dan mengubah kedudukan. Melihat serangan ini, tahulah Khong Hwat Lojin bahwa ia berhadapan dengan orang pandai maka ia pun segera menggerakkan dayungnya dan mereka berdua lalu bertempur dengan hebat. Pedang di tangan Yousuf mengeluarkan angin dan menimbulkan bunyi bagaikan suling sedangkan dayung di tangan Nelayan Cengeng berputar seperti kitiran angin dan membuat debu mengepul ke atas!

 Demikianlah, di pagi hari yang cerah sunyi di tepi sungai itu, terjadilah pertempuran yang amat hebat dan dahsyat, sehigga dua orang pendayung perahu Yousuf yang telah berenang ke tepi, kini ke duanya berjongkok dengan tubuh menggigil karena ketakutan.

 Kepandaian Nelayan Cengeng untuk daerah utara sudah amat terkenal dan jarang ada jago dapat menandinginya, akan tetapi kini ia bertemu dengan seorang jago dari bangsa lain yang memiliki silat tinggi dan sama sekali asing baginya. Demikianpun Yousuf, baginya ilmu silat kakek nelayan ini hebat dan aneh hingga keduanya berlaku hati-hati sekali oleh karena tak dapat menduga lebih dulu perkembangan gerakan lawan.

  

 Sementara itu, Boan Sip sudah lelah sekali. Keringatnya mengucur membasahi seluruh tubuhnya dan wajahnya menjadi pucat oleh karena ia harus menghadapi serangan dua singa betina yang sedang mengamuk hebat! Sambil bertempur, Lin berkata, “Cici, kita harus buat mampus anjing ini. Dia inilah biang keladi malapetaka yang menimpa keluarga Kwee! Engko An tentu akan sangat berterima kasih kepadamu apabila engkau dapat membunuh anjing penjilat ini.”

 Mendengar ucapan ini, tentu saja Ma Hoa menjadi makin bersemangat untuk segera merobohkan Boan Sip, untuk membuktikan setia dan cintanya kepada tunangannya yang selalu terbayang di depan matanya itu! Ia mengertak gigi dan mainkan pedangnya dalam serangan yang paling berbahaya, sedangkan Lin Lin juga menggunakan dayung di tangannya untuk menyerang kalang kabut hingga Boan Sip makin terdesak saja. Ketika Boan Sip sedang melangkah mundur dengan bingung, tiba-tiba ia menginjak sebuah batu yang bundar licin hingga ia tergelincir dan terhuyung lalu terjatuh di atas tanah. Lin Lin dan Ma Hoa menubruk dan pedang Ma Hoa yang menusuk dadanya serta dayung Lin Lin yang menghantam kepalanya membuat nyawa Boan Sip melayang pada saat itu juga!

 Melihat betapa musuh besarnya telah menggeletak di atas tanah dalam keadan tak bernyawa, Lin Lin tiba-tiba merasa girang dan terharu sekali. Girang bahkan ia berhasil membunuh manusia yang amat dibencinya ini dengan tangan sendiri, dan terharu oleh karena teringat kepada orang tuanya. Tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata perlahan,

 “Ayah, anak yang puthau (tak berbakti) baru berhasil membalas dendam kepada anjing terkutuk ini!” Kemudian ia menangis terisak-isak ingat kepada ayahnya, ibu tirinya, dan saudara-saudaranya yang terbunuh mati oleh Boan Sip dan kawan-kawannya. Ma Hoa juga ikut merasa terharu dan sambil memeluk pundak Lin Lin, Ma Hoa lalu menangis pula.

 Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara Si Nelayan Cengeng dan Yousuf, masih berlangsung dengan ramai sekali. Akan tetapi, setelah bertempur hampir seratus jurus, Yousuf akhirnya harus mengakui keunggulan lawan. Dayung Si Nelayan Cengeng sungguh-sungguh hebat dan lihai sekali. Perlahan tapi tentu, orang Turki itu terdesak mundur dan terpaksa mempergunakan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari sambaran dayung!

 Pada saat Yousuf sudah terdesak sekali, tiba-tiba terdengar Lin Lin berseru, “Kong Hwat Locianpwe! Jangan mencelakai dia! Dia adalah penolongku!”

 Mendengar seruan ini, Nelayan Cengeng cepat melirik dan ketika ia melihat bahwa Boan Sip sudah dibinasakan ia lalu tertawa bergelak dan melompat mundur menahan gerakan dayungnya.

 Yousuf menjura sangat dalam sampai sorbannya hampir menyentuh tanah. “Kau orang tua sungguh hebat sekali dan patut menjadi guruku!”

 “Ah, jangan kau terlalu memuji, Saudara Yo Se Fei! Kepandaianmu pun hebat dan mengagumkan!” jawab Si Nelayan Cengeng.

 Kemudian Yousuf memandang ke arah Lin Lin dan senyumnya melebar serta pandangan matanya melembut. “Nona, kau benar-benar seorang berbudi tinggi.” Ketika pandangan matanya melihat mayat Boan Sip yang menggeletak di atas tanah ia menghela napas dan berkata,

 “Memang hukum alam adil sekali. Dia memang orang jahat dan sudah sepatutnya mati di ujung senjata!”

 Melihat sikap orang asing ini, Nelayan Cengeng menjadi tertarik hatinya. Ia memegang tangan orang itu dan berkata, “Sahabat, kita adalah sama orang gagah, biarpun kita berkebangsaan lain! Marilah kita bersahabat dan menuturkan riwayat masing-masing.”

 “Apakah kau terpengaruh pula oleh keadaan negara dan politiknya, orang tua?”

 Nelayan Cengeng tertawa terkekeh hingga kembali air matanya mengalir. “Siapa sudi memperhatikan keadaan politik yang jahat? Tidak, bagiku politik hanya satu yaitu yang jahat harus dibasmi dan yang baik dibela! Kau orang asing asal saja jangan mengganggu tanah air dan bangsaku, aku akan menjadi sahabat baikmu!”

 Kembali Yousuf menghela napas. “Kalian orang-orang Han memang aneh dan patut dikagumi! Kalian berjiwa patriot dan mencinta tanah air dan bangsa, akan tetapi kalian tidak mau terlibat dalam urusan ketatanegaraan dan segala politiknya yang serba berbelit-belit! Sebenarnya, mengapakah kalian bermusuhan dengan perwira itu?”

 Lin Lin maju dan memberi penjelasan. “Perwira itu adalah seorang jahat yang oleh karena ditolak lamarannya oleh Ayah terhadap diriku, lalu mengajak kawan-kawannya untuk membasmi keluargaku. Ayah serta kakak-kakak dan juga Ibuku telah dia bunuh habis. Tinggal aku dan seorang kakakku yang masih hidup. Ketika aku bertemu dengan dia dan bertempur, atas bantuan gurunya yang juga jahat ia berhasil menawanku dan membawaku ke sebuah tempat tahanan. Kemudian ia membawa aku lari dan bertemu dengan kau.”

 “Hm, pantas, pantas! Pantas kau membunuhnya, memang hutang nyawa harus dibayar jiwa pula!”

  

 “Dan kau hendak pergi ke manakah Saudara? Aku mendengar dari percakapanmu bahwa kau hendak pergi ke sebuah pulau dengan perwira itu,” kata pula Lin Lin.

 Yousuf termenung sejenak. Tiba-tiba ia mendapat pikiran yang tak disengaja. Telah lama ia mempunyai sebuah cita-cita untuk dapat menduduki tahta kerajaan. Ketika ia dan beberapa orang kawannya yang merantau mendapatkan pulau emas itu, telah timbul dalam hatinya cita-cita ini. Dengan memiliki semua harta kekayaan itu, mudah saja baginya untuk merebut kekuasaan Raja Turki yang sekarang dan menggantikannya. Memang masih ada darah pangeran dalam tubuh Yousuf dan sayangnya ia adalah seorang miskin. Kalau saja pulau itu dapat terjatuh ke dalam tangannya! Kini, melihat Lin Lin, ia merasa sangat tertarik dan suka. Ia merasa yakin bahwa di dalam kehidupannya yang dulu tentu ada hubungan sesuatu antara dia dan Lin Lin, oleh karena entah mengapa, ia merasa suka sekali dan rela membela gadis itu, biar dengan jiwanya sekalipun. Perasaan inilah yang merupakan cita-cita ke dua baginya, dan timbul setelah ia bertemu dengan Lin Lin. Ia juga ingin mendapatkan harta di Pulau Emas itu, mengangkat diri sendiri menjadi raja dan membujuk Lin Lin agar suka menjadi permaisurinya. Inilah cita-citanya dan inilah pikiran yang pada saat itu mengaduk hati dan otaknya. Ia telah melihat kegagahan Nelayan Cengeng dan muridnya yang ternyata seorang gadis pula, telah menyaksikan pula kegagahan Lin Lin yang tidak lemah. Kalau ditambah dengan dia sendiri menjadi empat orang, dan bukankah empat orang gagah yang tangguh, kuat, akan sanggup mengusir musuh yang manapun juga?

 Untuk menjawab pertanyaan Lin Lin ia mengangguk, “Memang benar, Nona Lin Lin, aku hendak pergi menuju ke sebuah Pulau Emas. Sayang sekali perahu telah rusak dan tenggelam.”

 Mendengar disebutnya Pulau Emas, Nelayan Cengeng tertarik sekali dan ia lalu berkata, “Saudara Yo Se Fei! Benar-benar adakah pulau dongeng itu? Semenjak aku masih kecil, seringkali aku mendengar dongeng tentang Pulau Emas, dan dalam beberapa hari ini, telah dua kali aku mendengar pula tentang Pulau Emas ini.”

 Yousuf memandangnya tajam. “Telah dua kali? Lo-enghiong, dari siapa pulakah kau mendengar tentang Pulau Emas ini?”

 Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu, dalam perantauannya dengan Ma Hoa, ia bertemu dengan seorang bangsa Mongol tua yang juga menyebut akan adanya Pulau Emas itu, bahkan orang Mongol itu dalam mengobrol telah membuka rahasia bahwa Pangeran Vayami, pemimpin Agama Buddha Merah itu, juga hendak mencari pulau ini.

 Yousuf terkejut sekali mendengar ini. “Ah, sudah kusangka bahwa Pangeran Vayami tentu mempunyai maksud tertentu dengan kunjungannya ke pedalaman dan hendak menghadap Kaisar Tiongkok! Tidak tahunya, ia juga menghendaki pulau itu. Ah, kita harus cepat ke sana, jangan sampai didahului orang!”

 Melihat bahwa orang Turki ini pucat dan bingung, Nelayan Cengeng bertanya lagi, “Saudara yang baik, sebetulnya pulau itu dimanakah letaknya dan apa namanya?”

 Yousuf telah habis sabar, akan tetapi oleh karena maklum bahwa kakek nelayan yang gagah ini merupakan tenaga bantuan yang amat berguna, ia bersabar dan menerangkan dengan singkat, “Pulau itu bernama Kim-san-to (Pulau Gunung Emas) dan berada di sebelah timur pantai Tiongkok. Kalau belum tahu jalannya, memang sukar sekali rnencari pulau yang berada di antara puluhan pulau-pulau kecil lain itu.”

 Nelayan Cengeng menjadi sangat tertarik hatinya dan demikianlah, kedua orang ini bercakap-cakap dan Yousuf dengan amat sabarnya menjawab tiap pertanyaan Nelayan Cengeng sehingga kakek nelayan ini akhirnya terbangkit pula keinginan tahunya dan ia ingin sekali melihat dan menyaksikan dengan mata sendiri keadaan pulau yang telah dikenal dalam dongeng itu.

 Sementara itu, Lin Lin lalu menceritakan kepada Ma Hoa tentang semua pengalamannya dan ketika Ma Hoa bertanya di mana adanya Ang I Niocu, ia menjawab, “Siapa yang dapat mengetahui dimana adanya dia sekarang.” Lin Lin menghela napas khawatir. “Sungguh sial sekali, belum juga kami bertemu dengan Hai-ko, sekarang Cici Im Giok sudah harus berpisah lagi denganku! Ah, sekarang menjadi makin ruwet, karena selain harus mencari Hai-ko dan Ang-ko, aku pun harus mencari Cici Im Giok! Eh, Enci Hoa, semenjak tadi aku saja yang banyak mengobrol sedangkan kau hanya menjadi pendengar saja. Kauceritakanlah, bagaimanan kau bisa sampai di sini dan menolong aku?”

 Memang Ma Hoa orangnya agak pendiam dan tak banyak bicara. Kini mendengar pertanyaan Lin Lin, tiba-tiba kedua matanya menjadi merah dan ia mengeraskan hati untuk menahan keluarnya air matanya. Lin Lin terkejut dan memegang lengannya. “Enci Ma Hoa, apakah yang telah terjadi? Kau nampak pucat sekali!”

  

 Dengan mengeraskan hati, Ma Hoa lalu menceritakan malapetaka yang menimpa keluarganya, akan tetapi ketika melihat betapa sepasang mata Lin Lin yang lebar itu memandangnya dengan terbelalak dan dari kedua matanya itu mengalir butiran-butiran air mata karena terharu dan kasihan, Ma Hoa tak dapat menahan lagi kesedihannya. Ia mengakhiri penuturannya dengan kata-kata yang sukar keluarnya, “Adik Lin, habislah seluruh keluargaku, mereka telah binasa semua, tinggal aku seorang diri... sebatangkara...!”

 Lin Lin memeluk gadis itu dan keduanya lalu bertangis-tangisan oleh karena memang terdapat banyak persamaan antara mereka berdua, oleh karena seperti juga Ma Hoa, keluarga Lin Lin juga habis binasa.

 “Enci Hoa, jangan kau khawatir, bukankah kau masih mempunyai kawan-kawan baik seperti Suhumu itu dan aku dan Engko An? Juga Hai-ko dan Enci Im Giok adalah kawan-kawan yang baik dan yang senantiasa bersiap sedia membantu dan menolongmu!”

 Mendengar hiburan ini, agak redalah kesedihan yang menekan hati Ma Hoa dan mereka berdua lalu memandang ke arah Yousuf yang masih bercakap-cakap dengan Nelayan Cengeng. Sebuah permufakatan telah dicapai oleh kedua orang ini, yaitu Nelayan Cengeng telah mengambil keputusan untuk ikut Yousuf mencari Pulau Emas!

 “Hai, Ma Hoa dan Lin Lin, ke marilah! Jangan hanya bertangis-tangisan saja, ada kabar baik yang harus dibicarakan bersama!” Si Nelayan Cengeng berkata dan kedua orang gadis itu lalu menghampiri mereka sambil menyusut air mata dengan saputangan.

 Nelayan Cengeng lalu memberitahukan bahwa mereka bertiga akan ikut Yousuf mencari Pulau Emas itu.

 “Akan tetapi, Locianpwe, bagaimana dengan usahaku mencari saudara dan kawan-kawanku?”

 Nelayan Cengeng tersenyum. “Dengarlah, Lin Lin. Kita tidak tahu ke mana perginya mereka itu dan tanpa petunjuk yang tepat, ke manakah kita harus mencari mereka! Pula, dari Saudara Yo Se Fei ini aku mendengar bahwa besar sekali kemungkinan Pangeran Vayami juga akan pergi mencari Pulau Emas ini hingga bukan tak mungkin bahwa Hai Kong Hosiang akan menemani rombongan Pangeran Vayami itu. Sudah terang bahwa Cin Hai, Kwee An, maupun Ang I Niocu mengejar-ngejar hwesio itu dan apabila hwesio itu berada dalam rombongan Pangeran Vayami, tentu mereka akan menuju ke pulau itu pula! Nah, bukankah ini lebih baik daripada kita berkeliaran tidak karuan tanpa tujuan tertentu?”

 Lin Lin menganggap alasan ini cukup kuat, oleh karena ia tahu bahwa Ang I Niocu sedang mencari Cin Hai dan Kwee An, sedang kedua pemuda itu mengejar Hai Kong Hosiang, maka kalau benar hwesio itu pergi juga mencari pulau emas, memang bukan tak mungkin mereka semua menuju ke tempat yang sama! Maka akhirnya ia berkata,

 “Terserah kepada Locianpwe saja, aku yang muda dan bodoh hanya menurut dan percaya penuh kepadamu, orang tua!”

 Mendengar persetujuan yang keluar dari mulut gadis ini, Yousuf menjadi girang sekali, akan tetapi ia menyembunyikan perasaannya ini dan berkata,

 “Nah, kita berempat bisa berangkat sekarang juga, akan tetapi, perahumu begitu kecil. Sayang sekali perahuku telah tenggelam!”

 Nelayan Cengeng biarpun sudah tua, akan tetapi pandangan matanya tajam. Melihat wajah orang Turki itu berseri-seri ketika mendengar kata-kata persetujuan yang diucapkan oleh Lin Lin, di dalam hatinya timbul kecurigaan yang membuatnya menjadi hati-hati. Akan tetapi, sambil tertawa ia menjawab pertanyaan Yousuf, “Apakah susahnya untuk mendapatkan perahu yang tenggelam?” Setelah berkata demikian, kakek nelayan ini lalu memperlihatkan kepandaiannya di dalam air yang benar-benar hebat.

 Ia menanggalkan jubah luarnya dan dengan pakaian ringkas lalu meloncat ke dalam air. Tubuhnya yang kurus itu terjun ke dalam air tanpa bersuara seakan-akan sebatang anak panah dilepas ke dalam air saja. Agak lama semua orang menanti dengan hati berdebar, kecuali Ma Hoa yang sudah maklum akan kepandaian gurunya. Kemudian air itu bergelombang hebat dan dari bawah muncullah tubuh perahu Yousuf yang tadi tenggelam! Ternyata Si Nelayan Cengeng telah mendapatkan tubuh perahu itu dan menariknya ke atas permukaan air dalam keadaan miring hingga tidak ada air yang memasuki tubuh perahu itu. Kemudian Si Nelayan Cengeng berenang cepat ke pinggir dan sekali ia menggerakkan tangan, perahu besar itu dapat didorongnya ke pinggir hingga meluncur cepat dan mendarat di pinggir sungai! Yousuf segera menarik perahu itu ke atas dan tiada hentinya memuji.

 “Ah, kau betul-betul gagah luar biasa. Di darat kau telah membuat aku kagum, akan tetapi kepandaianmu di air ini betul-betul membuat aku tunduk!” Sambil berkata demikian Yousuf lalu menjura di depan Kong Hwat Lojin yang telah melompat ke darat. Akan tetapi kakek nelayan itu hanya tertawa sambil mengeringkan tubuhnya dengan jubah luarnya yang tadi ditanggalkan, lalu berkata,

 “Sudahlah di antara kawan sendiri mana ada aturan puji-memuji? Lebih baik kita sekarang memperbaiki perahumu ini agar dapat segera berangkat!”

  

 Kedua orang itu lalu memperbaiki badan perahu yang tadi pecah berlubang karena pukulan dayung Si Nelayan Cengeng dan sebentar saja perahu itu telah baik kembali. Yousuf lalu memerintahkan kedua orang pembantunya untuk pergi dari situ oleh karena ia tak memerlukan tenaga mereka lagi. Ia merogoh kantongnya dan memberi empat potong uang emas kepada dua orang itu yang menerimanya dengan girang.

 Setelah itu, maka berangkatlah Yousuf bersama Si Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Lin Lin. Perahu mereka meluncur cepat oleh karena selain terbawa hanyut oleh aliran sungai yahg deras, juga dibantu oleh tenaga dayung Si Nelayan Cengeng yang kuat sekali. Sebelum senja hari, perahu mereka telah sampai di mulut sungai dan memasuki laut yang luas!

 Baik kita tinggalkan dulu Lin Lin bersama kawan-kawannya yang menuju ke Pulau Kim-san-to itu, dan kita mengikuti pengalaman Kwee An!

 Ketika terjadi perkelahian bebas di atas perahu Pangeran Vayami dan menerima tendangan di betisnya yang dilakukan oleh Pangeran Mongol itu hingga ia terjatuh ke dalam sungai, Kwee An telah mencoba tenaga dan kepandaiannya yang dipelajari dari Nelayan Cengeng untuk berenang ke pinggir. Akan tetapi, aliran air sungai itu amat deras dan kuatnya, hingga usahanya gagal bahkan tubuhnya hanyut dengan cepatnya!

 Baiknya Kwee An telah mendapat latihan dari Nelayan Cengeng, kalau tidak, pasti ia akan tenggelam atau tubuhnya akan hancur terbentur pada batu-batu karang yang banyak menonjol di permukaan air. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya dan menggunakan gerakan Ular Air Menyeberang Laut berenang sambil mengikuti aliran air dalam cara berlenggang-lenggok bagaikan seekor ular hingga ia dapat menghindarkan diri daripada tubrukan dengan batu-batu karang. Ia masih dapat melihat betapa perahu di mana Cin Hai masih bertempur seru melawan Hai Kong Hosiang itu terbakar hebat, hingga diam-diam ia menjadi gelisah, menguatirkan keselamatan kawannya itu. Akan tetapi, sungai itu mengalir dalam sebuah tikungan yang tajam sekali hingga ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk menjaga keselamatan dirinya sendiri.

 Setelah hanyut jauh sekali, sedikitnya terpisah lima li dari tempat di mana ia terjatuh, aliran air mulai lemah dan dengan hati girang Kwee An berenang ke pinggir dengan maksud setelah dapat mendarat akan segera lari kembali ke tempat tadi dan membantu Cin Hai. Akan tetapi, tiba-tiba ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat beberapa ekor binatang aneh yang berenang cepat menuju ke arah dirinya. Kwee An cepat berenang ke tepi, akan tetapi, kembali ia terkejut oleh karena binatang-binatang seperti yang sedang berenang di tengah sungai itu, terdapat pula di darat dan memenuhi tepi sungai. Agaknya mereka sedang berjemur diri di pantai itu dan jumlah yang berada di pantai bahkan ada seratus lebih.

 Binatang-binatang yang terlihat oleh Kwee An ini adalah binatang sebangsa buaya, akan tetapi lebih menyerupai cecak besar dan panjangnya sampai ada sepuluh kaki dan mulutnya terbuka lebar. Ketika Kwee An tiba di tepi, maka binatang-binatang yang berada di pantai itu pun lalu maju merangkak dan menyerbu.

 Kwee An menjadi bingung. Untuk naik ke darat, puluhan ekor binatang buas ini telah siap menanti sedangkan untuk tinggal di dalam air, dari tengah telah berenang beberapa belas ekor yang menuju kepadanya. Ia pikir, lebih baik menghadapi puluhan ekor di darat daripada belasan ekor di air, oleh karena binatang itu dapat berenang cepat sekali sedangkan kepandaiannya di dalam air masih rendah. Ia lalu terus berenang ke pinggir dan ketika air telah menjadi dangkal hingga sampai ke paha, dari tepi telah turun lima ekor yang terbesar dan cepat menyerbunya dengan mulut ternganga lebar. Kwee An lalu menggenjot tubuhnya melompat hingga kedua kakinya melewati permukaan air dan ketika dua ekor buaya itu menyambar dengan mulut mereka yang runcing, ia lalu menendangkan kaki kanan ke arah kepala binatang itu dan mempergunakan kepala itu sebagai batu lonpatan ke darat.

 Akan tetapi jumlah binatang-binatang itu terlalu banyak hingga ke mana saja ia melompat, ia selalu disambut oleh beberapa ekor buaya yang menyerbunya dengan dahsyat dan liar. Kwee An lalu mempergunakan kecepatan dan seluruh tenaganya untuk melawan. Ia menendang, memukul, menangkap ekor dan membanting, hingga sebentar saja puluhan ekor binatang kena dibinasakan. Akan tetapi yang datang makin banyak saja hingga Kwee An kehabisan tenaga dan menjadi ngeri dan jijik. Binatang-binatang yang masih hidup segera menerkam dan menyerang yang terluka dan makan daging kawan-kawannya sendiri, sedangkan yang lain-lain masih saja menyerbu dengan hebat. Oleh karena merasa ngeri melihat banyaknya binatang yang mengeroyoknya, dan oleh karena tenaganya tadi memang telah banyak dihabiskan untuk melawan air hingga ia menjadi lelah sekali, maka Kwee An berlaku kurang cepat hingga tiba-tiba ia merasa kaki kirinya sakit sekali. Ia menengok dan melihat bahwa seekor buaya telah berhasil menggigit betis kaki kirinya. Cepat Kwee An berjongkok dan sekali tangannya bergerak, maka dua buah jari tangannya berhasil memasuki rongga mata buaya yang menggigit itu! Binatang itu merasa kesakitan dan tak terasa pula mulut yang menggigit betis mengendor hingga dengan cepat melepaskan kakinya! Darah mengucur membasahi kaus kaki dan celananya, dan dengan muka meringis kesakitan, pemuda itu menjadi begitu marah hingga ia lalu mengamuk hebat! Ia mencabut pedangnya dan dengan senjata ini ia menghajar semua buaya yang berani mendekat hingga mayat binatang itu sampai bertumpuk-tumpuk dan malang melintang di sekitarnya.

  

 Tiba-tiba terdengar suara suitan keras dan aneh! Buaya-buaya yang masih hidup dan belum terluka, lalu nampak terkejut dan buru-buru mereka lari ke sungai! Kwee An sudah terlalu lemah, maka kepalanya menjadi pening dan pemandangan matanya berkunang-kunang.

 Ia melihat seorang gemuk tetapi pendek sekali berdiri di depannya dengan sebuah cambuk panjang di tangan dan suara orang itu terdengar keras dan besar ketika menegur,

 “Pemuda kurang ajar dari manakah berani mengganggu dan membunuh hewan ternakku?”

 Kwee An yang sudah lelah dan pusing itu, merasa seperti bertemu dengan iblis sungai, oleh karena siapakah orangnya yang menganggap buaya-buaya itu sebagai hewan ternaknya selain iblis sungai? Pemuda itu tak dapat menguasai dirinya lagi oleh karena lapar, lelah, dan lemas kehilangan banyak darah.

 “Aku... aku... lelah...” katanya dan ia lalu roboh terguling dan pingsan. Tubuhnya roboh di atas mayat-mayat binatang yang tadi diamuknya!

 Ketika ia sadar kembali, Kwee An mendapatkan dirinya telah berbaring di atas balai-balai bambu dalam sebuah kamar yang terbuat daripada bambu pula. Ia segera bangun dan mengeluh oleh karena kaki kirinya terasa sakit dan perih. Ketika ia teringat akan luka di kakinya oleh gigitan buaya itu, ia segera menengok ke arah betisnya dan ternyata bahwa kakinya telah dibalut erat-erat. Ia dapat menduga bahwa orang pendek yang disangkanya iblis sungai itu tentu yang telah menolongnya, maka ia merasa berterima kasih sekali.

 Biarpun keluhan suaranya perlahan sekali, akan tetapi ternyata telah didengar orang, oleh karena dari luar pintu kamar segera terdengar suara orang, “Eh, anak muda, kau sudah bangun?”

 Ketika Kwee An memandang, ternyata penolongnya yang pendek itu muncul dari pintu dengan sepiring masakan yang masih mengepul berada di tangan kirinya. Si Kate memasuki bilik itu dan berkata sambil tertawa, “Nah, kaumakanlah. Kesehatanmu tentu akan pulih lagi seperti sediakala!”

 Ketika Kwee An hendak bangkit untuk menghaturkan terima kasih, tiba-tiba ia merasa lehernya seakan-akan tercekik dan dadanya berdebar keras. Wajahnya tentu akan terlihat menjadi pucat sekali kalau saja kulit mukanya tidak memang sudah pucat sekali hingga tidak nampak perubahan itu. Pada saat itu ia telah mengenal orang pendek ini yang bukan lain adalah Hek Moko, Si Iblis Hitam yang lihai dan yang dulu pernah bertempur dengan Cin Hai di depan rumahnya! Kwee An berpikir cepat dan ia segera memaksa mulutnya bersenyum. Sambil menerima piring itu ia berkata dengan pura-pura masih lemas tak bertenaga,

 “Terima kasih, Lopek. Kau baik sekali dan atas pertolonganmu ini aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih.” Kwee An sengaja berbuat seakan-akan ia tidak kenal kepada Si Iblis Hitam ini. Ia maklum bahwa iblis ini pun tidak tahu siapa adanya dia dan kalau iblis ini tahu bahwa Cin Hai berada dekat, tentu ia akan pergi mengejarnya!

 “Kau makanlah yang enak. Aku hendak mengurus hewan ternakku lebih dulu! Kau gagah sekali dan telah berhasil membunuh dua puluh empat ekor hewanku hingga aku menderita rugi bukan sedikit!” katanya lalu keluar dari pintu dengan langkah-langkahnya yang pendek tetapi cepat.

 Kwee An menarik napas lega. Ternyata iblis itu tidak mengenal dan tidak mencurigainya, hingga untuk sementara waktu ia akan selamat. Ia maklum bahwa Iblis Hitam ini lihai sekali apalagi kalau di situ ada pula Iblis Putih yang tinggi besar oleh karena menurut penuturan Cin Hai, kedua Iblis Hitam Putih atau Hek Pek Moko ini jarang sekali berpisah.

 Sambil memikirkan jalan untuk melarikan diri dari tempat berbahaya ini, Kwee An yang telah merasa lapar sekali, lalu makan daging yang masih panas mengepul di atas piring itu. Ia tidak tahu masakan daging apakah ini, akan tetapi oleh karena perutnya lapar sekali, ia tidak peduli dan segera makan daging itu. Di luar dugaannya semula, daging ini rasanya manis dan harum serta gurih sekali hingga sebentar saja sepiring besar daging itu telah habis memasuki perutnya! Kemudian ia turun dari pembaringan dan mencoba berjalan. Ia dapat berjalan, akan tetapi dengan pincang dan tak mungkin untuk melarikan diri, oleh karena ia belum dapat mempergunakan ilmu lari cepat. Kwee An menjadi bingung dan ia amat menguatirkan nasib Cin Hai yang masih bertempur di atas perahu melawan Hai Kong Hosiang yang lihai itu, karena perahunya telah dibakar oleh Pangeran Vayami!

 Tak lama kemudian, Hek Moko masuk ke dalam kamar itu sambil tertawa-tawa. Jubahnya yang hitam itu melambai-lambai di belakangnya.

 “Ha, kau sudah makan! Bagaimana, enakkah hidanganku itu?”

 KweeAn tersenyum. “Enak sekali, entah daging apakah yang Lopek suguhkan tadi?”

 Tiba-tiba Hek Moko tertawa bergelak-gelak dan suara ketawanya membuat bulu tengkuk KweeAn berdiri oleh karena memang suara ini amat menyeramkan. “Ha-ha, anak muda. Memang kaupantas merasakan masakan daging luar biasa itu. Ketahuilah, daging yang kau makan itu adalah daging hewan ternakku!”

 Kwee An tercengang dan sama sekali tidak pernah menduga bahwa daging buaya yang liar itu demikian enaknya. Kini ia mengerti mengapa Iblis Hitam ini memelihara hewan ternak yang luar biasa ini.

 “Apakah memang pekerjaan Lopek memelihara hewan ternak yang luar biasa ini?”

 Hek Moko mengangguk-angguk. “Memang inilah pekerjaanku sejak dulu! Tadinya buaya ini hanya ada beberapa belas pasang saja akan tetapi sekarang telah menjadi beratus-ratus pasang banyaknya! Dan hanya orang gagah dan orang besar saja yang mendapat kesempatan merasakan kenikmatan daging hewan ternakku ini. Tahukah kau bahwa untuk daging seekor saja kaisar berani membayar dengan tiga puluh potong uang emas? Ha, ha, ha!”

 “Lopek, kau benar-benar orang luar biasa dan baik hati. Aku telah berlancang tangan membunuh banyak hewan ternakmu, akan tetapi kau tidak marah kepadaku, sebaliknya kau telah menolong dan merawatku. Sungguh aku berhutang budi kepadamu!”

 “Hush! Jangan kau berkata begitu. Di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi!”

 Kwee An terkejut dan heran sekali, oleh karena ia benar-benar tidak mengerti akan maksud kata-kata Iblis Hitam ini. Di antara ayah dan anak? Apa maksudnya?

 Kembali Si Iblis Hitam tertawa bergelak-gelak, “Ya, di antara ayah dan anak tidak ada perhitungan budi dan kau akan menjadi anakku yang baik!”

 Bukan main terkejutnya Kwee An. Ia pikir bahwa Iblis Hitam ini telah menjadi gila dan mengaku dia sebagai anaknya. Akan tetapi ia maklum akan kelihaian iblis ini, maka ia pikir untuk sementara waktu baik ia tidak membantahnya dan tinggal diam saja.

 “Eh, anak muda yang gagah. Kau bernama siapa dan mengapa kau bisa hanyut di sungai ini?” Sambil bertanya demikian, Iblis Hitam itu memandang dengan mata tajam dan pandang mata menyelidiki.

 “Namaku Kwee An,” jawab pemuda itu dan tiba-tiba ia mendapat sebuah pikiran baik. Ia maklum bahwa iblis ini lihai sekali dan kepandaiannya mungkin sekali lebih tinggi daripada kepandaian Hai Kong Hosiang, maka ia lalu melanjutkan, “Dan aku hanyut karena perbuatan seorang hwesio bernama Hai Kong Hosiang.”

 Benar saja, disebutnya nama hwesio ini membuat Hek Moko memandang heran. “Hai Kong? Bagaimana kau bertemu dengan hwesio itu?”

 “Aku adalah seorang perantau dan ketika aku hendak menyeberang sungai ini, aku bertemu dengan Hai Kong Hosiang. Kami berebut perahu dan kami berkelahi. Akan tetapi aku kalah dan ia melemparku ke dalam sungai.”

 “Ha, ha, ha! Kau benar-benar patut menjadi puteraku! Kau telah bertempur melawan Hai Kong dan kau tidak mendapat luka! Bagus, bagus! Aku tidak suka akan namamu dan mulai sekarang kau bernama Siauw Moko (Iblis Kecil).”

 Kwee An merasa mendongkol sekali, akan tetapi ia tidak begitu bodoh untuk memperlihatkan perasaan ini. Ia hanya berkata,

 “Lopek, aku telah berhutang budi kepadamu maka tentu saja aku tidak berani membantah kehendakmu. Akan tetapi, nama yang kauberikan kepadaku itu kurang sedap didengar!”

 Hek Moko memandangnya dengan mata melotot. “Apa? Kurang sedap didengar? Hai, anak muda, sampai di manakah kepandaianmu hingga kau merasa kurang patut bernama Siauw Moko? Ketahuilah, aku yang bernama Hek Moko memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi darimu. Kau harus menurut segala kata-kataku oleh karena kau adalah anakku Siauw Moko yang dulu telah meninggal, akan tetapi sekarang kau hidup kembali. Anakku yang baik, jangan kuatir, aku akan melatihmu dan dalam beberapa bulan saja jangan kata baru seorang Hai Kong Hosiang, biar ada tiga orang Hai Kong, engkau tak usah merasa takut lagi!!”

 Setelah berkata demikian, Hek Moko lalu maju memeluk dan menciumi muka Kwee An sebagai seorang ayah menciumi anaknya dengan penuh kasih sayang!

 Kwee An merasa terkejut, takut, dan juga terharu sekali. Ia dapat menduga bahwa dulu tentu Iblis Hitam ini mempunyai seorang putera dan putera itu meninggal dunia. Dan ketika melihatnya, iblis ini teringat kepada puteranya hingga tiba-tiba saja mengakui ia sebagai anaknya! Akan tetapi diam-diam Kwee An merasa girang juga oleh karena ia akan menerima pelajaran silat dari kakek iblis yang berbahaya dan lihai ini!

  

 Memang dugaan Kwee An itu tepat. Dulu, Hek Moko mempunyai seorang putera yang wajahnya hampir sama dengan wajah Kwee An. Dan puteranya ini meninggal dunia karena terserang semacam penyakit berbahaya. Padahal ia telah menunangkan puteranya itu dengan puteri Pek Moko, yaitu Pek Bin Moli yang cantik jelita dan berotak miring. Tentu saia kematian puteranya ini membuat Hek Moko menjadi sedih dan membuat ia menjadi makin jahat, liar dan gila! Bersama Pek Moko yang menjadi sutenya, ia merupakan sepasang hantu yang menjagoi seluruh daerah Tibet dan mendengar namanya saja, semua orang telah ketakutan setengah mati.

 Tempat tinggal Hek Pek Moko memang tidak tentu dan mereka ini merantau dari satu ke lain jurusan. Akan tetapi, kebanyakan mereka selalu berdua dan jarang nampak mereka berpisah. Kali ini Pek Moko tidak nampak bersama suhengnya oleh karena Iblis Putih ini sedang pergi mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli yang telah lama minggat dan mencari suaminya, yaitu Ong Hu Lin yang menjadi piauwsu dan mengadakan perhubungan dengan Giok-gan Kui-bo kakak seperguruan Ang I Niocu sehingga timbul perkelahian antara Giok-gan Kui-bo dan Pek Bin Moli dan akhirnya Pek Bin Moli dapat menemukan kembali suaminya itu yang dibawanya pergi!

 Sejahat-jahatnya manusia, ia masih mempunyai perasaan kasih sayang yang bersifat suci murni terhadap anaknya. Demikian pun Hek Moko biarpun manusia ini telah terkenal sebagai iblis yang jahat dan kejam, akan tetapi kini setelah bertemu kembali dengan puteranya, ia memperlakukan Kwee An dengan baik sekali hingga diam-diam Kwee An menjadi terharu dan timbul rasa kasihan di dalam hatinya terhadap iblis tua ini. Kwee An memang telah kehilangan ayahnya dan dulu ia telah lama meninggalkan ayahnya, yaitu ketika merantau mempelajari ilmu, maka kini biarpun maklum akan kejahatan dan kekejaman Hek Moko, namun mendapat perlakuan yang demikian penuh perhatian dan baik, serta menerima latihan-latihan silat dengan penuh keikhlasan, timbul juga rasa sayang dalam hatinya terhadap Iblis Hitam ini!

 Atas paksaan Hek Moko, Kwee An menyebut ayah kepada iblis pendek yang luar biasa ini, sedangkan Hek Moko menyebutnya Siauw-moi atau Setan Kecil. Kwee An belajar dengan tekun dan rajin dan biarpun ia merasa girang menerim latihan ilmu silat yang amat tinggi dan lihai dari ayah angkatnya ini, namun diam-diam ia bergidik menyaksikan betapa ilmu silat yang dipelajarinya ini benar-benar keji dan ganas! Akan tetapi baru satu bulan saja mendapat kemajuan pesat sekali, oleh karena memang ia telah mempunyai dasar ilmu silat tinggi hingga tambahan pelajaran ini, mudah saja diterima olehnya dan tentu saja Moko menjadi girang sekali. Ketika merasa bahwa ilmu silat yang diajarkan sudah cukup, Hek Moko lalu berkata,

 “Siauw-mo anakku, sekarang kau takkan kalah menghadapi Hai Kong!”

 Kwee An menghaturkan terima kasih dengan sepenuh hatinya. “Ayah, sekarang juga anakmu mau pergi mencari Kong untuk membalas dendam karena kekalahan yang lalu!”

 “Bagus, bagus! Tidak ada orang di dunia ini yang boleh menghina anakku! Aku akan pergi bersamamu dan menghajar hwesio gundul itu!”

 Kwee An terkejut, karena ia ingin mencari Cin Hai, bagaimana ia bisa nembawa serta ayah angkatnya ini? Ia lalu mencari akal dan berkata,

 “Ayah, apakah Ayah mau membikin aku menjadi malu? Kalau Ayah ikut, Hai Kong akan menganggap bahwa aku takut kepadanya dan sengaja mengajak kau orang tua! Untuk menghadapi Hai Kong saja, aku yang telah menerima kepandaianmu, sudah cukup. Untuk apa Ayah harus mencapaikan diri dan mengotori tangan untuk menghukum dia. Dan pula, bagaimana dengan hewan ternak di sini kalau Ayah ikut pergi?”

 Hek Moko terdiam dan tak dapat menjawab, ia memikir bahwa anaknya ini benar juga dan pantas alasan-alasannya, maka ia lalu mengurungkan maksudya hendak ikut. “Baiklah, kau pergi dan hajarlah hwesio itu. Aku menunggumu di sini! Tetapi kau harus lekas kembali, dan jangan meninggalkan Ayahmu lama-lama, Siauw-mo. Ingat, aku sudah tua sekali dan mungkin hidupku di dunia ini takkan lama lagi!”

 Ucapan ini menusuk perasaan Kwee An dan menyentuh sanubarinya. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Iblis Hitam itu dan berkata,

 “Ayah, aku takkan melupakan kau selama hidupku!” Setelah berkata demikian, Kwee An lalu meninggalkan tempat itu. Ia segera menuju ke tempat di mana dulu dia dan Cin Hai bertemu dengan Pangeran Vayami, akan tetapi di situ telah sunyi dan tidak terlihat sedikit pun bekas-bekas adanya Cin Hai. Kwee An berdiri termenung di tepi sungai dengan hati bingung dan sedih. Tiba-tiba terdengar gerakan perlahan di belakangnya dan ia tahu bahwa itu adalah Hek Moko yang datang! Benar saja, suara Hek Moko segera terdengar dan Iblis Hitam itu telah berada di belakangnya.

 Kwee An segera menengok dan melihat bahwa ayah angkatnya itu telah datang beserta Pek Moko yang kelihatan menyeramkan sekali oleh karena wajahnya yang buruk itu kini nampak muram dan marah, sedangkan rambutnya telah putih semua yang membuat ia nampak tua sekali! Iblis putih ini memandang kepada Kwee An dengan tajam dan ia mengangguk-angguk sambil berkata,

 “Anak pungutmu ini terlalu cakap, Suheng, tapi ia cukup baik menjadi anakmu!”

  

 Hek Moko tertawa senang dan berkata kepada Kwee An, “Anakku, ini adalah Susiokmu yang bernama Pek Moko. Kau cukup menyebutnya Pek-susiok saja!”

 Kwee An berpura-pura belum pernah melihat Pek Moko dan ia lalu berlutut memberi hormat, “Pek-susiok, terimalah hormat teecu.”

 Pek Moko mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. “Jangan terlalu menghormat, Siauw-mo, aku tidak biasa dihormati orang seperti ini!”

 Kwee An terkejut, akan tetapi Hek Moko hanya tertawa senang.

 “Siauw-mo, kau takkan dapat mencari Hai Kong oleh karena hwesio itu telah pergi mencari Pulau Emas! Bahkan aku dan Susiokmu ini pun hendak pergi ke sana pula. Hayo kau ikut kami dan tentu di sana kau akan dapat bertemu dengan Hai Kong Hosiang!”

 Kwee An menjadi girang, akan tetapi sebetulnya ia tidak senang harus pergi bersama sepasang iblis ini. “Bagaimana Ayah bisa tahu bahwa dia pergi ke Pulau Emas dan dimanakah letak pulau itu?” tanyanya.

 Hek Moko lalu menceritakan pengalaman Pek Moko. Ternyata bahwa ketika mencari anak perempuannya, yaitu Pek Bin Moli, Pek Moko dapat menemukan anak perempuannya itu dalam keadaan mati! Ong Hu Lin, mantunya yang menjadi suami Pek Bin Moli dalam keadaan terpaksa itu, setelah dibawa pergi oleh isterinya yang gila, di tengah jalan lalu mencari akal dan akhirnya pada suatu malam, ketika isterinya yang berotak miring itu sedang tidur pulas, ia dengan kejam telah membunuh isterinya ini! Ketika Pek Moko mendengar tentang hal ini, lalu mencari Ong Hu Lin dan setelah bertemu, ia menyiksa dan membunuh Ong Hu Lin dengan penuh kemarahan hingga tubuh Ong Hu Lin dihancurkan sampai tidak karuan macamnya lagi! Peristiwa ini membuat Pek Moko berduka sekali hingga seluruh rambutnya memutih dan wajahnya menjadi kejam dan muram selalu. Kemudian dengan kebetulan Iblis Putih ini mendengar tentang adanya Pulau Emas yang kini sedang dicari-cari dan agaknya dijadikan rebutan antara orang-orang Turki, suku bangsa Mongol, dan oleh Pemerintah Kaisar sendiri! Ia segera mencari kakak seperguruannya, yaitu Hek Moko dan setelah ia menceritakan semua ini, Hek Moko lalu mengajak menyusul Kwee An yang baru saja pergi dari situ untuk diajak bersama-sama pergi mencari Pulau Emas.

 Kwee An yang mendengar semua cerita ini, lalu berpikir pula bahwa besar kemungkinan Hai Kong Hosiang juga pergi mencari pulau itu dan apabila Hai Kong pergi ke sana, maka jika Cin Hai masih hidup, tentu pemuda itu mengejar juga ke sana! Oleh karena ini, tanpa ragu-ragu pula ia lalu menyatakan kesediaannya untuk ikut dengan Hek Moko ini. Berbeda dengan rombongan Nelayan Cengeng, Hek Pek Moko menuju ke laut melalui jalan darat dan mengikuti sepanjang tepi sungai.

 Cin Hai yang tertolong oleh Bu Pun Su dan telah sembuh dari pengaruh madu merah yang mujijat dan setelah pikirannya pulih kembali seperti biasa dan dapat mengingat semua kejadian telah lalu, merasa berduka sekali oleh karena tidak tahu bagaimana keadaan Kwee An dan Lin Lin. Terutama sekali ia merasa gelisah dan bingung jika teringat akan nasib Lin Lin yang tertawan oleh perwira Boan Sip! Ingin sekali ia segera bertemu dengan Boan Sip untuk membuat perhitungan dan menumpahkan rasa dendam dan marahnya, akan tetapi ke mana harus mencari orang she Boan itu?

 Ang I Niocu maklum akan kesedihan Cin Hai ini, akan tetapi ia sendiri pun tidak berdaya dan hanya mengucapkan kata-kata hiburan di sepaniang perjalanan. Untuk menghibur hati pemuda yang gelisah ini, Ang I Niocu lalu bertanya dan minta ia mengutarakan tentang pertempuran dengan Hai Kong Hosiang.

 “Hwesio itu benar-benar telah mendapat kemajuan dalam ilmu silatnya,” kata Cin Hai. “Sukar sekali bagiku untuk merobohkannya, walaupun aku dapat mengimbangi semua serangannya. Ia agaknya sudah kenal baik serangan-seranganku yang berdasarkan Liong-san-kun-hwat dan Ngo-lian-hwat, hingga dapat berjaga diri dengan baik. Juga dalam ilmu kepandaian lweekang, hwesio itu kini amat kuat dan jauh lebih kuat daripada dulu.”

 Ang I Niocu mendengarkan dengan penuh perhatian ketika Cin Hai menuturkan jalannya pertempuran. Kemudian Gadis Baju Merah yang telah banyak mengalami pertempuran-pertempuran ini, lalu berkata,

 “Hai-ji, cabutlah pedangmu dan mari coba kuuji sampai di mana kepandaianmu!”

 Cin Hai terkejut, akan tetapi ketika ia melihat sinar mata Ang I Niocu, ia maklum bahwa Dara Baju Merah ini hendak memberi petunjuk-petunjuk kepadanya, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mencabut pedangnya Liong-coan-kiam, sedangkan Ang I Niocu juga sudah mencabut keluar pedangnya.

 “Awas serangan!” kata Ang I Niocu yang lalu menyerang dengan pedangnya. Sebagaimana biasa, sekali pandang saja secara otomatis Cin Hai dapat mengenal dasar gerakan serangan ini, maka dengan mudah ia pun lalu mengelak dan balas menyerang. Ang I Niocu terus menyerang dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling lihai, yakni Sian-li Kiam-sut yang mempunyai gerakan indah dan daya serang luar biasa dahsyatnya. Akan tetapi Cin Hai dengan amat mudahnya mengetak dan menangkis serangan ini dengan tepat dan sempurna.

  

 “Kaubalaslah menyerang, jangan menahan diri saja,” teriak Ang I Niocu sambil mengirim tusukan. Cin Hai lalu balas menyerang dan oleh karena ia tidak mengenal lain ilmu pedang maka ia pun lalu menyerang dengan Sian-li Kiam-sut yang ditirunya dari Ang I Niocu.

 Tentu saja serangan ini amat mudah dikenal dan diketahui perubahan atau perkembangannya oleh Ang I- Niocu hingga gadis ini mudah saja mengelak atau menangkis.

 “Jangan menyerang dengan Sian-li Kiam-sut, tidak ada gunanya! Pakailah ilmu pedang lain!” Ang I Niocu berseru lagi sambil terus menyerang lagi.

 Cin Hai tahu kekeliruannya oleh karena menghadapi gadis yang menjadi ahli Silat Bidadari itu, sungguh tolol kalau mempergunakan ilmu pedangnya dan kini memainkan Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hwat yang dipelajarinya dari Kanglam Sam-lojin. Ia sekarang telah memiliki ilmu ginkang dan lweekang yang sangat tinggi oleh karena menerima latihan dari Bu Pun Su secara istimewa yakni mempelajari dasar-dasarnya hingga boleh dibilang Cin Hai telah memiliki kepandaian pokok yang mutlak. Akan tetapi oleh karena pengetahuannya tentang ilmu silat hanya dangkal saja, yaitu terbatas pada ilmu silat dari Liong-san-pai dan ilmu silat yang ia pelajari dari An I Niocu, maka daya tempurnya amat lemah. Memang kalau menghadapi orang yang belum matang betul dalam hal ilmu silat tinggi, dengan mudah saja Cin Hai akan dapat mengalahkannya, akan tetapi apabila menghadapi tokoh persilatan yang tinggi dan matang ilmu pedangnya, pemuda ini hanya dapat bertahan saja dengan luar biasa uletnya, akan tetapi juga sukar untuk melancarkan serangan-serangan lain kecuali kedua macam ilmu silat yang telah dipelajarinya itu, hingga menghadapi tokoh-tokoh tinggi seperti Hek Pek Moko atau Hai Kong Hosiang, juga menghadapi Ang I Niocu pemuda ini menjadi pihak yang selalu didesak dan diserang, sungguhpun harus diakui bahwa semua serangan itu dapat ditangkis atau dielakkannya dengan amat mudah oleh karena ia telah tahu betul akan perkembangan selanjutnya dari tiap serangan!

 Ang I Niocu menghabiskan seluruh kepandaiannya untuk digunakan menyerang anak muda itu, akan tetapi tak sedikit pun ia dapat mempengaruhi atau mengacaukan Cin Hai yang istimewa. Diam-diam gadis ini merasa kagum sekali oleh karena boleh dibilang di dunia ini tidak ada keduanya bila dicari orang yang dapat mempertahankan diri sedemikian baiknya terhadap serangan-serangannya yang dilakukan sampai semua jurus Sianli Kiam-sut habis dimainkan tanpa nampak terdesak sedikit pun! Akan tetapi biarpun serangan-serangan Cin Hai luar biasa dahsyatnya, namun baginya serangan-serangan itu kurang berbahaya, dan kelihaiannya hanya terdorong oleh tenaga lweekang dan gerakan yang hebat dari anak muda itu dan sama sekali bukan karena ilmu pedangnya yang hebat.

 “Benar seperti yang kuduga!” Ang I Niocu berseru sambil melompat mundur. Cin Hai menahan pedangnya. “Memang benar, Susiok-couw hanya memberi pokok-pokok dasar ilmu silat kepadamu, tanpa memberi pelajaran penting untuk melakukan penyerangan. Mengapa engkau dulu tidak mau minta supaya orang tua yang aneh itu menurunkan satu atau dua macam ilmu silat agar dapat kaugunakan untuk menyerang lawan?”

 Dengan tersenyum Cin Hai berkata, “Niocu, apakah kau masih belum kenal adat Suhu yang kukoai (aneh)? Kalau dia sendiri tidak menghendaki, biarpun diminta sampai menangis pun takkan ia berikan!”

 Ang I Niocu memang sungguh-sungguh sayang kepada Cin Hai, maka pada saat itu gadis ini memutar-mutar otaknya demi kebaikan anak muda itu. Ia tahu bahwa dengan kepandaiannya yang sekarang ini, Cin Hai tak usah merasa takut terhadap seorang lawan yang mana pun juga, akan tetapi, tanpa memiliki daya serang yang lihai, bagaimana ia akan dapat menjatuhkan musuh-musuhnya? Apalagi sekarang masih ada seorang musuh yang amat tangguh, yaitu Hai Kong Hosiang yahg agaknya dibantu oleh pendeta tua renta yang gagu dan lihai sekali itu. Kalau pemuda ini tidak memiliki ilmu serangan yang dahsyat, banyak kemungkinan mendapat celaka dari tangan Hai Kong Hosiang.

 Cin Hai yang melihat betapa Ang I Niocu termenung, lalu meninggalkan gadis itu untuk mengumpulkan kayu kering. Mereka telah tiba dalam sebuah hutan dan hari telah mulai gelap, sedangkan di tempat itu banyak nyamuk dan hawa dingin.

 Tiba-tiba Ang I Niocu melompat ke atas dan berkata dengan girang. “Benar, benar! Kau harus melakukan itu,” katanya kepada Cin Hai hingga pemuda ini tentu saja menjadi terheran-heran oleh karena tidak mengerti apakah yang dimaksudkan oleh gadis itu yang nampak demikian gembira.

 “Hai-ji, kau harus menciptakan ilmu pedang sendiri!” katanya kepada Cin Hai.

 Cin Hai terkejut dan mukanya menjadi merah. “Ah, Niocu, kau ini ada-ada saja! Aku yang bodoh dan tolol ini mana bisa menciptakan ilmu pedang? Jangan mentertawakan aku, Niocu!”

 “Anak bodoh! Merendahkan diri di depan orang lain memang baik, akan tetapi memandang rendah kesanggupan sendiri hanya dilakukan oleh orang-orang malas dan kurang semangat. Kau dapat melihat dasar-dasar segala ilmu silat, maka kalau kau memang mau, mengapa kau tidak bisa menggabungkan semua ilmu silat itu menjadi satu dan menciptakan sendiri gerakan-gerakan serangan yang kauanggap tepat dan lihai?”

  

 Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh oleh karena memang belum mengerti. “Niocu, tolong kauberi tahu kepadaku, bagaimana caranya!”

 Ang I Niocu lalu memberi penjelasan dengan sabar dan telaten. “Hai-ji, terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa Sianli Utauw atau Tarian Bidadari itu pun aku sendiri yang menciptakan. Maka kalau kau memang tekun, kau pun pasti akan dapat mencipta ilmu pedang yang tidak ada keduanya di dunia ini. Caranya begini. Kauperhatikan dan ingat semua ilmu silat yang telah kaulihat dan lalu kaupilih gerakan-gerakan serangan musuh yang dilancarkan kepadamu. Mana yang kauanggap lihai dan baik, boleh kaupilih. Kemudian gerakan-gerakan ini lalu kaurangkai menjadi semacam ilmu pedang yang lihai. Tentu saja kau harus merubahnya sedikit agar tidak sama dengan aselinya lagi, dan bahkan harus diperbaiki mana yang kurang tepat. Hanya kau dan Susiok-couw yang mempunyai kemampuan seperti ini.”

 Mendengar ucapan Ang I Niocu, diam-diam Cin Hai lalu tertarik hatinya. Mengapa tidak ia coba? Memang tidak enak kalau selalu mempertahankan serangan orang, dan pula memang memang memalukan kalau menghadapi seorang lawan lalu menyerang lawan itu dengan ilmu silat yang ditirunya dari lawan itu sendiri. Alangkah senangnya kalau ia memiliki ilmu pedang sendiri yang dapat dibanggakan.

 Cin Hai lalu duduk termenung dan ia lalu bersamadhi mengumpulkan seluruh perhatian dan perasaannya. Ia bayangkan semua ilmu-ilmu silat yang telah dilihatnya. Oleh karena ia telah mempunyai dasar batin yang kuat dan pikirannya telah jernih oleh latihan-latihan napas dan samadhi, maka sebentar saja di dalam otaknya terlintas semua gerakan ilmu silat yang pernah dilihatnya. Di antara semua ilmu silat, gerakan-gerakan Hek Pek Moko yang paling dahsyat dan kejam, sedangkan ilmu silat dan gerakan-gerakan Ang I Niocu yang ia anggap paling indah dan baik. Ia lalu mengumpulkan ingatannya dan mencatat di dalam hati gerakan-gerakan yang dianggapnya paling lihai, kemudian dengan mata masih meram dan membayangkan gerakan-gerakan itu, tubuhnya lalu berdiri dan bergerak-gerak menurut gambaran gerakan yang masih tampak di dalam matanya yang meram itu.

 Ang I Niocu mengikuti gerakan pemuda ini dengan heran dan kagum. Ia melihat betapa Cin Hai memainkan ilmu-ilmu silat yang aneh-aneh dan bermacam-macam, bahkan di situ ia lihat pula Cin Hai memainkan Sianli Utauw, dan juga Liong-san Kun-hwat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang memilih-milih, maka ia tidak mau mengganggu, hanya mencari tambahan kayu kering dan menjaga agar api unggun itu tidak padam. Setengah malam lebih Cin Hai tiada hentinya bergerak ke sana ke mari sambil memejamkan mata. Ia tidak merasa bahwa ia telah bersilat selama itu, sedangkan Ang I Niocu masih tetap duduk di dekat api dengan setia. Ia sedikitpun tidak mau mengganggu Cin Hai dan hanya mernandang pemuda yang disayanginya itu dengan penuh harapan.

 Setelah lewat tengah malam tiba-tiba Cin Hai menghentikan gerakan-gerakannya dan mukanya menjadi agak pucat. Ia memandang kepada Ang I Niocu dan berkata, “Niocu, terima kasih atas petunjuk dan nasihatmu tadi. Agaknya aku telah mendapatkan semacam ilmu silat ciptaanku sendiri.”

 Ang I Niocu girang sekali dan berkata, “Coba kau sempurnakan ilmu itu dengan pedang, Hai-ji!”

 Cin Hai lalu mencabut pedangnya dan berkata lagi,

 “Ketika aku bersilat dan mengumpulkan tipu-tipu gerakan semua cabang persilatan yang pernah kulihat, tiba-tiba aku melihat bahwa memang selama ini aku terlalu lemah dan tidak mempunyai pikiran untuk membalas menyerang lawan. Aku tidak ingat bahwa tak perlu aku kerahkan seluruh perhatian untuk pertahanan, karena sebetulnya aku telah memiliki daya tahan yang otomatis dan tak perlu menggunakan seluruh perhatian lagi. Oleh karena kesalahan itu, maka dulu aku tidak melihat lowongan-lowongan dan kesempatan-kesempatan yang sebenarnya dapat kumasuki untuk merobohkan lawan.” Setelah berkata demikian, ia menghampiri serumpun bambu dan tetumbuhan lain yang tumbuh dengan suburnya di dekat situ. Tetumbuhan itu penuh dengan daun-daun hingga batang-batangnya yang kecil hampir tak tampak dari luar dan oleh karena angin malam pada saat itu bertiup kencang, maka semua daun-daun itu yang berbentuk runcing bagaikan ratusan senjata menyerang ke depan dan melindungi batang-batang mereka yang kecil.

 Cin Hai lalu membayangkan bahwa ratusan daun itu adalah senjata-senjata musuh yang melindungi tubuh musuh, dan bahwa ia harus berusaha menyerang tubuh-tubuh musuh yang kini dilindungi oleh ratusan pisau yang bergerak-gerak itu. Ia lalu menggerakkan Liong-coan-kiam di tangan kanannya dan mulai bersilat dengan gerakan aneh. Gerakannya mula-mula lambat dan mengintai rumpun itu, akan tetapi makin lama makin cepat. Ia berusaha untuk melukai tubuh-tubuh yang bersembunyi di balik ratusan senjata itu tanpa mengadu pedangnya dengan senjata itu! Hal ini tentu saja sukar bukan main oleh karena ratusan daun itu bergerak-gerak cepat dan tidak menentu karena tertiup angin hingga tubuh-tubuh atau batang-batang itu hanya nampak sekelebat dan sekilat saja! Akan tetapi, Cin Hai berlaku cepat dan hati-hati dan tiap kali daun-daun itu bergerak dan sebatang pohon kecil nampak, biarpun hanya sekilas, namun dengan pedangnya telah memasuki lowongan itu dan tepat ujung pedangnya menusuk batang itu tanpa mematahkannya!

  

 Gerakan-gerakan pedangnya ini luar biasa sekali hingga Ang I Niocu yang masih duduk di dekat api, ketika melihat ini menjadi kagum sekali. Ia merasa begitu bergembira, hingga diam-diam ia pun menggerakkan kedua tangan dan bersilat meniru-niru dan mengimbangi gerakan pedang Cin Hai! Ia melihat betapa gerakan-gerakan anak muda itu masih nampak kaku, maka sambil menggerakkan kedua tangannya, ia berkali-kali menyerukan bahwa tangan kiri pemuda itu harus begini dan sikap tubuhnya harus begitu! Pendeknya, Cin Hai pada saat itu sedang menciptakan semacam ilmu pedang bersama-sama Ang I Niocu. Cin Hai mencipta ilmu pedangnya, sedangkan Gadis Baju Merah itu memperbaiki gerak gayanya!

 Setelah Cin Hai selesai bersilat, Ang I Niocu lalu menghampiri rumpun bambu dan ketika ia membuka daun-daun yang menutupnya, ternyata batang-batang yang puluhan jumlahnya itu semua telah berlubang bekas tusukan ujung pedang Ci Hai! Ang I Niocu bersorak girang dan menari-nari bagaikan anak kecil!

 Cin Hai juga merasa girang sekali dan ia tidak menolak ketika Ang I Niocu mengajak ia sekali lagi bertanding dan ia harus mempergunakan ilmu pedangnya yang baru saja diciptakannya itu! Dan hasilnya benar-benar hebat! Tiap jurus apabila Cin Hai menyerang selalu serangannya ini membingungkan Ang I Niocu dan kalau saja pemuda itu menyerang dengan sungguh-sungguh, dalam sepuluh jurus saja Pendekar Wanita Baju Merah ini pasti akan roboh! Ternyata bahwa Cin Hai telah menciptakan sebuah ilmu pedang yang benar-benar luar biasa, oleh karena ilmu pedangnya ini didasarkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan ilmu silat lain yang telah dilihatnya. Ia menggunakan kesempatan untuk mengisi lowongan-lowongan dan menyerbu bagian-bagian yang lemah dari gerakan-gerakan aneh, bahkan kadang-kadang kedudukan kaki atau tangannya berbalik dan merupakah kebalikan daripada gerakan ilmu silat biasa!

 Ang I Niocu merasa girang sekali dan minta Cin Hai bersilat pedang lagi seorang diri. Pada gerakan yang kaku, gadis yang memang ahli tari dan memiliki gerak gaya indah ini lalu memperbaiki tanpa merusak gerakan aseli.

 Sampai fajar menyingsing, kedua orang ini tiada hentinya melatih, atau lebih tepat lagi Cin Hai melatih diri dan Ang I Niocu membantunya dengan nasihat-nasihat mengenai keindahan gerakannya. Semalam suntuk mereka tidak beristirahat.

 Pada keesokan harinya mereka hanya beristirahat sebentar kemudian Cin Hai kembali melatih diri dengan ilmu silat pedangnya yang baru itu. Ang I Niocu melihat dari samping memberi petunjuk di bagian yang masih kaku gerakannya. Walaupun ilmu pedang ini dapat dilihat dan ditiru oleh Ang I Niocu, akan tetapi oleh karena untuk mempergunakan ilmu pedang ini harus sebelumnya dimiliki kepandaian dan pengertian pokok tentang segala gerakan ilmu silat sebagaimana yang telah dimiliki Cin Hai, maka ilmu pedang ini tidak akan ada gunanya bagi Ang I Niocu. Pendeknya, tanpa pengetahuan dasar yang diajarkan oleh Pun Su, orang lain tidak mungkin mempergunakan ilmu ini dalam menghadapi lawan!

 Demikianlah, setelah berlatih terus-menerus selama tiga hari tiga malam, akhirnya ilmu pedang ini dapat dimainkan dengan baik sekali oleh Cin Hai hingga Ang I Niocu menjadi puas dan girang. Ketika ia mencoba untuk melawan ilmu pedang ini dengan ilmu pedangnya, maka dalam tiga jurus saja pedangnya telah dapat dirampas oleh Cin Hai.

 “Aduh Hai-ji! Ilmu pedangmu ini benar-benar luar biasa dan jangankan Hai Kong Hosiang biarpun Hek Pek Moko sendiri tentu akan roboh di tanganmu! Kionghi, kionghi! (Selamat).”

 Tiba-tiba terdengar suara orang berkata dengan suara nyaring, “Ya, kionghi, kionghi! Akan tetapi hati-hatilah kau, Cin Hai agar ilmu jahat ini tidak merusak hatimu menjadi jahat dan kejam pula!”

 Cin Hai dan Ang I Niocu terkejut sekali dan tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di dekat mereka!

 “Cin Hai, ilmu pedang tadi memang baik sekali dan tidak kusangka bahwa kau yang bodoh ini dapat mencipta ilmu pedang seperti itu! Akan tetapi oleh karena kau melatih dengan melukai batang-batang bambu dengan ujung pedangmu, maka apabila menghadapi lawan, kau baru akan dapat merobohkan dia dengan tusukan yang melukainya pula! Ini jahat sekali, muridku!”

 Cin Hai merasa bingung dan terkejut sekali oleh karena memang betul seperti yang dikatakan oleh gurunya ini. Tadi ia berhasil merampas pedang Ang Niocu oleh karena gadis pendekar itu terlalu terdesak oleh ilmu pedangnya hingga memungkinkan ia menyambar dan merampas pedang gadis itu, sedangkan kalau bertempur dengan lawan yang melawan mati-matian, maka untuk merobohkannya ia harus mempergunakan pedangnya yang mengirim serangan-serangan maut itu!

 “Mohon ampun, Suhu, dan sudi memberi petunjuk-petunjuk kepada teecu,” katanya.

 Bu Pun Su tersenyum dan tiba-tiba dengan suara sungguh-sungguh ia berkata, “Coba cabutlah pedangmu itu dan seranglah aku!”

  

 Cin Hai tidak ragu-ragu untuk melakukan hal ini oleh karena ia mempunyai kepercayaan penuh akan kesaktian suhunya, maka setelah memberi hormat sekali lagi, ia lalu mencabut Liong-coan-kiam dan menyerangnya dengan hebat. Pedangnya berkelebat merupakan sinar yang melenggang-lenggok dan ia telah mempergunakan jurus ke lima yang dianggapnya cukup berbahaya. Ia maklum bahwa suhunya memiliki mata tajam sekali dan telah hafal sekali akan segala gerakan pundak yang mendahului semua gerakan pukulan tangan dan juga telah tahu akan pergerakan lutut yang mendahului semua gerakan kaki, maka ia lalu mengeluarkan serangan jurus ke lima ini. Memang dalam menciptakan ilmu pedangnya, Cin Hai juga memikirkan kemungkinan apabila menghadapi seorang yang telah mempunyai kepandaian melihat gerakan orang seperti yang sudah dipelajarinya dari Bu Pun Su, maka dalam beberapa gerakan ia sengaja membuat ilmu serangan yang dilakukan dengan gerakan-gerakan terbalik! Menurut gerakan ilmu silat biasa, jika pundaknya bergerak itu tentu menjadi tanda bahwa pedang di tangan kanannya akan ditusukkan ke depan, akan tetapi belum juga pedangnya menusuk, secepat kilat gerakan itu telah dibalik dan menjadi sabetan pada kedua kaki lawan dan sebelum sabetan ini diteruskan, telah dibalikkan pula dan menjadi sebuah serangan memutar ke arah leher!

 “Ganas sekali!” Bu Pun Su berseru sambil meloncat ke belakang oleh karena guru yang lihai ini benar-benar tercengang dan terkejut melihat kehebatan serangan muridnya. “Hayo kauserang terus dan keluarkan semua ilmu pedangmu yang liar ini!” katanya dan Cin Hai tak berani membantah dan segera maju menyerang terus.

 Akan tetapi, ilmu meringankan tubuh dari Bu Pun Su sudah sampai di tingkat tertinggi hingga boleh dibilang tubuhnya seperti sehelai bulu yang dapat bergerak pergi tiap kali angin pedang menyambar hingga biarpun pedang Cin Hai hampir menyerempet pakaian kakek itu, namun tetap pedang itu tak dapat melukainya! Namun benar-benar kali ini Bu Pun Su menghadapi semacam ilmu pedang yang luar biasa dan hanya dengan mengerahkan seluruh ginkangnya saja maka ia dapat mengelak bagaikan seekor burung beterbangan di antara sambaran pedang! Ang I Niocu memandang demonstrasi yang dilakukan oleh guru dan murid ini dengan mata terbelalak saking kagum dan herannya. Selama hidupnya belum pernah ia melihat kelihaian seperti ini dan hatinya diam-diam girang sekali memikirkan bahwa Cin Hai kini telah menjadi seorang jago pedang tingkat tinggi!

 Ilmu pedang Cin Hai semuanya ada tiga puluh sembilan dan setelah dimainkan semua, akhirnya pemuda ini meloncat ke belakang sambil berkata dengan napas terengah-engah, “Sudahlah, Suhu, teecu tak kuat lagi!” Ia lalu berlutut dengan muka merah karena hatinya kecewa betapa dengan mudahnya kakek itu dapat mengelak serangannya. Ia anggap ilmu pedangnya ini tiada gunanya sama sekali dan bahwa ia telah menyia-nyiakan waktu tiga hari tiga malam!

 “Ha, ha ha.” Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh karena kakek ini maklum dan dapat membaca isi hati Cin Hai dari muka pemuda itu, “Jangan kau kecewa, Cin Hai. Ketahuilah, ilmu pedang yang baru saja kau mainkan ini kehebatannya jauh melebihi dugaanku semula!”

 “Mohon Suhu jangan mentertawakan kebodohan teecu,” kata Cin Hai.

 “Siapa mentertawakan kau? Anak bodoh, dengan ilmu pedangmu ini, kau boleh menjelajah di seluruh negeri dan mengharapkan kemenangan dari setiap pertempuran! Akan tetapi, jangan kira bahwa aku merasa senang atau bangga melihat ilmu pedangmu ini! Kaukira aku tidak percaya atau tidak suka kepadamu maka aku tak pernah menurunkan ilmu kepandaian menyerang kepadamu? Ketahuilah, dan kau juga Im Giok, aku memang sengaja tidak mengajarkan ilmu serangan kepadamu, oleh karena apakah baiknya menyerang orang? Akan tetapi, memang segala apa sudah ditentukan oleh takdir hingga kau yang tidak mempelajari ilmu menyerang, ternyata kini menghadapi banyak musuh yang lihai. Dan jangan kauanggap bahwa ilmu pedangmu ini saja akan cukup kuat untuk menghadapi Si Rangka Hidup Kam Ki Sianjin, supek dari Hai Kong Hosiang itu! Ah, kau terlalu mengunggulkan diri kalau kau mempunyai pikiran demikian! Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai dan mungkin kalau sewaktu-waktu kau akan menemui musuh yang lebih lihai lagi! Sekarang kau telah berhasil menciptakan semacam ilmu menyerang, maka biarlah agar jangan kepalang tanggung, kau pelajari juga Ilmu Pek-in-hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih) dan Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak-sin-na.”

 Bukan main girang rasa hati Cin Hai dan segera mengangguk-anggukkan kepala menghaturkan terima kasih.

 “Juga kau yang telah banyak membuat jasa boleh mempelajari ilmu ini, Im Giok.” Ang I Niocu lalu berlutut dan mengucapkan terima kasih pula.

 Demikianlah, selama dua pekan, Bu Pun Su memberi pelajaran dua macam ilmu silat itu kepada Cin Hai dan Ang I Niocu yang dipelajari dengan penuh perhatian oleh kedua pendekar muda itu. Pek-in-hoat-sut adalah ilmu sihir yang sebetulnya hanya sebutannya saja ilmu sihir, oleh karena ilmu ini gerakan ilmu silat yang sepenuhnya digerakkan oleh tenaga khikang hingga dari kedua kepalan tangan yang memainkannya keluar uap putih bagaikan awan yang dapat menolak setiap hawa serangan yang bagaimana jahat pun dari lawan! Uap ini terjadi dari keringat yang berubah menjadi uap sebagai akibat dari dorongan tenaga khikang yang panas dan disalurkan ke arah kedua lengan dalam setiap serangan. Biarpun lawan menggunakan ilmu hitam atau pukulan keji seperti Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) dan lain-lain, apabila bertemu dengan orang yang mempergunakan Pek-in-hoat-sut ini akan mati kutunya, tenaga serangan mereka yang buyar dengan sendirinya. Oleh karena tenaga hebat inilah maka ilmu ini disebut ilmu sihir!

  

 Ilmu ke dua adalah Ilmu Silat Tangan Kosong Kong-ciak-sin-na atau Ilmu Silat Tangan Kosong Burung Merak. Gerakan-gerakan ilmu silat ini selain memukul, juga menggunakan jari-jari tangan untuk mencengkeram dan merampas senjata musuh hingga tepat sekali dipergunakan dengan tangan kosong apabila menghadapi lawan yang bersenjata.

 Setelah kedua orang itu mempelajari dua macam ilmu silat itu dengan sempurna, Bu Pun Su lalu berkata,

 “Cin Hai dan Im Giok! Biarpun kalian tidak bertanya, akan tetapi aku maklum bahwa kalian ingin sekali mendengarkan tentang nasib Lin Lin.”

 Cin Hai mendengarkan dengan wajah tiba-tiba berubah pucat, sedang Ang I Niocu juga mendengarkan dengan hati berdebar khawatir.

 “Kalian jangan khawatir, menurut dugaanku Lin Lin telah selamat dan kalau tidak keliru ia sedang melakukan perjalanan dengan kawan-kawan baik. Sekarang ada hal yang lebih penting lagi. Orang-orang Turki dan orang-orang Mongol sedang berlomba untuk merebut sebuah pulau di laut timur dan apabila pulau ini sampai terjatuh ke dalam tangan mereka, maka bahaya besar mengancam seluruh negeri! Aku menyaksikan dengan mata sendiri, betapa ratusan orang-orang Turki dan Mongol dengan diam-diam dipimpin oleh orang-orang berilmu dari kedua bangsa itu dan secara bersembunyi mereka menyerbu ke daerah timur untuk berlomba menemukan pulau itu. Oleh karena ini, kalian berdua segera berangkatlah ke laut timur melalui sungai yang mengalir di sebelah utara ini, oleh karena hanya di sana saja, maka kalian akan dapat bertemu dengan Lin Lin, bahkan mungkin dapat bertemu dengan musuh besarmu yang bernama Hai Kong Hosiang itu. Nah, sekarang aku hendak pergi!”

 Cin Hai dan Ang I Niocu maklum akan sikap aneh dari orang tua ini yang bicaranya selalu mengandung rahasia. Mereka maklum pula bahwa mereka secara membuta mereka harus menurut petunjuk ini, oleh karena petunjuk ini pasti betul dan biarpun tidak jelas, namun kalau tidak nyata takkan dikeluarkan dari mulut kakek luar biasa itu.

 Tanpa menunda lagi, Cin Hai dan Ang I Niocu berlari cepat ke utara dan tak lama kemudian mereka bertemu dengan sungai yang melintang dan mengalir ke arah timur itu. Di situ tidak terlihat perahu dan keadaannya sunyi sekali, maka keduanya lalu mempergunakan ilmu lari cepat dan mengikuti aliran sungai menuju ke timur. Akan tetapi, jalan di tepi sungai itu sukar sekali, penuh rawa dan hutan-hutan berbahaya, juga amat sukar dilalui. Setelah mereka berlari selama dua hari, akhirnya mereka melihat sebuah dusun kecil dan mereka menjadi girang ketika melihat beberapa buah perahu diikat di pinggir sungai. Segera Cin Hai mencari pemilik perahu untuk disewa atau dibelinya. Dua orang menghampiri mereka dan bertanya, “Jiwi membutuhkan perahu?”

 “Betul,” kata Cin Hai dengan girang. “Kami berdua hendak menyewa atau membeli sebuah perahu.”

 “Membeli?” kedua orang itu saling pandang “Ah, Kongcu. Di sini tidak ada yang mau menjual perahunya. Pernah kau mendengar ada orang menjual isterinya?”

 “Apa katamu?” Cin Hai bertanya heran, dan tak senang, oleh karena menyangka bahwa nelayan itu hendak mempermainkannya.

 “Kongcu hendak membeli perahu, sedangkan sebuah perahu adalah sama dengan seorang isteri bagi seorang nelayan. Siapakah yang mau menjual perahu atau isterinya? Tidak, Kongcu, kalau kalian berdua hendak menyewa, boleh kalian pakai perahuku ini. Biarpun kecil, tetapi kuat dan laju!”

 Cin Hai tersenyum geli. “Boleh, aku hendak menyewa perahumu ini.”

 “Jiwi hendak ke manakah?” tanya nelayan yang seorang lagi.

 Ang i Niocu tidak senang melihat ada orang lain ikut bicara, bahkan bertanya tentang maksud kepergian mereka.

 “Apa perlunya kau ikut campur dan bertanya ke mana kami hendak pergi?” tanyanya tak senang.

 Orang itu berkata sambil mengangkat dadanya, “Aku berhak penuh untuk ikut campur, oleh karena perahu ini adalah milik kami berdua!”

 Cin Hai tertawa. “Aha, kalau begitu isterimu ini mempunyai dua orang suami?”

 Kedua orang nelayan itu tertawa. “Kongcu, kami adalah orang-orang miskin, dan dua orang memiliki sebuah perahu saja.”

 “Kami berdua hendak menuju ke laut dan hendak mencari sebuah pulau.”

 Kedua orang itu nampak terkejut sekali. “Apa? Hendak mencari pulau? Apakah Pulau Emas?”

 Cin Hai dan Ang I Niocu tercengang, akan tetapi mereka memang hendak menyelidiki pulau yang belum pernah meraka ketahui ini sedangkan Bu Pun Su juga tidak memberi penjelasan, maka Cin Hai lalu tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, kami mencari Pulau Emas!”

  

 Tiba-tiba seorang di antara kedua nelayan itu menjadi pucat dan berkata kepada kawannya, “Twako, marilah kita pergi dan jangan melayani mereka ini. Agaknya mereka ini pun sudah kegilaan emas dan mungkin akan timbul malapetaka lagi apabila kita membawa mereka seperti hal kita tempo hari itu!”

 Cin Hai menjadi tertarik, dan Ang I Niocu segera membentak,

 “Apakah yang terjadi? Apa ada orang lain yang juga mencari Pulau Emas itu?”

 Kedua nelayan itu saling pandang dan keduanya lalu berdiri hendak meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak berani menjawab. Ang I Niocu lalu meloncat dan sekali tangannya bergerak, maka pedang yang tajam telah dicabutnya dari pedang itu kini menempel di leher seorang nelayan,

 “Ke mana engkau hendak pergi? Jangan main-main, sebelum kalian menceritakan hal itu kepada kami, jangan harap akan dapat pergi dengan kepala menempel di lehermu!”

 Nelayan itu menghela napas. “Apa kataku, Twako? Benar-benar Pulau Emas itu pulau berhantu dan setan-setan saja yang berani mengunjungi pulau itu! Toanio, harap kau berlaku murah dan jangan begini galak. Kami hanya nelayan-nelayan biasa saja dan kalau Toanio menghendaki, baiklah kami tuturkan pengalaman kami. Beberapa hari yang lalu, kami kedatangan seorang asing yang sangat murah hati dan royal dengan hadiah-hadiahnya. Ia minta kami suka mendayung perahunya yang besar, oleh karena ia berkata bahwa ia tidak kenal daerah sini. Ia hendak pergi ke laut dan mencari Pulau Emas seperti kalian pula. Akan tetapi, pada suatu malam, perahu orang asing bangsa Turki ini kedatangan seorang perwira yang galak dan gagah, sedangkan perwira ini ketika datangnya saja sudah sangat aneh dan menakutkan yaitu ia mengempit tubuh seorang gadis muda yang cantik jelita!”

 Berdebarlah hati Cin Hai dan Ang I Niocu. Bukankah gadis yang dimaksudkan ini Lin Lin adanya? Akan tetapi Cin Hai lalu mendesak, “Teruskan, teruskan ceritamu!”

 “Setelah perwira galak ini naik ke dalam perahu kami, maka kami berdua lalu mendapat perintah untuk mendayung perahu dan sepanjang yang kami dengar, perwira itu tadinya hendak membunuh gadis yang ditawannya, akan tetapi maksudnya dihalangi oleh orang asing itu, dan agaknya Si Perwira takut dan tunduk kepadanya. Gadis itu lalu ditahan di dalam kamar perahu dan tidak diganggu. Akan tetapi, memang setan berkeliaran di atas sungai ini! Tiba-tiba perahu yang kami dayung itu bertumbuk dengan sebuah perahu lain yang biarpun kecil, akan tetapi maju dengan kuat hingga perahu kami terhalang. Dan yang lebih hebat lagi, ketika kami menegur nelayan tua yang berada di perahu kecil itu, ia menjadi marah dan sekali pukulkan dayungnya yang besar, perahu yang kami dayung menjadi pecah dan bocor hingga tenggelam!”

 “Nelayan Cengeng!” tak terasa lagi Cin Hai berseru. Nelayan yang bercerita itu menjadi kaget karena menyangka bahwa dialah yang dimaki cengeng tetapi sebelum ia sempat bertanya, Cin Hai sudah mendesaknya lagi. “Teruskanlah, teruskanlah!”

 “Penumpang-penumpang kami orang Turki yang aneh dan perwira yang galak itu menjadi marah dan melompat ke darat, sedangkan gadis cantik yang ditawan itu pun tak tersangka-sangka lihai juga dan dapat melompat ke darat! Kami berdua tak dapat melompat sejauh itu maka kami lalu menceburkan diri ke dalam air dan berenang ke tepi. Ternyata di tepi itu terjadi pertempuran hebat! Orang Turki bertempur melawan nelayan tua yang memegang dayung dan yang telah memecahkan perahu kami, sedangkan Si Perwira dikeroyok oleh gadis tawanannya dan seorang pemuda tampan kawan nelayan tua itu.”

 “Ma Hoa!” kata Ang I Niocu dan kembali nelayan itu memandang heran karena tidak tahu maksud Dara Baju Merah yang berseru karena amat tertarik mendengar penuturan ini.

 “Dan bagaimana hasil pertempuran itu?” Cin Hai mendesak dengan tak sabar, karena ia telah merasa pasti bahwa yang mengeroyok perwira itu tentu Lin Lin dan Ma Hoa dan yang bertempur melawan orang Turki tentu Si Nelayan Cengeng.

 “Kesudahannya mengerikan sekali...” nelayan yang pandai bercerita itu sengaja berhenti sebentar untuk membikin pendengar-pendengarnya makin bernafsu dan ceritanya makin menarik, “perwira yang galak dan gagah itu tewas. Kepalanya remuk dipukul oleh dayung yang dipegang gadis tawanannya, sedangkan dadanya bolong-bolong tertembus pedang Si Pemuda tampan!”

 Baik Cin Hai maupun Ang I Niocu menghela napas lega. “Mampuslah si keparat!” seru Cin Hai dengan gembira, kemudian ia menegaskan, “Bukankah perwira itu masih muda, kira-kira tiga puluh tahun, dan bibirnya tebal?”

 Nelayan itu memandangnya heran, “Betul sekali, apakah Kongcu kenal padanya?”

 Akan tetapi Cin Hai tidak menjawab pertanyaan ini, hanya bertanya lagi, “Dan bagaimana hasil pertempuran orang Turki melawan nelayan tua itu?”

  

 “Mereka bertempur secara luar biasa sekali hingga kami berdua tidak dapat melihat siapa menang siapa kalah. Tiba-tiba mereka berhenti bertempur dan agaknya lalu mengikat persahabatan. Si Nelayan Tua itu benar-benar setan air! Ia menyelam ke dalam air dan berhasil mencari dan mengambil perahu yang telah tenggelam itu. Bukan main! Selama hidupku belum pernah aku melihat orang dapat melakukan hal semacam itu. Tentu ia iblis air sungai itu!”

 “Hush! Jangan membuka mulut sembarangan saja. Sekali lagi kau memaki dia, kutampar mulutmu!” kata Cin Hai sambil mendelikkan matanya hingga nelayan itu terkejut dan takut. “Teruskan ceritamu, bagaimana selanjutnya dengan mereka itu?”

 “Selanjutnya? Tidak ada apa-apa lagi. Mereka berempat setelah memperbaiki perahu lalu berangkat pergi dan kami ditinggalkan dengan perahu kecil ini dan hadiah uang!”

 “Jadi perahu kecil ini adalah perahu kepunyaan nelayan tua itu?” tanya Cin Hai dengan girang. Kedua nelayan itu menjadi pucat karena mereka telah kelepasan omong.

 “Kalau begitu kami hendak memakai perahu ini,” kata Ang I Niocu yang merogoh keluar dua potong uang perak dari sakunya. “Nih, kalian ambil seorang satu! Perahu ini kami ambil!”

 Melihat bahwa perahu itu hanya diganti dengan dua potong uang perak, kedua nelayan itu menjadi bingung, “Eh, Siocia, eh... Toanio, nanti dulu, perahu... perahu kami ini harganya lebih dari lima potong uang perak!”

 Ang I Niocu mengangkat tangan mengancam. “Perahu ini bukan perahu kalian! Memberi dua potong perak sudah terlalu banyak untukmu dan itu pun bukan untuk membeli perahu ini, akan tetapi sebagai upah kalian bercerita tadi!”

 Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu ke tengah sungai. Kedua nelayan itu tidak berani berbuat sesuatu, hanya melihat perahu itu pergi makin jauh dengan hati memaki-maki kalang kabut, akan tetapi mulut tidak berani bersuara!

 Dua hari kemudian ketika perahu melalui sebuah hutan, Ang I Niocu melihat pohon-pohon buah lenci di dekat pantai.

 Melihat buah yang bergantungan dan sudah masak itu, timbul seleranya dan ia mengusulkan untuk berhenti dan beristirahat sebentar sambil mencari dan makan buah. Cin Hai setuju, oleh karena ia pun merasa ingin makan buah yang segar nampaknya itu. Mereka lalu mendayung perahu ke pinggir dan menarik perahu kecil itu ke darat. Kemudian, oleh karena melihat tempat itu sunyi dan indah sekali, timbul kegembiraan mereka dan keduanya lalu melompat ke atas cabang pohon dan memilih buah sesuka hati mereka.

 Akan tetapi tiba-tiba Cin Hai berseru kaget dan cepat melompat turun dan ketika Ang I Niocu memandang ke arah perahu mereka, ia pun terkejut sekali. Seorang tosu (pendeta penganut Agama Tao) sedang menarik perahu mereka ke arah air, dan agaknya ia hendak mempergunakan kesempatan itu untuk mencuri perahu mereka! Ang I Niocu menjadi marah sekali dan ia pun cepat melompat turun dari atas pohon.

 Ketika Cin Hai dan Ang I Niocu berlari ke arah perahu mereka, tiba-tiba dari balik batang pohon besar melompat keluar seorang hwesio (pendeta penganut Agama Buddha) yang bertubuh pendek tapi gemuk sekali. Hwesio ini kelihatan lucu sekali, mukanya seperti muka anak kecil yang gemuk, dan jika dilihat, ia persis seperti boneka besar atau Jilaihud yang berwajah baik dan peramah. Mukanya yang bulat itu selalu tersenyum ramah, tubuhnya bagian atas yang serba bulat dan gemuk hanya menutup kedua pundak dan lengannya saja, sedangkan tubuh atas bagian depan terbuka sama sekali! Dadanya yang bergajih dan pusarnya yang besar kelihatan menambah kelucuannya.

 Ia menghadang Cin Hai dan Ang I Niocu sambil tertawa dan berkata, “Ai, ai, kalian sepasang burung dara yang bahagia! Mengapa melayang turun dari pohon dan berlari-lari. Bukankah lebih senang bermain-main di atas pohon?”

 Bukan main marahnya Cin Hai mendengar ini, sedangkan Ang I Niocu dengan muka merah lalu membentak, “Bangsat gundul kurang ajar! Tutup mulutmu dan minggirlah!”

 Akan tetapi hwesio tadi memandang heran dan tertawa lagi, “Eh, eh, mengapa marah-marah? Apakah aku mengganggu kalian?”

 “Hwesio gemuk, jangan kau menghadang di depan kami!” kata Cin Hai yang lebih sabar, “Kami akan mengejar pencuri perahu itu!”

 Si Hwesio tertawa terus dan berkata, “Pencuri perahu? Kau maksudkan tosu itu? Ah, dia adalah saudaraku! Kami hanya ingin pinjam sebentar perahumu itu!”

 “Bagus, hwesio maling!” kata Ang I Niocu yang segera melompat maju dan mengayun kepalan tangan menghantam dada hwesio yang gemuk itu. Akan tetapi Ang I Niocu terkejut sekali karena tidak menyangka bahwa hwesio segemuk ini dapat bergerak gesit sekali ketika ia mengelak dari pukulan Ang I Niocu.

  

 “Waduh, ganas... ganas...!” seru hwesio gendut itu yang masih saja tertawa-tawa sungguhpun Ang I Niocu menyerang bertubi-tubi dengan pukulan cepat hingga ia harus mengelak ke sana ke mari dengan repot sekali.

 Sementara itu, tosu yang hendak mencuri perahu tadi, ketika melihat betapa saudaranya diserang oleh Ang I Niocu dan terdesak sekali, segera menarik kembali perahu itu ke darat dan berlari-lari ke arah tempat pertempuran.

 “Jangan kau memukul Adikku!” teriaknya dan segera menyerang Ang I Niocu. Melihat serangan ini hebat juga datangnya, Cin Hai lalu maju menangkis dan keduanya lalu bertempur ramai! Keadaan tosu ini sama sekali berbeda dengan hwesio itu. Kalau hwesio itu gemuk dan pendek bermuka ramah dan mulutnya selalu tersenyum, adalah Si Tosu ini mukanya seperti orang mewek dan menangis, matanya yang sipit itu seakan-akan memandang dengan sedih hingga membikin sedih pula kepada orang yang melihatnya.

 Ang I Niocu biarpun sedang marah, akan tetapi melihat betapa hwesio itu biarpun terdesak sekali masih saja tertawa-tawa dengan muka sama sekali tidak memperlihatkan ketakutan, menjadi tidak tega hati untuk melukainya, dan hanya mendesak dengan ilmu silat yang baru dipelajarinya dari Bu Pun Su, yaitu ilmu Silat Kong-ciak-sin-na hingga hwesio itu tak dapat membalas menyerang dan dipermainkan oleh Ang I Niocu bagaikan seekor kucing. Ang I Niocu memang sengaja menggunakan hwesio itu sebagai ujian bagi ilmu silatnya yang baru dan ia merasa girang sekali mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dipelajarinya dari Bu Pun Su ini memang betul-betul luar biasa.

 Sebaliknya dengan mudah Cin Hai pun dapat mendesak Si Tosu. Kemudian, sebelah kakinya berhasil menggaet kaki tosu itu yang segera jatuh terguling-guling dan mengeluh kesakitan.

 “Nah, biar kau kapok mendapat hajaran sedikit!” kata Cin Hai. “Dan agar lain kali tidak berani mencoba untuk mencuri perahu lain orang.”

 Si Tosu itu dengan muka seperti orang menangis menoleh ke arah hwesio yang masih diserang kalang-kabut oleh Ang I Niocu. Ia mengeluh lagi dan berseru. “Ceng Tek, sudahlah baik kita menyerah. Mereka ini bukan makanan kita!” Mendengar kata-kata ini, hwesio gemuk itu lalu melompat mundur dan berkata sambil tertawa, “Sudahlah Nona, pinceng mengaku kalah!” Ang I Niocu menjadi geli hatinya dan ia pun tidak tega untuk menyerbu terus.

 “Kalian dua orang tua ini siapakah dan mengapa hendak mencuri perahu kami?” tanyanya.

 Kedua pendeta itu saling pandang dan sambil menjura, tosu itu berkata. “Kami dua kakak beradik adalah pendeta-pendeta perantau. Adikku ini bernama Ceng Tek Hwesio dan pinto sendiri bernama Ceng To Tosu. Tadinya kami kira bahwa kalian berdua adalah sepasang orang muda yang hendak berpelesir di sini, maka kami berani mengganggu dan hendak meminjam perahu kalian. Tidak tahunya, melihat pakaian dan kepandaian Nona ini, kami tidak akan heran apabila kau mengaku wanita yang berjuluk Ang I Niocu!”

 Ang I Niocu tersenyum. “Memang dugaanmu tepat sekali, Totiang. Aku adalah Ang I Niocu dan saudaraku ini adalah Pendekar Bodoh!”

 Kedua mata Ceng To Tosu yang sipit itu dipentang lebar. “Apa? Dengan kepandaiannya seperti itu, ia masih disebut Pendekar Bodoh? Ah, kalau yang bodoh saja kepandaiannya setinggi ini, apalagi yang pintar?” Biarpun tosu ini mengucapkan kata-kata yang mengandung kelakar, namun tetap saja mukanya mewek seperti mau menangis! Dan hwesio pendek gemuk itu tetap tersenyum dengan muka sesenang-senangnya!

 Cin Hai tertarik sekali melihat dua saudara yang aneh ini, maka ia lalu bertanya. “Harap kau dua orang suci suka berkata terus terang saja. Sebetulnya mau meminjam perahu kami hendak pergi ke manakah?”

 Kini hwesio gemuk itu yang menjawab dan ucapannya penuh kejujuran. “Kami hendak pergi ke laut dan mencari sebuah pulau.”

 “Pulau Emas?” Cin Hai cepat menyambung dan kedua pendeta itu tercengang.

 “Kau... sudah tahu?”

 “Tentu saja! Kami hendak pergi ke sana!”

 “Aha! Sungguh kebetulan sekali. Sudahkah kalian dua anak muda tahu di mana letaknya Kim-san-to (Pulau Gunung Emas)?”

 Terus terang saja Cin Hai menyatakan belum tahu. Kedua pendeta itu lalu saling pandang dan akhirnya Si Tosu berkata,

 “Baiklah, sekarang diatur begini saja. Perahu ini cukup lebar untuk ditumpangi empat orang. Kami berdua membonceng kalian dan sekalian menjadi penunjuk jalan. Kalian mempunyai perahu akan tetapi tidak kenal jalan, sedangkan kami berdua yang kenal jalan tidak mempunyai perahu! Bukankah kita dapat saling menolong?”

  

 Cin Hai dan Ang I Niocu kini saling berpandangan dan akhirnya Cin Hai mengangguk dan berkata,

 “Kata-katamu ini pantas juga. Biarlah kita sama-sama mencari pulau itu dan kalian berdua menjadi petunjuk jalan!”

 “Akan tetapi perahu kita kecil dan hwesio gemuk ini tentu berat sekali! Asal saja kau tidak banyak bergerak hingga jangan-jangan perahu kita akan terguling dan tenggelam!” kata Ang I Niocu sambil tertawa sehingga mereka berempat sama-sama tertawa gembira. Cin Hai dan Ang I Niocu merasa suka kepada dua orang aneh itu dan mereka dapat menduga bahwa kedua orang ini tentulah orang-orang kang-ouw yang berwatak baik.

 Beberapa hari kemudian, keempat orang dalam perahu kecil itu telah sampai di samudera dan mulai dengan usaha mereka mencari Pulau Kim-san-tho. Atas petunjuk kedua pendeta itu, perahu didayung ke kiri dan melalui pantai yang curam dan batu-batu karang yang tinggi.

 Ketika perahu mereka bergerak perlahan di tepi batu karang yang tinggi dan hitam, tiba-tiba dari atas menyambar turun bayangan yang cepat sekali gerakannya! Bayangan ini menyambar ke arah dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang telanjang.

 Kaget sekali empat orang di dalam perahu itu ketika melihat bahwa yang menyambar adalah seekor burung rajawali yang besar dan buas sekali! Agaknya burung ini tertarik oleh kegemukan dada dan perut Ceng Tek Hwesio yang bergajih dan montok itu, hingga ia menyambar turun hendak mencengkeram daging gemuk itu!

 Ceng Tek Hwesio kaget dan hendak berkelit, akan tetapi berat badannya membuat perahu berguncang!

 “Hai, jangan bergerak!” Ang I Niocu mencegah dan gadis ini dengan cepat lalu menendang ke arah burung yang menyambar turun itu dan alangkah kagetnya ketika burung itu dengan cepat dapat mengelak tendangannya dan melayang ke atas lagi!

 Cin Hai yang berdiri di kepala perahu dan memandang tajam, juga ia merasa kagum melihat ketangkasan dan kecepatan burung yang besar itu. Sedangkan hwesio pendek gemuk itu, melihat bahwa dirinya diserang oleh burung rajawali, hanya tersenyum-senyum dan tertawa ha-ha-hi-hi saja, dan biarpun hatinya berdebar ngeri, akan tetapi mukanya tetap tersenyum. Sebaliknya, muka Ceng To Tosu makin nampak sedih dan mewek bagaikan benar-benar hendak menangis tersedu-sedu oleh karena ia merasa kuatir dan juga marah kepada burung pemakan manusia itu.

 Kini burung rajawali menyambar turun dari atas dengan cepatnya. Ang I Niocu yang merasa mendongkol melihat tendangannya tadi dapat dikelit oleh burung besar itu, berkata kepada kawan-kawannya,

 “Jangan bergerak dan biarkan aku bikin mampus burung celaka itu!” Ketika burung itu mengulur cakarnya dan kembali hendak menyerang hwesio gendut itu, Ang I Niocu cepat menghantam dengan tangan kanannya sekerasnya! Kembali ia tertegun oleh karena burung itu dapat miringkan tubuh dan mengibas dengan sayapnya seakan-akan menangkis pukulan Ang I Niocu! Akan tetapi pukulan itu bukanlah pukulan biasa dan dilakukan dengan tenaga lweekang hingga biarpun burung itu menangkis dengan sayap, namun tubuh burung itu terlempar jauh dan oleh karena sakitnya, tiba-tiba sambil memekik keras burung yang terlempar ke atas itu mengeluarkan kotoran yang jatuh menimpa berhamburan ke arah perahu bagaikan hujan. Kebetulan sekali kotoran itu jatuh tepat ke arah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hingga muka dan baju kedua pendeta itu menjadi kotor kena kotoran burung itu.

 Ang I Niocu makin gemas dan marah karena burung itu agaknya tidak terluka dan hanya terpental dan kaget saja. Juga burung itu kini terbang berputaran di atas perahu sambil mengeluarkan suara nyaring. Ang I Niocu mencabut keluar pedangnya dan dengan muka merah karena gemas ia berkata,

 “Burung keparat, turunlah kalau kau berani!”

 Seakan-akan mengerti dan dapat mendengar tantangan gadis itu, burung rajawali yang berbulu kuning emas dan berparuh merah itu memekik panjang dan kembali menyerang turun dan kini bukan menyerang kepada hwesio gendut, akan tetapi langsung menyerang Ang I Niocu, oleh karena agaknya ia marah sekali kepada Dara Baju Merah yang telah dua kali menyerangnya itu.

  

 Burung ini adalah semacam Kim-tiauw atau Rajawali Emas yang jarang terdapat dan yang disebut raja segala burung. Ketika ia menyerang Ang I Niocu, gerak tubuhnya cepat dan tak terduga oleh karena ia bukan menyerang langsung dari atas, akan tetapi turun sambil bergerak-gerak ke kanan kiri dengan cepatnya. Ang I Niocu bukanlah sembarangan gadis yang takut akan segala macam burung. Dengan seruan keras, sebelum burung itu menyambar, Ang I Niocu sudah mendahului melompat ke atas sambil menyambar dengan pedangnya. Burung Kim-tiauw itu kembali secara aneh dapat mengelak dan mumbul lagi ke atas, kemudian berkali-kali ia menyerang turun. Terjadilah pertempuran yang hebat dan indah dipandang antara Ang I Niocu di atas perahu dan burung rajawali yang menyambar-nyambar dari atas. Beberapa kali pedang Ang I Niocu yang hampir dapat memenggal leher burung itu, tiba-tiba dapat disampok dengan sayap atau cakar dengan kuku burung itu, hingga Ang I Niocu menjadi makin marah dan penasaran saja. Biarpun Ang I Niocu belum berhasil membunuh Kim-tiauw, akan tetapi banyak bulu burung itu telah rontok ketika sayapnya menyampok pedang, sedangkan burung itu sama sekali tidak mendapat kesempatan menyerang gadis perkasa itu.

 Sebenarnya kalau ia berada di atas tanah keras, tentu Ang I Niocu sudah berhasil membunuh Kim-tiauw itu, akan tetapi ia berada di atas perahu yang bergerak-gerak hingga membuat gerakannya tidak leluasa sekali. Setelah berkali-kali gagal serangannya, bahkan hampir saja pedang tajam menembus dadanya dan memenggal leher, akhirnya Kim-tiauw itu agaknya mengakui kelihaian Ang I Niocu dan sambil mengibaskan sayapnya yang lebar dan kuat dan mengeluarkan bunyi seperti orang mengeluh panjang, ia lalu terbang pergi dengar cepat sekali hingga sebentar saja tubuhnya hanya merupakan titik kuning emas di langit biru.

 Ang I Niocu menyimpan kembali pedangnya dan duduk dengan muka merengut, hatinya tidak puas sekali karena kegagalannya membunuh burung besar itu, akan tetapi Ceng To Tosu lalu ber kata sambil menghela napas panjang,

 “Baiknya kau tidak membunuhnya Lihiap.”

 “Eh, mengapa, kau berkata baik sedangkan hatiku kecewa sekali karena tidak berhasil membunuhnya?” kata Ang I Niocu sambil memandang heran.

 Burung itu adalah burung Kim-sin-tiauw atau Rajawali Sakti Berbulu Emas, dan burung itu di daerah ini terkenal burung pembawa rezeki dan kebahagiaan. Kita telah bertemu dengan dia dan memusuhi kita, hal ini tidak baik sekali, apalagi kalau kau tadi sampai salah tangan dan membunuhnya!”

 Diam-diam Cin Hai terkejut sekali mendengar ini, akan tetapi Ang I Niocu berkata, “Burung jahat itu mana bisa membawa kebahagiaan?” Biarpun Cin Hai tidak setuju mendengar ucapan gadis ini akan tetapi oleh karena ia telah maklum bahwa gadis ini tidak takut apa pun juga, ia diam saja dan tidak menyatakan kekuatirannya, hanya berkata memuji,

 “Kim-sin-tiauw itu lihai sekali dan gerakannya tangkas dan cepat.”

 “Kalau di darat ada harimau menjadi raja dan di laut ada naga, maka di udara Kim-sin-tiauw boleh dibilang menjadi raja udara!” kata Ceng Tek Hwesio yang masih tersenyum-senyum seakan-akan kejadian tadi adalah hal yang menyenangkan hatinya!

 “Dan raja udara itu hampir saja berpesta pora menikmati kelezatan dagingmu yang gemuk!” kata Cin Hai dan semua orang tertawa geli, kecuali Ceng To Tosu yang agaknya selama hidup tak pernah tertawa, dan ia hanya mengutarakan kegelian hatinya dengan mewek makin menyedihkan!

 Kita tinggalkan dulu perahu kecil yang dinaiki empat orang yang sedang mencari Pulau Emas itu, pulau yang aneh dan mengandung rahasia dan yang pada waktu itu menjadikan sebab terjadinya hal-hal yang hebat oleh karena tiga bangsa sedang berusaha merampasnya!

 Kerajaan Turki di waktu itu yang telah mendengar tentang adanya Pulau Emas di laut timur Negara Tiongkok telah mengirim dan menyebar para penyelidiknya, di antaranya Yousuf yang cerdik dan yang menjadi orang pertama mendapatkan pulau itu. Di samping menyebar mata-mata, Kerajaan Turki lalu mengirim sejumlah besar tentaranya untuk menyerbu ke daerah ini. Mereka tidak berani melalui daratan Tiongkok, oleh karena maklum bahwa apabila mereka melalui daratan pedalaman Tiongkok, mereka akan menghadapi rintangan-rintangan besar yang memungkinkan gagalnya usaha mereka, oleh karena Tiongkok selain mempunyai daerah luas yang berbahaya, juga memiliki banyak orang pandai yang tentu akan melawan tentara Turki yang menjelajah negaranya. Oleh karena ini, barisan Turki itu mengambil jalan memutar dari utara, bergerak ke timur melalui sepanjang perbatasan Negara Tiongkok dan masuk di daerah Mongol dan mereka ini pun tidak tinggal diam dan melawan barisan asing yang tanahnya. Akan tetapi oleh karena pada waktu itu bangsa Mongol masih belum kuat dan hidupnya berkelompok-kelompok ini dapat dihalau oleh barisan Turki yang kuat.

 Barisan Turki ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bahkan di dalam barisan terdapat seorang pemimpin aneh yang merupakan seorang pendeta bertubuh besar sekali bagaikan seorang raksasa akan tetapi agak pendek. Pendeta ini berkepala botak, berjenggot hitam dan kaku bagaikan kawat dan yang menyongot ke sana ke mari tidak terawat. Tubuhnya yang gemuk besar itu mengenakan pakaian yang aneh pula, oleh karena pakaian ini terbuat dari banyak macam kain kembang yang ditambal-tambal. Dilihat dari keadaan pakaiannya, pendeta ini lebih pantas disebut seorang pengemis jembel!

  

 Pendeta ini lihai dan sakti sekali dan ia menjadi jago nomor satu di seluruh Kerajaan Turki. Namanya di Turki terkenal sebagai Balutin, sedangkan pendeta yang telah seringkali merantau di pedalaman Tiongkok ini disebut dalam bahasa Tiongkok sebagai Pouw Lojin. Oleh karena sering masuk di daerah Tiongkok, maka Balutin pandai bicara dalam bahasa Tionghoa.

 Dengan adanya pendeta ini, maka ekspedisi Turki ini tidak mengalami banyak rintangan, oleh karena setiap penghalang yang kuat selalu hancur apabila berhadapan dengan Balutin yang lihai. Selain ilmu silatnya yang tinggi, Balutin juga mahir dalam ilmu sihir, dan lweekang serta khikangnya sudah mencapai tingkat tinggi sekali.

 Oleh karena adanya gerakan tentara Turki inilah yang membuat bangsa Mongol gelisah sekali. Mereka ini merasa pun akhirnya dapat juga mencari tahu akan rahasia Kerajaan Turki dan dapat mengetahui bahwa bangsa Turki ini hendak mencari sebuah Pulau Emas di Laut Tiongkok. Maka, bangsa Mongol lalu menguasakan kepada Pangeran Vayami yang cerdik dan untuk menghubungi Kaisar Tiongkok. Ini pulalah sebabnya maka Hai Kong Hosiang diutus oleh kaisar untuk mengundang Pangeran Vayami datang ke istana kaisar. Setelah Vayami bertemu dengan kaisar secara cerdik sekali Vayami lalu menghasut dan memberi tahu bahwa tentara Turki bermaksud mengurung ibu kota Tiongkok dan merampas sebuah pulau di Laut Tiongkok yang mengandung banyak emas! Secara cerdik sekali Pangeran Vayami menghasut dan hendak mengadudombakan tentara Turki dan tentara Tiongkok, sedangkan diam-diam pangeran yang cerdik dan licin ini telah mempersiapkan kaki tangannya untuk secara mendadak menyerbu pulau itu. Ia mengambil siasat “Membiarkan Dua Ekor Anjing Berebut Tulang” dan kemudian diam-diam membawa tulang itu berlari sementara kedua anjing itu masih bergumul!

 Akan tetapi, Kaisar Tiongkok pun bukan seorang bodoh, dan seandainya ia sendiri bodoh, namun para penasehatnya adalah orang-orang cendekiawan yang berpemandangan luas. Oleh karena ini biarpun kaisar telah masuk dalam perangkapnya dan mengirimkan barisan besar yang dikepalai oleh Beng Kong Hosiang dan beberapa orang perwira tertinggi kepandaiannya bahkan kepala bayangkari, seorang perwira kekasih kaisar yang amat tinggi kepandaiannya dan bernama Lui Siok In, mendapat tugas khusus untuk memimpin barisan itu bersama-sama Beng Kong Hosiang dan lain-lain perwira, bergerak menuju ke pantai laut di sebelah utara dekat tapal batas Tiongkok, di mana menurut keterangan Pangeran Vayami tentara Turki itu berkumpul. Sementara itu, kaisar memerintahkan Hai Kong Hosiang untuk tetap menemani Pangeran Vayami dengan alasan melindungi keselamatan tamu agung itu dalam perjalanannya kembali ke negerinya, sedangkan sebetulnya kaisar ini bukan hendak menjaga keselamatan orang, akan tetapi bahkan ingin mengawasi dan mengikuti gerak-geriknya, dan membatasi usaha-usaha kecurangan yang mungkin hendak dilakukan oleh Pangeran Vayami yang cerdik. Oleh karena ini, Hai Kong Hosiang mendapat tugas istimewa dan hwesio ini pun lalu mengajak supeknya, yaitu Kiam Ki Sianjin yang telah pikun dan gagu, akan tetapi masih lihai sekali itu.

 Pangeran Vayami lalu keluar dari istana bersama Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin, dan pangeran ini langsung menuju ke utara pula dan memberi tahukan kepada Hai Kong Hosiang tentang adanya Pulau Emas itu. Hai Kong Hosiang walaupun seorang pendeta, namun hatinya tertarik dan ingin sekali mendapatkan gunung emas itu, maka ia pun lalu menyetujui ajakan Pangeran Vayami untuk menyaksikan pulau itu dari dekat dan kalau mungkin mendarat di pulau itu. Hal ini menurut Hai Kong Hosiang tidak ada salahnya, oleh karena tugasnya yang didapat dari kaisar hanya mengawasi dan menjaga agar pangeran ini jangan melakukan sesuatu yang akan merugikan, pendeknya kaisar mencurigai Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang bertugas mengawasinya.

 Ketika tentara Turki yang dipimpin dan dilindungi oleh Balutin itu tiba di tepi pantai laut, mereka berhenti dan memasang kemah. Sementara itu, bagian perlengkapan lalu sibuk membuat perahu-perahu untuk keperluan menyeberang. Biarpun mereka telah lebih dulu menyediakan segala keperluan untuk membuat perahu-perahu ini, akan tetapi oleh karena jumlah tentara yang hendak diseberangkan ini tidak kurang dari seribu orang, maka pembuatan perahu itu makan waktu berhari-hari.

 Dan pada waktu mereka sedang sibuk membuat persiapan menyeberang, datanglah tentara Kerajaan Tiongkok yang dipimpin oleh Lui Siok In, Beng Kong Hosiang dan perwira-perwira lain! Tentara Tiogkok lebih banyak jumlahnya dan karena mereka datang di waktu hari telah menjadi gelap, maka tentara Tiongkok di bawah pimpinan Lui Siok In yang pandai, lalu diam-diam mengurung perkemahan tentara Turki. Kemudian, serentak tentara Tiongkok, yang sudah mengurung ini memasang obor hingga keadaan menjadi terang sekali bagaikan siang hari!

 Tentu saja, ketika tiba-tiba melihat ribuan obor menyala mengelilingi tempat mereka, tentara Turki menjadi panik. Akan tetapi, Balutin dengan senyumnya yang selalu menghias mukanya yang bulat dan gemuk, berhasil menyuruh anak buahnya berlaku tenang. Mereka diperintahkan untuk memasang dan memegang obor pula, kemudian ia lalu berdiri di depan barisannya menanti kedatangan musuh.

  

 Lui Siok In dengan tindakan gagah, pedang di pinggang dan sayap garuda menghias topinya, tanda bahwa ia adalah seorang perwira Sayap Garuda tingkat tertinggi, diikuti oleh perwira-perwira lain dan Beng Kong Hosiang, maju menghampiri Balutin dan berkata dengan suara lantang,

 “Hai, tentara Turki! Kalian telah melanggar wilayah kami dan karena sekarang kamu telah dikurung dan tak berdaya, maka lebih baik kamu menyerah saja agar menjadi orang-orang tawanan yang akan kami perlakukan dengan baik-baik!”

 Di bawah penerangan obor di sekeliling mereka yang dipegang oleh tentara kedua belah fihak, Balutin kelihatan seperti seorang raksasa pendek. Pendeta Turki ini lalu melangkah maju dan sambil tertawa ia menuding ke arah Lui Siok In dan berkata, “Hai, Perwira muda! Siapakah yang menjadi pemimpin besar barisanmu ini? Suruhlah dia sendiri maju, dan jangan majukan segala perwira hijau untuk bicara dengan aku!”

 Mendengar dirinya disebut “perwira hijau” oleh pengemis jembel yang gemuk sekali ini, tentu saja Lui Siok In menjadi marah.

 “Bangsat jembel, siapakah kamu?”

 Balutin tertawa bergelak sambil memegangi perutnya. “Kau mau tahu aku siapa? Akulah pemimpin besar barisan Turki! Akulah Balutin atau boleh juga kausebut Pouw Lojin! Anak muda, panggillah keluar pemimpin besarmu agar dapat bicara dengan aku!”

 Lui Siok In terkejut mendengar bahwa yang berdiri di depannya seperti seorang pengemis jembel ini adalah Balutin sendiri, tokoh yang amat terkenal semenjak tentara Turki menyerbu melalui Mongol. Nama Balutin ini pernah disebut-sebut oleh kaisar sendiri ketika memberi perintah kepadanya untuk memimpin barisan, oleh karena kaisar pun telah mendengar dari Pangeran Vayami yang sangat memuji-muji Balutin sebagai orang gagah dan pemimpin besar. Lui Siok In tidak sudi memperlihatkan kelemahan dan kejerihannya, maka sambil tertawa ia berkata,

 “Aha, tidak tahunya pemimpin besar tentara Turki yang bernama Balutin dan yang disohorkan sangat gagah perkasa itu hanyalah seorang pengemis jembel yang terlantar. Ha-ha-ha! Ketahuilah, Jembel gemuk, akulah pemimpin barisar ini dan namaku Lui Siok In. Lebih baik kau menyerah saja agar kau dapat diberi makan enak dan tak usah mampus di ujung senjata!”

 Balutin memandang heran dan hampir tak percaya bahwa panglima besar tentara Tiongkok hanyalah seorang perwira muda ini. Ia lalu berkata menghina,

 “Agaknya Tiongkok sudah kehabisan orang gagah, maka terpaksa memajukan kau sebagai panglima. Mari, hendak kulihat sampai di mana kepandaianmu!'

 Sambil berkata demikian, Balutin menengok ke arah pohon yang tumbuh di dekat situ. Daun-daun pohon itu bergantungan di atasnya dan ia lalu menggerakkan kedua tangannya menampar ke arah daun-daun pohon itu. Angin besar keluar dari kedua lengannya yang dipenuhi tenaga khikang itu dan beberapa helai dauh pohon itu lalu rontok dan melayang ke bawah! Balutin masih menggerak-gerakkan kedua tangannya dan daun-daun pohon yang melayang ke bawah itu bergerak-gerak di udara dan tak dapat melayang turun, seakan-akan tertahan oleh tiupan dari bawah dan kini bermain-main di udara bagaikan hidup!

 Lui Siok In terkejut sekali dan ia mengerti bahwa Balutin sedang mempergunakan kepandaian khikang yang disebut Mempermainkan Daun Rontok! Ia maklum bahwa daun-daun ini biarpun ringan, akan tetapi dapat digerakkan dengan tenaga khikang dan dapat dipakai menyerang lawan bagaikan senjata-senjata hasia hebat! Di Tiongkok juga terdapat ilmu ini yang dipelajari sambil menggunakan tenaga khikang dan angin gerakan tangan dapat diarahkan kepada daun-daun itu hingga daun-daun itu dapat digerakkan ke mana saja menurut kehendak orang.

 Benar saja sebagaimana dugaan Lui Siok In. Tiba-tiba Balutin lalu membuat gerakan dengan kedua telapak tangannya dan daun-daun itu dari atas lalu menyambar turun hendak menyerang tubuh Lui Siok In. Perwira muda ini bukan orang sembarangan dan ia juga memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia tidak lihai, mana ia bisa diterima menjadi kepala pengawal pribadi kaisar. Ia lalu berseru keras dan membuat gerakan dengan jari-jari tangannya pula yang ditelentangkan. Dari kedua telapak tangannya ini keluarlah tenaga khikang yang hebat pula dan aneh. Daun-daun yang tadinya dari atas melayang naik kembali dan terapung-apung di tengah udara. Pertempuran hebat dan adu tenaga khikang ini berlangsung lama dan menegangkan hingga semua tentara yang memegang obor dan menyaksikan pertandingan hebat ini menahan napas. Kedua panglima itu berhadapan dengan mata saling pandang dan kedua tangan bergerak-gerak dan diulur ke depan seakan-akan dua orang pengemis sedang minta sedekah, sedangkan daun-daun itu melayang-layang di tengah udara, sebentar menyambar turun, sebentar melayang naik kembali.

 Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa Lui Siok In kalah tinggi kepandaiannya dan tenaga khikangnya masih kalah setingkat oleh Balutin yang lihai itu. Beberapa kali kedua orang itu berseru mengerahkan tenaga, dan perlahan tapi tentu, kedua tangan Lui Siok In mulai gemetar, sedangkan pada mukanya yang pucat itu mengucur peluh membasahi jidat dan pipinya. Daun-daun yang bergerak-gerak di udara itu mulai mendesak turun dan makin mendekati kepala Lui Sok In.

  

 Perwira she Lui itu maklum bahwa apabila adu khikang ini diteruskan, keadaannya akan berbahaya sekali. Maka secepat kilat ia lalu membuat gerakan Ikan Gabus Melompat Tinggi, menjatuhkan diri ke belakang sambil membuat gerakan berjungkir balik, lalu cepat menjatuhkan diri pula sambil bergulingan di atas tanah. Ia memang harus menggunakan gerakan ini, karena kalau tidak ia akan terpukul oleh tenaga khikang yang telah menekan dan mendesaknya. Dengan cara bergulingan itu ia memulihkan aliran darahnya kembali dan membebaskan ia daripada serangan daun-daun itu yang lalu meluncur dan jatuh ke atas tanah.

 Balutin tertawa bekakakan sambil bertolak pinggang. “Ha-ha-ha! Hanya begitu saja kepandaianmu, Perwira muda! Dan kau berani bersombong hendak menawan aku? Ha-ha-ha!”

 “Balutin jembel busuk, jangan sombong!” teriak Lui Siok In dengan marah sekali dan ia lalu mencabut pedang dan menyerang Balutin dengan hebat. Balutin hanya tertawa dan ia memberi tanda ke belakang sambil mengelak ke samping. Seorang pembantunya segera melompat dan melemparkan sebatang tongkat yang panjang dan besar kepada Balutin. Setelah Balutin menerima senjatanya ini ternyata oleh Sui Siok In bahwa senjata itu adalah sebatang tongkat yang nampaknya berat sekali dan entah terbuat dari apa, karena kekuning-kuningan dan berkilau bagaikan emas. Maka keduanya lalu bertanding hebat sekali dan para tentara yang tadinya bersorak-sorak saja menyaksikan pertandingan ini, lalu bergerak maju makin mendekat! Perwira-perwira kedua belah fihak telah melompat maju dan pertandingan semakin seru hingga akhirnya kedua barisan maju saling gempur menimbulkan suara hiruk-pikuk!

 Ujung pedang, golok dan lain-lain senjata berkelebat dan berkilauan di bawah sinar obor dan terdengarlah pekik jerit kemenangan tercampur keluh kesakitan. Darah mengucur keluar bersama peluh dan membasahi tanah yang terpaksa harus menerima segala kengerian yang dilakukan oleh manusia-manusia tu!

 Balutin benar-benar tangguh sekali. Baru bertempur beberapa puluh jurus saja maklumlah Lui Siok In bahwa ia takkan dapat mengalahkan pendeta gemuk ini, maka ia lalu berteriak memberi perintah hingga beberapa orang perwira maju mengeroyok. Juga Beng Kong Hosiang tidak ketinggalan mengeroyok Balutin. Kepandaian Beng Kong Hosiang setingkat dengan kepandaian Lui-ciangkun, maka tentu saja ketika ia pun ikut menyerbu dengan perwira-perwira lain, Balutin mulai terdesak. Akan tetapi, dua orang perwira Turki maju dengan ilmu silat mereka yang aneh dan cepat hingga kembali pihak Balutin dan kawan-kawannya yang mendesak hebat!

 Beng Kong Hosiang yang melihat betapa pihaknya terdesak hebat, menjadi marah sekali. Ia lalu memutar-mutar senjatanya yang istimewa, yaitu pacul yang bergagang bengkok itu dan menyerang Balutin dengan sepenuh tenaga. Memang semenjak tadi, yang diperhatikan oleh Balutin hanya Beng Kong Hosiang yang menyerangnya dengan ganas, maka ia cepat menangkis dan kedua orang ini bertempur seru sekali. Pada suatu saat, ketika Beng Kong Hosiang menyerampang kaki Balutin dengan paculnya, Balutin lalu menangkis sekuat tenaganya hingga terdengar bunyi keras sekali dan gagang pacul Beng Kong Hosiang telah patah! Akan tetapi, tongkat di tangan Balutin juga terlepas dari pegangan. Demikian hebat dan keras benturan tenaga itu! Melihat betapa senjatanya telah patah, Beng Kong Hosiang berseru keras dan ia menyambitkan sisa senjatanya ke arah Balutin yang mengelak cepat. Gagang pacul yang disambitkan itu meluncur cepat bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya dan dengan jitu menancap di dada seorang Turki yang bertempur di belakang Balutin!

 Beng Kong Hosiang masih marah dan bagaikan seekor banteng terluka, ia lalu menubruk maju ke arah Balutin dengan Eng-jiauw-kang atau Cengkeraman Kuku Garuda! Tangan kirinya mencengkeram ke arah dada dan tangan kanannya ke arah leher lawan! Serangan ini hebat sekali dan Balutin berseru keras, menundukkan kepala untuk menghindari serangan leher dan serangan tangan pada dadanya ia tangkis dengan tangan kiri. Akan tetapi, gerakan Beng Kong Hosiang cepat dan ganas sekali hingga ketika lengan kiri Balutin menangkis, maka tangan kirinya itu berhasil mencengkeram lengan tangan Balutin yang menangkis! Balutin berseru kesakitan dan tangan kanannya lalu memukul ke dada lawan.

 “Buk!” terdengar suara keras ketika pukulan tangan ini dengan jitu menghantam dada Beng Kong Hosiang. Pukulan ini keras sekali datangnya hingga dari mulut Beng Kong Hosiang keluar darah segar dan tubuh hwesio itu terpental ke belakang dalam keadaan tidak bernyawa lagi! Akan tetapi, cengkeraman tangannya pada lengan kiri Balutin masih belum terlepas hingga tubuh Balutin terbawa maju.

 Balutin cepat sekali menggunakan jarinya mengetuk sambungan siku lawannya yang telah mati itu. Urat lengan Beng Kong Hosiang yang telah kaku itu ketika kena totokan ini menjadi mengendur dan pegangan atau cengkeramannya terlepas hingga tubuhnya lalu menggelinding ke bawah.

 Balutin memandang ke arah lengan kirinya yang telah menjadi matang biru karena cengkeraman lawan tadi! Ia menggeleng-geleng kepala dan kagum akan ketangguhan Beng Kong Hosiang. Luka di lengan kirinya tidak berbahaya, maka ia lalu mengambil senjatanya lagi dan mengamuk hebat. Banyak perwira roboh di bawah pukulan tongkatnya.

  

 Sementara itu, tentara Tiongkok yang kurang terlatih oleh karena kaisar dan para perwira hanya ingat bersenang-senang saja selama ini, tidak kuat pula menghadapi tentara musuh. Apalagi mereka baru habis melakukan perjalanan hingga keadaan mereka masih lelah sekali, sedangkan pihak musuh sudah berhari-hari beristirahat di situ, maka biarpun jumlah mereka lebih besar, namun korban yang jatuh di pihak mereka juga lebih banyak.

 Melihat kerugian yang diderita oleh pihaknya dan melihat kelihaian Balutin, Lui Siok In lalu memberi perintah mundur, sedangkan ia sendiri pun lalu melompat mundur. Tentara Tiongkok menarik diri dan mundur. Beberapa orang perwira segera diutus untuk mencari bala bantuan!

 Tentara Turki tidak mau mengejar oleh karena mereka mempunyai tugas yang lebih penting, yaitu menyelesaikan pembuatan perahu untuk dipakai menyeberang dan mengurus korban yang roboh di pihak mereka. Mereka hanya berjaga jaga saja kalau-kalau pihak musuh menyerbu lagi.

 Akan tetapi, oleh karena bala bantuan yang diharapkan masih jauh dan belum tentu akan dapat segera datang maka pihak Turki mendapat kesempatan untuk menyelesaikan pembuatan perahu dan mereka lalu beramai-ramai menurunkan perahu-perahu itu ke air dan mulai berlayar! Beberapa orang kawan Yousuf yang dulu bersama-sama pergi mendapatkan Pulau Emas itu, menjadi penunjuk jalan. Ketika bala bantuan yang diharapkan datang jauh letaknya dari tempat itu pihak tentara kerajaan pun lalu mempergunakan perahu-perahu untuk mengejar hingga terjadi pengejaran ramai di atas laut. Akan tetapi perahu-perahu Tiongkok ini terlambat dua hari hingga tertinggal jauh.

 Dengan mempergunakan sebuah perahu besar dan mewah, Pangeran Vayami, pangeran bangsa Mongol yang menjadi pemimpin Agama Sakia Buddha itu berlayar ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Di atas perahu besar ini telah disediakan dua buah perahu-perahu kecil untuk keperluan khusus dan perahu ini berlayar cepat ke tengah samodra. Ketika terjadi pertempuran di malam hari, Pangeran Vayami dan Hai Kong Hosiang melihat dari atas perahu mereka. Akan tetapi mereka hanya melihat obor menerangi seluruh tepi dan mendengar suara teriakan mereka yang berperang. Diam-diam Pangeran Vayami bersorak girang di dalam hatinya oleh karena tipu dayanya berhasil baik. Ia telah memberi perintah kepada anak buahnya, yaitu pendeta-pendeta Sakia Buddha untuk dengan diam-diam menuju ke Pulau Emas yang diperebutkan itu.

 Tipu daya Pangeran Vayami amat jahat dan licin. Ia memerintahkan para pengikutnya itu untuk mengangkut harta benda berupa emas yang berada di pulau itu, setelah berhasil mencari dan mengangkutnya ke perahu, para pendeta itu diharuskan membakar sebuah telaga yang mengandung minyak bakar agar pulau itu terbakar habis!

 Sebetulnya, ketika mendengar akan adanya Pulau Emas itu, Pangeran Vayami pernah pergi menyelidiki dan ia mendapat kenyataan bahwa pada malam hari, pulau itu mengeluarkan cahaya berkilauan dan terang sekali seakan-akan gunung di pulau itu seluruhnya terbuat dari pada emas yang bersinar gemilang, Akan tetapi, ketika ia mendarat di pulau itu, ia tidak bisa mendapatkan di mana adanya emas yang bercahaya di waktu malam itu, bahkan yang didapatkannya hanya sebuah telaga kecil yang airnya berkilauan dan berwarna kehitam-hitaman. Untuk penyelidikan, ia mengambil sebotol air dan ketika pada malam harinya ia membuat penerangan, hampir saja tangannya terbakar. Tangan yang masih basah terkena benda cair itu tercium api, lalu bernyala hebat! Ia tidak tahu bahwa pulau itu mengandung minyak tanah dan hanya menduga benda cair di telaga itu adalah air mujijat yang mudah terbakar. Ia lalu menyulut air di dalam botol itu yang berkobar dan terbakar dengan mudah sekali. Oleh karena inilah, ia menggunakan tipu daya untuk membakar telaga itu apabila emas sudah terdapat oleh kaki tangannya, agar semua orang yang berada di pulau itu dan hendak mencari emas, termakan habis oleh api yang membakar pulau dan anak buahnya dapat melarikan emas itu dengan aman!

 Tentu saja ia tidak memberitahukan kepada Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin tentang tipu dayanya ini, oleh karena ia pun maklum bahwa kedua orang tua luar biasa ini mendapat tugas untuk menjaga dirinya, dan ia dapat menduga pula bahwa kaisar telah mencurigainya!

 Pangeran Vayami sengaja memutar-mutar perahunya dan tidak mau membawa Hai Kong Hosiang menuju ke pulau itu untuk memberi kesempatan kepada anak buahnya. Demikianlah, perahunya hanya berputaran melalui pulau-pulau yang banyak sekali itu, dan ketika rombongan perahu Turki menyeberang ke lautan, Pangeran Vayami merasa kuatir sekali. Anak buahnya belum kelihatan kembali dan sekarang perahu-perahu Turki telah menyeberang ke pulau itu! Ia menjadi gelisah sekali, terutama ketika melihat betapa rombongan perahu tentara kerajaan mengejar pula. Celaka, pikirnya, pulau itu tentu akan penuh dengan tentara kedua pihak dan mungkin sekali akan terjadi perang hebat di pulau itu. Bagaimana anak buahnya akan dapat bekerja baik?

 Ia ingin sekali pergi ke pulau itu untuk memimpin sendiri pekerjaan anak buahnya, akan tetapi ia tidak berdaya oleh karena selalu ditemani oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Tiba-tiba Pangeran Vayami yang cerdik ini mendapatkan akal baik.

  

 Ketika itu, Hai Kong Hosiang juga berdiri di kepala perahu dan melihat betapa perahu-perahu Turki telah mendahului berlayar dan kemudian dikejar oleh perahu-perahu tentara kerajaan, dan hwesio ini memandang dengan kuatir. Ia dapat menduga bahwa peperangan semalam tentu dimenangkan oleh pihak musuh, kalau tidak demikian tentu musuh tak akan dapat menyeberang!

 ”Hai Kong Bengyu,” kata Pangeran Vayami. ”Apakah kau dapat menduga apa yang menjadikan kegelisahan hatiku?”

 Hai Kong Hosiang sebenarnya dapat menduga bahwa Pangeran Mongol ini tentu menjadi gelisah dan kuatir melihat pergerakan barisan Turki itu, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan menggelengkan kepala.

 “Hai Kong Bengyu, tidakkah kau melihat betapa barisan Turki sudah mempergunakan perahu-perahu dan menyeberang ke pulau-pulau? Ini berarti bahwa barisan kerajaanmu telah kalah perang! Dan apakah kau tega melihat hal itu terjadi begitu saja? Kurasa di pihak barisan Turki terdapat orang-orang pandai maka memang sebaiknya kau dan supekmu tinggal saja di sini.”

 Pangeran Vayami di samping mencela juga menyinggung-nyinggung hati pendeta itu, akan tetapi Hai Kong Hosiang diam saja, seakan-akan tidak mengerti akan maksud sindiran Pangeran Vayami.

 ”Untung sekali kau berada di sini, Hai Kong Bengyu, kalau kau ikut menyerbu tentu kau berada dalam bahaya. Aku mendengar bahwa panglima Turki yang bernama Balutin atau Pouw Lojin, amat sakti dan lihai hingga kurasa tidak ada orang Han (Tionghoa) yang mampu mengalahkannya!”

 Hai Kong Hosiang tak dapat menahan sabarnya lagi dan ia memandang kepada Vayami dengan mata mendelik. Akan tetapi Vayami tidak mempedulikannya bahkan berlaku seakan-akan tidak melihat kemarahan Hai Kong Hosiang, dan ia menambah omongannya seperti berikut,

 “Celaka sekali. Aku mendengar bahwa suhengmu yang bernama Beng Kong Hosiang juga ikut dalam barisan kerajaan! Jangan-jangan Suhengmu terkena celaka, oleh karena aku merasa ragu-ragu apakah dia sanggup menghadapi Balutin yang sakti itu?”

 “Vayami! Kau sungguh-sungguh memandang rendah kekuatan kami! Kaukira aku takut kepada segala macam orang seperti Balutin itu? Baik! Aku dan Suhuku akan menyusul dan menghancurkan mereka itu, anjing-anjing bangsa asing yang kurang ajar!” Dalam makian ini, otomatis Vayami terkena dimaki juga, karena bukankah ia pun di hadapan Hai Kong Hosiang merupakan orang asing pula?

 Hai Kong Hosiang lalu memberitahu kepada supeknya yang gagu itu, dan Kiam Ki Sianjin mengangguk-angguk menyatakan setuju untuk menggempur barisan Turki. Hai Kong Hosiang lalu menurunkan sebuah daripada perahu kecil yang berada di situ, kemudian ia menghampiri Vayami dan berkata,

 “Pangeran Vayami, aku dan Supek akan pergi dulu, dan kau...” Setelah berkata demikian, secepat kilat Hai Kong Hosiang mengulurkan tangan menotok, Vayami terkejut sekali, akan tetapi terlambat, oleh karena jari tangan Hai Kong Hosiang telah menotok jalan darahnya dengan tepat hingga pangeran itu roboh terduduk dengan tubuh lemas dan tak mampu bergerak lagi.

 “Maaf, Pangeran Vayami. Aku terpaksa melakukan ini untuk menjaga agar kau tidak bisa sembarangan bergerak.” Hai Kong Hosiang lalu tertawa bergelak-gelak dengan girangnya dan Vayami terpaksa tak dapat berdaya sesuatu dan hanya memandang keberangkatan dua orang itu dengan hati gemas dan mendongkol sekali.

 Sambil tertawa-tawa puas melihat hasil kecerdikannya, Hai Kong Hosiang dan Kam Ki Sianjin mendayung perahu kecilnya menuju ke arah pulau di mana kedua barisan itu menuju. Di atas pulau itu telah terjadi pertempuran hebat lagi antara barisan kerajaan yang telah mendapat bala bantuan. Akan tetapi, kembali Balutin mengamuk dan puluhan perajurit kerajaan tewas dalam tangannya. Banyak perwira mengeroyoknya, akan tetapi tak seorang pun yang dapat menandingi kelihaian pendeta gemuk ini.

 Ketika tiba di tempat pertempuran, Hai Kong Hosiang mendengar tentang kematian suhengnya di tangan Balutin, maka bukan kepalang marahnya. Sambil mencabut keluar tongkat ularnya, ia melompat dan menerjang Balutin sambil berteriak,

 “Balutin bangsat besar! Akulah lawanmu!” Ia lalu menyerang dengan hebat sekali. Balutin terkejut melihat sepak terjang pendeta ini dan melawan dengan hati-hati. Mereka berdua ternyata merupakan tandingan yang setimpal dan seimbang, baik dalam kepandaian maupun dalam kehebatan tenaga mereka. Tak seorang perwira dari kedua pihak berani maju mendekat oleh karena beberapa orang perwira yang mencoba untuk membantu kawan, ternyata baru beberapa gebrakan saja telah roboh dan tewas oleh amukan kedua orang yang sedang bertempur sengit ini. Keduanya mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Adapun Kiam Ki Sianjin yang sudah tua itu memandang dan menonton dari pinggir saja, akan tetapi dengan penuh perhatian dan siap menolong apabila Hai Kong Hosiang berada dalam bahaya.

  

 Perahu besar Vayami yang ditinggal seorang diri terapung-apung di atas laut, terdampar ombak dan kebetulan sekali mendekati pulau itu. Tiba-tiba kelihatan perahu kecil yang cepat sekali majunya dan perahu ini bukan lain adalah perahu yang ditumpangi oleh Cin Hai, Ang I Niocu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu. Melihat perahu besar yang terombang-ambing seakan-akan tidak ada orangnya yang mengemudikannnya itu, Cin Hai dan Ang I Niocu lalu melompat ke atas perahu itu dan meninggalkan tosu dan hwesio itu di dalam perahu kecil.

 Alangkah terkejutnya mereka ketika melihat Vayami duduk tak bergerak bagaikan patung batu. Juga Vayami terkejut sekali melihat kedua orang ini, akan tetapi ia hanya dapat duduk tanpa mengeluarkan suara apa-apa. Cin Hai maklum bahwa pangeran ini berada di bawah pengaruh totokan, maka ia lalu mengulurkan tangan memulihkan totokan yang mempengaruhi tubuh Pangeran Vayami.

 Pangeran Vayami lalu berdiri menjura dengan hormat sekali kepada Cin Hai dan Ang I Niocu.

 “Terima kasih, Taihiap. Sukur engkau datang menolong, kalau tidak entah bagaimana dengan nasibku yang buruk ini.” Sambil berkata demikian, ia mengerling kepada Ang I Niocu dengan bibir tersenyum, akan tetapi hatinya berdebar khawatir dan takut!

 Cin Hai dan Ang I Niocu merasa sebal dan benci melihat pangeran ini, akan tetapi mereka berdua tertarik untuk mengetahui apakah yang sedang dilakukan oleh pangeran aneh dan licin ini di atas perahu di dekat Pulau Emas itu.

 “Bagaimana kau bisa berada di sini seorang diri dan berada dalam keadaan tertotok orang? Siapakah yang melakukan itu dan apa pula maksudmu berada di sini?” tanya Cin Hai tanpa memakai banyak peradatan lagi.

 Pangeran Vayami menghela napas da ia mengebut-ngebutkan pakaiannya yang indah model bangsawan Han itu. “Dasar Hai Kong Hosiang yang jahat dan berhati palsu!”

 Cin Hai girang sekali mendengar nama itu disebut-sebut. “Eh, apakah bangsat Hai Kong Hosiang berada di sini? Katakanlah di mana dia!”

 Vayami menghela napas dan memutar otaknya yang licin dan cerdik. Ia maklum bahwa di antara Hai Kong dan anak muda ini tentu terdapat permusuhan besar sekali hingga pemuda ini selalu berusaha membunuhnya, dan ia teringat pula bahwa dulu Cin Hai di perahunya pernah memberitahu bahwa Hai Kong Hosiang adalah musuh besarnya. Maka ia lalu mengarang sebuah alasan untuk mengadu domba lagi demi keuntungannya sendiri.

 “Sebagaimana kauketahui Hai Kong Hosiang membawaku untuk menemui kaisar, akan tetapi hwesio itu mendengar bahwa aku mengetahui tentang Pulau Emas di laut ini, lalu timbul hati jahatnya dan bersama Supeknya yang gila dan gagu itu, ia memaksa aku mengantarkan mereka berdua ke sini! Akan tetapi setelah sampai di sini dan mengetahui tempat itu dia lalu menotokku dan mencuri perahu kecilku dan bersama dengan Supeknya ia lalu menuju ke sana!”

 Mendengar tentang Pulau Emas ini tiba-tiba Ang I Niocu dan Cin Hai teringat kepada si tosu dan si hwesio yang tak kelihatan lagi, dan ketika mereka memandang ternyata perahu kecil itu telah bergerak maju dan telah jauh meninggalkan tempat itu!

 ”Hai...!!” Ang I Niocu berteriak marah ”Kembalilah kalian!!”

 Akan tetapi dari jauh kedua pendeta hanya melambaikan tangan saja, si hwesio tetap tertawa dan si tosu tetap mewek! Ang I Niocu marah sekali dan hendak menggunakan perahu kecil yang berada di perahu besar Vayami itu untuk mengejar, akan tetapi Vayami mengangkat kedua tanganya dan berkata mencegah,

 “Lihiap janganlah mengejar, mereka akan pergi ke Kim-san-to, biarlah mereka ikut dibakar hidup-hidup!”

 Ang I Niocu dan Cin Hai terkejut dan memandang kepada pangeran yang tersenyum-senyum girang itu dengan heran. Pada waktu itu, hari telah gelap dan angin bertiup kencang.

 “Pangeran Vayami, apa maksudmu dengan ucapan tadi?” tanya Cin Hai dan Ang I Niocu tidak jadi mengejar kedua pendeta itu oleh karena ia pun tidak mempunyai urusan dengan mereka. Tadi ia hendak mengejar hanya karena marah saja dan kini kedua pendeta itu telah lenyap dan tak tampak lagi pula.

  

 Vayami tersenyum dan berkata, “Sebelum aku menceritakan kepada kalian, lebih dahulu bantulah aku memasang layar ini karena aku hendak memperlihatkan sebuah pemandangan indah kepada kalian!”

 Cin Hai lalu membantunya memasang layar dan sebentar perahu besar itu bergerak laju ke kanan. Ternyata Vayami yang juga pandai mengemudikan perahu, memutarkan perahunya mengelilingi Pulau Kim-san-to dan berada di belakang pulau setelah melakukan pelayaran lebih dari dua jam.

 “Nah, kalian lihat itu!” kata Pangeran Vayami menunjuk ke pulau.

 Ang I Niocu dan Cin Hai cepat memandang dan mereka berdua menjadi tercengang sekali melihat pemandangan yang mereka lihat di depan mereka. Di atas Pulau Kim-san-to itu kelihatan sebuah bukit yang menjulang tinggi dan berujung runcing. Kini di dalam gelap senja, bukit itu nampak bercahaya dan seakan-akan mengeluarkan sinar yang berkilauan! Puncak bukit itu nampak nyata berwarna putih kuning kemerah-merahan bagaikan emas murni, dan di bawah bukit membentang pohon-pohon yang gelap dan hitam. Ang I Niocu berdiri di pinggir perahu dengan penuh takjub hingga gadis itu untuk beberapa lama berdiri tak bergerak bagaikan patung! Sementara itu Cin Hai yang dapat menekan perasaan heran dan kagetnya, segera minta keterangan dari Vayami!

 “Ketahuilah, Taihiap, inilah Bukit Emas yang dicari-cari oleh mereka semua! Tentu kau juga telah melihat bahwa tentara-tentara Turki dan tentara kerajaan telah saling gempur dan sekarang ini pun saling bertempur mati-matian di atas pulau itu untuk memperebutkan Bukit Emas itu, semua orang yang berjumlah ribuan itu, mereka berebut mati-matian untuk memiliki Bukit Emas. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa mereka telah berada di tepi neraka, Ha, ha! Juga Hai Kong yang jahat itu sebentar lagi takkan dapat menyombongkan kepandaiannya karena ia pun akan mati terpanggang api, di pulau itu, ha, ha, ha!”

 Mendengar keterangan ini, Cin Hai merasa heran sekali dan ia lalu membentak, “Pangeran Vayami! Kaujelaskanlah semua ini kepadaku! Apakah maksudmu?”

 Setelah berusaha sekerasnya untuk menekan kegirangan dan kegelian hatinya yang hendak tertawa saja, Vayami lalu berkata lagi,

 “Dengarlah, Taihiap dan kau juga, Lihiap. Kami orang-orang Mongol tidaklah segoblok orang-orang Turki atau orang-orang dari kaisarmu itu. Aku tidak sudi harus bersusah payah mengerahkan barisan tentara untuk memperebutkan pulau ini. Sebentar lagi, pulau ini akan menjadi lautan api dan semua emas akan berada di tanganku. Ya, semua emas akan berada di tangan Pangeran Vayami!”

 Cin Hai makin heran dan ia memandang Pangeran Pemuka Agama Sakya Buddha yang muda dan tampan ini. Ia melihat bahwa pakaiannya pemberian kaisar sebagai hadiah dan tanda perhahabatan, akan tetapi tetap saja mukanya masih jelas bahwa ia adalah seorang Mongol. Cin Hai sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Pangeran Vayami yang cerdik ini sengaja membawa perahunya ke tempat itu oleh karena memang ia telah berjanji kepada anak buahnya untuk menanti dengan perahu besar di tempat itu untuk menerima mereka setelah selesai mengerjakan tugas mereka.

 Pangeran Vayami memang mempunyai pikiran yang cerdik sekali. Ia maklum bahwa Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianli lihai sekali, maka setelah melihat munculnya Cin Hai dan Ang I Niocu, ia berniat menarik kedua orang ini untuk menjadi pembela-pembelanya dan untuk menghadapkan kedua orang gagah ini kepada Hai Kong Hosiang apabila hwesio itu muncul untuk mengganggunya. Oleh karena ia menganggap bahwa kedua orang muda gagah ini tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Turki maupun dengan tentara kerajaan, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu melanjutkan ceriteranya dengan suara yang jelas menyatakan kebanggaan akan kecerdikannya.

 “Orang-orang Turki dan barisan kerajaan kaisar sedang memperebutkan harta di pulau itu, dan oleh karena mereka sedang bertempur mati-matian, mereka sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk mencari emas itu yang belum dapat diketahui pasti di mana tempatnya. Dan diam-diam aku telah menyuruh anak buahku yang tiga puluh enam orang banyaknya untuk mencarinya semenjak tiga hari sebelum tentara-tentara kedua pihak itu tiba dan telah memerintahkan apabila mereka telah dapat mengangkut harta itu, mereka segera harus membakar sebuah danau di pulau itu yang airnya dapat terbakar seperti minyak domba! Bahkan aku memerintahkan agar seluruh hutan di situ dibakar semua sampai habis, baru mereka mengangkat kaki dan mengangkut semua emas itu ke sini!”

 Cin Hai dan Ang I Niocu bergidik memikirkan kekejian orang ini, dan Cin Hai yang teringat kepada Lin Lin tiba-tiba menjadi pucat wajahnya dan saling pandang dengan Ang I Niocu. Juga Ang I Niocu teringat bahwa Lin Lin diduga pergi ke pulau itu, maka cepat bertanya,

 “Bilakah kiranya perintahmu yang kejam itu dilakukan?”

 Vayami memandang dengan muka berseri. “Malam ini, tepat tengah malam, jadi tak lama lagi!” katanya sambil memandang ke arah pulau dan diam-diam pangeran ini juga merasa kuatir sekali oleh karena orang-orangnya yang ditunggu-tunggu belum kelihatan muncul seorang pun.

 Ang I Niocu dan Cin Hai merasa makin terkejut. “Vayami, tahukah kau di mana adanya seorang Turki Yang bernama Yousuf?” tanya Cin Hai yang teringat bahwa Lin Lin, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng berlayar dengan orang Turki ini dan nama ini ia dengar dari dua orang nelayan yang menceritakan pengalaman mereka dulu.

 Vayami berubah air mukanya mendengar nama ini. Ia pernah bertemu dengan Yousuf dan tahu akan kelihaian orang Turki ini yang sebenarnya menjadi penemu pertama dari Kim-san-to. “Kau mencari setan itu? Ha, ha, ha! Tentu dia juga berada di pulau itu. Ya, setan yang bernama Yousuf itu pun berada di atas pulau dan sebentar lagi ia pun akan musnah!”

 “Dan kawan-kawannya yang berlayar bersama dia?” tanya pula Cin Hai dengan suara gemetar.

 “Kawan-kawannya?” kata Vayami yang menyangka bahwa kawan-kawannya yang dimaksudkan oleh Cin Hai ini tentulah orang-orang Turki lainnya. “Ha, ha, ha! Semua kawan-kawan Yousuf juga akan terpanggang mampus di pulau itu.”

 “Bangsat besar!” Tiba-tiba Cin Hai memaki dan ketika tangannya menampar, pipi Vayami kena ditampar hingga giginya rontok dan tubuhnya terguling ke atas papan perahu. Pangeran ini mengeluh dan merintih-rintih sambil memegang-megang pipinya yang menjadi matang biru dan memandang kepada Cin Hai dengan heran.

 “Niocu, jaga bangsat ini! Aku hendak menyusul Lin Lin!”

 “Jangan Hai-ji! Pulau itu sebentar lagi akan terbakar dan siapa tahu, danau berminyak itu bisa meledak'!' kata Ang I Niocu dengan wajah pucat.

 “Lin Lin berada di sana, bahaya besar apakah yang dapat mencegah aku pergi menolongnya?” tanya Cin Hai dengan napas memburu dan ia lalu pergi ke perahu kecil dan hendak melemparnya ke air untuk dipakai menyusul ke Pulau Kim-san-to.

 Akan tetapi, pada saat itu, ia melihat bahwa perahu itu telah dikelilingi oleh banyak perahu-perahu kecil dan tiba-tiba dari perahu-perahu kecil itu berlompatan naik tubuh orang-orang tinggi besar yang berjubah merah. Ternyata orang-orang ini adalah anak buah Pangeran Vayami, pendeta-pendeta Sakia Buddha yang berilmu tinggi dan yang kini berlompatan ke atas perahu besar dengan senjata di tangan. Jumlah mereka banyak sekali hingga terpaksa Cin Hai melompat mundur ke dekat Ang I Niocu bersiap sedia menghadapi keroyokan.

 Pangeran Vayami ketika melihat bahwa tiba-tiba anak buahnya muncul, menjadi girang sekali dan ia lalu timbul pikiran jahat. Memang hatinya amat tertarik oleh kecantikan Ang I Niocu dan kalau saja kepandaiannya lebih tinggi dari Gadis Baju Merah yang cantik jelita itu, tentu ia telah memaksa Ang I Niocu untuk menjadi isterinya. Kini melihat datangnya semua anak buahnya yang ia percaya akan dapat menundukkan kedua anak muda itu dengan keroyokan, lalu ia memerintah,

 “Tangkap pemuda itu dan lempar dia ke laut! Tapi jangan ganggu gadis itu dan tawan dia.”

 Bagaikan serombongan anjing pemburu yang terlatih dan mendengar perintah tuannya, tiga puluh enam orang pendeta Sakia Buddha itu lalu menyerbu dengan mengeluarkan seruan-seruan menyeramkan. Cin Hai dan Ang I Niocu mencabut pedang masing-masing dan melakukan perlawanan dengan gagah. Semua pendeta itu adalah orang-orang pilihan yang sengaja dibawa oleh Vayami untuk melakukan tugas pekerjaan penting, maka mereka ini rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah, bahkan ilmu silat mereka yang bercorak ragam itu membuat Ang I Niocu dan Cin Hai menjadi bingung juga. Akan tetapi, kedua orang muda ini memiliki ilmu kepandaian sempurna terutama Cin Hai, maka baru beberapa jurus mereka bertempur, dua orang pengeroyok telah dapat dirobohkan. Sungguhpun demikian, kesetiaan anak buah Pangeran Vayami terhadap pangeran itu besar sekali. Mereka tidak mundur bahkan makin mendesak maju. Jangankan baru menghadapi dua orang anak muda yang lihai, biarpun harus menyerbu ke lautan api, mereka takkan segan-segan untuk mentaatinya asal keluar dari mulut Pangeran Vayami, oleh karena mereka menaruh kepercayaan penuh bahwa kesetiaan mereka ini akan diganjar hadiah Sorga ke tujuh oleh pemimpin agama itu.

 Cin Hai dan Ang I Niocu menjadi serba salah. Untuk membinasakan semua pengeroyok ini bukanlah hal terlalu sukar bagi mereka berdua, akan tetapi mereka tidak tega untuk membunuh sekian banyak orang yang hanya menjalankan perintah. Dan keduanya masih merasa gelisah memikirkan nasib Lin Lin yang berada di pulau itu!

  

 Pada saat itu, terdengar bentakan-bentakan hebat dan tahu-tahu tiga bayangan orang melompat ke atas perahu dan mengamuk dengan hebat disertai suara tertawa menyeramkan! Ketika Cin Hai memandang, ternyata bahwa yang naik adalah Hek Mo-ko, Pek Mo-ko, dan Kwee An! Ia merasa girang sekali akan tetapi berbareng juga terkejut dan heran oleh karena bagaimana pemuda itu dapat datang bersama kedua iblis ini? Ketika melihat Pek Hek Mo-ko dan Kwee An mengamuk dan membabat semua pendeta Sakia Buddha, Cin Hai lalu melompat ke pinggir perahu dengan maksud hendak menyusul Lin Lin. Akan tetapi, ketika ia memandang, ia menjadi terkejut sekali oleh karena di dalam kekalutan itu, Ang I Niocu telah mendahuluinya dan telah melempar perahu kecil yang tadi berada di atas perahu dan mendayungnya sekuat tenaga menuju ke pulau yang bukitnya bersinar-sinar itu!

 “Niocu, tunggu!” teriak Cin Hai, akan tetapi Ang I Niocu melambaikan tangan kepadanya sambil menjawab,

 “Jangan, Hai-ji. Biarlah aku saja yang menyusul, jangan kita berdua terancam bahaya bersama. Kautunggulah saja, aku akan membawa Lin Lin kepadamu!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu mendayung makin cepat!

 Cin Hai bingung sekali dan ia melihat ke bawah oleh karena teringat bahwa semua pendeta Sakia Buddha tadi datang dengan perahu-perahu kecil. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kini tak sebuah pun perahu kecil nampak di situ, dan perahu-perahu ini telah dipukul hancur dan tenggelam oleh Hek Pek Mo-ko dan Kwee An ketika ketiganya datang dan melompat ke atas!

 Dalam kebingungannya, dan karena keadaan di situ makin gelap hingga sukar mencari perahu kecil yang dapat membawanya ke Pulau Kim-san-to, Cin Hai lalu berlaku nekad dan mengayun dirinya ke laut! Ia mengambil keputusan bendak berenang ke arah pulau yang tak seberapa jauh itu! Ia tidak rela kalau sampai Ang I Niocu berkorban seorang diri dalam usaha menolong Lin Lin, sedangkan dia sendiri harus enak-enak menunggu!

 Sementara itu, dalam kegembiraan mereka mengamuk dan membasmi para pendeta Sakia Buddha itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko tidak mempedulikan lagi hal-hal lain dan sama sekali tidak melihat Cin Hai dan Ang I Niocu. Sedangkan Kwee An yang melihat mereka, tidak mengerti maksud mereka itu dan ia pun sedang dikeroyok oleh banyak lawan hingga tak mendapat kesempatan bertanya lagi. Amukan Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko hebat sekali, bagaikan sepasang naga yang haus darah. Terutama sekali Pek Mo-ko yang masih menderita sedih karena kematian puterinya, kini mengamuk dan merupakan seorang iblis tulen! Baik Hek Mo-ko maupun Pek Mo-ko tidak mempunyai alasan untuk memusuhi pendeta-pendeta baju merah ini dan mereka bertempur hanya atas permintaan Kwee An yang melihat Cin Hai dan Ang I Niocu dikeroyok! Kedua iblis ini memang suka sekali bertempur, dan asal mereka bisa bertempur dan membunuh banyak orang, tidak peduli lagi apa alasannya, mereka sudah cukup merasa senang dan puas! Inilah sifat aneh yang membuat kedua orang ini disebut Iblis Putih dan Iblis Hitam! Sedangkan Kwee An yang juga tidak mengerti sebab-sebab pertempuran, hanya bertindak untuk menolong kedua orang kawannya itu. Kini melihat kedua orang itu lari ke laut, ia menjadi menyesal akan tetapi tidak berdaya untuk mencegah kedua iblis itu mengamuk dan melakukan pembunuhan besar-besaran.

 Tak lama kemudian, habislah ketiga puluh enam orang pendeta Sakia Buddha ini berikut Pangeran Vayami terbunuh mati semua oleh Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko! Sambil tertawa bergelak-gelak kedua iblis ini lalu menendangi mayat-mayat itu ke dalam laut. Pangeran Vayami yang bernasib malang itu sampai tidak mengetahui bagaimana hasil dari perintahnya kepada anak buahnya untuk mencari emas itu! Kalau ia tahu bahwa anak buahnya tidak mendapatkan emas sepotong pun, jika ia masih hidup pun tentu ia akan jatuh binasa karena kecewa dan menyesal! Anak buahnya ternyata tak berhasil mendapatkan sedikitpun emas di pulau itu, biarpun sudah berhari-hari mereka mencari-cari, karena di pulau itu tidak terdapat emas sepotong kecil pun! Akan tetapi, mereka mentaati perintah Pangeran Vayami dan ketika melihat peperangan hebat yang terjadi antara barisan Turki melawan barisan dari kaisar, mereka lalu membakar minyak yang memenuhi danau kecil di atas bukit itu! Danau itu mulai terbakar dan bernyala-nyala hebat, akan tetapi hal ini masih belum diketahui oleh kedua fihak yang mabok perang!

 Cin Hai mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk berenang secepat mungkin, akan tetapi di dalam air ia tidak seleluasa seperti di darat di mana ia boleh mempergunakan ginkangnya untuk bergerak cepat. Tidak saja kepandaian renangnya memang kurang sempurna, akan tetapi air laut itu berombak dan ia tidak kuat melawan ombak air hingga tubuhnya hanya maju perlahan saja dan sebentar juga perahu yang dinaiki Ang I Niocu telah jauh meninggalkannya. Keadaan di atas permukaan laut itu lebih gelap lagi dan penunjuk jalan satu-satunya bagi Cin Hai ialah cahaya terang yang memancar keluar dari Bukit Kim-san-to itu.

 Ia masih bergulat dengan ombak laut ketika Ang I Niocu sudah lama mendarat dan gadis ini tanpa mempedulikan mereka yang berperang mati-matian, lalu berlari naik ke atas bukit untuk mencari Lin Lin. Ketika ia naik makin tinggi, sungguh luar biasa, karena cahaya terang itu makin menghilang dan keadaan di atas bukit sunyi sekali! Bahkan di atas bukit itu tidak terlihat pohon sama sekali Ang i Niocu berseru keras memanggil,

 “Lin Lin…” Suaranya yang dikerahkan dengan tenaga khikang ini terdengar bergema keras sekali, bahkan terdengar lapat-lapat oleh Cin Hai yang masih berenang di laut!

  

 “Niocu...!” Cin Hai berseru memanggil karena ia mengenal suara Ang I Niocu. Hatinya bingung dan cemas sekali. Akan tetapi, biarpun ia mengerahkan khikangnya, di dalam air itu suaranya tak terdengar jelas dan menjadi kacau oleh bunyi riak ombak yang menggelora.

 “Lin Lin...!” terdengar lagi teriakan Ang I Niocu dan suara ini membangunkan semangat Cin Hai yang lalu mengerahkan tenaganya sehingga ia dapat maju lebih cepat.

 Ang I Niocu berlari terus ke atas sambil memanggil nama Lin Lin. Ia sudah berjanji kepada Cin Hai untuk menemukan gadis kekasih pemuda itu, maka ia bertekad takkan kembali sebelum mendapatkan Lin Lin. Ketika Ang I Niocu tiba di sebuah puncak yang tinggi, tiba-tiba ia memandang ke bawah dan kedua matanya terbelalak dan ia menggunakan kedua tangan untuk menutupi matanya oleh karena tiba-tiba matanya menjadi silau. Di bawah, tak jauh dari situ ia melihat pemandangan yang dahsyat dan menggetarkan sanubarinya. Di bawah puncak itu ia melihat api besar sekali berkobar-kobar dan bernyala-nyala seakan-akan neraka sendiri terbuka di hadapan kakinya! Inilah danau penuh minyak tanah yang dibakar oleh kaki tangan Pangeran Vayami!

 Dengan hati penuh kengerian dan cemas, Ang I Niocu berteriak lagi, “Lin Lin…! Lin Lin…! Di mana kau…??”

 Akan tetapi suara teriakannya yang keras ini seakan-akan hanya menambah besar berkobarnya api yang membakar seluruh danau itu! Ang I Niocu dengan mata terbelalak memandang ke arah api dan tiba-tiba ia melihat seakan-akan bayangan Pangeran Vayami berdiri di tengah-tengah api sambil tersenyum-senyum dan melambai-lambaikan tangan kepadanya! Ang I Niocu menggigil dengan penuh kengerian dan mukanya penuh keringat. Ia menggosok-gosok kedua matanya akan tetapi bayangan Pangeran Vayami makin jelas saja. Sambil berseru ngeri dan takut, Ang I Niocu berlari ke sana ke mari sambil memekik-mekik memanggil nama Lin Lin,

 “Lin Lin...! Lin Lin...! Keluarlah, Lin Lin. Hai-ji menunggu kau...!”

 Akan tetapi, sampai serak suaranya memanggil-manggil dengan kerasnya sambil berlari-lari menubruk sana menubruk sini, namun yang dipanggilnya tidak juga menjawab atau muncul.

 Nyala api di danau yang membesar dan membubung tinggi itu nampak juga oleh Hai Kong Hosiang dan Kiam Ki Sianjin. Maka Hai Kong Hosiang segera menyerang makin keras kepada Balutin sambil berteriak minta supeknya membantu. Kiam Ki Sianjin lalu melompat maju dan menyerang Balutin dengan kebutan ujung lengan bajunya yang lebar. Balutin terkejut sekali oleh karena merasa betapa angin sambaran ujung baju itu keras dan luar biasa! Ia mencoba berkelit, akan tetapi serangan susulan dari Kiam Ki Sianjin membuatnya terhuyung-huyung ke belakang dan pada saat itu tongkat ular Hai Kong Hosiang tepat menusuk jalan darah lehernya. Sambil mengeluarkan teriakan keras, Balutin roboh dan tewas!

 Kiam Ki Sianjin lalu mengempit tubuh Hai Kong Hosiang dan dengan lari cepat bagaikan terbang, kakek gagu ini meninggalkan tempat pertempuran menuju ke pantai dan keduanya lalu melarikan diri di atas sebuah perahu!

 Cin Hai juga melihat membubungnya api yang menjilat-jilat langit dan seakan-akan membakar awan-awan di atas itu. Ia makin bingung dan gelisah, lalu berteriak-teriak sambil berenang cepat-cepat.

 “Niocu...! Lin Lin...!” Akan tetapi lagi-lagi suaranya tenggelam ditelan suara ombak menderu.

 Pada saat itu, terdengar ledakan yang kerasnya sampai menggetarkan tubuh Cin Hai yang berenang di air! Pemuda ini melihat betapa api yang berkobar di atas bukit itu tiba-tiba saja pecah dan pulau itu dalam sekejap mata menjadi terang oleh karena telah terbakar menjadi lautan api! Tepat sebagaimana ramalan Pangeran Vayami, pulau itu berubah menjadi neraka! Cin Hai membelalakkan matanya dan pada saat setelah suara menggelegar itu lenyap, ia masih mendengar suara Ang I Niocu lapat-lapat.,

 “Lin Lin... Lin Lin... Hai-ji...!”

 Cin Hai merasa seakan-akan jantungnya berhenti berdetik dan tenggorokannya seakan-akan tercekik sesuatu! Tiba-tiba, sebagai akibat daripada letusan dahsyat itu, ombak besar datang menggulung dirinya dan tubuhnya terlempar ke atas, lalu diterima lagi oleh ombak dan dibawa hanyut jauh kembali ke tempat semula!

 Cin Hai mencoba berseru lagi. “Niocu... Lin Lin...!” akan tetapi suaranya tak dapat keluar dari kerongkongannya dan ia merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan tidak kuat berenang pula! Perlahan-lahan tubuhnya tenggelam, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara bisikan.

  

 “Hai-ji... kuatkanlah hatimu... Lin Lin menanti-nantimu...”

 Cin Hai terkejut. Inilah suara Ang I Niocu! Cepat ia mengerahkan tenaga dan dapat timbul lagi ke permukaan air. Ia memandang ke sana ke mari mencari-cari, akan tetapi yang nampak hanya ombak dengan kepala ombak keputih-putihan menyambar lagi dan ia terombang-ambing menjadi permainan ombak. Kembali tubuhnya menjadi lemas dan ketika ia telah merasa putus asa tiba-tiba ia melihat bayangan wajah Ang I Niocu di dalam air dan bibir bayangan gadis itu bergerak-gerak dalam bisikan,

 “Hai-ji... kuatkanlah hatimu... kuatkanlah, aku mencari Lin Lin untukmu...”

 Dengan tenaga terakhir Cin Hai berenang lagi dan tiba-tiba tangannya menyentuh benda keras yang ternyata adalah sebuah perahu kecil yang terbalik. Ia segera mengangkat perahu itu dan membalikkannya, dan itu adalah perahunya yang siang tadi ia naiki bersama Ang I Niocu dan yang telah dilarikan oleh Si Hwesio dan Si Tosu, Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu! Agaknya perahu itu terpukul ombak dan terguling, dan entah bagaimana nasib kedua pendeta itu! Dengan sekuat tenaga Cin Hai mengangkat tubuhnya ke dalam perahu dan akhirnya jatuh pingsan di dalam perahu kecil yang masih terombang-ambing oleh ombak besar itu.

 Ternyata bahwa oleh karena pulau itu mengandung minyak yang terbakar dan meletus, maka minyak yang telah menjadi api itu membakar seluruh pulau, bahkan kini minyak yang bernyala-nyala terbawa oleh air sampai di mana-mana hingga seakan-akan laut itu telah terbakar! Daya tekan letusan hebat itu telah menimbulkan gelombang hebat yang susul menyusul dengan dahsyatnya.

 Seluruh benda, berjiwa maupun tidak, yang berada di atas pulau itu binasa dan terbakar habis. Jangankan mahluk tak bersayap yang tak dapat melarikan diri, sedangkan burung-burung yang berada di pohon pun tak dapat menghindarkan diri dari bencana dan sebelum mereka terbang cukup tinggi, telah terpukul oleh letusan itu dan runtuh ke atas tanah untuk menjadi korban api yang mengamuk hebat.

 Perahu kecil yang ditumpangi Cin Hai terdampar ombak dan kembali ke pantai daratan Tiongkok. Ketika Cin Hai siuman dari pingsannya, ia merasa kepalanya masih pening. Pemuda itu bangkit perlahan dan ternyata ia telah berada di dalam perahu kecil itu semalam penuh oleh karena waktu itu telah menjelang pagi! Karena melihat bahwa dekat dengan pantai, maka Cin Hai lalu melompat turun ke air yang dangkal dan berlari cepat ke pantai.

 Tiba-tiba ia mendengar suara luar biasa, teriakan yang dibarengi suara senjata beradu! Ia cepat berlari menuju ke arah suara itu dan menjadi kaget berbareng girang melihat bahwa di sebelah kiri, dekat pantai di mana air laut masih bergelombang memukul batu-batu karang, di situ terdapat dua orang yang sedang bertempur hebat! Ketika ia telah datang dekat, maka yang bertempur itu adalah Hek Mo-ko melawan Pek Mo-ko. Inilah yang membuat ia kaget dan heran, sedangkan yang membuat hatinya memukul girang adalah ketika ia melihat bahwa di dekat tempat pertempuran itu, empat orang sedang berdiri sebagai penonton, yaitu bukan lain Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng!

 Melihat hadirnya Si Nelayan Cengeng di situlah yang membuat hati Cin Hai berdebar girang sekali, karena bukanlah Lin Lin bersama-sama dengan nelayan tua itu? Akan tetapi hatinya kecut dan cemas kembali, karena ia tidak melihat Lin Lin dan Ma Hoa berada di situ!

 Cin Hai lalu berlari keras menghampiri mereka dan tanpa mempedulikan orang lain maupun yang sedang bertempur, ia lalu menghampiri Kong Hwat Tojin Si Nelayan Cengeng dan terus menjatuhkan diri berlutut sambil bertanya dengan suara tak sabar,

 “Locianpwe, di mana adanya Lin Lin?”

 Kedatangan pemuda ini sama sekali di luar dugaan Nelayan Cengeng dan yang lain-lain, maka mereka berempat lalu mengurung pemuda ini, hanya Pek Mo-ko dan Hek Mo-ko yang tidak ambil peduli dan terus bertempur dengan hebat dan mati-matian!

 “Locianpwe, bagaimana dengan Lin Lin?” tanya pula Cin Hai dengan muka pucat dan tubuh menggigil karena terdorong oleh gelora hatinya yang penuh kecemasan.

 “Ah, Cin Hai... engkau selamatkah...?” tanya Si Nelayan Cengeng dengan terharu sekali, kemudian melihat keadaan pemuda itu yang amat mengkhawatirkan ia segera menyambung. “Lin Lin dan Ma Moa selamat, mereka berdua pergi dengan Yousuf!”

 Mendengar betapa Lin Lin selamat, Cin Hai tiba-tiba menangis tersedu-sedu, menggunakan kedua tangan menutupi mukanya dan setelah menjerit perlahan, “Lin Lin... ah, Niocu...!” lalu pemuda itu jatuh pingsan lagi!

  

 Semua orang sibuk sekali, terutama Kwee An yang terus memeluk tubuh kawannya itu dan memijat-mijat belakang kepala Cin Hai hingga tak lama kemudian pemuda ini sadar kembali dalam pelukan Kwee An. Melihat Kwee An, Cin Hai lalu membalas memeluk dan pemuda ini menangis lagi.

 Seribu satu macam hal yang telah berada di ujung lidah mereka hendak diceritakan dan ditanyakan kepada Cin Hai, akan tetapi kini mereka terganggu oleh pertempuran hebat di dekat mereka. Bahkan Cin Hai tak sempat menceritakan pengalamannya, dan sambil memandang ke arah dua iblis yang sedang bertempur itu, ia tak tahan pula untuk tidak menyatakan keheranannya dan bertanya kepada Kwee An,

 “Mengapa mereka saling hantam sendiri?”

 Dengan muka sedih Kwee An berkata kepadanya tanpa menjawab pertanyaan itu, “Cin Hai, hanya kau yang bisa menolong. Pergunakanlah kepandaianmu dan cegahlah mereka saling membunuh.”

 Cin Hai tidak mengerti akan maksud Kwee An oleh karena ia tidak tahu hubungan Kwee An dengan Hek Mo-ko, akan tetapi oleh karena ia percaya penuh kepada Kwee An, ia lalu bangkit berdiri dan mengumpulkan seluruh tenaganya yang telah lemas.

 Akan tetapi ia terlambat. Pada saat itu, Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang bertempur sambil mempergunakan pedang mereka yang luar biasa, telah mempergunakan serangan-serangan nekad dan pada suatu saat, keduanya menjerit ngeri dan terhuyung-huyung ke belakang. Pek Mo-ko terus roboh binasa dengan dada terluka oleh pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini sendiri telah terkena pukulan tangan kiri Pek Mo-ko yang tepat menghantam dadanya hingga Pek Mo-ko mendapat luka dalam yang hebat dan jantungnya terguncang.

 Setelah melihat Pek Mo-ko roboh tak bernyawa, Hek Mo-ko yang masih dapat bergerak, lalu merangkak menghampiri adik seperguruannya ini dan setelah tertawa bergelak-gelak ia lalu memeluk mayat Pek Mo-ko sambil menangis sedih sekali. Kemudian ia muntahkan darah dari mulutnya dan roboh pingsan di dekat mayat Pek Mo-ko.

 Mengapa kedua iblis yang biasanya sehidup semati dan saling membela ini tiba-tiba bisa bertempur mati-matian dan saling membunuh di pantai itu, ditonton oleh Kwee An, Biauw Suthai, Pek I Toanio dan Si Nelayan Cengeng? Baiklah kita melihat keadaan di situ sebelum Cin Hai terdampar ke pantai.

 Setelah Kwee An dan kedua iblis itu mengamuk dan membasmi Pangeran Vayami dan seluruh anak buahnya, mereka bertiga lalu mengajukan perahu itu ke arah Pulau Kim-san-to. Akan tetapi di pulau itu, mereka melihat api berkobar hebat hingga menjadi takut dan memutar arah perahu. Tiba-tiba terjadi letusan hebat itu dan perahu mereka yang besar menjadi permainan gelombang air laut dan terbawa ke pantai daratan Tiongkok kembali. Dengan pucat dan ketakutan ketiganya lalu melompat ke darat sambil memandang ke arah Pulau Emas yang menjadi neraka itu. Mereka bergidik, bahkan Hek Pek Mo-ko dua iblis yang berhati kejam dan tak kenal takut, kini setelah melihat pemandangan mengerikan itu, menjadi pucat dan merasa ngeri juga.

 Terutama sekali Kwee An, oleh karena pemuda ini teringat akan Cin Hai dan Ang I Niocu yang telah disaksikan dengan kedua mata sendiri bahwa kedua orang itu tadi menuju ke Pulau Emas. Bagaimanakah nasib mereka? Kwee An tak terasa pula mengalir air mata oleh karena ia tidak ragu-ragu lagi bahwa jiwa kedua orang itu pasti sukar ditolong dalam keadaan seperti itu. Siapakah orangnya yang kuasa menolong mereka yang berada di dekat neraka dan lautan api itu?

 Menjelang fajar, tiba-tiba sesosok bayangan orang melompat dari air ke dekat mereka dan ternyata bahwa bayangan orang ini adalah Si Nelayan Cengeng! Tepat pada saat itu, dari jurusan darat datang berlari dua orang yang gerakannya cepat sekali dan ketika telah dekat, dua orang itu bukan lain ialah Biauw Suthai dan Pek I Toanio! Kwee An yang mengenal ketiga orang yang baru muncul pada waktu yang sama ini segera berlari menghampiri berteriak memanggil.

 Akan tetapi, Pek Mo-ko yang masih haus darah dan agaknya masih belum puas dengan pembunuhan-pembunuhan hebat yang ia lakukan dengan Hek Mo-ko di atas perahu Pangeran Vayami, telah mendahului Kwee An dan tanpa bertanya apa-apa lagi ia lalu menyerang Si Nelayan Cengeng yang berada terdekat. Kaget sekali Nelayan Cengeng ketika melihat dirinya diserang hebat oleh seorang tinggi besar yang berjubah putih! Akan tetapi Nelayan Cengeng bukanlah orang lemah maka dengan mudah ia lalu berkelit dan balas menyerang sambil berseru,

 “Eh, iblis dari mana datang-datang menyerang orang? Apakah tiba-tiba kau kemasukan setan Pulau Kim-san-to?”

 Akan tetapi, ketika melihat bahwa kakek yang muncul dari dalam air itu dengan mudah dapat mengelak seranganpya, Pek Mo-ko menjadi marah sekali dan menyerang lebih hebat lagi.

 “Pek-susiok, jangan menyerang dia! Dia adalah Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng!” Akan tetapi, Pek Mo-ko tidak mau pedulikan teriakan Kwee An bahkan menyerang makin hebat lagi.

  

 Sementara itu, Biauw Suthai yang mendengar nama kedua orang yang sedang bertempur itu disebut oleh Kwee An, tak ragu-ragu lagi untuk memilih hak. Ia telah lama mendengar nama Nelayan Cengeng sebagai seorang tokoh persilatan golongan pendekar berbudi, sedangkan nama Pek Mo-ko telah terkenal bagai iblis jahat yang kejam, maka ketika melihat bahwa lambat laun Si Nelayan Cengeng terdesak hebat, Biauw Suthai lalu melompat maju sambil mencabut keluar hudtimnya dan berseru,

 “Pek Mo-ko, jangan kau mengganggu orang di depanku!”

 Pek Mo-ko tertawa ketika melihat tokouw ini, oleh karena ia dapat mengenal wanita pendeta yang bermata satu dan beroman buruk ini.

 “Biauw Suthai, kebetulan sekali aku sedang gembira! Mari kau maju sekalian untuk menerima binasa!” Sambil berkata begini Pek Mo-ko lalu mencabut keluar pedangnya yang luar biasa itu dan menyerang dengan penuh semangat, Biauw Suthai menangkis dan Si Nelayan Cengeng yang mendengar nama Biauw Suthai, lalu berkata,

 “Suthai, jangan kuatir, aku membantumu membasmi iblis ini,” lalu kakek nelayan yang gagah ini maju pula dengan tangan kosong melawan pedang Pek Mo-ko. Ia mengeluarkan pukulan-pukulan keras dan lihai dan biarpun bertangan kosong, namun kakek yang lihai ini tidak kurang berbahayanya. Dikeroyok dua Pek Mo-ko menjadi sibuk juga dan terdesak. Pengeroyoknya bukanlah orang-orang biasa dan adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi, maka tidak heran apabila Pek Mo-ko kehilangan kegarangannya menghadapi mereka ini.

 Akan tetapi, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan tahu-tahu Hek Mo-ko telah menyerbu ke tengah pertempuran, membantu Pek Mo-ko. Ilmu silat kedua iblis ini memang merupakan kepandaian pasangan dan apabila kedua iblis ini telah maju berbareng, maka kelihaian mereka menjadi berlipat-ganda. Sebentar saja Biauw Suthai dan Nelayan Cengeng terdesak hebat oleh kedua pedang Hek Mo-ko dan Pek Mo-ko yang luar biasa.

 Pek I Toanio ketika melihat gurunya berada dalam bahaya, tidak mau tinggal dan maju membantu. Namun apa artinya bantuan Pek I Toanio yang tingkatnya masih kalah jauh? Tetap saja sepasang iblis itu mendesak hebat sambil tertawa-tawa.

 Kwee An menjadi sibuk sekali. Berkali-kali ia berteriak mencegah Hek Pek Mo-ko, akan tetapi suaranya tidak dihiraukan oleh kedua iblis yang sedang bergembira itu, seperti biasa kalau mereka berkelahi dan dapat mendesak serta mempermainkan lawan! Kwee An tak dapat membiarkan kedua iblis itu membunuh tiga orang ini, maka terpaksa ia lalu mencabut pedang dan menyerbu membantu Biauw Suthai dan kawan-kawannya. Pertempuran makin hebat, akan tetapi ketika Hek Mo-ko melihat “anaknya” maju membantu lawan, menjadi ragu-ragu dan tiba-tiba ia berteriak,

 “Tahan dan mundur semua!” Suaranya menggeledek dan berpengaruh sekali hingga semua orang menahan senjata masing-masing.

 “Siauw-mo (Setan Cilik), mengapa kau membantu musuh?” tanya Hek Mo-ko sambil memandang Kwee An dengan heran tapi suaranya penuh nada mencinta.

 “Maaf, Ayah. Mereka ini adalah kawan-kawan baikku, bahkan Kong Hwat Locianpwe ini masih dapat disebut guruku sendiri. Tidak boleh Ayah dan Pek-susiok membinasakan mereka!” kata Kwee An dengan gagah sambil menentang pandangan mata ayah angkatnya.

 Hek Mo-ko menghela napas dan berkata perlahan, “Kalau begitu biarlah aku tidak menyerang mereka lagi.”

 Akan tetapi Pek Mo-ko tiba-tiba menjadi beringas dan marah sekali. Ia menuding dengan pedangnya ke arah Kwee An dan membentak. “Anjing tak kenal budi! Beginikah kau membalas kami? Bagaimana juga, hari ini aku harus mencium bau darah orang-orang ini!”

 Setelah berkata demikian, Pek Mo-ko maju menyerang lagi dengan hebat, akan tetapi pedang Kwee An menangkis pedangnya dan anak muda ini berseru, '“Pek-susiok! Kebaikan mereka lebih dari pada kekejamanmu! Kalau kau tetap berkeras, terpaksa aku memberanikan diri melawanmu!”

 Pek Mo-ko makin marah. “Bagus sekali! Aku akan membunuh kau lebih dahulu!” Ia lalu mengirim serangan hebat dan ketika Kwee An menangkis, pemuda ini terkejut oleh karena tenaga Pek Mo-ko benar-benar hebat sehingga tangkisan itu membuat ia terhuyung-huyung belakang. Pek Mo-ko memburu dan mengirim serangan hebat hingga terpaksa Kwee An membuang diri ke belakang sambil bergulingan di atas tanah, untuk menghindarkan diri dari serangan maut.

 “Ha-ha-ha! Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana!” teriak Pek Mo-ko sambil memburu untuk memberi tusukan terakhir, tetapi pada saat itu Hek Mo-ko melompat maju dan menangkis pedang Pek Mo-ko sehingga terdengar suara keras dan kedua pedang itu mengeluarkan api! Baru kali ini selama mereka hidup, pedang mereka ini saling beradu.

  

 Pek Mo-ko memandang kepada Hek Mo-ko dengan mata terbelalak dan muka berubah merah, tanda bahwa ia merasa penasaran dan marah sekali, juga heran.

 “Suheng, kau... kau... hendak melawan aku?” tanyanya gagap.

 Hek Mo-ko memandang tajam. “Sute, kau tidak boleh turunkan tangan kepada anakku!”

 “Apa? Dia bukan anakmu, dia adalah kawan musuh-musuh kita!” bentak Pek Mo-ko sambil menubruk lagi ke arah Kwee An yang telah bersiap sedia dan menangkis.

 “Pek-sute! Jangan kauserang anakku!” teriak Hek Mo-ko dengan marah.

 “Suheng, tinggal kaupilih. Kau membela aku atau membela binatang ini!” jawab Pek Mo-ko dengan melolotkan mata.

 “Pikir saja sendiri olehmu! Anak dan Sute, mana lebih berat?”

 Tiba-tiba Pek Mo-ko tertawa bergelak. “Anak? Ha-ha, kau mabok, Suheng! Kau tidak punya anak! Ha-ha, kau tidak punya anak lagi! Anakmu telah mampus, seperti anakku!”

 Mengertilah semua orang kini bahwa sebenarnya Pek Mo-ko yang kematian puterinya itu, merasa iri hati melihat Hek Mo-ko mengambil Kwee An sebagai anak angkat! Biauw Suthai, Pek I Toanio, dan Si Nelayan Cengeng memandang perdebatan ini dengan penuh perhatian dan tak terasa pula mereka berdiri saling mendekati, merupakan kelompok yang menonton pertentangan antara kedua iblis itu.

 Hek Mo-ko menjadi marah sekali mendengar ucapan adiknya itu, maka ia lalu menggerak-gerakkan pedang di tangannya dan berkata tegas. “Siapa peduli ocehanmu? Pendeknya, kalau kau mengganggu Siauw Mo, kau harus dapat mengalahkan pedangku ini dulu!”

 “Kau sudah bosan hidup!” Pek Mo-ko membentak dan menyerang dengan hebat. Hek Mo-ko juga menggereng marah dan menangkis lalu balas menyerang. Demikianlah, kedua saudara yang tadinya sehidup semati itu lalu bertempur mati-matian sehingga mereka tidak menghiraukan kedatangan Cin Hai dan bahkan kemudian Pek Mo-ko mati di ujung pedang Hek Mo-ko, sedangkan Iblis Hitam ini terkena pukulan hebat dari Pek Mo-ko hingga menderita luka dalam yang berbahaya dan roboh pingsan.

 Melihat keadaan Hek Mo-ko itu, hati Kwee An yang merasa sayang karena berhutang budi, menjadi terharu sekali. Pemuda ini menubruk tubuh Hek Mo-ko dan mengangkat kepala iblis itu di pangkuannya sambil mengeluh,

 “Ayah...” Tentu saja Cin Hai dan lain-lain merasa heran sekali dan saling pandang dengan tak mengerti melihat kelakuan Kwee An itu!

 Kwee An segera memeriksa keadaan Hek Mo-ko, lalu pemuda ini menengok kepada Biauw Suthai yang pandai hal pengobatan sambil berkata,

 “Suthai, tolonglah kauobati dia ini!”

 Biarpun hatinya ragu-ragu untuk memeriksa dan menolong Iblis Hitam yang terkenal jahat dan kejam itu, Biauw Suthai tidak menolak permintaan Kwee An. Ia lalu menghampiri dan memeriksa dada yang terpukul, akan tetapi ia lalu menggeleng-geleng kepalanya dan berkata,

 “Tak ada gunanya lagi. Jantungnya telah kena pukul dan terluka. Tidak ada obatnya bagi pukulan ini.” Ia lalu mengurut dan menotok dada Hek Mo-ko untuk mengurangi rasa sakit yang diderita oleh Iblis Hitam itu.

 Tak lama kemudian Hek Mo-ko membuka matanya ketika melihat bahwa ia berada dalam pelukan Kwee An, ia tersenyum dan dari kedua matanya mengalir air mata!

 “Bagus... bagus... kau betul-betul anakku yang kusayang, Siauw Mo! Aku... aku puas dapat mati dalam pelukan anakku...” Agaknya Hek Mo-ko telah menggunakan tenaganya yang terakhir untuk mengucapkan kata-kata ini, karena lehernya lalu tiba-tiba menjadi lemas dan ia menghembuskan napas terakhir.

 Kwee An menahan isak tangis yang mendorong perasaannya dari dada. Kemudian dengan sedih dan tak banyak mengeluarkan kata-kata ia lalu menggali lubang, dan dibantu oleh Cin Hai dan Si Nelayan Cengeng, mereka lalu mengubur kedua jenazah sepasang iblis yang telah menggemparkan kalangan kang-ouw untuk puluhan tahun lamanya itu.

  

 Setelah penguburan kedua jenazah itu selesai barulah semua orang berkumpul untuk menuturkan riwayat dan perjalanan masing-masing. Sebelum menuturkan pengalamannya, Cin Hai menengok ke arah Pulau Kim-san-to dengan pandangan sayu dan melihat betapa pulau itu masih tetap berkobar bagaikan api neraka mengamuk. Lalu dengan suara terputus-putus dan keharuan besar mempengaruhi lidahnya ia menceritakan riwayatnya, semenjak berpisah dari Kwee An dalam pertempuran melawan Hai Kong Hosiang dulu sampai tertolong oleh Ang I Niocu dan bersama Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu mencari Pulau Emas. Ketika ia menceritakan tentang pertempuran Ang I Niocu dengan seekor burung Kim-tiauw, ia menghela napas dan berkata,

 “Memang betul ramalan pendeta itu bahwa pertempuran dengan burung Rajawali Emas itu mendatangkan bencana besar. Niocu yang bertempur melawan burung itu sekarang tidak ketahuan nasibnya di pulau yang berubah menjadi neraka, sedangkan kedua pendeta yang tertimpa kotoran burung itu pun agaknnya terkena bencana pula. Buktinya perahu mereka kudapatkan terbalik di lautan sedangkan mereka tidak kelihatan lagi!”

 Semua orang merasa terharu dan kasihan sekali kepada Ang I Niocu yang telah mencegah Cin Hai mendekati pulau untuk mencari Lin Lin, bahkan yang menggantikan pemuda itu menuju ke pulau yang berbahaya, padahal telah mendengar dari Pangeran Vayami bahwa pulau itu hendak dibakar dan diledakkan! Dara Baju Merah yang luar biasa itu ternyata telah mengorbankan diri guna menolong dan membela Cin Hai dan Lin Lin. Sungguh perbuatan yang mulia sekali. Apalagi bagi Cin Hai yang mengetahui apa yang terkandung dalam hati sanubari Dara Baju Merah itu terhadap dirinya.

 Setelah Cin Hai selesai menuturkan pengalamannya yang mengerikan, lalu tiba giliran Kwee An untuk menuturkan perjalanannya. Ia menceritakan betapa setelah ia terlempar ke dalam sungai dirinya terbawa hanyut dan diserang oleh ratusan ekor buaya yang ganas dan kemudian jiwanya tertolong oleh Hek Mo-ko. Kemudian ia diambil anak oleh Iblis Hitam itu dan diberi pelajaran silat, dan bersama Hek Pek Mo-ko lalu pergi mencari Pulau Emas dan berhasil membantu Cin Hai dan Ang I Niocu yang dikeroyok di perahu Pangeran Vayami. Ia menuturkan betapa kedua iblis itu telah membasmi seluruh anak buah Pangeran Vayami dan membinasakan pangeran itu sendiri dan betapa perahunya terdampar oleh gelombang besar ke pantai.

 Setelah ia menuturkan semua pengalamannya, maka mengertilah semua orang mengapa Kwee An yang telah diaku anak dan diberi nama Siauw Mo atau Iblis Kecil oleh Pek Mo-ko itu demikian sayang kepada lblis Hitam ini. Dan hal ini pun dianggap wajar oleh semua pendengarnya, oleh karena memang demikianlah seharusnya sifat seorang ksatria yang biarpun kejam dan jahat, namun masih diliputi hati sayang dan cinta suci terhadap seorang anak pungut.

 Biauw Suthai dan Pek I Toanio yang mendapat giliran menuturkan pengalaman mereka, tidak dapat bercerita banyak. Mereka ini oleh karena mengkhawatiran keadaan Ang I Niocu dan Lin Lin yang diam-diam pergi meninggalkan rumah tanpa memberi tahu, lalu menyusul. Akan tetapi, biarpun telah merantau berapa lama, mereka tak berhasil mendapatkan jejak kedua orang gadis itu. Akhirnya mereka bertemu dengan orang-orang dusun di utara yang bicara tentang penyerbuan tentara Turki ke timur hingga hal yang aneh ini menarik hati Biauw Suthai dan ia mengajak muridnya untuk menyusul ke timur dan melihat apakah sebenarnya yang dikerjakan oleh barisan asing itu. Akhirnya mereka dapat menyusul ke pantai ini dan melihat Si Nelayan Cengeng bertempur melawan Pek Mo-ko dan membantu kakek nelayan yang gagah ini.

 Setelah tiba giliran Si Nelayan Cengeng untuk menuturkan riwayatnya yang didengar dengan penuh perhatian oleh Cin Hai, Kwee An, Biauw Suthai dan muridnya, Kong Hwat Lojin menghela napas berulang-ulang, kemudian ia mulai ceritanya yang panjang.

 Sebagaimana telah diketahui di bagian depan, setelah Nelayan Cengeng memperlihatkan kemahirannya di dalam air dan berhasil mengambil perahu Yousuf yang tenggelam dari dasar sungai, dia dan Yousuf dengan bantuan Ma Hoa dan Lin Lin lalu memperbaiki perahu itu dan kemudian berangkat berlayar menuju ke laut.

 Di sepanjang pelayaran mereka, Yousuf dapat menggembirakan hati Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa dengan macam-macam cerita yang didongengkannya. Ternyata bahwa orang Turki ini telah mempunyai banyak sekali pengalaman hidup dan sudah banyak melakukan perantauan-perantauan ke luar negeri. Ia bercerita tentang orang-orang yang tinggi besar seperti raksasa, berambut merah dan bermata biru, hingga Lin Lin dan Ma Hoa menjadi ngeri dan takut.

 “Apakah mereka itu suka makan orang?” tanya Ma Hoa sambil menggeser duduknya mendekati Lin Lin oleh karena ketika itu telah malam dan kegelapan malam membuat ia membayangkan hal-hal yang mengerikan ketika mendengar cerita Yousuf tentang orang-orang aneh itu.

 Mendengar pertanyaan ini, Yousuf tertawa geli. “Aah, tidak, mereka itu juga manusia seperti kita. Bahkan, mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dapat membuat barang-barang yang aneh dan indah. Hanya saja, mereka itu bersikap kasar dan tidak tahu adat. Mereka tinggal di Barat.”

 “Apakah yang disebut Dunia Barat?” tanya Lin Lin. Pada waktu itu Tiongkok telah kenal dengan India yang di sebut Dunia Barat, bahkan Agama Buddha datangnya juga dari India. Mendengar bahwa raksasa-raksasa berambut merah dan bermata biru itu berada di Barat, maka Lin Lin mengajukan pertanyaan itu.

  

 “Bukan, mereka bahkan tinggal lebih jauh lagi dari Dunia Barat. Orang-orang di Dunia Barat memang tinggi besar akan tetapi kulit dan warna rambut mereka sama dengan kita. Mungkin banyak yang lebih hitam kulitnya kalau dibandingkan dengan kalian orang-orang Han. Akan tetapi adat istiadat mereka itu tak berbeda jauh dengan kita sendiri.”

 Kemudian Yousuf menceritakan pula pengalaman-pengalamannya ketika ia merantau jauh ke utara hingga ia menyebut-nyebut tentang bukit-bukit es yang dinginnya membuat ludah yang dikeluarkan dari mulut menjadi beku sebelum tiba di atas tanah! Pendeknya, banyak hal-hal aneh yang terjadi di luar Tiongkok yang bagi ketiga orang pendengarnya, jangan kata menyaksikan, bahkan mendengar pun belum pernah, diceritakan oleh Yousuf hingga ketiga orang itu menjadi tertarik dan senang sekali. Juga perasaan mereka terhadap Yousuf yang peramah dan pandai membawa diri itu menjadi makin berkesan baik. Setelah bergaul selama beberapa hari di atas perahu, kedua gadis itu harus mengakui bahwa Yousuf adalah seorang laki-laki yang sopan santun, pandai berkelakar dengan sopan, dan mempunyai pribadi tinggi. Bahkan Nelayan Cengeng terpaksa harus melempar syakwasangka yang tadinya timbul di hatinya ketika bertemu dengan orang Turki ini.

 “Dulu kau berkata tentang Pulau Kim-san-to, maukah kau menceritakan tentang pulau itu? Kita sedang menuju sana, maka ada baiknya bagi kami bertiga untuk mengetahui serba cukup tentang hal-ihwal pulau itu,” kata Nelayan Cengeng, dan Lin Lin serta Ma Hoa pun mendesak sambil mendengarkan.

 Setelah bergaul dengan ketiga oraang Han ini, Yousuf juga mendapat kesan baik sekali dan ia mengagumi sepenuh hatinya sifat-sifat mereka yang gagah berani. Ia kini percaya bahwa di Tiongkok memang banyak sekali pendekar-pendekar atau orang-orang gagah yang pekerjaannya hanya menolong sesama manusia dan menjadi pelopor-pelopor serta penegak-penegak keadilan. Terhadap Nelayan Cengeng ia merasa kagum sekali dan memandang penuh hormat seperti seorang saudara tua, sedangkan terhadap Ma Hoa don Lin Lin, ia merasa sayang dan suka. Hatinya yang tadinya tertarik seperti tertariknya hati laki-laki terhadap seorang wanita, lambat laun berubah menjadi kasih sayang seorang tua terhadap anaknya atau seorang kakak terhadap adiknya. Hal ini timbul dari kesadarannya yang tinggi yang tidak mengizinkan hatinya untuk memaksa seorang gadis mencintainya, dan biarpun ia mencinta gadis itu dengan sungguh-sungguh, melihat sikap Lin Lin terhadapnya yang polos dan jujur bagaikan sikap seorang adik sendiri, maka nafsu-nafsu berahi yang tadinya mengotori kasih sayangnya terhadap gadis itu, menjadi luntur dan banyak mengurang.

 Ketika mendengar permintaan mereka untuk menceritakan perihal Pulau Kim-san-to, Yousuf merasa ragu-ragu. Akan tetapi, kemudian ia berkata,

 “Cerita ini sekaligus membongkar rahasiaku dan keadaan diriku. Apakah hal ini takkan menimbulkan kekecewaan kalian dan tidak akan membuat kalian membenciku? Sungguh tidak enak kalau kita yang melakukan pelayaran seperahu dan setujuan ini akan mempunyai perasaan tak suka, dan benci satu kepada yang lain!”

 Nelayan Cengeng tertawa. “Saudara Yo Se Fei! Kau sungguh-sungguh terlalu sungkan-sungkan! Kalau sekiranya hal ini tak dapat kauceritakan kepada kami, janganlah kauceritakan! Kami juga tidak begitu nekat untuk memaksamu, bukankah begitu, anak-anak?”

 Akan tetapi Nelayan Cengeng tertegun ketika Ma Hoa dan Lin Lin dengan suara berbareng dan tegas berkata, “Ah, Yo-sianseng (Tuan Yo) harus menceritakan tentang pulau itu kepada kita!”

 Bahkan Lin Lin lalu berkata lagi, “Apakah Yo-sianseng kurang percaya kepada kami hingga masih menyimpan segala rahasia?”

 Kalau Nelayan Cengeng tercengang, Yousuf tertawa terbahak-bahak dan ia lalu berkata, “Ha-ha, Kong Hwat Lojin yang masih mempunyai sikap sungkan-sungkan, bukan aku dan bukan pula kedua nona ini! Baiklah, aku akan menceritakan pengalamanku!” Kemudian setelah minum air teh yang dibuat oleh Lin Lin dan dihidangkan oleh Ma Hoa, orang Turki itu bercerita,

 “Beberapa tahun yang lalu, aku dan dua orang kawanku berlayar di laut ini. Pada suatu malam, ketika kami melalui banyak pulau di pantai laut ini, tiba-tiba kami dikejutkan oleh pemandangan yang dahsyat dan aneh dan yang sebentar lagi kalian juga akan dapat menyaksikannya.

  

 Sebuah pulau di depan kami yakni pulau yang disebut Pulau Gunung Emas, nampak bercahaya mengeluarkan sinar kuning emas yang menakjubkan. Kami bertiga merasa takut sekali karena pemandangan itu sungguh aneh sekali. Kami lalu berhenti berlayar dan malam itu kami tidak tidur, terus berdiri di perahu mengagumi keindahan pulau itu dari jauh. Pada keesokan harinya, kami mendayung perahu mendekati pulau itu kami mendarat. Akan tetapi, apa yang menyambut kami? Sungguh di luar dugaan! Ketika kami mendarat di pulau itu, tiba-tiba dari belakang sebatang pohon, keluarlah seekor harimau besar yang mempunyai sebuah tanduk di tengah-tengah kepalanya! Harimau itu lari menerjang, kami terpaksa melawannya. Harus diketahui bahwa kedua kawanku itupun memiliki kepandaian yang hanya berada sedikit di bawah kepandaianku, akan tetapi kami bertiga masih tak dapat mengalahkan harimau itu! Dan dalam saat yang berbahaya itu tiba-tiba dari atas menyambar turun seekor burung rajawali berbulu kuning emas ke arah kami dan menyerang dengan tidak kalah hebatnya! Kami menjadi sibuk dan terdesak hebat, bahkan seorang kawan kami telah kena cakar harimau itu dan dipukul dengan sayap oleh Kim-tiauw hingga keadaan kami makin berbahaya! Akan tetapi, ketika kami telah berada di tepi jurang maut, tiba-tiba datanglah penolong yang tidak kalah anehnya. Penolong ini adalah seekor burung merak yang besar sekali dan bulunya hijau bercampur kuning keemasan yang indah sekali. Merak ini menyambar turun sambil mengeluarkan suara nyaring dan aneh! Begitu melihat merak ajaib ini, Rajawali Emas dan Harimau Bertanduk itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan berlari pergi seolah-olah dalam ketakutan hebat!”

 “Merak ajaib itu lalu turun dan sambil mengembangkan semua sayap dan ekornya yang indah, ia berjalan hilir mudik seakan-akan membanggakan keunggulan dan kecantikannya. Aku merasa sangat tertarik dan timbul keinginanku hendak menangkap dan memelihara Sin-kong-ciak (Merak Sakti) itu, akan tetapi tiba-tiba ia mengibaskan sayap kirinya dan aku jatuh terpelanting! Angin kibasan sayapnya ini mempunyai tenaga yang luar biasa besarnya hingga aku mengerti mengapa Harimau Bertanduk dan Rajawali Emas itu takut menghadapinya. Ternyata merak itu bukanlah binatang sembarangan dan mempunyai kesaktian luar biasa!”

 Nelayan Cengeng menjadi kagum sekali mendengar cerita tentang merak ajaib ini, maka ia lalu berkata, “Aku pernah mendengar tentang burung merak yang datang dari negeri sebelah selatan Tiongkok, dan kabarnya merak di negeri itupun amat cantik dan kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar tentang burung merak sehebat seperti yang kauceritakan itu.”

 Juga Lin Lin dan Ma Hoa merasa kagum sekali, dan Lin Lin segera mendesak agar Yousuf suka melanjutkan penuturannya!

 “Terpaksa kami berdua membawa kawan kami yang terluka dan melarikan diri ke atas perahu. Kami tidak berani mendarat oleh karena pulau itu ternyata mempunyai penghuni yang aneh-aneh dan lihai. Kami hanya mendayung perahu mengitari pulau itu dan sungguh aneh. Selain tiga ekor binatang aneh itu, kami tidak melihat apa-apa lagi. Kami lalu mendarat dari bagian lain untuk menyelidiki dan ternyata di puncak bukit terdapat sebuah telaga yang air berwarna indah, kadang-kadang hijau, ada merahnya, lalu kuning, bagaikan warna pelangi di udara, akan tetap pada dasarnya berwarna kehitam-hitaman. Kami mempunyai keyakinan bahwa pulau itu tentu menyimpan harta yang luar biasa, maka kami lalu berputar sambil memeriksa. Untung sekali kami tidak pergi terlalu jauh dari pantai, oleh karena selagi kami berjalan, tiba-tiba dari atas terdengar suara yang menakutkan dan betul saja, burung Rajawali Emas yang kami takuti itu telah menyambar dari atas dan menyerang kami! Kami berdua lalu memutar-mutar pedang di atas kepala untuk melindungi kepala kami dari terkaman burung hantu itu sambil berlari ke perahu kami. Dan dengan penuh ketakutan, kami lalu pergi dari pulau itu, dan kawan kami yang terluka itu terpaksa kami lempar ke laut oleh karena ia meninggal dunia karena lukanya. Demikianlah kami kembali ke negeri kami dan Raja kami yang mendengar tentang penuturanku, lalu memerintahkan barisan besar untuk menyelidiki keadaan pulau itu. Dan harap kalian jangan kaget, aku adalah seorang yang ditugaskan untuk memimpin rombongan penyelidik atau mata-mata Pemerintah Turki.”

 Ketika melihat betapa ketiga orang Han itu tidak terpengaruh oleh pengakuannya, ia lalu melanjutkan, “Dan aku pergi sekarang ini pun oleh karena perintah Rajaku untuk membuka jalan sebagai perintis menuju ke pulau itu.” Sambil berkata begini, ia memandang tajam kepada Nelayan Cengeng untuk melihat perubahan muka pendengarnya, akan tetapi Nelayan Cengeng agaknya tidak tertarik sama sekali, bahkan lalu berkata,

 “Aku ingin sekali melihat binatang-binatang aneh itu.”

 Juga Lin Lin dan Ma Hoa berkata. “Alangkah senangnya kalau dapat membawa pulang burung merak sakti itu.”

 Maka gembiralah hati Yousuf melihat keadaan ketiga orang itu yang sama sekali tidak mau atau ambil peduli tentang segala urusan negeri. Saking girang dan lega hatinya, Yousuf lalu bernyanyi sebuah lagu Turki yang didengar oleh kawan-kawannya dengan penuh perhatian, kagum dan geli, oleh karena biarpun mereka harus mengakui bahwa Yousuf memiliki suara yang empuk dan merdu, namun lagu yang dinyanyikannya terasa asing bagi telinga mereka hingga terdengar sumbang dan lucu.

  

 Pada saat Yousuf selesai bernyanyi, hari telah menjadi gelap dan mereka telah tiba di dekat Pulau Kim-san-to. Tiba-tiba Yousuf menunjuk ke depan dan berkata, “Nah, kalian lihatlah baik-baik, bukanlah Kim-san-to benar-benar pulau yang menakjubkan?”

 Nelayan Cengeng, Lin Lin dan Ma Hoa menengok dan ketiganya menahan napas dengan mata terbelalak ketika melihat pemandangan ajaib yang terbentang di depan mata mereka. Mereka telah melihat Kim-san-to di waktu malam, melihat bukit yang mencorong dan berkilauan seakan-akan bukit itu terbuat daripada emas murni.

 “Mungkinkah ini?” Nelayan Cengeng menggerakkan bibirnya.

 “Apakah aku sedang mimpi?” bisik Lin Lin sambil mengucek-ngucek kedua matanya seakan-akan tak percaya kepada matanya sendiri. Ma Hoa juga terpesona hingga gadis ini berdiri diam bagaikan patung batu.

 “Hebat bukan? Aku sendiri ketika melihat untuk pertama kalinya, telah berlutut dan menyebut nama Dewata, karena menyangka bahwa aku telah melihat Surga diturunkan di atas tempat ini. Tempat seperti itu, pantasnya menjadi kediaman para Dewata, bukan?” terdengar Yousuf berkata hingga ketiga orang itu tersadar dan menghela napas.

 “Benar-benar hebat, Saudara Yousuf. Terus terang saja, tadinya aku masih ragu-ragu dan timbul persangkaanku bahwa kau membohong atau melebih-lebihkan ceritamu, akan tetapi melihat pemandangan ini aku menjadi percaya penuh kepadamu, juga tentang penghuni pulau yang aneh-aneh itu,” kata Nelayan Cengeng.

 “Mari kita ke sana sekarang juga!” kata Ma Hoa dengan gembira, dan Lin Lin juga mendesak supaya mereka segera pergi ke pulau indah dan ajaib itu. Akan tetapi Yousuf menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,

 “Jangan pergi sekarang aku belum tahu benar, apakah selain ketiga binatang sakti itu tidak ada lain makhluk berbahaya di pulau itu. Mendarat malam-malam adalah hal yang sembrono dan berbahaya sekali. Lebih baik kita menanti di perahu sampai besok pagi, barulah kita mendarat dengan hati-hati.”

 Nelayan Cengeng yang dapat memaklumi hal ini dan dapat berpikir lebih luas menyetujui ucapan ini hingga terpaksa Lin Lin dan Ma Hoa yang sudah tidak sabar menanti itu menekan perasaan mereka dan semalam suntuk mereka tidak mau tidur, hanya duduk di atas perahu sambil menikmati pemandangan indah itu dan mengaguminya. Melihat pemandangan indah sekali itu, Lin Lin dan Ma Hoa yang duduk berdua saja, lalu teringat kepada kekasih masing-masing. Dan tiba-tiba wajah mereka menjadi berduka. Ma Hoa tahu akan perubahan pada muka Lin Lin dan ia bertanya perlahan,

 “Lin Lin mengapa tiba-tiba kau menghela napas dan seperti orang berduka?” Lin Lin tiba-tiba menjadi merah mukanya dan dengan perlahan sambil memegang tangan Ma Hoa, ia bertanya, “Enci Hoa, apakah kau tidak teringat pada kakakku Kwee An?”

 Ma Hoa memegang tangan Lin Lin erat-erat sambil bermerah muka, lalu berkata, “Jadi itukah yang mengganggu pikiranmu? Kita harus meneguhkan hati dan bersabar, Adikku. Aku yakin bahwa Saudara Cin Hai dan... dia akan selamat oleh karena mereka berdua memiliki kepandaian yang tinggi.”

 Lin Lin maklum bahwa keadaan hati dan pikiran Ma Hoa pada saat itu sama dengan keadaan hati dan pikirannya maka ia tidak mau bicara tentang hal kedua pemuda itu terlebih lanjut. Dalam berdiam, mereka seakan-akan mendengar bisikan jantung mereka masing-masing yang membuat mereka merasa saling tertarik lebih dekat lagi.

 Pada keesokan harinya, pagi-pagi setelah matahari naik ke puncak bukit, Yousuf baru berani mendarat di pulau yang aneh itu. Dilihat pada siang hari, pulau itu merupakan sebuah pulau kecil yang berbukit satu dan yang kelihatan biasa saja seperti pulau-pulau lainnya.

 Mereka berempat lalu mendarat dan bersiap sedia dengan senjata mereka kalau-kalau ada binatang luar biasa yang datang menyerang. Akan tetapi aneh sekali, dan terutama Yousuf merasa heran karena tak seekor binatang pun yang dulu dilihatnya kelihatan muncul.

 “Apakah selama beberapa tahun ini mereka telah mati?” katanya pada diri sendiri akan tetapi diucapkan dengan mulut.

 “Mungkin juga, karena benda atau mahluk apakah di dunia ini yang tidak akan menyerah terhadap kematian?” kata Nelayan Cengeng yang membawa dayungnya yang besar dan berat dipanggul di pundak.

 Mereka lalu menjelajah di pulau itu dan ternyata bahwa selain burung-burung kecil yang berkicau di atas pohon pulau itu nampaknya tidak ada mahluk yang berbahaya. Mereka lalu mengunjungi danau yang dulu diceritakan oleh Yousuf dan bersama-sama mengagumi danau yang berwarna macam-macam itu.

 “Ada sesuatu yang mengerikan di bawah danau ini agaknya,” kata Nelayan Cengeng hingga Lin Lin dan Ma Hoa lalu saling mendekat dan saling berpegang tagan oleh karena kedua gadis ini pun merasa betapa danau ini berbeda dengan danau biasa, seakan-akan di dasarnya yang hitam dan mengerikan!

 Yousuf lalu mengajak mereka memeriksa terus keadaan pulau itu dengan pengharapan untuk mendapatkan harta atau emas yang disangkanya berada di pulau itu akan tetapi mereka tidak mendapatkan sesuatu yang berharga.

  

 Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah puncak lain yang ditumbuhi banyak bunga-bunga indah. Tiba-tiba Lin Lin berseru,

 “Ada gua di sini!” Ketika semua orang menghampiri, benar saja, tertutup oleh rumput alang-alang yang tinggi terdapat pintu gua yang cukup besar dan tinggi. Gua itu tadinya gelap oleh karena terhalang oleh alang-alang, akan tetapi segera setelah Yousuf menggunakan pedangnya untuk membabat alang-alang itu, di dalam gua menjadi terang oleh karena kebetulan sekali gua menghadap ke barat dan matahari yang sudah condong ke barat itu menyinarkan cahayanya ke dalam gua.

 Dengan didahului Yousuf dan Nelayan Cengeng, keempat orang itu memasuki gua dengan perlahan dan hati-hati, dan tak lupa mereka menyiapkan senjata di tangan masing-masing menghadapi bahaya yang mungkin timbul. Gua itu ternyata memang cukup luas, akan tetapi dalamnya hanya kira-kira tiga tombak saja dan di dalamnya kosong tidak menampakkan sesuatu yang aneh.

 Tiba-tiba Lin Lin menjerit perlahan dan melompat seakan-akan diserang oleh sesuatu yang mengerikan dari bawah tanah! Semua orang terkejut dan bertanya, “Ada apakah?”

 Lin Lin dengan tangan menggigil menunjuk ke bawah dan ternyata bahwa kaki gadis itu tadi telah tersangkut oleh sebuah tulang tangan orang yang menonjol keluar dari tanah yang tertutup pasir itu! Tangan ini hanya kelihatan lima jarinya saja, sedangkan tulang rangka selebihnya terpendam di bawah pasir! Tentu saja melihat lima buah jari tangan yang sudah menjadi rangka itu di tempat yang mengerikan menimbulkan hati takut dan ngeri.

 “Tentu ada apa-apanya di bawah ini,” berkata lagi Nelayan Cengeng dan ia segera mulai menggali pasir yang menimbun tangan rangka itu. Setelah digali, maka tampaklah rangka manusia yang lengkap terpendam di pasir dan disebelah rangka itu terdapat sebatang pedang yang telah habis dimakan karat dan pedang itu hanya tinggal sisanya sepanjang paling banyak satu kaki saja lagi. Sisa ini pun telah merupakan besi berkarat dan gagangnya sudah tinggal sepotong kayu lapuk.

 Sambil memegang pedang bobrok itu dan mengamat-amatinya dengan penuh perhatian, Nelayan Cengeng berkata sambil menghela napas.

 “Ah, kalau saja pedang bobrok ini dapat bicara, tentu ia akan menceritakan riwayat orang ini yang tentu indah menarik sekali. Apalagi tubuh manusia sedangkan pedang yang aku percaya tadinya adalah sebatang pedang pusaka yang ampuh, kini hanya tinggal sisanya yang sudah tidak berharga lagi saja!” Sambil berkata demikian, Nelayan Cengeng lalu menaruh kembali pedang yang tinggal sepotong dan karatan itu di dekat rangka itu.

 “Kita harus tanam kembali rangka ini dengan pasir,” katanya penuh kekecewaan karena tidak mendapatkan sesuatu di situ.

 “Nanti dulu, Locianpwe!” tiba-tiba Lin Lin berkata. “Agaknya tidak percuma tangan rangka ini tadi menowel kakiku dan karena di sini tidak terdapat sesuatu, biarlah kusimpan sisa pedang ini sebagai kenang-kenangan kunjunganku ke pulau ini.”

 Nelayan Cengeng tertawa. “Kau ini memang aneh! Untuk apakah sisa pedang bobrok itu?” Akan tetapi semua orang tidak melarang ketika Lin Lin dengan hati-hati mengambil pedang bobrok itu dan membungkusnya dengan baik-baik di dalam saputangannya, lalu menyelipkannya di ikat pinggang.

 Setelah mengubur kembali rangka itu dengan baik-baik, mereka lalu mengambil keputusan untuk bermalam di gua ini yang merupakan tempat baik sekali untuk berlindung dari serangan angin atau binatang buas yang mungkin menyerang di waktu malam.

 Berhari-hari keempat orang itu tinggal di Pulau Kim-san-to dan setiap hari Yousuf keluar melakukan pemeriksaan dan mencari-cari harta yang disangkanya berada di pulau itu. Akan tetapi usahanya selalu gagal dan sia-sia, karena yang didapatnya di pulau itu hanyalah batu-batu karang yang tidak berharga. Sedangkan Nelayan Cengeng dan kedua orang gadis itu yang tidak sangat bernafsu untuk mencari harta terpendam, jarang ikut dan hanya berjalan-jalan menikmati pemandangan di pulau itu.

 Pada hari ke tiga, tiba-tiba terdengar jeritan Yousuf dari dekat. Ketiga orang kawannya menjadi kaget sekali dan cepat memburu ke arah suara jeritannya. Mereka kaget melihat Yousuf sedang mencekik seekor ular yang besarnya hanya selengan tangan orang, akan tetapi wajah orang Turki itu telah menjadi pucat sekali. Lin Lin memburu dengan pedang di tangan dan sekali bacok saja tubuh ular itu telah terpotong menjadi dua.

 Yousuf melepaskan leher ular yang sedang dicekiknya itu ke atas tanah, akan tetapi semua orang terkejut sekali melihat bahwa bagian yang seharusnya menjadi ekor ular itu, ternyata merupakan kepala pula dan yang telah menggigit pundak Yousuf dan kini masih menempel di situ.

  

 Ternyata bahwa ular itu adalah seekor ular kepala dua. Ketika Yousuf sedang memeriksa dan mencari-cari sambil menyingkap rumput alang-alang, tiba-tiba ular tadi menyambar dan hendak menggigitnya, Yousuf tidak keburu berkelit, maka cepat mengulur tangan menangkap leher ular yang menyambarnya itu dan terus menggunakan kekuatannya mencekik leher ular yang tak dapat melepaskan diri lagi. Akan tetapi, tiba-tiba Yousuf merasa pundaknya sakit sekali dan alangkah kaget dan herannya ketika melihat bahwa ekor ular itu dapat menggigit pundaknya. Dia tidak menyangka bahwa ekor ular itupun merupakan kepala kedua sehingga ia tidak sempat mengelak dan kena tergigit pundaknya.

 Yousuf merasa tubuhnya menjadi panas dan pundaknya sakit sekali, maka tanpa terasa pula ia menjerit hingga kawan-kawannya datang menolong.

 Setelah melepaskan kepala ular yang dicekiknya, Yousuf lalu roboh pingsan dengan muka merah sekali. Ketika Nelayan Cengeng meraba jidatnya, ternyata tubuh orang Turki itu panas sekali. Kong Hwat Lojin lalu mencabut kepala ular yang masih menggigit pundak walaupun telah mati dan melemparkannya jauh-jauh, kemudian ia memondong tubuh Yousuf ke dalam gua tempat mereka bermalam.

 Lin Lin yang biarpun sedikit pernah mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya yaitu Biauw Suthai lalu memeriksa luka di pundak Yousuf. Ia terkejut sekali melihat betapa pundak itu telah menjadi matang biru dan maklum bahwa ular yang menggigit Yousuf itu adalah ular beracun yang berbahaya sekali.

 Selagi mereka bertiga kebingungan tiba-tiba di luar gua terdengar suara aneh. Mereka memburu keluar dan melihat seekor burung merak yang berbulu biru bercampur kuning keemas-emasan hingga dari jauh nampak seperti hijau. Merak ini indah sekali dan juga besarnya melebihi merak biasa. Mereka terkejut karena teringat akan cerita Yousuf tentang merak sakti yang amat lihai. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah siap dengan senjata mereka untuk menyerbu, akan tetapi tiba-tiba Lin Lin berseru,

 “Jangan ganggu dia! Lihat, dia membawa buah Pek-kim-ko (Buah Emas Putih). Buah inilah yang kubutuhkan pada saat ini untuk menolong jiwa Yo sian seng.”

 Merak itu seakan-akan mengerti bicara Lin Lin, karena ia berhenti dan berdiri di depan Lin Lin sambil memandang ke arah gadis itu dengan kedua matanya yang merah dan indah. Lin Lin lalu melangkah maju tanpa kelihatan jerih sedikit pun, karena dalam hatinya ia menganggap tak mungkin seekor burung yang begini indahnya dapat mempunyai watak jahat.

 Setelah dekat Lin Lin tidak berani mengambil buah itu dari mulut merak karena menganggap hal itu kurang patut dan tidak menghargai burung itu, maka ia lalu mengulurkan tangan kanan seperti orang minta-minta. Dan benar saja, merak ajaib itu lalu mengulurkan lehernya ke depan dan menjatuhkan buah yang berwarna putih itu ke dalam telapak tangan Lin Lin. Lin Lin menerima buah itu dan ketika melihat bahwa itu benar-benar buah Pek-kim-ko seperti yang ia duga, ia menjadi girang sekali dan tak terasa pula ia mengangguk kepada burung merak itu dan berkata,

 “Sin-kong-ciak-ko (Saudara Merak Sakti), terima kasih banyak!” Lalu gadis ini berlari masuk ke dalam gua diikuti oleh Nelayan Cengeng dan Ma Hoa yang memandang terheran-heran. Lin Lin segera menghampiri Yousuf yang masih rebah di pembaringan tanpa dapat berkutik lagi dan mukanya makin menjadi merah serta tubuhnya penas sekali bagaikan dibakar.

 Tanpa banyak membuang waktu dan banyak bicara lagi, Lin Lin lalu mencabut pedangnya dan menggunakan ujung pedang itu untuk digoreskan ke pundak Yousuf yang telah dibuka bajunya, yaitu di bagian yang bengkak dan matang biru, bekas gigitan ular tadi. Kulit pundak dan daging di situ terbuka dengan mudah oleh ujung pedang yang tajam dan runcing itu, kemudian setelah menyimpan pedangnya, Lin Lin lalu memasukkan buah Pek-kim-ko itu ke mulutnya terus dikunyah dan dimakan. Rasa buah itu pahit sekali dan di dalamnya mengandung getah yang melekat di seluruh lidah, gigi, dan kulit dalam mulut. Lin Lin lalu menempelkan bibirnya yang merah dan berbentuk indah itu ke arah luka bekas goresan pedang di pundak Yousuf lalu dihisapnya! Setelah menghisap, ia lalu meludahkan darah hitam yang dapat disedot dari luka itu. Berkali-kali ia menghisap dan meludah sambil kadang-kadang berhenti untuk mengurut jalan darah di sekitar pundak yang tergigit ular itu. Akhirnya, habislah bisa ular yang meracuni darah Yousuf dan lenyaplah warna merah di mukanya dan warna matang biru di pundaknya, sedangkan panasnya juga otomatis menurun.

 Ternyata bahwa khasiat buah Emas Putih itu ialah untuk menjaga mulut dan tenggorokan Lin Lin, agar jangan sampai terpengaruh bisa yang jahat itu. Tanpa buah Pek-kim-ko, Lin Lin takkan berani melakukan penghisapan bisa dengan mulutnya itu, karena hal ini berbahaya sekali, dan dapat menewaskannya.

 Setelah jiwa Yousuf tertolong dari ancaman bisa ular, Lin Lin lalu keluar dari gua untuk mencari air dan mencuci mulutnya sampai bersih. Nelayan Cengeng dan Ma Hoa saling pandang dan rasa haru yang mendalam terasa oleh hati kedua orang ini melihat ketinggian budi Lin Lin. Mereka memuji kemuliaan hati gadis itu.

  

 Ketika Lin Lin sedang mencuci mulut dan tangannya di sebuah sumber air kecil di puncak gunung itu, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara geraman hebat di belakangnya dan ketika ia menoleh, terlihat olehnya seekor harimau yang besar sekali! Yang aneh adalah bahwa di tengah-tengah jidat harimau itu tumbuh sebuah tanduk yang melengkung ke atas bagaikan tanduk seekor badak. Lin Lin cepat berdiri dan melompat ke tempat yang lebih lega dan rata, karena maklum bahwa binatang ini tentulah harimau jahat dan lihai yang pernah diceritakan oleh Yousuf di atas perahu dulu.

 Memang benar bahwa harimau inilah yang dulu menyerang Yousuf dan kawan-kawannya dan binatang ini lihai dan kuat. Akan tetapi melihat Lin Lin, harimau ini agaknya ragu-ragu untuk menyerang, hanya memandang dan menggeram beberapa kali, lalu mengaum kecil seakan-akan menyatakan keraguannya apakah ia harus menyerang gadis ini atau tidak.

 Tiba-tiba terdengar suara pukulan sayap dari atas dan Lin Lin merasa datangnya angin menyambar kepalanya dari atas. Cepat gadis ini mengelak dengan tepat oleh karena tanpa peringatan lagi, dari atas telah manyambar turun seekor Rajawali Emas yang besar! Kalau Lin Lin tadi tidak mengelak dengan tepat, tentu kepalanya telah kena dipatuk oleh burung yang gelak itu! Lin Lin makin terkejut oleh karena ia telah mendengar akan kelihaian burung ini dan kini setelah dua macam binatang lihai ini barada di depannya, apakah yang dapat ia lakukan? Sedangkan Yousuf yang begitu gagah dan dibantu oleh dua orang kawannya pun masih tak kuat melawan dua ekor binatang ini, apalagi dia berada seorang diri dan tidak memegang senjata pula? Namun gadis ini memang mempunyai hati yang tabah dan pada mukanya tidak terlihat rasa takut sedikit pun. Bahkan ketika itu ia memandang kepada harimau dan rajawali sakti itu dengan pandangan mata kagum dan senang. Rajawali itu setelah menyambar turun, lalu berdiri di dekat harimau bertanduk dan ternyata bahwa tubuh rajawali itu jauh lebih tinggi daripada tubuh harimau itu! Kedua ekor binatang ini memandang kepada Lin Lin dan agaknya mereka keduanya merasa ragu-ragu melihat seorang manusia cantik yang tidak mengambil sikap bermusuhan dengan mereka, bahkan tidak mengeluarkan senjata untuk melukai mereka.

 Tiba-tiba terdengar bunyi nyaring dari atas dan ketika Lin Lin memandang, ternyata merak yang luar biasa tadi telah melayang turun dan berdiri di atas tanah di depan kedua binatang itu. Harimau bertanduk lalu menggoyang-goyangkan ekornya dan menundukkan kepala sedangkan Rajawali Emas itu lalu mengebut-ngebutkan sepasang sayapnya sambil bertunduk pula, seakan-akan keduanya memberi hormat kepada merak ini. Merak Sakti itu mengangkat dadanya dengan bangga lalu memutar menghadapi Lin Lin dan gadis ini girang sekali oleh karena ternyata bahwa merak ini berdiri hanya dengan sebelah kakinya dan kakinya sebelah lagi mencengkeram serumpun daun Coa-tok-te, yaitu semacam daun yang merupakan obat khusus untuk menyembuhkan luka akibat gigitan ular beracun. Lin Lin dengan girang melangkah maju dan sambil tersenyum manis gadis itu berkata,

 “Ah, Saudara Merak Sakti. Sungguh kau benar-benar baik hati dan pandai.” Sambil berkata demikian Lin Lin mengeluarkan tangan menerima rumput atau daun-daun penjang itu dari kaki merak. Kemudian dengan mesra Lin Lin mengelus-elus bulu merak yang indah sekali dan halus serta bersih itu. Merak itu menggunakan lehernya yang panjang untuk dibelai-belaikan kepada lengan tangan gadis yang mengelus-elusnya itu, seakan-akan ia merasa gembira sekali. Sikapnya seperti seekor binatang peliharaan yang amat jinak. Sedangkan harimau bertanduk dan Rajawali Emas itu pun melangkah maju perlahan-lahan dengan mata mengeluarkan pandangan mengiri. Lin Lin tertawa dan dengan tabahnya ia pun lalu menghampiri kedua binatang buas itu dan mengelus-elus punggung mereka. Si Harimau bertanduk menggoyang-goyangkan ekornya dan mengeluarkan keluhan perlahan seperti seekor kucing yang merasa senang dan manja, sedangkan Rajawali Emas itupun lalu mengembangkan sayapnya dan merendahkan diri sambil membuka paruhnya seperti seekor burung murai yang dibelai oleh pemiliknya dengan kasih sayang.

 Tiba-tiba harimau itu mencium-cium ke arah pinggang Lin Lin dan tiba-tiba ia menggeram keras sehingga gadis itu terkejut, juga Rajawali Emas dan Merak Sakti nampak kaget. Lin Lin teringat akan pedang karatan yang berada di pinggangnya dan otomatis ia mencabut pedang itu, dan aneh. Ketika melihat pedang karatan itu, ketiga binatang itu lalu mengeluarkan keluhan panjang dan sedih dan ketiganya lalu mendekam di hadapan Lin Lin seakan-akan berlutut.

 Lin Lin adalah seorang gadis yang cerdik dan dapat mengerjakan otaknya cepat sekali. Ia dapat menduga tepat bahwa ketiga binatang sakti ini tentulah murid-murid atau binatang-binatang peliharaan orang sakti yang telah meninggal dunia di dalam gua dan kini ketiga ekor binatang ini mengenal pedang pusaka orang sakti itu! Maka Lin Lin lalu berlutut pula dan mengangkat pedang itu tinggi-tinggi, seakan-akan hendak memperlihatkan kepada ketiga binatang itu bahwa dia juga menjunjung tinggi dan menghormat pemilik pedang itu. Kemudian ia berdiri dan memasukkan pedang bobrok itu ke dalam ikat pinggang lagi. Kini ketiga binatang nampak girang sekali dan mereka menjadi begitu jinak seperti tiga ekor anjing yang amat menurut.

 Pada saat itu terdengar seruan heran dan ketika Lin Lin memandang, ternyata bahwa Nelayan Cengeng dan Ma Hoa telah berdiri mengintai dari balik pohon dengan mata terbelalak heran. Lin Lin tersenyum lalu berkata kepada binatang itu dengan suara keras tapi halus,

 “Sin-kong-ciak (Merak Sakti), Sin-Kim-tiauw (Rajawali Emas Sakti), dan kau It-kak-houw (Harimau Tanduk Satu). Lihatlah baik-baik kepada dua orang itu. Mereka adalah sahabat-sahabat baikku dan janganlah kalian mengganggunya. Juga kawan yang sedang terluka oleh ular berbisa itu adalah kawan baikku!”

  

 Ketiga ekor binatang sakti itu mengangguk-angukkan kepala seakan-akan mereka dapat mengerti ucapan Lin Lin hingga Nelayan Cengeng dan Ma Hoa menjadi terheran dan girang sekali. Kini mereka tidak ragu-ragu lagi dan melangkah maju serta mengelus-elus pundak ketiga binatang itu yang menjadi heran sekali. Terutama Ma Hoa, gadis ini merasa suka benar kepada Sin-kong-ciak dan mengagumi bulu merak itu tiada habisnya. Kemudian mereka lalu kembali ke gua, diikuti oleh tiga ekor binatang itu. Ternyata bahwa tadi Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar suara binatang-binatang itu hingga mereka lalu memburu keluar karena kuatir kalau-kalau Lin Lin berada dalam bahaya, akan tetapi mereka berdiri tercengang dan mengintai dari balik pohon ketika melihat peristiwa yang aneh dan menakjubkan yang terjadi antara Lin Lin dan ketiga binatang itu.

 Lin Lin lalu meremas-remas daun Racun Ular dan obat ini digunakan untuk mengobati luka Yousuf, dibalurkan di tempat bekas gigitan dan sebagian airnya diminumkan.

 Tak lama kemudian Yousuf siuman kembali dan keadaannya baik sekali. Ketika melihat betapa Lin Lin merawatnya dengan telaten dan open, tak terasa pula air mata mengalir turun dari kedua matanya. Apalagi ketika Ma Hoa menceritakan betapa Lin Lin menyedot keluar semua racun yang berada di tubuhnya dengan menggunakan mulutnya, Orang Turki ini tak dapat menahan keharuan hatinya dan ia menangis terisak-isak di atas pembaringannya. Ia tak dapat mengucapkan kata-kata, hanya memandang kepada Lin Lin dengan pandangan penuh mengandung pernyataan terima kasih yang besar.

 Lin Lin tersenyum dengan muka merah.

 “Enci Ma Hoa,”, katanya kepada gadis itu, “mengapa kauceritakan hal itu? Kau hanya melelebih-lebihkan hal yang tidak ada artinya.” Kemudian kepada Yousuf ia berkata,

 “Yo-sianseng, kita adalah sahabat-sahabat baik yang berada di tempat asing dan berbahaya. Kalau kita tidak saling menolong, bagaimana kita bisa hidup? Aku yakin bahwa kau pun tentu takkan ragu-ragu lagi melakukan hal ini apabila aku yang mendapat kecelakaan.”

 Yousuf hanya mengangguk-anggukkan kepala, akan tetapi ia masih belum dapat mengeluarkan kata-kata oleh karena hatinya merasa terharu sekali dan penyesalan besar membuat ia tak kuasa membuka mulut. Ia ingin sekali membenturkan kepalanya pada dinding gua karena menyesal kepada diri sendiri dan diam-diam ia memaki pada diri sendiri. “Ah, Yousuf! Kau manusia tersesat dan gila! Mengapa kaubiarkan setan menguasai hati dan pikiranmu hingga kau pernah tergila-gila dan mempunyai pikiran buruk terhadap seorang gadis yang demikian mulia hatinya? Kalau kau mempunyai seorang anak perempuan pun belum tentu ia akan semulia dan sebakti gadis ini!”

 Demikianlah Yousuf menyesali diri oleh karena memang ia pernah mengandung maksud untuk mengambil Lin Lin sebagai permaisurinya kalau tercapai cita-citanya. Semenjak saat itu rasa cintanya kepada Lin Lin sama sekali berubah dari cinta seorang laki-laki kepada seorang wanita menjadi cinta kasih seorang ayah terhadap seorang anak perempuannya!

 “Lin Lin,” katanya ketika gadis itu menyiapkan obat untuknya dan mereka berada berdua saja, karena Ma Hoa dan Nelayan Cengeng dengan ditemani oleh harimau bertanduk dan Rajawali Emas sedang keluar mencari buah-buahan yang enak dimakan. “Setelah apa yang kaulakukan untuk membelaku, sudilah kiranya kau menyebut Ayah kepadaku? Kau kuanggap anakku sendiri, Lin Lin, dan oleh karena kau tak berayah ibu lagi, biarlah aku menjadi pengganti Ayahmu. Sukakah kau, Nak?”

 Mendengar suara yang diucapkan dengan menggetar dan melihat betapa wajah Yousuf memandangnya dengan penuh harapan, Lin Lin menjadi terharu dan teringat kepada ayahnya. Maka ia lalu berlutut di depan pembaringan Yousuf dan tanpa ragu lagi ia menyebut, “Ayah!” sambil menangis.

 Yousuf yang sudah kuat kembali tubuhnya lalu bangun dan duduk. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kepala gadis itu dan berkata,

 “Lin Lin, semenjak saat ini kau adalah anakku dan aku akan membelamu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, semoga Dewata Yang Agung memberkahimu.”

 Ketika Nelayan Cengeng dan Ma Hoa mendengar tentang pemungutan anak ini, mereka berdua juga merasa girang sekali. Nelayan Cengeng telah percaya penuh akan ketulusikhlasan dan kejujuran hati orang Turki itu, maka ia pun tidak merasa keberatan apa-apa, sedangkan Ma Hoa yang juga telah kehilangan ayahnya, lalu menangis dengan terharu sekali sambil memeluk leher Lin Lin.

 Nelayan Cengeng menghela napas, “Ma Hoa, aku tahu apa yang menjadikan kau merasa sedih, akan tetapi kauingatlah, Ma Hoa, bahwa semenjak saat kau merantau denganku, aku Kong Hwat Lojin sudah menjadi guru dan ayahmu sendiri! Biarpun kau menyebut Suhu kepadaku, namun kau kuanggap anak sendiri dan hal ini pun kaumaklumi, maka janganlah kau bersedih, Anakku.”

  

 Ma Hoa menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya dan berkata,

 “Terima kasih, Suhu, dan demi Tuhan, sedikit pun tak pernah teecu meragukan kemuliaan hati Suhu.”

 Setelah Yousuf sembuh kembali, mereka melanjutkan pemeriksaan dan mencari harta di pulau itu, akan tetapi kalau dulu Yousuf mencari dengan cita-cita hendak mengangkat diri menjadi kaisar dan mengawini Lin Lin, kini cita-citanya itu diubah sedikit. Ia masih ingin menjadi kaisar dan memiliki harta besar itu, akan tetapi semua itu demi kemuliaan Lin Lin yang akan dijadikan seorang puteri kerajaan yang agung. Akan tetapi ternyata setelah bebeapa hari tinggal di pulau itu belum juga didapatkan tanda-tanda bahwa pulau itu benar-benar mengandung banyak emas seperti yang tadinya disangka.

 Dan pada suatu hari, ketika Yousuf dan kawan-kawannya sedang memeriksa di puncak bukit, mereka melihat banyak sekali pendeta-pendeta Sakia Buddha anak buah Pangeran Vayami naik di pulau itu dan melakukan pemeriksaan pula. Yousuf dan kawan-kawannya lalu cepat mempergunakan alang-alang dan pohon-pohon kecil untuk dipakai menutupi gua mereka sehingga tidak mungkin akan terlihat oleh orang lain dan diam-diam mereka mengintai pendeta-pendeta itu untuk melihat apa yang mereka kerjakan. Ketika Nelayan Cengeng mengusulkan untuk menyerang Pendeta-pendeta Jubah Merah itu, Yousuf mencegahnya dan berkata,

 “Aku tahu, mereka ini adalah kaki tangan Vayami, Pangeran dari Mongol dan agaknya mereka sudah tahu di mana letak harta terpendam. Baiknya kita menanti sampai mereka mendapatkannya baru kita turun tangan. Sementara itu, biarlah kita mengintai saja dan melihat apa yang mereka lakukan.”

 Lin Lin lalu memerintahkan kepada ketiga binatang sakti untuk berdiam diri dan jangan menyerang orang-orang itu. Selama tiga hari pendeta-pendeta itu bekerja, akan tetapi sebagaimana hasil kerja Yousuf, mereka juga tidak mendapatkan apa-apa.

 Kemudian, dengan terkejut sekali Yousuf dan kawan-kawannya melihat datangnya perahu-perahu barisan Turki yang disusul dan dikejar oleh perahu-perahu barisan kerajaan. Yousuf tahu bahwa barisan bangsanya telah tiba dan hendak menguasai pulau itu sebagaimana direncanakannya dan tahu pula bahwa kalau mereka melihatnya, tentu ia akan ditangkap oleh karena selama itu ia tidak memberi kabar tentang hasil penyelidikannya dan ia dapat dituduh sebagai pengkhianat yang hendak mengambil sendiri harta itu. Kemudian mereka melihat pertempuran besar yang terjadi antara barisan Turki dan barisan Tiongkok, dan ketika Yousuf menyelidiki keadaan Pendeta Sakia Buddha itu, ia menjadi terkejut sekali oleh karena pendeta-pendeta itu lalu menyalakan api dan membakar danau minyak yang berkobar hebat menjadi lautan api.

 “Celaka! Danau itu dibakar dan mungkin akan meledak. Hayo, cepat kita harus pergi dari pulau neraka ini!' katanya. Kawannya menjadi panik dan Nelayan Cengeng segera memanggil Lin Lin dan Ma Hoa yang masih mengintai dan menonton pertempuran hebat dari jauh.

 Kedua orang gadis itupun terkejut sekali mendengar berita ini dan Lin Lin lalu memberi tanda suitan memanggil ketiga binatang sakti itu. Mereka lalu lari cepat ke perahu mereka yang disembunyikan di balik alang-alang, diikuti oleh ketiga binatang itu. Akan tetapi, ketika mereka telah naik ke atas perahu, tiba-tiba ketiga binatang itu memekik keras dan ketiganya lalu membalikkan diri dan kembali ke pulau.

 Lin Lin berteriak-teriak memanggil sambil mengejar dan ketika ia memasuki gua, ternyata ketiga ekor binatang sakti itu mendekam dan berlutut di depan makam rangka yang mereka tanam dulu. Lin Lin membetot-betot mereka, akan tetapi ketiganya tidak mau pindah dari tempat mereka, seakan-akan bersiap untuk mati di depan kuburan tuannya. Lin Lin menjadi bingung dan memeluk leher Merak Sakti, ia berkata sambil menangis,

 “Saudara Merak Sakti, bagaimana aku dapat tega meninggalkan kau? Kau adalah seperti saudaraku sendiri, dan pulau ini akan terbakar habis. Marilah kauikut padaku. Tegakah kau membiarkan aku merasa sedih seumur hidupku?”

 Merak Sakti itu mengeluarkan keluhan panjang dan dari kedua matanya yang indah itu mengalir keluar dua butir air mata. Dari jauh terdengar suara Yousuf memanggil-manggil namanya, dan Lin Lin terpaksa keluar dari gua sambil menangis. Beberapa kali ia menengok memandang ketiga kawannya yang aneh ini. Dan ketika ia berlari ke perahu dengan tubuh lemas dan hati berduka, tiba-tiba terdengar suara keras di atas kepalanya dan ternyata bahwa Merak Sakti itu telah menyusulnya. Lin Lin menjadi girang sekali dan segera lari ke perahu diikuti oleh Merak Sakti yang agaknya tidak tega untuk melepas Lin Lin pergi seorang diri dan ikut menyusul.

 Baru saja Lin Lin naik ke perahu, tiba-tiba serombongan Pendeta Baju Merah itu melihat mereka. Sambil berteriak-teriak buas mereka menyerbu dan Nelayan Cengeng serta kawan-kawannya segera menyambut serangan mereka dan terjadilah pertempuran sengit.

  

 “Lekas, kalian bertiga jalankan perahu, biar aku sendiri yang menahan serbuan anjing-anjing merah ini!” kata Nelayan Cengeng. Yousuf yang melihat betapa api berkobar makin hebat, lalu cepat menjalankan perahu, akan tetapi Ma Hoa berteriak,

 “Suhu jangan melawan mereka seorang diri, teecu akan membantumu!”

 “Jangan!” teriak Si Nelayan Cengeng dengan suara tetap dan keras. “Kau harus ikut pergi lebih dulu! Aku tidak takut segala anjing ini, dan biarpun tanpa perahu, aku mudah saja menyeberang ke daratan Tiongkok!” jawab suhunya yang gagah perkasa sambil memutar-mutar dayungnya mengamuk hebat.

 Lin Lin mendapatkan akal. Ia lalu menghampiri Merak Sakti dan berkata, “Saudaraku yang baik. Kaubantulah Nelayan Cengeng dan cakarlah habis-habis pendeta busuk itu!”

 Sin-kong-ciak mengeluarkan pekik keras, tanda bahwa ia girang sekali menerima tugas ini dan sebentar saja tubuhnya melesat dan melayang ke atas. Setelah Merak Sakti ini menyerbu, maka terdengarlah jerit dan tangis yang ribut sekali di kalangan para Pendeta Sakia Buddha ini dan Nelayan Cengeng menjadi gembira sekali.

 “Bagus Kong-ciak-ko, bagus! Hayo, kita hantam bersama!”

 Perahu yang ditumpangi oleh Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa, telah pergi jauh dan Pendeta-pendeta Baju Merah itu merasa tidak kuat menghadapi Nelayan Cengeng yang tangguh dan yang dibantu oleh Merak Sakti yang aneh itu. Maka sambil berteriak-teriak ketakutan mereka lalu melarikan diri ke arah perahu-perahu kecil mereka di lain bagian. Dengan cepat mereka lalu melarikan diri dengan perahu-perahu itu dari pulau yang telah mulai berkobar hebat itu. Nelayan Cengeng juga tidak membuang waktu lagi, ia berkata kepada Merak Sakti,

 “Kong-ciak-ko, sekarang kauterbanglah menyusul perahu Lin Lin dan aku akan berenang. Hayo kita berlumba, kau terbang dan aku berenang. Siapa yang lebih cepat menyusul perahu, dia menang!”

 Merak Sakti agaknya mengerti omongan ini dan sambil mengeluarkan teriakan panjang dan girang, ia lalu terbang melayang ke atas dan mencari-cari perahu Lin Lin yang telah berlayar jauh sekali.

 Sementara itu, Nelayan Cengeng juga segera menceburkan diri ke dalam laut dan mempergunakan kepandaian tenaganya yang luar biasa untuk berenang ke daratan pantai Tiongkok. Akan tetapi ia telah tertinggal jauh dan ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mengejar perahu itu hingga ia berenang cepat sekali bagaikan seekor ikan besar. Air tidak kelihatan terpercik ke atas, namun tubuhnya bergerak maju pesat sekali.

 Akan tetapi, tiba-tiba setelah ia dapat melihat bayangan perahu itu dalam gelap, terdengar letusan hebat dari pulau yang terbakar itu hingga Kong Hwat Lojin terlempar jauh, terbawa ombak yang datang setinggi gunung dan yang melemparkannya ke arah lain, jauh dari kapal itu, dan di lain jurusan!

 Ilmu kepandaian di dalam air yang dimiliki oleh Nelayan Cengeng memang hebat sekali, maka ketika melihat betapa dirinya menjadi permainan ombak, ia lalu menahan napas dan menyelam ke dalam. Tekanan air makin ke bawah makin kuat, akan tetapi tidak bergelombang sehebat di permukaan air itu. Dengan demikian, Nelayan Cengeng dapat berenang terus, dekat di atas dasar laut itu dan ia menuju ke pantai. Akan tetapi oleh karena gelombang yang hebat itupun membuat perahu yang ditumpangi oleh Yousuf dan kedua gadis itu terbawa ombak dan tidak tentu arahnya, ketika Nelayan Cengeng sudah muncul di darat, ia berada jauh sekali dari perahu itu, dan sedikit pun tidak tahu dirinya berada di mana!

 Dan pada saat ia melompat ke darat, datanglah Hek Pek Mo-ko, dan Pek Mo-ko lalu menyerangnya hingga terjadi pertempuran sengit yang kemudian disusul oleh datangnya Biauw Suthai dan Pek I Toanio dan yang mengeroyok Hek Pek Mo-ko. Sebagaimana telah diketahui, akhirnya karena Kwee An ikut mencampuri pertempuran itu, Hek Mo-ko bertempur sendiri melawan Pek Mo-ko yang mengakibatkan tewasnya kedua orang Iblis Hitam dan Putih itu!

 Kwee An dan Cin Hai merasa senang sekali mendengar bahwa Lin Lin dan Ma Hoa berada di bawah perlindungan Yousuf yang baik hati. Biarpun mereka tidak tahu ke mana perginya ketiga orang itu, namun mereka percaya bahwa kedua gadis itu tentu berada dalam keadaan selamat.

 Sementara itu, Pulau Kim-san-to masih saja berkobar sampai dua hari dua malam! Cin Hai berkeras tidak mau meninggalkan pantai sebelum keadaan aman kembali dan ia berniat hendak menggunakan perahu mencari Ang I Niocu! Semua orang tahu akan isi hati dan kehancuran kalbu pemuda ini, maka oleh karena mereka semua pun merasa kagum dan kasihan kepada Ang I Niocu, mereka juga menunggu di pantai sambil melihat ke arah pulau yang musnah dimakan api itu.

  

 Pada hari ke tiga, padamlah api yang membakar seluruh Pulau Kim-san-to dan lenyaplah gelombang-gelombang besar yang diakibatkan oleh peristiwa mengerikan itu. Laut menjadi tenang kembali dan semua orang memandang ke arah pulau itu, hati mereka tertegun dan untuk beberapa lama tak seorang pun di antara mereka dapat mengeluarkan kata-kata. Ternyata bahwa pulau yang tadinya menjulang dari permukaan laut dan pada malam hari nampak bagaikan sorga itu, kini telah lenyap sama sekali, bagaikan sepotong kue besar yang habis ditelan oleh mulut raksasa. Sedikit pun tak nampak bekas-bekasnya lagi.

 Semua orang lalu mulai dengan usaha mereka mencari-cari, akan tetapi ke manakah mereka harus mencari Ang Niocu? Cin Hai sendiri lalu mempergunakan perahu kecil bersama Kwee An dan mendayung perahu itu ke tempat di mana tadinya terdapat pulau itu. Mereka melihat banyak barang mengambang permukaan air laut, orang besar kecil yang merupakan benda-benda hitam memenuhi air laut itu. Ketika mereka telah berputar-putar sehari lamanya dan orang-orang lain telah kembali ke pantai oleh karena telah berputus asa, tiba-tiba Cin Hai melihat sesuatu mengambang di air dan ia lalu menjerit dengan suara mengandung isak tangis.

 “Niocu!” Kemudian pemuda ini lalu melompat ke dalam air. Kwee An terkejut sekali dan mendayung perahunya mengejar Cin Hai yang berenang cepat ke depan. Ia melihat Cin Hai mengambil sesuatu dari permukaan air laut itu dan ketika dilihatnya, ternyata bahwa yang dipegang oleh Cin Hai adalah selembar kain berwarna merah. Cin Hai sambil menangis berenang lagi ke perahu dan naik ke dalam perahu sambil memegang potongan kain merah itu erat-erat, lalu ia terduduk menangis dan menyembunyikan mukanya di dalam kain itu sambil mengeluh tiada hentinya.

 “Niocu... Niocu...”

 Kwee An teringat bahwa kain ini sama benar dengan kain pakaian yang biasa dipakao olen Ang I Niocu, maka ia menjadi amat terharu dan tak dapat berkata-kata apa kecuali menggunakan tangannya menepuk-nepuk Cin Hai.

 “Kuatkanlah hatimu, Cin Hai... dan bolehkah aku mendayung perahu kembali ke pantai?”

 Cin Hai tak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk dengan muka masih tersembunyi ke dalam sobekan kain merah itu. Agaknya Ang I Niocu telah hancur tubuhnya karena ledakan dahsyat itu dan secara ajaib sekali sepotong pakaiannya telah terlempar dan terbawa hawa ledakan hingga jatuh di air dan tidak ikut terbakar. Tentu saja Cin Hai menjadi sedih sekali oleh karena sobekan pakaian ini menjadi bukti nyata bahwa Gadis Baju Merah itu telah tewas dan hanya meninggalkan sesobek kain dari pakaiannya.

 Nelayan Cengeng yang hampir sehari penuh berenang kian-kemari mencari-cari, juga tidak menemukan sesuatu dan sekarang telah berada di pantai dengan orang-orang lain. Ketika mereka melihat kain merah yang ditemukan Cin Hai, mereka hanya dapat menghela napas saja, bahkan Pek I Toanio tak dapat menahan keharuan hatinya lalu berkata kepada Cin Hai. “Jangan kau terus bersedih hati, karena itu tidak ada gunanya. Ang I Niocu agaknya telah tewas akan tetapi ia tewas sebagai seorang pendekar gagah perkasa dan boleh dibanggakan maka tak perlu kita terlalu menyedihi kematiannya. Bukankah kita semua ini kelak pun akan pergi ke tempat di mana dia mendahului kita? Lebih baik sekarang kita berusaha mencari di mana adanya Lin Lin dan Ma Hoa.”

 Nelayan Cengeng yang diam-diam juga mengalirkan air mata tanda menangis itu lalu menggunakan ujung lengan bajunya yang basah karena air untuk mengusap pipinya sambil mengangguk-angguk. “Benar ucapan Biauw Suthai. Marilah kita sekarang menyusul dan mencari ke mana mendaratnya perahu Yousuf itu.”

 Kata-kata ini memperingatkan Cin Hai bahwa Lin Lin masih hidup dan hal ini merupakan hiburan yang besar sekali. Ia lalu mempertahankan dan menguatkan hatinya, lalu memandang kepada mereka.

 “Maafkanlah kelemahanku dan terima kasih kuucapkan kepada Cuwi sekalian yang telah begitu baik hati untuk ikut bersusah payah.”

 Setelah mengadakan perundingan, maka diputuskan bahwa mereka akan terpecah menjadi tiga rombongan dalam usaha mereka mencari dua gadis itu. Kwee An hendak pergi bersama Cin Hai, Pek Toanio bersama gurunya dan Nelayan Cengeng pergi seorang diri. Tempat dimana perahu orang Turki itu mendarat belum diketahui maka mereka segera berpencar dan mulai mencari dan menyusul Lin Lin, Ma Hoa, dan Yousuf.

 Berkat kecerdikannya dan kepandaian supeknya yang gagu, Hai Kong Hosiang berhasil melarikan diri dari Pulau Kim-san-to dan karenanya ia terhindar dari bahaya maut. Ketika perahunya mendarat, ia pun dapat melihat pertempuran yang terjadi antara Nalayan Cengeng yang dibantu Biauw Suthai dan Toanio melawan Hek Pek Mo-ko, akan tetapi oleh karena melihat bahwa yang bertanding itu adalah tokoh-tokoh ternama yang berkepandaian tinggi sekali terutama Hek Pek Mo-ko yang telah ia ketahui memiliki ilmu kepandaian luar biasa, Hai Kong Hosiang lalu mengajak supeknya yang gagu untuk terus berlari dan jangan mencampuri urusan mereka.

  

 Hatinya merasa mendongkol dan marah sekali oleh karena kembali ia telah mengalami kesialan. Pertama, ia telah kena dibujuk oleh Pangeran Vayami, kedua ia telah bertemu dengan Balutin dan bertempur tanpa bisa merobohkan pendeta asing itu, dan ketiganya ia hampir saja mendapat celaka besar di pulau yang terbakar dan meledak.

 Di sepanjang jalan Hai Kong Hosiang menyumpah-nyumpah Cin Hai. Ia merasa menyesal sekali mengapa dulu ketika Cin Hai terjatuh ke dalam tangan Pangeran Vayami, ia tidak lekas-lekas membunuh anak muda itu. Sekarang, anak muda itu tentu masih hidup dan selanjutnya akan merupakan halangan besar baginya oleh karena bahwa Cin Hai bersama beberapa orang kawannya tentu takkan tinggal diam saja dan akan mengejar-ngejarnya untuk membalas dendam atas kematian keluarga Kwee! Sedangkan kepandaiannya sendiri yang tadinya dibangga-banggakan itu baru menghadapi Balutin saja belum mampu mengalahkannya!

 Maka lalu mengajak supeknya, yakni Kiam Ki Sianjin yang sudah pikun dan gagu untuk bersembunyi di atas sebuah gunung yang sunyi, lalu ia mengerahkan seluruh perhatiannya untuk memperdalam ilmu silatnya di bawah pimpinan Kim Ki Sianjin yang lihai! Dengan bujukan-bujukan dan pujian-pujian, ia berhasil mengeduk semua ilmu yang dimiliki Kim Ki Sianjin yang lihai, sehingga kepandaian Hai Kong Hosiang sudah meningkat tinggi sekali, bahkan ia dengan giatnya meyakinkan ilmu lweekang yang berdasarkan ilmu yoga dari barat. Lweekang ini melatihnya secara terbalik, yaitu mengatur pernapasan dan pergerakan tenaga dalam secara jungkir balik, kepala di bawah dan kedua kaki di atas. Berkat latihan ini, maka Hai Kong Hosiang memiliki ilmu silat yang diajarkan oleh supeknya, yakni Ilmu Silat Kalajengking yang amat lihai. Ilmu silat ini bukan digerakkan dengan tubuh dalam keadaah biasa, akan tetapi dalam keadaan kaki di atas dan kepala di bawah! Dengan kepala di atas tanah, kedua kaki Hai Kong Hosiang dapat bergerak secara lihai sekali, mengirim serangan-serangan maut yang tak terduga datangnya dan oleh karena tenaga kaki memang lebih besar daripada tenaga tangan, maka kedua kaki yang menendang-nendang dan menyerang hebat itu sukar ditahan oleh lawan. Ini masih belum hebat, akan tetapi kedua tangannya pun tidak tinggal diam dan melancarkan serangan-serangan dari bawah dengan secara tiba-tiba dan sukar dilawan. Kalau lawan sampai kena terpegang kakinya oleh tangan Hai Kong Hosiang yang berada di bawah, maka celakalah dia!

 Ilmu kepandaian Kiam Ki Sianjin lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Hek Pek Mo-ko, sedangkan dalam usia yang sangat tua saja ia sudah amat lihai, maka kini setelah Hai Kong Hosiang dapat mewarisi seluruh kepandaiannya dapat dibayangkan betapa hebatnya kelihaian Hai Kong Hosiang yang masih kuat dan bertenaga besar itu! Selain Ilmu Silat Kalajengking yang lihai ini, juga Hai Kong Hosiang mempelajari Ilmu Kebal Kim-ciong-ko yang membuat kulit dan dagingnya dapat menahan serangan senjata tajam. Kim-ciong-ko yang bisa dipelajari oleh Hai Kong Hosiang ini bukanlah Kim-ciong-ko yang biasa dipelajari dalam dunia persilatan, oleh karena didasarkan khikang yang dilatih secara jungkir balik hingga ia bisa menyalurkan tenaga dalamnya disertai hawa dalam badan yang membuat kulitnya dapat melembung dan mengempis seperti karet dan jangankan pedang biasa, bahkan pedang pusaka yang tajam pun apabila digunakan oleh orang yang memiliki tenaga biasa takkan dapat melukainya!

 Setelah merasa bahwa kepandaiannya telah sempurna betul, Hai Kong Hosiang turun dari gunung dan bersama supeknya lalu pergi ke kota raja. Di situ ia mendengar tentang terbunuhnya Boan Sip. Maka kebencian dan kemarahannya terhadap Cin Hai dan kawan-kawannya makin meluap dan bersumpah hendak membunuh mereka ini semua! Nama-nama Cin Hai, Kwee An, Lin Lin, Nelayan Cengeng, Ma Hoa, Biauw Suthai, dan Pek I Toanio termasuk dalam daftarnya dan ia hendak mencari orang-orang ini untuk dibinasakan! Tentu nama Bu Pun Su juga tak pernah terlupa olehnya walaupun ia masih merasa jerih dan ragu-ragu apakah ia akan dapat menghadapi kakek jembel yang amat kosen itu!

 Pada suatu hari, Hai Kong Hosiang dalam perantauannya tiba di sebuah dusun kecil dan oleh karena di dusun itu tidak ada penginapan, ia lalu memilih sebuah rumah yang terdekat dan masuk saja tanpa permisi kepada tuan rumah.

 Seorang petani tua yang mendiami rumah itu menjadi marah sekali melihat seorang gundul memasuki rumahnya begitu saja, maka ia lalu membentak,

 “Eh, eh, hwesio dari manakah dan perlu apa memasuki rumahku tanpa permisi.”

 Hai Kong Hosiang memandang kepada petani tua itu dengan mendelik dan sekali ia mengulurkan tangan, pundak petani itu telah kena ia pegang dan ia lalu melemparkan tuan rumah itu keluar jendela. Tubuh petani itu jatuh berdebuk di luar rumah dan bergulingan beberapa kali. Untung sekali Hai Kong Hosiang tidak berniat membunuhnya dan ia terbanting di atas rumput tebal, kalau tidak tentu ia akan tewas seketika itu juga. Petani ini menjadi marah sekali dan ia lalu memaki-maki sambil berlari ke dalam kampung memberitahukan kepada semua tetangga. Beberapa orang laki-laki yang mendengar kekurangajaran ini, segera membawa senjata hendak mengusir Hai Kong Hosiang, akan tetapi baru saja mereka tiba di muka rumah kecil itu, Hai Kong Hosiang telah melompat keluar dengan bertolak pinggang.

  

 “Kalian ini orang-orang dusun mau apakah?” tanyanya dengan muka bengis.

 “Hwesio kurang ajar! Mengapa kau merampas rumah orang begitu saja?”

 “Siapa merampas rumah? Aku hendak meminjamnya sebentar untuk beristirahat. Kalian ini orang-orang kampung sungguh tidak tahu aturan. Sepatutnya kalian segera menghidangkan makanan dan minuman untukku sebagaimana layaknya tuan rumah menghormati tamunya.”

 “Mana ada aturan macam itu?” berkata seorang petani lain yang menjadi marah melihat sikap dan mendengar perkataan yang keterlaluan ini. “Kau bukanlah seorang tamu, akan tetapi kau masuk rumah orang seperti perampok, bahkan telah berani melempar tuan rumah yang mempunyai rumah ini.”

 “Sudahlah jangan banyak cakap. Kalian mau memberi hidangan cepat keluarkan dan jangan banyak mengobrol karena aku menjadi tidak sabar lagi.”

 “Hweso jahat!” teriak orang-orang kampung itu lalu menyerbu hendak memukul dan mengusir Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, orang-orang kampung yang lemah dan yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini mana dapat menghadapi seorang kosen seperti Hai Kong Hosiang yang memiliki kepandaian tinggi. Ketika berbagai senjata menyambar ke arah tubuhnya, Hai Kong Hosiang lalu menggunakan lengan kirinya untuk menangkis senjata-senjata itu, sedangkan tangan kanannya tetap bertolak pinggang. Semua petani berteriak kesakitan ketika senjata-senjata mereka beradu dengan lengan tangan Hai Kong Hosiang, karena senjata-senjata itu terpental dan terlepas dari pegangan, sedangkan telapak tangan mereka menjadi perih dan sakit.

 Beberapa orang yang berhati tabah masih merasa penasaran dan maju memukul, akan tetapi ketika kepalan tangan mereka mengenai dada Hai Kong Hosiang yang bidang, mereka kembali menjerit-jerit kesakitan dan tangan mereka menjadi bengkak-bengkak.

 “Ha-ha-ha! Cacing tanah busuk! Hayo kalian lekas ambil pergi semua makanan yang enak untukku kalau tidak, semua orang kampung ini akan kubikin mampus semua!” Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang bergerak cepat dan melempar-lemparkan orang-orang yang terdekat dengannya bagaikan orang melempar-lemparkan rumput kering saja.

 Orang-orang kampung berteriak-teriak kesakitan. Mereka merasa terkejut sekali dan juga takut menghadapi hwesio yang jahat seperti setan dan yang memiliki ilmu kepandaian mujijat yang belum pernah mereka saksikan selama hidupnya. Maka sambil berteriak-teriak mereka lalu melarikan diri dan sekali lagi Hai Kong Hosiang membentak,

 “Tidak lekas kau sediakan makanan enak dan arak yang baik? Atau kalian menunggu sampai aku membikin dusun ini hancur lebur?”

 Takutlah orang-orang kampung itu mendengar ancaman ini oleh karena mereka percaya bahwa hwesio jahat ini pasti sanggup membuktikan ancamannya itu. Maka mereka lalu cepat mengeluarkan semua hidangan yang ada pada mereka dan menyuguhkan kepada Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, demi melihat suguhan-suguhan yang terdiri dari sayuran-sayuran dah hanya sedikit terdapat daging, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan sekali ia menggerakkan kakinya, semua hidangan melayang dan hancur berantakan di atas tanah. Orang-orang kampung mundur ketakutan dan hwesio jahat itu lalu membentak,

 “Bawa ke sini seekor babi. Hayo cepat!”

 “Kami...kami orang sedusun tidak mempunyai babi seekor pun,” jawab seorang petani mewakili kawan-kawannya.

 “Tidak ada babi? Awas, jangan kau membohong! Kalau kau membohong, kau sendirilah yang kujadikan babi dan kupanggang tubuhmu!”

 “Benar-benar kami tidak mempunyai babi, Losuhu,” kata seorang petani lain. Hai Kong Hosiang baru mau percayai keterangan mereka.

 “Kalau begitu, bawa seekor kerbau ke sini!”

 Orang-orang kampung itu menjadi pucat. “Kami hanya mempunyai beberapa ekor kerbau yang kami pekerjakan sebagai penggarap sawah ladang. Kalau Losuhu mengambilnya, bagaimana nasib kami?”

 “Tutup mulut dan lekas bawa seekor kerbau yang paling gemuk! Awas, aku sudah lapar sekali dan kalau aku habis sabar, mungkin kau yang akan kumakan!”

 Tentu saja semua orang terkejut dan ngeri mendengar ancaman ini dan mereka terpaksa lalu menuntun kerbau tergemuk di kampung itu ke hadapan Hai Kong Hosiang. Hwesio itu memandang tubuh kerbau yang gemuk ini dan mulutnya tersenyum lebar.

 “Nah, ini pun boleh!” Secepat kilat ia merampas sebatang golok dari tangan seorang petani dan sekali saja tangannya bergerak, leher kerbau itu telah putus. Darah menyembur-nyembur keluar dari dalam perut binatang itu melalui lehernya yang berlubang dan kedua mata binatang itu masih terbuka lebar. Keempat kakinya berkelojotan lalu terdiam.

  

 Terdengar pekik seorang kanak-kanak dan tiba-tiba dari rombongan para petani yang memandang penyembelihan kerbau secara istimewa ini dengan wajah pucat dan mata terbelalak, keluar berlari seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun lebih. Anak ini segera menubruk tubuh kerbau yang telah mati itu sambil menangis keras,

 “He, siapakah anjing kecil ini?” tanya Hai Kong Hosiang kepada seorang wanita yang menarik-narik anak itu sambil mengeluarkan kata-kata hiburan.

 “Dia... dia ini adalah anakku dan kerbau itu adalah kerbau kesayangannya. Semenjak kecil ia bersama-sama kerbau ini, maka ia menjadi sayang sekali. Maafkan dia Losuhu, karena dia tidak tega melihat kawan bermainnya itu terbunuh.”

 “Ha-ha-ha! Anak goblok! Anak bodoh! Dia belum tahu bagaimana rasanya daging sahabatnya itu. Kalau sudah tahu, ha-ha-ha! Tentu ia akan senang melihat sahabatnya disembelih! Hayo anak kau ikut aku pesta dan menikmati daging sahabatmu ini!” Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang memegang tangan anak itu dan menariknya ke dalam rumah. Ketika ibunya hendak mengejar, Hai Kong Hosiang membentak,

 “Aku hendak mengajak anakmu makan besar, apa salahnya! Kalau kau mengganggu, aku akan bunuh kamu berdua!” Terpaksa ibu ini melangkah mundur dengan muka pucat, kemudian ia menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis. Seorang tetangganya lalu menariknya pergi dari situ oleh karena kuatir kalau hwesio jahat itu akan marah dan benar-benar melakukan pembunuhan.

 “Hayo lekas masak daging ini!” Hai Kong Hosiang memerintah sambil minum arak yang disuguhkan di atas meja dalam rumah itu. Anak yang tadi ditariknya kini didudukkan di depannya dan sambil memandang anak itu, Hai Kong Hosiang tiada hentinya minum arak sambil tertawa-tawa. Anak itu duduk dengan muka pucat dan tubuh menggigil, tetapi ia tidak berani berteriak!

 Setelah masakan daging kerbau telah matang dan disuguhkan di atas meja depan Hai Kong Hosiang dan anak itu, Hai Kong Hosiang lalu mulai makan dengan enaknya.

 “Hayo kaumakan daging kawanmu ini. Enak dan lezat sekali rasanya!” kata Hai Kong Hosiang kepada anak itu. Akan tetapi sambil menggigit bibirnya dan menahan runtuhnya air mata yang mengembeng di bulu matanya, anak itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

 “Hayo makan!” teriak Hai Kong Hosiang dengan suara yang menggeledek bagaikan guntur hingga semua orang tani yang berada di luar rumah itu menjadi terkejut dan kuatir sekali.

 Akan tetapi, sekali lagi anak itu menggelengkan kepala karena jangankan harus makan daging kerbaunya yang dikasihinya itu, baru melihat saja betapa daging kawan baiknya kini telah dimasak dan dimakan oleh hwesio itu, hatinya telah terasa perih dan hancur sekali.

 Melihat kekerasan anak ini, Hai Kong Hosiang menjadi marah dan penasaran. Ia lalu mengambil sepotong daging dengan tangannya dan begitu mengulur tangan, maka tangan kirinya telah menangkap mulut anak itu hingga dipaksa menyelangap dan lalu memasukkan daging itu ke dalam mulut anak tadi! Anak itu membelalakkan matanya dan ketika merasa betapa daging itu dimasukkan ke dalam mulutnya, tiba-tiba ia muntah-muntah!

 Bukah main marahnya Hai Kong Hosiang melihat hal ini. Ingin ia memukul mati anak di depannya ini, akan tetapi baru saja ia mengangkat tangannya untuk memukul, ia teringat bahwa jika membunuh anak ini, maka setidaknya tentu terjadi heboh dan ribut yang hanya akan mengganggu istirahatnya saja. Maka ia tidak jadi memukul, akan tetapi memegang batang leher anak itu dan sekali ia menggerakkan tangan, anak itu menjerit karena tubuhnya terlempar keluar pintu!

 Baiknya di luar pintu, orang-orang tani sedang duduk berkumpul dengan hati berdebar penuh kekuatiran, maka tubuh anak kecil itu jatuh menimpa mereka hingga tidak mengalami luka hebat. Anak itu jatuh pingsan karena sedih, ngeri dan takutnya dan orang-orang kampung itu lalu menggotongnya pulang sambil menghela napas, bahkan ada yang mengucurkan air mata karena merasa sedih, dan tak berdaya!

 Hai Kong Hosiang melanjutkan makan-minumnya seakan-akan tak pernah ada gangguan apa-apa. Nafsu makannya besar sekali dan sebentar saja hidangan yang disuguhkan di atas meja itu habis bersih! Memang hwesio ini mempunyai sifat aneh. Ia dapat bertahan tidak makan sampai tiga hari tiga malam, dan sekali ia makan, agaknya ia hendak menebus hutangnya kepada perutnya itu dan takaran makan yang tiga hari disekalikan! Setelah hidangan itu habis semua, ia lalu merebahkan dirinya di atas sebuah balai-balai reyot di dalam rumah petani itu dan sebentar lagi terdengar suaranya mendengkur keras, seakan-akan kerbau yang dagingnya telah memasuki perutnya itu tiba-tiba bangkit kembali di dalam perut dan menguak-uak!

 Semalam suntuk Hai Kong Hosiang tertidur tanpa berkutik dari tempatnya. Telah beberapa pekan ia meninggalkan kota raja dan supeknya ditinggal di kota raja, oleh karena supeknya yang sudah tua itu menyatakan lelah dan bosan merantau, hingga Hai Kong Hosiang pergi seorang diri.

  

 Pada keesokan harinya, kebetulan sekali Biauw Suthai dan Pek I Toanio yang pergi mencari jejak Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf tiba di dusun itu. Kedua orang ini merasa heran melihat kelesuan muka orang-orang kampung itu ketika pada pagi hari itu mereka memanggul cangkul pergi ke ladang.

 Pek I Toanio lalu bertanya kepada seorang petani tua yang bertemu di jalan,

 “Lopeh (Uwa), agaknya kalian penduduk desa ini berduka dan bingung. Malapetaka apakah gerangan yang menimpa desamu?”

 Tadinya si petani tidak berani banyak bicara, akan tetapi ketika melihat gagang pedang yang tergantung di punggung Pek I Toanio timbul kepercayaannya, bahkan ia lalu mengharap kalau-kalau kedua wanita yang nampak gagah ini akan dapat menolong desanya.

 “Ketahuilah, Toanio. Desa kami kedatangan seorang hwesio jahat sekali yang mengganggu kami dan bahkan merampok kami. Itu masih belum seberapa, bahkan ia berani memukul dan melukai orang.”

 Bangkitlah semangat pendekar dalam dada Pek I Toanio ketika mendengar penuturan ini, sedangkan Biauw Suthai yang lebih sabar lalu minta kepada petani tua itu untuk menuturkan sejelasnya. Petani itu lalu menceritakan tentang kejahatan Hai Kong Hosiang dan Biauw Suthai menjadi marah sekali, apalagi ketika mendengar betapa hwesio jahat itu memaksa anak kecil itu makan daging kerbaunya sendiri dan kemudian melempar tubuh anak itu keluar ketika dia tidak mau makan daging kerbau kesayangannya.

 “Hwesio bangsat kurang ajar! Hendak kulihat siapakah dia yang begitu jahat tak mengenal kemanusiaan itu.”

 Setelah berkata demikian, Biauw Suthai dengan tindakan kaki lebar dan diikuti oleh muridnya, lalu pergi menuju ke rumah yang diceritakan oleh petani tadi. Sementara itu, petani tua itu lalu menceritakan kepada kawan-kawannya, sebentar saja semua orang tahu bahwa ada dua orang wanita gagah yang hendak mengusir dan menghukum hwesio jahat yang mengganggu mereka. Semua orang lalu meninggalkan pekerjaan mereka dan beramai-ramai menuju ke rumah itu. Akan tetapi mereka tidak datang dekat, hanya memandang dari jauh dengan perasaan tegang.

 Ketika melihat bahwa pintu rumah itu masih tertutup, Biauw Suthai dan Pek I Toanio lalu melompat ke atas genteng dan membuka dua genteng dan mengintai ke dalam. Dan mereka melihat pemandangan yang aneh. Seorang hwesio yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis menakutkan, sedang berdiri dengan kepala di tanah dan kedua kaki di atas. Hwesio ini menaruh kedua tangannya di belakang kepala dan saat itu sedang memutar-mutar tubuhnya sedemikian rupa hingga kelihatan dari atas seperti sebuah gangsingan atau semacam barang permainan yang terputar-putar. Di dekatnya kelihatan menggeletak sebuah topi bambu yang lebar. Ketika Biauw Suthai dan muridnya memandang dengan penuh perhatian, mereka terkejut sekali karena mengenal hwesio itu yang bukan lain adalah Hai Kong Hosiang. Ternyata bahwa Hai Kong Hosiang sedang melatih lweekangnya yang hebat dan aneh. Kepalanya dapat berloncat-loncat dan berpindah-pindah dengan cepat tanpa mengeluarkan suara, sedang sepasang kakinya bergerak-gerak hingga di dalam kamar itu berkesiur angin yang kuat. Tiba-tiba terdengar Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan tahu-tahu kedua kakinya ditendangkan ke atas. Angin hebat menyerang ke atas genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio sedang mengintai.

 “Awas!” seru Biauw Suthai dan untung ia masih keburu membetot lengan muridnya, oleh karena tiba-tiba genteng di mana mereka tadi berdiri tiba-tiba pecah dan terpental ke atas tinggi sekali sebagai akibat pukulan angin tendangan Hai Kong Hosiang yang dahsyat.

 ”Hai Kong pendeta bangsat!” Biauw Suthai memaki keras dan tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang sudah berada di luar dan berdiri sambil tertawa berkakakan dan memandang ke atas genteng di mana Biauw Suthai dan Pek I Toanio masih berdiri.

 Biauw Suthai menjadi marah sekali dan sambil mencabut senjata yang istimewa, yaitu sebuah kebutan berbulu merah, ia lalu melayang turun dari genteng diikuti oleh Pek I Toanio yang juga telah mencabut keluar pedangnya.

 “Ha, ha, ha, tokouw mata satu yang buruk! Akhirnya aku dapat bertemu dengan engkau. Dan agaknya engkaulah orang pertama yang akan mampus di tanganku, mendahului anjing-anjing lain yang hendak kubasmi semua. Dan muridmu yang cantik ini pun takkan ketinggalan dan mengiringkan kau! Ha, ha, ha!”

 “Hai Kong Hwesio keparat yang pantas mampus. Memang sudah lama pinni hendak menyingkirkan kau dari muka bumi ini oleh karena kedosaanmu telah melewati takaran. Bersedialah untuk mati!” Sambil berkata demikian, Biauw Suthai menggerak-gerakkan hudtimnya yang lihai.

  

 Kalau dulu sebelum memperdalam ilmu silatnya, jika ia harus berhadapan dengan Biauw Suthai, tentu Hai Kong Hosiang akan merasa jerih oleh karena ia telah maklum akan ketangguhan tokouw mata satu ini, dan karena ia maklum akan kelihaian para musuh-musuhnya, maka ia lalu mengajak supeknya untuk menemaninya dalam perantauan. Akan tetapi, sekarang setelah mempelajari banyak macam ilmu silat yang lihai-lihai dari Kiam Ki Sianjin, ia memandang rendah kepada musuh-musuhnya, dan melakukan perjalanan seorang diri tanpa dikawani supeknya. Memang Hai Kong Hosiang mempunyai dasar watak yang sombong dan tinggi hati serta memandang rendah kepandaian orang lain, akan tetapi harus diakui bahwa ia memang mempunyai dasar atau bakat yang baik sekali. Jarang ada orang yang dapat mempelajari ilmu silat sebaik dan secepat dia. Ilmu Silat Kalajengking yang aneh gerakannya dan dilakukan secara berjungkir balik itu telah dapat dimainkan dengan sempurna dalam waktu tidak lebih dari tiga bulan saja. Juga selain ilmu silat ini, ia telah meyakinkan ilmu-ilmu silat lain dan bahkan telah mendapat kemajuan ilmu lweekang yang berdasarkan yoga dari Barat.

 Kini melihat betapa Biauw Suthai telah menggerak-gerakkan ujung kebutan yang lihai hingga bulu-bulu halus kebutan itu mulai menggetar dan seakan-akan menjadi hidup oleh karena tenaga dalam tokouw itu telah disalurkan ke dalam senjatanya untuk menghadapi hwesio yang amat tangguh ini, Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak lagi dan tiba-tiba ia menyerang dengan tangan kosong. Serangan ini berarti penghinaan dan memandang rendah kepada Biauw Suthai yang memegang kebutan, maka tokouw ini menjadi marah sekali. Benar-benarkah hwesio ini mengangap ia begitu ringan hingga tak perlu dilawan dengan senjata? Ia berseru keras dan menggerakkan kebutannya dalam tipu gerakan Angin Badai Memutar Ombak. Terdengar angin bersuitan ketika hudtim berkelebat merupakan sinar merah dan dalam segebrakan saja ujung hudtimnya menyambar-nyambar ke tiga tempat, pertama ke arah pelipis kepala Hai Kong Hosiang lalu ke dua meluncur terus ke arah jalan darah di leher untuk melakukan totokan maut dan terus disambung lagi dengan serangan ke tiga yaitu mengebut ke arah uluhati hwesio itu.

 Akan tetapi Hai Kong Hosiang memang lihai sekali. Melihat gerakan serangan yang sekali serang mengancam tiga tempat yang berbahaya dan yang membawa hawa maut ini, ia tidak menjadi gugup. Ia gunakan kedua tangannya yang dibuka untuk digerak-gerakkan ke arah ujung kebutan dan ternyata tenaga khikang yang kuat sekali itu berhasil memukul buyar ujung hudtim sebelum senjata itu mengenai tubuhnya.

 Biauw Suthai terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa kepandaian Hai Kong Hosiang telah maju sedemikian hebatnya dan diam-diam ia maklum bahwa tenaga dalam hwesio ini telah maju pesat dan telah berada di tingkat yang lebih tinggi daripada tenaga dalamnya sendiri. Akan tetapi, Hai Kong Hosiang terlampau memandang rendah Biauw Suthai. Ia tidak tahu bahwa Tokouw ini adalah tokoh persilatan yang boleh dibilang “kawakan” atau jago tua yang telah malang melintang dalam dunia kang-ouw sampai puluhan tahun lamanya dan jarang menemui tandingan. Biauw Suthai telah terlalu sering menghadapi orang-orang pandai dan lawan-lawan tangguh, hingga ia tidak menjadi jerih menghadapi Hai Kong Hosiang, biarpun ia maklum bahwa hwesio ini berkepandaian tinggi sekali. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya yang terlihai dan kini kebutannya bergerak bagaikan seekor naga mengamuk dan semua serangannya ditujukan ke arah urat-urat kematian Hai Kong Hosiang untuk mempertahankan nyawanya lagi.

 Setelah bertempur dengan hebat sampai lima puluh jurus lebih, Hai Kong Hosiang terpaksa mengakui keunggulan permainan silat Biauw Suthai dalam lima puluh jurus lebih itu, telah beberapa kali ia mengeluarkan keringat dingin dan menjadi pucat karena hampir saja ia menjadi korban senjata hudtim lawannya. Maka ia segera berseru keras,

 “Biauw Suthai, rasakan kerasnya senjataku!” dan ia lalu mencabut keluar tongkat ularnya yang terkenal ganas dan ampuh.

 “Hai Kong manusia sombong! Hayo kau keluarkan semua kesaktianmu, dan jangan kira aku takut kepadamu!”

 “Ha, ha, ha! Biauw Suthai, kematian sudah di depan mata tapi kau masih berani berlagak. Sungguh-sungguh tua bangka tak tahu diri. Muridmu yang cantik itu telah menjadi pucat dan tak berani bergerak, maka jagalah dirimu!” Sambil berkata demikian, Hai Kong Hosiang menubruk maju sambil menggerakkan tongkatnya yang istimewa hingga Biauw Suthai harus berlaku hati-hati karena maklum akan berbahayanya tongkat ini.

  

 Sementara itu, Pek I Toanio mendengar hinaan Hai Kong Hosiang yang mengatakan bahwa ia pucat dan takut bergerak menjadi marah sekali. Sambil melompat maju ia menyerang dengan pedangnya dan membentak, “Hwesio gundul keparat! Aku Pek I Toanio tidak takut iblis macam kau!”

 “Jangan maju!” teriak Biauw Suthai memperingatkan muridnya, akan tetapi terlambat. Ketika pedang Pek I Toanio merusak dada Hai Kong Hosiang, pendeta gundul ini sama sekali tidak menangkis karena maklum bahwa tenaga Pek I Toanio tak perlu ia takuti maka sengaja ia pasang dadanya untuk menerima tusukan itu. Terdengar bunyi kain terobek pedang akan tetapi Pek I Toanio terkejut sekali karena di balik pakaian itu, ujung pedangnya membentur kulit dan daging yang keras dan dapat membuat pedangnya terpental kembali seakan-akan ia menusuk sebuah benda yang keras dan licin. Sebelum hilang kagetnya, ujung tongkat Hai Kong Hosiang yang sebenarnya adalah seekor ular kering dan berbisa itu telah menyambar dan tepat mengenai lehernya. Pek I Toanio memekik perlahan sambil memegangi lehernya, tubuhnya terhuyung dan kemudian roboh dan tewas dengan muka dan leher berubah menjadi hitam karena pengaruh bisa yang keluar dari tongkat itu.

 “Ha, ha, Biauw Suthai, lihatlah! Muridmu yang cantik telah berubah buruk seperti mukamu!”

 Bukan main marah dan sedihnya hati Biauw Suthai melihat hal ini. Ia berubah menjadi buas dan liar karena marahnya.

 “Hai Kong, kalau bukan kau yang mampus biarlah aku yang tewas saat ini!” Lalu hudtimnya diputar hebat dan ia menyerang dengan mati-matian! Belum pernah selama hidupnya Biauw Suthai marah seperti ini dan tentu saja serangannya menjadi ganas dan berlipat ganda lebih hebat daripada biasa. Hai Kong Hosiang terkejut dan diam-diam ia mengakui bahwa ilmu kepandaian Biauw Suthai benar-benar hebat. Ia memainkan tongkatnya dengan hati-hati dan tidak berani berlaku sembrono, karena maklum bahwa serangan-serangan tokoh yang disertai kemarahan hebat dan penuh dendam ini bukanlah hal yang boleh dipandang ringan!

 Setelah mereka bertempur seratus jurus lebih dengan ramai dan hebat sekali hingga orang-orang kampung yang tadinya menonton dari jauh dan takut melihat betapa Pek I Toanio tewas, kini tidak berani bergerak atau mengeluarkan suara melihat pertempuran luar ramainya itu, tiba-tiba Biauw Suthai lalu merubah gerakannya dan kini ia menujukan perhatian serta mencurahkan tenaganya untuk merampas tongkat Hai Kong Hosiang yang lihai. Pada suatu saat ujung kebutan Biauw Suthai berhasil membelit ujung tongkat ular itu dengan erat sekali. Hai Kong Hosiang mengerahkan tenaganya untuk menarik kembali tongkatnya, akan tetapi tidak berhasil.

 Tiba-tiba Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan aneh dan menyeramkan dan tahu-tahu tubuhnya berjungkir balik, kepalanya di atas tanah dan pada saat itu juga, kedua kaki dan tangannya bergerak menyerang Biauw Suthai!

 Gerakan ini sungguh-sungguh diluar dugaan Biauw Suthai. Tadi setelah ujung hudtimnya berhasil membelit, Hai Kong Hosiang berusaha membetot tongkatnya, maka ia mengerahkan lweekangnya untuk menahan dan ketika tiba-tiba Hai Kong Hosiang melepaskan pegangan, tongkat itu tertarik oleh hudtim dan melayang kepadanya, maka cepat-cepat Biauw Suthai mengelak. Akan tetapi ia tidak menyangka sama sekali bahwa Hai Kong Hosiang setelah melepaskan tongkatnya, lalu berjungkir balik dan menyerangnya dalam keadaan yang aneh hingga ia jadi bingung. Sebagaimana sudah jadi watak wanita, paling takut ia diserang dari bawah, maka Biauw Suthai terlalu mencurahkan perhatian kepada kedua tangan Hai Kong Hosiang yang bergerak menyerang dari bawah! Ia menggerakkan hudtimnya untuk menyapu ke bawah dan menangkis pukulan-pukulan itu, akan tetapi tahu-tahu sepasang kaki Hai Kong Hosiang bergerak bagaikan dua batang cangkul ke arah pundaknya di kanan kiri dengan tenaga yang hebat sekali!

 Biauw Suthai terkejut hingga mengeluarkan seruan kaget serta cepat miringkan tubuh. Ia berhasil mengelak dari serangan pada pundak kanannya, akan tetapi pundak kirinya dengan telak telah kena terpukul oleh ujung sepatu dari kaki Hai Kong Hosiang. Terdengar jerit perlahan dan tubuh Biauw Suthai terhuyung-huyung ke belakang. Tokouw bermata satu ini telah menderita pukulan maut yang hebat sekali dan kalau lain orang yang terkena pukulan ini, pasti di saat itu juga telah roboh tak bernyawa! Biauw Suthai yang telah menderita luka dalam yang hebat oleh karena totokan keras di pundak ini tidak saja membuat tulang punggungnya remuk, akan tetapi hawa pukulan juga menyerang jantungnya, masih kuat melayangkan kebutannya dengan gerakan terakhir yang hebat ke arah tubuh Hai Kong Hosiang. Akan tetapi, biarpun keadaannya berjungkir dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas, namun gerakan pendeta gundul ini tidak kalah cepatnya. Kepalanya membuat gerakan dan tubuhnya tiba-tiba rebah di atas tanah, hingga sambitan hudtim itu tidak mengenai sasaran. Hudtim itu melayang cepat dan menghantam sebuah batu besar di belakang Hai Kong Hosiang. Terdengar suara keras dan sebagian besar batu itu hancur terpukul hudtim! Dapat dibayangkan bahwa jika hudtim itu mengenai tubuh manusia maka tentu akan hancur lebur. Demikianlah hebatnya tenaga sambitan yang dilakukan dengan tenaga terakhir itu.

  

 Setelah menyambit dengan hudtimnya, Biauw Suthai lalu roboh dan ternyata ia telah menghembuskan napas terakhir. Tubuhnya menggeletak di samping tubuh Pek I Toanio.

 Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak, akan tetapi setelah melakukan pembunuhan hebat ini ia merasa lebih aman untuk segera meninggalkan tempat itu, oleh karena siapa tahu kalau-kalau kawan-kawan tokouw itu berada di dekat tempat itu. Bukan karena ia takut kepada mereka, akan tetapi oleh karena dalam pertempuran dengan Biauw Suthai tadi ia telah mengerahkan banyak sekali tenaga dan telah menjadi lelah, maka kalau sekarang harus menghadapi musuh tangguh yang lain lagi, hal ini akan berbahaya. Maka ia segera angkat kaki dan meninggalkan tempat itu.

 Setelah melihat bahwa hwesio jahat itu betul-betul telah pergi meninggalkan kampung mereka, para petani baru berani beramai-ramai menghampiri kedua mayat yang menggeletak di situ. Mereka merasa terharu sekali oleh karena kedua wanita itu binasa dalam tugas membela mereka sekampung. Maka kedua jenazah Biauw Suthai dan muridnya lalu diurus baik-baik, ditangisi dan dikabungi, lalu dikebumikan dengan penuh penghormatan. Bahkan petani tua yang rumahnya dirampas oleh Hai Kong Hosiang, lalu menyimpan hudtim Biauw Suthai dan pedang Pek I Toanio yang dipasangnya di dinding rumahnya sebagai perhormatan dan setiap orang kampung apabila melihat kedua senjata ini, mereka menundukkan kepala kepada dua senjata itu untuk memberi hormat. Perahu yang ditumpangi Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa bergerak maju dengan cepat meninggalkan pulau yang telah berkobar dan dimakan api. Tak lama kemudian, terdengar suara burung merak sakti dan Lin Lin menjadi girang sekali melihat merak sakti melayang turun dan berdiri di atas perahu. Akan tetapi ia merasa kuatir karena tidak melihat Nelayan Cengeng. Juga Ma Hoa semenjak tadi melihat ke arah air oleh karena maklum bahwa suhunya tentu akan menyusul dengan berenang.

 “Kong-ciak-ko, di mana Kong Hwat Lojin?” Lin Lin bertanya sambil memegang leher merak sakti. Binatang itu hanya mengeluarkan suara perlahan dan memandang ke arah pulau, seakan-akan hendak mengatakan bahwa tadi mereka berpisah di pantai Pulau Kim-san-to. Lin Lin dan Ma Hoa menjadi gelisah sekali, demikian pun Yousuf. Mereka bertiga lalu berdiri di pinggir perahu sambil memandang ke air. Tiba-tiba, di bawah cahaya api yang berkobar besar, mereka melihat bayangan hitam bergerak di permukaan air.

 “Itu tentu Suhu!” kata Ma Hoa dengan girang sekali dan ia yakin bahwa yang begerak-gerak itu tentu suhunya yang berenang cepat laksana seekor ikan. Mendengar seruan ini, Lin Lin dan Yousuf juga ikut bergirang hati.

 Tiba-tiba terdengar letusan hebat dari pulau itu dan ketiganya terhuyung dan jatuh di dalam perahu. Bukan main terkejut hati mereka dan sebelum mereka sempat melihat di mana adanya Nelayan Cengeng, tiba-tiba datang gelombang sebesar gunung yang membawa perahu mereka terlempar jauh sekali. Yousuf dengan dibantu kedua orang gadis itu, mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk mencegah perahu mereka terbalik dan dalam keadaan tak berdaya mereka terpaksa mengikuti kemana ombak besar membawa perahu mereka. Kalau perahu itu kecil, mungkin mereka masih sanggup menguasainya di antara permainan ombak, akan tetapi perahu mereka besar dan berat hingga mereka benar-benar tak berdaya.

 Ombak demi ombak datang menyerbu dan membawa perahu mereka makin jauh dari tempat yang mereka tuju. Perahu itu terus terbawa menuju ke utara. Sampai satu malam penuh mereka terbawa makin jauh dan pada keesokan harinya barulah ombak menjadi lemah hingga mereka dapat mendayung perahu itu ke arah pantai. Akan tetapi mereka maklum bahwa mereka telah terdampar jauh sekali dari pantai yang hendak mereka tuju.

 Ketika mereka telah mendarat dan beristirahat oleh karena lelah sekali, tiba-tiba datang barisan besar ke tempat itu. Kagetlah Yousuf ketika mendapat kenyataan bahwa barisan ini adalah tentara Turki yang sengaja datang menyusul rombongan pertama. Melihat Yousuf, pemimpin barisan itu lalu berseru,

 “Tangkap pengkhianat itu!”

 Banyak anggota tentara menyerbu hendak menangkap Yousuf, akan tetapi beberapa orang di antara mereka jatuh tunggang langgang karena dihantam dengan sengit oleh Lin Lin dan Ma Hoa.

 Pemimpin barisan merasa kaget dan heran sekali, mengapa Yousuf dibela oleh dua orang gadis Han yang cantik jelita, maka ia lalu tertawa menghina dan memaki,

 “Bagus sekali, Yousuf! Kau tidak saja pandai mengkhianati kerajaan dan menipu kami, akan tetapi juga pandai membujuk dua orang gadis Han yang cantik untuk menjadi bini muda dan pembela. Ha-ha-ha...!”

 “Bangsat anjing bermulut jahat!” Lin Lin memaki sengit karena gadis ini sedikit-sedikit telah mempelajari bahasa Turki dari Yousuf maka ia dapat mengerti ucapan pemimpin itu. Dalam kemarahannya, Lin Lin mencabut pedang dan menyerang pemimpin barisan itu. Akan tetapi, puluhan tentara Turki lalu maju mengeroyok karena agaknya mereka ini suka sekali untuk menghadapi dua orang gadis cantik itu. Mereka berniat mempermainkan kedua dara jelita ini, tidak tahunya, begitu Lin Lin bergerak diikuti oleh Ma Hoa, beberapa orang serdadu terguling mandi darah.

  

 Kini mereka baru tahu bahwa kedua orang gadis itu adalah pendekar pedang yang luar biasa, maka sambil berteriak-teriak marah, Lin Lin dan Ma Hoa dikeroyok oleh puluhan orang, sedangkan ratusan tentara berteriak-teriak di belakang mereka yang mengeroyok. Yousuf marah sekali dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menangkap dua orang tentara yang diputar-putar di sekelilingnya dan digunakan sebagai senjata.

 Tentara Turki terkejut sekali dan mereka menjadi jerih karena telah tahu bahwa Yousuf adalah seorang jagoan terkenal di negeri mereka, maka dengan amukan Yousuf ini, kepungan mengendur dan pengeroyok-pengeroyok berkelahi dengan hati-hati. Tiba-tiba terdengar suara nyaring dari atas dan tahu-tahu seekor burung merak yang indah dan besar, menyambar-nyambar turun dan tiap kali sayapnya menyampok, seorang Turki terpukul roboh tanpa dapat bangun kembali. Amukan burung merak ini ternyata lebih hebat daripada amukan Yousuf.

 Menghadapi empat lawan yang tangguh luar biasa ini pengeroyokan tentara Turki menjadi kacau balau dan Yousuf yang tidak saja segan untuk melawan dan mengamuk bangsa sendiri akan tetapi juga berpikir bahwa tak mungkin mereka harus menghadapi jumlah lawan yang sedikitnya ada lima ratus orang itu, lalu berseru,

 “Mari kita pergi!”

 Lin Lin dan Ma Hoa mengerti pula bahwa jumlah musuh terlalu banyak, maka tanpa membantah, mereka lalu ikut melompat pergi, melalui kepala pengeroyok dan menggulingkan tiap penghalang. Juga Sin-kong-ciak memekik nyaring dan mengikuti ketiga orang itu. Sebenarnya burung merak ini merasa kecewa karena baru enak-enak membabat lawan-lawannya yang empuk itu, kini diperintahkan untuk pergi.

 Ilmu berlari cepat dari ketiga orang itu cukup tinggi untuk memungkinkan mereka lari segera meninggalkan mereka yang mengejar sambil berteriak-teriak, dan tak lama kemudian mereka bertiga tak mendengar lagi suara teriakan barisan Turki yang mengejar itu. Merak sakti tetap terbang di atas mereka dan ketika Yousuf berhenti, merak itu pun melayang turun dan membelai-belai tangan Lin Lin dengan leher dan kepalanya.

 “Lin Lin dan Ma Hoa,” kata Yousuf yang kini juga menyebut nama Ma Hoa biasa saja oleh karena orang tua ini sudah menganggap dia sebagai keluarga sendiri. “Kalian tahu bahwa aku dikejar-kejar dan dimusuhi, oleh karena dianggap menipu dan mengkhianati mereka.” Ia menghela napas panjang. “Maka, demi keselamatan kalian berdua, kalian kembalilah ke pedalaman Tiongkok untuk mencari kawan-kawanmu, dan untuk mencari Nelayan Cengeng. Biarkan aku melarikan diri dan bersembunyi di gunung sebelah utara itu. Kalau kalian bersama dengan aku maka kalian hanya akan menghadapi bahaya saja.”

 “Ayah, jangan kau berkata begitu,” bantah Lin Lin. “Bagiku, kau adalah ayahku sendiri, dan ke mana kau pergi, aku sudah sewajarnya ikut.”

 “Yo-peh-peh,” kata Ma Hoa yang kini menyebut peh-peh atau uwa kepada Yousuf, “benar seperti yang dikatakan Lin Lin. Semenjak berlayar kita telah bersama-sama dan aku pun menganggap kau sebagai orang tua sendiri, maka mengapakah sedikit bahaya saja membuat kita harus berpisah? Marilah Peh-peh bersama aku dan Adik Lin Lin kembali ke selatan dan mencari Suhu dan kawan-kawan lain. Adapun tentang segala bahaya yang menyerang dirimu, akan kita hadapi bertiga, bahkan berempat dengan Sin-kong-ciak.”

 Yousuf merasa terharu sekali. Ia menggunakan kedua tangannya untuk memegang tangan Lin Lin dan Ma Hoa. “Kalian memang anak-anak baik dan berhati mulia. Aku semenjak dulu hidup sebatang kara, setelah bertemu dengan kalian, seakan-akan mendapat kurnia besar sekali. Takkan ada di dunia ini perkara yang lebih kusukai daripada hidup di dekat kalian dan sahabat-sahabat baik seperti Kong Hwat Lojin, akan tetapi kalian anak-anak muda harus tahu bahwa aku adalah seorang Turki. Mungkinkah aku harus melawan dan membunuh tentara bangsaku sendiri? Ah, tak mungkin. Lebih baik untuk sementara waktu aku bersembunyi di tempat sunyi dan kelak apabila tentara Turki sudah kembali ke negeriku dan keadaan sudah aman kembali, barulah aku menyusul ke selatan dan mencari kalian.”

 Namun Lin Lin merasa tidak tega untuk meninggalkan Yousuf dalam keadaan dikejar-kejar itu. Bagaimana kalau ia diketemukan dan akhirnya sampai mati?

 “Tidak, Ayah. Biarlah aku ikut kau bersembunyi untuk sementara waktu, dan apabila keadaan telah aman kembali, kita bersama menuju ke selatan mencari kawan-kawan.”

 Ma Hoa yang berpikir bahwa keadaan itu takkan berlangsung lama, karena setelah ternyata bahwa Pulau Kim-san-to terbakar habis, tentu tentara Turki itu tidak mau lama-lama tinggal di tempat yang bukan menjadi daerah mereka ini, maka ia segera berkata,

 “Memang demikian sebaiknya, Yo-peh-peh. Lin Lin dan aku akan ikut kau bersembunyi untuk beberapa pekan, atau beberapa bulan kalau memang keadaan menghendaki.”

  

 Yousuf merasa girang sekali dan wajahnya yang agak kecoklat-coklatan itu berseri bergembira. “Bagus, anak-anakku, kalian benar-benar membuat aku merasa berbahagia sekali. Jangan kalian kuatir, di lereng bukit dekat tapal batas Tiongkok, aku dulu telah meninggalkan sebuah rumah yang mungil dan indah. Marilah kita pergi ke sana dan untuk sementara waktu kita tinggal di tempat itu, di mana pemandangan indah dan hawanya sejuk. Tentang biaya, jangan kuatir!” Sambil berkata demikian, Yousuf mengeluarkan sekantung emas yang disimpan di dalam saku dalam bajunya.

 Demikianlah, ketiganya, berempat dengan Merak Sakti, lalu cepat menuju ke bukit yang dimaksudkan oleh Yousuf. Benar saja sebagaimana kata Yousuf, keadaan di situ menyenangkan sekali. Tamasya alam indah mengagumkan, hawa pegunungan segar dan menyehatkan. Orang-orang yang tinggal di sekitar bukit itu adalah orang-orang petani yang ramah tamah dan hidup sederhana. Rumah Yousuf masih ada dan bagus, hanya agak kotor karena tidak terawat. Ketiganya lalu bekerja keras membereskan rumah itu. Lin Lin dan Ma Hoa lalu mengatur taman di sekitar rumah, oleh karena di bukit itu terdapat banyak kembang-kembang yang indah. Beberapa hari kemudian, para petani yang lewat di depan rumah itu, tidak habisnya mengagumi keindahan tempat itu dan mereka merasa seakan-akan tempat ini berubah semenjak rombongan ini tiba. Memang, siapa yang tidak kagum? Rumah itu kecil tapi indah bentuknya, dikelilingi oleh kembang-kembang tanaman kedua gadis itu, dan rumah ini ditinggali oleh seorang bangsa Turki yang bersikap halus dan ramah tamah, bersama dua orang gadis yang cantik jelita bagaikan dua orang bidadari dari kahyangan, ditambah lagi dengan adanya seekor merak yang berbulu bagus sekali!

 Yousuf dengan hati sungguh-sungguh lalu melatih ilmu silat kepada Lin Lin dan Ma Hoa dan oleh karena ilmu silat Turki jauh berbeda dalam gaya dan variasi jika dibandingkan dengan ilmu silat Tiongkok walaupun pada dasarnya tak berbeda jauh, maka Lin Lin dan Ma Hoa merasa suka sekali mempelajari ilmu silat ini. Tingkat kepandaian Yousuf memang lebih tinggi dari tingkat mereka dan berkat latihan-latihan ini, kepandaian kedua orang gadis ini maju pesat. Oleh karena tiap hari belajar ilmu silat, ketiga orang itu tidak merasa sunyi dan bahkan merasa betah dan senang tinggal di tempat itu. Hanya, kadang-kadang saja, Lin Lin dan Ma Hoa terkenang kepada pujaan hati masing-masing yang membuat mereka termenung, akan tetap pikiran ini segera terhibur apabila mereka mengingat bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali.

 Sementara itu, Merak Sakti yang tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tiap hari hanya berjalan-jalan di dalam taman atau kadang-kadang terbang tinggi sekali berputar-putar hingga mengagumkan orang-orang yang melihatnya. Merak ini agaknya pun senang sekali tinggal di situ dan bulunya makin indah mengkilap.

 Pada suatu pagi yang cerah, di kala matahari dengan sinarnya yang nakal mengusiri awan dan halimun pagi dari udara dan muka bumi dan burung-burung menyambut kedatangan Raja Siang itu dengan nyanyian dan pujian yang merdu dan sedap didengar, Lin Lin dan Ma Hoa telah berada di taman bunga mereka dan mencabuti rumput-rumput liar yang hendak mengganggu keindahan bunga. Mereka bekerja sambil bersendau gurau karena memang hawa pagi itu membuat dan memaksa orang untuk bergembira.

 “Lin Lin,” kata Ma Hoa sambil tersenyum manis. “Alangkah senangnya hatimu kalau pada saat yang indah ini Saudara Cin Hai berada di sini!”

 Menghadapi serangan godaan ini, Lin Lin yang pandai bicara dan lincah itu juga tersenyum dan memandang tajam lalu mengangguk-anggukkan kepala dan menjawab, “Memang betul, tentu saja hatimu akan senang sekali, akan tetapi kau bersabariah, kawan! Tak lama lagi tentu kau akan dapat bertemu kembali dengan dia itu!”

 Ma Hoa melengak dan tidak mengerti. “Ih, eh, apa maksudmu? Siapa yang kaumaksudkan dengan dia itu?”

 Lin Lin berpura-pura memandang heran. “Siapa lagi, bukankah kau tadi maksudkan Engko Kwee An?”

 “Eh, anak bengal! Apakah telingamu sudah menjadi tuli? Kau dengar aku bilang apakah tadi?”

 Lin Lin memandang kepada Ma Hoa dengan wajah berseri. “Enci Hoa, bukankah kau tadi berkata begini. Alangkah senang hatiku kalau pada saat yang indah ini Kanda Kwee An berada di sini?”

 Ma Hoa memandang gemas dan mengulurkan tangan hendak mencubit Lin Lin, akan tetapi gadis itu segera mengelak.

 “Lin Lin, jangan kau bicara tak karuan! Aku tak pernah mengeluarkan ucapan itu dari mulutku.”

 “Tapi siapakah yang mendengar ucapan mulutmu? Aku tadi mendengar suara yang keluar dari hatimu hingga aku tidak mendengar jelas suara yang keluar dari mulutmu! Bukankah hatimu tadi berkata seperti yang kuulangi tadi?”

  

 Ma Hoa mengerling tajam dengan bibir menyatakan kegemasan hatinya. Memang biarpun mulutnya menyatakan dan menyebut-nyebutnya, nama Cin Hai, namun, tepat sebagaimana godaan Lin Lin, hatinya memaksudkan Kwee An! Maka karena malu dan gemas, Ma Hoa lalu mengejar Lin Lin hendak dicubitnya, akan tetapi Lin Lin berlari mengitari bunga-bunga sambil tertawa-tawa dan berkata,

 “Awas, Enci Hoa, kalau engkau mencubit aku, nanti aku akan minta Engko An untuk membalasnya.”

 Ma Hoa makin gemas dan sambil tertawa, mereka berkejaran di dalam taman bunga itu, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang cantik dan indah.

 Tiba-tiba keduanya berhenti tertawa, bahkan lalu berdiri diam sambil memasang telinga dengan penuh perhatian. Di antara kicau burung yang bermacam-macam itu, terdengar Merak Sakti yang memekik-mekik aneh sekali karena mereka belum pernah mendengar suara merak itu memekik seperti ini hingga mereka tidak tahu apakah merak itu sedang marah atau sedang bergirang. Biasanya kedua orang gadis ini telah hafal akan tanda-tanda yang dikeluarkan oleh suara Merak Sakti, akan tetapi kali ini mereka saling pandang dengan heran dan terkejut. Kemudian, serentak mereka lalu melompat dan berlari cepat ke arah suara tadi.

 Ketika mereka tiba di sebuah lereng yang penuh rumput hijau, mereka menyaksikan pemandangan yang membuat mereka tertegun dan berhenti dengan tiba-tiba. Di atas rumput yang tebal itu, Sin-kong-ciak mendekam seperti berlutut dan mengangangguk-anggukkan kepalanya ke bawah sambil mengeluarkan pekik yang aneh itu, sedangkan seorang kakek yang tua sekali dan yang memakai pakaian penuh tambalan dan butut, sedang membelai-belai leher dan kepala merak itu. Yang membuat Lin Lin dan Ma Hoa terheran sekali adalah sikap merak itu. Kedua orang gadis ini cukup kenal adat Merak Sakti yang angkuh dan tidak mau tunduk kepada siapapun juga, maka melihat betapa merak itu kini berlutut dan mengangguk-anggukkan kepala, mereka menjadi heran sekali.

 Tiba-tiba kakek itu lalu memegang kedua kaki Merak Sakti, melemparkannya ke atas sambil tertawa-tawa, dan ketika merak yang menurut saja dan membiarkan dirinya dilemparkan tanpa mengembangkan sayap untuk terbang itu jatuh kembali, lalu diterima oleh tangan kiri pada dua kakinya, dilempar lagi ke atas berulang-ulang. Permainan ini dilakukan oleh kakek itu sambil tertawa-tawa girang, sedangkan Merak Sakti juga mengeluarkan suara yang dikenal oleh orang gadis itu sebagai pernyataan hatinya yang senang dan gembira.

 Biarpun mendengar suara gembira dari merak itu namun Lin Lin menjadi marah sekali dan menyangka bahwa kakek ini tentu menggunakan kepandaiannya yang membuat Merak Sakti tak berdaya kemudian mempermainkan burung itu. Gadis ini melompat maju dan membentak,

 “Kakek jahat, lepaskan burung merakku!”

 Akan tetapi, jangankan mentaati perintah Lin Lin bahkan kakek itu menengokpun tidak, terus melempar-lemparkan tubuh burung itu ke atas sambil tertawa dan kemudian bertanya kepada Merak Sakti,

 “Kong-ciak, apakah kau sudah puas?”

 Lin Lin marah sekali lalu maju menyerang dan memukul dengan tangan kanan ke arah dada kakek itu untuk mendorongnya roboh. Akan tetapi alangkah kaget dan herannya ketika ia merasa betapa kepalan tangannya seakan-akan memukul kapas hingga tenaga pukulannya menjadi lenyap sendiri, sedangkan kakek tua itu sama sekali tidak memandangnya seakan-akan Lin Lin tidak ada di situ.

 Ma Hoa yang melihat Lin Lin mulai menyerang kakek itu, lalu membantu dan kedua orang gadis ini lalu menyerang berbareng kepada si kakek tua itu. Sementara itu, Merak Sakti yang agaknya telah merasa puas dengan permainannya lalu mengembangkan sayapnya dan terbang ke atas cabang pohon, bertengger di situ sambil menonton pertempuran.

 Sebetulnya ucapan ini saja sudah cukup bagi kedua gadis itu untuk menyadari bahwa kakek tua ini tidak bermaksud jahat akan tetapi karena Lin Lin dan Ma Hoa merasa marah dan penasaran maka mereka lalu maju berbareng dan menyerang dengan hebat. Akan tetapi, biarpun kakek tua itu agaknya tidak berpindah dari tempatnya, namun pukulan kedua orang dara muda itu satu kalipun tak pernah berhasil mengenai tubuhnya. Lin Lin merasa penasaran sekali, demikianpun Ma Hoa karena mengira bahwa kakek ini tentu mempergunakan ilmu sihir. Makin besar dugaan mereka ketika mereka merasa telah hampir mengenai tubuh orang tua itu, tiba-tiba saja tangan mereka melesat ke samping seakan-akan didorong oleh tangan kuat yang tidak kelihatan.

 Mereka ini keduanya sama sekali tidak tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan tokoh persilatan tertinggi yang bukan lain orang adalah Bu Pun Su sendiri. Sebenarnya, Bu Pun Su tidak mempergunakan ilmu sihir, hanya mengerahkan tenaga khikangnya yang telah sempurna itu hingga hawa yang keluar dari kedua tangannya cukup kuat untuk menangkis tiap pukulan Lin Lin dan Ma Hoa.

  

 Pada saat kedua orang gadis itu menjadi sibuk dan makin terheran dan marah tiba-tiba terdengar bentakan orang,

 “Kakek tua! Jangan kau mengganggu kedua anakku!”

 Ternyata yang datang ini adalah Yousuf sendiri. Lin Lin dan Ma Hoa merasa girang sekali dan Lin Lin segera berteriak,

 “Ayah, kauusir kakek yang pandai sihir ini!”

 Juga Ma Hoa berkata, “Dia telah menyihir dan mempermainkan Sin-kong-ciak!”

 Yousuf menjadi marah sekali, lalu membentak kedua gadis itu, “Kalian minggirlah, biarkan aku menghadapinya! Kemudian ia meloncat ke depan Bu Pun Su dan membentak,

 “Kakek tua! Memalukan sekali untuk mengganggu seekor burung merak dan dua orang anak masih bodoh. Marilah kita tua lawan tua!”

 Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa terkekeh-kekeh hingga ia cepat-cepat mempergunakan tenaga dalamnya untuk menolak tenaga yang keluar dari suara ketawa ini.

 “Hi-hi-hi, kau orang Turki ini sungguh-sungguh berbeda dengan yang lain! Kau benar-benar lain daripada yang lain. Bagus, bagus! Kau lucu sekali! Usiamu paling banyak hanya setengah umurku, tapi kau bilang tua lawan tua! Eh, kakek-kakek tua bangka, mari kita main-main sebentar,”

 Ucapan Bu Pun Su ini mendapat sambutan suara Merak Sakti yang mengeluarkan suara terkekeh-kekeh pula, suara yang dikenal oleh Lin Lin dan Ma Hoa apabila merak itu merasa gembira. Sungguh aneh. Lin Lin masih menyangka bahwa merak itu masih terkena sihir, maka ia segera menghampiri di bawah pohon di mana merak itu bertengger dan memanggil,

 “Kong-ciak-ko, kauturunlah ke sini!”

 Akan tetapi Merak Sakti itu sama sekali tidak mau turun. Hal ini makin mempertebal dugaan Lin Lin dan Ma Hoa bahwa kakek luar biasa itu tentu telah menyihir Merak Sakti, karena biasanya merak itu sangat taat terhadap perintah Lin Lin.

 “Ha, ha, ha! Nona, jangan kau heran, kong-ciak itu bukannya bersifat palsu dan karena mendapat kawan baru lalu melupakan kawan lama. Akan tetapi adalah bertemu majikan lama melupakan majikan baru.”

 “Kakek tua, majulah dan hendak kulihat sampai di mana kesaktianmu!” teriak Yousuf melihat betapa kakek itu memandang ringan kepada mereka semua. Sambil berkata demikian, Yousuf lalu menyerang dengan kedua tangannya dengan ilmu silat Turki yang paling lihai. Kedua tangannya ini yang kanan memukul, yang kiri mencengkeram ke arah lambung lawan, dan kaki kirinya juga menendang ke depan dengan cepat.

 “Ha, ha, ha! Bagus, aku mendapat kesempatan menyaksikan ilmu silat Turki yang lihai!” kata kakek itu yang masih tertawa haha-hihi sambil mengelak perlahan. Aneh sekali, agaknya kakek itu telah tahu bahwa di antara ketiga serangan ini, yang sungguh-sungguh adalah serangan kaki, oleh karena kedua tangan yang menyerang hanya untuk menarik dan mengalihkan perhatian lawan saja. Bu Pun Su sama sekali tidak mengelak dari serangan kedua tangan, hanya mengelak dari tendangan kaki Yousuf. Tendangan ini ketika tidak mengenai sasaran, tidak ditarik mundur sebagaimana biasa tendangan dalam ilmu silat Tiongkok, akan tetapi diteruskan dan dibanting ke pinggir terus memutar ke belakang hingga tubuh Yousuf terputar di atas sebelah kaki dan sekali putaran ia lalu mengayun lagi kaki itu menendang, dibarengi dengan serangan kedua tangan lagi! Ini adalah gerak tipu yang luar biasa dan tak terduga dan biasanya dengan gerakan ini, Yousuf dapat menjatuhkan lawannya. Akan tetapi, kali ini benar-benar kecele, karena Bu Pun Su agaknya sudah tahu akan maksud dan gerakannya hingga dapat mengelak di waktu yang tepat. Bahkan ketika kakek jembel ini membalas menyerangnya, Yousuf melengak karena Bu Pun Su menggunakan serangan yang persis seperti yang dilakukannya tadi. Bahkan gerakan kakek jembel ini lebih cepat dan lebih hebat daripada gerakannnya sendiri. Yousuf penasaran sekali lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya, akan tetapi, makin lama ia makin heran hingga ia bertempur dengan mata terbelalak dan mulut menyelangap oleh karena makin banyak ia mengeluarkan kepandaiannya, makin banyak pula gerakan-gerakannya ditiru dengan tepat oleh Bu Pun Su!

 Juga Lin Lin dan Ma Hoa ketika melihat betapa kakek itu melawan Yousuf dengan ilmu silat Turki yang sama, tak terasa pula saling pandang dengan terheran-heran.

 “Ayah, ia tentu menggunakan ilmu sihir!” Lin Lin memberi peringatan kepada ayah angkatnya. Yousuf teringat dan timbul persangkaan demikian pula, maka tiba-tiba orang Turki ini mengheningkan cipta, mengumpulkan tenaga di dalam pusar dan setelah mengerahkan seluruh tenaga batinnya ke mulut, ia membentak sambil menunjuk ke arah dada kakek jembel itu dan kedua matanya yang amat tajam dan hitam itu menatap mata kakek itu,

 “Kau berlututlah!”

  

 Ini adalah semacam ilmu sihir yang didasarkan tenaga batin untuk mempengaruhi semangat dan kemauan lawan yang disebut Ilmu Penakluk Semangat. Bahkan Lin Lin dan Ma Hoa yang tidak diserang langsung oleh ilmu ini, akan tetapi karena mereka memperhatikan dan mendengar bentakan yang memerintah dan berpengaruh itu, tak terasa pula mendapat desakan hebat dan tiba-tiba tanpa disadarinya lagi mereka lalu menjatuhkan diri berlutut!

 Akan tetapi setelah mengeluarkan bentakan bukan kakek jembel itu yang berlutut, bahkan Yousuf sendiri yang menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel!

 “Ha, ha, ha! Aku tua bangka jembel tak layak menerima penghormatan ini!” kata Bu Pun Su sambil tertawa bergelak dan suara ketawanya ini agaknya membuyarkan ilmu sihir Yousuf hingga ketiga orang itu sadar bahwa mereka sedang berlutut di depan Si Kakek jembel!

 Yousuf terkejut sekali oleh karena yang dapat melawan ilmunya ini adalah gurunya sendiri, seorang pertapa tua yang sakti di Turki dan ia ingat gurunya pernah menerangkan bahwa apabila Ilmu Penakluk Semangat ini digunakan untuk menyerang orang yang mempunyai ilmu batin lebih tinggi dan kuat, maka akibatnya dapat terbalik karena tenaga itu terpental dan memukul dirinya sendiri! Yousuf lalu melompat bangun dengan muka merah, sedangkan kedua orang gadis itu pun dengan malu lalu mencabut pedang mereka. Yousuf juga mencabut pedangnya dan ketiga orang ini lalu menyerbu dan menyerang Bu Pun Su!

 Tiba-tiba terdengar pekik marah dari atas dan Merak Sakti lalu sambil mengibaskan sayapnya menangkis pedang ketiga orang itu! Karena Merak Sakti itu pun memiliki tenaga besar, maka ia berhasil menangkis senjata Yousuf dan Lin Lin, bahkan pedang di tangan Lin Lin terpental jauh sekali! Akan tetapi, ternyata bahwa Merak Sakti itu tidak berniat jahat dan hanya ingin mencegah ketiga orang itu menyerang Bu Pun Su dengan senjata tajam dan setelah menangkis satu kali, merak itu lalu terbang lagi ke cabang tadi!

 “Ha, ha, ha, bagus, Kong-ciak! Tak percuma aku memeliharamu semenjak kecil!” kata kakek jembel itu sambil tertawa girang.

 Yousuf dan Ma Hoa tercengang mendengar ini akan tetapi Lin Lin yang merasa marah sekali karena pedangnya dibikin terpental oleh Merak Sakti, lalu tak terasa lagi mencabut keluar pedang karatan yang dulu ia ambil dari gua di pulau Kim-san-to. Dengan pedang buntung yang bobrok ini ia maju lagi menyerang.

 Tiba-tiba wajah Bu Pun Su berubah ketika ia melihat pedang itu dan cepat sekali tangannya bergerak ke depan. Lin Lin tidak tahu bagaimana kakek itu bergerak karena tahu-tahu pedangnya telah pindah tangan.

 “Han Le... betul-betulkah kau telah mendahului aku?” kata Bu Pun Su sambil memandang pedang itu dengan muka berduka dan kepalanya yang putih tiada hentinya menggeleng-geleng. “Han Le Sute... mengapa kau mendahului Suhengmu? Ah, aku Bu Pun Su benar-benar telah tua sekali dan sudah cukup lama hidup di dunia ini...” setelah berkata demikian, ia menghela napas panjang.

 Bukan main terkejutnya Lin Lin, Ma Hoa dan Yousuf, mendengar bahwa kakek luar biasa ini adalah Bu Pun Su, guru dari Cin Hai. Yousuf pernah diceritakan oleh Lin Lin tentang kehebatan kepandaian Cin Hai, dan menceritakan pula bahwa suhu pemuda itu bernama Bu Pan Su, tokoh yang telah terkenal namanya di seluruh penjuru.

 Lin I Lin dan Ma Hoa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Pun Su, sedangkan Yousuf segera membungkuk dalam-dalam hingga jidatnya hampir menyentuh tanah, satu cara penghormatan yang paling besar dari bangsa Turki. “Locianpwe, mohon beribu ampun bahwa teecu telah berani berlaku kurang ajar,” kata Lin Lin dengan hormat.

 Bu Pun Su menghela napas. “Sudahlah, aku orang tua tak tahu diri yang harus minta maaf. Ketahuilah, kadang-kadang aku mempunyai keinginan untuk menjadi anak-anak kembali dan ingin mempermainkan orang. Agaknya aku telah pikun dan telah terlalu tua...” Kemudian ia berkata dengan suara sungguh-sungguh, “Aku tahu siapa kalian ini. Kau tentu Lin Lin tunangan muridku Cin Hai. Syukur bahwa kau terlepas dari cengkeraman Boan Sip si jahat itu. Dan kau ini tentu Ma Hoa murid Nelayan Cengeng. Hm, kepandaianmu yang kaukeluarkan tadi jelas menunjukkan bahwa kau adalah murid Si Cengeng itu. Dan kau, Sahabat, kau tentulah Yo Su Pu yang terkenal.” Memang, nama Yousuf kalau diucapkan oleh lidah orang Han akan berubah, ada yang menyebut Yo Suhu, Yo Se Fei, Yo Su Pu dan lain-lain.

 Yousuf kembali menjura, “Saya yang bodoh dan rendah mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan Lo-suhu yang sakti?”

 Bu Pun Su lalu berkata lagi, “Apakah artinya kesaktian dan kepandaian? Hanya sepintas lalu saja. Siapa mau belajar dia tentu akan menjadi pandai. Tidak dengan sengaja aku bertemu dengan Kong-ciak di tempat ini, maka aku merasa ingin tahu siapa yang membawa Kong-ciak ke sini? Dan melihat pedang ini di tangan Lin Lin, tahulah aku bahwa kalian tentu telah mengunjungi pulau itu. Dan pedang yang menceritakan padaku bahwa Suteku yang tinggal di pulau itu telah meninggal dunia, karena ini adalah pedangnya! Coba kaututurkan pengalamanmu mendapatkan pedang dan burung merak ini,” perintahnya kepada Lin Lin.

  

 Sementara itu, Merak Sakti telah terbang turun dan dan hinggap di atas pundak Bu Pun Su.

 Lin Lin dengan singkat menuturkan pengalaman mereka di Pulau Kim-san-to dan ketika ia menceritakan betapa pulau itu terbakar musnah, Bu Pun Su mengangguk-angguk. “Ya, ya, ya. Aku kemarin telah melihat dari pantai bahwa pulau itu telah lenyap dari permukaan laut. Dan harimau bertanduk serta rajawali emas tentu telah tewas pula.” Kakek ini menghela napas dan ketika mendengar disebutnya kedua binatang itu, Si Merak Sakti lalu mengeluarkan keluhan panjang dan dua butir air mata runtuh dari sepasang matanya yang indah. Kemudian merak ini terbang ke atas dan berputar di udara.

 “Hm, kong-ciak itu memang perasa sekali. Tentu ia bersedih mendengar nasib kedua kawannya. Ketahuilah, merak itu dan dua binatang lain di atas pulau yang musnah adalah binatang-binatang peliharaanku. Terutama merak ini semenjak kecil telah ikut aku di pulau itu. Setelah aku meninggalkan pulau, maka suteku yang bernasib malang itu tinggal di pulau dan bertapa di sana. Tidak tahunya sekarang ia telah menjadi rangka dan pedangnya pun telah tinggal sepotong. Hm, demikianlah nasib manusia. Kepandaiannya yang luar biasa pun turut lenyap tak berbekas. Manusia... manusia... kau calon rangka dan debu ini, masih mau mengagulkan apamukah...?”

 Kata-kata ini diucapkan oleh kakek itu sambil memandang ke atas dan Yousuf merasa terkena sekali hatinya hingga ia menundukkan muka dengan penuh khidmat.

 “Lin Lin,” kata Bu Pun Su, “Kau memang berjodoh dengan pedang ini maka Suteku sengaja memilih kau untuk memilikinya. Ketahuilah, pedang ini bukan pedang sembarangan dan yang tinggal sepotong ini adalah sari pedang itu. Tadi kulihat ketika kau memegang pedang pendek ini, agaknya kau lebih pandai mempergunakan pedang pendek, maka biarlah pedang potong ini kubuat menjadi pedang pendek untukmu.”

 Lin Lin merasa girang sekali dan ia lalu menghaturkan terima kasih pada Bu Pun Su. Kakek tua itu lalu tinggal di atas bukit itu selama tiga pekan untuk menggembleng dan membuat pedang pendek dari sisa pedang berkarat itu. Kemudian ia berikan pedang yang menjadi sebatang belati panjang kepada Lin Lin sambil berkata,

 “Terimalah pedang pendek ini yang kuberi nama Han-le-kiam untuk memperingati nama Suteku Han Le. Dan untuk memperlengkapi kehendak Suteku, yang memberi pedang ini kepadamu, kau berhak menerima pelajaran ilmu silat dari persilatan kami.”

 Bukan main girangnya hati Lin Lin yang lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek sakti itu.

 “Akan tetapi bukan aku si tua bangka yang hendak menurunkan kepandaian ini kepadamu. Aku telah satu kali menerima murid dan itu sudah lebih dari cukup. Cin Hai atau calon suamimu itulah yang akan bertugas menurunkan kepandaian kepadamu. Jangan menganggap aku main-main, akan tetapi tanpa perkenanku, nanti dia tidak berani menurunkan ilmu kepandaian yang dipelajarinya dariku, biar kepada isterinya sekalipun.”

 Lin Lin segera bertanya dengan berani, “Akan tetapi, Locianpwe, teecu masih belum tahu di mana adanya... dia!” Ma Hoa dan Yousuf diam-diam tersenyum dan Bu Pun Su tertawa bergelak,

 “Seperti juga tidak ada persatuan yang tidak berakhir, demikian pun tidak ada perceraian yang kekal. Kelak tentu tiba saatnya kau bertemu kembali dengan Cin Hai dan Ma Hoa dengan Kwee An. Dan kalau kau sudah bertemu calon suamimu itu, sampaikanlah pesanku supaya kau diberi pelajaran pokok yang telah kuajarkan kepadanya, kemudian memberi pelajaran ilmu pedang yang baru diciptakannya kepadamu.”

 Kemudian sambil memandang kepada Yousuf, Bu Pun Su berkata pula,

 “Kau tidak salah memilih Saudara Yo Su Pu ini sebagai ayah angkatmu karena memang dia ini orang baik dan berhati mulia. Saudara Yo, akan lebih baik lagi kalau mimpi buruk yang mengganggu hatimu itu dapat dilenyapkan sama sekali.”

 Yousuf terkejut sekali, oleh karena mendengar ucapan ini ia dapat mengetahui bahwa kakek sakti ini ternyata telah dapat membaca isi hatinya yang bercita-cita menjadi kaisar di negerinya. Ia lalu tersenyum dan menjura sambil berkata,

 “Lo-suhu, terima kasih atas nasihatmu ini. Memang, semenjak bertemu dengan anakku ini, cita-cita gila itu telah kubuang jauh-jauh.”

 “Bagus sekali, itu hanya menambah tebal keyakinanku bahwa kau memang memiliki kebijaksanaan besar yang jarang dimiliki oleh sembarangan orang.” Kemudian Bu Pun Su pergi dari tempat itu setelah membelai leher dan kepala Merak Sakti yang nampak sedih ditinggalkan oleh majikan lamanya ini.

 Oleh karena menyangka kalau-kalau Lin Lin dan Ma Hoa telah mendahului pulang ke kampung Lin Lin, maka Kwee An dan Cin Hai lalu menuju ke selatan untuk kembali ke daerah Tiang-an.

  

 Ketika mereka langsung menuju ke rumah Kwee An, ternyata bahwa rumah itu masih tertutup dan ketika mereka bertanya kepada orang di kampung itu yang menyambut kedatangan Kwee An dengan girang, mereka mendapat keterangan bahwa Lin Lin belum pernah kembali ke situ, dan bahwa Kwee Tiong masih tetap tinggal di kelenteng Ban-hok-tong di Tiang-an, dan bahwa Kwee Tiong kini bahkan telah mencukur rambutnya dan masuk menjadi hwesio!

 Hal ini mengejutkan hati Kwee An, maka ia lalu mengajak Cin Hai mengunjungi kakaknya itu di Kelenteng Ban-hok-tong di kota Tiang-an. Ketika mereka tiba di kelenteng Ban-hok-tong yang mengingatkan Cin Hai akan pengalamannya ketika masih kecil dan belajar ilmu kesusastraan dari Kwi-sianseng guru sasterawan yang kurus kering itu, mereka disambut oleh seorang hwesio tua yang bertubuh tegap dan sikapnya masih gagah. Hwesio ini adalah Tong Kak Hosiang, hwesio perantau yang mengajar silat pada putera-putera Kwee Ciangkun, seorang pendeta yang selain memiliki ilmu silat cukup tinggi dari cabang Kun-lun-pai, juga mempunyai pengertian yang dalam tentang Agama Buddha serta menjalankan ibadat dengan sungguh-sungguh.

 Ketika Tong Kak Hosiang mendengar pengakuan Kwee An bahwa pemuda ini adalah putera termuda dari Kwee In Liang, ia menyambut dengan girang sekali.

 “Ah, kiranya Kwee-kongcu! Silakan masuk!” Hwesio ini memandang kepada Kwee An dengan mata kagum oleh karena Kwee Tiong seringkali menceritakan tentang kegagahan dan ketinggian ilmu silat adiknya ini.

 “Lo-suhu, teecu mohon bertemu dengan kakakku Kwee Tiong.”

 Tong Kak Hosiang tersenyum, “Baik, baik, tentu saja, Kwee-kongcu,” Tiong Yu memang sudah lama merindukan kau. O ya, hampir lupa pinceng memberitahukan bahwa kakakmu kini bernama Tiong Yu Hwesio.”

 Ketika hwesio tua itu mengantar mereka masuk ke ruang dalam, mereka mendengar suara Kwee Tiong yang lantang membaca liamkeng (kitab suci yang dibaca sambil berdoa) dan suara kayu dipukul-pukulkan untuk mengikuti irama doa dan untuk menghalau segala gangguan yang memasuki pikiran di waktu membaca liamkeng.

 “Tiong-ko!” Kwee An memanggil dengan suara di kerongkongan.

 Suara liamkeng berhenti dan Kwee Tiong berpaling. Alangkah bedanya wajah pemuda ini dibandingkan dengan dulu dan hal ini pun dilihat jelas oleh Cin Hai. Pada wajah yang cakap itu kini terbayang kesabaran dan ketenangan yang besar hingga diam-diam Cin Hai merasa kagum sekali dan juga girang melihat perubahan besar.

 Ketika melihat Kwee An, Kwee Tiong lalu bangkit berdiri dengan tenang dan keduanya lalu berpelukan tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Agaknya dalam pelukan mesra ini keduanya telah mencurahkan keharuan hati masing-masing. Ketika Kwee Tiong melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Kwee An sambil memandang wajah adiknya, ia melihat dua butir air mata membasahi mata Kwee An. Kwee Tiong lalu tersenyum membesarkan hati adiknya sambil mengguncang-guncangkan pundak adiknya dan berkata lantang,

 “An-te, kau kelihatan makin gagah dan tampan saja!” Sambil berkata demikian, Kwee Tiong cepat menggunakan ujung lengan bajunya menghapus dua tetes air mata yang telah menetes di atas pipi adiknya.

 “Tiong-ko, kau...”

 Akan tetapi Kwee Tiong tidak memberi kesempatan kepada adiknya untuk melanjutkan kata-katanya dan untuk melampiaskan keharuan hatinya, maka ia lalu menarik tangan adiknya itu ke ruang tamu dengah muka girang, sedangkan gerakan kakinya masih menunjukkan kegagahan dan kejantanannya seperti yang dulu.

 Cin Hai yang menunggu di ruang tamu ketika melihat Kwee Tiong, lalu menjura dengan hormat.

 ”Eh, eh, Pendekar Bodoh ikut datang pula! Kau memang hebat sekali, Cin Hai adikku. Tiada habisnya aku mengagumi kau.” Ucapan ini keluar dari hatinya yang tulus hingga Cin Hai merasa girang dan terharu, maka ia lalu angkat kedua tangan memberi hormat lagi.

 “Tiong Yu Hwesio saudaraku yang baik. Kebijaksanaanmu yang telah mengambil jalan suci ini membuat aku yang bodoh dan kasar menjadi malu saja.”

 Kwee Tiong menghampiri Cin Hai dan menepuk-nepuk pundaknya. “Aah, jangan begitu, Cin Hai! Aku masih Kwee Tiong bagimu, seperti dulu. Hanya saja bedanya, kini telah terbuka kedua mataku dan aku benar-benar girang bertemu dengan kau. O ya, di mana Lin Lin adikku yang manis?” Matanya mencari-cari dan mengharapkan munculnya Lin Lin di situ.

  

 Setelah duduk menghadapi meja, Kwee An lalu menceritakan pengalamannya dan bahwa kini mereka berdua sedang mencari Lin Lin. Ketika mendengar tentang pembalasan sakit hati yang hampir selesai dan tinggal Hai Kong seorang itu, pada wajah Kwee Tiong tidak nampak kegirangan sebagaimana yang diduga semula, bahkan pemuda yang menjadi hwesio itu menghela napas dan merangkapkan kedua tangan, lalu berkata,

 “Aah, inilah yang membuat aku mengambil keputusan untuk menjadi seorang yang beribadat. Tadinya aku selalu merasa takut kepada musuh, sedih karena kehilangan orang tua dan saudara-saudara, penasaran karena ingin membalas dendam. Tapi apakah artinya semua perasaan yang hanya mengganggu batin itu? Setelah aku mendapat petunjuk dari Tong Kak Suhu dan masuk menjadi hwesio, baru terbukalah mataku. Aku sekarang merasa berbahagia dan tidak menakuti sesuatu oleh karena di dalam hatiku memang tidak ada perasaan bermusuh kepada siapapun juga. Tentang pembalasan sakit hati itu, Adikku, biarlah kau yang berkepandaian tinggi dan yang merasa sakit hati, kauperjuangkan sebagai sebuah tugas suci berdasarkan kebaktian. Sedangkan aku, yang tiada berkepandaian ini, biarlah aku setiap saat berdoa untuk keselamatanmu, keselamatan Lin Lin, dan keselamatan kawan-kawan baik semua.”

 Cin Hai yang mendengar ucapan ini, mengangguk-angguk dan ia maklum sepenuhnya bahwa memang jalan yang diambil oleh Kwee Tiong itu dianggapnya tepat sekali.

 Setelah menuturkan pengalaman masing-masing dan melepaskan kerinduan dengan mengobrol semalam penuh, pada keesokan harinya Kwee An dan Cin Hai meninggalkan Kelenteng Ban-hok-tong.

 “Kwee An marilah kita mampir sebentar di Tiang-an, karena sudah lama aku tidak pernah menginjakkan kaki di kota itu. Seringkali aku terkenang kepada kota di mana aku tinggal ketika kita masih kecil.”

 Juga Kwee An ingin melihat kota kelahirannya maka ia menyetujui ajakan Cin Hai ini dan keduanya lalu memasuki kota Tiang-an yang berada di dekat Kelenteng Ban-hok-tong itu. Mereka lalu berjalan-jalan di dalam kota itu sampai sore. Dan ketika mereka berjalan sampai di ujung timur, tiba-tiba mereka mendengar suara yang lantang dari dalam sebuah rumah. Mendengar suara ini, Cin Hai menyentuh tangan Kwee An dan berbisik,

 “Coba, kaudengarkan itu, apakah kau masih mengenalnya?”

 Kwee An memasang telinga dengan penuh perhatian dan dari jendela rumah itu terdengar suara yang jelas sekali.

 “Su-hai-ci-lwe-kai-heng-te-yaaaa...”

 Kwee An hampir tertawa bergelak, tapi cepat-cepat ia menggunakan tangan kanan untuk menutup mulutnya dan menahan ketawanya. “Itulah Kwi Sianseng!” katanya.

 Cin Hai tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Kalau tidak salah tentu dia. Siapa lagi yang dapat mengucapkan ujar-ujar itu demikian bagusnya? Tahukah kau berapa kali ia dulu pernah memukul dan mengetok kepalaku yang dulu gundul?”

 Kwee An hampir tertawa keras-keras dan ia membelalakkan kepada Cin Hai sambil tersenyum lebar. “Kau juga??”

 Cin Hai bertanya heran, “Apa maksudmu?”

 “Kau juga menjadi korban kesukaannya memukul kepala murid-muridnya? Ha, ha, jangankan kau yang dulu memang banyak orang membenci, sedangkan aku sendiri pun entah sudah berapa kali merasai ketokan di kepalaku.”

 Cin Hai benar-benar tak pernah menyangka hal ini dan sedikit kebencian yang berada di hatinya terhadap Kai Sianseng lenyap seketika.

 “Kalau begitu, Si Tua itu tentu masih saja mengobral hadiah ketokan kepala itu kepada anak-anak yang sekarang menjadi murid-muridnya. Hayo, kita mengintai dia!”

 Bagaikan dua orang anak-anak nakal, Cin Hai dan Kwee An menghampiri rumah kecil itu dengan perlahan dan mengintai dari balik jendela. Benar juga dugaan mereka, di dalam rumah itu Kwi Sianseng yang tampak sudah tua sekali dan tubuhnya makin kurus kering, sedang berdiri dengan tangan kanan di belakang punggung dan tangan kiri memegang sebuah kitab yang dikenal baik oleh Cin Hai dan Kwee An, oleh karena kitab yang terbungkus kulit kambing itu adalah kitab yang dulu dipakai untuk mengajar mereka pula. Di depan kakek sastrawan ini duduk di bangku dengan kedua tangan bersilang, tiga orang anak laki-laki yang mengerutkan kening bagaikan kakek-kakek yang sedang berpikir keras.

 “Kalian anak-anak goblok, bodoh dan tolol! Dengarkan sekali lagi! Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya! Apakah artinya, siapa tahu?”

 Kwee An dan Cin Hai mengintai dan menahan geli hatinya, dan Cin Hai lalu teringat akan segala yang dialaminya di waktu kecil, karena sifat dan sikap Kwi Sianseng sama sekali tidak berubah seperti dulu.

 Seorang di antara para murid yang jumlahnya tiga orang anak-anak itu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan, lalu berkata dengan suara lantang,

 “Seng-cia-cu-seng-ya. Ji-to-cu-to-ya, artinya: kesempurnaan hati suci murni harus dicapai sendiri dengan penyempurnaan watak pribadi. Jalan kebenaran yang menjadi sifat setiap orang harus diajukan dalam perbuatan sendiri.”

 Kakek kurus kering itu mengangguk-anggukkan kepala seperti burung makan padi. “Bagus, bagus! Begitulah sifat seorang kuncu (budiman) tulen!” ia memuji. “Kok-ji, kitab apa yang mengandung ujar-ujar itu dan fasal ke berapa?”

  

 Anak yang tadi menjawab dengan lagak bagaikan seorang ahli pikir yang sudah kakek-kakek itu menjawab lantang,

 “Terdapat di dalam kitab Tiong-yong, fasal... fasal...” ia tidak dapat melanjutkan jawabannya dan memandang ke kanan kiri dengan bingung.

 “Anak bodoh dan tolol!” gurunya memaki dan Cin Hai baru melihat bahwa makian ini agaknya memang telah menjadi kembang bibir Kwi Sianseng. Baru saja anak itu dipuji-pujinya sekarang telah dimaki tolol. Kemudian Kwi Sianseng berkata lagi, “Dengarlah, ujar-ujar itu terdapat dalam... fasal...” Ia juga lupa dan mencari-cari di dalam kitabnya, membuka-buka buku kitab itu dengan bingung.

 Sambil menahan gelinya yang membuat perutnya kaku, Cin Hai menjawab dari luar, “Dalam fasal dua puluh lima ayat pertama!”

 Kwi Sianseng terkejut sekali dan menoleh ke arah jendela yang rendah dan masuk ke dalam kamar. Kedua anak muda itu lalu menjura dan memberi hormat kepada Kwi Sianseng. Cin Hai berkata,

 “Kwi Sianseng, hakseng berdua menghaturkan hormat.”

 Kwi Sianseng terheran dan ragu-ragu. “Jiwi ini siapakah?”

 “Kwi Sianseng,” kata Kwee An, “sudah lupakah kepadaku? Aku adalah Kwee An, putera Kwee-ciangkun!”

 Kwi Sianseng melengak, kemudian setelah teringat, ia lalu tersenyum lebar dan wajahnya berseri-seri, nampak sekali kebanggaannya melihat betapa muridnya telah menjadi dewasa, gagah, dan cakap! Ia lalu memegang lengan Kwee An dan dengan muka yang terang berkata kepada ketiga anak muridnya,

 “Nah, kalian lihatlah! Kwee-kongcu ini dulu adalah muridku yang baik dan pandai. Kalau kalian belajar baik-baik dari aku, kelak kau pun akan menjadi seorang berguna seperti dia ini!” Kemudian ia teringat kepada Cin Hai yahg telah dapat menemukan fasal dalam kitab Tiong Yong maka ia lalu menjura dengan hormat kepada Cin Hai dan bertanya, “Dan kongcu yang cerdik pandai dan hafal akan fasal dan ayat dalam kitab Nabi kita ini, siapakah namamu yang mulia?”

 Cin Hai menahan geli hatinya, menjawab sambil menjura, “Sianseng, sudah lupakah kepada hakseng yang tolol dan bodoh?”

 Selagi Kwi Sianseng memandang heran dan mengingat-ingat, Kwee An yang tak dapat menahan kegembiraan hatinya lalu berkata, “Kwi Sianseng, ini adalah Cin Hai, juga muridmu yang belajar darimu di Kelenteng Ban-hok-tong!”

 Cin Hai tertawa bergelak. “Kwee Sianseng, sekarang hakseng tidak berani menggunduli kepala lagi, supaya jangan dijadikan sasaran pukulan dan ketokan!”

 Merahlah muka Kwi Sianseng dan ia merasa betapa ia dulu memang sering kali memukul kepala anak gundul ini. Akan tetapi, sebagaimana sudah lazimnya sifat manusia yang teringat selalu adalah sifai-sifat keburukan orang lain, maka Kwi Sianseng lalu memegang tangan Cin Hai dan kini dengan suara sungguh-sungguh berkata kepada para muridnya,

 “Lihatlah Kongcu ini, demikian gagah dan tampannya! Ketahuilah, dia ini dulu juga seorang muridku! Aku sayang sekali kepadanya maka tidak heran sekarang menjadi seorang pandai dan sekali mendengar saja sudah dapat menjawab pertanyaan tentang fatsal tadi! Kalian tadi mendengar bahwa dulu aku sering mengetok kepalanya? Nah, jangan kira bahwa ketokan kepalanya tidak ada gunanya! Tanpa diketok kepalanya, seorang murid takkan menjadi pandai!”

 Hati Cin Hai yang dulu seringkali mengenangkan guru ini dengan benci dan mendongkol, kini menjadi lemah, bahkan ia merasa kasihan sekali melihat betapa pakaian guru ini butut dan tambal-tambalan, tanda bahwa keadaannya miskin sekali, sedangkan tubuhnya makin kurus kering dan lemah bagaikan mayat hidup! Betapapun juga, guru-guru yang pandai ujar-ujar akan tetapi tak mampu melaksanakan ini patut dikasihani oleh oleh karena dia adalah seorang jujur dan rela hidup dalam kemiskinan dan masih tekun menurunkan ilmu-ilmu batin yang hanya dikenal dibibir saja itu kepada anak-anak dengan menerima upah kecil! Ia mengerti bahwa segala penderitaan, makian, pukulan yang diterima dari guru ini dalam waktu mengajar, bukan tidak ada gunanya! Sakit dan derita merupakan obat pahit yang dapat menguatkan batin dan meneguhkan iman.

 Maka teringatlah ia kepada ucapan Bu Pun Su dulu,

 “Segala apa di dunia ini mempunyai dua muka yang berlainan dan baik buruknya muka itu terpandang oleh seseorang, hal ini tergantung sepenuhnya kepada orang itu sendiri, oleh karenanya banyak pertentangan di dunia ini yang terjadi karena perbedaan pandangan ini!” Dan ia merasa betapa tepatnya ucapan ini. Dulu ia memandang perbuatan Kwi sianseng kepadanya amat buruk dan kejam sehingga menimbulkan rasa benci dan sakit hati. Akan tetapi sekarang, ia telah mempunyai pandangan lain dan menganggap bahwa perbuatan Kwi-sianseng itu telah menjadi watak guru ini dan bukan timbul karena membencinya, maka ia bahkan menganggap semua siksaan itu baik, hingga sebaliknya kini menimbulkan rasa terima kasih!

 Cin Hai lalu memberi isyarat dengan matanya kepada Kwee An dan ia merogoh sakunya, mengeluarkan beberapa potong uang emas yang ada padanya. Ia masukkan uang itu ke dalam saku Kwi-sianseng tanpa dilihat oleh guru ini, kemudian setelah mereka berkelebat maka lenyaplah keduanya dari depan Kwi-sianseng. Tentu saja hal ini tak terduga sama sekali oleh guru itu, juga oleh anak anak tadi yang menganggap kedua pemuda ini main sulap.

  

 “Hebat, hebat... mereka telah menjadi orang-orang gagah yang berkepandaian luar biasa,” katanya kemudian ia berkata keras-keras agar terdengar oleh murid-muridnya yang kecil-kecil. “Mereka hebat sekali dan mereka itu adalah murid-muridku. Kalian bertiga yang bodoh ini kalau mau belajar sungguh-sungguh, kelak pun akan menjadi seperti mereka.” Ketika seorang muridnya menjatuhkan kitab ke atas tanah karena terheran-heran melihat lenyapnya Kwee An dan Cin Hai hingga tanpa disengaja kitab yang dipegangnya jatuh, Kwi-sianseng marah sekali dan melangkah maju, siap dengan jari-jarinya untuk mengetuk kepala yang gundul itu. Akan tetapi tiba-tiba bayangan Cin Hai muncul dan guru ini teringat akan kejadian dulu-dulu, maka ia lalu menahan tangannya, dan sebaliknya ia lalu mengetok kepalanya sendiri yang sudah botak.

 “Jangan kaulakukan kepada orang lain apa yang kau sendiri tidak mau diperlakukan oleh orang lain kepadamu,” kata-kata Cin Hai yang dulu bergema di dalam telinganya. Semenjak saat ini Kwi-sianseng mempunyai kebiasaan baru, yaitu tiap kali ia mengetok kepala muridnya, tentu ia juga menambahkan sebuah ketokan kepada kepalanya sendiri.

 Cin Hai dan Kwee An sambil tertawa-tawa mengenangkan peristiwa pertemuan dengan Kwi-sianseng tadi, lalu berjalan cepat meninggalkan Tiang-an. Mereka keluar dari kota itu dari jurusan timur dan tidak melewati Kelenteng Ban-hok-tong yang berada di sebelah barat kota itu. Hari telah agak gelap ketika mereka tiba di sebuah hutan di luar kota.

 Tiba-tiba mereka mendengar suara orang berseru minta tolong dan ketika mereka lari menghampiri, ternyata seorang laki-laki tua yang berpakaian seperti piauwsu (pengawal kiriman barang berharga) sedang dikeroyok oleh lima orang perampok. Piauwsu ini biarpun melawan dengan nekad dan memutar-mutar goloknya, namun pengeroyoknya ternyata memiliki kepandaian yang lihai hingga pundak kiri piauwsu itu telah berlumur darah karena mendapat luka bacokan pedang. Akan tetapi, sambil berseru minta tolong, piauwsu itu terus saja melawan dengan nekad.

 Cin Hai marah sekali melihat pengeroyokan ini dan sekali pandang saja ia maklum bahwa piauwsu ini tentu dirampok, oleh karena di pinggir tampak sebuah kereta dan para pendorongnya yang terdiri dari empat orang telah berjongkok sambil menggigil ketakutan di belakang kereta.

 “Perampok ganas, pergilah dari sini!” katanya dan tubuhnya telah menyambar cepat ke arah tempat pertempuran. Cin Hai tidak mau membuang banyak waktu, ia segera mempergunakan kepandaian Ilmu Silat Tangan Kosong Kongciak-sin-na yang hebat. Memang ilmu silat yang belum lama ia pelajari dari Bu Pun Su ini lihai sekali. Begitu kedua tangannya bergerak, pedang kelima orang perampok itu tahu-tahu telah kena dibikin terpental den sebelum kelima orang perampok yang juga memiliki ilmu silat lumayan itu tahu apa yang terjadi, tahu-tahu mereka telah dipegang oleh tangan kanan kiri pemuda itu dan dilempar-lemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan kentang busuk saja.

 Tentu saja mereka merasa jerih dan ngeri melihat ilmu kepandaian sehebat ini den tanpa menoleh lagi mereka lalu berlari secepatnya ke jurusan yang sama hingga merupakan balap lari yang ramai. Kwee An tertawa bergelak, sedangkan Cin Hai hanya tersenyum saja melihat pemandangan yang lucu itu.

 Sedangkan piauwsu itu ketika melihat pemuda luar biasa lihainya yang telah menolong jiwanya, lalu melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Cin Hai sambil berkata dengan suara terharu,

 “Taihiap yang gagah perkasa telah menolong jiwaku yang tak berharga, aku tua bangka lemah takkan dapat membalas budi besar ini dan untuk menyatakan terima kasihku, biarlah Taihiap menyebut nama Taihiap yang mulia agar dapat kuingat selama hidupku!”

 Cin Hai merasa tidak enak sekali melihat dirinya dihormati sedemikian oleh piauwsu itu maka buru-buru ia memegang pundak piauwsu itu dan menariknya berdiri sambil berkata,

 Lo-piauwsu janganlah beriaku demikian. Pertolongan yang tidak ada artinya ini untuk apa dibesar-besarkan?”

 Ketika piauwsu tua itu mengangkat muka dan memandang dengan sepasang matanya yang luar biasa lebar, Cin Hai merasa bahwa ia seperti pernah melihat muka ini, akan tetapi tidak ingat lagi di mana dan bilamana. Tiba-tiba Kwee An berseru sambil meloncat menghampiri,

 “Tan-kauwsu! Kaukah ini?”

 Memang benar, piauwsu itu ternyata adalah Tang-kauwsu, guru silat yang dulu pernah mengajar silat kepada putera-putera keluarga Kwee In Liang! Tan-kauwsu memandang heran dan ia segera mengenali Kwee An, maka sambil menjura ia berkata girang,

 “Kwee-kongcu! Tak tersangka kita telah bertemu di sini! Ah, aku orang tua telah mendengar tentang kemajuan dan kelihaianmu dan telah mendengar pula bahwa engkau telah menjadi murid Eng Yang Cu-locianpwe, tokoh Kim-san-pai yang lihai itu! Sukurlah kepandaianmu tentu telah berlipat ganda dan aku orang tua yang tak berguna ini hanya merasa gembira!” Kemudian ia memandang kepada Cin Hai dengan mata kagum dan melanjutkan kata-katanya,

 “Akan tetapi, siapakah Taihiap yang muda akan tetapi telah memiliki kepandaian yang demikian lihainya hingga belum pernah mataku yang tua menyaksikan kelihaian seperti yang telah Taihiap lakukan tadi?”

  

 Cin Hai ketika mengingat bahwa piauwsu ini bukan lain adalah Tan-kauwsu yang dulu membencinya dan bahkan mengejarnya untuk membunuh, timbul pula rasa bencinya, maka ia tidak mau menjawab dan hanya memandang tajam dengan muka tidak senang. Kwee An belum pernah mendengar tentang kekejaman Tan-kauwsu kepada Cin Hai, oleh karena Cin Hai memang tidak menceritakan hal itu kepada siapapun juga, maka Kwee An lalu tertawa girang dan berkata,

 “Tan-kauwsu, sesungguhnya pemuda kawanku ini pun bukan orang luar, akan tetapi kurasa kau takkan dapat menduganya dia ini siapa biarpun kau akan mengingat-ingat sampai semalam penuh! Biarlah aku membantumu. Dia ini adalah Cin Hai anak gundul yang dulu pernah pula belajar silat padamu!”

 Tiba-tiba pucatlah wajah Tan-kauwsu mendengar bahwa anak muda yang luar biasa gagahnya yang baru saja telah menolong jiwanya itu, bukan lain adalah Si Cin Hai, anak gundul yang dulu hendak diambil jiwanya! Kedua kaki Tan-kauwsu menggigil dan ia tak dapat menahan dirinya lagi. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut lagi di depan Cin Hai dan tak tertahan lagi kedua matanya mengucurkan air mata!

 “Taihiap... aku... aku... ah, apakah yang harus kukatakan? Kalau Taihiap suka, ambillah jiwaku. Aku tua bangka yang tak tahu diri akan mati dengan rela di dalam tanganmu!”

 Kwee An memandang heran dan segera berkata, “Eh, eh, apa-apan ini? Tan-kauwsu, apakah kau mendadak telah menjadi mabok?”

 Akan tetepi Cin Hai mengejapkan mata kepada kawannya itu dan kini ia tidak mengangkat bangun tubuh orang tua yang berlutut di depannya.

 “Tan-kauwsu, memang benar kata ujar-ujar kuno yang menyatakan bahwa apa yang diperbuat orang pada masa mudanya, akan mendatangkan sesal pada masa tuanya. Kau dulu berkeras hendak membunuhku, dan sekarang kau bahkan minta dibunuh olehku dengan rela. Bukankah ini merupakan buah dari pohon kebencian yang dulu kautanam dengan kedua tanganmu sendiri? Kau minta aku membalas dendam? Tidak, Tan-kauwsu! Akan terlalu senang bagimu. Biarlah kaupikir-pikirkan perbuatanmu yang sewenang-wenang dulu itu dan menyesalinya. Kau tak berhutang jiwa padaku, maka bagaimana aku bisa membunuhmu? Nah, selamat tinggal! Mari, Kwee An, kita pergi dari sini!”

 Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu melompat pergi dan terpaksa Kwee An menyusul kawannya itu dengan heran. Kemudian, atas desakan Kwee An, Cin Hai lalu menuturkan pengalamannya. Kwee An menghela napas dan berkata,

 “Memang nasib manusia itu tidak tentu. Sekali waktu ia boleh berada di bawah, di tempat yang serendah-rendahnya, akan tetapi akan tiba masanya ia akan berada di atas, di tempat yang setinggi-tingginya.”

 Setelah meninggalkan Tiang-an, kedua pemuda itu lalu menuju ke kota raja, oleh karena selain mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, keduanya juga tidak pernah lupa untuk mencari Hai Kong Hosiang, hwesio yang kini merupakan musuh besar satu-satunya yang masih belum berhasil mereka balas. Dan ke mana lagi mencari hwesio itu kalau tidak di kota raja? Mereka merasa ragu-ragu apakah Hai Kong Hosiang berada di sana, akan tetapi karena tidak mempunyai pandangan lain di mana hwesio itu mungkin berada, mereka mencoba-coba dan pergi ke kota raja.


 Mereka langsung menuju ke Enghiong-koan, gedung perhimpunan para perwira Sayap Garuda di mana mereka dulu pernah datang mengacau dan berhasil membunuh mati musuh-musuhnya. Ketika mereka tiba di atas genteng gedung itu, mereka melihat dua orang sedang bertempur mengeroyok seorang kakek, sedangkan di sekeliling tempat pertempuran, para perwira Sayap Garuda menonton sambil berseru-seru membesarkan hati kakek yang dikeroyok itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar