Melihat gerakan kakek tua renta itu, terkejut
Kwee An dan Cin Hai oleh karena gerakan kakek ini benar-benar luar biasa
hebatnya hingga kedua pengeroyoknya terdesak mundur terus. Dan ketika Cin Hai
memandang tegas, ternyata bahwa kakek tua renta itu adalah Kiam Ki Sianjin
sedangkan kedua pengeroyoknya adalah Eng Yang Cu guru Kwee An dan Nelayan
Cengeng sendiri.
Kedua pemuda itu yang melihat betapa Eng Yang
Cu dan Kong Hwat Lojin terdesak hebat oleh ilmu silat Kiam Ki Sianjin yang
hebat luar biasa, segera melompat turun.
“Kwee An, jangan kau ikut turun tangan,
biarlah aku sendiri menghadapi kakek tua renta itu. Ia adalah supek dari Hai
Kong Hosiang.”
Kwee An kaget sekali dan menjadi jerih. Kalau
Hai Kong Hosiang saja telah begitu hebat, apa lagi supeknya.
Cin Hai melompat masuk ke kalangan pertempuran
dan berkata dengan suara hormat kepada Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu,
“Jiwi Locianpwe, biarkan teecu menghadapi
setan ini, dan kalau teecu tidak dapat menandinginya, barulah jiwi berdua maju
memberi hajaran kepadanya.”
Sebetulnya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng
telah terdesak sekali, dan kata-kata yang diucapkan oleh Cin Hai ini terang
menandakan bahwa pemuda ini pandai membawa diri dan menghormat mereka maka
keduanya lalu melompat mundur.
Kiam Ki Sianjin!” kata Cin Hai dengan tenang,
“dulu Suhuku Bu Pun Su telah mengampuni kau, maka apakah sekarang kau yang
begini tua ini masih mau memamerkan kepandaian di depan mata umum?”
Kiam Ki Sianjin memandang kepada Cin Hai
dengan sepasang matanya yang telah tua akan tetapi masih awas itu, lalu ia
tertawa cekikikan dan tangan kanannya membuat gerakan merendah seperti hendak
berkata bahwa Cin Hai masih kecil dan masih kanak-kanak, sedang tangan kirinya
menuding keluar. Dengan gerakan ini Kiam Ki Sianjin hendak berkata bahwa Cin
Hai yang masih muda dan masih kanak-kanak itu jangan datang mengantar kematian,
lebih baik keluar dan pergi saja sebelum terlambat!
“Kiam Ki Sianjin, tak perlu kau menggertak.
Keluarkanlah kepandaianmu kalau kau memang gagah!” Cin Hai menantang akan
tetapi sikapnya tetap tenang dan waspada. Kiam Ki Sianjin menjadi marah sekali,
dan sambil mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, ia lalu menerjang maju dengan hebat
sekali!
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu adalah
tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, akan tetapi menghadapi Kiam Ki Sianjin,
mereka berdua terdesak hebat setelah bertempur dua ratus jurus lebih, maka kini
mereka memandang ke arah Cin Hai dengan penuh kekuatiran. Mereka maklum bahwa
sebagai murid tunggal Bu Pun Su, pemuda itu tentu memiliki kepandaian yang
tinggi sekali, akan tetapi, tetap saja mereka merasa ragu-ragu dan cemas oleh
karena kini pemuda itu menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berpengalaman
dan yang telah mereka rasakan sendiri kehebatan ilmu kepandaiannya!
Akan tetapi, mereka menjadi kagum sekali
ketika melihat betapa dengan lincahnya Cin Hai dapat mengimbangi ginkang dari
kakek itu. Bahkan ketika melihat betapa pemuda itu berani mengadu lengan dengan
Kiam Ki Sianjin, tak terasa pula Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak sambil
mengalirkan air mata dari kedua matanya. Ini adalah tanda bahwa Nelayan Tua ini
merasa gembira sekali. Tadi ia pernah beradu lengan dengan Kiam Ki Sianjin,
akan tetapi adu lengan yang sekali itu saja sudah cukup membuatnya kapok oleh
karena betapa lengannya sakit sekali dan seakan-akan ada puluhan jarum
menusuk-nusuk ke dalam daging lengannya! Kini ia melihat betapa Cin Hai berani
beradu tenaga dengan kakek sakti itu tanpa merasa sakit dan bahkan agaknya Kiam
Ki Sianjin tidak saja nampak terkejut, akan tetapi juga terdorong sedikit tiap
kali keduanya mengadu tenaga dalam!
Sementara itu, Kwee An memandang pertempuran
hebat itu dengan bengong dan anak muda ini merasa heran sekali mengapa kini
kepandaian Cin Hai agaknya telah bertambah berlipat ganda! Tadinya Kwee An
merasa bangga bahwa ia telah menerima pelajaran ilmu silat dari ayah angkatnya,
yaitu Hek Mo-ko dan diam-diam ia mengharapkan bahwa kini tingkat ilmu
kepandaiannya sudah menyusul kepandaian Cin Hai. Tidak tahunya kepandaian Cin
Hai kini pun meningkat luar biasa sekali dan bahkan ia merasa bahwa kepandaian
pemuda ini sekarang berada di tingkat yang lebih tinggi daripada kepandaian Hek
Pek Mo-ko sendiri. Tentu saja mereka ini tidak tahu bahwa Cin Hai telah
mengeluarkan llmu Silat Pek-in-hoatsut atau Ilmu Silat Awan Putih! Kedua lengan
tangannya mengeluarkan uap putih yang menimbulkan tenaga hebat sekali hingga lweekang
yang tinggi dari Kiam Ki Sianjin masih saja tak kuat menghadapi ilmu pukulan
ini!
Kiam Ki Sianjin selama hidupnya satu kali
menerima tandingan yang tinggi ilmu kepandaiannya dari kepandaiannya sendiri,
yaitu ketika ia berhadapan dengan Bu Pun Su. Sudah tiga kali selama hidupnya ia
bertemu dengan Bu Pun Su dan tiap kali bertemu ia selalu dipermainkan oleh
kakek jembel itu. Kini baru pertama kalinya ia menghadapi seorang pemuda yang
dapat menandingi kelihaiannya hingga tentu saja ia menjadi marah, penasaran dan
gemas sekali! Ia tadi ketika menghadapi Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng
walaupun dapat mendesak namun agak sukar merobohkan dua orang lawan yang bukan
sembarang orang itu dan yang telah termasuk tingkat tokoh besar dalam lapangan
ilmu silat, maka ia telah mengerahkan tenaganya, hingga membuat tubuhnya yang
telah tua sekali itu menjadi lelah luar biasa. Kini menghadapi Cin Hai yang
ternyata lebih lihai lagi daripada kedua kakek itu, ia benar-benar merasa
terkejut dan marah. Namanya yang telah terkenal menjulang tinggi sampai ke
langit itu akan runtuh kalau ia tidak dapat mengalahkan pemuda ini. Jika
diingat bahwa pemuda ini adalah murid Bu Pun Su, maka ia makin penasaran dan
ingin membalas kekalahannya yang dulu-dulu dari Bu Pun Su kepada muridnya ini.
Karena marahnya, Kiam Ki Sianjin lalu
melupakan sumpahnya sendiri dan tiba-tiba ia mencabut keluar sebatang pedang
yang aneh bentuknya. Pedang ini tipis sekali dan seakan-akan lemas tak
bertenaga, akan tetapi, di bawah ujungnya yang runcing terdapat dua buah kaitan
di kanan-kiri dan pedang ini mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya.
Ketika beberapa tahun yang lalu ia merasa bahwa dirinya telah amat tua dan
telah banyak darah ia alirkan melalui pedang ini, ia merasa menyesal sekali dan
takut untuk menerima hukuman dari semua dosanya. Maka ia lalu bersumpah takkan
mempergunakan pedang ini untuk membunuh orang lagi. Akan tetapi, oleh karena
sekarang ia merasa marah sekali, ia tidak ingat lagi akan sumpah itu dan
mencabut keluar senjatanya yang hebat.
Cin Hai terkejut melihat gerakan ini. Ia tidak
mempunyai permusuhan dengan Kiam Ki Sianjin dan tadi pun ia hanya ingin
menolong Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saja dan hendak mencoba kepandaian
kakek luar biasa ini. Sekarang melihat betapa kakek itu mencabut keluar
pedangnya, maka tahulah bahwa kakek itu telah marah sekali dan bermaksud
mengadu jiwa.
“Kiam Ki Sianjin!” kata Cin Hai keras-keras,
“kita tak pernah saling bermusuhan hingga tak perlu mengadu jiwa!” Kiam Ki
Sianjin salah mengerti dan menduga bahwa pemuda itu merasa jerih melihat
pedangnya, maka sambil tertawa cekikikan ia lalu menerjang maju dengan
cepatnya.
“Baiklah, agaknya kau hendak membela muridmu
yang durhaka Hai Kong Hosiang itu!” kata Cin Hai dan secepat kilat pemuda ini
pun lalu mengelak dan mencabut keluar pedangnya, Liong-coan-kiam. Karena maklum
bahwa ilmu kepandaian kakek ini hebat sekali dan ia takkan dapat mengambil
kemenangan apabila ia hanya mengandalkan pengertian pokok persilatan dan
mengikuti gerakan serangan orang tua itu tanpa membalas dengan serangan
berbahaya, maka ilmu pedang yang ia ciptakan bersama Ang I Niocu dan yang telah
diyakinkan sempurna itu, pedangnya bergerak-gerak aneh bagaikan terbang ke
udara dan tiada ubahnya dengan seekor naga sakti keluar dari surga
menyambar-nyambar ke arah Kiam Ki Sianjin dengan garangnya.
Akan tetapi, Kiam Ki Sianjin benar-benar hebat
dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Biarpun ia merasa terkejut melihat ilmu
pedang yang seumur hidupnya belum pernah disaksikan itu, namun pengalamannya
membuat ia dapat menduga ke mana arah tujuan pedang Cin Hai dan dapat menjaga
diri dengan baiknya serta dapat pula melancarkan serangan balasan yang tak
kalah hebatnya.
Kedua orang ini bertempur mengadu ilmu sampai
tiga ratus jurus lebih dan para penonton telah merasa pening karena terpengaruh
oleh gerakan pedang yang dimainkan secara hebat itu. Bahkan Kwee An sampai
menjadi merah matanya karena tidak tahan melihat menyambarnya sinar pedang,
juga para perwira yang tadinya berseru-seru kini tidak bergerak dan memandang
dengan muka pucat. Banyak di antara mereka yang mengalirkan air mata karena
mata mereka terasa pedas sekali sehingga terpaksa mereka mengalihkan pandangan
matanya dan tidak langsung memandang ke arah pertempuran.
Hanya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng saja
yang masih sanggup menonton dengan tertariknya, akan tetapi juga kedua orang
ini agak pucat karena maklum bahwa sekarang sedang berlangsung pertandingan
tingkat tinggi yang langka terlihat. Mereka makin kagum saja kepada Cin Hai
yang bagaikan sebuah batu mustika, baru sekarang tergosok dan kelihatan
betul-betul sinar dan nilainya. Kedua tokoh besar ini diam-diam menghela napas
saking tertarik dan kagumnya. Biarpun di luarnya tidak menyatakan perubahan,
namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa lelah sekali dan rasa penasaran
dan marah telah berkobar di dadanya yang membuat seluruh tubuhnya terasa panas
sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun maklum akan hal ini, akan tetapi ia
tidak berdaya. Nafsu marah dan penasaran yang sudah lama dapat ditenggelamkan
di dasar hatinya, kini tiba-tiba melonjak dan timbul pula dengan serentak, maka
tentu saja tangannya menjadi makin lemah.
Baiknya Cin Hai memang tidak bermaksud
membunuh atau melukainya, karena betapapun juga, pemuda ini merasa kasihan
melihat kakek yang amat tua hingga merupakan rangka hidup ini. Ia dapat menduga
bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak makin hebat dengan maksud
agar kakek ini dapat menyerah karena kelelahannya.
Benar saja, desakannya telah membuat Kiam Ki
Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya telah penuh keringat dan napasnya mulai
terengah-engah hingga membuat gerakannya menjadi lambat. Pada suatu kesempatan
yang baik, tiba-tiba pedang Cin Hai menusuk ke arah leher kakek itu. Kiam Ki
Sianjin tiba-tiba melakukan gerakan nekad sekali dan tanpa mempedulikan tikaman
pedang Cin Hai, ia membalas menikam ke arah dada Cin Hai. Ternyata bahwa dalam
keadaan putus asa, kakek ini hendak mengajak mati bersama.
Cin Hai terkejut sekali. Cepat ia menarik kembali
pedangnya dan dihentakkan untuk menangkis pedang lawannya. Kiam Ki Sianjin
merasa betapa pedang pemuda itu menempel keras pada pedangnya dan ia pun lalu
mengerahkan tenaga dalam dan mengait pedang Cin Hai dengan kaitan pedangnya.
Kedua lawan tua dan muda ini saling mengerahkan tenaga lweekang dan pedang
mereka saling melengket bagaikan menjadi satu. Keduanya tidak bergerak, saling
pandang bagaikan dua buah patung, tangan kanan memegang pedang yang saling
menempel, tangan kiri diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka
seakan-akan menerima kekuatan dari atas. Tiba-tiba terdengar suara “krak!” yang
keras sekali dan pedang di tangan Kiam Ki Sianjin telah patah menjadi dua. Dan
secepat kilat Cin Hai melompat mundur dan berjungkir balik sampai lima kali di
udara untuk menghindarkan diri dari serangan tenaga dalam kakek luar biasa itu.
Ternyata ketika tadi ia mengerahkan tenaga dalamnya sampai sepenuhnya,
tiba-tiba kakek itu menarik kembali tenaganya hingga pedangnya menjadi patah.
Cin Hai terkejut dan menyangka bahwa penarikan tenaga ini adalah siasat yang
hendak digunakan untuk memukulnya selagi ia kehabisan tenaga, maka ia lalu
berjungkir balik di udara.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa sebenarnya
kakek itu telah kehabisan napas dan tenaga. Ia telah amat tua dan tenaganya
banyak berkurang maka sekarang menghadapi Cin Hai setelah tadi melawan
keroyokan Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng, ia tidak-kuat lagi dan tenaganya
runtuh. Ketika semua orang memandang ternyata Kiam Ki Sianjin masih berdiri
dengan pedang potong di tangan, tanpa bergerak sedikit pun dan kedua matanya
masih meram.
Cin Hai mendekati dan melihat keadaan Kiam Ki
Sianjin, ia menjadi terkejut dan menyesal, karena ia tahu bahwa kakek itu telah
putus nyawanya karena serangan dari dalam. Ini hanya terjadi kalau orang
terlalu marah.
Seorang perwira menghampiri tubuh Kiam Ki
Sianjin yang masih berdiri diam dan hendak menariknya.
“Jangan!” teriak Cin Hai dan maju melompat
hendak mencegah.
Akan tetapi terlambat. Ketika perwira itu memegang
lengan Kiam Ki Sianjin dan hendak menolong dan menuntunnya, tiba-tiba ia
menjerit ngeri dan terjengkang ke belakang bagaikan mendapat pukulan hebat.
Sementara itu tubuh Kiam Ki Sianjin lalu roboh ke depan dalam keadaan masih
kaku.
Perwira itu roboh dan tewas di saat itu juga
oleh karena ia terkena hawa dari tenaga dalam yang masih terkumpul di lengan
tangan kakek itu dan biarpun ia telah mati, akan tetapi tubuhnya masih hangat
dan hawa tenaga keluar dan menghantam perwira itu hingga binasa.
Dengan menyesal, Cin Hai lalu mengajak
kawan-kawannya lari dari tempat itu untuk menghindari pertempuran-pertempuran
selanjutnya, oleh karena mereka maklum bahwa kematian kakek ini tentu takkan
dibiarkan saja oleh para perwira tadi!
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu tiada habisnya
memuji-muji kelihaian Cin Hai yang diterima dengan ucapan merendah oleh pemuda
ini. Juga Kwee An, biarpun tidak mengucapkan sesuatu, namun pandangan matanya
kepada pemuda itu berubah penuh hormat dan bangga serta memandang tinggi.
Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam
usahanya mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, di jalan ia bertemu dengan Eng Yang
Cu yang telah dikenal baik. Eng Yang Cu mendengar tentang penderitaan yang
dialami oleh muridnya, maka mereka berdua merasa marah sekali kepada Hai Kong
Hosiang lalu mencarinya ke kota raja untuk mengedu kepandaian dan membalas
sakit hati keluarga Kwee An. Akan tetapi, ternyata bahwa mereka tak dapat
menemukan Hai Kong Hosiang, sebaliknya bertemu dengan Kiam Ki Sianjin yang
menyerang mereka dengan hebat ketika mendengar bahwa mereka datang hendak
membunuh Hai Kong Hosiang!
Setelah menceritakan pengalaman masing-masing,
Cin Hai lalu menceritakan kepada Eng Yang Cu tentang ikatan jodoh antara Kwee
An dan Ma Hoa dan minta pertimbangan orang tua ini. Cin Hai yang tahu bahwa
Kwee An tentu tidak berani bicara sendiri, telah mewakili pemuda itu. Eng Yang
Cu tertawa bergelak-gelak ketika mendengar ini.
“Ha, ha, ha! Aku sudah tahu tentang hal ini
dan Nelayan Cengeng telah berunding denganku. Tentu saja Pinto merasa bersyukur
sekali, dan pinto yakin bahwa murid Si Cengeng ini tentu seorang nona yang baik
asal saja sifat cengeng dari gurunya tidak menurun kepadanya!”
Nelayan Cengeng tertawa bergelak.
“Eng Yang Cu, begitulah kalau orang selamanya
membujang! Tidak tahu akan sifat wanita. Wanita manakah yang tidak cengeng? Ha,
ha, ha!”
Ketika mereka berempat sedang mengobrol
gembira, tiba-tiba terdengar suara yang datangnya dari jauh sekali akan tetapi
cukup jelas,
“Orang Turki dan kedua nona berada di bukit
utara dekat tapal batas!”
Mendengar suara tanpa rupa ini, Cin Hai segera
berlutut memberi hormat ke arah suara itu.
“Siapakah yang bicara dan memiliki khikang
mujijat itu?” tanya Eng Yang Cu.
“Suhu sendiri yang memberi tahu bahwa mereka
berada di utara!” kata Cin Hai yang lalu mengangguk-anggukkan kepala
menghaturkan terima kasih kepada gurunya.
Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saling pandang
dan mereka ini kagum sekali akan kelihaian Bu Pun Su yang telah dapat mengirim
suara dari tempat jauh. Kwee An merasa girang sekali dan setelah kedua orang
tua itu berjanji hendak menghadiri perjodohan mereka, keduanya lalu pergi ke
lain jurusan. Kwee An dan Cin Hai dengan hati girang lalu mempergunakan ilmu
lari cepat untuk menuju ke utara, di mana kekasih mereka telah menanti dengan
hati rindu!
Kwee An dan Cin Hai yang melakukan perjalanan
dengan cepat sekali, beberapa hari kemudian telah tiba di pegunungan di utara
dekat tapal batas. Mereka mulai mencari-cari hingga akhirnya tibalah mereka di dalam
sebuah dusun di dekat lereng tempat tinggal Yousuf. Ketika mereka bertanya
kepada penduduk kampung tentang rumah seorang Turki dengan dua orang nona Han,
mereka segera disambut oleh kepala kampung itu yang juga seorang Han dan
berpakaian sebagai pembesar kampungan. Orang ini bertubuh pendek dan ramah
tamah sekali. Ia menyatakan kenal baik kepada Yousuf karena sering kali saling
mengunjungi dan bercakap-cakap.
Bukan main girangnya hati Kwee An dan Cin Hai
yang menjadi berdebar ketika mengetahui bahwa rumah kekasih mereka telah dekat
di depan! Kepala kampung yang baik hati dan ramah tamah itu bahkan lalu
mengantar mereka menuju ke rumah Yousuf yang berada di lereng sebelah kiri
dusun itu.
Ketika mereka telah melihat rumah kecil indah
yang dikelilingi bunga-bunga itu dari jauh tiba-tiba dari atas bukit yang tak
jauh dari situ terdengar suara pekik burung merak yang nyaring sekali. Cin Hai
teringat akan Nelayan Cengeng tentang Merak Sakti, maka hatinya tertarik sekali
dan ia lalu berkata kepada Kwee An,
“Saudara Kwee An, kau pergilah ke sana dulu
dengan Chungcu (Kepala kampung) aku ingin sekali melihat burung aneh itu.”
Kwee An tersenyum dan ia maklum bahwa selain
tertarik hatinya oleh burung merak itu, juga Cin Hai hendak menyembunyikan rasa
girang dan malunya karena hendak bertemu dengan Lin Lin!
“Akan tetapi jangan terlalu lama,” katanya.
“Aku tidak tanggung jawab kalau adikku marah-marah!”
Cin Hai mendelikkan mata dan melompat cepat ke
arah puncak bukit itu hingga membuat kepala kampung merasa heran dan kagum
sekali! Kwee An sambil tersenyum-senyum melanjutkan perjalanan menuju ke rumah
dengan hati berdebar.
Kebetulan sekali, ketika mereka tiba di dekat
rumah, Kwee An melihat seorang gadis sedang menyirami kembang mawar hutan yang
indah dan sedang mekar dengan segarnya. Gadis ini cantik jelita dan mengenakan
pakaian titik-titik hijau dengan leher berwarna merah. Rambutnya yang hitam
panjang itu disanggul ke belakang dan agak kusut karena tertiup angin gunung,
akan tetapi kekusutan rambutnya ini bahkan menambah kemanisannya. Kwee An
tiba-tiba berhenti dan memberi isyarat kepada kepala kampung itu agar tak
mengeluarkan suara. Kemudian ia menghampiri gadis itu dengan meringankan
tindakan kakinya dari belakang. Setelah berada dekat di belakang gadis itu, ia
telah tak dapat menahan lagi perasaan girang dan debaran jantungnya yang
mengeras, lalu mengeluarkan panggilan yang diucapkan dengan bibir gemetar,
“Hoa-moi...”
Ma Hoa cepat menengok sambil berdiri. Matanya
yang indah dan lebar terbelalak dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah. Tak
terasa lagi tempat air yang tadi dipegangnya terjatuh ke atas tanah dan hanya
dapat berkata,
“Kau... kau... An-ko...” Kemudian, setelah dua
pasang mata itu saling bertemu dan saling pandang dalam seribu satu bahasa dan
sinar mata itu mewakili hati masing-masing dan melepas kerinduan dengan
pandangan mesra, Ma Hoa menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan,
“Koko, mengapa baru sekarang kau datang?”
Ucapan ini biarpun terdengar seakan-akan gadis itu menegur, akan tetapi bagi
telinga Kwee An merupakan sebuah pengakuan bahwa gadis itu telah lama
merindukannya!
“Moi-moi, maafkanlah bahwa baru sekarang aku
dapat menemukan tempat ini. Kau makin cantik dan manis, hingga bunga ini nampak
buruk berada di dekatmu!” Ma Hoa mengerling dengan tajam dan bibirnya tersenyum
senang, karena wanita manakah yang takkan merasa bahagia dan bangga apabila
mendapat pujian dari kekasihnya?
Dalam kebahagiaan pertemuan ini, Kwee An sama
sekali lupa bahwa ia datang dengan kepala kampung yang kini berdiri menjauhinya
dan duduk di atas sebuah batu karena merasa jengah dan malu kalau harus
mendekati mereka. Juga Kwee An lupa untuk bertanya tentang Lin Lin atau Yousuf.
Sebaliknya Ma Hoa juga sama sekali tidak ingat untuk bertanya tentang Cin Hai
atau orang-orang lain. Pendek kata, pada saat itu, mereka merasai bahwa di atas
dunia ini hanya ada mereka berdua saja.
Tiba-tiba, ketika kedua teruna remaja ini
sedang bercakap-cakap dengan suara bisikan mesra, terdengar bentakan keras dari
dalam rumah kecil itu.
“Ada tamu datang! Silakan kau minum air teh,
anak muda!” Dan, berbareng dengan bentakan ini tubuh Yousuf muncul dari pintu
dan orang Turki yang berilmu tinggi ini lalu melempar sebuah poci yang tadi
dipegangnya ke arah Kwee An! Kepala kampung yang tadi duduk, melihat hal ini
lalu bangkit berdiri dan memandang dengan hati kuatir. Ia tahu akan keanehan
sikap orang Turki ini, dan pernah ia mendengar tentang lemparan poci teh dan
mengerti pula akan maksudnya oleh karena dulu pernah ada beberapa orang pemuda
kampung yang tertarik oleh kecantikan kedua orang gadis itu dan datang pula ke
situ. Akan tetapi, mereka ini pun mendapat sambutan lemparan poci teh yang
membuat mereka lari tunggang langgang, oleh karena mereka tak sanggup menerima
poci yang menyambar mereka bagaikan seekor burung yang dapat beterbangan dan
bergerak-gerak!
Ternyata bahwa Yousuf menggunakan poci teh itu
untuk mencoba pemuda yang berani mendekati Ma Hoa atau Lin Lin dan lemparan
poci ini adalah semacam kepandaian sihir yang digerakkan oleh tenaga khikang.
Melihat menyambarnya poci teh ke arah
kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena ia telah merasa datangnya serangan
angin sambaran benda itu.
Namun Kwee An tidak saja telah memiliki ilmu
silat yang cukup tinggi, bahkan kini setelah lama melakukan perjalanan dengan
Cin Hai, ia mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari pemuda itu dan
kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Selain itu, Cin Hai juga memberi
petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekangnya hingga dalam hal tenaga
lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan pesat.
Melihat datangnya poci teh yang menyambar,
Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan ia makin terkejut ketika merasa
betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi ia dapat
mengerahkan lweekangnya dan menerima poci teh dengan baik, bahkan air teh yang
di dalam poci sama sekali tidak tumpah keluar!
“Bagus, bagus! Ma Hoa, siapakah pemuda gagah
ini?” tanya Yousuf yang segera melangkah menghampiri.
“Lekas kauminum air teh dari poci. Ini adalah
Yo-peh-peh,” bisik Ma Hoa. Kwee An tanpa ragu-ragu melakukan apa yang dikatakan
oleh kekasihnya itu dan ia minum air teh dari mulut poci begitu saja tanpa
cawan. Yousuf makin girang dan tertawa bergelak-gelak.
“Yo-peh-peh, ini adalah An-koko yang
seringkali kau dengar namanya itu.”
Yousuf terkejut dan tahu bahwa ia tadi telah
salah sangka. Maka cepat ia menghampiri dan membungkuk. “Maaf, Kwee-taihiap,
aku tua bangka sembrono telah berlaku kurang ajar.”
Akan tetapi, Kwee An dengan hormat sekali
menjura setelah memberikan poci teh kepada kekasihnya dan berkata, “Yo-peh-peh,
setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka kau bukanlah orang lain dan
perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula kepadamu yang baik hati dan berkepandaian
tinggi!”
Yousuf makin girang melihat sikap yang sopan
santun dari pemuda ini, maka ia segera maju memeluknya. “Bagus, Ma-Hoa tidak
keliru memilih. Memang Nelayan Cengeng itu pandai memilih jodoh muridnya!” Ia
lalu melihat kepala kampung itu dan segera memanggilnya, dan beramai-ramai
mereka lalu masuk ke dalam rumah.
“Di mana Lin Lin?” tanya Kwee An dan baru
sekarang ia teringat kepada adiknya. Ma Hoa memandangnya dengan mata berseri
lalu menjawab,
“Entahlah, dia semenjak tadi keluar dengan
Sin-kong-ciak. Sebentar lagi tentu datang. Dan di manakah adanya Si-taihiap?
Mengapa ia tidak datang bersamamu?”
“Kebetulan sekali! Dia tadi mendengar suara
kong-ciak dan pergi mencarinya, tentu ia telah bertemu dengan Lin Lin!”
Ketika Cin Hai lari cepat ke arah puncak di
mana ia mendengar burung merak memekik nyaring, ia mendengar lagi pekik burung
merak itu yang agaknya sedang marah. Cin Hai mempercepat larinya dan ketika ia
tiba di puncak, ia melihat pertempuran yang hebat antara seekor burung merak
yang indah bulunya dan besar sekali melawan seorang hwesio tinggi besar.
Alangkah kaget dan girangnya ketika melihat bahwa hwesio itu bukan lain Hai
Kong Hosiang!
Ternyata bahwa hwesio jahat ini dapat
mengetahui tempat tinggal Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa. Maka timbullah niatnya
hendak mengganggu gadis itu, terutama Lin Lin oleh karena ia tahu bahwa gadis
ini adalah puteri Kwee-ciangkun yang menjadi musuh besarnya! Demikianlah,
ketika ia mengintai ke bukit itu, kebetulan sekali ia melihat Lin Lin dan
burung merak maka segera ia muncul untuk menangkap Lin Lin. Tidak dinyana,
burung merak itu dengan ganas sekali telah menyerangnya dan sebentar saja
manusia dan burung ini bertempur sengit.
Ketika Cin Hai tiba di situ, burung merak
sedang menyambar-nyambar dari atas dan Hai Kong Hosiang melawan dari bawah.
Pertempuran berjalan ramai sekali, akan tetapi ketika Cin Hai memperhatikan, ia
menjadi terkejut oleh karena melibat betapa gerakan burung itu kaku sekali,
seakan-akan telah mendapat luka berat! Memang benar, sebelum Cin Hai datang,
Hai Kong Hosiang yang kosen itu telah berhasil melukai Sin-kong-ciak dengan
sebuah pukulan tangannya. Pukulan ini tepat mengenai dada kanan Merak Sakti itu
dan kalau saja Merak Sakti tidak memiliki kekebalan dan tenaga luar biasa, pasti
ia telah tewas dan dadanya hancur pada saat itu juga! Namun, Merak Sakti telah
mendapat gemblengan luar biasa dari Bu Pun Su dan sutenya yang sakti dan telah
menjadi seekor binatang sakti yang memiliki kekuatan luar biasa maka pukulan
ini biarpun telah melukainya, namun tidak membunuhnya.
Betapapun juga, kepandaian Hai Kong Hosiang
terlampau tinggi baginya dan kini biarpun ia menyambar-nyambar namun ia tidak
berdaya menyerang Hai Kong Hosiang dan bahkan tiap kali mereka bergerak hampir
saja Merak Sakti itu terkena serangan dahsyat dari Hai Kong Hosiang!
Melihat ini Cin Hai menjadi marah dan sekali
loncat saja ia telah berada di dekat tempat pertempuran. Alangkah herannya
ketika melihat seekor kuda yang dikenalnya baik-baik berada pula di situ, makan
rumput hijau tanpa mempedulikan. Kuda itu adalah kuda Pek-gin-ma atau Kuda
Perak Putih kepunyaan Pangeran Vayami yang dulu dibawa oleh Bu Pun Su untuk
dikembalikan kepada yang punya. Ia dapat menduga bahwa kuda ini terjatuh dalam
tangan Hai Kong Hosiang dan dugaannya memang betul. Hai Kong Hosiang datang ke
bukit itu sambil menunggang Pek-gin-ma yang semenjak ia pergi dengan Pangeran
Vayami ke Pulau Kim-san-to, memang telah berada di tangannya dan dipelihara
baik-baik di kota raja.
“Hai Kong Hosiang, mari kita menentukan
perhitungan terakhir hari ini!” kata Cin Hai yang menyambung ucapannya itu
dengan suara halus ke arah Merak Sakti.
“Sin-kong-ciak-ko, biarlah siauwte menghadapi
hwesio gundul kurang ajar ini dan kau beristirahatiah dulu!”
Merak Sakti ini agaknya maklum bahwa pemuda
yang datang adalah seorang yang boleh dipercaya, maka ia lalu terbang ke atas
dahan pohon di dekat situ dan setelah hinggap di situ ia lalu menggunakan paruh
dan kepalanya untuk mengusap-usap dada kanannya yang terluka dan terasa sakit.
Ketika Hai Kong Hosiang melihat siapa yang
datang, bukan kepalang marahnya.
“Bangsat besar, akhirnya aku dapat juga
bertemu dengan engkau!” katanya dan sedikit pun ia tidak merasa jerih.
Memang ia tahu bahwa kepandaian pemuda ini
tinggi sekali sebagaimana telah ia rasakan ketika mereka bertempur di atas
perahu Pangeran Vayami, akan tetapi kini ia telah memiliki ilmu kepandaian
tinggi supeknya.
Setelah mengeluarkan makian marah, Hai Kong
Hosiang lalu maju dengan tongkat ularnya. Cin Hai mencabut pedangnya
Liong-coan-kiam dan menangkis dan sebentar saja kedua orang musuh besar ini
telah bertempur mati-matian di atas bukit itu, disaksikan oleh Sin-kong-ciak
yang bertengger di atas dahan pohon.
Setelah bertempur beberapa puluh jurus, keduanya
tercengang dan kaget melihat kemajuan ilmu silat lawan. Akan tetapi kekagetan
Hai Kong Hosiang lebih besar lagi oleh karena tenaga lweekangnya yang telah
dilatih sempurna itu tidak berdaya menghadapi Cin Hai! Ia merasa betapa pemuda
ini sekarang memiliki tenaga lweekang yang berlipat ganda hebatnya daripada
dulu. Dan ketika Cin Hai membuka serangan dengan ilmu pedangnya yang baru
diciptakannya sendiri itu, maklumlah Hai Kong Hosiang bahwa pemuda ini kini
telah memiliki ilmu kepandaian hampir menyamai tingkat Bu Pun Su sendiri!
Diam-diam ia menjadi bingung dan jerih terutama sekali ketika Cin Hai dengan
senyum sindir berkata “Hai Kong, sekarang kau harus menghadap Supekmu!”
Hai Kong Hosiang maklum bahwa supeknya telah
meninggal dunia dan hal ini membuat ia makin jerih lagi. Ia tak perlu bertanya
bagaimana supeknya meninggal namun dapat menduga bahwa tentulah pemuda ini yang
merobohkannya, kalau tidak, tidak nanti Cin Hai mengeluarkan kata-kata yang
bermaksud melemahkan pertahanannya dan mengacaukan pikirannya itu.
Kemudian dengan nekad Hai Kong Hosiang
menyerang lagi dengan Ilmu Silat Tongkat Jian-coa-tung-hwat atau Ilmu Tongkat
Seribu Ular yang menjadi kebanggaannya. Akan tetapi, serangan dengan ilmu
tongkat ini yang telah dikenal baik oleh Cin Hai, hanya memperlebar senyum di
mulut pemuda itu saja. Ketika Cin Hai mengeluarkan seruan keras dan
menggerakkan jurus ke dua puluh satu dari ilmu pedangnya, tiba-tiba tongkat di
tangan Hai Kong Hosiang terlempar ke udara dan terdengar sayap mengibas karena
ketika melihat tongkat hwesio itu melayang ke atas, Merak Sakti cepat
menyambarnya dan membawa terbang tongkat itu untuk dilempar jauh ke dalam
sebuah jurang yang curam sekali!
Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali dan
tiba-tiba ia berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki
bergerak-gerak di atas! Gerakannya cepat dan hebat, dan kedua kakinya
mengeluarkan tenaga luar biasa karena anginnya saja menyambar-nyambar membuat
daun-daun pohon yang bergantungan di situ bergoyang-goyang seperti tertiup
angin keras!
Namun Hai Kong Hosiang tak dapat
menakut-nakuti Cin Hai dengan ilmunya ini, bahkan pemuda ini lalu dengan
tenangnya menyimpan kembali pedangnya, oleh karena ia tidak mau disebut licin
untuk melawan seorang yang bertangan kosong dengan senjata di tangan! Ia maju
menghadapi Hai Kong Hosiang yang telah berdiri dengan terbalik itu. Hai Kong
Hosiang mengeluarkan seruan keras dan mengerikan lalu kedua kakinya menyambar
dalam serangan-serangan kilat dan maut! Cin Hai lalu menyambutnya dengan Ilmu Silat
Pek-in-hoat-sut yang ajaib, dan benar saja. Ilmu silat yang dilakukan dengan
tubuh terbalik ini tidak berdaya menghadapi Pek-in-hoat-sut dan setiap kali
hawa pukulan kaki itu menyambar dan terpukul kembali oleh uap putih yang keluar
dari sepasang lengan Cin Hai, maka kaki Hai Kong terpental kembali yang membuat
tubuhnya bergoyang-goyang. Cin Hai maklum bahwa dalam keadaan terbalik itu,
agak sukar baginya untuk mencari jalan darah lawan dalam keadaan jungkir balik
itu. Kalau saja Hai Kong Hosiang bertempur sambil berdiri di atas kedua
kakinya, takkan sukar agaknya bagi dia untuk merobohkan hwesio itu.
Tiba-tiba Cin Hai yang semenjak tadi
memperhatikan gerakan Hai Kong Hosiang, mengambil keputusan untuk meniru
gerakan lawannya ini. Segera ia berseru keras dan berjungkir balik, kepala di
atas tanah dan kedua kaki di atas. Dan bertempurlah mereka dalam keadaan aneh
itu dengan hebatnya.
Kembali Hai Kong Hosiang menjadi terkejut
sekali. Bagaimana pemuda ini dapat melakukan ilmu silat ini dengan sama baiknya?
“Siluman!” bentaknya dengan hati ngeri dan
menyerang kembali dengan nekad. Tubuhnya berputar-putar di atas kepala dan
kedua kakinya menyambar-nyambar, akan tetapi oleh karena kini Cin Hai juga
berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan ilmu silatnya ini khusus
diadakan untuk menghadapi seorang yang berkelahi dengan normal, maka semua
pukulan kakinya ini menjadi ngawur saja. Kaki yang tadinya harus menyerang
pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki Cin Hai. Hai Kong
Hosiang benar-benar bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru
keras dan berdiri lagi di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga telah
berdiri dan menyerangnya dengan hebat.
Menghadapi Pek-in-hoat-sut dengan berdiri di
atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tidak kuat menahan lagi dan dengan telak
jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya dan tangan kiri anak muda itu
menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa mengeluarkan suara lalu roboh
terbanting dalam keadaan lumpuh kaki tangannya.
Sebelum Cin Hai dapat mengeluarkan kata-kata
atau menurunkan tangan keras untuk menghabisi jiwa hwesio itu, tiba-tiba Merak
Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini hendak membalas dendamnya oleh
karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang, dan kini sambil memekik-mekik
marah ia menyambar dan mematuk ke arah kedua mata Hai Kong Hosiang. Hwesio ini
biarpun sudah lumpuh kedua kaki tangannya, namun masih mempunyai tenaga untuk
mengguling-gulingkan tubuhnya hingga ia dapat berhasil mengelak paruh merak yang
hendak mematuk matanya.
Cin Hai melangkah mundur dan berdiri di dekat
Pek-gin-ma yang masih enak-enak makan rumput. Sambil bertolak pinggang Cin Hai
melihat pergulatan ini dan berkata, “Kong-ciak-ko, jangan kau habisi jiwanya.
Itu bukan tugasmu.”
Setelah beberapa kali mengguling-gulingkan
tubuhnya untuk menghindarkan kedua matanya dari serangan Merak Sakti, akhirnya
Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah. Sambil mengeluarkan jeritan ngeri, Hai Kong
Hosiang masih berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Patuk yang merah dan
kecil runcing dari Merak Sakti itu telah bergerak dua kali dan kedua mata Hai
Kong Hosiang menjadi buta!
Pada saat itu terdengar seruan girang,
“Hai-ko!”
Cin Hai cepat berpaling dan melihat bahwa yang
berseru, itu bukan lain adalah Lin Lin! Gadis ini ternyata tadi telah terjun ke
dalam sebuah jurang dan bersembunyi ketika diserang hebat oleh Hai Kong
Hosiang! Lin Lin maklum bahwa ia bukan lawan hwesio ini, maka ia berusaha
melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan Yousuf untuk membantunya, akan tetapi
ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan satu-satunya ialah terjun ke dalam jurang
itu! Untung baginya bahwa jurang itu dangkal dan pada saat itu, Sin-kong-ciak
telah datang membelanya.
“Lin Lin...!” Cin Hai berseru girang sekali
dan mereka lalu saling berpegang tangan dengan hati penuh kebahagiaan. “Lihat,
Hai Kong yang jahat pun harus makan buah yang ditanamnya sendiri!” Mereka
sambil berpegang tangan menonton betapa Merak Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.
Setelah berhasil membalas sakit hatinya Merak
Sakti terbang melayang ke atas dan memekik-mekik girang. Dan pada saat itu,
dari lereng bukit berlari-lari Kwee An, Ma Hoa, dan Yousuf menuju ke tempat
itu. Mereka juga mendengar pekik Merak Sakti dan merasa kuatir, maka ketiga
orang ini lalu berlari cepat menyusul Cin Hai.
Melihat Hai Kong Hosiang telah rebah di tanah
dengan mata buta dan tak berdaya lagi Kwee An lalu mencabut pedangnya dan
hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu, akan tetapi tiba-tiba Ma Hoa menjerit,
“Koko, jangan!”
Kalau orang lain yang mencegah, mungkin takkan
dihiraukan olah Kwee An yang merasa marah sekaii, akan tetapi suara Ma Hoa ini
mempunyai pengaruh yang melemaskan tubuhnya dan memadamkan api kemarahannya.
“Jangan, An-ko, biarlah kita ampuni jiwa
anjing ini agar jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!”
Kwee An memandang kepada kekasihnya lama
sekali, kemudian ia menghela napas dan berpaling kepada Lin Lin. Ia melihat
betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan dengan Cin Hai juga
tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu
hanya saling pandang dengan bingung.
Yousuf tertawa. “'Anak-anak! Demikianlah
seharusnya orang yang mempunyai pribadi tinggi. Jangan terlampau mengandalkan
kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa
besar pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan
mengadili segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur
sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!”
Cin Hai merasa kagum sekali mendengar ucapan
ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya mendekati Yousuf. “Ayah,
inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah
angkatku!”
Cin Hai memberi hormat dan dibalas dengan
selayaknya oleh Yousuf. Tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan
bergulingan sambil mulutnya berteriak, “Bangsat-bangsat rendah, kaukira aku
takkan dapat membalas dendam? Tunggulah pembalasanku!” Sambil memaki-maki dan
berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan
tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang dalam!
“Nah, begitulah hukuman seorang jahat!” kata
lagi Yousuf dan ia lalu mengajak mereka semua kembali ke rumahnya. Cin Hai tak
lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.
Malam yang indah. Bulan bersinar gemilang dan
penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang, akan tetapi lebih indah.
Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.
Di bawah pohon nampak dua orang muda berdiri
dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini adalah Lin Lin dan Cin
Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling menuturkan
pengalaman masing-masing diselingi pandang yang menyatakan betapa besarnya
cinta kasih mereka. Ketika Lin Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis
ini menangis karena terharu dan kasihan, hingga Cin Hai lalu mengelus dan
membelai rambutnya sambil berkata,
“Lin Lin kita tak boleh melupakan Ang I Niocu
yang telah mengorbankan jiwa dalam usahanya mempertemukan kita. Akan tetapi,
kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biarpun ia telah pergi ke alam akhir, akan
tetapi dia meninggalkan sesuatu untuk kita buat kenangan.”
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu
mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang ditemukan di
permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap kain itu ke
dadanya. “Enci Im Giok....” bisiknya, “kau... kau di manakah?” Kemudian,
matanya terbelalak memandang kepada Cin Hai sambil berkata, “Engko Hai, aku
tidak percaya bahwa Enci Im Giok telah meninggal dunia! Kalau aku tidak melihat
jenazahnya dengan mata kepala sendiri aku tidak percaya seorang seperti dia
dapat meninggal dunia!”
Cin Hai menghela napas dan menjawab,
mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan tetapi, menghadapi ledakan dan
kebakaran hebat itu, manusia manakah yang sanggup menyelamatkan dirinya?”
Untuk beberapa lama mereka berdiam diri,
seakan-akan berdoa kepada Thian Yang Maha Kuasa untuk keselamatan Ang I Niocu
yang mereka sayang. Kemudian, setelah keharuan hati agak mereda, Lin Lin lalu
menceritakan kepada kekasihnya tentang pertemuannya dengan Bu Pun Su dan
tentang pedang pendek Han-le-kiam yang dibuat oleh kakek sakti dan diberikan
kepadanya. Kemudian ia berkata,
“Hai-ko, Suhumu berpesan agar supaya engkau
memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku, karena setelah aku memiliki pedang ini
aku berhak mempelajari ilmu pedangnya.”
Cin Hai menghela napas dan berkata, “Lin-moi,
ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu, aku diharuskan
bersumpah.”
“Aku pun bersedia bersumpah!” memotong Lin Lin
sambil cemberut.
Cin Hai tersenyum. “Bukan begitu maksudku
Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa selain harus mempergunakan ilmu
kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan juga aku tidak boleh mengajarkan
kepada orang lain, siapapun juga orang itu.”
“Apa kau tidak percaya kepadaku?” Lin Lin
memotongnya lagi.
Cin Hai memegang lengan kekasihnya. “Kau harus
belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya hendak menyatakan kepadamu bahwa apabila
bukan atas kehendak Suhu sendiri, biarpun di dalam hati aku ingin sekali
memberi pelajaran kepadamu, namun aku takkan berani. Sekarang Suhu bahkan
menyuruh aku memimpinmu, tentu saja aku merasa girang dan berbahagia! Akan
tetapi, oleh karena sudah menjadi keharusan, kau pun harus mengucapkan sumpah,
Lin-moi. Dengan demikian, biarpun Suhu tidak menyaksikan sendiri akan tetapi
kita tidak melakukan pelanggaran, oleh karena syarat terutama bagi seorang
murid kepada gurunya yang terpenting ialah ketaatan dan kesetiaan!”
Lin Lin mengangguk girang. Kemudian ia lalu
memegang pedang pendek Han-le-kiam itu dengan kedua tangannya, diangkatnya
tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut. Dengan suaranya yang nyaring dan
merdu, dara jelita itu bersumpah,
“Teecu Kwee Lin, dengan disaksikan oleh Pedang
Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, disaksikan pula oleh Hai-ko, dan oleh
bulan purnama, oleh langit dan bumi, teecu bersumpah bahwa apabila teecu telah
mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang dari Hai-ko sebagai wakil Suhu Bu Pun
Su, kepandaian itu akan teecu pergunakan semata-mata untuk menjaga diri dari
serangan orang jahat, untuk menolong sesama hidup yang menderita, untuk
membasmi penjahat-penjahat dan penindas rakyat.”
Cin Hai menyaksikan sumpah ini sambil berdiri
di bawah pohon dan memandang dengan wajah sungguh-sungguh.
Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil
di lereng bukit itu.
Keadaan di bukit itu demikian indahnya hingga
Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali. Mereka mengambil keputusan untuk
berdiam di tempat indah itu beberapa bulan sebelum mengajak dua orang gadis
kekasih mereka kembali ke pedalaman.
Dan mulai keesokan harinya Cin Hai mengajarkan
ilmu-ilmu silatnya yang ia dapat dari Bu Pun Su. Akan tetapi, untuk dapat memiliki
kepandaian mengenai dasar ilmu silat sebagaimana yang telah ia miliki, bukanlah
pelajaran yang dapat difahamkan dalam beberapa bulan saja, maka Cin Hai lalu
menurunkan Ilmu Pukulan Pek-in-hoat-sut dan Kong-ciak-sin-na kepada Lin Lin.
Juga memberi pelajaran ilmu pedang yang telah diciptakannya sendiri itu.
“Apakah namanya kiam-hoat (ilmu pedang) ini?”
tanya Lin Lin.
Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh,
oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga tidak tahu. Ia telah ciptakan ilmu
pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang luar biasa itu telah berjasa ketika
digunakan dalam pertempuran hebat menghadapi Kiam Ki Sianjin yang tangguh akan
tetapi sampai sekarang, ia sendiri masih belum tahu apa nama ilmu pedang ini.
“Eh, kenapa kau bengong saja?” Lin Lin
bertanya. “Kau bilang bahwa kau sendiri pencipta ilmu pedang ini, masa tidak
tahu namanya?”
“Lin-moi, bayi yang baru terlahir tidak
membawa nama pula.”
Lin Lin tertawa geli. “Jadi kauanggap ilmu
pedangmu seperti bayi? Kalau begitu kau terlambat memberi nama kepada bayimu!
Jangan-jangan ia sudah jenggotan masih belum mempunyai nama!”
Cin Hai tertawa juga mendengar kelakar ini,
kemudian ia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
“Lin-moi ilmu pedang ini kuciptakan atas
anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak dia yang mendesak dan memberi
saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku takkan bisa menciptakan
kiam-hoat sendiri. Pada waktu aku menciptakan kiam-hoat ini, selain Ang I Niocu
yang memberi petunjuk-petunjuk, juga aku mendapat bantuan yang amat berharga
dari daun-daun bambu.”
Lin Lin merasa heran sekali mendengar ini,
hingga Cin Hai harus menceritakan bagaimana ia mencipta ilmu pedangnya itu, dan
betapa Ang I Niocu telah memberi petunjuk-petunjuk pula tentang gaya gerakan
untuk memperindah kiam-hoatnya.
“Aku telah mempelajari Tari Bidadari dari Ang
I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni suara, aku pun suka seni tari.
Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh bedanya dengan seni tari, atau boleh
kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni tari yang tidak saja mempunyai
gerakan indah dan manis dipandang, akan tetapi juga memerlukan bakat dan darah
seni untuk dapat melakukannya dengan sempurna. Bedanya antara keduanya itu,
yaitu antara tarian biasa dan ilmu silat adalah bahwa tarian hanya membayangkan
keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus mengatur gerakan kaki tangan yang
keseluruhannya ditujukan untuk menjadi gerakan yang cepat dalam menyerang dan
menangkis atau mengelak.”
“Eh, eh, Hai-ko, biarpun uraianmu itu amat
menarik, akan tetapi telah melantur jauh daripada inti percakapan kita semula,”
kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum karena melihat betapa pandangan mata
pemuda itu telah melayang jauh seperti orang melamun. “Kalau kau bercakap
seperti ini, kau seperti seorang kakek-kakek saja.” Cin Hai bagaikan terbetot
kembali dari alam renungan dan ikut tersenyum pula. “O ya, kita sedang
mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang
terbaik? Akan tetapi, apa pula artinya memberi nama yang indah?” ia mencela
sendiri.
Tak tertahan pula geli hati Lin Lin hingga ia
tertawa. “Bagaimana sih kau ini? Berbantah-bantah seorang diri, seakan-akan
dalam dirimu terdapat dua orang yang sedang bertengkar!”
“Biarlah kuberi nama Ilmu Pedang Daun Bambu
saja!”
Sepasang mata Lin Lin yang indah itu bersinar
gembira. “Alangkah lucu dan anehnya nama itu. Ilmu Pedang Daun Bambu! Aneh
seperti... penciptanya!”
Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.
“Apa? Apakah dalam pandanganmu aku ini orang aneh?”
“Memang, aneh sekali! Karena di seluruh dunia
ini tak mungkin aku bertemu dengan seorang pemuda seperti engkau. Kau berbeda
dengan orang-orang lain, bukankah itu aneh namanya?”
“Kalau begitu sama saja dengan kau. Aku pun
belum pernah dan rasanya takkan pernah bertemu dengan gadis seperti engkau,
semanis kau, secantik kau, dan se... nakal engkau!”
Lin Lin mengulurkan tangan dan jari-jari yang
halus itu mencubit lengan Cin Hai yang tertawa dengan hati beruntung.
“Sudahlah, Moi-moi, kalau kita bersendau-gurau
saja, sampai kapan kau akan depat menghafal pelajaran Kim-hoatmu?”
“Tapi aku tidak suka nama kiam-hoat itu. Ilmu
Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku bertanding dengan seorang lawan
mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan itu kalah hingga aku menjadi bangga,
tetapi apabila lawan yang kalah itu bertanyakan nama ilmu pedangku bukankah
kebanggaanku akan musnah dan terganti rasa malu kalau aku menyebutkan bahwa
ilmu pedang yang hebat itu, yang telah mengalahkannya, namanya tak kurang tak
lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu saja? Murah sekali!”
“Apa yang murah?”
“Daun bambu itu!”
Cih Hai hanya tertawa. “Kalau begitu, biarlah
ilmu pedangku ini dirubah sedikit dan disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu
serta dengan pedangmu yang pendek ini. Kemudian, setelah kau dan aku
menciptakan ilmu pedang baru berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, kau lalu
memberi nama sendiri. Bagaimana?”
Bersinar-sinar mata Lin Lin mendengar ini.
“Bagus! Hai-ko! Bagus, aku sudah dapat nama itu!”
Cin Hai terheran. ”Sudah ada namanya? Ini
lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah diberi nama! Apakah namanya?”
“Namanya Han-le Kiam-sut, sesuai dengan nama
pedang pemberian Suhu.”
Cin Hai merasa girang karena menurut
pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali. Demikianlah, mulai saat itu Cin
Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin, berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu,
akan tetapi diadakan perubahan di sana-sini untuk disesuaikan dengan pedang
pendek di tangan Lin Lin. Memang gerakan-gerakan pedang pendek berbeda dengan
pedang panjang, karena pedang pendek yang merupakan sebilah belati atau pisau
itu harus dipergunakan lebih cepat agar jangan didahului oleh ujung senjata
yang lebih panjang. Senjata yang pendek ini harus dipergunakan dalam
pertempuran secara mendekat dan rapat baru dapat berhasil, dan ini pun ada
kebaikannya, oleh karena dalam menghadapi seorang lawan yang bersenjata toya,
lebih menguntungkan apabila menghadapinya dengan rapat hingga gerak senjata
yang panjang itu menjadi kurang leluasa. Sudah tentu hal ini membutuhkan
keberanian dasar dan ketenangan serta kewaspadaan, juga terutama sekali harus
memiliki ginkang (ilmu meringankan badan) yang tinggi hingga gerakan bisa
dilakukan dengan lincah dan cepat.
Akan tetapi, Lin Lin memang telah mempelajari
dasar ilmu silat yang cukup baik dan tinggi serta ginkangnya memang sudah
hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk dan latihan lweekang dan ginkang, maka
dalam beberapa hari saja ilmu kepandaiannya telah maju dengan pesatnya.
Tidak hanya Cin Hai dan Lin Lin yang hidup
penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah itu. Kwee An dan Ma Hoa juga hidup
dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua saling mencinta dan saling
mengindahkan, saling menghormati dan seperti halnya Cin Hai dan Lin Lin, kedua
teruna remaja ini pun bergaul dengan mesra akan tetapi penuh kesopanan dan
jangankan dalam perbuatan, bahkan dalam pikiran pun sama sekeli tidak terdapat
hal-hal yang melanggar norma kesusilaan. Hal ini membuat Yousuf merasa girang
dan kagum sekali. Diam-diam orang tua ini, seperti halnya orang-orang tua lain,
amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu. Tadinya timbul juga perasaan
curiga dan tidak senang melihat pergaulan yong bebas itu, yang tak dapat
dilarangnya oleh karena memang sudah biasa bagi orang-orang gagah untuk bergaul
secara bebas akan tetapi, melihat betapa keempat anak muda itu bergaul dengan
penuh kesopanan, ia menjadi kagum sekali. Makin yakin dan pasti perasaan
hatinya bahwa mereka itu memang cocok untuk menjadi jodoh masing-masing,
sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan sama-sama sopan pula!
Biarpun selalu memilih tempat terpisah dari
Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan Ma Hoa berjalan-jalan di pegunungan
yang luas itu, menikmati keindahan tamasya alam sambil membicarakan tentang
ilmu silat. Tak jarang mereka berlatih bersama, saling mengisi kekurangan dan
saling belajar. Pada saat itu, tingkat kepandaian Kwee An lebih tinggi
setingkat dari Ma Hoa, maka ia lalu memberi pelajaran kepada kekasihnya itu.
Telah beberepa hari ini, Ma Hoa selalu
melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas pundaknya. Rambutnya
yang indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan keharuman bunga yang
selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi semenjak malam terang bulan di waktu
ia berjalan-jalan bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan yang sejuk. Angin
gunung bertiup perlahan dan tiba-tiba ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga
rambutnya itu terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali ia berdiri menghadapi
bulan hingga mukanya tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua
tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang berdiri
memandangnya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,
“Jangan... jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi,
biarkan saja...”
“'Eh, eh, kau kenapa, An-ko?” tanya Ma Hoa
dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang telah dipegangnya.
“Kau...kau nampak cantik sekali dalam keadaan
seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam berombak-ombak di
sekitar lehermu, melambai tertiup angin, seakan-akan setiap lembar rambut itu
hidup dan bernyawa kau seperti seorang bidadari yang baru turun dari surga.
Demi segala kecantikan dan keindahan, jangan kausanggul rambutmu, Moi-moi,
biarkan saja terurai di atas kedua pundakmu!”
Sampai bertitik dua butir air mata dari mata
Ma Hoa karena amat terharu dan girang mendengar pujian yang keluar dari mulut
kekasihnya ini dan semenjak saat itu ia berjanji tidak akan menyanggul
rambutnya lagi. Tentu saja ia tidak memberi tahu kepada orang lain tentang hal
ini dan hanya mengatakan bahwa ia lebih suka mengurai rambutnya. Lin Lin dan
Cin Hai, juga Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang
berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat
telur.
Pada suatu hari, ketika Kwee An dan Ma Hoa
sedang berdiri sambil mengagumi pemandangan di sebuah lereng yang baru kali itu
mereka datangi, menikmati pemandangan yang ditimbulkan oleh matahari yang baru
saja muncul hingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki
bukit dengan tindakan kaki cepat sekali. Keduanya merasa terkejut oleh karena
kedua orang itu lari cepat sekali, tanda ginkang mereka sudah mencapai tingkat
tinggi. Keduanya lalu berdiri menanti dengan hati berdebar-debar dan
menduga-duga, siapa gerangan orang asing itu. Ketika mereka datang dekat Kwee
An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah seorang hwesio gundul yang tua dan
seorang laki-laki muda yang rambutnya juga panjangterurai tertiup angin. Selain
berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali, potongan
baju itu berbeda dengan pakaian bangsa Han yang biasa dipakai orang. Juga
kakinya mengenakan sepatu yang panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi
gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di sebelah
bawah hwesio gundul itu.
Agaknya kedua pendaki bukit yang aneh itu pun
telah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka segera menujukan ke arah kedua
anak muda itu. Setelah tiba di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang memandang heran,
hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,
“Jiwi mohon tanya di mana rumah seorang Turki
bernama Yousuf?”
Kwee An dan Ma Hoa saling pandang, sedangkan
orang muda berambut panjang itu memandang Ma Hoa dengan sinar mata kagum yang
tidak disembunyikan.
“Suhu ini siapakah dan apakah perlunya mencari
rumah Yo-sianseng?” tanya Kwee An yang berlaku hati-hati karena menaruh curiga
kepada dua orang pengunjung ini.
“Eh, siapakah nama Nona yang cantik seperti
bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan indah, alangkah bagusnya,”
kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum. Suaranya juga aneh, karena
terdengar seperti suara wanita halus dan merdu, akan tetapi tak dapat
disangsikan lagi bahwa dia adalah seorang pria, karena selain potongan tubuhnya
yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di
lehernya yang takkan terdapat pada leher seorang wanita.
Ma Hoa menjadi marah sekali dan memandang
dengan mata bernyala. Ia hendak menegur dan mendamprat, akan tetapi Kwee An
memberi isyarat agar supaya ia bersabar.
”Pinceng hendak mencari dua orang gadis yang
berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua orang nona bernama Ma
Hoa dan Lin Lin?”
Makin curiga dan terkejutlah Kwee An dan Ma
Hoa mendengar pertanyaan ini.
“Akulah yang bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku
ada keperluan apakah?”
Tiba-tiba mata hwesio itu terbelalak dan ia
tertawa terbahak-bahak dengan girang. “Ha, ha, ha! Dicari-cari sampai pusing
tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya
memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!”
Bukan main terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa
mendengar ini, karena sungguh tak pernah mereka sangka bahwa hwesio tua ini
mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat!
Kwee An melompat maju dengan marah. “Hwesio
tua? Apa maksud kata-katamu yang jahat itu? Siapakah kau dan mengapa kau
datang-datang mengandung maksud yang buruk dan jahat?”
“Buka lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng
adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku. Muridku itu terbunuh mati
oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari dua orang pembunuh itu
untuk maksud apa lagi?” Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio tertawa lagi
bergelak. “Dan ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, pendekar
gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah adik sepupu Pangeran Vayami dan datang
hendak membalas dendam kepada Yousuf! Karena Yousuf orang Turki itulah yang
telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan mungkin orang Turki itu pula yang
telah membunuh Pangeran Vayami!”
Bukan main marahnya Kwee An mendengar ucapan
ini. “Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang jahat? Pantas muridnya jahat, tidak
tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran dangkal! Adapun
pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu
kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku wakilnya!”
“Bagus!” Bo Lang Hwesio membentak marah dan ia
segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim serangan kilat!
“Bo Lang Suhu, jangan kaubunuh bidadari itu,
tangkap hidup-hidup untukku!” teriak Ke Ce sambil menyerbu dan menyerang Kwee
An.
“Ha, ha, ha, dasar kau mata keranjang!” kata
Bo Lang Hwesio.
Ma Hoa terkejut melihat serangan Bo Lang
Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap pundaknya, karena serangan ini
mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum bahwa lweekang hwesio tua ini
tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka ia cepat mempergunakan
ginkangnya untuk melompat ke pinggir dan mengelak. Sementara itu, Kwee An
dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan kagum
karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur
karena hebatnya tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya
bahwa pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga dalam yang demikian besarnya
hingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia lalu membalas dengan
serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini
lawannya bukan orang lemah.
Pada waktu Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang,
Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing gunung yang curam sekali
hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka maka ketika mereka
berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi tebing itu hingga keadaan
mereka amat berbahaya. Hal ini pun diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce,
maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak memberi kesempatan kepada dua orang
muda itu untuk berpindah tempat. Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari
serbuan Ke Ce dengan ilmu silatnya yang tinggi, bahkan ketika ia membalas dengan
serangan-serangannya, Ke Ce menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas
untuk menghindarkan diri dari kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan
gesit dan tak terduga sama sekali itu. Akan tetapi Ma Hoa yang menghadapi Bo
Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali hingga gadis ini makin mundur
mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat hal ini, merasa
kuatir sekali, maka ia segera mengirim serangan kilat dengan tipu gerakan
menyerampang dengan kaki kanan dan membarengi memukul dengan tangan kanan
hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan Ikan Leehi Melompati Ombak.
Tubuh pemuda berambut panjang itu melompat ke atas dan berjungkir balik ke
belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari serangan Kwee An yang berbahaya
tadi.
Kesempatan ini digunakan oleh Kwee An untuk
melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru, “Hoa-moi, hati-hati di belakangmu
tebing!” Sambil berseru demikian, ia lalu menyerbu untuk menahan serangan Bo
Lang Hwesio yang lihai itu. Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah
mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang berupa dorongan dengan kedua telapak
tangan dibarengi bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor harimau mengaum!
Kwee An merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin
yang luar biasa hingga ia terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang
Hwesio yang tahu bahwa Kwee An memiliki ilmu kepandaian cukup lihai, lalu
mengejar dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang sedang
terhuyung ke belakang itu! Ma Hoa menjerit ngeri melihat ini karena tendangan
ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee An tak dapat mengelak lagi.
Akan tetapi, Kwee An telah memiliki ketenangan dan kepandaian yang hampir
sempurna, maka ketika merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, ia
berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit bagaikan seekor burung
walet. Cara menghindarkan diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga
oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga tak terasa lagi hwesio ini mengeluarkan seruan
kagum.
Akan tetapi, selagi tubuh Kwee An masih berada
di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi dengan pukulan atau dorongan kedua
telapak tangan dibarengi bentakan hebat tadi. Kembali Kwee An merasa betapa
besar tenaga yang mendorongnya sedangkan pada saat itu tubuhnya masih terapung
di udara. Tanpa dapat dicegah lagi ia terdorong mundur dan ketika tubuhnya
melayang turun, ia telah berada di sebelah sana tebing. Ma Hoa menjerit lagi
dengan lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata ia telah
menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh Kwee An yang
sudah meluncur ke bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak dapat diukur
dalamnya.
Ketika, Kwee An melihat betapa tubuh Ma Hoa
juga jatuh menyusulnya, ia segera mengulur tangannya. Ma Hoa menangkap tangan
itu dan keduanya meluncur terus ke bawah sambil saling berpegangan tangan.
Entah bagaimana, setelah mereka berpegang tangan, rasa takut karena terjatuh
itu lenyap sama sekali. Inilah daya rasa cinta yang besar dan ia mengalahkan
segala rasa takut, bahkan maut sendiri tak dapat melenyapkan perasaan sentausa
dan aman yang ditimbulkan oleh rasa cinta.
Melihat betapa Ma Hoa ikut meloncat ke dalam
jurang yang curam itu, Ke Ce menyatakan penyesalannya. “Sayang... sayang sekali…
katanya, akan tetapi sebaliknya Bo Lang Hwesio tertawa bergelak.
“Boan Sip, muridku!” teriaknya bagaikan gila
sambil berdongak ke atas memandang awan, “seorang pembunuhmu telah tewas,
kauterimalah nyawanya, kini tinggal yang seorang lagi!”
“Pendeta jahat dan rendah! Kau apakan kedua
anak muda itu?” tiba-tiba terdengar suara yang keras dan Yousuf yang berlari
mendatangi telah berada di situ. Dari jauh tadi ia telah melihat betapa Kwee An
dan Ma Hoa terguling ke dalam jurang, maka alangkah marah dan terkejutnya.
Ketika ia memandang kepada pemuda berambut panjang itu, ia berkata lagi, “Hm,
Ke Ce, kau juga menempuh kejahatan, apakah kau tidak takut akan tertimbun oleh
dosa?”
Melihat kedatangan Yousuf, Ke Ce menjadi marah
sekali. “Bangsat rendah!” ia memaki. “Kaulah yang berdosa besar, kau telah
merintangi kehendak Kakanda Vayami yang suci, bahkan kau telah memberanikan
diri untuk berusaha merampas Pulau Kim-san-to!” Sambil berkata demikian, Ke Ce
lalu menerjang dan menyerang dengan sengit. Yousuf yang merasa gelisah
memikirkan nasib Kwee An dan Ma Hoa, segera menyambutnya dan membalas dengan
serangan yang tak kalah hebatnya. Melihat bahwa kegesitan dan tenaga orang
Turki ini masih mengatasi Ke Ce, Bo Lang Hwesio tidak mau membuang waktu lagi
dan segera maju mengeroyok.
“Majulah, majulah! Biar kubinasakan sekalian
kau hwesio jahat, untuk membalaskan kedua anak muda itu!” teriak Yousuf dengan
gemas karena kalau ia teringat akan kedua anak muda yang dilihatnya terguling
ke dalam jurang tadi, ia rasanya mau menangis dan berteriak keras.
Akan tetapi, ia segera terkejut sekali oleh
karena ilmu kepandaian dan tenaga hwesio gundul ini benar-benar lihai sekali.
Baru menghadapi Ke Ce saja, mungkin setelah bertempur lama baru ia akan dapat
mengalahkannya, apalagi sekarang ditambah dengan Bo Lang Hwesio yang tingkat
kepandaiannya lebih tinggi lagi.
Tak terasa lagi Yousuf lalu mengumpulkan
khikangnya dan berseru memanggil, “Lin Lin…! Cin Hai...!! Lekas ke sini...!!”
“Ha, ha, ha! Kau memanggil kawan-kawanmu, ha,
ha!” Ke Ce menyindir dengan tertawa menghina, “Panggillah semua agar lebih puas
hatiku membasmi kau sekalian kaki tanganmu.”
Akan tetapi Bo Lang Hwesio menjadi girang
sekali ketika mendengar nama Lin Lin disebut. Akan terlaksana agaknya usaha
membalas dendam kali ini. Kalau benar-benar yang bernama Lin Lin itu adalah
Kwee Lin pembunuh muridnya, maka akan bereslah tugasnya membalas dendam.
Teriakan Yousuf itu dilakukan dengan tenaga
khikang sepenuhnya, maka suaranya bergema keras dan dapat terdengar sampai di
tempat jauh. Ketika itu, Lin Lin dan Cin Hai sedang berlatih ilmu pedang di
dekat rumah, maka ketika mendengar teriakan memanggil ini, keduanya terkejut
sekali. Lin Lin lalu segera meloncat tanpa membuang waktu lagi, sambil membawa
Han-le-kam di tangan kanannya. Cin Hai juga lalu meloncat bahkan ia mendahului
Lin Lin oleh karena ia maklum bahwa Yousuf berada dalam bahaya. Pendengarannya
yang lebih tajam daripada pendengaran Lin Lin dapat menangkap suara yang penuh
kecemasan itu.
Cin Hai yang datang lebih dulu dari pada Lin
Lin, ketika melihat Yousuf didesak dan dikeroyok dua oleh seorang hwesio dan
seorang gagah yang berpakaian aneh dan berambut panjang, tanpa banyak cakap
lagi lalu menyerbu karena ia melihat betapa kedua orang lawan Yousuf itu tangguh
dan hebat ilmu silatnya. Ia tidak mau mencabut pedangnya karena melihat betapa
ketiga orang itu pun bertempur dengan tangan kosong dan memang menjadi
pantangan bagi Cin Hai untuk melawan musuh yang bertangan kosong dengan
menggunakan senjata. Apalagi memang dengan kedua tangannya ia cukup kuat
menghadapi musuh yang bagaimana lihai pun, maka kalau tidak sangat terpaksa, ia
tidak mau menggunakan Liong-coan-kiam.
Sebaliknya, ketika Bo Lang Hwesio dan Ke Ce
melihat sepak terjang anak muda ini, mereka terkejut sekali karena baik
kegesitan maupun tenaga Cin Hai benar-benar luar biasa, dan membuat mereka
menjadi gentar! Bo Lang Hwesio menjadi penasaran oleh karena belum pernah ia
melihat seorang yang masih begini muda dapat memiliki ilmu kepandaian yang lebih
tinggi darinya, maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan ilmu
kepandaian untuk menghadapi Yousuf seorang diri dan pertempuran berjalan seru
dan hebat!
Tak lama kemudian sampailah Lin Lin di tempat
pertempuran dan begitu melihat bahwa yang sedang bertempur melawan Cin Hai
adalah hwesio tua yang telah dikenalnya sebagai guru Boan Sip, ia segera
berteriak keras, “Hai-ko, iblis tua itu adalah Bo Lang Hwesio, suhu dari Boan
Sip yang jahat!”
Cin Hai terkejut sekali dan tanpa terasa ia
melompat mundur. Juga Bo Lang Hwesio yang melihat Lin Lin, segera bertanya,
“Apakah kau yang bernama Kwee Lin dan yang telah membunuh muridku?”
“Benar!” jawab Lin Lin tanpa takut sedikitpun
juga. “Aku dan Ma Hoa telah menghancurkan kepala Boan Sip, kau mau apa?”
“Celaka dan sayang'“ tiba-tiba Ke Ce yang juga
berhenti sebentar dan bersama Yousuf memperhatikan percakapan mereka berkata,
“Mengapa musuh-musuhmu demikian cantik-cantik seperti bidadari, Bo Lang Suhu?
Celaka, celaka dan sayang sekali!”
“Anak muda!” kata Bo Lang Hwesio kepada Cin
Hai. “Kau mendengar sendiri bahwa Nona itu adalah pembunuh muridku, maka jangan
kau ikut campur. Biarkan aku bertempur mengadu jiwa dengan dia!” Ucapan ini
secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia merasa jerih terhadap Cin Hai yang
lihai.
Akan tetapi sambil tersenyum, Cin Hai
menjawab, “Bo Lang Hwesio, ketahuilah bahwa kalau kiranya aku bertemu dengan
muridmu itu, aku pun tentu akan membunuhnya untuk yang kedua kalinya! Muridmu
adalah pembunuh keluarga nona ini, dan kebetulan sekali ibu nona ini adalah
bibiku pula! Muridmu telah membunuh keluarganya dan dia telah membalas dan
membunuh muridmu yang murtad itu, bukankah ini sudah pantas? Kalau sekarang kau
membela murid jahat itu, maka banyak kemungkinan semua orang akan menuduh bahwa
kaulah orangnya yang salah mendidik murid itu! Peribahasa menyatakan bahwa
pohon yang tidak sehat menghasilkan buah yang masam, berarti bahwa guru yang
buruk tentu menjadikan muridnya jahat pula.”
Merahlah muka Bo Lang Hwesio mendengar ini karena
marahnya.
“Jangan banyak cakap, kalau kau mau membela
perempuan ini, pinceng pun tidak takut!”
“Hai-ko, biarkan aku melawan sendiri pendeta
siluman ini dengan pedangku!” Lin Lin berseru dan Cin Hai yang maklum bahwa
gadis ini tentu hendak mencoba Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut yang baru
dipelajarinya, segera berpikir bahwa baik juga membiarkan gadis itu mencoba
ilmu pedangnya karena ia telah memberi latihan ginkang dan lweekang. Akan
tetapi oleh karena ilmu pedang itu baru saja dipelajari hingga tentu saja belum
matang dan sempurna ia lalu berkata,
“Baik, Moi-moi, kaulawanlah dia, kalau dia
terlalu berat bagimu, baru aku yang akan turun tangan!”
Dengan seruan garang, Lin Lin lalu maju
menerjang dengan pedang Han-le-kiam. Ketika mencipta ilmu pedang ini, Lin Lin
yang berwatak jenaka dan gembira itu telah memberi nama pada tiap jurus dan
gerakan bersama dengan Cin Hai. Maka muncullah sebutan-sebutan aneh dan lucu
dalam tiap gerakan yang hanya dikenal dan dimengerti oleh Lin Lin dan Cin Hai.
Ada gerak tipu-gerak tipu yang diberi nama Cin-hai-kwa-houw atau Cin Hai
Menunggang Harimau, ada Pula Lin-lin-chio-cu atau Lin Lin Merebut Mustika,
bahkan ada nama Ang-i-lo-be atau Ang I Niocu Turun Dari Kuda. Ketika ia
menerjang maju, ia menggunakan tipu gerakan Lin Lin-chio-cu, tangan kanan yang
memegang pedang menusuk tenggorokan Bo Lang Hwesio, sedangkan tangan kiri bukan
diangkat ke belakang sebagai imbangan badan, akan tetapi bahkan melaksanakan
serangan pula dengan sebuah gerakan dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na. Hebatnya
Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut ini ialah perkembangan atau perubahannya yang
benar-benar tidak terduga dan semua serangan hanya merupakan pancingan belaka
yang kemudian disusul menurut gerak dan serangan pembalasan lawan. Maka ketika
Bo Lang Hwesio yang mempergunakan kedua ujung lengan bajunya, mengebut ke arah
pedang pendek yang menyambar tenggorokan sedangkan lengan kiri dengan tenaga
lweekang sepehuhnya menghantam pergelangan tangan Lin Lin yang mencengkeram
dada, tiba-tiba pedang pendek itu telah meluncur ke bawah mengubah sasaran dan
kini bergerak menusuk iga kiri, sedangkan tangan kiri dara itu yang tadi
mencengkeram dada ketika hendak dihantam oleh tangan Bo Lang Hwesio, tiba-tiba
ditarik mundur dan terus diluncurkan ke atas dengan dua jari terbuka, mengarah
kedua mata lawan.
Bukan main terkejutnya hwesio itu melihat
perubahan gerakan yang sekaligus mematahkan serangan atau tangkisannya itu dan
yang terus dilanjutkan dengan serangan lain. Ia cepat mengebutkan ujung lengan
bajunya yang panjang untuk menangkis dan membelit pedang lawan yang mengarah
iga kirinya, sedangkan untuk menghindari serangan jari pada matanya, ia
menundukkan kepala. kan tetapi, kembali Lin Lin merubah gerakannya karena
sebelum pedangnya tertangkis dan terlibat oleh ujung lengan baju, pedang itu
dengan mengeluarkan suara angin telah berkelebat dengan belokan indah dan kini
melakukan serangan hendak memenggal leher hwesio yang sedang menundukkan kepala
itu, sedangkan tangan kiri ditarik dan langsung menyodok perut.
Memang hebat sekali llmu Pedang Han-le
Kiam-sut ciptaan Cin Hai ini. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan
perubahannya amat tidak terduga hingga tiap kali serangan tidak berhasil, lalu
disusul dengan gerak serangan lain yang disesuaikan dengan kedudukan atau posisi
lawan. Sayang sekali bahwa Lin Lin belum mahir dan belum cepat betul dalam
menjalankan serangan-serangan hingga biarpun perubahannya cepat, namun semua
masih dapat dilihat oleh lawan hingga masih sempat mengelak. Kalau saja yang
mainkan itu Cin Hai atau Ang I Niocu yang sudah memiliki kecepatan tubuh yang
otomatis dan memiliki gaya gerakan yang tidak sewajarnya hingga dapat membuat
gerakan palsu yang tidak terduga, tentu ilmu pedang ini akan merupakan ilmu
pedang yang amat sukar dilawan.
Betapapun juga, Bo Lang Hwesio dapat dibikin
bingung dan untuk menghindari serangan-serangan selanjutnya yang bertubi-tubi
dan yang seakan-akan otomatis dan timbul dari cara ia menangkis atau mengelak
itu, ia lalu berseru dan melangkah ke belakang dua tombak lebih jauhnya.
Setelah jauh dari Lin Lin barulah ia terhindar dari serangan yang bertubi-tubi
dan kini ia menghadapi gadis itu dengan hati-hati sekali, lalu maju menyerang
dengan cepat, memutar-mutar dua ujung lengan baju bagaikan kitiran angin
cepatnya!
Sementara itu, Ke Ce semenjak tadi hanya
berdiri dan memandang dengan kagum, sama sekali lupa kepada Yousuf yang masih
berdiri saja karena orang Turki ini tidak akan mau menyerang apabila tidak
diserang. Yousuf hanya berdiri dengan tegak sambil memandang pertempuran itu
dan ia pun merasa kagum sekali melihat kehebatan ilmu pedang Lin Lin. Karena ia
maklum bahwa gadis itu mendapat latihan dan pelajaran dari Cin Hai, maka makin
kagum dan hormatlah ia terhadap pemuda itu. Tiba-tiba melihat betapa Bo Lang
Hwesio agaknya tak dapat mengalahkan Lin Lin dalam waktu pendek, Ke Ce yang
curang hatinya itu lalu membentak keras dan kedua lengan tangannya mendorong ke
arah Lin Lin. Inilah Pukulan Angin Taufan yang hebat dan merupakan semacam
pukulan khikang yang tinggi tingkatnya di daerah Mongolia Dalam dan yang tidak
sembarang orang dapat menguasai atau mempelajarinya dengan sempurna. Tenaga
khikang Ke Ce sudah hampir sempurna, maka Kwee An sendiri sampai tak dapat
menahan serangan ini!
Akan tetapi, kali ini Ke Ce tercengang sekali
ketika tiba-tiba angin pukulannya yang dahsyat bagaikan tenaga angin taufan itu
membalik dan membuat ia sendiri bergoyang-goyang! Ketika ia memandang, ternyata
bahwa dari tempat di mana ia berdiri, Cin Hai dengan tubuh setengah membongkok,
juga mengulur kedua tangan dan melakukan gerakan yang sama dengan gerakannya
sendiri dan ternyata bahwa tenaga pukulan atau dorongan yang keluar dari kedua
lengan anak muda itu lebih kuat hingga telah berhasil menggempur tenaga
dorongannya! Terbelalak mata Ke Ce memandang oleh karena bagaimana seorang
bangsa Han dapat memiliki ilmu dorong ini? Ia tidak tahu bahwa Cin Hai mengerti
semua gerakan ilmu pukulan dan baru melihat gerakan pundak dan lengannya saja,
pemuda itu telah dapat menirunya dan pada saat tepat telah mengirim kembali
tenaga yang tadinya ditujukan dengan maksud merobohkan Lin Lin itu.
“Eh, jangan main curang, kawan!” kata Cin Hai
sambil tersenyum memandang. Yousuf menjadi marah sekali melihat betapa dengan
curangnya Ke Ce telah menyerang Lin Lin yang masih bertempur ramai melawan Bo
Lang Hwesio, maka ia berseru,
“Ke Ce, kalau sudah gatal-gatal tubuhmu ingin
dipukul, akulah lawanmu!” ia lalu menerjang dengan marah dan hebat hingga Ke Ce
terpaksa melayani. Cin Hai memandang dengan penuh perhatian dan sebentar saja
maklumlah dia bahwa biarpun ilmu kepandaian kedua orang ini tidak jauh
selisihnya, namun kepandaian Yousuf masih lebih kuat dan tak perlu dikuatirkan
keadaannya. Maka ia lalu memusatkan perhatiannya kepada Lin Lin lagi. Ia
melihat betapa gadis itu dengan garang melakukan penyerangan, akan tetapi
menghadapi Bo Lang Hwesio ia kalah pengalaman. Bo Lang Hwesio, ternyata gagah
sekali dan Cin Hai maklum bahwa apabila pergelangan tangan Lin Lin kena dikebut
oleh ujung lengan baju atau pedang Han-le-kiam dilibat, tentu Lin Lin akan
kalah dan mendapat celaka.
Baru saja ia berpikir demikian, tiba-tiba
dengan bentakan keras Bo Lang Hwesio menyerang dengan telapak tangan
dimiringkan memukul leher gadis itu dan ketika Lin Lin dengan lincahnya
berkelit, tiba-tiba ujung lengan baju hwesio yang kosen itu telah berhasil
melibat ujung pedang Han-le-kiam. Lin Lin berusaha mencabutnya, akan tetapi
pedang itu seakan-akan telah melengket pada lengan baju dan tidak dapat ditarik
kembali. Cin Hai berseru keras dan sekali tubuhnya berkelebat ia dapat mengirim
serangan ke arah leher hwesio itu yang cepat mengangkat tangan yang tadinya
dipakai memukul leher Lin Lin untuk menangkis karena sudah tidak ada jalan lain
lagi baginya untuk mengelak. Ketika kedua lengan tangan mereka beradu, Bo Lang
Hwesio mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya, maka ketika Lin Lin menarik
pedangnya, “Brett!” sobeklah ujung lengan bajunya! Sedangkan tubuhnya menjadi
terhuyung mundur ketika tenaga Cin Hai yang luar biasa mendorongnya dari pertemuan
lengan itu!
“Hebat!” serunya sambil melompat mundur lalu
mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Aku yang tua dan lemah tak kuat
melawan terus, biar lain kali bertemu pula! Ke Ce hayo kita pergi!” teriaknya
kepada kawannya yang sementara itu telah didesak hebat oleh Yousuf!
“Sampai lain kali!” kata Ke Ce dan pada saat
itu juga tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik empat kali di udara dan
turun melayang ke tempat agak jauh hingga tentu saja kegesitan ini membuat
Yousuf dan yang lain-lain merasa kagum sekali. Memang sungguh hebat gerakan
tadi dan jarang dapat dilakukan oleh orang yang ilmu ginkangnya belum tinggi!
Setelah kedua orang berlari turun gunung dengan cepat, Yousuf lalu menceritakan
bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terdorong masuk ke dalam jurang!
“Celaka!” kata Cin Hai dan Lin Lin yang segera
berlari ke pinggir jurang dan menjenguk. Lin Lin menjerit ngeri dan menangis
sedih ketika melihat betapa jurang itu dalamnya tak terkira hingga tidak
kelihatan dasarnya! Cin Hai menggeleng-gelengkan kepala.
“Ayah, kenapa kau tadi tidak memberitahu?”
kata Lin Lin sambil menangis dan membanting-banting kaki dengan gemasnya.
“Kalau aku tahu, tentu aku takkan melepaskan dua binatang kejam dan busuk itu!”
Juga Cin Hai merasa kecewa karena kalau ia
tahu bahwa Kwee An dan Ma Hoa terbinasa dan terlempar ke dalam jurang oleh
kedua orang tadi tentu ia juga tidak akan melepas mereka! Yousuf merasa
menyesal sekali dan merasa bahwa ia telah lupa sama sekali untuk menceritakan
hal itu.
“Biar aku mencari mereka di dalam jurang!”
kata Yousuf yang lalu berlari secepat terbang ke rumahnya. Tak lama kemudian ia
kembali lagi membawa segulung tambang yang panjang sekali.
"Peganglah ini, Cin Hai, aku hendak turun
dan mencari Kwee An dan Ma Hoa,” katanya sambil memberikan tambang itu kepada
Cin Hai.
“Jangan, Yo-pe-peh, biar aku saja yang turun.
Kau dan Lin Lin yang memegang tambang itu!” kata Cin Hai.
“Biarkanlah aku yang turun,” kata pula Yousuf
dan tiba-tiba dari kedua mata orang tua ini mengalir turun air mata! Lin Lin
dan Cin Hai maklum bahwa orang tua ini merasa bersalah sekali dan ia merasa
demikian menyesal hingga sekarang ia hendak menebus kesalahannya dan ingin
turun mencari mereka yang jatuh ke dalam jurang.
Lin Lin merasa amat terharu dan lalu menubruk
dan memeluk pundak ayah angkat itu, “Ayah... maafkanlah kami berdua... kami
tidak menyalahkan kau. Ayah... biarkan Hai-ko saja yang turun.”
“Benar, Yo-peh-peh, kau sudah tua dan aku yang
muda lebih bertanggung jawab akan tugas berat ini. Tidak ada yang bersalah
dalam hal ini dan soal kedua orang bangsat kecil itu, biar lain kali kita
mencari mereka untuk membalas dendam!!”
Akhirnya Yousuf menurut juga dan tambang yang
panjang itu lalu dilempar ke bawah dan ujungnya dipegang oleh Yousuf dan Lin Lin.
Akan tetapi ternyata bahwa tambang yang panjangnya tidak kurang dari seratus
kaki itu masih bergoyang-goyang, yang menandakan bahwa tambang itu belum
mencapai dasar jurang! Lin Lin bergidik dan ngeri.
“Alangkah dalamnya!” katanya dengan bibir
gemetar.
“Di rumah sudah tidak ada tambang lagi,” kata
Yousuf yang juga pucat wajahnya.
“Biarlah, sebegini juga cukuplah. Biar aku
turun sampai di ujung tambang dan melihat apa yang berada di bawahnya,” kata
Cin Hai. “Peganglah tambang kuat-kuat!” Pemuda itu melangkah ke pinggir jurang
dan tiba-tiba Lin Lin memegang lengannya. Cin Hai menengok.
“Ko-ko... hati-hatilah kau...”
Cin Hai tersenyum dan meraba dagu gadis itu,
kemudian ia lalu turun ke bawah menyusur tambang. Karena ia telah memiliki
kepandaian ginkang yang sempurna, maka mudah saja ia merayap melalui tambang
itu. Ternyata bahwa tebing itu tinggi sekali dan di bawahnya tertutup oleh awan
atau halimun tebal hingga keadaannya gelap benar. Setelah kedua kakinya merasa
telah tiba di ujung tambang paling bawah, Cin Hai meraba-raba dengan kaki dan
ternyata memang benar bahwa tambang itu masih tergantung di udara dan belum
sampai ke tanah. Ia lalu mengayun tubuh ke depan hingga tambang itu ikut
terayun. Tubuhnya terayun-ayun beberapa kali, makin lama makin keras dan
akhirnya ia dapat menyentuh tanah di depannya. Ternyata bahwa tanah itu bukan
batu karang yang keras ditumbuhi rumput dan pohon kecil. Akan tetapi karena
tanah itu letaknya tegak lurus ke atas, tentu saja tak mungkin baginya untuk
mendarat di situ. Ia berkali-kali memejamkan mata dan membukanya lagi untuk
dapat membiasakan mata itu menembus halimun. Kemudian matanya memandang ke
sekelilingnya mencari-cari.
Baik Cin Hai maupun Lin Lin dan Yousuf sama
sekali tak pernah menyangka dan menaruh curiga terhadap Bo Lang Hwesio dan Ke
Ce. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya kedua orang itu masih belum
pergi dari situ. Memang benar bahwa mereka telah lari turun gunung, akan tetapi
tiba-tiba Ke Ce berhenti berlari dan berkata perlahan, “Bo Lang Suhu, mari kita
kembali ke atas!”
“Apa kau gila?” seru Bo Lang Hwesio yang tak
dapat menangkap maksudnya,
“Dara manis itu... ia cantik jelita dan ia
musuhmu, bukan? Kalau saja kita bisa menyergapnya, tanpa bantuan Yousuf dan
pemuda lihai itu, kita berdua masa tak dapat menangkapnya?” Sambil berkata
demikian, kedua mata Ke Ce yang cerdik itu berputar-putar dan mulutnya
tersenyum. Untuk beberapa lama Bo Lang Hwesio tertegun merasa malu dan rendah
untuk melakukan hal ini, akan tetapi menghadapi mereka bertiga yang tangguh,
sampai kapan ia dapat membalas sakit hati muridnya terhadap Lin Lin? Akhirnya
ia anggukkan kepalanya yang gundul mereka berdua dengan berindap-indap dan
sembunyi-sembunyi lalu naik lagi ke atas bukit.
Pada saat mereka tiba di tempat itu sambil
mengintai dan bersembunyi di balik pohon, Cin Hai masih berada di bawah dan
ujung tambang masih dipegang oleh Lin Lin dan Yousuf. Bukan main girang hati Bo
Lang Hwesio dan Ke Ce. Sambil tertawa dan membentak keras mereka berdua keluar
dari tempat persembunyian mereka dan lari cepat ke arah Yousuf dan Lin Lin yang
masih memegang tambang di mana tubuh Cin Hai bergantung di bawah.
Alangkah terkejut hati Yousuf dan Lin Lin
melihat kedatangan mereka tak perlu diceritakan lagi. Keduanya memandang dengan
wajah pucat sekali dan merasa bahwa kini mereka berdua berikut Cin Hai, pasti
akan binasa.
“Pegang tambang itu kuat-kuat, aku melawan
mereka mati-matian,” kata Yousuf. Lin Lin lalu memegang tambang itu seorang
diri dengan sekuat tenaga karena biarpun sebenarnya tenaganya sudah lebih dari
cukup untuk memegang ujung tambang yang digantungi tubuh kekasihnya, akan
tetapi oleh karena perasaan takut kalau kalau tambang itu terlepas dari tangan
dan ngeri memikirkan nasib Cin Hai kalau terjadi hal demikian, maka ia
memegangnya erat-erat, seakan-akan nyawanya sendiri yang tergantung di ujung
tambang itu.
Yousuf yang tadi ketika mengambil tambang juga
mengambil pedangnya, lalu mencabut pedang itu dan menyambut mereka sambil
berlari agar pertempuran dapat dilakukan di tempat yang jauh dari Lin Lin. Akan
tetapi, Bo Lang Hwesio dan Ke Ce yang hendak bertindak cepat, lalu menerjang
dengan hebat hingga sebentar saja Yousuf terkurung dan terdesak hebat sekali.
Sementara itu, Cin Hai yang tidak tahu apa-apa
tentang peristiwa yang sedang terjadi di atas, masih mencari-cari dengan
matanya. Ketika ia menggunakan ketajaman matanya menembus halimun tebal dan
melihat ke bawah, ia hanya melihat warna putih kebiru-biruan yang
bergerak-gerak di bawah kakinya, jauh di bawah. Ia menduga bahwa itu mungkin
juga daun-daun pohon. Cin Hai lalu mencari akal, dan ketika tangannya menyentuh
akar-akar dan daun pohon kecil, ia lalu memegang akar pohon kuat-kuat dan
sambil menggantungkan kedua kakinya pada akar pohon, ia lalu mempergunakan
kedua tangan untuk mengikat ujung tambang itu pada pinggangnya. Dengan
demikian, ia mulai mencari-cari ke kanan-kiri sambil merayap dan berpegangan
pada akar-akar pohon tanpa takut terpeleset atau akar itu patah, karena
pinggangnya telah terikat tambang.
Pada saat Lin Lin memandang dengan berdebar
cemas betapa Yousuf terkurung hebat oleh kedua orang musuh yang tangguh itu
tiba-tiba ia mendengar suara di atas kepalanya. Alangkah girangnya karena
melihat Merak Sakti terbang berkeliling di atasnya.
“Kongciak-ko, lekas tolong Ayah!” teriak Lin
Lin dengan keras.Merak Sakti menyambar turun bagaikan tahu akan perintah Lin
Lin, dan juga berkat rasa kesetiannya melihat Yousuf dikeroyok itu timbul, lalu
ia menyambar ke arah Ke Ce sambil memekik keras!
Ke Ce terkejut sekali ketika melihat bayangan
kuning kebiru-biruan menyambar turun dari angkasa ke arah kepalanya. Ia cepat
mengelak dan mengeluarkan keringat dingin ketika patuk merak yang kecil merah
dan tajam itu meluncur dekat kepalanya, hampir saja berhasil mematuk matanya!
Ketika Merak Sakti menyambar lagi, ia cepat mengulur tangan dengan gerakan
Eng-jiauw-kang untuk mencengkeram dan menangkap leher merak yang bagus itu.
Akan tetapi merak itu bukanlah burung sembarang burung, melainkan peliharaan
orang sakti dan telah menerima latihan-latihan hingga ia menjadi seekor merak
sakti. Menghadapi serangan ini, ia tidak gentar dan sambil terbang ia mengebut
tangan yang hendak mencengkeramnya itu dengan sayap. “Blekk!” dan Ke Ce hampir
saja mengeluarkan pekik karena tangannya yang terpukul sayap itu terasa sakit
dan pedas. Ternyata bahwa kebutan sayap merak itu mengandung tenaga yang bukan
main besarnya! Ke Ce menjadi marah sekali dan mempergunakan ilmu pukulan Angin
Taufan untuk mendorong jauh merak yang lihai itu. Namun Merak Sakti agaknya
yang telah maklum akan kelihaian pukulan yang mendatangkan angin ini hingga
tiap kali Ke Ce memukul, ia selalu mengelak cepat. Betapapun juga, serangan Ke
Ce dengan ilmu pukulan ini membuat merak itu tak berdaya untuk menyerangnya.
Biarpun kini hanya menghadapi seorang lawan
saja, namun oleh karena kepandaian Bo Lang Hweso lebih tinggi daripada
kepandaiannya, tetap saja Yousuf terdesak hebat dan berada dalam keadaan
berbahaya! Lin Lin mengeluarkan keringat dingin ketika melihat betapa bantuan
Sin-kong-ciak tetap belum dapat menolong ayah angkatnya, bahkan kini merak itu
hanya berani terbang berputaran di atas kepala Ke Ce oleh karena tadi hampir
saja pukulan Angin Taufan orang mongol itu mengenai dadanya! Lin Lin mulai
menarik-narik tambang membetot-betot untuk memberi tanda kepada Cin Hai,
tiba-tiba ia merasa tambang itu dikedut dari bawah, tanda bahwa Cin Hai telah
merasa akan isarat yang ia berikan dan kini membalas dengan kedutan seakan-akan
hendak bertanya.
“Hai-ko... lekas kau naik...!” Lin Lin
berteriak ke arah bawah tebing, akan tetapi suaranya ditelan halimun dan tak
dapat menembus ke bawah. Ia berteriak berkali-kali dan Ke Ce yang melihat hal
ini, segera melompat ke arahnya! Lin Lin segera mempergunakan tangan kiri untuk
menahan tambang sedangkan tangan kanannya mencabut pedangnya! Ia hanya berdiri
dengan mata tajam menentang Ke Ce dan pedangnya siap di tangan kanan. Tekadnya
hendak melawan mati-matian dan apabila ia kalah, ia takkan melepaskan tambang
itu dan bersedia melompat ke dalam tebing menyusul kekasihnya!
Sementara itu, Sin-kong-ciak ketika melihat
betapa Ke Ce menghampiri Lin Lin, lalu berteriak-teriak nyaring dan mulai
menyambar kepala Ke Ce lagi! Ke Ce memukul merak itu mengelak terbang lagi ke
atas dengan jerih. Ke Ce tertawa menyeringai dan menghadapi Lin Lin sambil
berkata,
“Nona manis, kaulepaskan saja tambang itu dan
kau ikut aku pergi ke…” pada saat itu, Sin-kong-ciak menyambar lagi dan
mencakar ke arah mukanya sehingga terpaksa Ke Ce mengelak dan tak dilanjutkan
ucapannya terhadap Lin Lin. “Burung celaka!” makinya. “Burung bedebah! Kalau
aku dapat menangkapmu, akan kupanggang dagingmu sampai gosong!”
Akan tetapi Merak Sakti itu hanya terbang
mengelilingi di atas kepalanya sambil mengeluarkan pekik nyaring berkali-kali.
Pekik inilah yang terdengar oleh Cin Hai dan yang membuat pemuda itu menjadi
curiga, apalagi karena ia merasa betapa tambang itu berkali-kali ditarik dari
atas. Dengan cepat Cin Hai lalu mulai memanjat tambang itu untuk naik kembali ke
atas oleh karena penyelidikannya tidak menghasilkan sesuatu.
Sementara itu, berkat sambaran-sambaran
Sin-kong-ciak, Ke Ce tiada mendapat kesempatan untuk mengganggu Lin Lin, karena
apabila ia telah usir merak itu dengan pukulan Angin Taufannya dan ia menghampiri
Lin Lin, gadis itu telah siap dengan pedangnya yang tidak boleh dipandang
ringan biarpun gerakannya tidak leluasa karena tangan kiri memegang tambang.
Sebelum Ke Ce dapat bertindak lebih jauh, merak itu sudah turun menyambar lagi
hingga pemuda Mongol ini menjadi marah benar-benar. Lin Lin yang merasa gugup
dan cemas melihat keadaan Yousuf dan keadaannya sendiri, beberapa kali berseru,
“Hai-ko, lekas... lekas keluar...!”
Mendengar ini dan melihat betapa tambang di
tangan Lin Lin bergoyang-goyang, Ke Ce menjadi takut. Hanya Cin Hai saja yang
ia takuti, maka kini menduga bahwa pemuda itu akan segera muncul, ia lalu
angkat kaki lebar sambil mengajak Bo Lang Hwesio,
“Bo Lang-Suhu, lekas pergi!”
Sementara itu, Yousuf telah beberapa kali
terkena sampokan ujung lengan baju Bo Lang Hwesio yang lihai, bahkan pukulan
terakhir yang mengenainya telah menghantam pundak dekat leher yang membuat
dadanya terasa sesak dan sakit. Akan tetapi berkat ilmu lweekangnya yang sudah
tinggi, ia dapat mengumpulkan tenaga dan masih dapat melawan dengan gigih! Bo
Lang Hwesio merasa heran sekali melihat keuletan orang Turki ini, karena
pukulan-pukulan ujung lengan bajunya tadi cukup untuk menewaskan seorang lawan
gagah dengan sekali pukul saja. Kakek Turki ini telah empat kali menerima
pukulannya dan masih saja kuat melakukan perlawanan! Diam-diam ia merasa kagum
dan gentar juga. Apakah kakek ini memiliki ilmu kekebalan yang hebat? Karena
hatinya telah gentar, maka ketika Ke Ce melarikan diri dan mengajak ia untuk
kabur, ia lalu meloncat jauh dan mengejar kawannya itu, lari turun gunung
dengan cepat. Dan kali ini mereka benar-benar lari dari atas gunung itu karena
takut akan pembalasan Cin Hai!
Ketika Cin Hai telah mendarat dan berada di
atas tebing, ia menjadi terkejut sekali melihat Lin Lin memegang ujung tambang
dengan pedang di tangan kanan dan air mata gadis itu mengalir di kedua pipi.
Ketika ia memandang ke arah Yousuf, ia segera berseru kaget karena kakek itu
roboh tak sadarkan diri! Keduanya lalu berlari menghampiri dan sambil memeriksa
keadaan luka-luka di dalam tubuh Yousuf, Cin Hai mendengar keterangan Lin Lin
dengan mata berapi dan muka merah.
“Keparat betul kedua bangsat rendah itu!”
katanya sambil mengertak gigi. “Alangkah curang dan rendahnya perbuatan mereka!”
Cin Hai agak lega melihat bahwa biarpun Yousuf
mendapat luka-luka yang hebat, namun tenaga dalam kakek itu telah cukup kuat
untuk melindungi jantung dan paru-parunya hingga tidak sampai menderita luka.
Akan tetapi ia memerlukan rawatan teliti dan lama sebelum dapat sembuh sama
sekali. Kemudian ia lalu memondong tubuh Yousuf dan bersama Lin Lin ia kembali
ke rumah untuk segera memberi pertolongan kepada orang Turki itu.
Setelah mendapat urutan dan pencetan pada
jalan darahnya, kakek itu siuman kembali dan ia tersenyum melihat bahwa Lin Lin
dan Cin Hai masih selamat dan berada di dekatnya!
“Lain kali akan kubalas dia...” katanya lemah.
Kemudian Cin Hai lalu menceritakan
pengalamannya ketika ia mencari-cari jejak kedua kawan yang terjatuh ke dalam
tebing.
“Halimun terlalu tebal dan tebing itu terlalu
dalam hingga sukar untuk melihat nyata. Akan tetapi oleh karena tebing itu
merupakan lereng gunung, aku akan mencoba untuk mencari dari kaki gunung dan
hendak memanjat ke atas pada tempat itu. Mudah-mudahan saja Thian Yang Maha
Kuasa melindungi mereka berdua!”
Tiba-tiba Lin Lin menepuk jidatnya dengan
perlahan. “Ah... mengapa kita begitu bodoh? Kong-ciak-ko tentu dapat mencari
mereka.”
Mendengar ini, Cin Hai dan Yousuf girang
sekali karena mereka juga berpendapat bahwa burung merak itu tentu saja dapat
mencari mereka.
“Pergilah kalian segera membawa Sin-kong-ciak
dan suruh burung itu mencari Kwee An dan Ma Hao. Lekas!” kata Yousuf dengan
suara gembira.
Lin Lin dan Cin Hai lalu berlari-lari keluar
dan Lin Lin bersuit memanggil burung merak yang segera terbang datang.
“Kong-ciak-ko, mari kau ikut kami!” katanya
sambil berlari cepat kembali ke tebing tadi. Burung merak itu mengeluarkan
suara girang dan terbang mengikuti di atas mereka.
Setelah tiba di tebing, Lin Lin lalu memberi
tanda dengan tangannya menyuruh burung merak itu turun. Kemudian, sambil
menunjuk ke bawah tebing, Lin Lin berkata, “Kong-ciak-ko dengarlah baik-baik!
Kwee An dan Ma Hoa hilang di bawah sana, kaucarilah mereka sampai dapat!”
Setelah mengulangi perintah ini sampai beberapa kali, tiba-tiba merak itu lalu
memekik girang dan segera terbang ke bawah tebing. Ternyata ia telah dapat
menangkap maksud perintah tadi!
Lin lin merasa begitu tegang dan gembira
hingga ia memegang tangan Cin Hai dan keduanya lalu berdiri menanti di tepi
tebing dengan wajah agak tegang dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Hanya
hati kedua anak muda ini yang berdebar dan bersama-sama berdoa semoga burung
merak itu akan dapat menemukan kedua kawan mereka dan kembali sambil membawa
berita baik!
Lama sekali mereka menanti dan tiba-tiba
mereka mendengar merak itu memekik di sebelah bawah. Dan bukan main heran
mereka karena pekik merak itu adalah pekik kemarahan, seperti biasanya
dikeluarkan apabila ia menghadapi seorang lawan! Berkali-kali merak itu memekik
dan dengan wajah pucat Lin Lin bertanya kepada Cin Hai,
“Siapakah gerangan yang membuat Kong-ciak-ko
demikian marah?”
Cin Hai juga tak dapat menduga dan hanya
menjenguk ke bawah yang putih gelap tertutup halimun itu dengan penuh perhatian
dan harap-harap cemas.
Setelah terdengar pekik merah itu beberapa
kali lagi, lalu di bawah menjadi sunyi, sunyi yang makin menggelisahkan hati
kedua teruna remaja itu. Tiba-tiba terdengar bunyi pukulan sayap merak itu dan
muncullah Sin-kong-ciak menembus halimun, terbang ke atas dan langsung mendarat
di dekat Lin Lin. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil mengeluarkan
keluhan-keluhan aneh dan ketika Cin Hai dan Lin Lin memandang, ternyata bahwa
di kaki merak itu telah terlibat oleh seutas tali hijau yang ternyata terbuat
daripada semacam akar pohon. Tali itu di bagian depan mengikat sepotong batu
karang kecil yang agaknya digunakan untuk disambitkan hingga tali dapat melibat
kaki Merak Sakti. Tentu saja ilmu kepandaian melempar tali dengan batu karang
ini yang dapat melibat kaki Merak Sakti, menunjukkan bahwa pelemparnya tentulah
seorang luar biasa. Jangankan tali itu sampai dapat melibat kaki Merak Sakti
yang lihai dan pandai mengelak, sedangkan untuk menangkap burung biasa dengan
cara aneh itu pun agaknya takkan mudah dilakukan oleh sembarang orang! Dan yang
membuat kedua anak muda itu merasa heran adalah sepotong kertas yang berada di
ujung tali itu.
Cin Hai cepat mencabut kertas itu dan ternyata
bahwa di situ terdapat tulisan yang dilakukan dengan corat-coret kasar dan
berbunyi,
Pergilah kalian dan pelihara Merak ini
baik-baik. Kalau ada jodoh, kelak bertemu.
“Aneh...“ kata Cin Hai, “tulisan siapakah ini
dan apa maksudnya? Apa hubungannya dengan Kwee An dan Ma Hoa?”
Lin Lin yang membaca surat itu berkali-kali,
juga tidak mengerti dan hanya memandang dengan bengong. “Tentu ada seorang yang
luar biasa pandai di sebelah bawah yang penuh rahasia itu,” katanya, “dengan
batu ia dapat membelitkan tali bersurat kepada kaki Kong-ciak-ko dan ia dapat
mengetahui pula keadaan kita berdua di sini. Sungguh heran dan ajaib!”
Sekali lagi Cin Hai membaca surat itu dengan
teliti. “Dengan kata-kata pergilah kalian, orang aneh itu telah mengetahui
bahwa kita berdua berada di sini dan menyuruh pergi tentu karena kedua orang
saudara kita itu selamat. Ia menyuruh kita memelihara merak baik-baik karena
agaknya ia kagum dan suka sekali kepada merak ini, sedangkan kata-kata kalau
ada jodoh kelak bertemu adalah ucapan yang biasa dilakukan oleh pertapa atau
orang-orang tua yang sakti. Ini hanya dugaanku saja, terutama tentang
keselamatan Kwee An dan Ma Hoa, aku sendiri belum dapat memastikan benar.”
Mereka lalu kembali ke rumah Yousuf dan
menceritakan peristiwa itu sambil memperlihatkan surat itu. Yousuf juga merasa
heran akan tetapi ia berkata dengan suara mengandung penuh harapan, “Orang yang
mengirim surat secara aneh ini tentu seorang pandai dan kalau ia dapat
mengetahui keadaan kalian di atas tebing, tentu ia tahu pula apa yang kalian
cari. Maka menurut dugaanku, Kwee An dan Ma Hoa tentu tertolong olehnya!”
“Akan, tetapi, kalau benar demikian halnya,
mengapa ia tidak menyuruh An-ko dan Ma Hoa kembali ke sini?” tanya Lin Lin.
Yousuf menggeleng-geleng kepala dan memejamkan
matanya karena pembicaraan ini walaupun dilakukan sambil berbaring, cukup
melelahkan tubuhnya yang lemah. Yousuf adalah seorang perantau yang banyak
pengalaman dan ia mengerti pula cara pengobatan, maka ia dapat merawat
luka-lukanya sendiri.
Semenjak terjadinya peristiwa yang
menguatirkan itu, yaitu lenyapnya Kwee An dan Ma Hoa serta terlukanya Yousuf,
Cin Hai lalu menggembleng Lin Lin lebih rajin dan tekun lagi sambil memberi
nasihat agar supaya gadis kekasihnya itu melatih diri baik-baik siang dan malam
karena Cin Hai hendak meninggalkannya.
“Kau harus dapat menguasai Ilmu Pedang
Han-le-kiam-sut serta kedua Ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut dan Kong-ciak-sin-na
baik-baik untuk menjaga bahaya mendatang, karena aku harus meninggalkan kau dan
Yo-peh-peh beberapa lama untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa. Hatiku takkan
tenteram sebelum dapat menemukan mereka,” katanya.
Lin Lin juga mengatakan setuju. Tentu saja ia
ingin sekali ikut akan tetapi keadaan Yousuf yang rebah dengan tubuh masih
lemah dan belum sembuh lukanya itu memerlukan tenaga bantuan dan rawatannya,
hingga ia tidak tega untuk meninggalkan ayah angkatnya yang dikasihinya itu.
Demikianlah, mereka berlatih siang malam tanpa mengenal lelah hingga setelah
digembleng secara demikian untuk sebulan lamanya, Cin Hai menjadi puas sekali.
“Lin-moi,” katanya girang setelah ia mencoba
melawan Lin Lin dan mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu kini
benar-benar telah hebat sekali. “Sekarang, biarlah Bo Lang Hwesio dan Ke Ce
datang, bahkan biarlah mereka itu membawa dua tiga orang kawan lagi. Dengan
adanya kau di sini, seorang diri saja kau akan sanggup memukul roboh mereka
semua.”
“Benarkah itu, Koko? Menurut pendapatku
sendiri, kepandaianku masih sama saja.”
Cin Hai tersenyum “Memang demikianlah adanya.
Kemajuan sendiri takkan pernah terasa atau terlihat sendiri, orang lain yang
bisa menentukannya. Makin pandai seseorang ia akan makin merasa dirinya bodoh.
Kauingat akan nama guru kita? Bu Pun Su, artinya Tiada Kepandaian! Suhu yang
ilmunya telah mencapai puncak kesempurnaan itu, bahkan mengaku bahwa Beliau
tidak memiliki kepandaian sama sekali. Kepandaianmu sekarang telah berlipat
beberapa kali kalau dibandingkan dengan sebulan yang lalu. Kalau tidak percaya,
mari kita tanyakan kepada Yo-pekhu.”
Keduanya lalu mendatangi Yousuf yang berangsur
sembuh dan kini telah dapat duduk.
“Yo-pekhu, coba kaulihat ilmu pedang Lin Lin
dan nyatakan pendapatmu!” kata Cin Hai. Yousuf tersenyum dan mengangguk-angguk
dan Lin Lin lalu bersilat dengan pedang pendeknya di depan Yousuf. Pedang
pendek Han-le-kiam menyambar-nyambar dan merupakan sinar putih kebiru-biruan
berkelebat di sekeliling tubuh Lin Lin yang menari-nari dengan gaya indah.
Walaupun pedang itu pendek saja, namun sinarnya seakan-akan menjadi senjata
yang panjang hingga dapat dibayangkan bahwa gerakan pedang itu cepat sekali.
Yang hebat ialah bahwa tangan kiri Lin Lin tidak tinggal diam, akan tetapi
membarengi gerakan tangan kanan yang memegang pedang pendek dan melakukan
penyerangan pula sambil mainkan jurus-jurus yang lihai dan aneh dan Ilmu Silat
Pek-in Hoatsut dan Kong-ciak Sin-na.
Setelah ia berhenti mainkan ilmu pedangnya
sambil memandang ke arah ayah angkatnya itu dengan mata mengandung pertanyaan,
Yousuf menarik napas panjang karena tadi ia seperti menahan napas karena
kagumnya.
“Ah, sungguh sukar dipercaya bahwa kepandaian
ini baru kaupelajari beberapa puluh hari saja. Terus terang saja, aku sendiri
belum tentu kuat menghadapimu dalam sepuluh jurus. Kau hebat, anakku dan terima
kasih kepada Cin Hai yang telah mendidikmu.”
Cin Hai tersenyum girang, lalu menjura sambil
berkata, “Terima kasih itu tak seharusnya ditujukan kepadaku, Yo-pekhu, akan
tetapi kepada Suhu Bu Pun Su. Sekarang aku hendak turun gunung dan mencari
jejak Kwee An dan Ma Hoa. Dengan kepandaian Lin Lin sekarang, aku dapat
meninggalkan kalian dengan hati tenteram. Lin-moi, harap kau jangan malas untuk
melatih diri selama aku pergi.”
Lin Lin mengerling tajam. “Apakah memang aku
biasanya malas? Koko, jangan terlalu lama pergi!”
“Mana aku kuat meninggalkan kau terlalu lama?”
Kemudian, setelah sekali lagi memandang kepada
Lin Lin dan menjura kepada Yousuf, Cin Hai lalu melompat dan tubuhnya
berkelebat lenyap dari hadapan kedua orang itu.
“Lin Lin, kau bahagia sekali mendapat jodoh seperti
Cin Hai,” kata Yousuf dengan gembira.
Lin Lin tidak menjawab, hanya menjatuhkan diri
duduk di atas sebuah kursi pembaringan Yousuf sambil tersenyum dan pandang
matanya melayang jauh dalam lamunan.
Cin Hai mempergunakan ilmunya untuk berlari
cepat menuruni bukit itu. Ia terus turun sampai di kaki bukit, lalu mengambil
jalan memutar menuju ke kaki gunung di bawah tebing yang curam di mana Kwee An
dan Ma Hoa terjatuh. Ternyata bagian ini, ialah bagian sebelah timur, penuh
dengan hutan belukar dan lereng gunung itu walaupun terdiri dari tanah yang
tidak keras, akan tetapi sukar dilalui karena penuh dengan jurang-jurang dan
rawa-rawa yang penuh alang-alang. Bahkan ada bagian yang nampaknya seperti
tanah rata ditumbuhi rumput tebal, akan tetapi ketika terinjak, ternyata bahwa
di bawahnya merupakan tanah lumpur yang berbahaya karena sekali kedua kaki
masuk ke situ, orang takkan mampu menarik kembali kedua kakinya yang makin lama
tersedot makin dalam! Karena rawa yang demikian ini luas sekali dan tak mungkin
diloncati begitu saja karena lebarnya, Cin Hai lalu mencari akal. Ia
menggunakan pedangnya untuk memotong banyak batang pohon bambu dan melemparkan
bambu itu ke atas rumput itu. Ia membawa beberapa batang bambu yang panjang dan
menginjak bambu yang telah dilempar di atas rumput, kemudian ia menurunkan
bambu sebatang lagi disambungkan kepada bambu yang diinjaknya. Dengan cara
demikian ia membuat jembatan bambu yang sambung menyambung dan yang dapat
diinjak tanpa kuatir tenggelam, hingga akhirnya setelah menghabiskan tujuh
bambu panjang, ia dapat juga menyeberang rawa yang aneh dan berbahaya ini!
Cin Hai terus maju dengan hati-hati sekali,
pedang Liong-coan-kiam siap di tangan karena ia tidak tahu apa yang akan muncul
di tempat yang belum pernah terinjak oleh kaki manusia itu. Akhirnya ia tiba
juga di suatu tempat yang merupakan lereng yang curam dan yang tegak ke atas.
Ketika ia memandang ke atas ternyata di atas penuh dengan halimun dan
mengira-ngira di mana kiranya Kwee An dan Ma Hoa terjatuh. Ketika ia maju
sedikit ia melihat banyak gua di lereng itu, besar-besar dan gelap. Hatinya
berdebar keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim surat itu
tinggal di sebuah di antara gua-gua ini!
Ia meneliti tiap gua dan memeriksa tanah
lembek di depan gua. Kalau gua itu ada orangnya, pasti ia akan melihat tapak
kaki di depan gua itu, karena betapapun tinggi ilmu ginkang seseorang, kalau
menginjak tanah lembek itu pasti meninggalkan bekas. Setelah meneliti dan
memeriksa beberapa buah gua, akhirnya ia berseru perlahan. Di depan gua yang
besar dan gelap, ia melihat kaki manusia! Ketika ia memeriksa lebih teliti,
hatinya tergoncang karena tapak kaki itu demikian tipisnya, seakan-akan tanah
itu hanya disentuh saja oleh orang yang berjalan di atasnya. Ia lalu
mengerahkan ginkangnya dan berjalan di dekat tapak-tapak kaki itu dengan ringan
sekali, akan tetapi ia melihat, ternyata bahwa tapak kakinya lebih dalam
daripada tapak kaki yang dilihatnya itu. Dari sini dapat ia duga bahwa ilmu
ginkang orang itu ternyata lebih tinggi daripada ginkangnya sendiri!
Cin Hai berlaku makin hati-hati karena ia tahu
bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur
sampai di mana tingginya dan ia belum tahu pula apakah orang itu kawan atau
lawan. Ia lalu membuat api dari kayu, kering dan dengan sebatang obor menyala
yang dibuatnya daripada alang-alang yang sudah kering, ia lalu memasuki gua
itu, obor di tangan kiri dan Liong-coan-kiam di tangan kanan. Gua itu ternyata
lebar dan dalam sekali. la melihat beberapa buah batu hitam licin yang halus
permukaannya hingga dapat dibuat duduk orang, dan makin keras dugaannya bahwa
di situ tentu pernah tinggal seorang manusia atau pertapa. Akan tetapi, selain
batu-batu itu, tidak terdapat benda lain, juga tidak nampak seorang pun di
dalam gua. la menjadi kecewa dan tiba-tiba kepalanya tertumbuk paIu, sebuah
batu kecil yang ternyata tergantung di atas langit-langit gua. Ia mengangkat
obornya ke atas dan alangkah girangnya ketika melihat bahwa batu kecil yang tertumbuk
oleh kepalanya itu ternyata adalah sepotong batu karang yang diikat dengan
tali, persis seperti yang dulu dipakai untuk membelit kaki Sin-kong-ciak!
Ia tidak ragu-ragu lagi. Di sinilah tempat
orang aneh yang berahasia itu. Ia memeriksa makin teliti dan ketika ia
mengangkat obornya ke sebelah kiri, ia melihat corat-coret di atas dinding
tanah batu itu. Ia segera menghampiri dan ternyata bahwa corat-coret itu
merupakan lukisan orang dalam berbagai posisi yang jelas menggambarkan orang
tengah bermain silat! Di sana-sini terdapat tulisan-tulisan dan ketika ia
membaca tulisan itu, ia menjadi tertarik sekali karena tulisan-tulisan itu
merupakan ujar-ujar dari Khongcu yang diambil dari kitab Tiong-yong! Di antara
sekian banyak ujar-ujar yang ditulis di atas dinding itu, dengan gaya tulisan
yang sama seperti yang dituliskan di atas kertas yang terbawa oleh kaki
Sin-kong-ciak, ia tertarik akan sebuah ujar-ujar yang dulu pernah ia pelajari
dari Kwi-sianseng gurunya yang suka memukul kepalanya itu. Ujar-ujar ini
demikian bunyinya,
Kou Kuncu Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin
Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-kho-i Ti-jin. Su Ti-jin, Put Kho-i Put Ti
Thian!
Ia teringat kepada Kwi-sianseng yang
memecahkan arti ujar-ujar tersebut sebagai berikut, “seorang Budiman seharusnya
menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi. Untuk dapat menyempurnakan
diri pribadi, tak dapat tiada harus mencinta dan berbakti kepada ayah bunda.
Untuk dapat mencinta dan berbakti kepada ayah bunda, tak dapat tiada harus
mengetahui tentang perikemanusiaan. Dan untuk dapat mengetahui tentang
perikemanusiaan, tak dapat tiada ia harus mengetahui tentang KETUHANAN.”
Setelah membaca ujar-ujar yang dulu sering
dihafalkan itu, tiba-tiba Cin Hai berdiri bengong karena ia teringat kepada
ayah bundanya dan ingat pula bahwa ia belum juga mencari kuburan mereka! Sampai
lama juga ia berdiri diam tak bergerak hingga setelah api obornya padam,
barulah ia sadar dan segera keluar dari gua itu oleh karena merasa malu dan
tidak enak hati untuk berdiam lebih lama dalam tempat kediaman orang lain tanpa
seijin tuan rumah! Ia harus mencari hingga sehari penuh ia keluar masuk gua
untuk mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa, akan tetapi, jangankan orangnya,
bayangannyapun tidak dilihatnya!
Cin Hai merasa kecewa, akan tetapi ia juga
merasa lega oleh karena tidak melihat bukti-bukti bahwa kedua orang yang
dikasihinya itu telah tewas! Karena, andaikata keduanya terjatuh dan terbanting
mati di situ, tentu ia akan melihat tanda-tanda atau bekas-bekasnya. Karena
hari telah mulai gelap, maka Cin Hai lalu memasuki gua yang penuh tulisan dan
lukisan itu lagi untuk bermalam. Ia anggap bahwa gua itu paling bersih dan
paling baik, tidak mengandung hawa dan bau yang tidak enak seperti gua lain,
dan lagi pula, ada kemungkinan penghuni gua itu datang hingga ia dapat bertemu
dengannya! Ia ingin sekali bertemu dengan ahli ujar-ujar Khongcu ini yang telah
mengirim berita ketika ia berada di atas dengan Lin Lin dan ia merasa yakin
bahwa penulis surat itu tentu tahu akan nasib Kwee An dan Ma Hoa!
Karena merasa asing di dalam gua seorang diri,
maka Cin Hai lalu menyalakan api, lagi dan memeriksa lukisan-lukisan dan
tulisan-tulisan di dinding itu. Lukisan-lukisan itu ternyata mengandung
pelajaran ilmu silat yang aneh dan tinggi akan tetapi sebagai seorang berjiwa
gagah, Cin Hai tidak mau mencuri dan mempelajari ilmu silat orang lain, maka ia
lalu mengalihkan perhatiannya pada tulisan-tulisan dan ujar-ujar yang selalu
menarik hatinya. Tiba-tiba ia melihat lukisan-lukisan yang mengerikan, yaitu
sebuah tengkorak, sebuah tubuh manusia dengan segala kekotorannya, dan sebuah
muka yang jahat sejahat-jahatnya bagaikan setan sendiri memperlihatkan muka!
Dan di bawah tiga buah lukisan aneh itu,
terdapat syair yang amat menarik hatinya. Ia membaca dengan penuh perhatian,
Alangkah buruk nasib! Aku dipaksa tinggal di
tubuh hina. Dikurung dalam segala kerendahan jasmani! Diliputi oleh segala
kepanasan hawa nafsu!
Hanya satu hiburan bagiku : Akan tiba masanya
aku pergi, meninggalkan semua keburukkan ini. Dan kembali ke tempat asal,
kembali ke tempat suci!
Sekali lagi Cin Hai dibikin bengong dan
termenung membaca syair yang penuh arti ini. Ia maklum dan dapat merasa bahwa
syair ini merupakan rintihan jiwa atau roh manusia, bukan penulis syair itu
saja akan tetapi setiap manusia, termasuk dia sendiri! Ia bergidik memandang
tengkorak itu yang tiba-tiba nampak menjadi tengkoraknya sendiri, ngeri melihat
tubuh dengan segala kekotoran itu, dan meremang bulu tengkuknya melihat wajah
mengerikan itu, wajah yang penuh diliputi nafsu-nafsu jahat yang tiap saat
menyerang batin manusia! Siapakah pelukis dan penyair ini? Makin tertarik
hatinya karena ia merasa bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.
Tiba-tiba terdengar suara “Ah, ah... uh...
uh...!” yang keras di belakangnya dan secepat kilat Cin Hai membalikkan
tubuhnya. Ia melihat seorang tua kurus dan tinggi tahu-tahu telah berdiri di
pintu gua tanpa terdengar olehnya. Orang itu kelihatan marah sekali dan
tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya lalu digerakkan ke arah Cin Hai. Bukan
main terkejutnya karena tiba-tiba dari tangan itu menyambar angin pukulan yang
keras sekali, Cin Hai cepat mengelak ke samping, akan tetapi angin pukulan yang
keras itu telah menyambar dan membikin padam api obor yang dipegangnya!
Di dalam gua menjadi gelap sekali. Jangankan
melihat orang lain, memandang jari tangan sendiri di depan mata pun tak
kelihatan! Cin Hai maklum bahwa betapapun tinggi kepandaian seorang dan betapa
pun tajam pandangan mata seseorang, namun, tanpa ada sinar yang menerangi sama
sekali, mata takkan ada gunanya lagi. Maka ia lalu meraba-raba dan berdiri
mepet dinding gua. Ia mendengar angin pukulan orang itu masih menyerang secara
membabi buta. Ia maklum bahwa biarpun angin pukulan itu akan dapat ditahannya
dan takkan mencelakakannya karena ia pun memiliki tenaga lweekang cukup tinggi,
namun apabila ia membuat gerakan, akan terdengar oleh orang itu dan jika orang
itu menyerang dengan nekad di dalam gelap, tentu mau tidak mau ia harus
membalas dan pertempuran di dalam gelap hanya dapat diakhiri dengan maut! Dan
hal ini tidak ia kehendaki, karena ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan
orang itu. Ia pun tidak berani membuka mulut, karena ia tidak tahu akan watak
orang aneh itu. Ia hanya menanti sampai orang itu membuka mulut, akan tetapi
ternyata orang itupun tidak bicara sesuatu, hanya ah-ah-uh-uh seperti suara
monyet!
Semalam itu Cin Hai duduk saja menyandar
dinding dengan mengatur napas dan bersamadhi karena hanya dengan jalan duduk
diam begini ia dapat beristirahat sambil mencurahkan perasaannya hingga tak
mudah diserang lawan secara diam-diam.
Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari
mulai menerangi tempat itu, Cin Hai mendapat kenyataan bahwa kakek itu tidak
ada pula di tempat itu! Ia lalu berdiri dan keluar dari gua dan ternyata bahwa
kakek itu telah berdiri di depan gua sambil bertolak pinggang dan memandang
kepadanya dengan marah!
“Locianpwe, mohon kau orang tua suka memberi
maaf kepadaku kalau tanpa disengaja aku telah mengganggu,” kata Cin Hai sambil
menjura penuh hormat.
Akan tetapi, orang itu dengan muka merengut,
menggerak-gerakkan kedua tangannya seakan-akan mengusir supaya Cin Hai lekas
pergi dari situ sambil mulutnya mengeluarkan suara, “Ah-ah-uh-uh!” dan
terkejutlah Cin Hai karena ia mendapat kenyataan bahwa empek-empek itu ternyata
adalah orang gagu!
“Locianpwe, aku datang bukan dengan maksud
jahat. Apakah kau orang tua yang telah mengirim surat yang diikatkan di kaki
Sin-kong-ciak dulu itu?”
Kakek itu menggeleng-geleng kepala dengan
keras, hingga kembali Cin Hai tertegun karena kalau bukan kakek ini, siapa lagi
yang tinggal di tempat itu?
“Locianpwe, kalau begitu, tolonglah kau
memberi tahu tentang dua orang muda yang terjun di tempat ini dari atas!” kata
lagi Cin Hai sambil menggerak-gerakkan kedua tangan membantu kata-katanya agar
lebih jelas bagi kakek gagu itu.
Akan tetapi kembali kakek itu
menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata “ah-ah, uh-uh” tidak karuan dan
tangannya makin cepat bergerak mengusir Cin Hai karena ia beberapa kali
menuding ke arah bawah bukit.
“Locianpwe, aku tidak akan turun sebelum
mendapat keterangan kedua orang muda yang menjadi kawan-kawanku itu,” kata Cin
Hai sambil menggeleng kepala.
Tiba-tiba kakek itu menjadi marah dan sambil
mengeluarkan seruan seperti seekor binatang buas, ia menerkam Cin Hai dengan
ilmu pukulan yang aneh dan cepat. Cin Hai biarpun belum pernah melihat ilmu
pukulan macam ini, namun pandangannya yang awas dan pengertiannya yang mendalam
dalam hal gerakan pundak, tahu bahwa inilah ilmu silat seperti yang dilukiskan
di dalam gua itu. Ia cepat mengelak dan tidak mau membalas karena ingin tahu
sampai di mana kelihaian orang aneh ini. Lima jurus kakek itu menyerang dan
makin lama makin heranlah kakek itu dan jelas nampak pada mukanya bahwa ia
benar-benar merasa heran sekali karena serangannya itu dapat dielakkan dengan
mudah oleh Cin Hai. Cin Hai mendapat kenyataan bahwa biarpun ilmu pukulan kakek
itu hebat dan dalam hal keganasan tidak kalah dengan ilmu silat Hek Pek Moko,
namun tingkat kepandaian kakek ini masih belum sangat tinggi dan juga ginkang
kakek ini masih jauh dari pada sempurna. Maka ia maklum bahwa selain kakek gagu
ini, tentu masih ada seorang lain yang betul-betul tinggi dan sakti
kepandaiannya. Mungkin kakek ini hanya kawan atau murid saja dari orang pandai
yang sebenarnya dan yang belum juga mau memperlihatkan diri.
Setelah menyerang lagi lima jurus tanpa hasil
tiba-tiba kakek itu lalu berseru keras dan melarikan diri ke atas bukit.
Biarpun dalam hal ilmu silat Cin Hai masih jauh lebih lihai dari padanya, namun
ketika menyaksikan betapa kakek itu mendaki bukit dengan cepat sekali bagaikan
orang berlari di tanah datar saja, diam-diam Cin Hai menjadi kagum sekali. Akan
tetapi ia merasa menyesal dan kecewa sekali karena pertemuannya dengan kakek
gagu yang aneh ini pun tidak menghasilkan sesuatu dan tentang Kwee An dan Ma
Hoa masih tetap merupakan teka-teki gelap baginya.
Ia mengejar dan melompat ke atas sebuah batu
besar akan tetapi ia urungkan niatnya untuk mengejar terus. Apa gunanya? Kalau
ia dapat menyusul kakek itu, takkan ada gunanya karena ia tak dapat mengajak
kakek itu bercakap-cakap. Ia berdiri termenung di atas tempat yang tinggi itu
dan tiba-tiba ia mendengar suara riuh dari jauh. Ia segera memandang dan
melihat betapa dari jurusan utara datang sepasukan tentara yang panjang dan
besar jumlahnya. Debu mengepul ke atas ketika tanah yang kering terinjak oleh
banyak kaki orang itu.
Tiba-tiba dari jurusan selatan, nampak pasukan
lain. Pasukan ini tidak begitu panjang akan tetapi di bagian depan terdapat
beberapa orang penunggang kuda yang agaknya menjadi pemimpin pasukan itu. Juga
debu mengepul hebat di bawah kaki pasukan ini. Kedua pasukan itu agaknya hendak
berperang, karena masing-masing membawa bendera yang berkibar dan keduanya
bergerak maju untuk saling bertemu.
Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia
segera melompat turun dari batu karang, terus lari pergi dari tempat itu. Ia
mempergunakan jembatan bambu yang dibuatnya kemarin dan setelah meninggalkan
rawa itu, ia berlari cepat menuju ke tempat di mana kedua pasukan bertemu.
Dan setelah ia tiba di situ, terdengarlah
sorak sorai yang hebat dan dibarengi suara senjata beradu, dan pekik manusia
berperang. Cin Hai mendekati dan ketika ia melihat bahwa yang sedang bertempur
itu adalah pasukan kerajaan melawan pasukan orang-orang Mongol, ia segera
menyerbu dan membantu pasukan kerajaan. Melihat orang-orang Mongol ini, ia
teringat kepada Pangeran Vayami dan Ke Ce yang menimbulkan benci di dalam hatinya.
Sebelum Cin Hai datang, tentara kerajaan
terdesak oleh amukan tentara Mongol yang dikepalai seorang panglima perang
bangsa Mongol yang kosen sekali. Juga jumlah mereka yang lebih besar membuat
tentara kerajaan melawan dengan sia-sia dan banyak korban jatuh di pihak
mereka. Akan tetapi ketika Cin Hai menyerbu, di mana saja ia datang tentu pihak
Mongol menjadi kocar-kacir, karena dengan kedua tangan dan kakinya, setiap
gerakan pemuda ini membuat seorang bangsa Mongol terguling! Melihat datangnya
seorang pemuda Han yang amat lihai membantu pihak mereka, timbul kembali
semangat pasukan kerajaan hingga mereka lalu menyerbu lagi dengan nekad dan
penuh semangat hingga ketika Cin Hai membantu ke sana ke mari, pihak tentara
kerajaan kini mendapat kemajuan dan musuh dapat dibikin kacau. Akan tetapi,
ketika Cin Hai menyerbu sampai di tengah-tengah, ia melihat seorang panglima
bangsa Mongol yang amat kosen dan yang sedang dikeroyok oleh empat orang
panglima kerajaan, yaitu Perwira-perwira Sayap Garuda yang bersenjata pedang.
Akan tetapi, panglima Mongol yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar itu
mengamuk dengan hebatnya hingga empat orang Perwira Sayap Garuda itu terdesak
hebat. Bahkan di atas tanah menggeletak tiga orang Perwira Sayap Garuda dalam
keadaan mandi darah dan mati!
Bukan main marahnya Cin Hai karena ia maklum
bahwa Panglima Mongol yang tangguh ini takkah menemukan tandingan, melihat
betapa empat orang perwira kerajaan terdesak hebat dan bahkan telah ada tiga
yang tewas. Ia lalu berseru keras dan menyerbu menghadapi perwira Mongol itu
sambil berseru,
“Cuwi Ciangkun, mundurlah dan biarkan aku
menghadapi raksasa Mongol ini!”
Keempat Perwira Sayap Garuda menjadi girang
mendapat bantuan ini dan oleh karena mereka tadi memang sudah kewalahan menghadapi
lawan tangguh itu, maka mereka lalu meloncat ke belakang membiarkan anak muda
itu menggantikan mereka.
Panglima Mongol tinggi besar itu tertawa lebar
ketika melihat bahwa kini yang maju menghadapinya hanyalah seorang muda
berpakaian seperti seorang pelajar.
“Ha, ha, ha! Agaknya kalian telah kehabisan
panglima hingga mengajukan seorang kanak-kanak yang masih harus berada dalam
pelukan ibunya!” ia menyindir.
Cin Hai menghadapi sindiran dan hinaan ini
dengan tersenyum saja, lalu ia bertanya, “Panglima yang sombong, siapakah kau
dan apakah kau masih mempunyai hubungan dengan Pangeran Vayami?”
Panglima tinggi besar muka hitam itu
tercengang mendengar disebutnya nama ini. “Hm, dari mana kau tahu nama
pengkhianat kami itu? Vayami adalah seorang pengkhianat, jangan dihubungkan
dengan aku, Balaki, seorang pahlawan sejati dari Mongol!”
Balaki ini sebenarnya adalah seorang panglima
tinggi di daerah Mongol, tangan kanan Yagali Khan, raja muda yang memimpin dan
memerintah Mongolia pada masa itu. Dan ilmu kepandaian Balaki amat tinggi.
Ketika mendengar tentang gagalnya expedisi Mongolia mencari Pulau Kim-san-to,
maka ketika Yagali Khan mengadakan serbuan ke pedalaman Tiongkok, ia lalu
menawarkan diri untuk mengepalai sendiri barisan Mongol. Tiap pasukan Han yang
bertemu dengan pasukan pimpinan Balaki ini, pasti dihancurkan dan dikalahkan
dengan mudah. Pasukan yang kini sedang bertempur, tentu akan hancur binasa pula
kalau tidak kebetulan Cin Hai muncul sebagai bintang penolong.
“Anak muda,” kata pula Balaki, “kau siapakah
dan mengapa pula kau yang berpakaian pelajar ini berani maju menyambutku?”
“Aku adalah seorang rakyat biasa yang tentu
saja takkan tinggal diam melihat kau bangsa Mongol bermain gila di tanah
airku!” jawab Cin Hai dengan tenang. Balaki tertawa terbahak-bahak. “Ha, kau
ingin bermain menjadi patriot? Ha, ha, baiklah, aku akan membuat kau tewas
sebagai seorang pahlawan negara!” Sambil berkata demikian, Balaki lalu
menerjang maju dengan golok besarnya. Gerakannya antep dan cepat hingga Cin Hai
tidak berani memandang ringan, lalu cepat mencabut pedangnya dan melayaninya
dengan hati-hati. Para anak buah tentara kedua pihak ketika melihat pertempuran
hebat ini, menjadi gembira dan mereka yang berada dekat pertempuran ini lalu
menghentikan serbuan masing-masing dan kini menonton sambil bersorak menambah
semangat jago masing-masing! Juga keempat Perwira Sayap Garuda melihat
kelihaian Cin Hai, menjadi kagum dan berbesar hati karena selama ini belum
pernah ada yang kuat menghadapi Balaki yang terkenal kosen itu.
Cin Hai seperti biasa hanya mempertahankan
diri dulu untuk mengukur kepandaian lawan dan ternyata bahwa ilmu kepandaian
Balaki dengan ilmu golok tunggalnya, walaupun benar-benar lihai namun masih
tidak dapat mengimbangi kegesitan Cin Hai hingga pemuda ini dengan mudah dapat
mengelak atau menangkis semua serangan yang datang bertubi-tubi itu.
Hal ini tentu saja membuat Balaki merasa
penasaran sekali oleh karena belum pernah ia melihat seorang lawan yang dapat
menahan serangannya tanpa membalas sedemikian lamanya. Ia lalu berseru keras
dan tiba-tiba tangan kirinya mengeluarkan sebuah benda yang bulat, Cin Hai
mengira bahwa itu tentu semacam senjata rahasia maka ia berlaku waspada dan
siap sedia menghadapi serangan senjata gelap musuh. Akan tetapi Balaki tidak
mempergunakan senjata aneh itu, hanya menggenggamnya di tangan kiri dan golok
di tangan kanannya masih menyerang ganas. Tiba-tiba ketika Cin Hai mengelak
dari serangan golok lawannya, Balaki membuka tangan kirinya dan tahu-tahu
sebuah sinar keemasan yang bercahaya terang menyambar ke arah muka Cin Hai.
Sinar ini demikian cepat datangnya hingga tak mungkin dikelit oleh kegesitan
seorang manusia, maka Cin Hai merasa terkejut sekali dan tak terasa pula ia
berseru. Akan tetapi, ternyata bahwa sinar atau cahaya itu tidak menyakitinya,
hanya membuat matanya pedas sekali karena ternyata bahwa benda di tangan kiri
Balaki itu adalah sebuah cermin yang digunakan untuk memantulkan cahaya
matahari yang bersinar terang. Pantulan cahaya matahari itu digunakan untuk
menyerang mata lawan, dan mengagetkannya hingga tentu saja orang itu akan
menjadi silau dan kaget.
Benar saja, Cin Hai yang lihai itu sama sekali
tak menduga akan kelihaian lawan hingga ketika matanya bertemu dengan pantulan
cahaya matahari yang disinarkan dari cermin itu ia tidak kuat menahan dan
terpaksa menutup kedua matanya. Saat inilah yang dimaksudkan oleh senjata
cermin itu dan pada saat Cin Hai tersilau dan meramkan mata, golok di tangan
Balaki menyambar cepat dan hebat ke arah leher Cin Hai.
Sudah banyak sekali lawan yang tewas dalam
tangan Balaki terkena tipu ini, dan kali ini pun ia telah merasa pasti bahwa
pemuda ini tentu akan roboh dengan kepala terpisah dari tubuh. Akan tetapi,
kalau ia berpendapat demikian, ia belum kenal dan belum tahu betul siapa adanya
Cin Hai! Pemuda ini selain telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan luar
biasa, juga telah menerima gemblengan hebat dari Bu Pun Su, ditambah pengalaman
bertempur yang banyak menghadapi lawan-lawan tangguh, hingga dalam keadaan
bagaimana berbahaya pun, hatinya tetap tenang dan kewaspadaannya tidak
tergoncang. Memang, ketika matanya tersorot sinar matahari, ia merasa terkejut
dan tidak tahan untuk tidak memejamkan mata, akan tetapi hanya matanya saja
yang tertutup dan untuk saat itu tidak dapat digunakan, akan tetapi, telinga
dan perasaannya masih tajam dan tidak terpengaruh sama sekali. Ia dapat merasa
dan mendengar suara angin serangan golok yang mengarah lehernya, maka ketika
semua orang telah merasa ngeri, terutama keempat orang Perwira Sayap Garuda,
dan menduga bahwa pemuda itu pasti akan binasa di tangan Balaki seperti
orang-orang lain yang pernah menghadapinya, tiba tiba tubuh Cin Hai melompat ke
belakang dengan cepat sekali hingga mata golok itu lewat menyerempet di dekat
kulit lehernya.
Tidak hanya Balaki yang terkejut, akan tetapi
semua orang yang melihat lompatan ke belakang secara aneh itu merasa kagum
sekali. Belum pernah mereka dapat melihat seorang melompat ke belakang
sedemikian cepatnya dan tepat pada saat bahaya maut mengancam leher.
Kini Cin Hai merasa marah juga karena hampir
saja ia menjadi korban senjata golok pahlawan Mongol ini. Sebaliknya, Balaki
menyangka bahwa pemuda itu menjadi gentar, maka ia tidak menyia-nyiakan waktu
dan cepat mengejar untuk mengirim serangan dengan ilmu golok yang paling ia
andalkan. Goloknya terputar-putar garang laksana seekor naga mengamuk hingga
tubuhnya sendiri lenyap di dalam gulungan golok.
“Rasakan pembalasanku!” kata Cin Hai dan
pemuda ini mulai mainkan jurus-jurus limu Pedang Daun Bambu ciptaan sendiri.
Ketika ia mencipta ilmu pedang ini, ia menusukkan pedangnya dan menyerang
batang-batang bambu yang runcing seperti golok dan dapat mengenai sasaran
dengan tepat tanpa menyentuh daun-daun itu. Kini menghadapi putaran golok
Balaki, biarpun dalam pandangan mata orang lain, tubuh Balaki sampai lenyap
tergulung sinar golok namun bagi mata Cin Hai, ia masih dapat melihat
berkelebatnya ujung golok hingga dengan cepat ia dapat “memasukkan” pedangnya
di antara sinar golok.
Terdengar Balaki memekik. Pekik ini ia
keluarkan bukan karena kesakitan, akan tetapi juga karena terkejut dan takjub.
Ia tidak tahu bagaimana lawannya dapat menyerangnya dan tahu-tahu ia merasa
lengan tangannya sakit sekali hingga goloknya terlepas dari pegangan dan
ternyata bahwa lengannya telah tertusuk ujung pedang Cin Hai.
Bukan main girangnya keempat Perwira Sayap
Garuda melihat ini, akan tetapi Balaki segera memberi aba-aba keras dan
menyerbulah semua anak buahnya, sedangkan ia sendiri cepat meloloskan diri dari
keributan itu hingga Cin Hai tidak dapat mengejar dan merobohkannya.
Pertempuran hebat terjadi akan tetapi kini tentara Mongol telah lemah semangat
bertempurnya dan tak lama kemudian mereka melarikan diri, meninggalkan
kawan-kawan yang telah tewas dan terluka hingga tempat itu penuh orang-orang
mati dan luka.
Ini adalah kekalahan besar pertama kali yang
diderita oleh Balaki semenjak ia mulai menginjakkan kaki di pedalaman Tiongkok.
Keempat orang Perwira Sayap Garuda itu merasa girang dan berterima kasih sekali
kepada Cin Hai. Melihat sikap mereka yang baik, Cin Hai menjadi heran sekali
karena mereka ini berbeda sekali dengan Perwira-perwira Sayap Garuda yang
pernah dilihatnya, ketika ia dan Kwee An mengamuk di dalam Eng-hiong-koan di kota
raja dulu ketika ia membasmi para perwira yang menjadi musuh besar
Kwee-ciangkun.
“Hohan (orang baik atau orang gagah) yang muda
telah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, sungguh membuat kami berempat
menaruh hormat dan kagum serta amat berterima kasih sekali!” kata seorang di
antara empat Perwira Sayap Garuda itu. “Bolehkah kami mengetahui nama Hohan
yang gagah perkasa?”
Dengan suara merendah, Cin Hai berkata terus
terang untuk mencoba dan melihat sikap mereka, “Siauwte yang muda dan bodoh
bernama Sie Cin Hai. Dan mungkin Cuwi-ciangkun akan ingat nama hamba apabila
teringat akan peristiwa pembasmian keluarga Kwee-ciangkun!” sambil berkata
demikian, Cin Hai memandang tajam.
Jelas sekali nampak betapa empat orang perwira
itu terkejut sekali dan saling pandang kemudian mereka lalu mengangkat tangan
memberi hormat, sedangkan pemimpin mereka yang tertua berkata, “Ah, tidak
tahunya Sie-taihiap yang menolong kami! Pantas saja demikian lihai!
Sie-taihiap, kami juga semua Perwira Sayap Garuda, sudah tentu saja pernah
mendengar nama Taihiap yang gagah perkasa, bahkan kaisar sendiri telah lama
sekali mencari-cari Taihiap!”
Cin Hai benar-benar merasa tertegun dan heran
melihat sikap mereka ini.
“Apa? Apakah kaisar mencari untuk menghukum
aku yang telah pernah membunuh beberapa orang perwira jahat?”
“Ah, agaknya telah lama Sie-taihiap tidak ke
kota raja hingga tidak tahu akan keadaan dan perubahan di sana,” kata seorang
di antara mereka dan kemudian mereka menceritakan hal yang amat menggembirakan
hati Cin Hai. Ternyata bahwa semenjak Beng Kong Hosiang yang menjadi pemimpin
para perwira itu tewas di tangan Balutin dan para perwira tinggi yang jahat
telah tewas pula, yang menggantikan dan memegang pucuk pimpinan adalah seorang
panglima baru yang masih muda dan gagah perkasa bernama Kam Hong Sin. Panglima
Kam ini selaih gagah perkasa, juga berjiwa gagah dan tidak palsu seperti Beng
Kong Hosiang dan perwira lain yang dulu memegang kekuasaan. Bahkan Panglima Kam
ini mengindahkan kaum kang-ouw dan mempunyai pergaulan yang luas dengan
orang-orang gagah hingga ia amat dihormati dan disegani. Panglima ini pula yang
menyadarkan pikiran kaisar hingga kaisar tidak lagi mempunyai pandangan buruk
terhadap orang-orang kang-ouw. Dengan tangan besi Kam Hong Sin memilih Perwira-perwira
Sayap Garuda dan mengadakan peraturan-peraturan keras dengan ancaman hukuman
berat. Sedikit saja seorang perwira melanggar, ia lalu dihukum dan dipecat dari
kedudukannya. Oleh karena tindakan ini, maka banyak muncul perwira-perwira
baru, pilihan Kam-ciangkun dan bahkan tidak sedikit orang-orang kang-ouw masuk
menjadi Perwira Sayap Garuda!
“Karena inilah, Sie-taihiap, maka selain
Kam-ciangkun sendiri, juga kaisar ingin bertemu dengan Taihiap. Sudah lama
Kam-ciangkun mengagumi Taihiap dan lain-lain orang gagah dan mengharapkan untuk
dapat bertemu serta berkenalan,” kata Perwira Sayap Garuda itu. Tentu saja Cin
Hai menjadi girang sekali mendengar tentang perubahan baik ini, dan tanpa
diminta lagi ia lalu menyediakan tenaga untuk membantu mengusir para penyerbu
dari Mongol.
Ketika ia bertanya tentang penyerbuan
orang-orang Mongol ini, perwira itu menceritakan, “Telah sebulan lebih tentara
Mongol yang dipimpin oleh Yagali Khan menyerbu daerah Tiongkok dan raja muda
ini memiliki banyak sekali pembantu-pembantu yang pandai, Balaki tadi adalah
seorang di antara para jagonya itu maka kedudukannya kuat sekali. Kam-ciangkun
lalu menggerakkan banyak tentara yang dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan
mengadakan pengepungan kepada barisan induk dari tentara Mongol yang
berkedudukan di sebelah dalam tembok besar, di daerah Tiang-lo-sia. Pasukan
kami adalah sebagian dari barisan yang harus mengadakan pengepungan diri dari
selatan, akan tetapi tak terduga-duga kami bertemu dengan barisan Balaki tadi
hingga kalau saja tidak mendapat bantuan dari taihiap, tentu kami mendapat
bencana besar.”
Kemudian Cin Hai mendengar betapa tentara
kerajaan seringkali menderita kekalahan hingga ia menjadi penasaran dan
mengambil keputusan untuk ikut ke Tiang-lo-sia membantu usaha para pasukan
kerajaan mengusir musuh. Tentu saja para perwira itu merasa girang sekali oleh
karena dengan adanya pembantu yang lihai ini, banyak harapan usaha mereka akan
berhasil dan kini mereka tak usah kuatir menderita kekalahan apabila bertemu di
jalan dengan pasukan musuh.
Ketika pasukan di mana Cin Hai berada tiba di
Tiang-lo-sia, di sebelah luar daerah kekuasaan Yagali Khan, mereka bertemu
dengan pasukan-pasukan lain yang mengurung dari lain jurusan. Pengepungan
dilakukan dan tak lama kemudian berturut-turut pasukan-pasukan kerajaan datang
dari segenap penjuru, dan daerah Tiang-lo-sia telah dikurung. Pimpinan serbuan
ini adalah seorang perwira tinggi she Liang dan ia lalu mencari seorang untuk
dijadikan utusan karena ia membawa surat dari kaisar yang ditujukan kepada
Yagali Khan. Surat ini adalah bujukan halus yang juga mengandung ancaman agar
supaya Yagali Khan suka menarik kembali pasukannya dan jangan melanggar tapal
batas negara.
Ketika mendengar bahwa komandan
pasukan-pasukan kerajaan mencari seorang utusan untuk mengantar surat kaisar,
Cin Hai lalu mengajukan diri untuk melakukan tugas ini. Keempat perwira yang
pernah ditolongnya dari serbuan Balaki menceritakan kepada Liang-ciangkun akan
kegagahan dan jasa Cin Hai dan betapa pemuda ini telah mengalahkan Balaki
dengan mudahnya. Liang-ciangkun menjadi kagum dan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
memberikan tugas membawa surat itu kepada Cin Hai.
Yagali Khan dan para pembantunya sudah
mendengar bahwa pihak tentara Han akan mengirim utusan yang membawa surat
kaisar dan bahwa utusan ini adalah seorang pemuda yang pernah mengalahkan
Balaki. Oleh karena ini, kedatangan Cin Hai yang tidak mau dikawal dan hanya
datang seorang diri itu disambut oleh Panglima-panglima Mongol dan kemudian Cin
Hai dibawa menghadap pada Yagali Khan.
Cin Hai kagum melihat keangkeran tempat itu,
karena selain pengawal dan perajurit berbaris rapi dengan golok besar di tangan
sambil berdiri tegak, juga para perwira yang menyambutnya rata-rata bertubuh
tinggi besar dan kelihatan gagah sekali. Dan ketika ia tiba di ruang di mana
Yagali Khan duduk di atas sebuah kursi indah ia melihat bahwa di dekat raja
muda ini duduk pula tiga orang panglima besar, seorang di antaranya bukan lain
adalah Balaki sendiri! Orang ke dua adalah seorang tua berrambut putih panjang
yang terurai di pundak sedangkan pakaiannya mengingatkan ia kepada Pangeran
Vayami, jubah merah yang indah. Orang ke tiga pendek gemuk setengah tua, juga
berpakaian merah hingga dapat diduga bahwa kedua orang ini tentulah pendeta-pendeta
Sakia Buddha atau pendeta Agama Buddha Merah seperti halnya Pangeran Vayami.
Sikap ketiga orang yang duduk di dekat Yagali Khan ini nampak angker dan mereka
tidak bergetar bagaikan patung. Akan tetapi dari mata mereka memancarkan sinar
berapi ditujukan kepada Cin Hai yang masuk dengan tindakan kaki gagah dan
tenang.
Melihat bahwa orang yang pernah mengalahkan
Balaki adalah seorang pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun, bukan
main herannya Yagali Khan. Ia menyambut kedatangan Cin Hai dengan dingin dan
tidak berdiri dari tempat duduknya, hanya berkata dengan suara nyaring dan
dalam bahasa Han yang cukup fasih.
“Tuankah utusan kaisar?”
“Betul, Yagali Khan, akulah yang mendapat
kehormatan untuk menjadi utusan kaisar,” jawab Cin Hai dengan tenang dan ia
sama sekali tidak mau memberikan hormat karena melihat sikap mereka demikian
dingin. Dari saku bajunya ia mengeluarkan surat kaisar yang ditujukan kepada
Raja Muda Yagali Khan dan memberikannya kepada raja muda Mongol itu. Baik Yagali
Khan sendiri maupun ketiga panglima besar yang duduk di sampingnya, merasa
penasaran dan heran atas sikap dingin dan keberanian Cin Hai.
“Anak muda, kau berani dan tinggi hati. Apakah
ini terdorong oleh sifatmu yang sombong dan karena kau mengandalkan ilmu
kepandaianmu?” tanya pula Yagali Khan sambil menerima surat itu.
“Tidak demikian, Yagali Khan. Aku adalah
seorang utusan dan pada saat ini aku boleh dibilang sebagai wakil kaisar yang
memerintahkan datang memberikan surat dan mengadakan perundingan dengan kau.
Maka sesuai pula dengan kebesaran kaisar negaraku, aku pun tidak boleh
merendahkan diri di hadapan seorang raja muda asing, apa lagi karena aku berada
di atas tanah sendiri sedangkan kau dan barisanmu merupakan tamu-tamu belaka.”
Jawaban ini diucapkan dengan tenang dan tabah
hingga Yagali Khan merasa makin heran dan kagum.
“Anak muda, kalau aku menggerakkan seluruh
perwira dan pasukanku, apa kaukira kau yang hanya seorang diri ini, betapapun
tinggi kepandaianmu, akan dapat membela diri dan pulang dengan selamat?”
“Aku tidak takut karena hal seperti itu tak
mungkin terjadi,” jawab Cin Hai.
“Mengapa kau bisa berkata demikian? Dengan
hanya mengangkat tangan kananku, ribuan perajurit akan menyerbu dan
menghancurkan tubuhmu dengan golok dan pedang.”
“Sekali lagi aku yakin bahwa hal ini tak
mungkin terjadi. Pertama karena aku adalah seorang utusan dan negara mana pun
di dunia ini takkan mengganggu seorang utusan kaisar! Ke dua kalinya, kalau kau
melanggar aturan ini dan mengerahkan perajurit untuk mongeroyokku, aku akan
melawan mati-matian dan sebelum aku mati, tentu aku akan berhasil merobohkan
ratusan orang-orangmu hingga mati pun takkan rugi. Ke tiga kalinya, kalau kau
melakukan pelanggaran ini, nama Yagali Khan akan tenggelam ke dalam lumpur
kehinaan hingga andaikata kelak kau bisa menjadi seorang raja yang bagaimana
pun besarnya, namamu akan tetap dipandang rendah sebagai seorang raja yang
curang dan tidak tahu akan kesopanan negara.”
Tertegun semua yang hadir di situ mendengar
jawaban yang berani sekali akan tetapi tepat ini. Wajah Yagali Khan berubah
merah dan kalau saja yang mengucapkan kata-kata ini bukan seorang utusan kaisar
tentu ia akan mencabut pedangnya dan memenggal kepala orang itu dengan
tangannya sendiri. Ia hanya mengeluarkan suara “hm, hm” kemudian setelah
menatap wajah Cin Hai yang membalas pandangannya dengan tenang dan mulut
tersenyum, lalu ia membuka surat kaisar itu.
Sebagai seorang utusan, Cin Hai telah diberi
tahu oleh komandan pasukan kerajaan tentang isi surat agar ia dapat mengetahui
baik-baik akan tugasnya. Isi surat itu adalah bujukan halus yang mengandung
ancaman agar Yagali Khan suka insyaf dan tidak menanam permusuhan dan mengacau
daerah Tiongkok, karena ini hanya akan mengakibatkan kehancurannya dan kerusakan
kedua belah pihak.
Setelah membaca surat itu, Yagali Khan
memandang kepada Cin Hai dan berkata, “Hm, kaisarmu ini sama dengan kau,
sombong dan mengagulkan diri! Apakah yang kalian andalkan? Kami mempunyai
pasukan yang besar jumlahnya dan kuat, senjata kami lengkap dan perwira-perwira
kami berkepandaian tinggi! Jangan kau menjadi sombong setelah berhasil
mengalahkan seorang di antara perwira kami. Apakah kaisarmu itu menjadi sombong
karena mengandalkan kau?”
Cin Hai tersenyum. “Yagali Khan, jangan kau
memandang rendah Negara Tiongkok! Betapapun besar jumlah barisanmu,
dibandingkan dengan barisan dan rakyat Tiongkok, belum ada seperseratusnya!
Tentang senjata dan kekuatan kami pun tidak akan kalah. Adapun tentang orang
pandai, kami tidak kekurangan. Ketahuilah, bahwa baru aku saja yang hanya
menjadi utusan biasa dan bukan seorang panglima, aku tidak gentar menghadapi
perwiramu yang manapun juga! Apalagi panglima kami yang gagah perkasa dan ilmu
kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaianku! Dan panglima-panglima
yang gagah perkasa di pihak kami bukan hanya ratusan atau ribuan jumlahnya,
bahkan ada laksaan! Sia-sia saja kalau kau hendak menyerbu ke negara kami. Lagi
pula, apakah perlunya? Kau dan kami adalah tetangga yang harus mengadakan perhubungan
baik. Apakah kau belum mendengar betapa para Lama di Tibet juga telah
mengadakan hubungan baik dan damai dengan kami? Padahal mereka itu kuat sekali,
lebih kuat daripada barisanmu. Oleh karena inilah, dan demi menjaga keamanan
rakyat, kaisar kami minta kepadamu untuk menggunakan kebijaksanaan dan kembali
pulang dengan damai.”
Ucapan Cin Hai ini sebetulnya bukan omong
kosong, oleh karena negeri mana di dunia ini yang memiliki rakyat lebih banyak
daripada Tiongkok? Adapun tentang kepandaian, Cin Hai maklum bahwa banyak
sekali orang-orang pandai di negaranya, maka biarpun agak berlebihan ketika ia
mengatakan bahwa masih banyak sekali orang-orang yang jauh lebih pandai
darinya, akan tetapi ada benarnya juga. Para perwira yang mendengar ucapan ini
diam-diam merasa gentar juga, bahkan Yagali Khan sendiri juga merasa ngeri.
Akan tetapi ia tidak mau menyatakan ini, bahkan lalu berkata,
“Anak muda, jangan kaukira aku merasa takut
mendengar ocehanmu itu! Dan tentang kesombonganmu yang sanggup dan berani menghadapi
setiap perwira kami, baikiah kaubuktikan! Kami bukan hendak mencelakakan
seorang utusan karena kami bukanlah orang rendah seperti yang orang kira, akan
tetapi kami mengajak kau secara terang-terangan untuk mengadu kepandaian. Kalau
kau dapat merobohkan seorang jago yang kutunjuk, biarlah kami anggap bicaramu
tadi tidak bohong belaka dan kami akan menarik mundur pasukan-pasukan kami!”
Cin Hai maklum bahwa sekarang terletak penuh
di atas kedua pundaknya untuk menentukan apakah bujukan kaisar ini berhasil
atau tidak. Kalau ia bisa merobohkan jago yang ditunjuk oleh Yagali Khan,
mereka tentu akan merasa juga menghadapi perwira-perwira yang ia sombongkan
memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi kalau ia sampai
kalah, tidak saja jiwanya terancam, akan tetapi juga kata-katanya tadi akan
dianggap bohong dan raja muda itu tentu akan melanjutkan serbuannya! Ia
menganggap bahwa perlu sekali raja muda ini diberi bukti akan kelihaiannya agar
dapat tunduk. Maka ia menjawab sambil tersenyum tenang,
”Boleh, boleh, Yagali Khan. Apakah kau akan
mengajukan Balaki?”
Merah wajah Balaki mendengar ini dan ia
memandang kepada Cin Hai dengan mata melotot. “Biarkan hamba mengadu jiwa
dengan orang ini!” katanya kepada Yagali Khan, akan tetapi raja muda itu sambil
tersenyum lalu berkata,
“Bukan kau lawannya, Balaki.” Lalu ia menyuruh
pendeta Jubah Merah yang rambutnya putih itu dalam bahasa Mongol. Pendeta itu
tersenyum, berdiri lalu membongkokkan tubuhnya dalam-dalam di depan
junjungannya, kemudian ia menghampiri Cin Hai yang sudah siap.
“Anak muda,” katanya dengan suara yang halus
dan dalam bahasa Han yang kaku, “siapakah namamu? Aku tidak biasa menewaskan
seorang tanpa mengenal namanya.”
Biarpun kata-kata ini diucapkan dengan suara
halus, namun mengandung pandangan yang merendahkan sekali. Cin Hai tertawa dan
menjawab,
“Agaknya kau telah yakin benar bahwa aku pasti
akan tewas di dalam tanganmu! Namaku adalah Sie Cin Hai atau kau boleh saja
sebut aku sebagai Pendekar Bodoh karena nama inilah yang dikenal oleh
orang-orang yang menjadi lawanku. Pakaianmu mengingatkan aku akan Pangeran
Vayami. Agaknya kau sepaham dengan dia.”
“Vayami bukan apa-apaku, jangan kau ngaco! Aku
adalah pendeta tinggi dari Sakia Buddha dan disebut Thai Kek Losu. Anak muda,
apakah benar kau berani menerima tantangan ini? Ketahuilah, bahwa sekali Thai
Kek Losu turun tangan, biasanya pasti akan ada orang melepaskan nyawanya!”
“Thai Kek Losu, seorang laki-laki kalau sudah
mengeluarkan kata-kata, biar sampai mati pun takkan menelan kembali kata-kata
itu. Aku telah menerima tantangan ini dan tentu saja akan kuhadapi sampai
akhir. Adapun tentang mati, siapakah orangnya yang akhirnya takkan mati? Hanya
bedanya, ada orang mati seperti harimau dan ada pula yang mati seperti babi. Dan
aku memilih yang pertama itu! Kau majulah!”
Oleh karena maklum bahwa lawan ini tak boleh
dipandang ringan maka Cin Hai lalu mencabut Liong-coan-kiam dari pinggangnya,
dan melintangkan pedang itu di dadanya. Thai Kek Losu tertawa bergelak
mendengar kata-kata Cin Hai itu. “Pendekar Bodoh, tidak tahunya kau mempunyai
semangat dan kegagahan juga! Bagus, bagus, kau hadapi senjataku ini yang akan
membebaskan jiwamu dari pada penderitaan hidup!”
Sambil berkata demikian, pendeta rambut putih
ini lalu mengeluarkan sebuah tengkorak dari dalam bajunya yang lebar. Tengkorak
ini mungkin tengkorak anak-anak, karena kecil saja dan pada leher tengkorak itu
dipasangi rantai berwarna kuning yang panjangnya kurang lebih lima kaki. Dengan
memegang ujung rantai itu, maka tengkorak yang mengerikan ini menjadi senjata
yang luar biasa sekali, senjata rantai yang berujung tengkorak!
Cin Hai merasa terkejut juga melihat senjata
ini karena selama hidupnya belum pernah ia melihat senjata macam ini, maka ia
berlaku waspada dan tidak mau menyerang lebih dulu. Melihat keraguan Cin Hai,
Thai Kek Losu lalu melangkah maju sambil mengayunkan rantainya. Tengkorak kecil
itu melayang dan menyambar ke arah muka Cin Hai, seakan-akan hendak menciumnya!
Cin Hai bergidik karena ngeri, maka ia cepat-cepat menahan napas untuk
menenteramkan hatinya yang secara aneh sekali tergoncang ketika melihat
tengkorak itu dan ia lalu melompat ke samping. Ia dapat menduga bahwa senjata
aneh ini tentulah mengandung kekuatan hoatsut (sihir) yang dapat membuat lawan
terkejut, ngeri dan lemah semangatnya, maka ia segera menggerak-gerakkan tangan
kirinya yang tidak memegang senjata itu untuk memainkan Ilmu Silat
Pek-in-hoatsut atau Ilmu Sihir Awan Putih! Beberapa kali ia menggerakkan lengan
kiri dan mengerahkan semangat dan tenaga lweekang hingga dari lengannya yang
kiri mengepul uap putih! Kembali tengkorak itu menyambar ke arah kepalanya dan
cepat sekali Cin Hai lalu membacok tengkorak itu dengan pedangnya. Akan tetapi,
segera ia tarik kembali pedangnya dan melompat lagi untuk mengelakkan diri.
Entah bagaimana, ia merasa tidak tega untuk membacok dan memecahkan tengkorak
itu yang tiba-tiba nampak seakan-akan menjadi kepala seorang anak-anak yang
masih utuh, lengkap dengan mata, rambut, dan hidung serta mulutnya!”
Memang senjata di tangan Thai Kek Losu ini
bukan senjata biasa. Sebelum tengkorak itu diikat dengan rantai, telah ditapai
dan dimasuki ilmu sihir. Hendaknya diketahui bahwa kepala itu diambil dari
kepala seorang anak yang masih hidup, yang dikorbankan secara kejam dan tak
mengenal perikemanusiaan oleh pendeta itu! Khasiat senjata ini ialah dapat
menyihir lawan dan membuat lawan selain serasa pusing dan gentar, juga apa bila
lawan hendak melawan dengan sungguh-sungguh, maka tengkorak itu akan nampak
seperti masih hidup dan lengkap merupakan kepala seorang anak kecil yang
menangis!
Oleh karena maklum akan kelihaian senjata ini,
Cin Hai lalu menyabarkan diri dan hanya memperhatikan gerak lawannya saja. Ia
mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dari setiap serangan dan setelah ia
memperhatikan serangan lawan, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat kakek ini
benar-benar lihai serta tenaga lwekangnya belum tentu kalah olehnya! Akan
tetapi dengan kepandaian dan pengertiannya tenang pokok-pokok dasar segala macam
gerak dan serangan lawan Cin Hai sebetulnya tak perlu merasa gentar. Hanya
senjata hebat itulah yang membuatnya ragu-ragu dan ngeri. Baiknya ia telah
mainkan Pek-in-hoatsut dengan tangan kirinya hingga sebagian besar hawa siluman
yang merupakan daya sihir itu telah dapat ditolak sebagian. Namun ternyata
bahwa kekuatan sihir atau ilmu hitam dari Thai Kek Losu kuat sekali.
Biarpun kini Cin Hai tidak merasa gentar lagi akan tetapi tetap ia tidak tega
untuk membacok kepala atau tengkorak itu.
Cin Hai lalu mengeluarkan Ilmu Pedang Daun
Bambu dan setelah ia membalasnya dengan serangan-serangan yang amat lihai itu,
Thai Kek Losu baru merasa terkejut. Ilmu pedang lawannya yang muda ini memang
luar biasa. Tadi ketika ia melihat bahwa Cin Hai tidak terpengaruh oleh daya
sihir senjatanya dan lengan kiri pemuda itu begerak-gerak menurut garis Pat-kwa
hingga dapat menolak daya sihir, ia telah merasa kagum dan maklum bahwa ia
menghadapi murid seorang sakti. Akan tetapi ia maklum bahwa pemuda itu masih
belum mampu menolak daya sihir yang membuat ia tidak tega membacok tengkorak
itu dan diam-diam ia merasa girang oleh karena dengan ilmu silatnya yang
tinggi, tentu ia akan dapat mendesak dan akhirnya mengalahkan lawannya ini. Tak
usah banyak-banyak, sekali saja muka atau kepala lawannya dapat tercium oleh
mulut tengkorak itu, pasti ia akan roboh dan tewas. Kini setelah Cin Hai
mengeluarkan Ilmu Silat Daun Bambu, baru ia terkejut sekali karena gerakan anak
muda itu membuat ia terpaksa mencurahkan sebagian perhatiannya untuk menjaga
diri. Serangan-serangan ujung pedang Liong coan-kiam sungguh hebat dan sukar
diduga, sedangkan untuk melukai kepala lawannya dengan tengkoraknya, bukanlah
merupakan hal yang mudah karena pemuda itu memiliki kegesitan yang jauh lebih
tinggi daripada kepandaian ginkangnya sendiri.
Untuk dapat mempercepat kemenangannya, Thai
Kek Losu lalu merogoh saku jubah dengan tangan kirinya dan ketika tangan
kirinya itu bergerak, maka menyambarlah tujuh batang jarum hitam ke arah jalan
darah di seluruh tubuh Cin Hai, antaranya dua batang menuju matanya. Inilah
Hek-kang-ciam atau Jarum Baja Hitam yang cepat sekali lajunya karena biarpun
kecil akan tetapi berat sekali. Cin Hai dengan tenang memutar pedangnya dan
aneh sekali! Semua jarum itu menempel pada Pedang Liong-coan-kiam dan melengket
di situ, kemudian sambil berseru keras, ketika Cin Hai menggerakkan pedangnya,
semua jarum itu menyambar kembali ke arah tuannya. Thai Kek Losu merasa
terkejut sekali dan cepat ia melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari
sambaran jarum-jarumnya sendiri! Sebetulnya tidak aneh, oleh karena
Liong-coan-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang mengandung daya penarik
sembrani hingga jarum-jarum kecil itu melengket dengan mudah. Kemudian sambil
mengerahkan lweekangnya, pemuda itu dapat membuat jarum-jarum yang menempel itu
terlepas dan melayang ke arah lawannya.
Kemudian tangan kiri Thai Kek Losu bergerak
dan kali ini Cin Hai hanya mengelak oleh karena yang menyambar hanya tiga
batang jarum saja, akan tetapi kesempatan itu digunakan oleh Thai Kek Losu
untuk menghantamkan tengkoraknya ke arah batok kepala Cin Hai. Serangan ini
tiba-tiba datangnya dan selain tak terduga oleh karena perhatian Cin Hai
tercurah kepada jarum-jarum itu juga cepat sekali hingga tanpa terasa pula Cin Hai
menangkis dengan pedangnya. Terdengar suara keras ketika tengkorak itu mencium
pedang dan tiba-tiba dari muka tengkorak itu menyambar keluar tujuh batang
jarum-jarum yang kehijau-hijauan dan berbau amis karena mengandung racun.
Inilah kelihaian tengkorak itu yang sengaja diserangkan dengan tiba-tiba agar
ditangkis oleh lawannya. Dari kedua lubang hidung keluar empat batang jarum,
sedangkan dari mulut tengkorak itu keluar tiga batang. Semua jarum ini
menyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan cepat sekali.
Kali ini Cin Hai benar-benar terkejut karena
sama sekali tak pernah menduga akan hal ini. Ia cepat melempar tubuh ke
belakang hingga seperti jatuh terjengkang dan ini pun hampir saja tak dapat
menolongnya karena jarum-jarum itu lewat dekat sekali dengan kulit mukanya,
hingga hidungnya mencium bau yang luar biasa amis dan busuknya.
Setelah pengalaman ini, Cin Hai menjadi marah
sekali, sebaliknya Thai Kek Losu menjadi kecewa dan gentar. Memang tipu tadi
adalah tipu terakhir yang disengaja karena ia pasti akan dapat merobohkan
lawannya. Tidak tahunya, anak muda itu benar-benar hebat sekali hingga pada
saat dan keadaan yang agaknya tak mungkin dapat melepaskan diri dari bahaya
maut itu, Cin Hai masih dapat mengelaknya. Ia merasa rugi oleh karena tipu itu
tidak berhasil, maka Cin Hai takkan merasa tidak tega lagi kepada tengkorak itu
oleh karena ketika pedangnya membentur tengkorak, ternyata tengkorak itu tidak
pecah. Sekaligus pengalaman ini membuat hati pemuda itu menjadi tetap dan rasa
kasihan serta tidak tega terhadap tengkorak itu menjadi lenyap, bahkan terganti
rasa benci oleh karena ternyata bahwa tengkorak kecil yang dikasihinya tadi
mengandung senjata maut yang hampir saja menewaskannya. Kini Cin Hai menerjang
maju sambil memutar-mutar pedangnya dan mengeluarkan gerakan dan jurus-jurus
Ilmu Pedang Daun Bambu yang paling hebat, hingga Thai Lek Losu terdesak mundur
tanpa dapat membalas.
Pada saat yang baik, Cin Hai menusukkan
pedangnya ke arah tenggorokan Thai Kek Losu melalui sinar rantai musuh dengan
gerakan miring. Thai Kek Losu mencoba untuk menghindarkan serangan ini dengan
mengadu jiwa, yakni ia membarengi untuk memukulkan tengkoraknya pada muka Cin
Hai. Dua senjata itu menyerang dengan cepat dalam waktu hampir bersamaan, dan
kalau sekiranya kedua orang itu tidak mau menarik kembali serangan mereka,
tentu kedua-duanya akan tewas. Akan tetapi, tentu saja Cin Hai tidak sudi
mengadu jiwanya. Ia maklum bahwa tengkorak itu berbahaya sekali dan mengandung
racun hebat dan sekali saja ia kena cium mulut tengkorak yang kebiru-biruan
itu, ia akan mengalami bencana besar. Secepat kilat gerakan pedangnya yang
memang mudah berubah-ubah itu, ia balikkan dan kini pedang itu menyambar ke
arah rantai. Sebelum tengkorak mengenai mukanya, pedang Liong-coan-kiam dengan
dorongan tenaga lweekang sepenuhnya telah berhasil menebas putus rantai itu
hingga tengkorak yang berada di ujung rantai terpental jauh dan menggelinding
bagaikan bal. Dan pada saat itu juga, kaki kiri Cin Hai dengan cepat melayang
dan mendupak dada Thai Kek Losu yang terpental pula seperti tengkorak tadi dan
kebetulan sekali ia jatuh ke arah tempat duduk Balaki. Balaki tidak berani
menyambut tubuh Thai Kek Losu, hanya cepat sekali tubuhnya melayang pergi dari
kursinya dan pada lain saat, tubuh Thai Kek Losu telah jatuh di atas kursi itu
dan duduk dengan muka pucat.
“Yagali Khan, kuharap saja sebagai seorang
raja besar, kau suka pegang teguh ucapanmu!” kata Cin Hai yang lalu bertindak
pergi keluar dari situ dengan langkah tenang.
Yagali Khan mengertak giginya, jagonya yang
nomor satu telah dikalahkan oleh seorang utusan atau pembawa surat saja,
apalagi kalau menghadapi panglima besar kaisar!
“Pendekar Bodoh, kami akan pegang janji, akan
tetapi lain waktu kalau kami mengundangmu, harap kau tidak menolak karena
takut!” teriaknya, akan tetapi Cin Hai pura-pura tidak mendengarnya dan
mempercepat langkahnya, oleh karena ia tidak mau mengikat dirinya dengan
perjanjian macam itu yang hanya akan memperbesar permusuhan belaka. Dan pula,
entah mengapa, ia merasa kepalanya pening sekali dan selalu seperti hendak
muntah.
Karena kepeningan kepalanya, maka Cin Hai
telah mengambil jalan keliru dan ia tersesat jalan tanpa ia sadari. Pada suatu
jalan simpang tiga, seharusnya ia membelok ke kiri, akan tetapi sebaliknya ia membelok
ke kanan. Kepalanya makin pening dan kedua kakinya gemetar, akan tetapi ia
berlari terus secepatnya.
Ketika ia masuk dalam sebuah hutan yang liar
dan terus berlari cepat, tiba-tiba ia mendengar suara harimau mengaum. Akan
tetapi, berbeda dengan auman harimau biasa, auman ini luar biasa kerasnya
hingga Cin Hai sendiri sampai tergetar jantungnya. Ia lalu menekan perasaan
peningnya dan berlari menuju ke arah auman harimau itu karena setelah suara
auman itu hilang gemanya, terdengar suara orang bersuara.
Setelah ia tiba di satu tempat terbuka, ia
menyaksikan pemandangan yang aneh dan mengagumkan. Dua orang laki-laki, yang
seorang sudah tua dengan rambut dan jenggot putih, yang ke dua setengah tua,
sedang tertawa-tawa dan mempermainkan seekor harimau yang luar biasa besar dan
galaknya. Cin Hai melangkah mendekati dan menyaksikan sepak terjang kedua orang
tua itu. Kakek jenggot putih itu berdiri berhadapan dengan harimau sambil
mempermainkan mulutnya seakan-akan mengolok-oloknya. Orang ke dua berdiri di
belakang harimau sambil bertolak pinggang. Sikap mereka ini seakan-akan bukan
sedang menghadapi seekor harimau yang besar, akan tetapi seakan-akan dua orang
anak-anak menghadapi seekor kucing yang jinak!
Tiba-tiba harimau itu menggerang keras dan
melompat tinggi, menerkam kakek jenggot putih! Kakek itu diam saja tidak
mengelak akan tetapi setelah harimau itu melayang dekat ia segera berseru dan
tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke atas, melalui tubuh harimau dan sambil
berjungkir balik di udara ia menjatuhkan diri pula menduduki punggung harimau!
“Heh, heh heh! Hayo menari...!” katanya
menepuk-nepuk punggung harimau besar itu dengan kedua tangannya persis anak
kecil naik kuda-kudaan!
“Ha, ha, Twako, jangan lepaskan dia, ha, ha!”
Laki-laki setengah tua yang berjenggot hitam itu tertawa gembira dan sekali
tubuhnya bergerak, ia telah menyambar ke arah harimau yang sedang marah sekali
itu. Harimau itu menggoyang-goyang tubuhnya membuka mulutnya lebar-lebar dan
ekornya bergerak cepat dan tiba-tiba bagaikan sebatang toya, ekor yang panjang
itu menyambar kepala kakek jenggot putih dari belakang. Cin Hai merasa terkejut
akan tetapi tiba-tiba seakan-akan kepala kakek itu ada mata di belakangnya,
kakek itu menundukkan kepalanya hingga sabetan ekor harimau mengenai tempat
kosong.
Sementara itu, Si Jenggot Hitam yang telah
melompat di dekat tubuh harimau, lalu mengulur tangan kanan dan menjiwir
telinga harimau itu hingga binatang liar ini menggerung-gerung kesakitan.
Ketika ekor harimau itu menyabet kembali, dengan
mudah Si Jenggot Hitam menangkap ekor tadi dan menahannya di belakang hingga
harimau yang hendak lari ke depan itu tertahan dan tak dapat bergerak.
“Hayo, menyerah tidak kau!” kata kakek jenggot
putih sambil menggenjot-enjot tubuhnya di punggung harimau.
Binatang itu hendak menggulingkan diri dan
mencakar kakek itu, akan tetapi ia merasa betapa tubuh kakek itu bukan main
beratnya hingga ia tidak kuat berdiri lagi dan perutnya menempel pada tanah.
Cin Hai melihat dengan kagum dan heran akan
kelihaian dan kegesitan kedua orang itu, dan pada saat itu, ia mendengar suara
keras berbunyi di udara, dan ketika ia memandang, ternyata di udara sedang
terjadi pertempuran yang lebih aneh lagi. Seekor burung bangau besar sedang
bertempur dengan ramainya melawan seekor burung rajawali. Rajawali itu
menyambar-nyambar dengan ganasnya akan tetapi dengan patuknya yang runcing dan
panjang bagaikan dua batang pedang itu, burung bangau mempertahankan diri
dengan baiknya.
Ketika dua orang laki-laki itu menengok ke
atas karena tertarik oleh suara burung-burung yang sedang berkelahi, mereka
juga terkejut sekali.
“Kau mendekamlah!' seru kakek jenggot putih
sambil menepuk dan menotok urat di punggung harimau dan aneh sekali, harimau
itu tiba-tiba menjadi lemas dan mendekam tanpa berdaya lagi. Ternyata bahwa
kakek itu tahu jalan-jalan darah binatang itu hingga dapat mengirim tiam-hwat
(totokan) dengan tepat sekali. Adapun Si jenggot Hitam segera memandang ke atas
dan berseru keras,
“Ang-siang-kiam, kau turunlah!!” Kemudian ia
mengeluarkan suara bersuit yang keras sekali. Burung bangau itu diberi nama
Ang-siang-kiam atau Sepasang Pedang Merah oleh karena patuknya memang berwarna
merah dan panjang seperti sepasang pedang.
Mendengar suitan ini, bangau itu segera
meluncur turun dengan cepat dan di belakangnya, rajawali itu menyambar pula
mengejar.
“Rajawali keparat!” Si Jenggot Hitam itu
memaki dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sebatang pelor putih yang
bulat meluncur cepat ke arah dada rajawali yang mengejar bangau itu. Akan
tetapi, rajawali ini gesit sekali dan sebelum pelor mengenai dadanya, ia telah
mengelak ke kiri. Sebutir pelor putih lain menyusul dan mengarah lehernya.
Rajawali itu segera mengebutkan sayapnya dan pelor kena terpukul jatuh!
Melihat kelihaian rajawali itu, kedua orang
laki-laki itu menjadi terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan, sedangkan Cin
Hai yang juga memandang dengan perhatian lalu teringat akan rajawali yang dulu
pernah bertanding melawan Ang I Niocu di atas perahu. Banyak persamaannya
antara kedua burung rajawali itu.
Sementara itu, burung bangau yang diberi nama
Ang-siang-kiam itu telah turun di atas tanah dan kini berdiri di dekat kakek
jenggot hitam. Tubuh burung bangau itu tinggi sekali hingga merupakan seekor
burung bangau yang langka terdapat. Adapun rajawali tadi karena tahu akan
kelihaian dua orang manusia yang berada di bawah, lalu hanya terbang berputaran
sambil mengeluarkan pekik menantang tanpa berani turun ke bawah.
Pada saat itu terdengar bentakan halus,
“Sin-kim-tiauw, jangan kurang ajar!” Mendengar suara ini, rajawali tadi lalu
melayang turun dan Cin Hai menjadi girang dan juga terkejut sekali oleh karena
ia mengenal suara ini sebagai suara gurunya, Bu Pun Su!
Benar saja, ketika kedua orang laki-laki itu
pun memandang, dari sebuah tikungan, muncullah seorang kakek tua sekali yang
berpakaian penuh tambalan hingga merupakan seorang jembel tua. Rajawali emas
tadi telah turun dan kini berjalan di belakang kakek itu bagaikan seekor anjing
yang jinak sekali.
“Suhu!” Cin Hai berseru dan segera berlari dan
menghampiri, akan tetapi hampir saja ia roboh terguling karena kepalanya terasa
pening sekali ketika ia berlari itu. Untung ia masih dapat menetapkan kaki dan
segera berlutut.
“Cin Hai, lekas kaududuk dan kumpulkan semangat
bersihkan napas!” terdengar kakek itu berseru setelah memandang wajah muridnya.
Kakek sakti ini sekali pandang saja tahu bahwa muridnya ini telah terkena hawa
beracun yang berbahaya sekali. Cin Hai biarpun merasa heran, segera menurut dan
taat akan perintah gurunya itu. Ia segera duduk bersila, meramkan mata dan
merangkapkan kedua tangan di depan dada. Tiba-tiba ia merasa betapa telapak
tangan suhunya yang halus itu memegang tangannya dan dari telapak tangan
suhunya mengalirlah hawa yang luar biasa hangat dan kuat melalui telapak
tangannya sendiri dan terus membantu hawa kekuatan tubuhnya sendiri. Oleh
karena ini, ia merasa betapa hawa tenaga di dalam tubuhnya menjadi berlipat
ganda dan kini ia gunakan hawa itu diputar-putar ke seluruh tubuh karena tidak
tahu akan maksud suhunya.
“Penuhkan di dada, bersihkan paru-paru dan
usir hawa racun yang tadi masuk dari lubang hidungmu!” kakek itu berbisik
perlahan.
Cin Hai diam-diam merasa terkejut dari
teringatlah ia akan pertempurannya melawan Thai Kek Losu tadi. Jarum-jarum
berbisa yang lihai dan yang keluar dari tengkorak Pendeta Sakia Buddha itu
hampir saja tadi mengenainya dan menyambar dekat sekali di depan hidungnya
hingga ia mencium bau yang amis dan busuk! Bukan main jahatnya jarum-jarum
berbisa itu. Baru baunya telah mempengaruhinya, apalagi kalau sampai terluka
oleh jarum itu! Cin Hai segera mengerahkan hawa di dalam tubuh itu di
dikumpulkan di dada, mendesak keluar segala kekotoran yang terbawa masuk oleh
pernapasan ke dalam paru-paru, hingga ketika ia mendesak hawa itu keluar
hidungnya, kembali ia mencium bau yahg amis dan busuk itu! Ternyata bahwa bau
yang amis dari senjata tadi telah mengeram di dalam paru-parunya. Bukan main
berbahaya dan jahatnya!
Sementara itu, kedua orang penakluk harimau tadi
berdiri dengan heran dan kagum ketika melihat cara guru itu menyembuhkan
muridnya. Mereka maklum bahwa kakek jembel itu tentu lihai sekali, maka mereka
tidak berani mengganggu dan hanya berdiri memandang. Tak lama kemudian, Bu Pun
Su melepaskan genggaman tangannya pada telapak tangan Cin Hai dan ia berdiri
kembali.
“Sudah, sudah bersih...” katanya, Cin Hai
membuka kedua matanya dan segera berlutut.
“Senjata siapakah yang hampir mencelakaimu
tadi, Cin Hai?”
Cin Hai lalu menceritakan tentang pengalamannya,
betapa ia menjadi utusan kaisar, menyampaikan surat kepada Yagali Khan dan
betapa ia mengadu kepandaian dengan Thai Kek Losu dan berhasil mengalahkannya
tanpa menyadari bahwa ia telah hampir mendapat celaka karena senjata rahasia
yang hebat dari pendeta itu.
Bu Pun Su mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagus, bagus memang itu sudah menjadi tugasmu...”
Kedua orang pemilik burung bangau tadi ketika
mendengar cerita ini, segera menghampiri dan menjura dengan sikap hormat
sekali.
“Ah, tidak mengira bahwa kami berdua mendapat
kehormatan besar sekali untuk bertemu dengan seorang patriot yang gagah perkasa
dan suhunya yang sakti. Mohon tanya, siapakah Locianpwe ini dan siapa pula
muridmu yang gagah perkasa?” tanya kakek jenggot putih itu sambil menjura
kepada Bu Pun Su yang jauh lebih tua darinya.
Bu Pun Su tidak membalas pemberian hormat itu,
sebagaimana biasa ia memang tidak menyukai segala penghormatan, lalu menjawab
seakan-akan mereka telah lama menjadi kawan baik saja,
“Burung bangaumu itu hebat sekali. Bukankah
kau yang bernama Sie Lok dan yang disebut Si Pemelihara Harimau?”
Kakek jenggot putih itu nampak tercengang.
“Eh, sungguh heran! Locianpwe benar-benar berpemandangan tajam. Memang nama
siauwte Sie Lok dan ini adalah adikku Sie Kiong. Kami berdua saudara memang
tukang memelihara harimau. Bolehkah kami mengetahui nama Locianpwe yang mulia?”
“Siapakah aku ini? Ah, aku sendiri sudah
hampir lupa siapa namaku. Kalian tanya saja kepada muridku ini!” jawabnya tak
acuh sambil mendekati burung bangau dan memeriksa seluruh bulu dan tubuh burung
itu dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Berkali-kali ia menganggukkan
kepala dan berkata, “Bagus, bagus” seakan-akan seorang ahli barang antik sedang
mengagumi sebuah benda kuno yang berharga dan menarik.
Cin Hai yang sudah tahu akan sifat aneh dari
suhunya, merasa kurang enak terhadap kedua orang tua itu, maka ia segera
menjura dengan hormat sambil berkata,
“Jiwi yang gagah, suhuku itu bernama Bu Pun Su
dan siauwte sendiri bernama Sie Cin Hai.”
Kedua orang itu nampak terkejut karena mereka
telah mendengar nama Bu Pun Su sebagai seorang kakek sakti yang luar biasa.
Akan tetapi, agaknya mereka lebih tertarik mendengar nama Cin Hai karena kakek
jenggot putih itu lalu melangkah maju dan bertanya, “Anak muda, wajahmu
mengingatkan daku akan seseorang. Siapakah nama ayahmu dan siapa pula nama
ibumu?”
Berdebarlah hati pemuda itu. Tadinya ia
menyangka bahwa persamaan she dengan kedua orang itu hanya kebetulan saja, akan
tetapi mendengar pertanyaan ini, timbul perasaan ganjil di dalam hatinya.
Sambil menggeleng kepala ia menjawab, ”Siauwte
tidak tahu, tidak tahu siapa nama ayah dan ibu...” sampai di sini ia tidak
dapat melanjutkan kata-katanya, karena hatinya merasa terharu.
Tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara
sambil lalu, “Eh, pemelihara harimau, apakah kau ketahui tentang seorang she
Sie yang terbunuh mati sekeluarganya, karena dianggap pemberontak?”
Mendadak kedua orang itu menjadi pucat
wajahnya dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak. “Locianpwe...
apa... apa maksud pertanyaanmu ini...?” Kedua orang itu teringat bahwa pemuda
itu adalah utusan kaisar, maka tentu saja akan memusuhi orang-orang yang
dianggap pemberontak.
Akan tetapi, Cin Hai yang mendengar pertanyaan
suhunya ini dan yang melihat sikap kedua orang itu, tiba-tiba makin
berdebarlah. “Lo-peh, tahukah kau tentang dia yang memberontak itu? Tahukah
kau...? Katakanlah, Lo-peh!”
Kakek jenggot putih itu memandang tajam lalu
bertanya. “Kau bilanglah dulu apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Kau adalah
seorang utusan kaisar, apa hubungannya dengan segala pemberontak?”
“Pemberontak she Sie adalah ayahku sendiri!”
kata Sie Cin Hai dengan suara pilu.
Kini kakek jenggot putih itu melangkah mundur
dan wajahnya menjadi pucat, tanda bahwa ia terkejut sekali. Si Jenggot Hitam
yang bernama Sie Kiong itu pun mengeluarkan seruan kaget.
“Apa katamu... ? Anak muda... mukamu memang
sama benar dengan Sie Gwat Leng, pemberontak she Sie itu. Dia itu adalah adikku
dan kakak dari Sie Kiong. Anak muda, apakah kau mau bilang bahwa kau adalah
anak Gwat Leng...?”
Dengan kedua mata terbelalak Cin Hai lalu
bertanya, suaranya gemetar. “Katakanlah... katakanlah... apakah Jiwi kenal
kepada seorang wanita bernama Loan Nio yang menjadi isteri Kwee In Liang?”
“Tentu saja kenal. Dia adalah adik ipar dari
Gwat Leng...”
“Ya Tuhan...! Kalau begitu kau adalah
paman-pamanku...!” terdengar Cin Hai berkata dengan dada naik turun karena
menahan gelora hatinya. “Pekhu... Siokhu... aku Sie Cin Hai memang putera Sie
Gwat Leng itu... tak salah lagi...” Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
kedua orang itu sambil menahan air matanya!
Sie Lok dan Sie Kiong lalu menubruk Cin Hai
dan memeluknya. “Kau anak Gwat Leng yang ikut Bibimu itu...? Ah, tak kusangka
kita masih akan dapat bertemu...!” kata Sie Lok.
Bu Pun Su menghampiri mereka dan berkata,
“Tidak ada perceraian yang tak berakhir. Agaknya Thian telah menghendaki hingga
kalian dapat saling berjumpa dengan tak tersangka-sangka. Telah lama aku
mendengar nama kalian berdua pemelihara harimau, dan telah timbul
persangkaanku, maka hari ini memang aku datang hendak menyelidiki. Siapa tahu,
kebetulan sekali Cin Hai datang di sini pula dalam keadaan terpengaruh racun
jahat. Sungguh, ini namanya jodoh!”
“Siokhu, Pekhu, Suhuku inilah yang
memungkinkan keponakanmu ini masih hidup sampai sekarang!” kata Cin Hai setelah
keharuan hati mereka mereda.
“Telah lama kami mendengar nama besar
Locianpwe, tidak tahunya Locianpwe adalah guru dan penolong dari keponakan kami
yang tunggal ini. Terimalah pernyataan terima kasih kami, Locianpwe!” Setelah
berkata demikian, Sie Lok dan Sie Kiong lalu berlutut di depan Bu Pun Su.
“Sudahlah, sudahlah, tak perlu bersikap
seperti kanak-kanak,” kata Bu Pun Su dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya
menyentuh pundak kedua orang itu, mau tak mau keduanya harus berdiri lagi
karena tenaga yang amat besarnya mengangkat mereka bangun! Kemudian, Bu Pun Su
berkata kepada Cin Hai,
“Muridku, setelah bertemu dengan kedua
pamanmu, tentu kau akan mendengar riwayat orang tuamu. Sekarang aku akan pergi,
tubuhku yang sudah amat tua dan lapuk ini tak kuat untuk merantau lebih lama
lagi. Aku hendak kembali ke Gua Tengkorak dan membawa Sin-kim-tiauw bersamaku.
Kalau kau bertemu dengan Im Giok, suruh dia menyusulku di sana!
Cin Hai memandang kepada muka suhunya dengan
bengong. “Suhu maksudkan Ang I Niocu? Bukankah Niocu sudah... sudah...” ia
tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Kekuasaan Thian tidak ada batasnya, anak
bodoh. Aku sendiri belum memastikan benar apakah Im Giok masih hidup dan
bukankah pada saat peristiwa hebat itu terjadi, baik burung ini maupun Im Giok
berada di pulau itu? Sudahlah, Cin Hai, kalau tidak dapat bertemu dengan Im
Giok, akhirnya aku pun akan dapat menemuinya, entah di sini entah di sana...“
setelah berkata demikian, sekali saja kakek itu mengebutkan lengan bajunya,
tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tanpa berpamit kepada Sie Lok dan Sie
Kiong! Memang demikianlah watak Bu Pun Su yang aneh dan selalu tidak mengacuhkan
segala hal yang dianggapnya kurang perlu! Sin-kim-tiauw memekik keras dan
terbang cepat menyusul kakek itu.
Sie Lok menghela napas. “Telah banyak aku
melihat orang pandai dan sakti, akan tetapi baru kali ini aku melihat orang
yang betul-betul pandai dan berilmu tinggi. Mari, Cin Hai, mari kita pulang ke
rumahku dan di sana bercakap-cakap dengan leluasa. Hari ini adalah hari yang
paling gembira dan baik semenjak kami ditinggal oleh ayahmu.”
Sambil digandeng tangannya oleh Sie Kong, Cin
Hai lalu ikut mereka pulang dan keluar dari hutan itu, sedangkan harimau yang
telah ditotok tadi, setelah dikalungi tambang dan dipulihkan keadaannya, lalu
diseret dan akhirnya berlari mengikuti mereka dengan jinak. Ternyata bahwa
harimau itu pun maklum akan kelihaian kakek itu hingga menyerah kalah dan tidak
berani memberontak! Dan demikianlah cara kedua orang she Sie itu menangkap
harimau dan menjinakkannya. Setiap kali bertemu dengan harimau buas, mereka
lalu mengganggunya, mempermainkannya dengan kepandaian mereka yang tinggi,
kemudian, setelah harimau itu ditundukkan, leher harimau dicancang dan dibawa
pulang, bagaikan orang menuntun anjing saja.
Setelah tiba di rumah Sie Lok dan Sie Kiong
yang berada di atas sebuah lereng bukit penuh dengan pohon pek dan siong, Cin
Hai merasa kagum sekali oleh karena ternyata di sekeliling rumah besar itu
terdapat banyak sekali harimau yang berkeliaran di sekitar rumah dengan jinak
bagaikan binatang peliharaan biasa.
Ketika Cin Hai mencoba untuk menghitung jumlah
harimau, yang kelihatan saja olehnya sudah ada dua puluh ekor lebih. Kemudian
dia mendengar dari pamannya bahwa mereka mempunyai lebih dari empat puluh ekor
harimau yang besar dan galak.
Bagaikan anjing-anjing penjaga rumah, ketika
melihat Cin Hai dan menciumi bau manusia baru yang asing, harimau-harimau itu
menggereng dan memperlihatkan gigi dan taring akan tetapi ketika kedua orang
she Sie itu mengangkat tangan kanan, semua harimau itu menjadi ketakutan dan
mengundurkan diri. Bukan main kagum hati Cin Hai melihat pengaruh dan kekuasaan
kedua orang pamannya itu atas sekian banyaknya harimau buas.
Setelah masuk ke dalam rumah duduk berhadapan,
maka berceritalah Sie Lok kepada Cin Hai.
Ternyata bahwa keluarga Sie terdiri dari empat
orang saudara laki-laki bernama Sie Lok, Sie Gwat Leng, Sie Ban Leng dan Sie
Kiong. Keempat saudara ini di waktu mudanya rajin mempelajari ilmu silat, dan
di antara mereka, yang pandai sekali dan tinggi ilmu silatnya adalah Sie Gwat
Leng dan Sie Ban Leng oleh karena kedua orang ini mendapat didikan dari seorang
pertapa sakti Gobisan, sedangkan Sie Lok dan Sie Kiong mendapat didikan dari
seorang hwesio perantau yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi
ahli penakluk semua binatang buas. Dari hwesio inilah Sie Lok dan Sie Kiong mendapat
ilmu atau cara menaklukkan harimau dan lain-lain binatang buas, bahkan mereka
mempelajari cara menotok tubuh binatang-binatang itu.
Setelah tamat belajar, keempat saudara ini
bertemu lagi dan ketika diadakan pengukuran kepandaian, ternyata bahwa Sie Gwat
Leng adalah yang paling pandai, kemudian Sie Ban Leng, kemudian Sie Lok dan Sie
Kiong sungguhpun bagi orang biasa boleh disebut telah memiliki ilmu silat yang
amat tinggi, namun dibandingkan dengan kedua saudaranya yang menjadi anak murid
Gobi-san itu, kepandaian mereka masih jauh.
Kecuali Sie Ban Leng yang mempunyai watak
buruk, ketiga saudara yang lain adalah orang-orang yang berjiwa ksatria dan
gagah, bahkan Sie Gwat Leng tiada hentinya mempergunakan kepandaian untuk
menolong sesama manusia yang menderita. Gwat Leng merasa tidak puas sekali
melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa, maka seringkali ia
menyatakan ketidak-senangan hatinya terhadap kaisar dan pemerintahnya.
Berbeda dengan Gwat Leng dan yang lain-lain,
Ban Leng selalu mengumbar hawa nafsu jahat, bergaul dengan segala macam
penjahat dan membiasakan diri dengan segala macam permainan judi. Gwat Leng
seringkali menegurnya sehingga beberapa kali mereka bercekcok oleh karena Ban
Leng tak pernah takut atau tunduk kepada kakaknya ini. Adapun Sie Lok yang
menjadi saudara tertua tak berdaya apa-apa oleh karena ia memang jauh lebih
lemah dari pada Ban Leng. Namun, betapapun juga, Sie Ban Leng masih berlaku
hati-hati dan tidak berani berlaku jahat secara berterang oleh karena ia takut
kepada suhunya yang telah menyuruhnya bersumpah ketika menjadi muridnya dulu.
Kepada Gwat Leng ia tidak takut oleh karena biarpun ilmu kepandaian Gwat Leng
lebih tinggi, namun ia tahu akan kesayangan kakaknya itu terhadap dirinya, maka
ia yakin bahwa Gwat Leng tentu takkan tega untuk mencelakakannya.
Kemudian Sie Gwat Leng menikah dengan seorang
gadis dusun yang cantik dan halus budi bahasanya. Mereka berdua hidup dengan
rukun dan saling mencinta, penuh kebahagiaan. Setahun kemudian terlahirlah
seorang anak laki-laki yang diberi nama Sie Hai yang kemudian ditambah dengan
huruf “Cin” oleh Loan Nio karena nyonya ini tidak ingin kalau ada orang
mengetahui bahwa anak itu adalah putera Sie Gwat Leng yang memberontak.
Akan tetapi celakanya ketika melihat isteri
Sie Gwat Leng yang cantik manis, timbul hati jahat di dalam dada Ban Leng yang
berwatak buruk itu. Ia mencoba untuk menggoda sosonya sendiri hingga timbullah
pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian antara dia dan kakaknya. Ban Leng
kena dikalahkan oleh Gwat Leng. Dengan hati sakit dan mendendam, Sie Ban Leng
lalu lari meninggalkan saudara-saudaranya. Sampai bertahun-tahun tak terdengar
lagi berita tentang dirinya. Akan tetapi, setelah guru Gwat Leng, pertapa
Gobi-san itu meninggal dunia, mereka mendengar lagi tentang keadaan Ban Leng
dan ternyata bahwa Ban Leng telah berada di kota raja, menjadi seorang jago
muda yang jarang mendapat tandingan dan disegani orang banyak hingga mendapat
julukan Gobi Sin-liong atau Naga Sakti dari Gobi-san!
Sie Gwat Leng masih saja bercita-cita untuk
menolong kaum tani dan rakyat jelata yang lemah dan miskin. Ia mulai dengan
usahanya di dalam dusun sendiri. Ia mengumpulkan orang-orang kampung, mendidik
mereka dengan ilmu silat, lalu mendesak dengan kekerasan dan pengaruh
kepandaiannya kepada mereka yang tergolong hartawan untuk mengulurkan tangan
membantu hingga ia berhasil membuat kampungnya menjadi makmur. Semua orang
bertubuh sehat dan mendapat didikan ilmu silat hingga dapat menjaga kampung
dari serangan orang jahat dan tidak ada orang yang mengalami kemelaratan karena
semua orang mendapat penghasilan yang cukup.
Hal ini terdengar oleh kampung lain yang
merasa iri dan kemudian dikabarkan orang bahwa keluarga Sie hendak mengadakan
pemberontakan dan telah bersiap dengan melatih orang-orang dusun dengan ilmu
silat untuk kelak digunakan memberontak dan memukul kerajaan!
Hal ini terdengar oleh seorang perwira yang
bertugas di satu tempat tak jauh dari dusun itu. Perwira ini orangnya sombong
dan tanpa menanti perintah dari pusat, ia telah lancang mengadakan tindakan
sendiri untuk mencari pahala. Ia membawa anak buahnya sebanyak empat puluh
orang dan menyerbu ke dusun itu! Anak buahnya mengamuk dan tidak hanya memukul
dan menawan orang-orang, bahkan mengganggu anak bini orang dan merampas harta
mereka!
Tentu saja Sie Gwat Leng menjadi marah sekali.
Ia mengumpulkan orang-orang dusun dan melawan penyerbu-penyerbu itu hingga
tentara di bawah pimpinan perwira sombong itu dapat dimusnakan berikut
pemimpinnya!
Segera kota raja mendengar tentang peristiwa
ini, dan Sie Gwat Leng lalu dianggap sebagai pemberontak! Kaisar lalu
memerintahkan Kwee In Liang untuk memimpin serombongan tentara terdiri dari
seratus orang untuk menawan pemberontak-pemberontak itu. Dan di dalam rombongan
ini ikut pula Sie Ban Leng karena orang ini mendapat kesempatan untuk membalas
dendamnya kepada kakaknya sendiri. Walaupun ia tidak segera terang-terangan
ikut di dalam rombongan Kwee-ciangkun, akan tetapi diam-diam ikut pergi kembali
ke dusunnya sendiri dengan maksud membantu penindasan pemberontak, karena ia
maklum bahwa dengan adanya ketiga saudaranya di dalam dusun, akan sukarlah bagi
tentara kerajaan untuk menindas dan mengalahkan dusun itu.
Terjadilah pertempuran hebat antara tentara
kerajaan dan orang-orang dusun di bawah pimpinan ketiga saudara Sie yang
melakukan perlawanan karena mereka telah merasa benci sekali terhadap kerajaan,
yang ditimbulkan oleh sepak terjang yang jahat dari para tentara di bawah
pimpinan perwira yang dulu menyerbu dan berhasil dihancurkan.
Benar saja dugaan Ban Leng. Kwee Ciangkun
tidak berdaya menghadapi ketiga saudara Sie yang benar-benar kosen dan tangguh.
Selagi ia merasa bingung, datanglah Sie Ban Leng membantunya. Dengan licik dan
curang sekali, Sie Ban Leng datang kepada kakaknya dan menyatakan
penyesalannya, lalu berkata bahwa ia datang hendak membantu perjuangan
saudara-saudaranya mengusir barisan kerajaan. Tentu saja Gwat Leng, Sie Lok dan
Sie Kiong merasa gembira sekali, dan menerima saudara yang sesat ini dengan
kedua tangan terbuka.
Tidak tahunya, pada malam harinya, ketika Sie
Gwat Leng sedang tidur karena lelahnya memimpin orang-orang dusun melawan
tentara negeri, Ban Leng berlaku curang dan menotok kedua pundak kakaknya yang
sedang tidur itu! Sie Lok dan Sie Kiong melihat hal ini menjadi marah sekali
lalu menyerang Ban Leng yang berkhianat akan tetapi kepandaian mereka belum
dapat melawan Ban Leng dan pada saat itu, sesuai dengan rencana Ban Leng dan
Kwee-ciangkun, tentara negeri menyerbu!
Dalam keadaan tidak berdaya karena totokan Ban
Leng membuatnya lumpuh, Gwat Leng ditawan, orang-orang kampung banyak yang mati
dan sebagian pula ditawan, kampung dibakar habis dan semua keluarga Sie ditawan
pula! Di dalam suasana ribut itu, Ban Leng hendak menculik dan mengganggu
isteri Gwat Leng, akan tetapi Kwee In Liang dengan marah mencegahnya.
“Semua orang tidak boleh mengganggu wanita,
siapa melanggar akan dihukum!” katanya dengan garang. Ban Leng sendiri
sebetulnya tidak takut kepada Kwee In Liang, akan tetapi tiba-tiba isteri Gwat
Leng yang merasa putus harapan itu, menggunakan kesempatan ini untuk
membenturkan kepala sendiri pada dinding hingga kepalanya menjadi pecah dan
tewas pada saat itu juga. Dengan hati menyesal, Ban Leng lalu meninggalkan
tempat itu.
Adik perempuan isteri Gwat Leng yaitu Loan
Nio, yang pada waktu itu sudah remaja puteri, sambil menggendong Sie Hai yang
masih kecil mencoba lari, akan tetapi ia ditangkap oleh orang anggota tentara
yang kagum melihat kecantikannya. Akan tetapi, untung bahwa pada waktu itu Kwee
In Liang melihat hal ini terjadi. Perwira ini memberi pukulan keras hingga
tentara itu pingsan, sedangkan ia lalu menolong Loan Nio dan anak kecil yang
disangka anak Loan Nio itu, dibawa ke dalam rumahnya.
Loan Nio lalu diambil sebagai pelayan di rumah
gedung Kwee In Liang, dan gadis yang cerdik ini lalu menitipkan Sie Hai kepada
seorang wanita di luar gedung dengan memberi belanja tiap pekan, yaitu uang
gajinya sendiri, seluruhnya diberikan kepada wanita itu. Demikianlah, Sie Hai yang
kemudian dinamakan Cin Hai oleh Loan Nio itu, yang di waktu itu baru berusia
setahun lebih, dipelihara dengan diam-diam oleh Loan Nio. Dan setelah Loan Nio
diambil sebagai isteri oleh Kwee-ciangkun, barulah dia memberi tahu dengan
sejujurnya kepada suaminya bahwa Cin Hai adalah putera Sie Gwat Leng. Karena
mencintai dan sayang kepada isterinya yang baik budi ini, Kwee-ciangkun mau
juga menerima Cin Hai di dalam gedungnya.
Adapun Sie Lok dan Sie Kiong yang memiliki
ilmu kepandaian, dapat melarikan diri setelah mereka tidak berhasil menghukum
Ban Leng yang jahat dan yang telah mengkhianati kakak sendiri itu. Mereka lalu
merantau dengan hati duka. Apalagi ketika mereka mendengar betapa Gwat Leng
dijatuhi hukuman mati dalam keadaan masih lumpuh, sedangkan isterinya mati
membunuh diri dan keluarga lain dihukum mati pula, kedua saudara ini hanya bisa
menangis dan sedih. Mereka merasa benci sekali kepada manusia, oleh karena
dianggapnya manusia adalah mahluk yang sejahat-jahatnya. Seorang saudara
kandung sendiri seperti Ban Leng dapat berlaku jahat itu, apalagi orang lain?
Maka, mereka lalu mengasingkan diri di hutan, dan menaklukkan banyak harimau
untuk menjadi kawan-kawan dan penjaga mereka!
Mendengar cerita Sie Liok ini, Cin Hai merasa
sedih, terharu, marah dan menyesal sekali.
“Pek-hu dan Siok-hu, di manakah adanya Paman
Sie Ban Leng, manusia yang berwatak rendah dan biadab itu? Ingin sekali aku
melihat muka orang yang berhati binatang itu!” katanya gemas dan marah, sambil
mengepal tangannya.
“Entahlah, kami berdua dulu pernah mencarinya
untuk membalas dendam, akan tetapi dua kali kami telah kena dikalahkan dan
kemudian kabarnya ia merasa menyesal atas perbuatannya yang terkutuk itu dan ia
telah mengasingkan diri entah di mana.”
Kemudian, atas permintaan kedua pamannya, Cin
Hai dengan singkat lalu menceritakan pengalamannya. Kedua orang tua itu merasa
kagum sekali. Akan tetapi, mereka masih penasaran kalau belum mencoba dan
mengukur sendiri kelihaian keponakannya ini, maka Sie Kiong yang berwatak gembira
lalu berkata,
“Cin Hai coba kauperlihatkan kepandaianmu agar
hatiku puas.”
Cin Hai tersenyum dan mengikuti mereka berdua
keluar dari rumah di mana terdapat halaman yang cukup luas.
“Bagaimanakah aku harus memperlihatkan
kebodohanku?” tanyanya kepada Sie Lok dan Sie Kiong.
“Kaulawanlah kami berdua, agar kami dapat
mengukur apakah kepandaianmu dapat dibandingkan dengan Ayahmu atau Pamanmu yang
jahat itu?” kata Sie Lok, yang segera menggulung lengan bajunya. Cin Hai maklum
bahwa betapa pun tinggi ilmu kepandaian kedua pamannya ini, namun melihat
gerakan mereka ketika menawan harimau tadi, ia merasa yakin bahwa ia tentu akan
dapat mengalahkan mereka.
“Baiklah, aku akan berusaha menjaga diri,”
kata Cin Hai dengan tenang.
“Awas serangan!” tiba-tiba Sie Kiong berseru
gembira dan ia lalu menerkam dengan serangan yang cukup lihai berbahaya
sedangkan Sie Lok yang hendak menguji kelihaian keponakannya juga segera
membarengi menyerang dari lain jurusan. Cin Hai mengerti akan kehebatan
serangan kedua pamannya ini, maka tubuhnya lalu berkelebat dan ia mengeluarkan
ginkangnya yang sudah sempurna. Kedua mata Sie Lok dan Sie Kiong menjadi kabur
ketika mereka melihat betapa tubuh keponakan itu tiba-tiba berkelebat dan
lenyap dari tengah-tengah kepungan. Dan tiba-tiba mereka mendengar suara Cin
Hai di tempat yang jauhnya tiga tombak lebih, “Aku berada di sini.”
Bukan main heran kedua orang tua itu, dan
dengan cepat mereka lalu menerjang lagi, kini dengan cepat sekali agar jangan
sampai pemuda itu mendapat kesempatan mengelak, Sie Lok menyerang dengan jari
tangan kanan dibuka dan menotok ke arah jalan darah di lambung Cin Hai,
sedangkan Sie Kiong menyerang dengan pukulan tangan miring ke arah leher
keponakannya. Cin Hai berseru keras, dan dengan menundukkan kepala ia dapat
mengelak dari pukulan Sie Kiong, sedangkan untuk menghadapi totokan Sie Lok, ia
mengulur tangan dan mendahului dengan totokan ke arah pergelangan tangan
pamannya itu. Sie Lok terkejut dan menarik kembali tangannya lalu menyerang
lagi dengan hebat, demikian pula Sie Kiong. Akan tetapi, Cin Hai lalu
mengeluarkan Ilmu Silat Sianli Utauw atau Tarian Bidadari sambil berkata,
“Inilah Sianli Utauw yang kupelajari dari Ang I Niocu.” Setiap serangan kedua
orang tua itu ia kelit dan sampok dengan gerakan tubuh yang lemas seakan-akan
orang menari, akan tetapi serangan-serangan kedua pamannya itu tidak mampu
mengenai tubuhnya sama sekali. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali dan juga
heran betapa dengan menari-nari saja keponakannya ini dapat mengelak dari serangan-serangan
yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Cin Hai memang sengaja mendemonstrasikan
kepandaiannya kepada kedua pamannya, karena ia ingin membuat kedua pamannya itu
girang dan senang. Maka setelah memainkan Sianli Utauw berapa belas jurus untuk
menghadapi serangan-serangan kedua pamannya, ia lalu merubah gerakannya dan
berkata pula,
“Dan sekarang aku mainkan kepandaian pokok
ilmu silat yang kupelajari dari Suhu Bu Pun Su!” Setelah ia berkata demikian,
ia lalu memperhatikan gerakan-gerakan pamannya dan ia lalu mengembalikan setiap
serangan dengan gerakan yang sama seperti ilmu silat kedua pamannya. Kalau tadi
menyaksikan Sianli Utauw membuat kedua orang itu terheran-heran, kini
menghadapi betapa keponakannya itu melawan mereka dengan ilmu silat mereka
sendiri, kedua orang she Sie itu setelah mengeluarkan ilmu pukulan yang paling
sulit dan berbahaya akan tetapi yang dikembalikan dengan sama baiknya oleh Cin
Hai, keduanya tak dapat menahan keheranan mereka lagi dan dengan cepat melompat
mundur.
“Nanti dulu! Dari mana pula kau mempelajari
ilmu silat kami itu?” tanya Sie Lok dengan terheran-heran dan mata terbelalak!
“Aku belum pernah mempelajari ilmu-ilmu silat
itu, akan tetapi memang Suhu Bu Pun Su telah melatihku untuk mengetahui semua
dasar-dasar ilmu silat yang pada hakekatnya sama, hingga tiap kali aku diserang
dengan semacam ilmu silat, aku dapat meniru gerakan itu dan mengembalikannya
kepada lawan dengan jurus itu juga.”
Sie Lok dan Sie Kiong saling pandang dengan
heran dan mereka ini hampir tak dapat mempercayai keterangan ini, akan tetapi
oleh karena tadi mereka telah menyaksikannya sendiri dan beberapa belas jurus
pukulan yang paling terahasia dan terlihai dari mereka telah dilakukan dengan
sempurna oleh Cin Hai, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala.
“Bukan main!” kata Sie Kiong. “Akan tetapi
Kanda Ban Leng memiliki kepandaian Eng-jiauw-kang yang lihai sehingga ia
sanggup menghadapi kami berdua yang memegang senjata dengan bertangan kosong
saja. Maka cobalah kau menghadapi kami dengan tangan kosong pula sedangkan kami
menyerang dengan senjata tajam!” Sie Lok juga menyetujui cara percobaan
kepandaian ini dan Sie Kiong lalu berlari masuk untuk mengambil dua batang
pedang. Setelah menyerahkan sebatang kepada kakaknya, kedua orang tua ini lalu
menghadapi Cin Hai, dan Sie Lok berkata,
“Cin Hai kau berhati-hatilah, karena ilmu
pedang kami bukanlah kepandaian rendah!” Lalu ia melangkah maju dan mulai
dengan serangannya. Demikianlah Sie Kong yang segera memutar pedang di atas
kepala dan mengirim serangan hebat.
Cin Hai lalu memperlihatkan ilmu silat tangan
kosong yang dipelajari dari Bu Pun Su, yaitu Kong-ciak Sin-na. Tubuhnya dengan
ringan sekali melompat-lompat ke atas bagaikan seekor burung merak sedang
terbang saja dan kemudian dari atas ia menghadapi serangan pedang dengan
tendangan dan cengkeraman untuk merampas senjata kedua pamannya.
Sementara itu, semenjak tadi, burung bangau
yang besar itu hanya berdiri memandang, kadang-kadang terbang ke atas dan
berputaran di atas kepala ketiga orang yang sedang bertempur. Akan tetapi,
setelah ia menyaksikan betapa tubuh Cin Hai melayang ke atas bagaikan burung,
ia lalu memekik keras dan tubuhnya melayang lalu menyambar dengan sepasang
patuknya yang runcing bagaikan pedang itu digerakkan secara hebat menyerang Cin
Hai.
“Ang-siang-kiam, jangan!” teriak Sie Lok, akan
tetapi Cin Hai lalu berkata sambil tersenyum.
“Biarlah, Pek-hu, dia mau ikut bergembira,
mengapa tidak boleh?”
Demikianlah, dengan ilmu Silat Kongciak Sinna,
Cin Hai melayani kedua pamannya yang dibantu oleh burung bangau itu hingga ia
dikeroyok tiga. Akan tetapi ilmu silatnya sungguh hebat dan tubuhnya
seakan-akan tak pernah mengambah bumi. Tiap kali tubuhnya turun, ia lalu
menggunakan ujung sepatunya untuk menggenjot lagi hingga tubuhnya melayang ke
atas. Serangan burung bangau itu ia gagalkan dengan kepretan tangan ke arah
paruh burung itu hingga tiap kali jari tangannya menyentuh paruh burung bangau
itu dan hampir jatuh ke bawah! Sementara itu, kedua pedang Sie Lok dan Sie Kiong
yang bergerak bagaikan dua ekor ular sakti menyambar-nyambar itu dapat
dihindarkannya dengan tendangan kaki dan cengkeraman yang sebaliknya bahkan
mengancam pergelangan tangan mereka dan bagian tubuh lain!
Setelah menghadapi serangan ketiga pengeroyok
ini sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Cin Hai melompat turun dan
berkata,
”Sekarang serelah permainan Kong-ciak Sin-na
tadi, aku akan mainkan Pek-in-hoatsut, juga yang diturunkan oleh Suhu Bu Pun
Su!”
Jauh sekali perbedaan ilmu silatnya ini dengan
yang tadi. Kalau tadi gerakannya gesit sekali, sekarang ia berdiri dengan
tenang dan kokoh di atas tanah, kedua lengan tangannya digerak-gerakkan dan
tiba-tiba dari kedua lengan ini mengebul uap putih! Burung bangau menyambar
turun, lalu dikebut dengan tangan kiri dan ketika uap putih itu menyambar,
burung itu memekik keras dan terlempar, lalu terbang lagi ke atas tanpa berani
menyerang lagi!
“Hebat!” kata Sie Lok yang segera menyerang
lagi, disusul oleh Sie Kiong. Akan tetapi alangkah terkejut mereka ketika
sekali saja Cin Hai menangkis, pedang mereka hampir saja terlepas dari
pegangan!
“Sungguh lihai!” kata Sie Lok sambil berhenti
menyerang dan memandang Cin Hai dengan wajah berseri. “Cin Hai, kalau tidak
menyaksikan dan merasakan sendiri, aku takkan dapat percaya bahwa kau memiliki
ilmu kepandaian seperti ilmu sihir saja! Ah, anakku, jangankan baru seorang Ban
Leng, biar dia menjadi tiga pun tak mungkin dapat mengalahkan kau! Hebat,
hebat!”
“Akan tetapi, semenjak tadi Hai-ji (Anak Hai)
hanya menangkis dan menjaga diri saja. Aku belum merasai kehebatan serangan
balasannya. Cin Hai, coba kau cabut pedangmu agar kami dapat pula menyaksikan
kiamsutmu!”
“Baiklah,” kata Cin Hai sambil mencabut keluar
Liong-coan-kiam dari pinggangnya. “Nah, Pek-hu dan Siok-hu, bersiap sedialah,
aku hendak menyerang dengan Ilmu Pedang Daun Bambu!” Sie Lok dan Sie Kong
segera memutar pedang mereka untuk melindungi diri dan jangankan pedang lawan,
biarpun air sepikul pun kalau disiramkan ke arah mereka tak mungkin akan dapat
menembus sinar pedang mereka yang melindungi tubuh!
Cin Hai lalu menggerakkan pedangnya.
Gerakannya cepat sekali dan matanya yang tajam sudah dapat melihat
lowongan-lowongan di antara sinar pedang kedua pamannya. “Awas!” teriaknya dan
dua kali pedangnya berkelebat secara luar biasa sekali dan terdengarlah kain
robek dua kali dan Cin Hai menarik kembali pedangnya dan berdiri tegak!
Sie Lok dan Sie Kiong merasa heran dan segera
menghentikan gerakan mereka pula. Alangkah terkejut hati mereka ketika melihat
betapa baju di dada mereka telah robek dan bolong terkena ujung pedang Cin Hai
yang baru menyerang segebrakan saja itu!
Keduanya lalu melempar pedang masing-masing
dan maju memeluk Cin Hai. Tak terasa pula, mata mereka berlinang air mata
karena girang, puas dan bangga.
“Hai-ji... kalau bangsat Ban Leng itu berada
di sini, akan mampus dia di tanganmu!” kata Sie Lok.
“Cin Hai, anakku yang gagah perkasa! Ah...
kalau saja Kanda Gwat Leng masih hidup, tentu ia akan merasa bangga sekali
melihat kau selihai ini...” kata Sie Kiong dan orang tua berjenggot hitam ini
menggunakan punggung tangan untuk mengusir pergi dua butir air mata yang
terloncat keluar dari kedua matanya.
Dengan hati terharu Cin Hai lalu bertanya, “Di
manakah makam Ibu? Dan di manakah pula jenazah Ayah dikuburkan?”
“lbumu dikuburkan di dusun Kang-cou, dan
jenazah ayahmu yang dibakar oleh para petugas di kota raja, dapat kami curi dan
kami tanam pula di dekat makam Ibumu. Dusun itu berada di kaki Bukit Houw-san.”
Untuk dua pekan lamanya Cin Hai tinggal
bersama kedua pamannya dan selama itu ia mempelajari cara-cara menangkap
binatang buas. Burung bangau menjadi kawan baiknya dan ia merasa suka sekali
kepada burung ini hingga burung itu menjadi jinak dan ke mana ia pergi burung
itu selalu mengikutinya. Melihat hal ini, kedua pamannya lalu menyatakan bahwa
burung itu diberikan kepada Cin Hai untuk menjadi kawan seperjalanannya.
“Bawalah Ang-siang-kiam, dia dapat menjadi
kawan baik dalam perjalanan,” kata Sie Lok dan Cin Hai menerimanya dengan
girang hati.
Dalam waktu senggang, Cin Hai menuturkan
pengalaman-pengalamannya dan menceritakan pula tentang sahabat-sahabatnya,
tentang Nelayan Cengeng, tentang Kwee An den Ma Hoa, dan tidak lupa pula
menceritakan tentang diri Lin Lin yang diakuinya sebagai calon isterinya hingga
kedua orang tua itu menjadi girang sekali.
“Kelak kalau kau akan menikah, tak boleh tidak
kau harus memberi kabar agar kami dapat datang minum arak kegirangan.”
Kemudian Cin Hai berpamit karena ia telah
terlalu lama meninggalkan Lin Lin. Kedua pamannya tidak dapat menahannya dan
berangkatlah ia meninggalkan kedua pamannya dengan semua harimau itu, pergi
dengan berlari cepat. Burung bangau yang besar terbang di atasnya dan ikut
pergi bersamanya.
Karena Cin Hai melakukan perjalanan dengan
mempergunakan ilmu lari cepat dan jarang berhenti dalam kerinduannya hendak
segera bertemu kembali dengan Lin Lin, sambil tidak lupa mencari-cari jejak
Kwee An dan Ma Hoa yang lenyap tak meninggalkan bekas itu, maka beberapa hari kemudian
tibalah ia di kaki bukit tempat tinggal Yousuf. Ia merasa heran sekali melihat
betapa dusun-dusun di sekitar bukit itu telah kosong dan tiada bermanfaat lagi!
Dengan hati berdebar cemas ia berlari ke atas
bukit dan betul saja seperti apa yang ia kuatirkan, rumah Yousuf telah roboh
dan nampak seperti bekas dibakar! Dengan hati cemas dan wajah pucat Cin Hai
mencari dan membongkar tumpukan puing, akan tetapi ia menjadi lega oleh karena
tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya dan Yousuf menjadi korban api yang
membakar rumah. Ia berdiri di depan tumpukan puing dengan tubuh lemas, dan
tiba-tiba ia mendengar suara ringkik kuda dari jauh.
“Pek-gin-ma!” ia berseru dan melompat terus
lari cepat mengejar ke arah suara itu. Dan di dalam sebuah hutan ia melihat
kuda itu sedang makan rumput dan kadang-kadang meringkik sedih seakan-akan
kehilangan kawan dan merasa kesunyian. Ketika Cin Hai lari menghampiri, ia
mengangkat kepalanya dan meringkik lagi, seakan-akan hendak menceritakan
sesuatu.
Cin Hai memeluk leher kuda itu dan merasa
menyesal sekali mengapa tidak menjadi kuda saja agar dapat mengerti apa yang
hendak diceritakan oleh Pek-gin-ma tentang kekasihnya!
“Pek-gin-ma, apakah yang terjadi pada mereka?
Pek-gin-ma, kalau kau tahu tempat mereka, bawalah aku kepada Lin Lin...”
Akan tetapi, kuda itu hanya menggaruk-garuk
tanah dengan kedua kaki depannya. Sementara itu, burung bangau yang ikut datang
bersama Cin Hai, terbang berputaran di atas melihat-lihat daerah yahg asing
baginya itu. Cin Hai lalu menunggang Pek-gin-ma dan bersuit memanggil
Ang-siang-kiam yang segera meluncur turun dan mengikuti ke mana pemuda itu
melarikan kudanya. Cin Hai turun dari lereng dan memeriksa dusun-dusun di
sekitar daerah itu. Ketika ia sedang berdiri di tengah dusun yang kosong sambil
menuntun Pek-gin-ma, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki. Ia segera
melompat ke belakang sebuah pohon besar dan dapat menangkap lengan tangan
seorang penduduk dusun yang hendak melarikan diri. Orang itu masih muda dan
meronta-ronta, kemudian setelah merasa bahwa ia tidak kuasa melepaskan diri
lalu menjatuhkan diri berlutut sambil memohon.
“Ampun, Hohaii, jangan bunuh aku,” katanya
dengan tubuh menggigil.
“Berdirilah, sahabat. Aku bukan orang jahat,
dan aku hanya hendak bertanya kepadamu apa yang telah terjadi di pegunungan
ini. Ke mana perginya semua penduduk dusun ini dan tahukah kau ke mana perginya
orang Turki dan nona yang dulu tinggal di lereng itu?”
Ketika melihat bahwa Cin Hai bukanlah orang
yang ditakutinya, pemuda dusun itu lalu bercerita bahwa beberapa hari yang
lalu, pegunungan itu didatangi serombongan orang-orang Turki yang terdiri dari
puluhan orang banyaknya menunggang kuda-kuda besar sambil menyerang dusun-dusun
seperti orang-orang gila. Kemudian orang-orang Turki menyerbu ke atas bukit
untuk menangkis Yousuf. Terjadilah pertempuran hebat dan orang-orang dusun yang
bersembunyi lalu melihat betapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti melarikan diri
dari situ dengan cepat, dikejar-kejar oleh rombongan orang Turki itu!
“Entah ke mana mereka melarikan diri, agaknya
mereka tidak kuat menghadapi serbuan orang-orang Turki itu!” pemuda dusun tadi
mengakhiri ceritanya.
Cin Hai merasa terkejut sekali. Kalau Yousuf,
Lin Lin dan Merak Sakti sampai tidak kuat menghadapi rombongan itu, tentu di
dalam rombongan itu terdapat orang-orang pandai, pikirnya. Ia heran sekali,
siapakah orangnya yang dapat mengalahkan Lin Lin yang sudah ia latih dengan
ilmu-ilmu silat tinggi itu? Ia benar-benar tidak mengerti dan kemudian turun
gunung dengan hati cemas dan pikiran bingung, diikuti oleh burung bangau yang
dengan setia terbang rendah di atas kepalanya.
Marilah kita ikuti pengalaman Kwee An dan Ma
Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing yang amat curam itu.
Telah diceritakan di bagian depan bahwa Kwee
An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari Ke Ce yang lihai hingga ia
terguling ke dalam tebing, sedangkan Ma Hoa cepat melompat menyusul kekasihnya
itu hingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam tebing saling berpegangan tangan
dan mendapat kekuatan batin luar biasa dari sentuhan tangan ini!
Namun, betapapun juga, merasa betapa tubuhnya
meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu
tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga ia menjadi
pingsan! Sebaliknya, Kwee An biarpun juga tidak berdaya, namun ia masih sadar
dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengulur
tangan untuk mencari pegangan! Akhirnya ia berhasil dan sebelah tangannya dapat
menangkap sebatang pohon yang tumbuh di permukaan jurang yang curam itu. Akan
tetapi, tiba-tiba ia merasa betapa tangan Ma Ho yang memegangnya menjadi lemas
dan ketika pegangan tangannya pada cabang pohon itu menahan luncuran tubuhnya,
pegangan pada tangan Ma Hoa itu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh
Ma Hoa terus ke bawah, terpisah darinya!
Kwee An merasa betapa tangannya yang memegang
pohon itu sakit dan seakan-akan sambungan tulang pada pundaknya terlepas oleh
karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali. Ia
berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh
kengerian. Melihat betapa tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga
lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh keras-keras.
“Ma Hoa...” Kemudian ia pun roboh pingsan!
Untung baginya bahwa di mana ia berada itu mempunyai banyak cabang dan daun,
hingga ketika tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan oleh
ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.
Setelah beberapa lama berada dalam keadaan
pingsan, lambat laun ia siuman kembali dan teringat akan nasib Ma Hoa, Kwee An
menangis sedih di atas dahan pohon itu. Ia ingin melempar dirinya ke bawah
untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus harapan. Siapa
tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya? Ia harus menyelidiki dulu dengan
teliti. Maka ia lalu merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon.
Ia melihat betapa pohon itu tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu
lurus ke atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati ia lalu
menggunakan batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap
ke atas.
Dengan pertolongan batu-batu karang dan
akar-akar pohon, ia dapat juga meninggalkan pohon di mana ia tersangkut tadi
dan akhirnya ia mendapatkan sebuah gua di dinding tebing. Karena merasa lelah
sekali, ia masuk ke dalam gua kecil itu dan beristirahat. Semalam penuh ia
beristirahat di dalam gua itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan
mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan mencari jalan
keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian mencari
kekasihnya.
Sementara itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah
dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan lagi, kalau tubuh dara ini
jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi,
Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Kalau belum
dikehendakinya, ada saja jalan atau penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang
dari kematian.
Ketika tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati
tanah, tiba-tiba terdengar orang mengeluarkan seruan kaget, “Ya Tuhan Yang
Agung!” seruan ini dikeluarkan oleh seorang kakek berkepala botak. Secepat
kilat kakek botak ini lalu menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh
hendak menimpa tanah, ia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa,
dan sekali mantel disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah,
lalu dibelokkan tenaga luncurannya ke kiri, kemudian diteruskan ke atas hingga
tubuh itu melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk mematahkan tenaga
luncuran yang keras itu. Ketika tubuh Ma Hoa melayang lagi ke bawah, jauh
berkurang dan telah patah tenaga luncurannya, kakek botak itu lalu menangkapnya
dan membawanya masuk ke dalam sebuah gua yang berada tak jauh dari tempat itu.
Setelah memeriksa keadaan Ma Hoa, kakek botak
itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis itu pingsan bukan karena
menderita luka, akan tetapi oleh karena kengerian, ketakutan dan juga karena
tekanan hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika ia jatuh dari tempat yang
luar biasa tingginya itu tadi! Maka kakek botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa
pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan sampai siuman sendiri. Ia
hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali dan mengurut-urut leher
gadis itu untuk memulihkan kembali jalan pernapasannya, kemudian ia membiarkan
gadis itu terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang
bundar dan lebar untuk bersamadhi, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.
Tak lama kemudian, dari luar gua masuklah
seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma Hoa yang rebah
terlentang di atas tanah, di belakang kakek botak yang duduk bersamadhi, orang
tua tinggi kurus ini membelalakkan kedua matanya dan mengeluarkan suara, “Ah,
ah, uh, uh...“ lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ternyata bahwa dia
adalah seorang kakek gagu!
Kakek botak itu membuka matanya dan tersenyum
melihat lagak Si Gagu. “A Tok! Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari
langit, akan tetapi ia terjatuh dari atas tebing itu. Ia mempunyai tulang dan
bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka semenjak sekarang, ia menjadi
sumoimu! Keluarlah kau mencari Daun Siu-hwa putih untuk mengobati pengaruh
kaget dan takutnya.”
A Tok yang gagu itu lalu terkekeh girang dan
pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian ia kembali lagi sambil
tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna putih dan tangannya lalu
bergerak-gerak dan dikembangkan ke kanan-kiri meniru gerakan burung dan
mulutnya tetap mengeluarkan suara, “ah, ah, uh, uh” seperti tadi.
“Hm, burung besar? Biarlah aku keluar
melihatnya, A Tok!” Kakek botak itu lalu bertindak keluar dengan tenang, dan
benar saja, ia melihat seekor burung merak yang besar dan indah melayang turun
dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya seekor rajawali mencari mangsa.
Ini adalah Sin-kong-ciak yang disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma
Hoa.
Ketika melihat kakek yang berdiri di depan gua
itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar dengan cepat, kedua kakinya siap
mencengkeram dan patuknya siap menotok.
“Ha, ha, burung merak yang lihai!” kata kakek
botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya. Dari tangan itu menyambar hawa
yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental kembali ke atas. Merak
Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka ia hanya memekik-mekik keras
sambil terbang berputaran di atas kepala kakek botak itu. Sedangkan kakek itu
lalu mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret,
kemudian ia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada
ujungnya.
“Merak baik, kau kembalilah dan berikan surat
ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!” Ia lalu menyelipkan kertas
bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut
tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak
Sakti! Sin-kong-ciak menyangka bahwa kakek itu menyambitnya dengan batu atau
senjata lain, maka ia cepat mengelak, akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa
kakek itu menyambit dengan cara yang luar biasa hingga ketika merak itu
mengelak, ujung tali membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar
sedemikian rupa hingga tali membelit dengan erat pada kaki itu! Sin-kong-ciak
biarpun tidak merasa sakit, akan tetapi ia terkejut sekali hingga kembali ia
memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke atas karena takut dan ngeri
menghadapi kakek botak yang luar biasa itu! Demikianlah, kakek botak itu
memberi tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah
dituturkan di bagian depan.
Ketika akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan
membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan dirinya rebah di atas tanah
yang lembek dan berada di dalam sebuah gua yang gelap. Ia lalu bangun duduk dan
timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera terbayang kembali
peristiwa tadi. Ia memandang ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah
herannya ketika melihat bahwa di atas dua buah batu besar, ia melihat dua orang
kakek sedang duduk bersamadhi. Kakek botak itu mendengar gerakannya, lalu
membuka mata dan turun dari atas batu.
“Anak, jangan kau kaget, kau berada di tempat
yang aman,” katanya halus.
“Teecu... berada di manakah... dan siapakah
Locianpwe?”
“Kau tadi terjatuh dari atas dan kebetulan
sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah tubuhmu dari kehancuran.
Kaumakanlah daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu.” Sambil berkata
demikian, kakek botak itu memberikan lima helai daun-daun kecil yang berwarna
putih dan yang tadi ia suruh A Tok mencari. Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa
menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan tetapi oleh
karena memang ia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, ia lalu
makan habis daun itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya
lenyap. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek botak itu dan berkata,
“Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima
kasih atas pertolongan Locianpwe. Mohon tanya bagaimana nasib seorang kawanku
yang jatuh bersama teecu?” Sambil berkata demikian Ma Hoa memandang kepada
wajah kakek botak itu dengan cemas.
“Seorang kawanmu?” kakek itu berkata, “aku
tidak melihat orang lain kecuali kau yang melayang jatuh dari atas.”
“Ah... kalau begitu, biarlah teecu mencarinya,”
kata Ma Hoa sambil berdiri.
“Nanti dulu, Nak. Sebetulnya siapakah kau ini
dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh? Mengapa pula kau dan kawanmu sampai
terjatuh dari tempat setinggi itu?”
Biarpun hatinya ingin sekali lekas keluar dari
gua itu untuk mencari Kwee An, namun karena ia telah tertolong jiwanya oleh
kakek itu, maka Ma Hoa lalu menuturkan singkat pengalamannya, betapa ia dan
kawannya bertempur melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Kakek botak itu
mengangguk-angguk dan berkata,
“Pantas saja kau dan kawanmu kalah melawan Bo
Lang Hwesio yang pernah kudengar namanya ketika aku masih muda dan masih
menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga bulan saja kau mempelajari Ilmu
Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut lagi menghadapi mereka!”
Ma Hoa terkejut mendengar ini karena kata-kata
itu menyatakan bahwa kakek botak ini hendak mengambil dia sebagai muridnya!
Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Lo-cianpwe, bukan teecu
tidak tahu terima kasih, akan tetapi tentang belajar silat ini lebih baik
ditunda setelah teecu dapat mencari kawanku yang jatuh itu.”
“Hm, tidak boleh! Kau berjodoh untuk menjadi
murid dan ketahuilah, kalau tidak atas kehendakku sendiri, biar orang berlutut
dan bermohon di depanku sampai dia mati, tak mungkin dia bisa menjadi muridku.
Tentang kawanmu itu, percayalah bahwa selain kau tidak ada lagi orang lain
jatuh dari atas. Maka menurut dugaanku, kawanmu itu tentu telah dapat menolong
jiwanya sendiri dan telah selamat, oleh karena kalau dia memiliki ginkang yang
tinggi, di waktu jatuh dia dapat menangkap cabang-cabang pohon yang banyak
tumbuh di samping tebing itu.”
Mendengar ucapan ini Ma Hoa menjadi lega juga
dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa ini tidak membohong. Ia pun merasa
girang mendengar janji kakek ini bahwa selama mempelajari ilmu silat tiga bulan
saja, ia akan dapat melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce! Ingin sekali ia mencari
dan membalas kedua orang yang hampir saja menewaskannya itu. Maka ia lalu
mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,
“Suhu, teecu Ma Hoa menurut perintah dan
petunjuk Suhu!”
Kakek botak itu tertawa bergelak karena
girangnya. “Bagus, bagus! Ketahuilah, aku bernama Hok Peng Taisu, dan kakek
gagu ini adalah suhengmu bernama A Tok!” Ma Hoa lalu menjura kepada suhengnya
yang sudah tua itu hingga A Tok menjadi girang dan membalas pemberian hormat
itu sambil berseru “Ah-ah-uh-uh” dan tangannya bergerak-gerak.
“Tempat ini kurang baik untuk belajar silat,”
kata Hok Peng Taisu, “mari kau ikut aku ke Hong-lun-san!”
Ma Hoa menurut dan kedua guru dan murid itu
berlari cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sebuah bukit lain yang nampak
puncaknya dari situ. Ma Hoa mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi
biarpun suhunya hanya berjalan perlahan saja kelihatannya, namun ia selalu
tertinggal di belakang! Maka ia merasa girang sekali oleh karena mendapat
kenyataan bahwa suhunya yang baru ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian
tinggi.
Setelah tiba di Hong-lun-san, Ma Hoa menjadi
kagum melihat bahwa di puncak bukit ini terdapat pondok suhunya dan pemandangan
di situ tidak kalah indahnya dengan tempat tinggal Yousuf. Semenjak saat itu,
ia mendapat latihan IImu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari suhunya, Hok
Peng Taisu. Ilmu silat ini dimainkan dengan menggunakan dua batang bambu kuning
yang runcing. Sepasang bambu runcing ini pendek saja hingga merupakan siangkiam
atau sepasang pedang yang aneh karena terbuat dari bambu biasa dan tidak tajam,
ujungnya runcing. Biarpun hanya sepasang bambu runcing kering, akan tetapi senjata
ini hebatnya tidak kalah dengan senjata-senjata lain yang terbuat dari besi
atau baja. Hok Peng Taisu telah menggunakan waktu bertahun-tahun untuk mencipta
ilmu silat ini hingga di waktu mencipta, ia telah memasukkan segala kemungkinan
menghadapi senjata lawan yang bagaimanapun.
Kemudian ia telah merantau puluhan tahun di
waktu mudanya tanpa dapat menemukan tandingan yang dapat merobohkan ilmu
silatnya ini. Setelah ia mengundurkan diri dan bertapa, ia bahkan memperdalam
lagi Ilmu Silat Bambu Kuning dengan cita-cita untuk menurunkannya pada seorang
murid yang berbakat dan baik. Dan pilihannya jatuh kepada Ma Hoa secara tak
terduga dan kebetulan sekali. Ma Hoa sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang
tinggi dari Nelayan Cengeng, bahkan ilmu pedangnya Hai-liong Kiamsut lihai
sekali, dan oleh karena ginkangnya sudah cukup tinggi maka kini ia dapat
mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dengan tak banyak susah lagi.
Setelah mempelajari ilmu silat yang aneh itu
selama tiga bulan, maka ia telah dapat mainkan dua batang bambu runcing itu
dengan sempurna dan hanya tinggal melatih dan mematangkannya saja. Oleh karena
maklum bahwa muridnya ini amat menguatirkan keadaan Kwee An, Hok Peng Taisu
tidak menahannya ketika Ma Hoa menyatakan keinginannya untuk turun gunung dan
mencari kekasihnya. Kakek ini hanya memesan agar Ma Hoa berhati-hati dan jangan
lupa untuk sewaktu-waktu mengunjunginya.
Ma Hoa langsung menuju ke bukit tempat tinggal
Yousuf oleh karena ia merasa pasti bahwa kalau Kwee An tertolong dari bahaya
maut dan masih hidup, tentu pemuda itu akan kembali ke tempat tinggal orang
Turki itu. Akan tetapi, alangkah kecewanya dan cemas hatinya ketika tiba di
tempat itu ia melihat rumah Yousuf telah menjadi tumpukan puing dan keadaan di
situ sunyi sekali. Dengan cepat Ma Hoa lalu turun dari bukit, dan menemui
penduduk dusun yang kini telah berangsur-angsur kembali lagi ke rumah
masing-masing dan gadis itu mendapat keterangan tentang adanya penyerbuan
rombongan orang Turki yang hendak menangkap Yousuf. Seperti juga Cin Hai, ia
merasa heran mengapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti dapat dikalahkan dan
sampai melarikan diri dari serbuan rombongan itu. Ketika ia mencari keterangan
tentang Kwee An dan Cin Hai, tak seorang pun dapat menceritakannya, oleh karena
memang Kwee An tak pernah datang ke tempat itu, sedangkan ketika Cin Hai
datang, orang-orang kampung sedang lari mengungsi.
Bukan main bingung hati Ma Hoa, karena tidak
saja ia tidak tahu akan nasib Kwee An, bahkan kini ia tidak tahu pula bagaimana
keadaan kawan-kawan lain dan di mana mereka sekarang berada. Maka ia lalu
meninggalkan tempat itu dan setelah memeriksa tempat di mana ia dan Kwee An
terjatuh dari tebing, ia lalu turun gunung dan mengambil keputusan hendak
mencari Kwee An di sekitar gunung ini.
Setelah bermalam di dalam gua, pada keesokan
harinya Kwee An terjaga dari tidurnya dengan tubuh terasa panas sekali. Ketika
ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi terkejut karena seluruh tubuhnya terasa
kaku dan sakit. Ternyata bahwa pukulan Angin Taufan dan kemudian kejatuhan itu
mendatangkan akibat yang hebat juga. Ia menderita sakit dan agaknya keadaan gua
yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah mendatangkan demam kepadanya!
Terpaksa ia rebah di dalam gua itu dan selama tiga hari panas tubuhnya meningkat
hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan mengigau karena panasnya. Keadaannya
berbahaya sekali karena selain tidak ada yang merawatnya, juga ia tidak dapat
makan sesuatu. Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya mengurang dan ia dapat
menggerakkan tubuhnya merangkak perlahan ke mulut gua. Ia melihat tetumbuhan
kecil di mulut gua itu dan oleh karena ia merasa lapar sekali, ia mengambil
daun-daun muda dan memakannya!
Demikianlah, ia hidup dengan sengsara sekali
selama berbulan-bulan di dalam gua itu, hanya makan akar-akar pohon dan
daun-daun yang berada di dekat gua. Setelah tubuhnya menjadi kuat kembali,
barulah ia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan pada akar-akar pohon dan
menginjak batu-batu karang yang menonjol, berdaya keluar dari tempat tahanan
alam ini! Setelah ia dapat menginjak tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat
itu jauh berbeda dengan keadaan lereng gunung di mana Yousuf tinggal. Bagian
bukit ini penuh dengan hutan-hutan liar dan tanpa ia sadari ia telah tiba di
bagian utara gunung itu, sedangkan tempat tinggal Yousuf adalah di bagian
selatan. Ia juga tidak ingat lagi bahwa ia telah berada di gua itu selama tiga
bulan lebih!
Kwee An lalu memasuki sebuah hutan yang
terdekat dan mencari buah-buah yang banyak tumbuh dari pohon-pohon besar di
situ, dan makanlah ia sepuas dan sekenyangnya.
Akan tetapi, baru saja ia turun dari pohon,
tiba-tiba dari hutan muncul serombongan orang yang segera datang mengurungnya
sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini berpakaian aneh, setengah pakaian Han
dan setengah Mongol. Potongan tubuh den wajah mereka bagus dan tiada banyak
bedanya dengan orang-orang Han biasa, akan tetapi bahasa mereka terdengar aneh
dan mirip bahasa Mongol. Mereka ini adalah sekelompok sisa dari bangsa Haimi
yang telah dipukul pecah dan diusir oleh bangsa Mongol. Orang-orang Haimi ini
sebenarnya masih memiliki darah campuran, yaitu darah Han dan Mongol dan mereka
mempunyai potongan muka yang boleh disebut tampan. Kwee An merasa
terheran-heran melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis yang
bagus dan panjang dan dilingkarkan ke atas. Akan tetapi mereka semua mencukur
habis jenggot mereka, bahkan yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot,
hanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung! Lebih aneh lagi, bahkan
orang-orang setengah dewasa yang berada di antara mereka, juga memelihara kumis
pula!
Rombongan orang berkumis melintang ini
mengepung Kwee An sambil mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa mereka yang
sama sekali tidak dimengerti olehnya.
“Apakah yang kalian kehendaki? Aku tidak
mengerti,” kata Kwee An kepada mereka sambil tersenyum dan mengangkat pundak.
Betapapun juga, ia melihat sikap mereka bukan seperti orang-orang liar yang
hendak mencelakakan atau menyerangnya, maka hatinya menjadi lega.
Tiba-tiba seorang di antara mereka yang telah
putih rambutnya, akan tetapi masih memiliki kumis yang hitam indah melintang di
bawah hidungnya, maju menghampirinya dan bertanya dalam bahasa Han campuran
yang kaku.
“Siapakah kau dan darimana kau datang?”
Kwee An merasa girang sekali. Ia cepat menjura
memberi hormat kepada orang tua itu dan menjawab, “Sukur sekali kau bisa bicara
bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama Kwee An dan aku datang ke sini bukan
disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat apakah ini dan siapakah kalian ini?”
Dengan sukar sekali kakek ini menjawab. “Kami
adalah bangsa Haimi yang mengikuti pemimpin kami dan sekarang tinggal di hutan
ini. Telah bertahun-tahun kami tidak bertemu dengan orang Han, maka kami merasa
heran sekali dapat bertemu dengan kau di sini.”
“Mengapa kalian mengurungku?” tanya Kwee An
dengan hati tidak enak juga.
“Kau harus ikut kami menghadap kepada pemimpin
kami di dalam hutan.”
Biarpun tidak merasa keberatan untuk bertemu
dengan pemimpin orang-orang Haimi ini, akan tetapi Kwee An tidak senang juga
karena ia seakan-akan hendak dipaksa dan dijadikan tawanan pula, apa perlunya
ia harus menghadap pimpinan mereka? Adapun orang-orang yang mengelilinginya,
terutama yang muda-muda, memandangnya seakan-akan ia adalah seorang yang lucu.
Ia merasa betapa pandang mata mereka ini semua ditujukan kepada hidungnya
hingga diam-diam Kwee An merasa heran dan beberapa kali ia menggunakan ujung
lengan baju untuk menggosok-gosok hidungnya karena kuatir kalau-kalau tanpa
disengaja ia telah mengotorkan hidungnya, ia tidak tahu bahwa para pemuda
berkumis panjang itu memandangnya dengan tertawa-tawa karena geli melihat ia
tidak berkumis sama sekali!
Bagi mereka, melihat seorang pria tidak
berkumis sama dengan melihat harimau tak berkumis atau kera tak berbulu!
Seorang di antara mereka, yang berwajah tampan dan mempunyai kumis kecil
panjang melingkar ke atas sedangkan usianya paling banyak baru lima belas
tahun, bahkan maju mendekatinya dan sambil menunjuk ke bawah hidung Kwee An, ia
tertawa-tawa berkata dalam bahasanya. Semua orang tertawa mendengar ucapan
pemuda tanggung ini dan biarpun tidak mengerti bahasa mereka, namun Kwee An
dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.
“Tidak, aku tidak mau pergi menghadap
pemimpinmu!” kata Kwee An yang merasa sebal dan marah juga.
Orang tua itu melangkah mundur dua tindak dan
bicara dalam bahasanya sendiri, yang maksudnya memberi tahu kepada semua
kawannya bahwa orang asing ini tidak mau menghadap kepala mereka. Tiba-tiba
sikap orang-orang yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan
ketika tangan mereka bergerak, mereka semua telah mencabut golok kecil dengan
tangan kiri dan melepaskan sebuah cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap
mereka mengancam sekali.
“Eh, eh, apakah kalian hendak memaksaku?”
tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga sudah mencabut keluar sebatang cambuk
panjang berwarna merah dan sebuah golok kecil yang tajam sekali.
Kakek itu mengangguk. “Kalau kau tidak mau
menghadap dengan suka rela, terpaksa kami akan memaksamu. Setiap orang yang
lewat di sini, harus menghadap kepada pemimpin kami oleh karena daerah ini
menjadi daerah kami dan berada di bawah kekuasaan kami! Jangan kau mencoba
untuk melawan, anak muda, karena kau takkan keluar dari tempat ini dengan bernyawa
kalau kau tidak menuruti permintaan kami!”
Tiba-tiba, anak muda belasan tahun yang tadi
memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan Kwee An sambil memutar-mutar
cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras sekali, menyambar-nyambar di atas
dengan ganasnya hingga diam-diam Kwee An menjadi terkejut dan juga kagum. Tak
mudah menggerakkan cambuk seperti itu kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak
melatih diri dengan baik. Cambuk itu dapat merupakan senjata yang berbahaya!
“Siapakah anak ini dan apa kehendaknya?” tanya
Kwee An kepada kakek itu. Orang tua itu berkata dengan suara dingin. “Dia
adalah putera pemimpin kami yang merasa tidak puas melihat sikapmu. Ia
menganggap kau tidak menghormat ayahnya maka sekarang ia menantang kau untuk
mengadu cambuk!”
“Mengadu cambuk? Apa artinya itu?”
“Ini adalah semacam adu kepandaian yang
menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang mengadu kepandaian memegang cambuk di
tangan kanan dan golok di tangan kiri. Yang boleh dipergunakan untuk menyerang
hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok itu digunakan untuk mencoba membabat
putus cambuk lawan. Siapa yang cambuknya dapat putus berarti kalah. Apabila
keduanya dapat menjaga hingga cambuk masing-masing tidak terputus, maka siapa
yang terbanyak mendapat luka cambukan, ia kalah.”
Kwee An mengangguk-angguk dan ia memandang
kepada pemuda belasan tahun itu dengan kagum. Sikapnya memang gagah sekali,
tubuhnya kuat, sepasang matanya menyinarkan keberanian besar, sedangkan kedua
tengan yang memegang senjata itu nampak tetap dan sigap.
“Aku terima tantangannya,” kata Kwee An dengan
wajah berseri karena ia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian anak
muda yang tampan itu. Ketika kakek itu memberi tahu bahwa Kwee An menerima
tantangan pemuda itu, sikap mereka berubah lagi. Kalau tadi mereka
bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka bersorak dan bergembira, karena
mereka memang menghargai kegagahan dan melihat bahwa Kwee An berani melawan
pemuda yang menjadi jago di antara mereka itu, mereka merasa kagum! Segera mereka
berpencar dan duduk di atas rumput mengelilingi mereka dan memberi tempat yang
cukup luas untuk kedua orang yang hendak bertanding itu. Sedangkan kakek itu
lalu memberi pinjarnan sebatang cambuk panjang dan sebuah golok kepada Kwee An.
Sebetulnya Kwee An tidak gentar untuk
menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong, akan tetapi oleh karena ia
kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia lalu menerima kedua senjata
itu dan memegang di tangan dengan sembarangan saja. Tentu saja sikapnya ini menjadikan
buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, cara memegang kedua macam senjata
itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya. Menurut teori
mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu diayun-ayun dan
diputar-putar, sedangkan tangan kiri yang memegang golok harus membalikkan
golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar mudah menangkis dan memutuskan
cambuk lawan. Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang tergantung ke bawah,
sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk bersilat.
Pemuda tanggung itu tiba-tiba berseru keras
dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda bahwa lawannya hendak mulai menyerang,
maka dengan tenang dan waspada ia berdiri memasang kuda-kuda dan memandang
tajam. Benar saja, cambuk pemuda itu tiba-tiba berbunyi keras dan berkelebat
menyambar ke arah lehernya. Kwee An mengelak cepat sambil merendahkan tubuhnya,
akan tetapi ternyata bahwa yang menyambar lehernya adalah bagian tengah cambuk
itu, sedangkan ujungnya yang kecil lemas dan masih panjang itu tiba-tiba dapat
bergerak ke arah dadanya. Inilah tenaga lweekang yang dapat menggerakkan cambuk
itu pada ujungnya seakan-akan cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa
kagum juga dan cepat ia mengelak lagi dengan lompatan cepat ke samping.
Ia terlepas dari pada serangan pertama dan
semua orang yang duduk mengelilingi tempat itu dan menonton, mengeluarkan
seruan-seruan karena mereka merasa heran, melihat cara Kwee An mempertahankan
diri. Memang, mereka itu biasanya tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk
mengelak dari serangan dan biasanya apabila diserang, mereka menggunakan golok
di tangan kiri untuk menangkis dan mencoba memutuskan cambuk lawan, sedangkan
cambuk sendiri harus segera dikerjakan untuk mengirim serangan balasan. Hingga
ilmu cambuk mereka itu pada hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas
serangan dan ketepatan menangkis dengan golok.
Gerakan Kwee An yang cepat itu membuat mereka
terherah-heran, akan tetapi ketika pemuda itu menyerang terus bertubi-tubi
hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara keras mengurung
seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An lalu mempergunakan ginkangnya
berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan ujung cambuk, semua orang
menjadi bengong karena tiba-tiba saja mereka tidak melihat lagi tubuh Kwee An
dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan. Bahkan kakek tua itu pun tiada
habisnya mengeluarkan seruan memuji.
Tiba-tiba pemuda tanggung itu menghentikan
serangannya dan dengan muka merah karena penasaran dan marah, ia bicara dengan
suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri tenang. Kakek itu lalu berkata
dari tempat duduknya, “Ia merasa penasaran karena kau tidak menggunakan cara
bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi terhadap musuh, sedangkan
permainan ini sama sekali bukan berkelahi, hanya mengadu kepandaian. Sekarang
kaupilih, hendak berkelahi mengadu jiwa atau hendak bertanding mengadu
kepandaian? Kalau hendak bertanding, kau harus membalas dengan cara yang sama
dan menyerang dengan cambukmu!”
Kwee An terkejut. Tanpa disengaja ia telah
melukai perasaan pemuda tanggung itu, maka ia lalu berkata, “Baiklah, aku akan
membalas dengan serangan cambuk. Aku akan merampas cambuk dari tangannya!”
Ketika kakek itu memberitahukan hal ini kepada
pemuda itu, ia lalu tersenyum senang dan mulai menyerang lagi. Kini Kwee An
tidak mau mempergunakan ginkangnya lagi, dan ketika cambuk lawan menyambar, ia
pun lalu menggerakkan cambuk di tangannya dan menggerakkan tenaga lweekangnya
hingga cambuknya lalu membelit cambuk lawan. Ketika ia berseru keras dan
membetot, tak tertahan lagi pemuda tanggung itu berteriak kaget dan terlepaslah
cambuk itu dari tangannya.
“Nah, aku menang, karena cambuknya telah dapat
kurampas!” kata Kwee An kepada kakek itu yang duduk memandang cara tadi dengan
mata terbelalak heran. Juga semua orang, termasuk pemuda tanggung itu, merasa
heran sekali. Bagaimana cambuk dapat dipakai untuk merampas senjata demikian
mudahnya? Akan tetapi, pemuda itu melangkah maju dan kembali mengeluarkan kata-kata
keras dengan muka penasaran. Setelah ia habis berkata-kata, terdengar semua
orang yang duduk mengelilingi mereka itu tertawa bergelak.
“Ada apa lagi?” tanya Kwee An kepada kakek
yang menjadi juru bahasa itu. Kakek itu pun tersenyum geli mendengar kata-kata
anak muda tadi. “Ia bilang bahwa laki-laki tanpa kumis memang seperti seorang
perempuan yang berhati lemah. Ia menganggap kau tidak tahan melihat darah
seperti seorang perempuan, dan karena kau tidak berkumis, maka tentu saja kau
berhati curang dan mempergunakan ilmu sihir yang jahat untuk mengalahkannya. Ia
tidak merasa kalah karena selain cambuknya tidak putus oleh golokmu, ia pun
tidak mendapat luka satu pun dari cambukmu, ia menantangmu bertanding secara
laki-laki, jangan seperti seorang perempuan!”
Merahlah muka Kwee An mendengar ini. Ia lalu
melempar cambuk yang dirampasnya itu kepada pemuda tadi, dan setelah berseru
keras, ia mulai menyerang dengan cambuknya yang disabetkan ke arah pinggang
pemuda itu! Pemuda itu berseru gembira dan mengangkat golok, dengan membabat
keras dan cepat sekali dengan maksud memutuskan cambuk Kwee An yang berarti
bahwa ia akan memperoleh kemenangan! Kwee An terkejut juga melihat gerakan
golok itu oleh karena ternyata ketika menangkis pemuda tanggung itu mempergunakan
gerakan silat golok Bidadari Memalang Pintu! Ia maklum bahwa sabetan golok itu
berbahaya sekali bagi keselamatan cambuknya, maka ia menggerakkan tangannya dan
cambuk memutar kembali lalu menyerampang kedua kaki pemuda itu dengan gerakan
cepat oleh karena ia mengira bahwa pemuda itu tentu tidak memiliki ilmu ginkang
hingga lemah pada pergerakan kaki dan kegesitannya. Akan tetapi ia kecele
karena dengan cepat, pemuda itu melompat ke atas dan dari atas cambuknya
menyambar ke arah kepala Kwee An! Kembali Kwee An terkejut. Gerakan melompat
tadi adalah gerakan ilmu silat bernama Ikan Melompati Ombak!
Maka ia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi dan
menerjang dengan cambuknya yang diputar cepat sekali mengurung tubuh itu!
Pemuda tanggung itu makin gembira nampaknya dan melawan dengan hebat dan
ternyata bagi Kwee An bahwa ilmu kepandaian bermain cambuk dari pemuda ini
benar-benar lihai! Kini para penonton bersorak dengan gembira sekali, karena
mereka kini menyaksikan pertandingan main cambuk yang benar-benar hebat dan
ramai! Bahkan kakek tadi mengeluarkan sebuah huncwe (pipa tembakau) yang
pendek, lalu mengepulkan asap dari huncwenya dan ia duduk menonton dengan
asyiknya seakan-akan yang sedang berlangsung di depannya adalah pertunjukan
yang amat indah menarik!
Betapapun pandai permainan cambuk anak muda
itu, namun ia bukanlah lawan Kwee An yang memiliki ilmu kepandaian silat
tinggi. Untuk menangkis tiap sabetan lawan, Kwee An tidak perlu menggunakan
goloknya, karena cambuknya cukup digunakan untuk menangkis, sedangkan tiap kali
pemuda itu menyabet cambuknya, dengan mengerahkan lweekangnya, Kwee An dapat
membuat cambuknya menjadi lemas, licin kuat hingga ketika beradu dengan mata
golok, cambuknya hanya terpental saja dan tak dapat diputuskan! Ia mulai
mengirim cambukan dan mula-mula ia hanya mencambuk punggung pemuda itu saja.
Bukan main herannya semua penonton ketika melihat betapa tiap kali Kwee An
mengayun cambuk, selalu ujung cambuknya mengenai punggung lawannya! Juga pemuda
tanggung itu merasa heran dan penasaran karena tidak ia sangka sama sekali
bahwa pemuda asing tanpa kumis ini ternyata seorang jago cambuk yang luar
biasa! Ia adalah seorang jago yang nomor satu di antara para pemuda dan telah
lama dikagumi, tak nyana bahwa sekarang ia menjadi korban cambuk seorang pemuda
tanpa kumis dan sama sekali tak dapat membalas! Maka ia menjadi marah dan
penasaran sekali, lalu menyerang terus dengan nekad walaupun bajunya di bagian
punggung telah robek semua oleh ujung cambuk Kwee An! Memang Kwee An tidak
bermaksud melukai pemuda itu hingga tiap kali cambuknya mengenai sasaran, ia
selalu menyimpan tenaga dan tidak membuat kulit lawan menjadi terluka, hanya
merobek-robek bajunya saja.
Tadinya Kwee An bermaksud agar supaya pemuda
itu menginsafi kelemahannya dan suka mengaku kalah, akan tetapi setelah melihat
betapa pemuda itu bahkan mendesak makin nekad, ia menjadi penasaran juga. Ia
mulai menambah tenaga pada ujung cambuknya dan pecahlah kulit punggung pemuda
itu terkena ujung cambuk. Darah mengalir membasahi bajunya yang sudah sobek.
Alangkah heran hati Kwee An ketika tiba-tiba semua orang bersorak melihat darah
itu, seakan-akan menyaksikan peristiwa yang menggembirakan dan yang menambahkan
keindahan pada pertandingan itu! Kwee An mengirim beberapa kali cambukan yang membuat
kulit punggung lawannya penuh dengan darah karena kulit itu terpukul pecah.
Sungguhpun Kwee An tidak bermaksud melukainya terlalu dalam, namun seharusnya
cambukan-cambukan itu cukup menyakitkan. Akan tetapi anehnya, bukan menyerah,
bahkan pemuda itu menjadi makin nekad dan menyerang makin hebat!
Kwee An menjadi kewalahan juga. Melihat dari
sikap pemuda ini dan sorak-sorakan para penonton yang menjadi gembira, ia
maklum bahwa pemuda tanggung yang gagah ini tentu mengambil keputusan hendak
melawan sampai darahnya habis atau sampai tidak kuat lagi, sedangkan para
penonton makin merasa gembira saja. Ketika ia mengerling dan memandang ke arah
kakek tua tadi, ternyata bahwa kakek itu pun sedang menonton sambil
mengepul-ngepulkan asap huncwenya, seakan-akan menikmati pemandangan yang
menyenangkan hati!
Maka Kwee An lalu mendapat akal. Ia mulai
mengeluarkan ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat warisan Hek Mo-ko. Tubuhnya
berkelebat dan melompat ke atas dan bergerak mengelilingi pemuda itu yang
menjadi pening dan kabur matanya. Tiba-tiba, tanpa terlihat orang lain, Kwee An
mengulurkan jari tangan dan dengan tepat sekali menotok jalan darah
thian-hu-hiat hingga pemuda itu roboh dengan lemas tanpa dapat bergerak lagi!
Melihat pemuda itu roboh dengan lemas semua
orang mengira bahwa pemuda itu tentu telah lelah dan terlalu banyak
mengeluarkan darah, maka dianggap kalah dan semua orang lalu menolongnya! Kwee
An juga pura-pura menolongnya, akan tetapi ketika ia mengangkat pundak pemuda
itu, ia menekan dengan jarinya hingga totokannya tadi dapat dilenyapkan, hingga
kesehatan pemuda itu pulih kembali. Pemuda itu hanya memandang dengan heran dan
kagum, lalu tiba-tiba ia berdiri, memeluk leher Kwee An dan menciumi pipinya!
Inilah tanda dari persahabatan dan kekaguman, hingga tadinya Kwee An merasa
heran sekali. Akan tetapi setelah ia mendapat keterangan dari kakek itu, ia
merasa lega dan senang. Semua orang tiada habisnya memuji dan mengagumi Kwee An
dan seketika itu juga Kwee An mendapat julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak?
Pemuda tanggung itu adalah putera pemimpin mereka yang memiliki ilmu cambuk
tertinggi di antara anak-anak muda di situ, sekarang Kwee An dapat
mengalahkannya tanpa menderita cambukan sekali pun!
Kini semua orang bukan memaksa, akan tetapi
membujuk-bujuk Kwee An untuk menemui pemimpin mereka. Melihat keramahan mereka
ini, Kwee An merasa kurang enak hati untuk menolaknya, maka ia lalu ikut mereka
masuk ke dalam hutan yang liar itu. Kedatangan mereka disambut oleh banyak
orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh karena semua orang laki-laki di
kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel, yaitu panjang melintang dan dipilin
ke atas, membuat mereka nampak gagah dan keren! Akan tetapi yang membuatnya
benar-benar tidak mengerti adalah bahwa anak-anak muda yang baru dua belas atau
tiga belas tahun pun mempunyai kumis macam itu! Ketika melihat seorang anak
laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah kumisan, Kwee An tidak
terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah kumis itu tulen. Akan
tetapi ketika ia mencabutnya perlahan, anak itu berteriak kesakitan dan semua
orang menjadi heran melihat kelakuan Kwee An itu! Hanya kakek juru bahasa tadi
saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia berkata, “Semua kumis yang kami
pakai adalah kumis tulen, kumis yahg tumbuh dengan sewajarnya dari kulit!”
“Tapi... tapi anak kecil itu... usianya baru
sebelas tahun!” kata Kwee An dengan heran sekali.
Kakek itu tertawa. “Mengapa tidak? Usia
sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan kami, anak laki-laki yang telah
berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan padanya lalu dikenakan upacara
tumbuh kumis, yaitu dengan perayaan gembira, anak itu dinyatakan dewasa dan di
atas bibirnya lalu digosok dengan obat tumbuh kumis. Dalam waktu setahun saja
kumisnya akan tumbuh dengan baiknya seperti yang kaulihat pada anak tadi.”
Baru mengerti Kwee An setelah mendengar
penuturan ini. Pantas semua orang memelihara kumis. Yang lebih mengherankannya
lagi ialah ketika orang-orang wanitanya muncul. Mereka ini rata-rata berkulit
halus putih dan biarpun potongan muka hampir sama dengan orang-orang Han, namun
mata mereka lebar-lebar dan bagus. Akan tetapi ketika wanita-wanita itu
tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi mereka yang kecil dan berderet rapi
itu berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee An mengeluh menyayangkan mengapa
wanita-wanita cantik manis itu bergigi hitam!
Ia dibawa menghadap pada seorang Haimi yang
bertubuh tinggi besar dan yang mempunyai kumis indah dan panjang sekali.
Matanya lebar berpengaruh, usianya belum tua benar, paling banyak empat puluh
tahun. Ketika melihat Kwee An, ia lalu turun dari tempat duduknya dan
menyambutnya dengan ramah,
“Sahabat, kunjungan seorang Han merupakan
kehormatan besar sekali bagi kami!”
Bukan main dan herannya hati Kwee An mendengar
betapa pemimpin Haimi ini dapat bicara bahasa Han dengan amat baiknya! Ia lalu
menjura dan berkata girang,
“Akulah yang mendapat kehormatan besar sekali
dapat bertemu dengan orang-orang gagah bangsa Haimi, dan girang sekali hatiku
karena ternyata bahwa selain kakek itu kau pun pandai berbahasa Han!”
Tempat di mana Kwee An disambut oleh kepala
suku bangsa Haimi itu adalah sebuah pondok yang cukup besar terbuat dari pada
kayu-kayu hutan. Pada saat itu, dari ruang dalam muncul seorang wanita muda dan
ketika Kwee An memandang, ia menjadi kagum. Dara ini cantik sekali, terutama
sepasang matanya yang lebar dan indah. Dengan gerakan lemah lembut dan tanpa
sungkan-sungkan lagi, dara muda itu mengambil tempat duduk di dekat pemimpin
itu dan memandang Kwee An dengan sinar mata kagum, memandang dengan langsung
tanpa malu-malu seperti biasa kelakuan gadis-gadis bangsanya sendiri! Oleh
karena dipandang secara demikian itu, Kwee Anlah yang merasa malu dan sungkan!
“Ini adalah puteriku yang bernama Meilani,”
kata pemimpin itu kepada Kwee An dan gadis itu tersenyum kepadanya. Kembali
datang rasa kecewa dalam hati pemuda itu ketika melihat betapa senyum manis
dikacau oleh cahaya gigi yang hitam berkilau itu. Mengapa orang merusak gigi
yang bagus itu?
Pemuda yang tadi dikalahkan oleh Kwee An, lalu
menghampiri ayahnya dan menuturkan tentang pertandingan tadi kepada ayahnya
dengan menggerak-gerakkan tangannya. Ia memandang kepada Kwee An dengan kagum
dan agaknya ia memuji-muji kepandaian Kwee An karena Kwee An melihat betapa
pemimpin itu memandangnya dengan mata terbelalak, sedangkan Meilani bahkan lalu
berdiri dari tempat duduknya dan menghampirinya sambil memandangnya penuh
perhatian dari kepala sampai ke kaki, seperti seorang memeriksa dan menaksir-naksir
benda yang indah menarik! Kwee An tidak berani bergerak ketika didekati oleh
dara ini dan ketika gadis ini mendekatinya ia mencium keharuman yang ganjil,
seperti bau bunga mawar!
Ketika Kwee An mengerling ternyata ruang yang
luas itu telah penuh orang-orang, laki-laki dan wanita, serta kanak-kanak yang
kesemuanya memandangnya dengan kagum! Dikelilingi oleh sekian banyak laki-laki
berkumis sedangkan ia sendiri tidak, dan sekian banyak wanita-wanita cantik
yang bergigi hitam, ia merasa seakan-akan ia berada di dunia lain!
“Anak muda, ketahuilah bahwa aku adalah
Sanoko, pemimpin rombongan bangsaku yang terdiri dari dua ratus jiwa lebih.
Meilani adalah puteriku dan pemuda yang kaukalahkan tadi adalah puteraku. Kau
siapakah dan di mana kau mempelajari ilmu cambuk yang hebat hingga telah
mengalahkan puteraku?” pertanyaan ini diajukan dengan mata memandang kagum.
“Aku bernama Kwee An, tentang ilmu cambuk itu,
sesungguhnya aku belum pernah mempelajarinya. Hanya sedikit ilmu silat bangsaku
pernah kupelajari hingga aku dapat mempertahankan diri terhadap serangan cambuk
puteramu.”
Tiba-tiba gadis yang bernama Meilani itu lalu
bicara kepada ayahnya, dan ternyata suaranya merdu dan nyaring. Ayahnya tertawa
bergelak, lalu bertanya kepada Kwee An, “Kwee-taihiap, apakah kau juga pandai
bermain golok?” Mendengar bahwa kepala suku bangsa Haimi ini tiba-tiba menyebut
taihiap (pendekar besar), Kwee An merasa sungkan juga, maka sambil merendah ia
menjawab,
“Aku pernah mempelajari sedikit ilmu pedang,
akan tetapi sayang sekali pedangku itu telah hilang di jalan.”
Ketika Sanoko menterjemahkan ucapan Kwee An
kepada anak perempuannya, tiba-tiba gadis itu berlari masuk ke dalam rumah dan
keluar pula sambil membawa sebatang pedang yang terbungkus kain kuning. Ia lalu
menyerahkan pedang itu kepada Kwee An yang ketika menerima dan melihat pedang
itu, menjadi terkejut sekali karena pedang itu bukan pedang sembarangan, akan
tetapi sebuah pedang mustika yang ringan sekali dan tajam serta mengeluarkan
cahaya kekuningan! Meilani lalu bicara kepada ayahnya yang menjelaskan pada
Kwee An,
“Anakku Meilani dulu pernah menemukan golok
dan pedang ini di dalam sebuah gua dan oleh karena kami tidak pernah
mempelajari ilmu pedang, hanya mempelajari sedikit ilmu golok, maka pedang ini
tidak ada yang dapat menggunakannya. Maka karena anakku juga pernah belajar
main golok, ia sekarang minta supaya kau suka melawannya dengan pedang ini dan
apabila kau dapat mengalahkannya, maka pedang ini dihadiahkan kepadamu!”
Bukan main girang hati Kwee An, oleh karena ia
maklum bahwa ini benar-benar pedang yang ampuh dan tajam. Pada tempat dekat
gagang ini melihat ukiran dua huruf “Oei Kang” yang berarti “Baja Kuning”. Akan
tetapi, pada saat itu ia tidak sempat memperhatikan keadaan Oei-kang-kiam itu
terlebih teliti lagi oleh karena ia merasa kaget mendengar bahwa dara cantik
bergigi hitam itu mengajaknya pibu! Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu pun
pandai ilmu golok. Ketika ia melihat golok itu, ia maklum pula bahwa golok itu
pun terbuat daripada logam yang sama dengan pedangnya, karena mengeluarkan
cahaya kekuningan. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Kwee An tidak menolak
ditantang pibu, maka ia segera menjawab,
“Baik, hanya kuharap saja Nona Meilani akan
berlaku murah hati kepadaku.”
Setelah mendengar jawaban pemuda itu, Meilani
lalu bertindak keluar dari pondok, diikuti oleh ayahnya dan adiknya. Kwee An
juga keluar dari situ membawa pedang Oei-kang-kiam, dan semua orang lalu keluar
pula dengan wajah berseri gembira, seakan-akan mereka hendak menghadiri pesta
perayaan yang menarik hati.
Setelah berada di halaman pondok yang luas,
Meilani lalu melompat dengan gerakan ringan dan lincah sambil membawa goloknya.
Gadis ini lalu mempererat ikat pinggangnya, mengikat pula dua kuncir rambutnya
lalu diselipkan di dalam baju di belakang punggung. Setelah itu, dengan gagah
dan cantik, ia berdiri menanti Kwee An dengan golok di tangan kanan dan senyum
manis menghias bibirnya.
Ketika melihat gerakan gadis yang melompat
tadi, Kwee An merasa kagum juga karena Meilani ternyata memiliki gerakan yang
gesit. Maka ia menjadi gembira juga dan sambil memegang pedang Oei-kang-kiam di
tangan kanan, ia lalu membuat gerakan Naga Sakti Menembus Awan, melompat ke
hadapan gadis itu. Ia telah melompat cepat dari tempat yang jauhnya kira-kira
lima tombak, maka gerakannya ini disambut dengan tampik sorak oleh semua
penonton yang secara cepat sekali mengelilingi tempat adu silat itu!
Melihat bahwa pemuda ini telah melompat di
depannya, Meilani berseru nyaring yang maksudnya memberitahu bahwa ia hendak
mulai menyerang. Ia menggerakkan goloknya, diputar-putar di atas kepala seperti
gerakan orang Haimi bermain cambuk, kemudian tubuhnya menerjang dengan sebuah
lompatan cepat dan golok itu menyambar ke arah leher Kwee An! Seperti juga
pedang Oei-kang-kiam, golok di tangan gadis itu tipis dan tajam, akan tetapi
ringan sekali hingga gerakan Meilani cepat sekali datangnya. Kwee An hendak
mencoba pedangnya, maka ia lalu mengangkat pedang menangkis. Terdengar suara
nyaring dan ketika dua batang senjata itu beradu, dari pedang dan golok yang
terbuat dari logam yang sama itu keluarlah bunga-bunga api berwarna hijau.
Meilani berseru kaget karena ketika goloknya beradu dengan Oei-kang-kiam,
hampir saja senjata itu terlepas dari pegangannya!
“Hebat sekali tenagamu!” katanya dalam bahasa
yang tidak dimengerti oleh Kwee An, akan tetapi yang membuat para pendengarnya,
terutama Sanoko, menjadi kagum, karena ia tahu bahwa puterinya itu telah diberi
latihan tenaga dalam yang cukup tinggi maka dengan sekali tangkis saja membuat
puterinya memuji, tentu pemuda tanpa kumis itu benar-benar lihai!
Meilani lalu memutar-mutar goloknya dan
memainkan ilmu golok yang cukup hebat. Golok di tangannya berubah menjadi sinar
kuning yang bergulung-gulung bagaikan gelombang menderu mengancam diri Kwee An,
akan tetapi Kwee An lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Hai-liong-koamsut yang
dulu ia pelajari dari Nelayan Cengeng. Melihat betapa pemuda itu berkelebat
cepat sekali seakan-akan menerobos di antara sinar goloknya dan kadang-kadang
lenyap dari pandangan matanya, Meilani menjadi terkejut sekali. Sedangkan semua
penonton menjadi melongo keheranan melihat kehebatan ilmu sitat Kwee An dan
pertandingan yang seru itu membuat mereka menahan napas dan lupa untuk
bersorak. Sanoko juga merasa kagum sekali karena puterinya yang tadinya
menggerakkan golok hendak mengurung, kini bahkan kena dikurung oleh pedang Kwee
An. Saking tegangnya, ia sampai berdiri dari tempat duduknya dan memandang
dengan penuh perhatian. Gerakan pedang Kwee An benar-benar merupakan seekor
naga laut yang mengamuk hingga diam-diam ia mengakui bahwa belum pernah ia
menyaksikan ilmu silat sedemikian lihainya.
Kwee An yang merasa gembira karena mendapatkan
pedang yang baik sekali, mendemonstrasikan ilmu pedangnya tanpa bermaksud
melukai lawannya, hanya mengurungnya dengan pedang saja. Kalau ia mau, dengan
mudah saja ia dapat menjatuhkan Meilani, akan tetapi mana hatinya tega untuk
melukai gadis cantik yang tidak bermaksud buruk terhadap dirinya itu. Dikurung oleh
sinar pedang Kwee An yang lihai, lambat laun Meilani merasa pening dan
pandangan matanya kabur. Tiba-tiba ia berseru keras dan segera tubuhnya
melompat tinggi dan jauh. Ketika ia turun, ia berdiri memandang dengan wajah
kemerah-merahan, kemudian setelah memandang dengan kagum kepada pemuda itu ia
lalu melemparkan goloknya kepada Kwee An yang disambut dengan baik oleh tangan
kiri Kwee An! Melihat hal ini, semua orang bersorak riang dan bahkan ada
beberapa orang yang menghampiri Kwee An, memeluk dan menciumi pipinya hingga
pemuda itu merasa geli sekali karena merasa betapa kumis-kumis mereka itu
seakan-akan mengitik-itiknya. Kakek yang dapat berbahasa Han itu pun
menghampirinya dan menjura sambil berkata, “Kionghi, kionghi, (selamat,
selamat)...!” Kwee An hanya menyangka bahwa kakek itu memberi selamat atas
kemenangannya, maka alangkah terkejutnya ketika Sanoko datang menghampirinya,
memeluknya sambil berkata dengan suara yang penuh keharuan.
“Kwee An, puteriku telah memilih jodohnya dan
aku merasa girang sekali mendapat seorang mantu seperti engkau!”
“Apa...? Apa maksudmu...?” Ia bertanya sambil
memandang dengan mata terbelalak heran.
“Meilani telah memberikan goloknya dan kau
telah menerimanya dengan baik, masih bertanya apa lagi? Harap kau berlaku seperti
seorang laki-laki sejati dan jangan berpura-pura atau malu-malu. Upacara
pernikahan dilakukan besok pagi dan sementara itu, kau boleh mengadakan
persiapan dan dibantu oleh pamanku ini!” kata Sanoko sambil menunjuk kepada
kakek penghisap huncwe yang ternyata adalah pamannya sendiri. Kemudian ia masuk
ke dalam rumah dengan tindakan kaki gagah.
Kwee An berdiri bagaikan sebuah patung dan
ketika kakek itu menariknya menuju ke sebuah pondok tak berjauhan dari tempat
itu, Kwee An segera bertanya, “Lopek, apakah maksudnya ini semua?”
“Barangkali kau tidak tahu, anak muda. Sudah
menjadi kebiasaan kami bahwa apabila seorang gadis memberikan goloknya pada
seorang pemuda dan pemberian itu diterimanya, maka itu berarti bahwa mereka
telah mengikat diri menjadi jodoh masing-masing. Tadi Meilani telah memberikan
goloknya kepadamu dan kau telah menerimanya, maka berarti bahwa kau adalah
jodoh Meilani. Kau boleh merasa bangga dan bahagia oleh karena Meilani adalah
gadis tercantik di antara bangsa kami dan telah banyak pemuda yang
merindukannya. Selain berkepandaian tinggi dan menjadi puteri kepala kami, dia
juga berilmu tinggi dan berbudi baik. Tidak kaulihatkah betapa cantik jelitanya
dia?” Pucatlah wajah Kwee An mendengar ini. “Tapi… tapi… bukan maksudku untuk menerimanya
sebagai… sebagai… jodohku. Aku tidak tahu akan kebiasaan menerima golok itu. Ia
melemparkan goloknya kepadaku, sudah tentu saja kusambut dengan tangan. Lopek
tolonglah aku karena aku sungguh-sungguh tak dapat menerima perjodohan ini!”
Wajah kakek itu berubah tak senang. “Mengapa
begitu? Apakah dia kurang cantik? Anak muda, ingatlah bahwa di seluruh daerah
ini tak mungkin kau akan mendapatkan seorang gadis seperti Meilani. Dia telah
memilihmu tanpa mempedulikan wajahmu yang tidak patut karena tidak berkumis,
semata-mata karena ia kagum melihat kelihaian ilmu pedangmu. Sanoko juga telah
menyetujuinya, maka kau tidak boleh menolak. Penolakanmu ini akan berarti
penghinaan kepada kami seluruh suku bangsa Haimi dan tentu kau akan dikeroyok
dan dibunuh kalau kau berani menolak. Untung bahwa penolakanmu ini hanya
terdengar olehku yang masih dapat berpikir panjang, kalau terdengar oleh orang
lain terutama oleh Sanoko, tentu kau akan dibunuh!”
Bukan main terkejut hati Kwee An mendengar
ini. Ia segera berdiri dan sambil menyerahkan kembali golok Meilani kepada
kakek itu, ia lalu berkata, “Lopek, kau kembalikan golok ini dan sampaikan
salam serta hormatku kepada Sanoko, serta penyesalan dan maafku kepada Meilani,
karena kalau memang demikian halnya, sekarang juga aku mau pergi agar jangan
timbul hal-hal yang tidak diinginkan.”
Akan tetapi begitu menerima kembali golok baja
kuning itu kakek ini lalu melompat berdiri dengan sikap mengancam. ”Tidak bisa,
anak muda! Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini hanya akan membuat Meilani malu
sekali dan pasti ia akan membunuh diri, sesuai dengan adat kami. Dan karena
ini, sebagai paman kakek gadis itu, aku takkan membiarkan kau pergi! Kau baru
bisa meninggalkan tempat ini setelah melewati mayatku!”
“Jangan, Lopek, biarkan aku pergi!” kata Kwee
An dengan gugup akan tetapi, kakek itu lalu menyerangnya dengan golok di
tangan! Penyerangannya hebat sekali, jauh lebih lihai daripada gerakan golok
Meilani, hingga Kwee An terpaksa mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari
Hek Mo-ko. Dan sekali tubuhnya berkelebat dan tangannya diulurkan, golok itu
telah terampas olehnya!
“Kau benar-benar lihai, nah, kaubunuhlah dulu
aku sebelum pergi dari sini!”
Lemaslah tubuh Kwee An. Ia merasa bingung
sekali. Kalau sampai benar-benar gadis itu membunuh diri karena ia tinggal
pergi, ia merasa tidak tega sekali. Maka ia lalu memandang kakek itu dengan
mata mengandung permintaan tolong.
“Kakek, aku... tidak dapat melukaimu. Kalian
telah berlaku amat baik kepadaku, begitu ramah tamah, bagaimana aku sampai hati
mendatangkan malapetaka? Akan tetapi, perkawinan itu sungguh-sungguh tak
mungkin kulakukan. Ketahuilah bahwa aku telah mempunyai seorang tunangan. Aku
tidak bisa kawin dengan gadis lain.”
Mendengar ini, kakek itu berpikir keras.
“Kalau menurut kebiasaan kami, tiada halangan bagi seorang pemuda untuk
mempunyai dua orang isteri, sungguhpun hal itu jarang sekali terjadi. Aku
maklum akan penolakanmu, dan ternyata kau memang seorang yang baik budi.
Baiknya diatur begini saja, yang terpenting bagi seorang gadis kami ialah
upacara pernikahan. Apabila upacara itu telah dilangsungkan, kau tidak
berhalangan untuk meninggalkan isterimu walaupun tidak menjadi isteri dalam
arti sesungguhnya. Setelah upacara selesai, kau boleh pergi kalau itu benar-benar
kau kehendaki dan Meilani hanya akan merasa malu dan membunuh diri. Dengan
demikian, kau tidak menghina bangsa kami dan tidak menghina Meilani.”
“Akan tetapi, Lopek, tentu Meilani akan
memandang aku sebagai seorang laki-laki berhati rendah dan seakan-akan
menipunya kalau setelah melakukan upacara pernikahan aku lalu pergi
meninggalkannya!” Kwee An membantah.
“Jangan kuatir, sebelum upacara dilangsungkan
malam ini juga aku akan memberitahukan kepadanya bahwa kau menjalankan upacara
hanya untuk melindungi mukanya dari perasaan rendah dan malu, dan bahwa kau
tidak mungkin menjadi suaminya karena kau telah mempunyai calon istri lain.”
Kwee An memegang tangan kakek itu dengan
pernyataan terima kasihnya karena ia anggap itu adalah cara terbaik. Malam itu,
lima orang gadis yang berwajah manis-manis dan bergigi hitam mengkilap,
menyerbu masuk ke kamarnya di pondok kakek itu. Sambil tertawa-tawa dan bicara
tidak karuan karena tidak dimengerti oleh Kwee An, gadis-gadis itu menghampiri
Kwee An. Ada yang memegang tangannya dan menarik-nariknya, ada yang memegang
kepalanya, dan ada pula yang hendak menggunakan sesuatu untuk digosokkan di
bawah hidungnya. Kwee An terkejut sekali dan dengan hati berdebar ketakutan ia
lalu memberontak dan melepaskan diri dari serbuan kelima orang gadis itu!
“Eh, eh, kalian pergilah! Keluar dari kamar
ini! Apakah kalian gila dan hendak menggangguku?” katanya dengan keras dan mata
terbelalak. Akan tetapi oleh karena kelima orang gadis itu tidak mengerti
ucapannya, mereka hanya tertawa saja dan menghampirinya kembali! Kwee An lari
ke sana ke mari di dalam kamarnya, akan tetapi dikejar-kejar oleh para gadis
itu sambil tertawa-tawa! Karena merasa ngeri dan takut, Kwee An berteriak dan
tak lama kemudian, datanglah kakek penghisap huncwe itu ke dalam kamarnya untuk
melihat apakah yang terjadi di situ. Melihat betapa Kwee An telah melompat ke
atas pembaringan dan berdiri mepet di sudut sambil memandang lima orang gadis
yang mengurungnya dengan mata terbelalak bagaikan seekor tikus melihat lima
ekor kucing, tak tertahan lagi kakek itu tertawa bergelak! Girang sekali hati
Kwee An melihat kedatangan kakek itu dan ia lalu melompat turun dan lari ke
belakang tubuh kakek tadi.
“Lopek, tolonglah aku. Mereka ini apakah
tiba-tiba menjadi gila?”
“Ini termasuk upacara perayaan pernikahan yang
akan dilangsungkan besok. Mereka datang untuk menggodamu dan untuk menggosok
hidungmu dengan obat penumbuh kumis!”
“Apa?” Kwee An berseru sambil menutupi
hidungnya dengan tangan kanan, seakan merasa ngeri sekali bahwa hidungnya tadi
telah terkena obat itu dan tumbuh kumis! “Aku tidak mau... aku tidak mau,
Lopek. Usirlah mereka keluar!” Sedangkan di dalam hatinya, Kwee An berkata,
“Alangkah akan kagetnya Ma Hoa kalau ia kelak melihat aku berkumis panjang
menjungat ke atas!”
Kakek itu lalu mengucapkan perkataan kepada
para gadis itu yang lalu pergi sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi ketika mereka
memandang Kwee An, mereka merasa kecewa sekali! Kwee An menghela napas panjang
karena lega hatinya melihat gadis-gadis itu sudah pergi.
“Bagaimana Lopek, apakah kau memberi tahu dan
berterus terang kepada Meilani?”
Kakek itu mengangguk dengan muka sedih.
“Dan marahkah dia kepadaku?”
“Tidak, tidak marah. Hanya kecewa dan berduka.
Kau... kau memang kejam.”
“Eh, mengapa kau berkata demikian, Lopek?
Pernikahan ini terjadi karena salah sangka dan bukan terjadi atas kehendakku.
Bahkan upacara ini pun terpaksa kulakukan hanya untuk menolong dia.”
Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali
menghela napas. “Alangkah baiknya kalau kau benar-benar menjadi suami Meilani
dan menjadi anggota keluarga kami. Kepandaianmu lihai sekali dan kau dapat kami
harapkan untuk membantu kami mengusir para pengganggu kami, keparat-keparat
Mongol itu!”
Tergerak hati Kwee An melihat wajah kakek yang
telah keriputan itu nampak sedih sekali. “Lopek, untuk membantu kalian, tak
perlu aku harus menjadi keluarga saja. Kalau memang terdapat kesulitan dan aku
bisa membantu, pasti aku akan membantu sekuat tenaga. Katakanlah, apakah yang
telah terjadi dan apa pula yang diperbuat oleh orang-orang Mongol kepada
bangsamu?”
Setelah menghela napas berulang-ulang kakek
itu bercerita, “Bangsa kami, yaitu suku bangsa Haimi, adalah yang besar dan
memiliki kebudayaan tinggi. Akan tetapi, oleh karena kami merupakan bangsa
perantau dan tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka inilah yang merupakan
kelemahan kami. Selama beberapa tahun ini, kami selalu mendapat pukulan dan
gangguan dari bangsa Mongol yang memperluas daerah kekuasaan mereka. Banyak
anggota keluarga kami dibinasakan, wanita diculik, dan harta benda kami
dirampas! Hinaan-hinaan ini terpaksa kami terima dengan cucuran air mata dan
dengan helaan napas, karena kami tidak berdaya.
Makin banyak kami melakukan perlawanan, makin
banyak jatuh korban di pihak kami hingga makin lama makin kecillah jumlah
keluarga kami, oleh karena pihak Mongol memang jauh lebih kuat daripada kami.
Telah lama kami mengimpikan datangnya bintang penolong, dan setelah kini kau
datang, maka besarlah harapanku dan harapan Sanoko bahwa kaulah orangnya yang
dapat menolong kami membalas dendam kepada orang-orang Mongol serta mengusir
mereka kalau berani datang mengganggu lagi. Akan tetapi, memang nasib bangsaku
yang buruk... kau bahkan mengecewakan kami, menghancurkan hati puteri kami yang
bernasib malang...”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, dari kedua
mata kakek itu mengalirlah beberapa butir air mata! Kwee An merasa terharu
sekali dan ia segera memegang lengan kakek itu.
“Lopek, jangan kau kuatir. Aku bersumpah bahwa
aku akan mengusir dan menghajar orang-orang Mongol yang berani mengganggu
kalian. Tunjukkan di mana mereka berada, akan kudatangi dan kuhajar mereka!”
kata-kata ini diucapkan dengan penuh semangat hingga kakek itu dapat tersenyum
lagi.
“Hal itu mudah, nanti kalau upacara perkawinan
sudah dilanjutkan akan kutunjukkan padamu di mana keparat-keparat itu berada.”
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kakek
itu telah memberi sesetel pakaian Haimi yang indah kepada Kwee An, lengkap
dengan ikat kepala yang lebar. “Pakailah ini, hanya untuk memenuhi syarat
upacara adat.”
Agar jangan melukai perasaan kakek itu dan
semua orang, terpaksa Kwee An lalu mengenakan pakaian itu.
“Ah, kau memang gagah sekali. Kalau kau
membiarkan kumismu tumbuh, kau akan menjadi pemuda yang paling tampan di antara
kami dan kau akan menjadi suami yang cocok sekali bagi Meilani! Sayang...
sayang...” kata kakek itu sambil memandang dengan kagum.
Kemudian sambil menabuh kendang dan tambur,
serombongan anak gadis “mengambil” pengantin laki-laki dan diiringkan menuju ke
pondok pengantin perempuan. Ketika kedua mempelai dipertemukan, Kwee An melihat
betapa wajah “isterinya” itu basah dengan air mata dan diam-diam ia lalu
menghela napas panjang dan terkenanglah ia kepada Ma Hoa. Ah, alangkah baiknya
kalau yang menjadi mempelai wanita itu Ma Hoa.
Seorang pendeta Haimi membaca doa-doa dalam
bahasa Haimi, akan tetapi dari cara-cara ia membaca doa, tahulah Kwee An bahwa
upacara adat ini berdasarkan Agama Buddha yang telah berubah, disesuaikan
dengan kepercayaan nenek moyang mereka.
Kwee An harus mengakui kecantikan Meilani yang
benar-benar jelita itu, hanya kalau mengingat gigi yang dihitamkan itu, ia
merasa sayang sekali. Pada saat upacara dilakukan, tiba-tiba seorang pemuda
Haimi datang dengan tergesa-gesa dan melaporkan sesuatu kepada Sanoko.
Mendengar laporan ini, ributlah orang-orang yang berada di situ. Bahkan Meilani
lalu membuka penutup mukanya dan segera mengambil goloknya yang telah
dikembalikan oleh Kwee An.
“Apakah yang telah terjadi?” Kwee An bertanya
kepada Sanoko yang memberi aba-aba dan mengatur orang-orangnya yang telah
berkumpul dengan senjata di tangan.
“Seorang Perwira Mongol yang kosen dan yang
sering mengganggu kami telah datang dengan seorang kawannya. Dia telah menculik
dua orang gadis dan membunuh tiga orang pemuda kami!”
“Keparat!” Kwee An memaki sambil mencabut
Oei-kang-kiam “Hayo tunjukkan di mana ia berada!”
“Kami hendak mengeroyoknya, karena
kepandaiannya tinggi sekali!” kata Sanoko dengan ragu-ragu.
“Jangan kuatir, biar aku yang menghadapinya!”
Maka semua orang lalu mengiringkan pemuda itu, berlari keluar dari hutan.
Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat yang
dimaksudkan, ternyata bahwa dua orang gadis yang diculik itu telah tertolong
oleh orang lain! Dan pada saat itu, kedua orang jahat itu sedang bertempur
melawan seorang gadis yang gagah perkasa. Hampir saja Kwee An menjerit karena
girang, terkejut dan heran. Ternyata bahwa dua orang pengacau yang dimaksudkan
itu adalah Ke Ce sendiri dan Bo Lang Hwesio! Sedangkan gadis berambut
riap-riapan yang cantik jelita dan yang memainkan sepasang bambu runcing dengan
hebatnya melawan kedua orang kosen itu, bukan lain ialah Ma Hoa sendiri!!
“Hoa-moi...!” Kwee An berseru dan ia segera
menerjang maju pedangnya.
Ketika Ma Hoa memandang, ia terbelalak heran
melihat kekasihnya berada di tempat itu dan mengenakan pakaian yang aneh itu.
“Koko mari kita gempur bangsat-bangsat ini dan
membalas dendam!” katanya sambil mengerjakan kedua batang bambu runcingnya
dengan hebat dan luar biasa. Biarpun merasa heran sekali melihat betapa
kekasihnya itu dapat memainkan senjata aneh secara lihai itu, namun Kwee An
tidak sempat bertanya. Ia lalu memutar pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio
yang bersenjata sebatang pedang pula karena kewalahan menghadapi Ma Hoa dengan
tangan kosong saja.
Melihat munculnya Kwee An, Ke Ce menjadi jerih
karena ia maklum bahwa setelah kini gadis itu memiliki ilmu silat yang demikian
lihainya, maka ditambah dengan bantuan Kwee An yang juga lihai sekali, tak
mungkin pihaknya akan memperoleh kemenangan. Apalagi ia melihat bahwa
serombongan besar orang-orang Haimi dengan golok mereka di tangan juga ikut
datang pula. Orang Mongol yang licik ini lalu berseru keras dan segera melompat
pergi dengan maksud melarikan diri. Akan tetapi, Ma Hoa tentu saja tidak mau
melepaskannya. Sambil berseru nyaring, dara itu lalu melompat ke atas sebuah
batu besar dan ketika Ke Ce lari, ia segera menyambar turun dengan kedua bambu
runcing di tangan, bagaikan seekor burung rajawali menyambar korbannya. Ke Ce
menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba dari atas terdengar bentakan Ma Hoa
yang halus tapi nyaring,
“Bangsat keji hendak lari ke mana?”
Ke Ce menengok ke belakang dan mempercepat
larinya oleh karena tadi ia telah merasa betapa lihai sepasang bambu runcing di
tangan gadis ini hingga ia merasa percuma saja untuk melawan terus. Ia hendak
mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melarikan diri, akan tetapi Ma Hoa
mengejar sambil berlompatan hingga sebentar saja ia sudah melompati kepala Ke
Ce dan berdiri menghadang di depan pemuda Mongol itu!
“Kalau mau lari, hanya boleh lari ke neraka
untuk menerima hukuman!” kata lagi Ma Hoa sambil mengirim tusukan dengan bambu
runcingnya, yang kiri ke arah lawan, sedangkan yang kanan ke arah jalan darah
di dada! Ke Ce terkejut sekali melihat betapa ginkang gadis ini sudah
sedemikian sempurnanya dan terlebih kaget lagi ketika ia menghadapi serangan
berbahaya itu. Ia membuang diri ke kiri, bergulingan di atas tanah sampai
beberapa kaki jauhnya lalu melompat berdiri dan cepat menggerakkan kedua
tangannya hendak mengirim pukulan Angin Topan yang hebat! Akan tetapi Ma Hoa
sudah siap menghadapi ilmu pukulan yang pernah membuat ia dan Kwee An
terjungkal ke dalam jurang itu, maka sambil berseru keras ia melompat ke kiri
dan cepat sekali tangan kanannya bergerak. Bambu runcing di tangan kanannya
lalu meluncur melebihi anak panah terlepas dari busur cepatnya dan sebelum Ke
Ce dapat berkelit, kembali bambu runcing di tangan kirinya meluncur menyusul bambu
pertama! Cep, cep! Kedua bambu runcing itu menancap di tubuh Ke Ce, sebatang di
tengah dada dan sebatang lagi di lehernya. Tubuh orang Mongol itu roboh dan
nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuh pada saat itu juga!
Terdengar sorak sorai riuh rendah dari
orang-orang Haimi ketika melihat betapa musuh besar mereka itu binasa! Ma Hoa
segera menghampiri tubuh Ke Ce, mencabut keluar dua bambu runcingnya dan
membersihkan ujung bambu itu pada pakaian lawannya. Kemudian ia menghampiri
rombongan orang Haimi yang menyambutnya dengan berlutut. Ma Hoa mendekati
Meilani dan mengangkat bangun gadis yang cantik itu, akan tetapi ketika ia
bertanya, gadis itu menjawab dengan bahasa yang asing baginya. Gadis itu hanya
menunjuk ke arah Kwee An dan Ma Hoa menengok.
Ternyata bahwa Kwee An sedang bertempur hebat
melawan Bo Lang Hwesio. Kepandaian Bo Lang Hwesio benar-benar lihai, karena
biarpun Kwee An telah mengeluarkan Ilmu Pedang Hai-liong-kiamsut, namun hwesio
itu dapat menahan serangannya dengan baik dan bahkan membalas dengan serangan
yang tak kalah hebatnya! Kwee An lalu mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari
dari Hek Mo-ko, dan sambil mainkan ilmu silat ini dengan tangan kiri, barulah
ia dapat mengimbangi desakan Bo Lang Hwesio. Namun, dalam lweekang ia masih kalah
setingkat hingga tiap kali pedang mereka bertemu, Kwee An merasa betapa
tangannya gemetar! Untungnya ia memegang pedang Oei-kang-kiam yang ampuh, kalau
ia memegang pedang biasa tentu pedangnya akan dapat dipatahkan oleh pedang Bo
Lang Hwesio yang selain merupakan pedang mustika, juga digerakkan dengan tenaga
lweekang yang tinggi itu.
Melihat ini, Ma Hoa berseru, “An-ko, jangan
kuatir, aku membantumu!” Tubuh gadis ini berkelebat dan segera kedua batang
bambu runcingnya menyerang dengan hebat sekali. Bo Lang Hwesio harus
mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, karena baru menghadapi Kwee An
seorang saja biarpun ia tidak akan kalah akan tetapi sudah amat sukar
merobohkan anak muda itu, kini ditambah dengan permainan bambu runcing Ma Hoa
dalam gerakan Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa, ia menjadi sibuk sekali!
Dengan perlahan akan tetapi tentu, Ma Hoa dan
Kwee An mendesak hwesio itu hingga keringat dingin mulai mengucur keluar dari
jidat Bo Lang Hwesio. Kwee An merasa gembira sekali oleh karena ia mendapat
kenyataan betapa gerakan ilmu silat Ma Hoa amat lihai. Sedangkan Bo Lang Hwesio
amat gelisah menghadapi serangan sepasang orang muda yang lihai ini. Dia pun
amat heran menyaksikan ilmu silat gadis itu karena ia teringat bahwa yang
memiliki limu Silat Bambu Kuning ini hanyalah seorang pertapa sakti yang
bernama Hok Peng Taisu! Mengapa tiba-tiba gadis ini dapat memiliki ilmu
kepandaian ini?
Ketika Ma Hoa mendesak makin hebat, akhirnya
ujung bambu di tangan kirinya berhasil menusuk pundak Bo Lang Hwesio yang
berteriak kesakitan oleh karena biarpun ia memiliki lweekang yang membuat
kulitnya menjadi kebal, namun tetap saja ujung bambu yang tajam itu telah
melukainya. Sambil berseru hebat ia memutar pedangnya dan ketika kedua lawannya
mengelak, ia lalu melompat ke belakang dengan cepat dan kabur dari tempat itu.
Ma Hoa hendak mengejar, akan tetapi Kwee An mencegahnya dan berkata,
“Yang mencelakai kita dulu adalah Ke Ce.
Biarlah kita ampuni jiwa rendah hwesio itu!”
Ma Hoa dan Kwee An berdiri saling pandang dan
sekarang setelah musuh pergi, mereka saling pandang dengan perasaan terharu
sekali. Tak terasa lagi dari mata mereka mengalir air mata karena girang dan
terharu, seakan-akan melihat kekasihnya baru bangkit dari lubang kuburan!
Bagaikan ditarik oleh tenaga mujijat, keduanya saling rangkul sambil berbisik,
“Koko...”
“Moi-moi... serasa dalam mimpi dapat berjumpa
dengan kau lagi...”
“Koko...” kata Ma Hoa setelah melepaskan diri
dari rangkulan Kwee An dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah tapi
bibir tersenyum, “kau... kelihatan lucu sekali! Dari mana kauperoleh pakaian
seperti itu?”
“Untung saja kau tidak melihat aku berkumis
seperti mereka itu!” kata Kwee An sambil menahan ketawanya. Ma Hoa heran
mendengar ini dan ketika ia menengok, orang-orang Haimi telah lari menghampiri
mereka, dan Meilani lalu memegang tangan Kwee An dengan mesra, oleh karena ia
tidak tahu bahwa Ma Hoa adalah wanita yang menjadi tunangan pemuda ini. Hati
Meilani terlalu girang, karena Ke Ce terbunuh mati dan terlampau bangga karena
betapapun juga, pemuda yang gagah berani dan yang telah berhasil mengusir musuh
itu adalah “suaminya”.
“Engko An, siapakah gadis manis ini?”
“Dia adalah isterinya, lihiap!” kata Sanoko,
“dan aku adalah pemimpin suku bangsa Haimi, juga menjadi ayah mertua Kwee An!”
Bukan main terkejut hati Ma Hoa mendengar
keterangan Sanoko ini dan ia memandang kepada Kwee An dengan wajah pucat. Kwee
An memegang tangan Ma Hoa dan berkata, “Tenanglah, Moi-moi, hal ini memerlukan
penjelasan!” Kemudian ia berkata kepada Sanoko dengan suara tegas,
“Dengarlah Sanoko! Kau tentu sudah mendengar
keterangan dari Pamanmu dan ketahuilah bahwa Nona ini adalah tunanganku yang
kuceritakan itu!”
Karena di situ terdapat banyak orang orang
Haimi, biarpun mereka tidak mengerti percakapan mereka, namun Kwee An merasa
tidak enak karena kalau sampai terjadi salah paham, maka Ma Hoa tentu akan
marah sekali dan Meilani akan tersinggung, maka ia lalu memberi isyarat kepada
Sanoko dan kakek penghisap huncwe untuk ikut bicara di tempat yang agak jauh
dari mereka. Meilani hanya memandang dengan heran dan tidak mengerti, akan
tetapi ia tidak berani ikut bicara mencampuri pembicaraan mereka yang dilakukan
dalam bahasa Han yang tidak dimengertinya.
“Lopek, sekarang harap kau suka ceritakan hal
ini terus terang kepada tunanganku, agar tidak sampai terjadi salah paham,”
kata Kwee An kepada kakek itu setelah mereka berada jauh dari rombongan itu.
“Lihiap, kata-kata Kwee-taihiap ini memang
benar. Biarpun ia terpaksa menjalankan upacara pernikahan dengan Meilani, akan
tetapi itu hanya untuk menjaga kehormatan puteri kami itu saja, dan
Kwee-taihiap tadinya juga berkeras menolak, akan tetapi akhirnya menyetujui
untuk melakukan upacara pernikahan berdasarkan menolong gadis itu.” Maka dengan
panjang lebar kakek itu lalu menuturkan bagaimana telah terjadi kesalahpahaman
ketika Kwee An menerima golok dari Meilani, dan betapa kalau pemuda itu tidak
memenuhi kebiasaan adat mereka, maka gadis itu tentu akan membunuh diri karena
malu. Ma Hoa mendengarkan semua ini dengan terharu. Tadinya ia marah sekali,
akan tetapi setelah tahu akan duduknya perkara, ia merasa kasihan sekali kepada
Meilani.
“An-ko, kalau kau memang suka kepada gadis
itu, kawinlah dengan dia dan jangan kaupikirkan aku lagi!”
“Eh, eh, Moi-moi, mengapa kau berkata
demikian? Selain dengan kau aku tidak mau kawin dengan wanita lain! Setelah
mendengar keterangan tadi, apakah kau masih juga merasa cemburu kepadaku?”
“Bukan cemburu, akan tetapi aku merasa kasihan
sekali kepada Meilani!” Kemudian Ma Hoa lalu bertindak menghampiri Meilani dan
memeluknya. Biarpun Meilani tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan
tetapi oleh karena ia sudah mendengar dari Kwee An bahwa pemuda itu tidak bisa
menjadi suaminya karena telah bertunangan dengan seorang gadis Han, maka ia
dapat juga menduga. Ketika melihat hubungan antara Ma Hoa dengan Kwee An, ia
dapat menduga pula bahwa gadis inilah tentu yang menjadi tunangan Kwee An dan
ia tidak hanya kagum akan kelihaian Ma Hoa, akan tetapi juga kagum melihat
kecantikannya, hingga ia merasa bahwa memang gadis itu lebih cocok menjadi
calon isteri Kwee An. Ketika Ma Hoa memeluknya, ia hanya dapat mengalirkan air
mata saja.
Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia
pun tidak merasa kecewa oleh karena ternyata bahwa “gadis saingan” puterinya
adalah seorang pendekar wanita yang bahkan lebih membunuh bangsanya! Maka
ketika kedua orang muda itu berpamit, ia hanya menghaturkan selamat jalan dan
terima kasih. Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari
masuk ke dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur.
Sedangkan semua orang Haimi ketika melihat Kwee An meninggalkan “isterinya”
yang baru saja menikah dengannya, merasa tidak puas, akan tetapi mereka tidak berani
banyak bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.
Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan
orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang merasa kagum
sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali
melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali
dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan ketika mendengar dari Ma Hoa bahwa
gadis itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok
Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali. Sebaliknya, ketika Kwee
An menceritakan betapa ia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam
gua dalam keadaan menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa
iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh
karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan
Meilani itu.
"Koko," katanya di tengah
perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku
membikin hitam gigiku.”
Kwee An tersenyum pahit. "Sudahlah,
Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sesungguhnya aku merasa ngeri tiap kali
teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"
Ma Hoa tertawa. "Kalau kubayangkan
sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya melingkar ke atas,
sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"
"Betapapun juga, mereka adalah
orang-orang baik. Bangsa Haimi itu dan nasib mereka buruk sekali. Moi-moi,
biarlah kita jangan bicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah,
ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?"
“Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh
orang-orang Turki yang datang dari barat daya. Sebelum bertemu dengan kau, aku
banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat
kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di
Kansu pemandangannya amat indah dan disana terdapat gua-gua kuno yang terkenal.
Kalau hendak mendengar tentang Lin-lin dan Paman Yo, baiknya kita merantau ke
barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat pemandangan di
kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”
Bagi Kwee An, jangankan harus pergi merantau
dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biarpun
harus ke neraka sekalipun, kalau bersama Ma Hoa, ia akan pergi dengan senang
hati.
“Dugaanmu ini memang berdasar juga.
Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat pula,”
katanya.
Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai
melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia. Dalam
menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia. Siapa yang pernah
melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta, dan
mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu, yang terasa
hanyalah kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan
bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap
suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu! Pendeknya, Ma Hoa dan Kwee An
melakukan perjalanan dengan hati penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Apalagi
mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang belum pernah mereka kunjungi
hingga pemandangan yang ganjil di daerah itu menambah kegembiraan mereka.
Suatu hari di tapal batas daerah Sui-yuan, ketika
mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah yang berbukit, tiba-tiba
mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan oleh orang yang
sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari menuju ke arah
suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah tikungan, mereka melihat dua orang
sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.
Ketika mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba
Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini merasa betapa jari-jari
tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera memandang wajah kekasihnya yang tiba-tiba
berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat. Sepasang mata
gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur dengan terbelalak
penuh keheranan dan nampaknya terkejut sekali bagaikan melihat setan di tengah
hari! Kwee An segera memandang dan memperhatikan dua orang yang bertempur itu
tiba-tiba ia pun memandang dengan mulut celangap.
Ma Hoa menggosok-gosok kedua matanya dan
bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan, "Koko... apakah kau juga melihat
apa yang kulihat?"
Kwee An hanya berkata perlahan, "Heran….
heran….. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar dia ?"
Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia
pun tidak merasa kecewa oleh karena ternyata bahwa “gadis saingan” puterinya adalah
seorang pendekar wanita yang bahkan lebih membunuh bangsanya! Maka ketika kedua
orang muda itu berpamit, ia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih.
Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke
dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur. Sedangkan semua
orang Haimi ketika melihat Kwee An meninggalkan “isterinya” yang baru saja
menikah dengannya, merasa tidak puas, akan tetapi mereka tidak berani banyak
bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.
Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan
orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang merasa kagum
sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali
melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali
dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan ketika mendengar dari Ma Hoa bahwa
gadis itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok
Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali. Sebaliknya, ketika Kwee
An menceritakan betapa ia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam
gua dalam keadaan menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa
iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh
karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan
Meilani itu.
"Koko," katanya di tengah
perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku
membikin hitam gigiku.”
Kwee An tersenyum pahit. "Sudahlah,
Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sesungguhnya aku merasa ngeri tiap kali
teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"
Ma Hoa tertawa. "Kalau kubayangkan
sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya melingkar ke atas,
sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"
"Betapapun juga, mereka adalah
orang-orang baik. Bangsa Haimi itu dan nasib mereka buruk sekali. Moi-moi,
biarlah kita jangan bicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah,
ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?"
“Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh
orang-orang Turki yang datang dari barat daya. Sebelum bertemu dengan kau, aku
banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat
kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di
Kansu pemandangannya amat indah dan disana terdapat gua-gua kuno yang terkenal.
Kalau hendak mendengar tentang Lin-lin dan Paman Yo, baiknya kita merantau ke
barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat pemandangan di
kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”
Bagi Kwee An, jangankan harus pergi merantau
dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biarpun
harus ke neraka sekalipun, kalau bersama Ma Hoa, ia akan pergi dengan senang
hati.
“Dugaanmu ini memang berdasar juga.
Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat pula,”
katanya.
Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai
melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia. Dalam
menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia. Siapa yang pernah
melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta, dan
mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu, yang terasa
hanyalah kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan
bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap
suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu! Pendeknya, Ma Hoa dan Kwee An
melakukan perjalanan dengan hati penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Apalagi
mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang belum pernah mereka kunjungi
hingga pemandangan yang ganjil di daerah itu menambah kegembiraan mereka.
Suatu hari di tapal batas daerah Sui-yuan,
ketika mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah yang berbukit,
tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan oleh orang
yang sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari menuju ke
arah suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah tikungan, mereka melihat dua orang
sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.
Ketika mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba
Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini merasa betapa jari-jari
tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera memandang wajah kekasihnya yang tiba-tiba
berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat. Sepasang mata
gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur dengan terbelalak
penuh keheranan dan nampaknya terkejut sekali bagaikan melihat setan di tengah
hari! Kwee An segera memandang dan memperhatikan dua orang yang bertempur itu
tiba-tiba ia pun memandang dengan mulut celangap.
Ma Hoa menggosok-gosok kedua matanya dan
bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan, "Koko... apakah kau juga melihat
apa yang kulihat?"
Kwee An hanya berkata perlahan, "Heran….
heran….. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar dia ?"
"Siapa lagi ? Biarpun lupa akan wajah dan
bentuk badannya, aku takkan melupakan gerakan dan ilmu silatnya. Dia
benar-benar Enci Im Giok!"
"Mari kita membantunya!?" kata Kwee
An, akan tetapi Ma Hoa menjawab,
"Jangan dulu! Enci Im Giok paling tidak
suka dibantu apabila keadaannya tidak terdesak. Lihat, dia sedang mendesak
lawannya, dan dua orang pendeta yang menonton itu. Mereka entah kawan atau
lawan. Baiknya kita menonton sambil bersembunyi, melihat gelagat."
Keduanya lalu mengintai dari balik pohon.
Ternyata bahwa yang bertempur itu adalah seorang nenek tua yang mengerikan.
Tubuhnya bongkok karena punggungnya tinggi dan di situ terdapat daging yang
menonjol, merupakan punggung onta, rambutnya digelung dan diikat dengan
saputangan bersulam yang kecil. Telinganya memakai anting-anting yang besar
melingkar. Nenek itu sedang bertempur dengan tangan kosong menghadapi seorang
dara jelita berpakaian merah yang memegang pedang. Nona ini cantik sekali dan
sekali pandang saja orang yang telah pernah melihatnya tak akan ragu-ragu lagi
bahwa dia ini bukan lain ialah Ang I Niocu! Kalau gerakan Ang I Niocu indah
menarik dan gesit sekali hingga nampaknya seperti tengah menari dengan pedangnya,
gerakan nenek itu tidak kalah hebatnya. Tubuh nenek itu berlompatan ke atas
sambil menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman tangan yang jari-jarinya
ditekuk bagaikan cakar burung garuda! Di dekat tempat pertempuran itu, dua
orang kakek berdiri menonton dengan tertarik. Seorang di antara mereka bertubuh
tinggi besar, berjubah hitam panjang dan kepalanya ditutup dengan sebuah
sorban. Kakek ke dua adalah seorang tosu yang mukanya penuh cambang bauk.
Pada saat itu, Ang I Niocu sedang mendesak
hebat dengan ilmu pedangnya. Kalau gerakan nenek itu boleh diumpamakan sebagai
seekor garuda yang ganas menyambar-nyambar korbannya, Ang I Niocu merupakan
seekor burung merah yang indah dan luar biasa gesitnya. Nenek itu ternyata
selain memiliki ginkang yang tinggi dan sempurna, juga memiliki tenaga dalam
yang hebat karena selain serangan mencengkeram yang mirip dengan Ilmu Silat
Eng-jiauw-kang dari ahli silat Tiongkok Selatan, juga kadang-kadang ia mengirim
pukulan-pukulan yang anginnya saja membuat rambut Ang I Niocu berkibar dan
awut-awutan! Akan tetapi, pedang Ang I Niocu amat lihainya, sinar pedangnya
dapat mendesak terus hingga nenek itu terpaksa berkelahi sambil mundur. Ketika
nenek itu mundur dan melompat ke atas sebuah batu karang, Ang I Niocu membabat
dengan pedangnya ke arah kaki lawannya dengan gerakan Bidadari Menyebar Bunga
hingga hampir saja kaki nenek itu terbabat. Akan tetapi, dengan cepat sekali
nenek itu melompat ke atas sambil mengeluarkan teriakan keras, dan ketika
tubuhnya masih berada di atas, tiba-tiba kedua tangannya digerakkan dan
berhamburanlah hancuran batu menyerang ke arah Ang I Niocu! Ternyata bahwa
ketika nenek itu meloncat ke atas batu karang, kedua tangannya mencengkeram
batu karang hingga hancur di dalam kedua tangannya dan kini ia menggunakan
hancuran batu karang itu untuk menyerang Ang I Niocu! Hancuran batu karang yang
menjadi kerikil kecil-kecil ini tidak boleh dipandang ringan, oleh karena
tenaga lemparannya yang disertai tenaga khikang ini membuat batu-batu kecil itu
dapat menembus kulit dan daging, dan setiap potongan kecil merupakan sebuah
senjata rahasia yang lihai!
Akan tetapi Ang I Niocu yang berkepandaian
tinggi tidak gentar menghadapi serangan hebat ini. Dengan tenang ia lalu
memutar pedangnya hingga tubuhnya seakan-akan terlindung oleh dinding baja dan
semua potongan batu kecil itu dapat terpukul jatuh. Kembali mereka bertempur
seru, masing-masing mengeluarkan ilmu kepandaian yang paling tinggi. Biarpun
Ang I Niocu selalu mendesak, namun agaknya tidak mudah menjatuhkan nenek yang
lihai itu.
Sebelum kita maju lebih lanjut dengan cerita
ini, sebaliknya kita mengikuti dulu pengalaman Ang I Niocu semenjak ia berada
di Pulau Kim-san-to, oleh karena pembaca tentu merasa heran bagaimana Ang I
Niocu bisa muncul di sini sedangkan dulu ia berada di Pulau Kim-san-to ketika
pulau itu terbakar dan meledak? Baiklah kita mundur sejenak agar selanjutnya
cerita ini dapat diikuti dengan lancar.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan,
Ang I Niocu mendahului Cin Hai untuk pergi ke Pulau Kim-san-to mencari Lin Lin.
Dengan nekat Gadis Baju Merah itu naik ke atas puncak untuk mencari Lin Lin,
akan tetapi bukan Lin Lin yang ia jumpai, bahkan ia melihat pemandangan yang
amat mengerikan, yaitu seluruh danau di bukit itu terbakar merupakan neraka
yang dahsyat. Ia melihat bayangan Vayami bagaikan sedang meiambai-lambai
memanggilnya dari tengah lautan api itu, maka dengan hati ngeri sekali Ang I
Niocu mencari-cari Lin Lin, berlari ke sana ke mari dan suaranya sampai serak
karena terus-menerus ia memanggil,
“Lin Lin…. Lin Lin….! Di mana kau…?”
Ketika ia sedang berlari menubruk sana
menubruk sini memanggil-manggil Lin Lin seperti orang gila, tiba-tiba sebuah
letusan hebat terdengar dan daya tenaga raksasa yang keluar dari ledakan itu
membuat tubuh Ang I Niocu terlempar ke atas udara. Biarpun semangat Ang I Niocu
seakan-akan terbang keluar dari tubuhnya karena kehebatan ledakan itu, namun ia
masih sempat berteriak lagi memanggil, "Lin Lin…. Lin Lin…. Hai-ji….
" Kemudian pingsan selagi tubuhhya masih melayang di udara! Memang mati
atau hidup seseorang berada sepenuhnya dalam kekuasaan dan tangan Yang Maha
kuasa. Kalau Tuhan menghendaki, seorang yang telah berada di mulut harimau
masih akan dapat tertolong dan hidup, sedangkan seorang segar bugar dapat
tiba-tiba mati. Hal ini harus diakui oleh semua orang karena banyak terjadi
bukti-bukti akan kekuasaan yang besar ini. Tidak ada hal yang tidak mungkin
terjadi dalam tangan Tuhan!
Demikianpun dengan nasib Ang I Niocu. Agaknya
Tuhan belum menghendaki dia terbebas dari hidup di dunia, maka tubuhnya
terlempar ke udara tanpa terluka. Hal ini memang tidak begitu aneh oleh karena
dapat diketahui sebab-sebabnya. Kalau sekiranya Ang I Niocu tidak berada
terlalu dekat dengan bukit yang meledak itu, seperti halnya para tentara Turki
dan tentara kerajaan yang terbasmi habis seluruhnya, tentu Dara Baju Merah
itupun akan tewas juga, termakan oleh api dan minyak panas. Akan tetapi ketika
ledakan terjadi, tubuh Ang I Niocu berada dekat sekali hingga sebelum api dapat
membakar tubuhnya, hawa ledakan yang luar biasa kerasnya itu telah membuat
tubuhnya terlempar ke udara! Karena hebatnya tekanan ledakan itu, pakaiannya
yang merah sampai terobek ke sana ke mari dan potongannya terlempar lalu
melayang-layang terbawa angin yang didatangkan oleh ledakan hingga sepotong
dari pakaian ini kemudian ditemukan oleh Cin Hai di atas laut.
Biarpun pada saat ia terlempar ke udara, Ang I
Niocu terhindar dari bahaya api yang mengamuk, akan tetapi ia masih belum
terlepas dari bahaya maut sama sekali, oleh karena ia telah menjadi pingsan dan
kalau ia jatuh kembali, maka tubuhnya tentu akan hancur dan dimakan api! Namun,
memang Tuhan belum menghendaki kematiannya maka kembali Yang Maha Kuasa
memperlihatkan kekuasaanNya lagi.
Di antara semua mahluk hidup yang berada di
atas Pulau Kim-san-to ketika ledakan terjadi, selain Ang I Niocu yang selamat,
masih ada lagi yang lain, yaitu Sin-kim-tiauw atau rajawali sakti berbulu emas.
Kebetulan sekali pada waktu ledakan terjadi, burung rajawali ini sedang terbang
tinggi di atas pulau karena ia merasa terkejut melihat sekian banyak orang
sedang berperang di atas pulaunya yang biasanya sunyi dan tenteram itu. Ia
terbang berputar-putar di atas sambil berteriak-teriak marah, karena
perasaannya memberitahukannya bahwa orang-orang yang demikian banyaknya itu
bukanlah orang baik-baik. Ia hendak mengamuk dan menyerang, akan tetapi tidak
berani dan merasa takut menghadapi sekian banyaknya orang, maka kini ia hanya
terbang tinggi sambil memekik-mekik marah.
Ketika terjadi ledakan, Sin-kim- tiauw
terkejut sekali dan sambil menyambar-nyambar ke bawah dengan marah, ia menjadi
bingung dan takut melihat api berkobar hebat membakar pulaunya. Kemudian,
tiba-tiba ia melihat tubuh seorang yang berpakaian merah melayang ke udara
dengan kecepatan luar biasa. Tadinya burung itu merasa terkejut dan takut, oleh
karena belum pernah ia melihat orang yang dapat terbang! Tentu ilmu
kepandaiannya lihai sekali, pikirnya. Maka ia hanya terbang mengelilingi dan
tidak berani menyerang, sungguhpun ia merasa marah sekali. Akan tetapi, ketika
Ang I Niocu menjadi pingsan dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan tubuhnya
menjadi lemas terkulai dan tubuh itu mulai melayang lagi jatuh ke bawah,
Sin-kim-tiauw lalu menyambar dan mencengkeramnya. Perlu diketahui bahwa
Sin-kim-tiauw bukanlah burung liar sembarangan saja, akan tetapi adalah burung
peliharaan yang telah dilatih oleh Bu Pun Su dan adik seperguruannya Han Le,
hingga burung ini telah dapat membawa apa saja dalam cengkeramannya tanpa melukai.
Maka ketika ia mencengkeram tubuh Ang I Niocu yang pingsan, ia tidak melukai
tubuh itu, hanya membawanya terbang menuju ke timur dengan cepat sambil
berteriak-teriak girang seperti biasa kalau ia menang berkelahi!
Burung rajawali yang besar itu membawa tubuh
Ang I Niocu terus ke timur lalu membelok ka arah tenggara, dan selama itu Ang I
Niocu masih saja pingsan tak sadarkan diri karena ledakan hebat itu benar-benar
telah mengguncang jantungnya sedangkan perasaan kuatir dan takut membuat
semangatnva seakan-akan terbang meninggalkan tubuhnya.
Burung rajawali itu terbang terus dan setelah
berputar-putar tinggi di atas pulau yang banyak terdapat di permukaan Laut
Tiongkok, lalu menyambar turun ke atas sebuah pulau kecil yang penuh dengan
pohon-pohon hijau. Ketika ia telah terbang rendah di alas pulau itu, tiba-tiba
terdengar suara orang bersuit keras dan Sin-kim-tiauw segera terbang ke arah
suara suitan itu.
"Eh, Kim-tiauw, siapakah yang kau bawa
itu?" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan seorang laki-laki keluar dari
sebuah gua memandang kepada Kim-tiauw yang terbang rendah itu. "Lepaskan
dia!" teriaknya dan Sin-kim-tiauw dengan taat lalu melepaskan tubuh Ang I
Niocu dari cengkeraman kakinya. Tubuh Dara Baju Merah itu melayang ke bawah dan
dengan gerakan cepat, laki-laki itu lalu menyambut tubuhnya. Merahlah muka
laki-laki itu melihat betapa Ang I Niocu hampir tak berpakaian lagi karena
pakaiannya yang merah telah robek di sana-sini oleh hawa ledakan tadi!
Cepat-cepat laki-laki itu menanggalkan mantelnya menyelimuti tubuh yang segera
dibawanya masuk ke dalam gua dan diletakkannya di atas tanah yang bertilamkan
rumput-rumput kering. Dengan hati-hati laki-laki itu lalu memeriksa nadi
pergelangan tangan Ang I Niocu lalu ia menarik napas lega. Dari sudut gua ia
mengambil bungkusan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah kulit buah labu yang
telah dikeringkan dan yang digunakan sebagai tempat air. Ternyata bahwa isinya
bukanlah air biasa, akan tetapi sari buah-buahan yang mengandung khasiat
menguatkan tubuh dan mendatangkan ketenangan pada hati. Dengari hati- hati, ia
lalu membuka bibir dan mulut Ang I Niocu dengan tangan kanan dan menuangkan
sedikit isi tempat air itu ke dalam mulut gadis itu. Kemudian, setelah
menyimpan tempat air ke dalam bungkusannya kembali, ia lalu berdiri memandang
wajah dara itu dengan penuh perhatian lalu menarik napas panjang dan keluar
dari gua.
Burung rajawali melihat kedatangannya, lalu
berjalan menghampiri sambil mengeluarkan keluhan panjang.
"Sin-kim-tiauw, dari manakah kau datang
dan siapakah gadis itu? Aku mendengar suara ledakan keras dari arah Pulau
Kim-san-to dan melihat api berkobar-kobar. Heran sekali, apakah yang telah
terjadi?"
Kim-tiauw itu mengeluarkan keluhan keras dan
aneh, lalu mengembangkan sayapnya dan memukul-mukul tanah, seakan-akan hendak
menceritakan peristiwa hebat yang menimpa pulaunya, akan tetapi tentu saja
laki-laki itu tidak mengerti sama sekali, hanya dia dapat menyangka bahwa tentu
telah terjadi hal yang aneh sekali, karena tidak biasa Sin-kim-tiauw berlaku
seaneh ini.
Siapakah laki-laki yang tinggal seorang diri
di sebuah pulau kecil yang asing dan tiada berkawan ini? Ia adalah seorang
laki-laki yang berwajah cukup tampan, berkening lebar dan sinar matanya tajam
berkilat. Tubuhnya tegap dan sedang, dan usianya paling banyak tiga puluh lima
tahun. Pakaiannya terbuat dari pada bahan kasar berwarna biru dan sebilah
pedang tergantung di pinggangnya. Orang ini sebetulnya adalah seorang pendekar
silat yang mengasingkan diri, seorang berilmu tinggi yang patah hati oleh
karena kecewa melihat keadaan dunia yang penuh kepalsuan. Dulu ia tinggal di
atas Pulau Kim-san-to, ikut belajar silat kepada suhunya yang bukan lain ialah
Han Le atau sute dari Bu Pun Su! Mereka tinggal bertiga dengan seorang sutenya,
karena Han Le mempunyai dua orang murid, yaitu laki-laki ini yang bernama Lie
Kong Sian, dan seorang pemuda bernama Song Kun. Baik Lie Kong Sian maupun Song
Kun, keduanya adalah anak-anak yatim piatu yang menjadi korban keganasan
tentara Mongol. Ayah bunda mereka telah tewas ketika tentara Mongol menyerbu
dusun-dusun dan mereka berdua mendapat pertolongan dari Han Le yang lalu
membawa mereka ke atas Pulau Kim-san-to dan mengangkat mereka menjadi murid.
Biarpun Lie Kong Sian mempunyai bakat baik
sekali hingga ia dapat mewarisi kepandaian suhunya, namun ia masih kalah
apabila dibandingkan dengan Song Kun yang memiliki bakat. Luar biasa sekali.
Bahkan Han Le sendiri pernah berkata kepada Lie Kong Sian yang dipercaya penuh
dan disayangi seperti anak sendiri, "Muridku, kau lihat saja, Song Kun
kelak akan memiliki ilmu kepandaian yang jarang mendapat tandingan oleh karena
anak itu memiliki tulang dan bakat yang luar biasa. Dalam hal ilmu silat, bakat
mempunyai pengaruh hebat sekali oleh karena biarpun ilmu silat yang
dipelajarinya sama dengan yang kaupelajari, akan tetapi bakatnya dapat membuat
ilmu silatnya menjadi lebih lihai dan hebat, karena mendapat tambahan sendiri
oleh bakatnya yang baik. Akan tetapi ia masih amat muda, muridku, dan apabila
aku telah tidak ada lagi di dunia ini, kaulah yang harus menjadi wakilku untuk
menuntunnya ke arah jalan benar."
Bertahun-tahun kedua orang murid ini
digembleng oleh Han Le di atas Pulau Kim-san-to, kemudian Han Le mengajak,
kedua orang muridnya itu berkelana untuk mencari pengalaman di dunia ramai. Dan
hal inilah yang kemudian membuat Song Kun berubah. Kelihatanlah watak aselinya
ketika pemuda ini melihat benda-benda berharga dan hal- hal yang terjadi di
dunia ramai. Ia mulai menjadi sesat dan pengaruh-pengaruh buruk menguasai
hatinya. Sebuah di antara wataknya yang buruk ialah kesukaannya akan wanita
cantik.
Baik Han Le maupun Lie Kong Sian mengetahui
hal ini, maka setelah berkelana selama dua tahun, Han Le lalu mengajak Song Kun
kembali ke Pulau Kim-san-to dan menyuruh Lie Kong Sian mengembara seorang diri
untuk meluaskan pengalaman dan menjalankan pekerjaan sebagai seorang pendekar
yang harus menolong sesama hidup yang menderita kesukaran.
Diam-diam Song Kun merasa mendongkol sekali
kepada suhunya, akan tetapi ia tidak berani menyatakan dengan terus terang,
bahkan ia lalu dengan cerdiknya merubah sikap menjadi penurut dan berbakti
sekali. Ia melayani suhunya dengan amat baiknya, bahkan ketika Bu Pun Su datang
berkunjung ke pulau itu, ia dapat pula menipu kakek jembel ini hingga Bu Pun Su
juga salah sangka dan memuji murid adik seperguruannya ini, lalu menurunkan
semacam kepandaian ilmu silat kepada Song Kun. Di atas pulau itu, selain Song
Kun dan gurunya, telah ada tiga ekor binatang sakti yang dulu dipelihara oleh
Bu Pun Su, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas dan Harimau Bertanduk. Ketika dulu
Bu Pun Su bertapa di pulau itu, ia memelihara ketiga ekor binatang ini dan
kemudian meninggalkannya kepada Han Le yang tetap berdiam di pulau itu.
Selama Lie Kong sian pergi merantau, Song Kun
dapat menipu suhunya dan membujuk hingga Han Le lalu memberi pelajaran ilmu
silat yang lebih tinggi lagi. Dan pada suatu hari, tanpa memberi tahu kepada
suhunya, Song Kun minggat dari pulau itu! Han Le terkejut sekali dan mulailah
ia merasa sedih dan jatuh sakit berat di atas pulau itu.
Kebetulan sekali Lie Kong Sian datang ke Pulau
Kim-san-to untuk mengunjungi suhunya dan sutenya. Alangkah terkejutnya ketika
ia melihat suhunya dalam keadaan sakit berat. Cepat-cepat ia menolong dan
merawatnya, akan tetapi terlambat. Agaknya memang sudah menjadi takdir Han Le
untuk meninggalkan dunia ini di pulau itu! Sebelum ia menutup mata, ia
meninggalkan pesan kepada Lie Kong Sian.
“Muridku, kalau aku telah mati, kuburkanlah
mayatku dalam gua ini, dan juga pedangku ini harus ikut di tanam pula, kemudian
kau pergilah mencari sutemu Song Kun. Selidikilah keadaannya karena aku kuatir
sekali kalau-kalau ia mencemarkan namaku dengan perbuatan rendah. Akan tetapi,
kau berhati-hatilah menghadapinya, Kong Sian, karena ilmu silatnya hampir
sempurna. Kalau kau perlu bantuan, kau carilah supekmu Bu Pun Su untuk membantu
menangkapnya. Selain supekmu Bu Pun Su, kukira tidak ada orang lain yang akan
dapat melawannya!”
Tak lama kemudian, setelah Lie Kong Sian
memenuhi pesanan suhunya yang telah meninggal, yaitu mengubur jenezah suhunya
berikut pedangnya di dalam gua yang penuh pasir itu, lalu ia meninggalkan Pulau
Kim-san-to. Ketiga ekor binatang sakti masih berdiam di pulau itu dengan sedih
dan kesunyian.
Lie Kong Sian berhasil bertemu dengan sutenya,
akan tetapi, biarpun ia melihat bahwa sutenya ini menyimpang dari perjalanan
hidup yang benar, ia tidak tega untuk minta pertolongan Bu Pun Su. Semenjak
kecil ia hidup di atas pulau, belajar silat bersama sutenya ini hingga ia
pandang Song Kun seperti adik sendiri yang amat ia kasihi, maka ketika ia
melihat akan kesesatan Song Kun, ia hanya memberi nasihat. Akan tetapi, benar
sebagaimana dugaan suhunya, adiknya itu tidak mau menurut bahkan menantangnya
hingga mereka lalu berkelahi! Tingkat kepandaian mereka memang sama, akan
tetapi Song Kun memiliki kecepatan yang lebih hebat hingga akhirnya Lie Kong
Sian dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri.
Hal ini amat mendukakan hati Lie Kong Sian.
Untuk minta bantuan Bu Pun Su, ia tidak tega melihat adiknya terhukum, kalau
didiamkan saja bagaimana. Maka dalam kebimbangan dan keraguannya, ia lalu
kembali ke Pulau Kim-san- to dan menangis di depan kuburan suhunya, mengakui
akan kelemahannya. Kemudian ia lalu mengasingkan diri, bertapa di sebuah pulau
kosong tak jauh dari Kim-san-to, sebuah pulau kecil yang disebut Pulau
Pek-le-to. Seringkali Merak Sakti terbang ke pulau itu untuk mengunjunginya,
dan juga beberapa kali Lie Kong Sian mendayung perahu kecil mengunjungi pulau
di mana suhunya dimakamkan itu.
Demikianlah selama beberapa tahun bertapa di
Pulau Pek-le-to, Kong Sian menuntut penghidupan tenteram, sampai pada hari itu
ia dikejutkan oleh ledakan yang datang dari arah Pulau Kim-san- to. Kemudian
datang Sin-kim-tiauw yang membawa tubuh Ang I Niocu yang pingsan, maka tentu
saja ia menjadi heran, akan tetapi kepada siapa ia harus bertanya? Setelah
menepuk-nepuk punggung rajawali itu, Kong Sian kembali ke dalam gua.
Seperti tadi, ia berdiri memandang Ang I Niocu
dan kembali ia merasa jantungnya berdebar aneh. Ia menjadi terkejut sekali oleh
karena belum pernah selama hidupnya ia mendapat perasaan seperti ini,
sungguhpun telah banyak ia jumpai wanita-wanita cantik selama ia merantau. Ia
maklum pengaruh apa yang mencengkeram hatinya, maka dengan wajah pucat ia
segera membuang muka dan tidak mau memandang lagi. Akan tetapi oleh karena
hatinya masih saja berdebar, ia lalu pergi ke sudut gua di mana terdapat sebuah
batu besar yang ia tilami jerami kering di atasnya, lalu duduk dan bersamadhi
untuk menenteramkan hatinya yang terguncang!
Tak lama kemudian, Kong Sian berhasil menekan
perasaan hatinya yang bergelora itu, maka ia lalu turun dari atas batu dan
menghampiri Ang I Niocu kembali. Dilihatnya betapa wajah dara itu merah sekali dan
pernapasannya sesak. Ia mengulurkan tangan meraba jidat gadis itu dan mendapat
kenyataan bahwa gadis itu terserang demam hebat. Maka cepat ia keluar dari gua
dan mencari daun obat yang banyak tumbuh di atas pulau Pek-le-to, lalu memeras
daun itu dan meminumkan airnya pada Ang I Niocu, kemudian dengan saputangan
yang dibasahi air ia lalu mengompres kepala Ang I Niocu.
Kekagetan dan ketakutan yang menyerang Ang I
Niocu, ditambah lagi dengan pukulan hawa ledakan yang dahsyat itu, membuat
gadis itu pingsan dan menderita sakit demam hebat selama tiga hari. Dan selama
itu, dengan setia dan hati penuh iba Kong Sian menjaga di sampingnya,
merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Akan tetapi selama tiga hari
itu, beberapa belas kali terpaksa Lie Kong Sian yang biasa berhati teguh dan
beriman baja itu harus pergi duduk untuk bersamadhi dan mengatur pernapasannya
menekan perasaan yang menggelora di dalam dadanya!
Pada hari ke empatnya, tubuh Ang I Niocu sudah
mulai bergerak-gerak dengan gelisah, akan tetapi tubuhnya ternyata lemah
sekali. Karena pergerakan yang gelisah itu, beberapa kali mantel yang menutupi
tubuhnya terbuka dan dengan cepat dan sopan, Kong Sian lalu menutupkannya
kembali. Kemudian ia lalu mengurut jalan darah gadis itu hingga Ang I Niocu
merasa mendingan dan tidak begitu gelisah lagi, akan tetapi gadis itu masih
belum membuka matanya. Sambil bergerak perlahan dengan mata tertutup ia
berbisik.
“Lin Lin…. Hai-ji….” Kemudian sambil
mengeluarkan ujung lidah yang disapu-sapukan pada bibirnya ia berbisik lagi,
“Air…. air….”
Ketika Kong Sian meraba jidatnya, maka
ternyata panasnya telah naik lagi. Kong Sian merasa kuatir sekali dan segera
mengambil air yang telah dimatangkannya, lalu dengan sebuah sendok yang terbuat
dari kayu, ia menyuapi air matang ke dalam mulut Ang I Niocu yang menelannya
dengan lahap sekali. Kong Sian lalu mengambil bubur gandum yang tadi di
masaknya, lalu dengan perlahan ia menyuapkan bubur ini sesendok demi sesendok
ke dalam mulut gadis itu yang menelannya tanpa membuka mata.
Setelah diberi makan bubur, gadis itu lalu
tertidur kembali dan panasnya menurun. Kong Sian tetap menjaga dengan perasaan
penuh iba. Dalam perawatan ini, timbullah rasa cinta yang amat besar dan
mendalam di hati pemuda yang telah berusia tiga puluh lima tahun ini. Memang
tadinya Kong Sian mengambil keputusan untuk tidak kawin selama hidupnya dan
tinggal di pulau itu menjadi pertapa, mempelajari ilmu batin, ilmu silat, dan
ilmu pengobatan. Akan tetapi semenjak pertemuannya dengan Ang I Niocu dalam keadaan
yang ganjil ini, hatinya selalu bergoncang keras dan ia merasa betapa hidup ini
baginya menjadi berubah sama sekali. Sering kali ia duduk di dekat Ang I Niocu
dan membayangkan betapa akan hancur hatinya dan kosong hidupnya apabila gadis
ini meninggal dunia karena sakitnya.
Setelah dirawat dengan amat teliti dan telaten
oleh Kong Sian selama dua hari dua malam dalam keadaan setengah sadar dan belum
pernah selama itu Ang I Niocu membuka matanya, maka lenyaplah demam yang
menyerangnya. Tubuhnya menjadi segar kembali dan biarpun tubuhnya masih agak
lemah, akan tetapi ia tidak gelisah lagi. Pada hari ke tujuh semenjak ia tiba
di situ, pagi-pagi hari Ang I Niocu membuka kedua matanya bagaikan baru bangun
dari alam mimpi yang dahsyat. Ia bangun sambil tersentak kaget dan begitu
membuka mata, ia lalu bangun duduk sambil memanggil nyaring.
"Lin Lin…. Hai-ji….. " dan cahaya
kekuatiran hebat terbayang pada wajahnya yang cantik.
Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya
ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia sedang duduk diatas setumpuk rumput
kering di dalam sebuah gua dan melihat seorang laki-laki cakap duduk di
dekatnya sambil memandangnya dengan kagum sekali karena setelah kini Ang I
Niocu membuka matanya Kong Sian merasa seakan-akan ia melihat seorang bidadari
yang duduk di situ. Alangkah indah mata gadis itu!
Ang I Niocu meloncat ke atas karena kagetnya
dan terlepaslah mantel penutup tubuhnya, hingga Kong Sian juga buru-buru
melompat ke belakang dan memutar tubuhnya membelakangi gadis itu.
"Nona, pakailah mantel itu baik-baik,
baru kita bicara!" katanya perlahan dan halus.
Sementara itu Ang I Niocu terkejut bukan main
melihat betapa pakaiannya telah robek tidak karuan hingga ia hampir telanjang!
Buru-buru dan dengan muka merah karena jengah, ia lalu menyambar mantel itu
kembali dan menyelimuti tubuh dengan mantel itu dengan ikat pinggangnya yang
berwarna kuning emas. Setelah selesai, maka dengan mata bernyala ia lalu
menubruk dan menyerang Kong Sian dari belakang.
"Bangsat kurang ajar! Kau berani menghinaku?"
serunya.
Mendengar sambaran angin pukulan, Kong Sian
merasa terkejut sekali dan cepat ia mengelak sambil berkata,
"Eh, Nona, sabar dulu... aku... aku
…."
Biarpun merasa tubuhnya masih lemah, akan
tetapi oleh karena marah maka Ang I Niocu tetap menyerang dengan hebat sambil
mengeluarkan ilmu silatnya Kong-ciak Sian. Kong Sian merasa terkejut sekali
oleh karena tentu saja ia mengenal ilmu silat dari suhunya ini, maka dengan
heran ia lalu melayani Ang I Niocu dengan baik. Makin kagumlah ia ketika
mendapat kenyataan bahwa ilmu gerakan gadis ini ternyata lihai sekali dan
biarpun tenaganya masih lemah, akan tetapi ginkang dan lweekang gadis ini
menyatakan bahwa ia menghadapi seorang pendekar wanita yang tak boleh dibuat
gegabah. Ia pikir bahwa gerakan-gerakan ini membahayakan kesehatan gadis yang
baru saja sembuh itu, maka dengan cepat ia lalu membalas serangan Ang I Niocu
dengan totokan- totokan luar biasa dan karena Ang I Niocu belum cepat
gerakannya disebabkan tubuhnya yang masih lemah, pula oleh karena ilmu
kepandaian silat Kong Sian memang masih lebih tinggi, maka sebentar saja pemuda
itu berhasil menotok pundak Ang I Niocu yang segera mengeluh dan roboh dengan
lemas!
Kong Sian segera mengangkat tubuh Ang I Niocu
dan membawanya keluar gua di mana ia menaruh tubuh gadis itu di bawah sebatang
pohon dan angin gunung yang sejuk membuat Ang I Niocu merasa nyaman sekali.
"Nona, banyak sekali hal yang perlu kita
bicarakan. Harap kau bersabar mendengarkan bicaraku. Pertama-tama yang perlu
kauketahui ialah kau sama sekali keliru menyangka padaku. Aku bukanlah orang
jahat dan sama sekali aku tidak mempunyai maksud buruk terhadapmu. Ketahuilah
bahwa aku adalah seorang yang mengasingkan diri di pulau ini dan tujuh hari
yang lalu, Sin-kim-tiauw datang terbang ke mari sambil mencengkeram tubuhmu
yang telah pingsan! Kemudian kau jatuh sakit tidak sadarkan diri sampai tujuh
hari dan aku merawatmu di dalam gua itu!"
Mendengar ucapan ini, lenyaplah sinar marah
dari mata Ang I Niocu danKong Sian lalu mengulur tangan memulihkan totokannya
pada pundak gadis itu sambil berkata, "Biarlah, kalau kau tetap tidak
percaya kepadaku, kauseranglah aku lagi, aku tak hendak membalas untuk
menyatakan bahwa kata-kataku tadi benar belaka!"
Setelah sadar dari totokan, Ang I Niocu
memandang dengan mata bengong dan ia tidak berkutik dari tempat duduk. Tubuhnya
masih merasa lemah dan ia menyandarkan diri pada pohon itu.
"Benar-benar masih hidupkah aku?"
tanyanya perlahan setengah berbisik, karena sekarang ia teringat betapa ia telah
dilontarkan ke atas oleh ledakan dahsyat itu dan kemudian ia tidak ingat
apa-apa lagi.
Kong Sian tersenyum dan wajahnya yang tadi
nampak bersungguh-sungguh itu berubahlah setelah ia tersenyum. Sekarang ia
tampak tampan dan matanya memancarkan seri gembira. "Tentu saja kau masih
hidup, Nona, kalau tidak bagaimana kau bisa berada di sini? Kau berada di Pulau
Pek-le-to dan di pulau ini hanya akulah penghuni satu-satunya."
"Bagaimana seekor rajawali dapat
membawaku ke sini?" Di mana burung itu?" tanya Ang I Niocu yang masih
merasa ragu-ragu oleh karena ia masih kurang percaya kepada cerita yang aneh
itu.
Lie Kong Sian lalu berdiri dan bersuit keras.
Dari atas lalu terdengar suara balasan dari seekor burung dan tiba-tiba
nampaklah setitik hitam yang tinggi menyambar turun dengan cepatnya. Setelah
tiba dekat, ternyata yang melayang turun itu adalah seekor burung rajawali
besar, mengingatkan Ang I Niocu kepada burung rajawali yang dulu
menyambar-nyambarnya di atas perahu ketika ia masih mencari Pulau Kim-san-to di
atas perahu bersama Cin Hai dan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio. Akan tetapi
rajawali ini lebih besar dan bulunya indah sekali. Sin-kim-tiauw terbang rendah
lalu turun di depan Kong Sian, memandang kepada Ang I Niocu dengan sepasang
matanya yang tajam sinarnya.
"Nah, inilah Sin-kim-tiauw yang membawamu
ke sini. Sekarang akulah yang minta keterangan kepadamu bagaimana kau bisa
terbawa oleh burung sakti ini."
"Aku…. aku berada di Pulau Kim- san-to
dan pulau itu terbakar lalu meledak hingga aku terlempar ke udara oleh ledakan
itu kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi. Agaknya ketika tubuhku melayang di
udara dalam keadaan pingsan, burung sakti ini menyambar diriku dan membawanya
ke sini. Kalau begitu, dia adalah penolong jiwaku!" Setelah berkata
demikian, Ang I Niocu lalu berdiri dan ia berlutut di depan burung itu!
Kim-tiauw itu adalah seekor burung yang luar
biasa cerdiknya. Melihat Ang I Niocu, ia agaknya tahu dan dengan keluhan
panjang ia lalu menundukkan kepalanya dan membelai kepala Ang I Niocu dengan
lehernya yang berbulu tebal. Kemudian, sambil memekik girang burung itu lalu
terbang ke atas dan berputaran di udara seakan-akan merasa girang sekali bahwa
ada orang yang berterima kasih dan berlutut padanya!
"Kau katakan tadi bahwa aku jatuh sakit
dan tidak ingat diri sampai tujuh hari di sini?" tanya Ang I Niocu sambil
menghadapi Kong Sian kembali. Mereka masih duduk di atas rumput, berhadapan.
Kong Sian mengangguk. "Ya, kau pingsan
tiga hari tiga malam dan tubuhmu panas sekali. Kau terserang demam hebat dan
tiap hari mengigau dalam keadaan tidak ingat orang. Kemudian kau dapat
bergerak, akan tetapi kau gelisah dan panas sekali dan sama sekali tidak
membuka matamu. Aku telah merasa kuatir sekali dan sudah hampir habis harapanku
untuk dapat melihat kau hidup lagi."
Ketika Kong Sian sedang bercerita, Ang I Niocu
memandang dengan penuh keheranan. Duduk berhadapan dengan Kong Sian dan
mendengar suara orang ini bercerita tentang keadaannya, ia merasa seakan-akan
ia telah menjadi kenalan lama, apa lagi ketika ia dapat menangkap nada suara
yang penuh getaran karena terharu pada saat pemuda itu menceritakan
kegelisahannya melihat dia sakit!
“Kalau begitu, selama tujuh hari aku menderita
sakit… akan tetapi sungguh heran… bagaimana aku masih dapat hidup….?”
Kong Sian merasa segan dan malu untuk
menceritakan betapa ia merawat gadis ini selama sakit, maka ia hanya menjawab,
“Thian itu adil dan selalu melindungi orang-orang baik, maka Thian telah
melindungimu dari keadaan yang membahayakan jiwamu itu.”
Ang I Niocu menggeleng kepalanya. “Betapapun
juga, kalau dalam keadaan sakit aku tidak diberi obat dan selama tujuh hari
tidak makan apa-apa, tidak mungkin aku akan dapat hidup! Siapakah yang
merawatku dan siapa yang memberi makan padaku?”
Merahlah wajah Kong Sian mendengar ini.
Sikapnya menjadi canggung sekali dan suaranya menjadi gagap ketika ia menjawab,
“Memang… aku telah… aku yang memberi obat padamu dan… dan melihat kau begitu
lemah dan gelisah…. aku memberi bubur gandum kepadamu."
Sinar terima kasih yang amat mendalam
terbayang pada mata Ang I Niocu ketika mendengar ini, karena biarpun pemuda itu
tidak menceritakannya, ia sudah dapat menduganya. Sikap ragu-ragu untuk
memberitahukan bahwa pemuda itu telah merawatnya, membuat pandangannya terhadap
pemuda itu semakin tinggi dan kagum sekali. Sikap ini menunjukkan betapa tinggi
pribadi orang ini. Akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu teringat akan sesuatu dan
sinar kemarahan tercampur keraguan membayang kembali pada wajahnya yang menjadi
makin memerah.
"Dan... keadaan pakaianku ini…!” Ia lalu
melompat berdiri lagi, kedua tangannya terkepal, "katakanlah terus terang,
apa yang terjadi dengan pakaianku? Dan mengapa pula kau menyelimutkan dengan
mantel? Mantel siapakah ini?" Pertanyaan ini diucapkan dengan ketus dan
marah oleh karena ia merasa bercuriga.
Kong Sian menarik napas panjang. "Nona,
kalau saja bukan kau yang bersikap seperti ini dan menyangka yang bukan-bukan
terhadap aku, tentu aku akan naik darah dan menjadi marah sekali! Kaukira aku
Lie Kong Sian ini orang macam apakah? Nona, kau boleh maki padaku, bahkan kau
boleh menyerangku, akan tetapi janganlah sekali-kali kau menyangka aku berlaku
rendah dan biadab terhadap dirimu! Ketika Sin-kim-tiauw datang membawamu ke
sini, pakaianmu sudah robek semua dan tidak keruan macamnya, maka lalu aku
menyelimutimu dengan mantelku. Nah, itulah keadaan yang sebenarnya!"
Sambil berkata demikian, teringatlah Kong Sian
akan hal itu hingga ia menundukkan kepala dengan kemalu-maluan.
Kalau saja ia tidak menundukkan mukanya, tentu
ia akan melihat betapa Ang I Niocu menjadi merah sekali mukanya dan betapa
kedua mata gadis itu mencucurkan air mata! Tiba-tiba Ang I Niocu lalu
menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah di depan pemuda itu sambil berkata
dengan suara penuh keharuan, "In-kong (Tuan Penolong), maafkanlah aku yang
kasar dan yang telah menuduhmu yang bukan-bukan! Kau telah menolong jiwaku,
telah merawatku selama tujuh hari, memberi obat, menyuapkan makan akan tetapi
aku yang tertolong bahkan telah menuduhmu yang bukan-bukan! Maafkanlah aku
….." Ang I Niocu mengucapkan kata-kata ini sambil menangis karena tidak
saja ia merasa terharu, akan tetapi ia juga teringat akan semua peristiwa dan
ia menguatirkan keadaan Lin Lin dan Cin Hai!
Lie Kong Sian berkata dengan halus,
"Duduklah, Nona, dan legalah hatiku karena sekarang kau telah percaya
kepadaku."
Ang I Niocu bangun dan duduk kembali sambil
menyusut air matanya dengan ujung mantelnya. Ia kini merasa amat jengah dan
malu hingga ia tidak berani memandang langsung kepada pemuda itu.
"Yang amat mengherankan," katanya
kemudian, "mengapa tubuhku tidak terluka sedangkan aku dicengkeram dan
dibawa terbang oleh seekor burung rajawali yang begitu besar dan ganas.”
“Tak usah kau merasa heran, Nona. Sin-kim-tiauw
bukanlah burung rajawali biasa. Ia sudah terlatih baik sekali oleh Supekku yang
sakti, dan mungkin hanya Supek Bu Pun Su saja yang dapat melatihnya.”
Ang I Niocu mengangkat kepalanya dan memandang
tajam. “Apa? Jadi kau adalah murid keponakan dari Suhu Bu Pun Su?”
Kong Sian juga memandang heran. “Benar,
mendiang Suhuku yang bernama Han Le adalah sute dari Supek Bu Pun Su. Nona,
ketika kau menyerangku di dalam gua tadi kau telah mainkan Ilmu Silat Kong-ciak
Sinna. Dari siapakah kau memperoleh ilmu itu?”
Dengan girang sekali Ang I Niocu berkata,
“Kalau begitu, kau masih terhitung suhengku (kakak seperguruan) karena aku
pernah menerima latihan silat dari Suhu Bu Pun Su! Biarpun sesungguhnya Suhu Bu
Pun Su masih menjadi susiok couwku sendiri karena mendiang ayahku adalah murid
keponakannya. Akan tetapi akhir-akhir ini aku mendapat latihan Kong-ciak-sinna
dan Pek-in -hoat- sut dari Suhu Bu Pun Su hingga aku boleh juga menyebutnya
Suhu!"
Bukan main girang rasa hati Kong Sian
"Ah, ah, dunia ini memang tidak berapa luas! Siapa tahu bahwa aku telah
menolong seorang saudara sendiri. Sumoi, sungguh-sungguh aku merasa girang
sekali mendengar ini. Akan tetapi, siapakah mendiang Ayahmu?"
"Ayahku adalah Kiang Liat," jawab
Ang I Niocu dengan singkat oleh karena ia merasa malu membicarakan ayahnya yang
mati karena gila!
Kong Sian mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku pernah mendengar dari Suhu tentang ayahmu itu yang berjuluk
Jian-jiu-sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu). Ketika merantau, aku pernah
mendengar nama besar dari seorang pendekar wanita yang berjuluk Ang I Niocu,
apakah kau sendiri orang itu?"
Ang I Niocu mengangguk. "Memang itu nama
julukanku yang kosong tak berisi. Namaku adalah Kiang Im Giok, seorang yatim
piatu yang hidup sunyi dan penuh penderitaan." "Sumoi, kata-katamu
ini benar-benar menyentuh jiwaku. Aku Lie Kong Sian juga merasa bosan sekali di
dunia ramai karena hidupku sebatang kara penuh kesunyian."
Keduanya berdiam sampai lama, dan tenggelam
dalam lamunan masing-masing. Kemudian Kong Sian minta kepada Ang I Niocu untuk
menceritakan pengalamannya ia sampai dapat berada di Pulau Kim-san-to. Dengan
panjang lebar Ang I Niocu lalu menceritakan semua pengalamannya dan menyebut
nama-nama Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Nelayan Cengeng dan juga nama
Yousuf dan lain- lain. Setelah selesai bercerita, Kong Sian lalu menepuk
kepalanya sendiri sambil berkata,
"Ah, memang aku yang percuma dihidupkan
di atas dunia ini! Telah terjadi peristiwa yang besar dan demikian banyaknya
serta membutuhkan tenaga bantuanku, akan tetapi yang kukerjakan hanyalah duduk
melamun di pulau ini! Sampai-sampai Pulau Kim-san-to telah kutinggalkan
bertahun-tahun hingga sekarang lenyap dimakan api! Ah, arwah Suhu tentu marah
melihat sikapku ini. Memang aku seorang yang berjiwa lemah!" Ia menghela
napas berulang-ulang dan merasa kecewa terhadap diri sendiri.
"Suheng, kau adalah seorang gagah dan
mulia dan melihat gerakanmu ketika kau menotok roboh padaku tadi, aku yakin
bahwa ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali. Mengapa kausia-siakan diri di
tempat ini? Mengapa kau tidak mau terjun di dunia ramai dan melakukan darma
bakti sebagai seorang yang berkepandaian? Kalau kau mengasingkan diri di tempat
ini, bukankah berarti sia-sia saja kau mempelajari kepandaian sampai
bertahun-tahun?"
Seperti biasa Ang I Niocu selalu merasa bahwa
ia lebih berpengalaman dan lebih "berakal" daripada orang lain, maka
di dalam ucapannya ini terkandung nasihat-nasihat, teguran dan penyesalan,
seperti biasa orang-orang tua menasehati anak-anak atau guru menasehati murid.
Memang, selama ia menjelajah di dunia kang-ouw, yang disegani oleh Ang I Niocu
dan yang membuat ia tunduk hanyalah Bu Pun Su seorang, sedangkan kepada
lain-lain orang ia bersikap “lebih tinggi".
Kong Sian tersenyum mendengar ucapannya ini.
"Sumoi, memang demikianlah dipandang sepintas lalu. Akan tetapi, selama
kau malang melintang di dunia ramai, apakah yang kau dapat? Hanya permusuhan,
kejahatan, dan perkelahian mengadu jiwa, bunuh-membunuh sesama manusia. Aku
sudah bosan menghadapi semua itu. Di sini aku mendapat ketenteraman jiwa dan
tidak terpengaruh oleh kejahatan-kejahatan manusia yang terjadi di dunia ramai.
Memang, sewaktu-waktu aku tentu keluar, dari sini untuk meninjau dunia ramai
hingga tidak terputus hubunganku dengan manusia umumnya, akan tetapi, tempat
ini telah kupilih untuk menjadi tempat tinggalku yang tetap di mana aku dapat
hidup dengan tenteram dan aman sentausa!"
Ucapan ini membuat Ang I Niocu tertegun.
Terutama kata-kata pertanyaan yang diucapkan oleh suhengnya ini berkesan di
dalam hatinya. Apakah yang ia dapat selama ini? Hanya kesedihan, kekecewaan,
dan permusuhan belaka. Demikianlah, kedua orang itu lalu bercakap-cakap dengan
asyiknya, menceritakan pengalaman masing-masing. Ketika mendengar tentang Cin
Hai yang menjadi murid Bu Pun Su dan yang amat dipuji kepandaiannya oleh Ang I
Niocu, Lie Kong Sian merasa kagum sekali.
"Ah, ingin sekali aku bertemu dengan dia
itu! Memang sungguh mengagumkan bahwa seorang pemuda yang masih demikian muda
sudah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian pokok dari Supek Bu Pun Su. Suhu dulu
pernah menyatakan bahwa ilmu pengertian pokok segala gerakan ilmu silat adalah
kepandaian tunggal Supek yang membuat ia menjadi seorang yang tiada lawannya
dalam dunia persilatan. Dan ia sudah mampu mencipta sendiri ilmu pedangnya.
Sungguh mengagumkan." Diam-diam Kong Sian membandingkan anak muda itu
dengan sutenya Song Kun yang juga amat lihai ilmu silatnya.
Sambil merawat dan memulihkan kesehatannya,
Ang I Niocu berdiam di pulau itu dan melatih ilmu-ilmu silat bersama Kong Sian.
Ia telah menggunakan waktu senggang untuk menjahit kembali pakaiannya hingga
kini tak perlu lagi ia menyelimuti diri dengan mantel pemuda itu. Dalam latihan
ilmu silat, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda itu benar-benar hebat
dan lihai sekali hingga boleh dikata masih lebih tinggi setingkat daripada ilmu
kepandaiannya sendiri. Oleh karena ini, ia mendapat petunjuk-petunjuk dari
suhengnya ini yang juga merasa kagum sekali melihat kepandaian sumoinya.
Ketika mendengar tentang Song Kun, Ang I Niocu
menyatakan pendapatnya,
"Suheng sudah terang bahwa sutemu itu
jahat dan membahayakan keselamatan umum, mengapa kau tidak pergi mencari dan
menasihatinya?"
“Dulu sudah pernah aku mencarinya, akan tetapi
dia tidak mau mendengar nasihatku," jawab Kong Sian dengan suara sedih.
"Kalau begitu, kau harus menggunakan
kekerasan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memberantas kejahatan, dan
siapapun juga orangnya yang berlaku jahat, harus kita berantas!"
"Kami bahkan telah bertempur dan aku tak
dapat mengalahkan. Ilmu kepandaiannya walaupun tidak lebih daripada
kepandaianku, namun ia memiliki bakat luar biasa serta kelincahan yang
mengagumkan sekali. Dan….. dan aku tidak tega melihat ia mendapat celaka. Aku
amat menyayangnya seperti adik sendiri, sumoi."
Ang I Niocu memandangnya tajam dan kagum.
"Kau memang seorang berhati mulia, akan tetapi kau terlalu lemah, Suheng.
Agaknya, kalau kau sudah mencinta seseorang, kau akan membelanya sampai mati!
Sayang tidak ada seseorang wanita yang mendapat kehormatan menerima cinta
hatimu itu, Suheng. Alangkah bahagianya seorang wanita yang mendapat cinta hati
seorang mulia seperti kau ini!" Ucapan ini sebetulnya hanya muncul dari
watak yang jujur dari Ang I Niocu karena ia merasa betapa ada persesuaian
antara dia dan Kong Sian. Dia sendiri pun kalau sudah mencinta orang, ia rela
membelanya dengan taruhan jiwa sekalipun. Seperti halnya Lin Lin dan Cin Hai,
ia rela untuk mengorbankan jiwa demi kebahagiaan mereka! Akan tetapi, tak
disangkanya, ketika mendengar ucapan yang diucapkan sewajarnya ini, tiba-tiba
Kong Sian menjadi pucat sekali.
"Suheng, kau….. kau kenapakah?"
Sambil menundukkan kepala dan tak berani
menentang mata Ang I Niocu, Kong Sian lalu berkata perlahan, "Sumoi,
sebetulnya lidahku seakan-akan beku untuk mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi,
biarlah aku berterus terang saja. Sebelum bertemu dengan kau, tak pernah
terpikir olehku tentang diri seorang wanita dan aku telah mengambil keputusan
untuk hidup menyendiri di pulau ini sampai mati. Akan tetapi…. setelah aku
bertemu dengan kau… bahkan sebelum aku mengetahui siapa adanya kau, melihat kau
menderita sakit tanpa mengetahui apakah kau orang baik-baik atau orang jahat,
hatiku sudah…. tertarik sekali kepadamu dan… dan…. " kemudian ia mengangkat
mukanya dan dengan wajah pucat ia memandang kepada gadis itu dengan mata sayu,
"Sumoi… maafkan kata-kataku ini… kita sama-sama hidup tidak berisi
sakan-akan kosong dan sunyi. Maukah kau….. maukah kau menghabiskan sisa hidupmu
dengan aku di pulau ini?"
Warna merah menjalar di seluruh muka Ang I
Niocu sampai ke telinganya, dan matanya terbelalak ketika ia memandang pemuda
itu. "Suheng….. apakah maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Sumoi, kalau kau sudi, marilah kita
hidup bersama di pulau ini…. maksudku, kita hidup sebagai suami isteri!"
Kini mata Ang I Niocu memandang tajam.
“Mengapa, Suheng? Mengapa kau mengajukan usul ini? Apakah yang
mendorongmu?"
Sementara itu, Kong Sian sudah dapat
menetapkan hatinya yang tadi berguncang. Dengan gagah ia lalu mengangkat muka
memandang wajah Ang I Niocu sepenuhnya. "Sumoi, biarlah kau mendengar
pengakuanku. Biarpun kau akan mentertawaiku, akan mencaci, biarlah! Aku cinta
kepadamu, Sumoi, sebagai cinta seorang laki-laki terhadap seorang wanita! Belum
pernah ada perasaan demikian di hatiku, akan tetapi setelah aku melihatmu, aku
cinta padamu, cinta dengan sepenuh jiwaku! Maka, sekarang aku mengajukan
pinangan kepadamu, Sumoi, kalau kau sudi, sukalah kiranya kau menjadi isteriku
dan kita menghabiskan sisa hidup sebagai suami isteri di pulau ini."
Tiba-tiba tanpa dapat ditahan lagi,
mengalirlah air mata dari kedua mata Ang I Niocu hingga Kong Sian menjadi
terkejut dan berkata halus,
"Sumoi, kalau aku menyinggung dan melukai
hatimu, ampunkanlah aku. Aku tidak akan memaksamu, Sumoi, demi Tuhan Yang Maha
Kuasa, kalau kau tidak suka menerima katakanlah tanpa ragu-ragu atau
sungkan-sungkan lagi. Aku takkan menyesal kepadamu, hanya akan menyesali diri
sendiri yang bodoh dan tidak tahu diri!"
Sambil menghapus air matanya, Ang I Niocu
menggelengkan kepala berkali-kali dan berkata, "Bukan demikian, Suheng.
Jangan kau salah sangka. Aku... aku hanya merasa terharu sekali mendengar
pernyataanmu yang sama sekali tak pernah kusangka-sangka itu. Aku telah menerima
budi pertolonganmu yang besar yang selama hidupku takkan pernah kulupa. Kau
telah menolong jiwaku dan kalau seandainya tidak ada kau, aku Kiang Im Giok
pasti sudah mati! Dan seandainya aku tidak terjatuh dalam tanganmu, akan tetapi
dalam tangan laki-laki lain ah... entah nasib apa yang akan kuderita! Kau
seorang gagah dan mulia, Suheng, terlalu mulia bagiku….. aku…. aku seorang yang
jahat dan kotor! Ketahuilah, ketika aku masih muda, aku telah jatuh cinta yang
akhirnya mengorbankan nyawa Ayahku sendiri. Aku tidak berharga bagimu,
Suheng."
"Im Giok, aku sudah tahu akan hal itu
dari Suhuku. Aku pernah mendengar betapa kekasihmu dibunuh oleh ayahmu sendiri.
Akan tetapi, kau tidak bersalah dalam hal itu. Ayahmu meninggal dunia oleh
karena serangan penyakit jantung yang berbahaya. Wajar bagi seorang gadis untuk
jatuh cinta!"
"Bukan itu saja, Suheng. Semenjak
peristiwa itu, aku membenci laki-laki! Banyak pemuda yang jatuh cinta kepadaku,
sengaja kupermainkan perasaan cintanya hingga mereka menjadi seperti gila! Aku
berlagak membalas perasaan mereka dan apabila mereka telah menjadi gila
betul-betul, aku meninggalkannya. Banyak yang sudah menjadi korban, bahkan
seorang pemuda yang baik budi bernama Kang Ek Sian, yang bahkan telah dipilih
oleh Suhu Bu Pun Su sendiri untuk menjadi suamiku, telah kupermainkan dan
kupatahkan hatinya!"
Kong Sian menggeleng kepala dan menarik napas
dalam. "Memang kau telah berlaku kejam dan sesat, Sumoi, akan tetapi
pengakuanmu ini meringankan dosamu, tanda bahwa kau telah insyaf. Aku tidak
menyesal mendengar ini dan tidak mengurangi rasa cintaku padamu."
"Masih ada lagi, Suheng….. " kata
Ang I Niocu sambil mengusap air mata yang menitik ke atas pipinya, "aku….
aku yang tidak tahu diri telah jatuh hati akhirnya! Dan aku jatuh hati serta
mencinta dengan sepenuh jiwaku kepada seorang pemuda yang usianya jauh lebih
muda dariku, padahal ketika aku bertemu dengan dia, aku telah berusia dua puluh
tahun lebih dan dia baru berusia dua belas tahun! Aku…. aku yang tidak tahu
malu ini diam-diam mencinta padanya, dan…. dan orang itu adalah Cin Hai, murid
Suhu Bu Pun Su yang pernah kuceritakan padamu!"
"Hm, jadi karena itukah maka kau
mati-matian hendak mengorbankan nyawamu menolong Lin Lin seperti yang kau
ceritakan itu? Sumoi, kau benar- benar seorang mulia yang bernasib malang dan
patut dikasihani! Aku dapat membayangkan betapa suci dan mulia rasa cintamu
terhadap Cin Hai! Melihatpemuda itu mencinta seorang gadis lain, kau tidak
sakit hati, bahkan kau berdaya sekuat tenaga hendak mempertemukan mereka! Aku
tahu, Sumoi, aku dapat menyelami jiwamu dan aku merasa bersyukur sekali bahwa
kau dapat mengatasi perasaan-perasaan yang kurang baik. Sumoi, cerita dan
pengakuanmu ini mempertinggi nilai dirimu dalam pandanganku."
Ang I Niocu mengangkat muka dan memandang
heran. "Apa? Kau tidak marah kepadaku, Suheng? Tidak memandang rendah
padaku setelah segala apa yang kuceritakan padamu itu?"
Kong Sian menggeleng-geleng kepalanya sambil
tersenyum dan dari matanya bersinar cinta kasih yang diliputi kekaguman hati.
"Pengakuanmu bahkan mempertebal rasa cintaku, Sumoi. Sudah wajar bagi
setiap manusia untuk menjalankan kekeliruan, akan tetapi, setiap kekeliruan
akan musnah apabila orang itu menyadari dan menginsyafinya. Kau adalah seorang
mulia."
Lemaslah seluruh anggota tubuh Ang I Niocu
mendengar ini dan ia lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput sambil
menangis.
"Im Giok, jangan kau merasa berat untuk
menolak permintaanku tadi. Aku maklum bahwa aku memang mungkin terlalu tua
bagimu dan…. "
"Tidak Suheng. Usia kita tidak berselisih
jauh."
"Apa??? ]angan kau membohongi aku,
Sumoi!" kata Kong Sian dengan heran.
Ang I Niocu tersenyum sedih diantara air
matanya. "Aku tidak membohong, Suheng. Memang mungkin aku nampak lebih
muda oleh karena aku banyak makan telur dari pek-tiauw (rajawali putih), akan
tetapi sesungguhnya aku telah berusia tiga puluh lebih, sedikitnya tiga puluh
dua tahun!"
Kong Sian mengangguk-angukkan kepalanya karena
sebagai seorang ahli pengobatan yang menerima warisan kepandaian dari Han Le,
ia maklum akan khasiat yang besar dari telur burung rajawali putih.
"Pantas, pantas! Dan hal ini lebih-lebih menunjukkan kegagahanmu, karena
tidak sembarangan orang dapat mengambil telur pek-tiauw! Melihat wajahmu,
agaknya kau paling banyak baru berusia dua puluh lima lebih! Bagaimana Sumoi.
Bersediakah kau menerima aku yang bodoh dan buruk rupa sebagai kawan
hidupmu?"
Ang I Niocu menggunakan tangan untuk menutup
mukanya. Ia merasa bingung sekali. Di dalam hati ia mengaku bahwa mungkin di
dunia ini tidak ada seorang pemuda yang layak dan patut menjadi suaminya selain
Kong Sian. Kepandaiannya tinggi melebihinya sendiri, rupanya tampan dan
sikapnya halus dan sopan santun. Pribadinya tinggi dan hal ini sudah ia
buktikan ketika pemuda itu mendapatkan dirinya yang berada dalam keadaan
setengah telanjang itu dan ketika pemuda ini merawatnya dengan penuh kesabaran
dan ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda ini betul-betul mencintanya dengan
sepenuh jiwa. Terutama sekali, dalam hal usia pemuda ini sebanding dengan dia!
Apa lagi? Pemuda ini bahkan telah menolong jiwanya hingga sampai mati pun belum
tentu ia bisa membalas budinya. Akan tetapi, kalau ia menerima pinangan itu,
seakan-akan ia terlalu murah memberi harga pada dirinya! Ia memang berwatak
tinggi hati dan keras, dan tidak mau ditundukkan dengan mudah. Akan tetapi,
untuk menolak ia pun tidak berani!
"Suheng,” katanya setelah berpikir dengan
masak-masak, "aku harus menghaturkan beribu terima kasih atas budi
kecintaanmu itu. Bagaimana aku dapat menolak pinangan seorang seperti kau? Akan
tetapi hal ini terjadi terlalu tiba-tiba hingga aku belum dapat memutuskannya
karena masih merasa bingung! Sekarang beginilah saja, Suheng. Biarlah kauanggap
aku telah menerima pinanganmu itu dan aku pun takkan malu-malu mengaku bahwa
aku telah menjadi tunanganmu. Akan tetapi, soal pernikahan antara kita baru
dapat terlaksana setelah kau memenuhi beberapa syarat!"
Kong Sian tersenyum dan dari ucapan ini saja
ia yang sudah paham akan tabiat manusia, dapat mengetahui bahwa gadis kekasih
hatinya ini memiliki adat yang tinggi dan keras! Ia menjawab sambil masih
tersenyum. "Sumoi, katakanlah, apa syarat-syaratmu itu?"
"Pertama, kau harus menanti sampai aku
dapat bertemu kembali dengan kawan-kawanku, terutama dengan Cin Hai dan Lin
Lin. Sebelum aku dapat mempertemukan kedua sejoli ini atau melihat mereka telah
berkumpul kembali, tak mungkin aku dapat mengikat diri dengan laki-laki
lain!"
Kong Sian mengangguk-angguk, karena maklum
akan isi hati Ang I Niocu.
“Kedua, kita harus mendapat perkenan dari Suhu
Bu Pun Su, oleh karena dulu Beliau mempunyai maksud dan kehendak untuk
menjodohkan aku dengan Kang Ek Sian, yang biarpun mencintaku, akan tetapi tak
kubalas cintanya itu.”
Syarat ke dua ini diam-diam menggirangkan hati
Kong Sian, oleh karena dari ucapan terakhir yang menyatakan bahwa gadis ini
tidak menerima pinangan Kang Ek Sian oleh karena tidak mencintanya, hampir
menyatakan bahwa biarpun sedikit, gadis ini “ada hati” kepadanya, kalau tidak,
tentu ia akan menolaknya pula! Maka ia mengangguk-angguk kembali dengan mulut
tersenyum.
“Ke tiga,” kata lagi Ang I Niocu, “kau harus
keluar dari pulau ini dan turun ke dunia ramai untuk mencari sutemu Song Kun
itu dan memenuhi pesan Suhumu, yaitu menasihatinya atau menggunakan kekerasan
terhadapnya.”
“Ah, yang ke tiga ini berat sekali, Sumoi! Kau
tahu bahwa aku amat mencintanya dan tidak tega untuk mencelakakannya!”
“Inilah kelemahan yang membuat hatiku tidak
puas! Kau tidak tega kepada Sutemu karena kau mencintanya, akan tetapi apakah
kau bertega hati melihat betapa wanita-wanita diganggunya? Kelemahanmu ini
menimbulkan ketidak-adilan dalam hatimu yang tidak layak dan tidak patut
dipunyai oleh seorang pendekar silat.”
Kong Sian menghela napas dan menjawab,
“Biarlah, hal ini perlu kurenungkan dan kupikirkan baik-baik, sumoi. Masih ada
lagikah syarat-syaratmu?”
Pertanyaan ini membuat Ang I Niocu menjadi
merah mukanya karena ia telah merasa keterlaluan mengajukan sekian banyak
syarat. Akan tetapi, syarat-syarat itu setidaknya dapat “mengangkat” harga
dirinya, tidak semurah kalau ia menerimanya mentah-mentah!
“Masih ada satu lagi,” katanya dengan muka
merah dan menundukkan kepala, “akan tetapi yang terakhir ini baru akan
kuceritakan kalau kau telah memenuhi yang ketiga itu.”
“Baiklah, Sumoi. Kuterima syarat-syaratmu.”
Kemudian Lie Kong Sian meloloskan pedangnya dari pinggang dan memberikan itu
kepada Ang I Niocu berkata, “Sumoi, terimalah Cian-hong-kiam ini sebagai bukti
daripada ikatan yang ada di antara kita, dan biarlah Thian yang menjadi saksi
atas pertunangan kita ini.” Kata-kata ini diucapkan dengan suara menggetar
hingga mengharukan hati Ang I Niocu yang menerima pedang itu.
Kemudian Ang I Niocu mengambil perhiasan
rambutnya yang terbuat daripada mutiara dan memberikannya kepada Kong Sian.
“Aku tidak mempunyai apa-apa, Suheng dan biarlah benda ini menjadi bukti
daripada kesetiaanku.”
Tidak ada upacara yang mengesahkan pertunangan
mereka itu selain daripada penukaran barang yang dilakukan dengar sikap
sederhana ini akan tetapi diramaikan oleh pertemuan pandang mata mereka yang
menembus ke hati masing-masing.
Setelah itu, Ang I Niocu lalu berpamit hendak
pergi mencari Cin Hai dan Lin Lin. Kong Sian lalu mengambil perahunya dan ia
lalu mengantarkan tunangannya itu sampai ke darat di pesisir Tiongkok. Si
Rajawali Emas tidak ketinggalan, ikut mengantar sambil terbang di atas perahu
itu.
Ketika keduanya telah mendarat dan Ang I Niocu
hendak meninggalkannya, mereka saling pandang dan Ang I Niocu berbisik, “Semoga
Thian memberkahi perjodohan kita dan semoga cita-cita kita bersama akan
terlaksana, Koko.”
Kedua mata Kong Sian menjadi basah karena
terharu dan girang mendengar sebutan ini dan makin yakinlah ia bahwa diam-diam
Ang I Niocu juga mempunyai perasaan yang sama dengan perasaan hatinya. “Selamat
Jalan, Moi-moi, dan Sin-kim-tiauw biarlah mengawanimu.”
Ang I Niocu girang sekali. Ia berkata epada
burung rajawali itu,
“Sin-kim-tiauw, kau ikutlah padaku!”
Burung itu agaknya mengerti ucapan ini, karena
ia lalu menoleh kepada Kong Sian seakan-akan minta perkenannya. Ia takkan
berani pergi sebelum mendapat perkenan dari Kong Sian.
“Pergilah kau ikut dia, Kim-tiauw, dan jagalah
dia baik-baik!”
Burung itu lalu mengeluarkan bunyi karena
girang dan ketika Ang I Niocu berlari cepat-cepat meninggalkan tempat itu, ia
lalu terbang dan mengejar. Kong Sian kembali ke pulaunya untuk merenungkan
peristiwa yang tak tersangka-sangka telah terjadi dalam hidupnya itu.
Demikianlah kisah pengalaman Ang I Niocu yang
disangka telah tewas itu. Beberapa bulan lamanya ia merantau mencari-cari Cin
Hai dan Lin Lin. Ia kembali ke pesisir dari mana ia menyeberang ke Pulau
Kim-san-to, akan tetapi ia tidak mendapatkan jejak kawan-kawannya hingga ia
lalu menuju ke barat. Oleh karena mendengar bahwa Lin Lin ikut dengan seorang
Turki dan bahwa pada waktu itu daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki,
ia lalu merantau ke barat.
Pada suatu hari ia tiba di sebuah bukit di
daerah Sui-yan. Ia berlari cepat akan tetapi Sin-kim-tiauw telah mendahuluinya,
terbang rendah sambil mengeluarkan bunyi karena ia merasa girang bahwa Ang I
Niocu tidak dapat mengejarnya! Tiba-tiba burung itu memekik keras dan pekik
kemarahan ini mengherankan Ang I Niocu dan membuatnya mempercepat larinya.
Ketika ia tiba di tempat itu, ia menjadi marah sekali oleh karena melihat
betapa tiga orang-orang tua sedang melempar-lempar batu kecil ke arah
Sin-kim-tiauw yang beterbangan dan menyambar-nyambar di atas mereka dengan
marah! Burung itu cepat mengelak dan mengebut sambitan batu dengan sayapnya dan
orang-orang tua itu berseru kagum, “Burung bagus!”
Ketiga orang tua itu adalah seorang nenek
buruk rupa, berhidung panjang dan bongkok seperti hidung kakak tua, dan
berpunggung bongkok seperti punggung onta, sedangkan dua orang tua lainnya
adalah seorang kakek berjubah hitam dan bersorban dan seorang lagi tosu yang
bermata lebar.
Melihat betapa rajawali itu dapat mengelak
dari setiap sambitan, bahkan sebuah batu yang dikebut oleh sayapnya terbalik
meluncur ke arah nenek itu, Si Nenek Tua yang buruk menjadi marah.
“Burung siluman! Rasakan sambitanku ini!” Dan
ketika ia menggerakkan tangan kanannya, puluhan batu-batu kecil melayang dengan
hebatnya ke arah tubuh rajawali emas! Sin-kim-tiauw cepat mengelak dan mengebut
dengan sayapnya, akan tetapi sebuah dari pada batu-batu itu tepat mengenai
pahanya hingga ia merasa sakit sekali dan memekik-mekik kesakitan!
“Nenek jahat! Jangan kau mengganggu burungku!”
Ang I Niocu berseru marah sambil melompat ke hadapan nenek itu. Ketika melihat seorang
gadis baju merah melompat maju dan menegurnya, nenek itu menjadi marah dan
tanpa berkata sesuatu lalu menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah
pundak Ang I Niocu! Dara Baju Merah ini segera mengangkat lengan dan menangkis,
akan tetapi ia menjadi terhuyung ke belakang oleh karena ternyata bahwa tenaga
lengan tangan nenek itu besar sekali! Melihat kelihaian nenek ini, Ang I Niocu
segera mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian dan segera
menyerang dengan cepat.
Dan pada saat ia bertempur dengan seru melawan
nenek bongkok itu, datanglah Kwee An dan Ma Hoa yang terheran-heran melihat
Dara Baju Merah yang tadinya disangka telah mati itu!
Dua orang kakek yang tadinya hanya menjadi
penonton saja, ketika melihat betapa Nona Baju Merah ternyata lihai sekali ilmu
pedangnya dan dapat mendesak nenek bongkok, segera berseru keras, dan maju
menyerbu dengan kebutan ujung lengan baju mereka yang panjang. Ang I Niocu
merasa terkejut oleh karena sambaran angin pukulan mereka ternyata lebih hebat
daripada serangan nenek bongkok itu, terutama pendeta yang bersorban! Maka ia
lalu memutar pedangnya dengan lebih cepat lagi, mainkan ilmu pedangnya
Ngo-lian-hoan-kiamhwat.
Kwee An dan Ma Hoa melihat hal ini lalu
menerjang dengan pedang di tangan, membantu Ang I Niocu. Mereka berdua telah
bermufakat untuk diam saja dan tidak menegur Ang I Niocu, untuk membuktikan
bahwa benar-benar Dara Baju Merah itu Ang I Niocu. Ketika melihat dua bayangan
berkelebat membantunya dan ternyata bahwa dua orang penolong itu adalah Kwee An
dan Ma Hoa, bukan main girangnya dan segea menegur,
“Ma Hoa... Kwee An.,.”
Berdebarlah tubuh kedua anak muda itu
mendengar suara ini karena kini mereka tak perlu merasa ragu-ragu lagi,
terutama sekali Ma Hoa yang tak dapat menahan isaknya! Sambil menangkis ujung
lengan baju pendeta bersorban yang melayang ke arah mukanya, ia berseru dengan
isak tertahan,
“Enci Im Giok...!”
Juga Kwee An berseru girang, “Ang I Niocu...!”
Sementara itu, ketiga orang tua yang mendengar
nama Ang I Niocu disebut-sebut, segera melompat mundur dengan terkejut.
Kesempatan ini digunakan oleh Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk saling tubruk dan
saling peluk.
“Enci Im Giok..., kau... kau masih hidup...?”
“Adik Ma Hoa...” mereka berpelukan sambil
mencucurkan air mata karena girang dan keduanya saling pandang dan tersenyum.
“Ha, ha, jadi kau adalah Ang I Niocu, Ma Hoa,
dan Kwee An?” berkata tosu tadi. ”Kebetulan sekali!”
Juga nenek bongkok itu lalu berkata, “Hm,
memang sudah takdir bahwa kalian harus mampus di tangan kami! Ang I Niocu,
ketahuilah bahwa aku adalah Siok Kwat Moli dan kedua kakek ini adalah
sahabat-sahabat baikku. Mereka bernama Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin.” Ia
menunjuk ke arah pendeta bersorban lalu ke arah tosu itu. “Tak perlu aku
bercerita panjang lebar mengapa kami memusuhi kalian, cukup kalau kuberi tahu
bahwa Hai Kong Hosiang yang kalian siksa itu adalah suhengku!”
Mengertilah Ang I Niocu dan kedua orang
kawannya sekarang, dan mereka maklum bahwa pertempuran mati-matian tak dapat
dielakkan lagi.
“Memang burung gagak selalu berkawan dengan
burung-burung mayat juga!” kata Ang I Niocu sambil tersenyum sindir. “Hai Kong
Hosiang belum terhitung jahat kalau belum mempunyai seorang sumoi seperti kau
ini dan mempunyai sahabat-sahabat yang terdiri dari pendeta-pendeta palsu
pula!”
Bukan main marahnya ketiga orang itu mendengar
hinaan ini. Sambil berseru keras, nenek itu lalu mencabut keluar senjata yang
istimewa, yaitu sehelai sabuk kuning emas yang panjang hingga ketika ia pegang
dengan kedua tangan maka merupakan sepasang senjata lemas yang luar biasa. Wai
Sauw Pu pendeta yang bersorban itu adalah seorang dari Sin-kiang yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi dan ia pun telah kena terbujuk oleh Hai Kong Hosiang
hingga ikut pula membela pendeta gundul itu. Pendeta bersorban ini mengeluarkan
senjatanya yang jarang terlihat, yaitu seuntai tasbeh terbuat daripada gading
gajah yang merupakan lingkaran panjang. Lok Kun Tojin, seorang pertapa yang
sakti dari Thaisan, juga mencabut senjatanya yang lebih lihai, yaitu sepasang
roda memakai tali hingga roda-roda itu kalau digerakkan bisa berputaran
bagaikan kitiran dan membuat bingung kepada lawannya.
Sambil berseru keras, ketiga orang itu lalu
menyerbu. Si Nenek bongkok menghadapi Ang I Niocu, pendeta bersorban menghadapi
Ma Hoa, dan tosu itu menghadapi Kwee An. Pertempuran hebat segera berlangsung
dengan ramai sekali. Ang I Niocu memegang pedang Cian-hoan-kiam pemberian Lie
Kong Sian, sebatang pedang pusaka yang ampuh. Kwee An memegang pedang
Oei-kang-kiam pemberian Meilani, juga pedang pusaka hingga ia tidak takut
menghadapi roda-roda Lok Kun Tojin. Sedangan Ma Hoa dengan sepasang bambu
runcingnya yang dimainkan secara luar biasa itu dapat mengimbangi permainan
tasbeh yang hebat dari Wai Sauw Pu! Setelah bertempur belasan jurus, ketiga
orang tua itu baru benar-benar merasa terkejut oleh karena tadinya mereka
memandang rendah kepada tiga orang lawan muda itu yang sama sekali tak pernah
mereka sangka demikian lihainya.
Ang I Niocu maklum akan kelihaian Kwee An,
maka ia tidak perlu menguatirkan keadaan pemuda itu, akan tetapi tadinya ia
merasa cemas melihat betapa Ma Hoa menghadapi kakek bersorban yang nampaknya
kuat dan lihai sekali. Namun begitu ia melihat permainan bambu runcing Ma Hoa,
diam-diam ia merasa amat kagum dan juga heran, maka dengan hati gembira Ang I
Niocu lalu melayani nenek bongkok sambil berkata kepada Ma Hoa, “Adikku, kau
kini hebat sekali!” Mendengar pujian ini, Ma Hoa lalu mengeluarkan seluruh
kepandaiannya yang baru saja didapatnya dari Hok Peng Taisu dan biarpun tasbeh
di tangan kakek bersorban itu luar biasa gerakannya, akan tetapi sepasang bambu
runcingnya juga merupakan senjata lihai yang gerakannya belum dikenal oleh Wai
Sauw Pu!
Adapun rajawali emas yang masih beterbangan
dan berputar-putar di atas kepala mereka yang sedang bertempur, kini mulai
menyambar turun dan membantu. Yang terutama dibantunya ialah Ang I Niocu dan
beberapa kali ia menyerang kepala nenek bongkok itu hingga Si Nenek Bongkok
memaki-maki kalang kabut, “Burung jahanam! Burung siluman! Akan kusembelih
lehermu, kumakan dagingmu mentah-mentah!” Sambil berkata demikian, dengan
tangan kanan menggunakan sabuknya untuk melayani Ang I Niocu sedangkan ujung
sabuk di tangan kiri beberapa kali mengebut ke arah Sin-kim-tiauw tiap kali
burung itu menyambar turun.
Tiba-tiba ketika burung itu menyambar turun
tosu yang berkelahi melawan Kwee An, menggerakkan roda di tangan kirinya dan
roda itu terputar cepat menyambar ke arah burung yang terbang di atas kepala
nenek bongkok itu! Ternyata bahwa tali yang di tengah-tengah roda amat
panjangnya hingga roda itu dapat terbang tinggi dan jauh! Hampir saja rajawali
itu terkena hantaman roda, baiknya ia cepat mengelak dan terbang ke atas sambil
berteriak marah. Kini ia menyambar turun dan menyerang Lok Kun Tojin!
“Sin-kim-tiauw, jangan!” teriak Ang I Niocu
oleh karena gadis ini maklum betapa lihainya roda-roda tosu itu. Akan tetapi
rajawali yang sedang marah ini mana mau mendengarkan cegahannya, tetap
menyerang dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.
“Sin-kim-tiauw, tak maukah kau menurut
perintahku?” bentak Ang I Niocu dan suaranya menyatakan kemarahan besar yang
terdorong oleh kekuatirannya. Rajawali itu terkejut mendengar bentakan Ang I
Niocu dan pada saat itu, sebuah roda dari Lok Kun Tojin dengan keras mengenai
dadanya!
Burung itu terpental ke atas udara sambil
berteriak-teriak kesakitan. Kemudian, karena merasa dadanya sakit sekali dan
pula karena mendongkol mendengar bentakan dan cegahan Ang I Niocu yang
dibelanya, ia lalu terbang tinggi sekali dan terus terbang pergi jauh!
Ang I Niocu merasa cemas sekali, sebaliknya
Lok Kun Tojin merasa pukulan rodanya tadi amat berbahaya dan keras. Jangankan
kulit daging, bahkan batu karang pun akan hancur apabila terpukul oleh rodanya,
akan tetapi burung itu tidak tewas karenanya bahkan lalu terbang pergi dengan
cepat!
Dengan Ilmu Silat Bambu Runcing yang lihai, Ma
Hoa dapat membikin jerih hati lawannya yang sebenarnya masih lebih tinggi ilmu
silatnya. Sedangkan ilmu pedang Ang I Niocu juga membuat nenek bongkok itu
merasa gentar. Tak pernah disangkanya bahwa musuh-musuh suhengnya yang
muda-muda memiliki ilmu kepandaian yang begini luar biasa. Tidak heran apabila
suhengnya yang lihai itu sampai kena dikalahkan. Sebaliknya, biarpun ilmu pedang
yang dimiliki Kwee An juga bukan ilmu pedang sembarangan, yaitu ilmu pedang
Kim-san-pai warisan suhunya yang pertama, yaitu Eng Yang Cu, dan Ilmu Pedang
Hai-liong-kiam-sut warisan Nelayan Cengeng, akan tetapi sepasang roda di tangan
tosu yang menjadi lawannya itu benar-benar luar biasa. Beberapa kali pemuda ini
hampir saja menjadi korban pukulan roda, untung ia masih dapat mengelak sambil
mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Mo-ko, hingga Lok Kun Tojin
merasa kagum. Jarang sekali tosu ini mendapat lawan yang dapat mengimbangi ilmu
kepandaiannya dan sekarang, baru saja ia turun gunung dan bertemu dengan
musuh-musuh sahabatnya, ia telah bertemu dengan seorang pemuda yang dapat
bertahan melawannya sampai hampir seratus jurus!
Kwee An maklum bahwa apabila dilanjutkan, ia
takkan menang dan juga kedua orang kawannya belum tentu akan dapat menang pula,
maka ketika ia melihat rajawali terbang pergi, ia mendapat akal dan berkata,
“Bagus, Sin-kim-tiauw tentu akan memanggil
Suhumu!”
Benar saja, ucapan ini membuat ketiga orang
tua itu merasa kaget dan kuatir, baru murid-muridnya saja sudah begini lihai,
apalagi kalau suhunya yang datang! Maka, nenek bongkok itu berkata, “Jiwi
bengyu, mari kita pergi! Kita jumpai Hai Kong lebih dulu, lain kali mudah untuk
mengambil nyawa ketiga tikus kecil itu!”
Ketiga orang tua itu lalu melompat pergi dan
segera lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Ang I Niocu yang mempunyai
watak tidak mau kalah itu merasa penasaran dan kecewa, maka ia menegur Kwee
An,”Kongcu, mengapa kau menggunakan akal mengusir mereka?”
“Mereka itu sebetulnya tidak mempunyai
permusuhan apa-apa dengan kita, untuk apa berkelahi mati-matian?” kata Kwee An
sambil menarik napas lega.
“Akan tetapi, Sin-kim-tiauw telah dilukainya!”
kata Ang I Niocu.
“Belum tentu kim-tiauw itu terluka, karena
kalau benar terluka, bagaimana ia bisa terbang begitu tinggi dan cepat?” Ma Hoa
membela kekasihnya. “Enci Im Giok, mereka itu lihai sekali. Sudahlah jangan
membicarakan mereka pula yang perlu sekarang kauceritakanlah pengalamanmu. Kami
semua, terutama Cin Hai dan Lin Lin, merasa berduka sekali, karena menyangka
bahwa kau tentu sudah meninggal di atas Pulau Kim-san-to yang terbakar hebat
dan meledak itu.” Sambil berkata demikian, Ma Hoa lalu memegang tangan Ang I
Niocu dan ketiganya lalu duduk di bawah sebatang pohon untuk beristirahat dan
bercakap-cakap.
Mendengar disebutnya nama Cin Hai dan Lin Lin,
lenyaplah rasa kecewa dari wajah Ang I Niocu yang cantik, dan sekarang wajahnya
berseri gembira. “Apa katamu? Lin Lin dan Cin Hai, apakah benar-benar mereka
itu selamat dan sudah saling bertemu?”
Ma Hoa lalu menuturkan
pengalaman-pengalamannya dan menuturkan segala peristiwa yang terjadi semenjak
mereka berpisah juga pengalamannya sendiri ketika terjatuh dari atas tebing
bersama Kwee An. Mendengar itu, Ang I Niocu mengucap syukur karena kawan-kawan
baiknya telah terhindar dari bahaya maut, akan tetapi ketika mendengar betapa
kini kedua orang muda itu tidak tahu bagaimana nasib Lin Lin dan Yousuf yang
dikejar-kejar orang-orang Turki, di mana pula adanya Cin Hai, ia menghela napas
dan berkata,
”Ah, sungguh kasihan sekali Lin Lin dan Cin
Hai. Baru saja bertemu, sudah harus berpisah pula. Sekarang kita harus mencari
mereka sampai dapat.”
“Memang kami berdua pun sedang mencari jejak
mereka, Niocu.” kata Kwee An. “Yang mengejar Lin Lin dan Yo-siokhu adalah
orang-orang Turki, maka ketika mendengar bahwa di daerah Kansu banyak terdapat
orang-orang Turki, kami lalu menuju ke barat untuk menyelidiki di sana. Tidak
tahunya kebetulan sekali kita saling bertemu di sini.”
“Sayang sekali Sin-kim-tiauw telah terbang
pergi, entah di mana ia sekarang berada,” kata Ang I Niocu. Tentu saja ketiga
orang muda ini tidak tahu bahwa Rajawali Sakti itu telah bertemu dengan Bu Pun
Su hingga tertolong jiwanya, karena kakek jembel ini yang melihat Sin-kim-tiauw
terbang tinggi di udara, lalu mengerahkan tenaga khikangnya memanggil, kemudian
ia mengobati luka di dada burung sakti itu yang selanjutnya mengikuti kakek
jembel itu.
Setelah menanti sampai senja, burung itu tidak
juga kembali, Ang I Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan
mencari Lin Lin ke arah barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu sebelah
barat.
Cin Hai melarikan Pek-gin-ma dengan cepat,
diikuti oleh burung bangau di atas kepalanya. Ia telah menjelajah di sekitar
daerah perbatasan Tiongkok dan Mongol untuk mencari jejak Lin Lin dan Yousuf,
akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya, tepat sebagaimana yang diduga oleh Kwee
An dan Ma Hoa ia lalu menuju ke barat oleh karena ia pun berpikir bahwa boleh
jadi Yousuf melarikan diri ke barat.
Pada suatu hari, ketika ia sedang menjalankan
kudanya perlahan sambil merenungkan nasibnya yang selalu terpisah dari Lin Lin,
ia merasa seakan-akan ada orang mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia
menoleh, akan tetapi ia tidak melihat bayangan seorang pun. Akan tetapi,
apabila ia melanjutkan perjalanannya, kembali ia merasa seakan akan sepasang
mata memandangnya dan sepasang kaki berjalan cepat dengan amat ringannya di
belakang kuda. Dengan tiba-tiba Cin Hai berpaling lagi, akan tetapi kembali ia
kecele, oleh karena ia tidak melihat ada orang. Setankah yang mengikutinya?
Atau orang yang berkepandaian tinggi? Seingatnya, yang mungkin mengikutinya
secara luar biasa cepatnya dan diam-diam, tidak ada orang lain kecuali suhunya
yang akan sanggup melakukannya. Akan tetapi tak mungkin suhunya mengikuti
dengan diam-diam. Cin Hai lalu melarikan kudanya cepat-cepat, akan tetapi
kembali ia mendengar tindakan kaki yang amat ringannya mengikutinya dengan
cepat pula. Ketika ia menengok, masih saja kosong di belakangnya, tidak nampak
seorang pun.
Sungguh mengherankan, dan dengan penasaran ia
lalu turun dari kudanya dan berjalan sambil menuntun Pek-gin-ma. Setelah
berjalan kaki, Cin Hai makin merasa yakin bahwa benar-benar ada orang yang
mengikutinya dari belakang dan orang ini tentu berkepandaian tinggi sekali oleh
karena selain tindakan kakinya yang ringan sekali, juga tiap kali menengok,
orang itu telah dapat melenyapkan diri dan bersembunyi dengan cara yang luar
biasa. Ia dapat menduga bahwa dengan mengandalkan ginkangnya yang sempurna,
tentu orang itu telah melompat ke belakang pohon pada saat ia menengok, oleh
karena di sepanjang jalan yang dilaluinya memang terdapat banyak sekali pohon-pohon
besar. Oleh karena ini, ia lalu mendapat akal. Ia sengaja menuntun kudanya
keluar dari tempat itu dan melalui jalan yang membelok ke kanan di mana tidak
terdapat sebatang pohon juga. Ia hendak melihat apakah orang itu masih berani
mengikutinya dan kalau ia menengok, orang itu hendak lari bersembunyi ke mana?
Benar saja, ketika ia melalui jalan yang tidak
berpohon, tindakan kaki yang mengikutinya lalu berhenti. Akan tetapi, alangkah
terkejut dan herannya ketika ia mendengar lagi suara tindakan kaki itu di
belakangnya. Alangkah beraninya orang itu, pikirnya penasaran dan secepat kilat
ia menggerakkan kepala berpaling memandang ke bekakang. Dan kini ia melihat
seorang laki-laki yang berpakaian indah sedang berjalan dengan seenaknya, sama
sekali tidak gugup atau hendak pergi bersembunyi ketika ia menengok!
“Sobat, kenapa kau mengikuti aku?” tanya Cin
Hai gemas.
Orang itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan
tinggi, mengandung ejekan seperti biasanya suara ketawa orang yang berwatak
sombong. Orang ini masih muda, paling banyak berusia tiga puluh tahun, tubuhnya
sedang, wajahnya tampan dan gagah, keningnya tinggi sedangkan pakaiannya
terdiri dari baju warna kuning dan celananya biru. Di luar bajunya masih
memakai sehelai mantel abu-abu yang indah sekali. Pada rambutnya yang hitam itu
nampak hiasan dari batu giok yang merupakan seekor naga terbang. Cin Hai merasa
heran karena setelah dekat, ia melihat betapa pada kedua pipi laki-laki ini
nampak warna kemerah-merahan yang tidak aseli, seakan-akan pipi itu dibedaki
dengan yanci dan bedak seperti biasa dipakai wanita bersolek!
Setelah tertawa nyaring laki-laki pesolek ini
lalu berkata,
“Aku berjalan di belakangmu atau di depanmu,
maupun di sebelahmu, apakah hubungannya dengan kau? Aku berjalan di atas kedua kakiku
sendiri dan jalan ini adalah jalan umum! Padamu tidak ada sesuatu yang menarik
hatiku, kecuali kuda putih ini dan burung bangau itu!”
Ia tertawa lagi sambil memandang dengan mata
mengandung ejekan. Biarpun hatinya mendongkol, akan tetapi Cin Hai dapat
merasakan juga bahwa ucapan orang ini ada benarnya juga. Ia berjalan sendiri
dan tidak mengganggunya, mengapa ia harus merasa penasaran dan gemas? Maka
timbul kejenakaannya dan ia menjawab,
“Peribahasa kuno menyatakan bahwa orang harus
berlaku waspada terhadap orang yang berada di belakangnya dan tak perlu takut
kepada orang yang berada di hadapannya! Kau selalu berjalan di belakang, bahkan
dengan cara bersembunyi, maka teringatlah aku akan peribahasa itu. Bukan
maksudku hendak menyebutmu pengecut, akan tetapi maksud peribahasa itu bahwa
orang harus berhati-hati terhadap orang yang selalu melakukan hal dengan
sembunyi-sembunyi karena orang demikian itu adalah seorang yang berbahaya dan
berwatak pengecut!”
Ucapan yang diputar-putar ini biarpun tidak langsung
memaki, akan tetapi telah dua kali Cin Hai menyebut orang di depannya itu
sebagai pengecut!
Laki-laki pesolek itu tidak menjadi marah,
hanya tersenyum dibuat-buat dan ia meloloskan sehelai tali yang banyak
bergantungan di ujung bajunya, lalu mempermainkan tali itu di antara jari
tangannya. “Kau pandai berkelakar anak muda, tapi tetap saja aku menganggap
bahwa kuda dan burungmu itu lebih baik daripadamu!”
Pada saat itu burung bangau melayang dari atas
melihat betapa Cin Hai berhadapan dengan orang asing, ia lalu menyambar ke atas
kepala orang itu.
“Ang-siang-kiam, jangan kurang ajar!” seru Cin
Hai, akan tetapi dengan tenang seakan-akan tidak diserang oleh seekor burung
bangau yang besar dan ganas, orang itu lalu menggerakkan tangannya ke arah burung
itu, kemudian ia menjura kepada Cin Hai sambil berkata,
“Ah, burungmu mulai membosankan aku, anak
muda. Selamat tinggal!”
Bukan main terkejut hati Cin Hai ketika merasa
betapa dari kedua tangan orang yang sedang menjura kepadanya itu, menyambar angin
pukulan yang hebat ke arah dadanya! Cin Hai buru-buru membungkukkan tubuhnya
dan balas menjura sambil mengerahkan khikangnya dan ketika dua tenaga mereka
bertemu keduanya melangkah mundur dua tindak! Ternyata bahwa tenaga mereka
berimbang. Orang itu memandang kepada Cin Hai dengan mulut tersenyum mengejek,
akan tetapi kedua matanya mengeluarkan pandangan kagum.
“Bagus, bagus, aku telah bertemu dengan
seorang ahli!” Tubuhnya lalu berkelebat dan sebentar saja lenyaplah ia dari
pandang mata Cin Hai. Pemuda ini merasa heran dan kagum, akan tetapi ketika
memandang ke arah burung bangau yang telah terbang turun, keheranannya berubah
kekagetan karena ia melihat betapa burung itu sedang bergulingan di atas tanah
dan mencakar-cakar paruhnya sendiri! Ketika Cin Hai menghampiri, ternyata bahwa
sepasang paruh burung yang seperti sepasang pedang merah itu telah terikat
menjadi satu oleh tali yang tadi dipegang oleh laki-1aki pesolek itu! Ia cepat
menggunakan pedangnya memutuskan tali yang mengikat paruh burung bangau, akan
tetapi ternyata bahwa tali itu kuat sekali dan tidak mudah diputuskan. Setelah
ia mengerahkan tenaga, barulah tali istimewa itu dapat diputuskan dan burung
itu lalu terbang tinggi dengan ketakutan! Cin Hai mengeluarkan keringat dingin.
Bukan main lihainya orang itu yang dengan sehelai tali dapat membuat burung itu
tidak berdaya. Orang yang dapat melontarkan tali hingga dapat melibat dan
mengikat burung yang sedang terbang menyambarnya, dapat dibayangkan betapa
tinggi ilmu silatnya! Masih untung bahwa orang itu tidak turun tangan dan
memusuhinya, kalau terjadi demikian belum tentu ia akan dapat mengalahkan lawan
yang sedemikian tangguhnya itu!
Teringatlah Cin Hai akan kata-kata suhunya
bahwa di dunia terdapat banyak sekali orang-orang pandai. Ia lalu menaiki
punggung Pek-gin-ma lagi dan bersuit memberi tanda kepada burung bangau untuk
melanjutkan perjalanan menuju ke barat.
Ketika ia telah melakukan perjalanan sampai
beberapa puluh li jauhnya, hari telah menjadi senja dan ia tiba di luar sebuah
kota yang temboknya telah terlihat dari situ. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki
kuda di sebelah belakang. Ia berhenti dan alangkah herannya ketika melihat
bahwa kira-kira seperempat li jauhnya di sebelah belakang, ada seorang
penunggang kuda yang juga menghentikan kudanya! Ia lalu menggerakkan Pek-gin-ma
lagi dan ternyata orang itu pun melarikan kudanya pula. Ketika ia berhenti
dengan tiba-tiba, orang itu pun berhenti.
“Kurang ajar!” kata Cin Hai sambil membalikkan
kudanya dan melarikan kuda mengejar orang yang mengikutinya itu! Ia sudah
merasa bosan untuk diikuti orang saja dan siapapun juga orang itu, ia akan
menghajarnya! Orang itu pun membalikkan tubuh kuda dan melarikan kudanya dengan
cepat dan Cin Hai makin merasa heran oleh karena kini ia dapat melihat bahwa
orang itu adalah seorang Turki yang tinggi kurus! Orang yang dikejarnya itu
melarikan kudanya ke dalam sebuah hutan dan ketika Cin Hai mengejar dan
memasuki hutan pula, tiba-tiba dari depan melayang belasan batang anak panah
yang kesemuanya mengarah dada, leher, dan perut!
“Pengecut!” ia berseru marah sambil
mempergunakan ujung lengan bajunya mengebut ke depan hingga berhasil memukul
jatuh semua anak panah, kemudian ia mengeprak kudanya agar berlari lebih cepat.
Akan tetapi tiba-tiba rumput yang diinjak oleh kudanya itu nyeplos ke bawah dan
tubuh Pek-gin-ma terjeblos ke dalam lubang perangkap yang besar dan yang
ditutup oleh rumput-rumput hijau! Cin Hai cepat melompat dari kudanya hingga
tidak ikut terjeblos ke dalam lubang itu. Ia mendengar kudanya meringkik ngeri
dan ketika ia memandang ke dalam lubang, ternyata bahwa Pek-gin-ma telah
tertusuk oleh tiga batang tombak yang sengaja dipasang di dalam lubang itu!
Melihat tubuh kudanya berkelojotan, dengan marah dan hati penuh rasa iba, Cin
Hai lalu menarik keluar pedangnya dan menusuk punggung kuda itu ke arah
jantungnya hingga kuda itu mati seketika itu juga! Kalau ia tidak melakukan
tikaman ini, kuda itu pasti akan mati, akan tetapi harus menderita lebih dulu
beberapa lamanya. Kemudian, Cin Hai memburu ke depan hedak mencari orang Turki
tadi, akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang di dalam hutan itu! Ia
mencari-cari terus dan berteriak-teriak memaki-maki akan tetapi setelah hari
sudah mulai gelap dan belum juga ia mendapatkan musuh yang curang itu, terpaksa
ia pergi meninggalkan hutan dengan hati marah sekali.
Burung bangau yang terbang di atas hutan itu
pun tidak melihat adanya musuh dan burung ini tidak berani turun seakan-akan ia
masih merasa gentar menghadapi lawan yang tadi telah secara aneh dapat mengikat
paruhnya!
Cin Hai melanjutkan perjalanan menuju ke kota
di depan itu sambil berlari cepat. Hatinya gemas sekali oleh karena ia merasa
telah dipermainkan orang. Kota yang dimasukinya adalah sebuah kota yang cukup
ramai dan di situ ia melihat banyak orang-orang Mongol, serta orang-orang dari
suku bangsa lain.
Setelah mencari kamar di sebuah rumah
penginapan, Cin Hai lalu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat dan sekalian
mencari jejak Lin Lin, juga ingin sekali bertemu dengan orang Turki tinggi
kurus yang dilihatnya tadi. Ia melihat sebuah rumah makan besar yang penuh
tamu, lalu masuk memesan makanan. Pelayan membawanya ke loteng, oleh karena di
bagian bawah telah penuh. Ketika ia memasuki tangga loteng, tiba-tiba ia
mendengar percakapan tamu di loteng itu yang membuatnya segera menahan tindakan
kakinya dan mendengarkan dengan teliti. Seorang di antara tamu-tamu itu telah
membicarakan dan menyebut nama Yousuf!
“Yousuf sedang sakit dan tak berdaya kalau
kita menyerbu dengan tiba-tiba dan berbareng, apa sukarnya menundukkan gadis
itu?”
Hanya sedemikianlah yang dapat didengar oleh
Cin Hai, oleh karena ketika pelayan muncul, percakapan itu lalu dilakukan dalam
bahasa Turki yang ia tak mengerti sama sekali. Ia berjalan menundukkan muka, akan
tetapi ia memperhatikan mereka. Ternyata bahwa ruang atas itu kosong dan hanya
terdapat empat orang duduk mengelilingi sebuah meja penuh mangkok berisi
hidangan. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki berbangsa Turki,
sedangkan yang tiga orang lainnya adalah seorang nenek bongkok, seorang kakek
bersorban, dan seorang pula berpakaian seperti tosu. Mereka ini bukan lain
ialah Giok Kwat Moli si Nenek Bongkok, Wai Sauw Pu si Kakek Bersorban, dan, Lok
Kun Tojin, tiga orang yang dulu pernah bertemu dan bertempur melawan Ang I
Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa! Akan tetapi Cin Hai belum pernah melihat mereka.
Ketiga orang tua itu ternyata pandai
bercakap-cakap dalam bahasa Turki hingga Cin Hai hanya duduk mendengarkan penuh
perhatian dan biarpun tidak mengerti sama sekali, akan tetapi beberapa kali ia
mendengar nama Yousuf disebut-sebut, hingga diam-diam ia berdebar girang. Tadi
mereka menyebut seorang gadis yang hendak mereka keroyok, bukankah gadis yang
dimaksudkan itu Lin Lin adanya?
Cin Hai tidak tahu bahwa keempat orang itu
merasa mendongkol dan marah karena percakapan mereka terganggu oleh
kedatangannya, oleh karena biarpun mereka mengerti bahasa Turki, akan tetapi
mereka lebih suka bercakap-cakap dalam bahasa Han tanpa didengar oleh telinga
lain orang. Tiba-tiba mereka itu bicara dalam bahasa Han lagi, akan tetapi
pembicaraan mereka kini telah berubah dan Cin Hai mendengar tosu itu berkata
dengan keras,
“Memang sugguh menyebalkan orang-orang
sekarang, terutama anak-anak mudanya. Mereka bisanya hanya bersolek dan menjual
lagak belaka. Yang paling kubenci adalah pemuda-pemuda yang berpakaian
seakan-akan ia seorang sasterawan pandai, akan tetapi sebetulnya dia tak
mengerti apa-apa. Kalau melihat orang pemuda berpakaian pelajar, timbul
keinginanku untuk mencekik lehernya!” Tiga orang kawannya tertawa lebar dan
ketika Cin Hai memandang ternyata bahwa dengan terang-terangan mereka berempat
sedang memandang kepadanya. Ia maklum bahwa empat orang itu tentu sengaja
menghinanya oleh karena ia memang mengenakan pakaian sebagai seorang pelajar
dan pedangnya disembunyikan ke dalam bajunya yang lebar dan panjang. Hanya ia
belum mengerti mengapa mereka itu menghinanya tanpa sebab.
“Yang menyebalkan ialah bahwa mereka itu tidak
insyaf bahwa kehadiran mereka tidak disukai orang. Dan sama sekali tidak
mengerti bahwa kehadiran mereka mengganggu percakapan orang lain!” terdengar
suara nenek bongkok dan Cin Hai mengerti bahwa mereka itu merasa terganggu,
maka berusaha menakut-nakutinya agar ia segera berpindah tempat ke ruang bawah!
Akan tetapi ia tidak peduli dan ketika masakan yang dipesannya datang, ia lalu
makan seakan-akan di ruang atas itu tidak terdapat lain orang kecuali dia
sendiri!
Tiba-tiba tosu bercambang bauk itu
membersihkan kerongkongannya dengan suara yang menjijikkan sekali. Hal ini
dilakukan berkali-kali dibarengi suara tertawa dari kawan-kawannya hingga Cin
Hai hampir tak dapat menahan sabar lagi. Lenyaplah nafsu makannya karena merasa
jijik dan sambil menoleh dan meletakkan sumpitnya, ia berkata,
“Heran sekali, mengapa orang-orang tua dan
pendeta-pendeta di sini demikian tidak tahu kesopanan dan bersikap seperti
orang-orang liar?”
Ucapan Cin Hai ini membuat Wai Sauw Pu, kakek
bersorban itu, marah sekali. Ia bangun berdiri dan tubuhnya yang tinggi besar
itu membuat ia nampak garang sekali. Tangan kanannya menyambar sepasang
sumpitnya dan sekali ia menggerakkan tangan, sebatang sumpit itu menyambar dan
menancap di meja Cin Hai sampai setengahnya lebih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar