Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Minggu, 06 Maret 2016

PENDEKAR BODOH KPH 5 301 - 400

SAMBUNGAN 300 ....

 Melihat gerakan kakek tua renta itu, terkejut Kwee An dan Cin Hai oleh karena gerakan kakek ini benar-benar luar biasa hebatnya hingga kedua pengeroyoknya terdesak mundur terus. Dan ketika Cin Hai memandang tegas, ternyata bahwa kakek tua renta itu adalah Kiam Ki Sianjin sedangkan kedua pengeroyoknya adalah Eng Yang Cu guru Kwee An dan Nelayan Cengeng sendiri.

 Kedua pemuda itu yang melihat betapa Eng Yang Cu dan Kong Hwat Lojin terdesak hebat oleh ilmu silat Kiam Ki Sianjin yang hebat luar biasa, segera melompat turun.

 “Kwee An, jangan kau ikut turun tangan, biarlah aku sendiri menghadapi kakek tua renta itu. Ia adalah supek dari Hai Kong Hosiang.”

 Kwee An kaget sekali dan menjadi jerih. Kalau Hai Kong Hosiang saja telah begitu hebat, apa lagi supeknya.

 Cin Hai melompat masuk ke kalangan pertempuran dan berkata dengan suara hormat kepada Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu,

 “Jiwi Locianpwe, biarkan teecu menghadapi setan ini, dan kalau teecu tidak dapat menandinginya, barulah jiwi berdua maju memberi hajaran kepadanya.”

 Sebetulnya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng telah terdesak sekali, dan kata-kata yang diucapkan oleh Cin Hai ini terang menandakan bahwa pemuda ini pandai membawa diri dan menghormat mereka maka keduanya lalu melompat mundur.

  

 Kiam Ki Sianjin!” kata Cin Hai dengan tenang, “dulu Suhuku Bu Pun Su telah mengampuni kau, maka apakah sekarang kau yang begini tua ini masih mau memamerkan kepandaian di depan mata umum?”

 Kiam Ki Sianjin memandang kepada Cin Hai dengan sepasang matanya yang telah tua akan tetapi masih awas itu, lalu ia tertawa cekikikan dan tangan kanannya membuat gerakan merendah seperti hendak berkata bahwa Cin Hai masih kecil dan masih kanak-kanak, sedang tangan kirinya menuding keluar. Dengan gerakan ini Kiam Ki Sianjin hendak berkata bahwa Cin Hai yang masih muda dan masih kanak-kanak itu jangan datang mengantar kematian, lebih baik keluar dan pergi saja sebelum terlambat!

 “Kiam Ki Sianjin, tak perlu kau menggertak. Keluarkanlah kepandaianmu kalau kau memang gagah!” Cin Hai menantang akan tetapi sikapnya tetap tenang dan waspada. Kiam Ki Sianjin menjadi marah sekali, dan sambil mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, ia lalu menerjang maju dengan hebat sekali!

 Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu adalah tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, akan tetapi menghadapi Kiam Ki Sianjin, mereka berdua terdesak hebat setelah bertempur dua ratus jurus lebih, maka kini mereka memandang ke arah Cin Hai dengan penuh kekuatiran. Mereka maklum bahwa sebagai murid tunggal Bu Pun Su, pemuda itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi sekali, akan tetapi, tetap saja mereka merasa ragu-ragu dan cemas oleh karena kini pemuda itu menghadapi seorang lawan yang jauh lebih berpengalaman dan yang telah mereka rasakan sendiri kehebatan ilmu kepandaiannya!

 Akan tetapi, mereka menjadi kagum sekali ketika melihat betapa dengan lincahnya Cin Hai dapat mengimbangi ginkang dari kakek itu. Bahkan ketika melihat betapa pemuda itu berani mengadu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, tak terasa pula Nelayan Cengeng tertawa terbahak-bahak sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya. Ini adalah tanda bahwa Nelayan Tua ini merasa gembira sekali. Tadi ia pernah beradu lengan dengan Kiam Ki Sianjin, akan tetapi adu lengan yang sekali itu saja sudah cukup membuatnya kapok oleh karena betapa lengannya sakit sekali dan seakan-akan ada puluhan jarum menusuk-nusuk ke dalam daging lengannya! Kini ia melihat betapa Cin Hai berani beradu tenaga dengan kakek sakti itu tanpa merasa sakit dan bahkan agaknya Kiam Ki Sianjin tidak saja nampak terkejut, akan tetapi juga terdorong sedikit tiap kali keduanya mengadu tenaga dalam!

 Sementara itu, Kwee An memandang pertempuran hebat itu dengan bengong dan anak muda ini merasa heran sekali mengapa kini kepandaian Cin Hai agaknya telah bertambah berlipat ganda! Tadinya Kwee An merasa bangga bahwa ia telah menerima pelajaran ilmu silat dari ayah angkatnya, yaitu Hek Mo-ko dan diam-diam ia mengharapkan bahwa kini tingkat ilmu kepandaiannya sudah menyusul kepandaian Cin Hai. Tidak tahunya kepandaian Cin Hai kini pun meningkat luar biasa sekali dan bahkan ia merasa bahwa kepandaian pemuda ini sekarang berada di tingkat yang lebih tinggi daripada kepandaian Hek Pek Mo-ko sendiri. Tentu saja mereka ini tidak tahu bahwa Cin Hai telah mengeluarkan llmu Silat Pek-in-hoatsut atau Ilmu Silat Awan Putih! Kedua lengan tangannya mengeluarkan uap putih yang menimbulkan tenaga hebat sekali hingga lweekang yang tinggi dari Kiam Ki Sianjin masih saja tak kuat menghadapi ilmu pukulan ini!

 Kiam Ki Sianjin selama hidupnya satu kali menerima tandingan yang tinggi ilmu kepandaiannya dari kepandaiannya sendiri, yaitu ketika ia berhadapan dengan Bu Pun Su. Sudah tiga kali selama hidupnya ia bertemu dengan Bu Pun Su dan tiap kali bertemu ia selalu dipermainkan oleh kakek jembel itu. Kini baru pertama kalinya ia menghadapi seorang pemuda yang dapat menandingi kelihaiannya hingga tentu saja ia menjadi marah, penasaran dan gemas sekali! Ia tadi ketika menghadapi Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng walaupun dapat mendesak namun agak sukar merobohkan dua orang lawan yang bukan sembarang orang itu dan yang telah termasuk tingkat tokoh besar dalam lapangan ilmu silat, maka ia telah mengerahkan tenaganya, hingga membuat tubuhnya yang telah tua sekali itu menjadi lelah luar biasa. Kini menghadapi Cin Hai yang ternyata lebih lihai lagi daripada kedua kakek itu, ia benar-benar merasa terkejut dan marah. Namanya yang telah terkenal menjulang tinggi sampai ke langit itu akan runtuh kalau ia tidak dapat mengalahkan pemuda ini. Jika diingat bahwa pemuda ini adalah murid Bu Pun Su, maka ia makin penasaran dan ingin membalas kekalahannya yang dulu-dulu dari Bu Pun Su kepada muridnya ini.

 Karena marahnya, Kiam Ki Sianjin lalu melupakan sumpahnya sendiri dan tiba-tiba ia mencabut keluar sebatang pedang yang aneh bentuknya. Pedang ini tipis sekali dan seakan-akan lemas tak bertenaga, akan tetapi, di bawah ujungnya yang runcing terdapat dua buah kaitan di kanan-kiri dan pedang ini mengeluarkan cahaya berkilauan saking tajamnya. Ketika beberapa tahun yang lalu ia merasa bahwa dirinya telah amat tua dan telah banyak darah ia alirkan melalui pedang ini, ia merasa menyesal sekali dan takut untuk menerima hukuman dari semua dosanya. Maka ia lalu bersumpah takkan mempergunakan pedang ini untuk membunuh orang lagi. Akan tetapi, oleh karena sekarang ia merasa marah sekali, ia tidak ingat lagi akan sumpah itu dan mencabut keluar senjatanya yang hebat.

 Cin Hai terkejut melihat gerakan ini. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan Kiam Ki Sianjin dan tadi pun ia hanya ingin menolong Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saja dan hendak mencoba kepandaian kakek luar biasa ini. Sekarang melihat betapa kakek itu mencabut keluar pedangnya, maka tahulah bahwa kakek itu telah marah sekali dan bermaksud mengadu jiwa.

  

 “Kiam Ki Sianjin!” kata Cin Hai keras-keras, “kita tak pernah saling bermusuhan hingga tak perlu mengadu jiwa!” Kiam Ki Sianjin salah mengerti dan menduga bahwa pemuda itu merasa jerih melihat pedangnya, maka sambil tertawa cekikikan ia lalu menerjang maju dengan cepatnya.

 “Baiklah, agaknya kau hendak membela muridmu yang durhaka Hai Kong Hosiang itu!” kata Cin Hai dan secepat kilat pemuda ini pun lalu mengelak dan mencabut keluar pedangnya, Liong-coan-kiam. Karena maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini hebat sekali dan ia takkan dapat mengambil kemenangan apabila ia hanya mengandalkan pengertian pokok persilatan dan mengikuti gerakan serangan orang tua itu tanpa membalas dengan serangan berbahaya, maka ilmu pedang yang ia ciptakan bersama Ang I Niocu dan yang telah diyakinkan sempurna itu, pedangnya bergerak-gerak aneh bagaikan terbang ke udara dan tiada ubahnya dengan seekor naga sakti keluar dari surga menyambar-nyambar ke arah Kiam Ki Sianjin dengan garangnya.

 Akan tetapi, Kiam Ki Sianjin benar-benar hebat dan luar biasa sekali ilmu silatnya. Biarpun ia merasa terkejut melihat ilmu pedang yang seumur hidupnya belum pernah disaksikan itu, namun pengalamannya membuat ia dapat menduga ke mana arah tujuan pedang Cin Hai dan dapat menjaga diri dengan baiknya serta dapat pula melancarkan serangan balasan yang tak kalah hebatnya.

 Kedua orang ini bertempur mengadu ilmu sampai tiga ratus jurus lebih dan para penonton telah merasa pening karena terpengaruh oleh gerakan pedang yang dimainkan secara hebat itu. Bahkan Kwee An sampai menjadi merah matanya karena tidak tahan melihat menyambarnya sinar pedang, juga para perwira yang tadinya berseru-seru kini tidak bergerak dan memandang dengan muka pucat. Banyak di antara mereka yang mengalirkan air mata karena mata mereka terasa pedas sekali sehingga terpaksa mereka mengalihkan pandangan matanya dan tidak langsung memandang ke arah pertempuran.

 Hanya Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng saja yang masih sanggup menonton dengan tertariknya, akan tetapi juga kedua orang ini agak pucat karena maklum bahwa sekarang sedang berlangsung pertandingan tingkat tinggi yang langka terlihat. Mereka makin kagum saja kepada Cin Hai yang bagaikan sebuah batu mustika, baru sekarang tergosok dan kelihatan betul-betul sinar dan nilainya. Kedua tokoh besar ini diam-diam menghela napas saking tertarik dan kagumnya. Biarpun di luarnya tidak menyatakan perubahan, namun sebetulnya Kiam Ki Sianjin telah merasa lelah sekali dan rasa penasaran dan marah telah berkobar di dadanya yang membuat seluruh tubuhnya terasa panas sekali. Inilah kesalahannya dan ia pun maklum akan hal ini, akan tetapi ia tidak berdaya. Nafsu marah dan penasaran yang sudah lama dapat ditenggelamkan di dasar hatinya, kini tiba-tiba melonjak dan timbul pula dengan serentak, maka tentu saja tangannya menjadi makin lemah.

 Baiknya Cin Hai memang tidak bermaksud membunuh atau melukainya, karena betapapun juga, pemuda ini merasa kasihan melihat kakek yang amat tua hingga merupakan rangka hidup ini. Ia dapat menduga bahwa kakek ini telah mulai lelah, maka ia mendesak makin hebat dengan maksud agar kakek ini dapat menyerah karena kelelahannya.

 Benar saja, desakannya telah membuat Kiam Ki Sianjin merasa lelah sekali. Tubuhnya telah penuh keringat dan napasnya mulai terengah-engah hingga membuat gerakannya menjadi lambat. Pada suatu kesempatan yang baik, tiba-tiba pedang Cin Hai menusuk ke arah leher kakek itu. Kiam Ki Sianjin tiba-tiba melakukan gerakan nekad sekali dan tanpa mempedulikan tikaman pedang Cin Hai, ia membalas menikam ke arah dada Cin Hai. Ternyata bahwa dalam keadaan putus asa, kakek ini hendak mengajak mati bersama.

 Cin Hai terkejut sekali. Cepat ia menarik kembali pedangnya dan dihentakkan untuk menangkis pedang lawannya. Kiam Ki Sianjin merasa betapa pedang pemuda itu menempel keras pada pedangnya dan ia pun lalu mengerahkan tenaga dalam dan mengait pedang Cin Hai dengan kaitan pedangnya. Kedua lawan tua dan muda ini saling mengerahkan tenaga lweekang dan pedang mereka saling melengket bagaikan menjadi satu. Keduanya tidak bergerak, saling pandang bagaikan dua buah patung, tangan kanan memegang pedang yang saling menempel, tangan kiri diacungkan ke atas dengan jari-jari tangan terbuka seakan-akan menerima kekuatan dari atas. Tiba-tiba terdengar suara “krak!” yang keras sekali dan pedang di tangan Kiam Ki Sianjin telah patah menjadi dua. Dan secepat kilat Cin Hai melompat mundur dan berjungkir balik sampai lima kali di udara untuk menghindarkan diri dari serangan tenaga dalam kakek luar biasa itu. Ternyata ketika tadi ia mengerahkan tenaga dalamnya sampai sepenuhnya, tiba-tiba kakek itu menarik kembali tenaganya hingga pedangnya menjadi patah. Cin Hai terkejut dan menyangka bahwa penarikan tenaga ini adalah siasat yang hendak digunakan untuk memukulnya selagi ia kehabisan tenaga, maka ia lalu berjungkir balik di udara.

 Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa sebenarnya kakek itu telah kehabisan napas dan tenaga. Ia telah amat tua dan tenaganya banyak berkurang maka sekarang menghadapi Cin Hai setelah tadi melawan keroyokan Eng Yang Cu dan Nelayan Cengeng, ia tidak-kuat lagi dan tenaganya runtuh. Ketika semua orang memandang ternyata Kiam Ki Sianjin masih berdiri dengan pedang potong di tangan, tanpa bergerak sedikit pun dan kedua matanya masih meram.

  

 Cin Hai mendekati dan melihat keadaan Kiam Ki Sianjin, ia menjadi terkejut dan menyesal, karena ia tahu bahwa kakek itu telah putus nyawanya karena serangan dari dalam. Ini hanya terjadi kalau orang terlalu marah.

 Seorang perwira menghampiri tubuh Kiam Ki Sianjin yang masih berdiri diam dan hendak menariknya.

 “Jangan!” teriak Cin Hai dan maju melompat hendak mencegah.

 Akan tetapi terlambat. Ketika perwira itu memegang lengan Kiam Ki Sianjin dan hendak menolong dan menuntunnya, tiba-tiba ia menjerit ngeri dan terjengkang ke belakang bagaikan mendapat pukulan hebat. Sementara itu tubuh Kiam Ki Sianjin lalu roboh ke depan dalam keadaan masih kaku.

 Perwira itu roboh dan tewas di saat itu juga oleh karena ia terkena hawa dari tenaga dalam yang masih terkumpul di lengan tangan kakek itu dan biarpun ia telah mati, akan tetapi tubuhnya masih hangat dan hawa tenaga keluar dan menghantam perwira itu hingga binasa.

 Dengan menyesal, Cin Hai lalu mengajak kawan-kawannya lari dari tempat itu untuk menghindari pertempuran-pertempuran selanjutnya, oleh karena mereka maklum bahwa kematian kakek ini tentu takkan dibiarkan saja oleh para perwira tadi!

 Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu tiada habisnya memuji-muji kelihaian Cin Hai yang diterima dengan ucapan merendah oleh pemuda ini. Juga Kwee An, biarpun tidak mengucapkan sesuatu, namun pandangan matanya kepada pemuda itu berubah penuh hormat dan bangga serta memandang tinggi.

 Nelayan Cengeng lalu menceritakan bahwa dalam usahanya mencari jejak Lin Lin dan Ma Hoa, di jalan ia bertemu dengan Eng Yang Cu yang telah dikenal baik. Eng Yang Cu mendengar tentang penderitaan yang dialami oleh muridnya, maka mereka berdua merasa marah sekali kepada Hai Kong Hosiang lalu mencarinya ke kota raja untuk mengedu kepandaian dan membalas sakit hati keluarga Kwee An. Akan tetapi, ternyata bahwa mereka tak dapat menemukan Hai Kong Hosiang, sebaliknya bertemu dengan Kiam Ki Sianjin yang menyerang mereka dengan hebat ketika mendengar bahwa mereka datang hendak membunuh Hai Kong Hosiang!

 Setelah menceritakan pengalaman masing-masing, Cin Hai lalu menceritakan kepada Eng Yang Cu tentang ikatan jodoh antara Kwee An dan Ma Hoa dan minta pertimbangan orang tua ini. Cin Hai yang tahu bahwa Kwee An tentu tidak berani bicara sendiri, telah mewakili pemuda itu. Eng Yang Cu tertawa bergelak-gelak ketika mendengar ini.

 “Ha, ha, ha! Aku sudah tahu tentang hal ini dan Nelayan Cengeng telah berunding denganku. Tentu saja Pinto merasa bersyukur sekali, dan pinto yakin bahwa murid Si Cengeng ini tentu seorang nona yang baik asal saja sifat cengeng dari gurunya tidak menurun kepadanya!”

 Nelayan Cengeng tertawa bergelak.

 “Eng Yang Cu, begitulah kalau orang selamanya membujang! Tidak tahu akan sifat wanita. Wanita manakah yang tidak cengeng? Ha, ha, ha!”

 Ketika mereka berempat sedang mengobrol gembira, tiba-tiba terdengar suara yang datangnya dari jauh sekali akan tetapi cukup jelas,

 “Orang Turki dan kedua nona berada di bukit utara dekat tapal batas!”

 Mendengar suara tanpa rupa ini, Cin Hai segera berlutut memberi hormat ke arah suara itu.

 “Siapakah yang bicara dan memiliki khikang mujijat itu?” tanya Eng Yang Cu.

 “Suhu sendiri yang memberi tahu bahwa mereka berada di utara!” kata Cin Hai yang lalu mengangguk-anggukkan kepala menghaturkan terima kasih kepada gurunya.

 Nelayan Cengeng dan Eng Yang Cu saling pandang dan mereka ini kagum sekali akan kelihaian Bu Pun Su yang telah dapat mengirim suara dari tempat jauh. Kwee An merasa girang sekali dan setelah kedua orang tua itu berjanji hendak menghadiri perjodohan mereka, keduanya lalu pergi ke lain jurusan. Kwee An dan Cin Hai dengan hati girang lalu mempergunakan ilmu lari cepat untuk menuju ke utara, di mana kekasih mereka telah menanti dengan hati rindu!

 Kwee An dan Cin Hai yang melakukan perjalanan dengan cepat sekali, beberapa hari kemudian telah tiba di pegunungan di utara dekat tapal batas. Mereka mulai mencari-cari hingga akhirnya tibalah mereka di dalam sebuah dusun di dekat lereng tempat tinggal Yousuf. Ketika mereka bertanya kepada penduduk kampung tentang rumah seorang Turki dengan dua orang nona Han, mereka segera disambut oleh kepala kampung itu yang juga seorang Han dan berpakaian sebagai pembesar kampungan. Orang ini bertubuh pendek dan ramah tamah sekali. Ia menyatakan kenal baik kepada Yousuf karena sering kali saling mengunjungi dan bercakap-cakap.

 Bukan main girangnya hati Kwee An dan Cin Hai yang menjadi berdebar ketika mengetahui bahwa rumah kekasih mereka telah dekat di depan! Kepala kampung yang baik hati dan ramah tamah itu bahkan lalu mengantar mereka menuju ke rumah Yousuf yang berada di lereng sebelah kiri dusun itu.

  

 Ketika mereka telah melihat rumah kecil indah yang dikelilingi bunga-bunga itu dari jauh tiba-tiba dari atas bukit yang tak jauh dari situ terdengar suara pekik burung merak yang nyaring sekali. Cin Hai teringat akan Nelayan Cengeng tentang Merak Sakti, maka hatinya tertarik sekali dan ia lalu berkata kepada Kwee An,

 “Saudara Kwee An, kau pergilah ke sana dulu dengan Chungcu (Kepala kampung) aku ingin sekali melihat burung aneh itu.”

 Kwee An tersenyum dan ia maklum bahwa selain tertarik hatinya oleh burung merak itu, juga Cin Hai hendak menyembunyikan rasa girang dan malunya karena hendak bertemu dengan Lin Lin!

 “Akan tetapi jangan terlalu lama,” katanya. “Aku tidak tanggung jawab kalau adikku marah-marah!”

 Cin Hai mendelikkan mata dan melompat cepat ke arah puncak bukit itu hingga membuat kepala kampung merasa heran dan kagum sekali! Kwee An sambil tersenyum-senyum melanjutkan perjalanan menuju ke rumah dengan hati berdebar.

 Kebetulan sekali, ketika mereka tiba di dekat rumah, Kwee An melihat seorang gadis sedang menyirami kembang mawar hutan yang indah dan sedang mekar dengan segarnya. Gadis ini cantik jelita dan mengenakan pakaian titik-titik hijau dengan leher berwarna merah. Rambutnya yang hitam panjang itu disanggul ke belakang dan agak kusut karena tertiup angin gunung, akan tetapi kekusutan rambutnya ini bahkan menambah kemanisannya. Kwee An tiba-tiba berhenti dan memberi isyarat kepada kepala kampung itu agar tak mengeluarkan suara. Kemudian ia menghampiri gadis itu dengan meringankan tindakan kakinya dari belakang. Setelah berada dekat di belakang gadis itu, ia telah tak dapat menahan lagi perasaan girang dan debaran jantungnya yang mengeras, lalu mengeluarkan panggilan yang diucapkan dengan bibir gemetar,

 “Hoa-moi...”

 Ma Hoa cepat menengok sambil berdiri. Matanya yang indah dan lebar terbelalak dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah. Tak terasa lagi tempat air yang tadi dipegangnya terjatuh ke atas tanah dan hanya dapat berkata,

 “Kau... kau... An-ko...” Kemudian, setelah dua pasang mata itu saling bertemu dan saling pandang dalam seribu satu bahasa dan sinar mata itu mewakili hati masing-masing dan melepas kerinduan dengan pandangan mesra, Ma Hoa menundukkan kepalanya, lalu berkata perlahan,

 “Koko, mengapa baru sekarang kau datang?” Ucapan ini biarpun terdengar seakan-akan gadis itu menegur, akan tetapi bagi telinga Kwee An merupakan sebuah pengakuan bahwa gadis itu telah lama merindukannya!

 “Moi-moi, maafkanlah bahwa baru sekarang aku dapat menemukan tempat ini. Kau makin cantik dan manis, hingga bunga ini nampak buruk berada di dekatmu!” Ma Hoa mengerling dengan tajam dan bibirnya tersenyum senang, karena wanita manakah yang takkan merasa bahagia dan bangga apabila mendapat pujian dari kekasihnya?

 Dalam kebahagiaan pertemuan ini, Kwee An sama sekali lupa bahwa ia datang dengan kepala kampung yang kini berdiri menjauhinya dan duduk di atas sebuah batu karena merasa jengah dan malu kalau harus mendekati mereka. Juga Kwee An lupa untuk bertanya tentang Lin Lin atau Yousuf. Sebaliknya Ma Hoa juga sama sekali tidak ingat untuk bertanya tentang Cin Hai atau orang-orang lain. Pendek kata, pada saat itu, mereka merasai bahwa di atas dunia ini hanya ada mereka berdua saja.

 Tiba-tiba, ketika kedua teruna remaja ini sedang bercakap-cakap dengan suara bisikan mesra, terdengar bentakan keras dari dalam rumah kecil itu.

 “Ada tamu datang! Silakan kau minum air teh, anak muda!” Dan, berbareng dengan bentakan ini tubuh Yousuf muncul dari pintu dan orang Turki yang berilmu tinggi ini lalu melempar sebuah poci yang tadi dipegangnya ke arah Kwee An! Kepala kampung yang tadi duduk, melihat hal ini lalu bangkit berdiri dan memandang dengan hati kuatir. Ia tahu akan keanehan sikap orang Turki ini, dan pernah ia mendengar tentang lemparan poci teh dan mengerti pula akan maksudnya oleh karena dulu pernah ada beberapa orang pemuda kampung yang tertarik oleh kecantikan kedua orang gadis itu dan datang pula ke situ. Akan tetapi, mereka ini pun mendapat sambutan lemparan poci teh yang membuat mereka lari tunggang langgang, oleh karena mereka tak sanggup menerima poci yang menyambar mereka bagaikan seekor burung yang dapat beterbangan dan bergerak-gerak!

 Ternyata bahwa Yousuf menggunakan poci teh itu untuk mencoba pemuda yang berani mendekati Ma Hoa atau Lin Lin dan lemparan poci ini adalah semacam kepandaian sihir yang digerakkan oleh tenaga khikang.

 Melihat menyambarnya poci teh ke arah kepalanya, Kwee An terkejut sekali karena ia telah merasa datangnya serangan angin sambaran benda itu.

 Namun Kwee An tidak saja telah memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, bahkan kini setelah lama melakukan perjalanan dengan Cin Hai, ia mendapat petunjuk-petunjuk berharga dari pemuda itu dan kepandaiannya telah mengalami banyak kemajuan. Selain itu, Cin Hai juga memberi petunjuk tentang penyempurnaan latihan lweekangnya hingga dalam hal tenaga lweekang dan khikang, Kwee An juga mendapat kemajuan pesat.

  

 Melihat datangnya poci teh yang menyambar, Kwee An lalu mengulur tangan kanannya dan ia makin terkejut ketika merasa betapa poci itu terdorong oleh tenaga yang kuat sekali. Akan tetapi ia dapat mengerahkan lweekangnya dan menerima poci teh dengan baik, bahkan air teh yang di dalam poci sama sekali tidak tumpah keluar!

 “Bagus, bagus! Ma Hoa, siapakah pemuda gagah ini?” tanya Yousuf yang segera melangkah menghampiri.

 “Lekas kauminum air teh dari poci. Ini adalah Yo-peh-peh,” bisik Ma Hoa. Kwee An tanpa ragu-ragu melakukan apa yang dikatakan oleh kekasihnya itu dan ia minum air teh dari mulut poci begitu saja tanpa cawan. Yousuf makin girang dan tertawa bergelak-gelak.

 “Yo-peh-peh, ini adalah An-koko yang seringkali kau dengar namanya itu.”

 Yousuf terkejut dan tahu bahwa ia tadi telah salah sangka. Maka cepat ia menghampiri dan membungkuk. “Maaf, Kwee-taihiap, aku tua bangka sembrono telah berlaku kurang ajar.”

 Akan tetapi, Kwee An dengan hormat sekali menjura setelah memberikan poci teh kepada kekasihnya dan berkata, “Yo-peh-peh, setelah Hoa-moi menyebut kau Peh-peh, maka kau bukanlah orang lain dan perkenankanlah aku menyebut Peh-peh pula kepadamu yang baik hati dan berkepandaian tinggi!”

 Yousuf makin girang melihat sikap yang sopan santun dari pemuda ini, maka ia segera maju memeluknya. “Bagus, Ma-Hoa tidak keliru memilih. Memang Nelayan Cengeng itu pandai memilih jodoh muridnya!” Ia lalu melihat kepala kampung itu dan segera memanggilnya, dan beramai-ramai mereka lalu masuk ke dalam rumah.

 “Di mana Lin Lin?” tanya Kwee An dan baru sekarang ia teringat kepada adiknya. Ma Hoa memandangnya dengan mata berseri lalu menjawab,

 “Entahlah, dia semenjak tadi keluar dengan Sin-kong-ciak. Sebentar lagi tentu datang. Dan di manakah adanya Si-taihiap? Mengapa ia tidak datang bersamamu?”

 “Kebetulan sekali! Dia tadi mendengar suara kong-ciak dan pergi mencarinya, tentu ia telah bertemu dengan Lin Lin!”

 Ketika Cin Hai lari cepat ke arah puncak di mana ia mendengar burung merak memekik nyaring, ia mendengar lagi pekik burung merak itu yang agaknya sedang marah. Cin Hai mempercepat larinya dan ketika ia tiba di puncak, ia melihat pertempuran yang hebat antara seekor burung merak yang indah bulunya dan besar sekali melawan seorang hwesio tinggi besar. Alangkah kaget dan girangnya ketika melihat bahwa hwesio itu bukan lain Hai Kong Hosiang!

 Ternyata bahwa hwesio jahat ini dapat mengetahui tempat tinggal Yousuf, Lin Lin dan Ma Hoa. Maka timbullah niatnya hendak mengganggu gadis itu, terutama Lin Lin oleh karena ia tahu bahwa gadis ini adalah puteri Kwee-ciangkun yang menjadi musuh besarnya! Demikianlah, ketika ia mengintai ke bukit itu, kebetulan sekali ia melihat Lin Lin dan burung merak maka segera ia muncul untuk menangkap Lin Lin. Tidak dinyana, burung merak itu dengan ganas sekali telah menyerangnya dan sebentar saja manusia dan burung ini bertempur sengit.

 Ketika Cin Hai tiba di situ, burung merak sedang menyambar-nyambar dari atas dan Hai Kong Hosiang melawan dari bawah. Pertempuran berjalan ramai sekali, akan tetapi ketika Cin Hai memperhatikan, ia menjadi terkejut oleh karena melibat betapa gerakan burung itu kaku sekali, seakan-akan telah mendapat luka berat! Memang benar, sebelum Cin Hai datang, Hai Kong Hosiang yang kosen itu telah berhasil melukai Sin-kong-ciak dengan sebuah pukulan tangannya. Pukulan ini tepat mengenai dada kanan Merak Sakti itu dan kalau saja Merak Sakti tidak memiliki kekebalan dan tenaga luar biasa, pasti ia telah tewas dan dadanya hancur pada saat itu juga! Namun, Merak Sakti telah mendapat gemblengan luar biasa dari Bu Pun Su dan sutenya yang sakti dan telah menjadi seekor binatang sakti yang memiliki kekuatan luar biasa maka pukulan ini biarpun telah melukainya, namun tidak membunuhnya.

 Betapapun juga, kepandaian Hai Kong Hosiang terlampau tinggi baginya dan kini biarpun ia menyambar-nyambar namun ia tidak berdaya menyerang Hai Kong Hosiang dan bahkan tiap kali mereka bergerak hampir saja Merak Sakti itu terkena serangan dahsyat dari Hai Kong Hosiang!

 Melihat ini Cin Hai menjadi marah dan sekali loncat saja ia telah berada di dekat tempat pertempuran. Alangkah herannya ketika melihat seekor kuda yang dikenalnya baik-baik berada pula di situ, makan rumput hijau tanpa mempedulikan. Kuda itu adalah kuda Pek-gin-ma atau Kuda Perak Putih kepunyaan Pangeran Vayami yang dulu dibawa oleh Bu Pun Su untuk dikembalikan kepada yang punya. Ia dapat menduga bahwa kuda ini terjatuh dalam tangan Hai Kong Hosiang dan dugaannya memang betul. Hai Kong Hosiang datang ke bukit itu sambil menunggang Pek-gin-ma yang semenjak ia pergi dengan Pangeran Vayami ke Pulau Kim-san-to, memang telah berada di tangannya dan dipelihara baik-baik di kota raja.

 “Hai Kong Hosiang, mari kita menentukan perhitungan terakhir hari ini!” kata Cin Hai yang menyambung ucapannya itu dengan suara halus ke arah Merak Sakti.

  

 “Sin-kong-ciak-ko, biarlah siauwte menghadapi hwesio gundul kurang ajar ini dan kau beristirahatiah dulu!”

 Merak Sakti ini agaknya maklum bahwa pemuda yang datang adalah seorang yang boleh dipercaya, maka ia lalu terbang ke atas dahan pohon di dekat situ dan setelah hinggap di situ ia lalu menggunakan paruh dan kepalanya untuk mengusap-usap dada kanannya yang terluka dan terasa sakit.

 Ketika Hai Kong Hosiang melihat siapa yang datang, bukan kepalang marahnya.

 “Bangsat besar, akhirnya aku dapat juga bertemu dengan engkau!” katanya dan sedikit pun ia tidak merasa jerih.

 Memang ia tahu bahwa kepandaian pemuda ini tinggi sekali sebagaimana telah ia rasakan ketika mereka bertempur di atas perahu Pangeran Vayami, akan tetapi kini ia telah memiliki ilmu kepandaian tinggi supeknya.

 Setelah mengeluarkan makian marah, Hai Kong Hosiang lalu maju dengan tongkat ularnya. Cin Hai mencabut pedangnya Liong-coan-kiam dan menangkis dan sebentar saja kedua orang musuh besar ini telah bertempur mati-matian di atas bukit itu, disaksikan oleh Sin-kong-ciak yang bertengger di atas dahan pohon.

 Setelah bertempur beberapa puluh jurus, keduanya tercengang dan kaget melihat kemajuan ilmu silat lawan. Akan tetapi kekagetan Hai Kong Hosiang lebih besar lagi oleh karena tenaga lweekangnya yang telah dilatih sempurna itu tidak berdaya menghadapi Cin Hai! Ia merasa betapa pemuda ini sekarang memiliki tenaga lweekang yang berlipat ganda hebatnya daripada dulu. Dan ketika Cin Hai membuka serangan dengan ilmu pedangnya yang baru diciptakannya sendiri itu, maklumlah Hai Kong Hosiang bahwa pemuda ini kini telah memiliki ilmu kepandaian hampir menyamai tingkat Bu Pun Su sendiri! Diam-diam ia menjadi bingung dan jerih terutama sekali ketika Cin Hai dengan senyum sindir berkata “Hai Kong, sekarang kau harus menghadap Supekmu!”

 Hai Kong Hosiang maklum bahwa supeknya telah meninggal dunia dan hal ini membuat ia makin jerih lagi. Ia tak perlu bertanya bagaimana supeknya meninggal namun dapat menduga bahwa tentulah pemuda ini yang merobohkannya, kalau tidak, tidak nanti Cin Hai mengeluarkan kata-kata yang bermaksud melemahkan pertahanannya dan mengacaukan pikirannya itu.

 Kemudian dengan nekad Hai Kong Hosiang menyerang lagi dengan Ilmu Silat Tongkat Jian-coa-tung-hwat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang menjadi kebanggaannya. Akan tetapi, serangan dengan ilmu tongkat ini yang telah dikenal baik oleh Cin Hai, hanya memperlebar senyum di mulut pemuda itu saja. Ketika Cin Hai mengeluarkan seruan keras dan menggerakkan jurus ke dua puluh satu dari ilmu pedangnya, tiba-tiba tongkat di tangan Hai Kong Hosiang terlempar ke udara dan terdengar sayap mengibas karena ketika melihat tongkat hwesio itu melayang ke atas, Merak Sakti cepat menyambarnya dan membawa terbang tongkat itu untuk dilempar jauh ke dalam sebuah jurang yang curam sekali!

 Hai Kong Hosiang menjadi marah sekali dan tiba-tiba ia berjungkir balik dengan kepala di atas tanah dan kedua kaki bergerak-gerak di atas! Gerakannya cepat dan hebat, dan kedua kakinya mengeluarkan tenaga luar biasa karena anginnya saja menyambar-nyambar membuat daun-daun pohon yang bergantungan di situ bergoyang-goyang seperti tertiup angin keras!

 Namun Hai Kong Hosiang tak dapat menakut-nakuti Cin Hai dengan ilmunya ini, bahkan pemuda ini lalu dengan tenangnya menyimpan kembali pedangnya, oleh karena ia tidak mau disebut licin untuk melawan seorang yang bertangan kosong dengan senjata di tangan! Ia maju menghadapi Hai Kong Hosiang yang telah berdiri dengan terbalik itu. Hai Kong Hosiang mengeluarkan seruan keras dan mengerikan lalu kedua kakinya menyambar dalam serangan-serangan kilat dan maut! Cin Hai lalu menyambutnya dengan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut yang ajaib, dan benar saja. Ilmu silat yang dilakukan dengan tubuh terbalik ini tidak berdaya menghadapi Pek-in-hoat-sut dan setiap kali hawa pukulan kaki itu menyambar dan terpukul kembali oleh uap putih yang keluar dari sepasang lengan Cin Hai, maka kaki Hai Kong terpental kembali yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Cin Hai maklum bahwa dalam keadaan terbalik itu, agak sukar baginya untuk mencari jalan darah lawan dalam keadaan jungkir balik itu. Kalau saja Hai Kong Hosiang bertempur sambil berdiri di atas kedua kakinya, takkan sukar agaknya bagi dia untuk merobohkan hwesio itu.

 Tiba-tiba Cin Hai yang semenjak tadi memperhatikan gerakan Hai Kong Hosiang, mengambil keputusan untuk meniru gerakan lawannya ini. Segera ia berseru keras dan berjungkir balik, kepala di atas tanah dan kedua kaki di atas. Dan bertempurlah mereka dalam keadaan aneh itu dengan hebatnya.

 Kembali Hai Kong Hosiang menjadi terkejut sekali. Bagaimana pemuda ini dapat melakukan ilmu silat ini dengan sama baiknya?

 “Siluman!” bentaknya dengan hati ngeri dan menyerang kembali dengan nekad. Tubuhnya berputar-putar di atas kepala dan kedua kakinya menyambar-nyambar, akan tetapi oleh karena kini Cin Hai juga berdiri di atas kepalanya seperti dia, sedangkan ilmu silatnya ini khusus diadakan untuk menghadapi seorang yang berkelahi dengan normal, maka semua pukulan kakinya ini menjadi ngawur saja. Kaki yang tadinya harus menyerang pundak lawan yang berdiri biasa, kini menyerang tumit kaki Cin Hai. Hai Kong Hosiang benar-benar bingung hingga kepalanya menjadi pening. Ia lalu berseru keras dan berdiri lagi di atas kedua kakinya, akan tetapi Cin Hai juga telah berdiri dan menyerangnya dengan hebat.

  

 Menghadapi Pek-in-hoat-sut dengan berdiri di atas kedua kakinya, Hai Kong Hosiang tidak kuat menahan lagi dan dengan telak jari tangan Cin Hai berhasil menotok pundaknya dan tangan kiri anak muda itu menepuk pinggangnya. Hai Kong Hosiang tanpa mengeluarkan suara lalu roboh terbanting dalam keadaan lumpuh kaki tangannya.

 Sebelum Cin Hai dapat mengeluarkan kata-kata atau menurunkan tangan keras untuk menghabisi jiwa hwesio itu, tiba-tiba Merak Sakti turun menyambar. Agaknya Merak Sakti ini hendak membalas dendamnya oleh karena dadanya dilukai oleh Hai Kong Hosiang, dan kini sambil memekik-mekik marah ia menyambar dan mematuk ke arah kedua mata Hai Kong Hosiang. Hwesio ini biarpun sudah lumpuh kedua kaki tangannya, namun masih mempunyai tenaga untuk mengguling-gulingkan tubuhnya hingga ia dapat berhasil mengelak paruh merak yang hendak mematuk matanya.

 Cin Hai melangkah mundur dan berdiri di dekat Pek-gin-ma yang masih enak-enak makan rumput. Sambil bertolak pinggang Cin Hai melihat pergulatan ini dan berkata, “Kong-ciak-ko, jangan kau habisi jiwanya. Itu bukan tugasmu.”

 Setelah beberapa kali mengguling-gulingkan tubuhnya untuk menghindarkan kedua matanya dari serangan Merak Sakti, akhirnya Hai Kong Hosiang terpaksa menyerah. Sambil mengeluarkan jeritan ngeri, Hai Kong Hosiang masih berusaha mengelak, akan tetapi terlambat. Patuk yang merah dan kecil runcing dari Merak Sakti itu telah bergerak dua kali dan kedua mata Hai Kong Hosiang menjadi buta!

 Pada saat itu terdengar seruan girang,

 “Hai-ko!”

 Cin Hai cepat berpaling dan melihat bahwa yang berseru, itu bukan lain adalah Lin Lin! Gadis ini ternyata tadi telah terjun ke dalam sebuah jurang dan bersembunyi ketika diserang hebat oleh Hai Kong Hosiang! Lin Lin maklum bahwa ia bukan lawan hwesio ini, maka ia berusaha melarikan diri dan memanggil Ma Hoa dan Yousuf untuk membantunya, akan tetapi ia kehabisan jalan dan akhirnya jalan satu-satunya ialah terjun ke dalam jurang itu! Untung baginya bahwa jurang itu dangkal dan pada saat itu, Sin-kong-ciak telah datang membelanya.

 “Lin Lin...!” Cin Hai berseru girang sekali dan mereka lalu saling berpegang tangan dengan hati penuh kebahagiaan. “Lihat, Hai Kong yang jahat pun harus makan buah yang ditanamnya sendiri!” Mereka sambil berpegang tangan menonton betapa Merak Sakti menyerang Hai Kong Hosiang.

 Setelah berhasil membalas sakit hatinya Merak Sakti terbang melayang ke atas dan memekik-mekik girang. Dan pada saat itu, dari lereng bukit berlari-lari Kwee An, Ma Hoa, dan Yousuf menuju ke tempat itu. Mereka juga mendengar pekik Merak Sakti dan merasa kuatir, maka ketiga orang ini lalu berlari cepat menyusul Cin Hai.

 Melihat Hai Kong Hosiang telah rebah di tanah dengan mata buta dan tak berdaya lagi Kwee An lalu mencabut pedangnya dan hendak menusuk tubuh musuh besarnya itu, akan tetapi tiba-tiba Ma Hoa menjerit, “Koko, jangan!”

 Kalau orang lain yang mencegah, mungkin takkan dihiraukan olah Kwee An yang merasa marah sekaii, akan tetapi suara Ma Hoa ini mempunyai pengaruh yang melemaskan tubuhnya dan memadamkan api kemarahannya.

 “Jangan, An-ko, biarlah kita ampuni jiwa anjing ini agar jangan menodai kegembiraan pertemuan kita!”

 Kwee An memandang kepada kekasihnya lama sekali, kemudian ia menghela napas dan berpaling kepada Lin Lin. Ia melihat betapa adik perempuannya yang masih saling berpegang tangan dengan Cin Hai juga tidak berniat menurunkan tangan membunuh Hai Kong Hosiang, maka mereka lalu hanya saling pandang dengan bingung.

 Yousuf tertawa. “'Anak-anak! Demikianlah seharusnya orang yang mempunyai pribadi tinggi. Jangan terlampau mengandalkan kekuatan dan kepandaian untuk secara mudah mengambil nyawa orang lain, betapa besar pun dosanya terhadap kita! Ada kekuasaan terbesar di dunia ini yang akan mengadili segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia dan biarlah Dia mengatur sendiri hukuman yang akan ditimpakan kepadanya!”

 Cin Hai merasa kagum sekali mendengar ucapan ini, dan Lin Lin lalu memimpin tangan kekasihnya mendekati Yousuf. “Ayah, inilah calon mantumu dan Hai-ko, ketahuilah bahwa orang tua ini adalah ayah angkatku!”

 Cin Hai memberi hormat dan dibalas dengan selayaknya oleh Yousuf. Tiba-tiba tubuh Hai Kong Hosiang bergerak dan bergulingan sambil mulutnya berteriak, “Bangsat-bangsat rendah, kaukira aku takkan dapat membalas dendam? Tunggulah pembalasanku!” Sambil memaki-maki dan berteriak-teriak, Hai Kong Hosiang lalu menggulingkan dirinya cepat sekali dan tahu-tahu tubuhnya terguling masuk ke dalam sebuah jurang yang dalam!

 “Nah, begitulah hukuman seorang jahat!” kata lagi Yousuf dan ia lalu mengajak mereka semua kembali ke rumahnya. Cin Hai tak lupa membawa Pek-gin-ma bersama mereka.

  

 Malam yang indah. Bulan bersinar gemilang dan penuh hingga keadaan malam itu sama dengan siang, akan tetapi lebih indah. Daun-daun pohon menghitam dan mendatangkan pemandangan yang menarik sekali.

 Di bawah pohon nampak dua orang muda berdiri dan bercakap-cakap dengan asyik dan mesra. Mereka ini adalah Lin Lin dan Cin Hai. Dengan suara penuh cinta kasih, kedua orang ini saling menuturkan pengalaman masing-masing diselingi pandang yang menyatakan betapa besarnya cinta kasih mereka. Ketika Lin Lin mendengar tentang nasib Ang I Niocu, gadis ini menangis karena terharu dan kasihan, hingga Cin Hai lalu mengelus dan membelai rambutnya sambil berkata,

 “Lin Lin kita tak boleh melupakan Ang I Niocu yang telah mengorbankan jiwa dalam usahanya mempertemukan kita. Akan tetapi, kita pun tak boleh terlalu bersedih. Biarpun ia telah pergi ke alam akhir, akan tetapi dia meninggalkan sesuatu untuk kita buat kenangan.”

 Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengeluarkan potongan kain merah dari pakaian Ang I Niocu yang ditemukan di permukaan air laut itu. Lin Lin menahan sedu sedannya dan mendekap kain itu ke dadanya. “Enci Im Giok....” bisiknya, “kau... kau di manakah?” Kemudian, matanya terbelalak memandang kepada Cin Hai sambil berkata, “Engko Hai, aku tidak percaya bahwa Enci Im Giok telah meninggal dunia! Kalau aku tidak melihat jenazahnya dengan mata kepala sendiri aku tidak percaya seorang seperti dia dapat meninggal dunia!”

 Cin Hai menghela napas dan menjawab, mudah-mudahan saja betul dugaanmu itu. Akan tetapi, menghadapi ledakan dan kebakaran hebat itu, manusia manakah yang sanggup menyelamatkan dirinya?”

 Untuk beberapa lama mereka berdiam diri, seakan-akan berdoa kepada Thian Yang Maha Kuasa untuk keselamatan Ang I Niocu yang mereka sayang. Kemudian, setelah keharuan hati agak mereda, Lin Lin lalu menceritakan kepada kekasihnya tentang pertemuannya dengan Bu Pun Su dan tentang pedang pendek Han-le-kiam yang dibuat oleh kakek sakti dan diberikan kepadanya. Kemudian ia berkata,

 “Hai-ko, Suhumu berpesan agar supaya engkau memberi pelajaran ilmu pedang kepadaku, karena setelah aku memiliki pedang ini aku berhak mempelajari ilmu pedangnya.”

 Cin Hai menghela napas dan berkata, “Lin-moi, ketahuilah. Dulu ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu, aku diharuskan bersumpah.”

 “Aku pun bersedia bersumpah!” memotong Lin Lin sambil cemberut.

 Cin Hai tersenyum. “Bukan begitu maksudku Lin-moi. Aku dulu harus bersumpah bahwa selain harus mempergunakan ilmu kepandaian itu untuk kebenaran dan keadilan juga aku tidak boleh mengajarkan kepada orang lain, siapapun juga orang itu.”

 “Apa kau tidak percaya kepadaku?” Lin Lin memotongnya lagi.

 Cin Hai memegang lengan kekasihnya. “Kau harus belajar bersabar, Lin-moi. Aku hanya hendak menyatakan kepadamu bahwa apabila bukan atas kehendak Suhu sendiri, biarpun di dalam hati aku ingin sekali memberi pelajaran kepadamu, namun aku takkan berani. Sekarang Suhu bahkan menyuruh aku memimpinmu, tentu saja aku merasa girang dan berbahagia! Akan tetapi, oleh karena sudah menjadi keharusan, kau pun harus mengucapkan sumpah, Lin-moi. Dengan demikian, biarpun Suhu tidak menyaksikan sendiri akan tetapi kita tidak melakukan pelanggaran, oleh karena syarat terutama bagi seorang murid kepada gurunya yang terpenting ialah ketaatan dan kesetiaan!”

 Lin Lin mengangguk girang. Kemudian ia lalu memegang pedang pendek Han-le-kiam itu dengan kedua tangannya, diangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala sambil berlutut. Dengan suaranya yang nyaring dan merdu, dara jelita itu bersumpah,

 “Teecu Kwee Lin, dengan disaksikan oleh Pedang Han-le-kiam pemberian Suhu Bu Pun Su, disaksikan pula oleh Hai-ko, dan oleh bulan purnama, oleh langit dan bumi, teecu bersumpah bahwa apabila teecu telah mempelajari ilmu silat dan ilmu pedang dari Hai-ko sebagai wakil Suhu Bu Pun Su, kepandaian itu akan teecu pergunakan semata-mata untuk menjaga diri dari serangan orang jahat, untuk menolong sesama hidup yang menderita, untuk membasmi penjahat-penjahat dan penindas rakyat.”

 Cin Hai menyaksikan sumpah ini sambil berdiri di bawah pohon dan memandang dengan wajah sungguh-sungguh.

 Kemudian mereka lalu kembali ke pondok kecil di lereng bukit itu.

 Keadaan di bukit itu demikian indahnya hingga Cin Hai dan Kwee An merasa kerasan sekali. Mereka mengambil keputusan untuk berdiam di tempat indah itu beberapa bulan sebelum mengajak dua orang gadis kekasih mereka kembali ke pedalaman.

 Dan mulai keesokan harinya Cin Hai mengajarkan ilmu-ilmu silatnya yang ia dapat dari Bu Pun Su. Akan tetapi, untuk dapat memiliki kepandaian mengenai dasar ilmu silat sebagaimana yang telah ia miliki, bukanlah pelajaran yang dapat difahamkan dalam beberapa bulan saja, maka Cin Hai lalu menurunkan Ilmu Pukulan Pek-in-hoat-sut dan Kong-ciak-sin-na kepada Lin Lin. Juga memberi pelajaran ilmu pedang yang telah diciptakannya sendiri itu.

  

 “Apakah namanya kiam-hoat (ilmu pedang) ini?” tanya Lin Lin.

 Cin Hai memandang dengan sinar mata bodoh, oleh karena sesungguhnya ia sendiri juga tidak tahu. Ia telah ciptakan ilmu pedangnya dan bahkan ilmu pedangnya yang luar biasa itu telah berjasa ketika digunakan dalam pertempuran hebat menghadapi Kiam Ki Sianjin yang tangguh akan tetapi sampai sekarang, ia sendiri masih belum tahu apa nama ilmu pedang ini.

 “Eh, kenapa kau bengong saja?” Lin Lin bertanya. “Kau bilang bahwa kau sendiri pencipta ilmu pedang ini, masa tidak tahu namanya?”

 “Lin-moi, bayi yang baru terlahir tidak membawa nama pula.”

 Lin Lin tertawa geli. “Jadi kauanggap ilmu pedangmu seperti bayi? Kalau begitu kau terlambat memberi nama kepada bayimu! Jangan-jangan ia sudah jenggotan masih belum mempunyai nama!”

 Cin Hai tertawa juga mendengar kelakar ini, kemudian ia lalu berkata dengan sungguh-sungguh,

 “Lin-moi ilmu pedang ini kuciptakan atas anjuran dan desakan Ang I Niocu, kalau tidak dia yang mendesak dan memberi saran, mungkin sampai sekarang atau selamanya aku takkan bisa menciptakan kiam-hoat sendiri. Pada waktu aku menciptakan kiam-hoat ini, selain Ang I Niocu yang memberi petunjuk-petunjuk, juga aku mendapat bantuan yang amat berharga dari daun-daun bambu.”

 Lin Lin merasa heran sekali mendengar ini, hingga Cin Hai harus menceritakan bagaimana ia mencipta ilmu pedangnya itu, dan betapa Ang I Niocu telah memberi petunjuk-petunjuk pula tentang gaya gerakan untuk memperindah kiam-hoatnya.

 “Aku telah mempelajari Tari Bidadari dari Ang I Niocu dan karenanya, selain suka akan seni suara, aku pun suka seni tari. Menurut pikiranku, ilmu silat tiada jauh bedanya dengan seni tari, atau boleh kusebut saja bahwa ilmu silat adalah seni tari yang tidak saja mempunyai gerakan indah dan manis dipandang, akan tetapi juga memerlukan bakat dan darah seni untuk dapat melakukannya dengan sempurna. Bedanya antara keduanya itu, yaitu antara tarian biasa dan ilmu silat adalah bahwa tarian hanya membayangkan keindahan, sebaliknya ilmu silat khusus mengatur gerakan kaki tangan yang keseluruhannya ditujukan untuk menjadi gerakan yang cepat dalam menyerang dan menangkis atau mengelak.”

 “Eh, eh, Hai-ko, biarpun uraianmu itu amat menarik, akan tetapi telah melantur jauh daripada inti percakapan kita semula,” kata Lin Lin menggoda sambil tersenyum karena melihat betapa pandangan mata pemuda itu telah melayang jauh seperti orang melamun. “Kalau kau bercakap seperti ini, kau seperti seorang kakek-kakek saja.” Cin Hai bagaikan terbetot kembali dari alam renungan dan ikut tersenyum pula. “O ya, kita sedang mempercakapkan soal nama ilmu pedang kita. Hm, apakah gerangan nama yang terbaik? Akan tetapi, apa pula artinya memberi nama yang indah?” ia mencela sendiri.

 Tak tertahan pula geli hati Lin Lin hingga ia tertawa. “Bagaimana sih kau ini? Berbantah-bantah seorang diri, seakan-akan dalam dirimu terdapat dua orang yang sedang bertengkar!”

 “Biarlah kuberi nama Ilmu Pedang Daun Bambu saja!”

 Sepasang mata Lin Lin yang indah itu bersinar gembira. “Alangkah lucu dan anehnya nama itu. Ilmu Pedang Daun Bambu! Aneh seperti... penciptanya!”

 Cin Hai memandang dengan mata terbelalak. “Apa? Apakah dalam pandanganmu aku ini orang aneh?”

 “Memang, aneh sekali! Karena di seluruh dunia ini tak mungkin aku bertemu dengan seorang pemuda seperti engkau. Kau berbeda dengan orang-orang lain, bukankah itu aneh namanya?”

 “Kalau begitu sama saja dengan kau. Aku pun belum pernah dan rasanya takkan pernah bertemu dengan gadis seperti engkau, semanis kau, secantik kau, dan se... nakal engkau!”

  

 Lin Lin mengulurkan tangan dan jari-jari yang halus itu mencubit lengan Cin Hai yang tertawa dengan hati beruntung.

 “Sudahlah, Moi-moi, kalau kita bersendau-gurau saja, sampai kapan kau akan depat menghafal pelajaran Kim-hoatmu?”

 “Tapi aku tidak suka nama kiam-hoat itu. Ilmu Pedang Daun Bambu, sungguh lucu! Kalau aku bertanding dengan seorang lawan mempergunakan ilmu pedang ini, kemudian lawan itu kalah hingga aku menjadi bangga, tetapi apabila lawan yang kalah itu bertanyakan nama ilmu pedangku bukankah kebanggaanku akan musnah dan terganti rasa malu kalau aku menyebutkan bahwa ilmu pedang yang hebat itu, yang telah mengalahkannya, namanya tak kurang tak lebih hanya Ilmu Pedang Daun Bambu saja? Murah sekali!”

 “Apa yang murah?”

 “Daun bambu itu!”

 Cih Hai hanya tertawa. “Kalau begitu, biarlah ilmu pedangku ini dirubah sedikit dan disesuaikan dengan gerakan-gerakanmu serta dengan pedangmu yang pendek ini. Kemudian, setelah kau dan aku menciptakan ilmu pedang baru berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, kau lalu memberi nama sendiri. Bagaimana?”

 Bersinar-sinar mata Lin Lin mendengar ini. “Bagus! Hai-ko! Bagus, aku sudah dapat nama itu!”

 Cin Hai terheran. ”Sudah ada namanya? Ini lebih aneh lagi! Bayinya belum terlahir sudah diberi nama! Apakah namanya?”

 “Namanya Han-le Kiam-sut, sesuai dengan nama pedang pemberian Suhu.”

 Cin Hai merasa girang karena menurut pikirannya, nama itu pun baik dan cocok sekali. Demikianlah, mulai saat itu Cin Hai mengajar ilmu pedang kepada Lin Lin, berdasarkan Ilmu Pedang Daun Bambu, akan tetapi diadakan perubahan di sana-sini untuk disesuaikan dengan pedang pendek di tangan Lin Lin. Memang gerakan-gerakan pedang pendek berbeda dengan pedang panjang, karena pedang pendek yang merupakan sebilah belati atau pisau itu harus dipergunakan lebih cepat agar jangan didahului oleh ujung senjata yang lebih panjang. Senjata yang pendek ini harus dipergunakan dalam pertempuran secara mendekat dan rapat baru dapat berhasil, dan ini pun ada kebaikannya, oleh karena dalam menghadapi seorang lawan yang bersenjata toya, lebih menguntungkan apabila menghadapinya dengan rapat hingga gerak senjata yang panjang itu menjadi kurang leluasa. Sudah tentu hal ini membutuhkan keberanian dasar dan ketenangan serta kewaspadaan, juga terutama sekali harus memiliki ginkang (ilmu meringankan badan) yang tinggi hingga gerakan bisa dilakukan dengan lincah dan cepat.

 Akan tetapi, Lin Lin memang telah mempelajari dasar ilmu silat yang cukup baik dan tinggi serta ginkangnya memang sudah hebat, apa lagi kini mendapat petunjuk dan latihan lweekang dan ginkang, maka dalam beberapa hari saja ilmu kepandaiannya telah maju dengan pesatnya.

 Tidak hanya Cin Hai dan Lin Lin yang hidup penuh kebahagiaan di lereng bukit yang indah itu. Kwee An dan Ma Hoa juga hidup dengan penuh kebahagiaan. Mereka berdua saling mencinta dan saling mengindahkan, saling menghormati dan seperti halnya Cin Hai dan Lin Lin, kedua teruna remaja ini pun bergaul dengan mesra akan tetapi penuh kesopanan dan jangankan dalam perbuatan, bahkan dalam pikiran pun sama sekeli tidak terdapat hal-hal yang melanggar norma kesusilaan. Hal ini membuat Yousuf merasa girang dan kagum sekali. Diam-diam orang tua ini, seperti halnya orang-orang tua lain, amat memperhatikan pergaulan anak-anak muda itu. Tadinya timbul juga perasaan curiga dan tidak senang melihat pergaulan yong bebas itu, yang tak dapat dilarangnya oleh karena memang sudah biasa bagi orang-orang gagah untuk bergaul secara bebas akan tetapi, melihat betapa keempat anak muda itu bergaul dengan penuh kesopanan, ia menjadi kagum sekali. Makin yakin dan pasti perasaan hatinya bahwa mereka itu memang cocok untuk menjadi jodoh masing-masing, sama-sama cakap, sama-sama gagah, dan sama-sama sopan pula!

 Biarpun selalu memilih tempat terpisah dari Lin Lin dan Cin Hai, tiap hari Kwee An dan Ma Hoa berjalan-jalan di pegunungan yang luas itu, menikmati keindahan tamasya alam sambil membicarakan tentang ilmu silat. Tak jarang mereka berlatih bersama, saling mengisi kekurangan dan saling belajar. Pada saat itu, tingkat kepandaian Kwee An lebih tinggi setingkat dari Ma Hoa, maka ia lalu memberi pelajaran kepada kekasihnya itu.

 Telah beberepa hari ini, Ma Hoa selalu melepaskan rambutnya yang hitam dan kering indah di atas pundaknya. Rambutnya yang indah melambai-lambai tertiup angin dan mengeluarkan keharuman bunga yang selalu menghias rambutnya. Hal ini terjadi semenjak malam terang bulan di waktu ia berjalan-jalan bersama Kwee An bermandikan cahaya bulan yang sejuk. Angin gunung bertiup perlahan dan tiba-tiba ikatan rambut Ma Hoa terlepas, hingga rambutnya itu terurai ke atas pundaknya. Kebetulan sekali ia berdiri menghadapi bulan hingga mukanya tertimpa cahaya sepenuhnya. Ketika ia menggunakan kedua tangannya hendak menyanggul dan mengikat rambutnya, Kwee An yang berdiri memandangnya dengan mata terbelalak segera mengangkat tangan berkata,

 “Jangan... jangan sanggul rambutmu, Hoa-moi, biarkan saja...”

  

 “'Eh, eh, kau kenapa, An-ko?” tanya Ma Hoa dengan heran sambil melepaskan kembali rambutnya yang telah dipegangnya.

 “Kau...kau nampak cantik sekali dalam keadaan seperti ini, Moi-moi. Dengan rambutmu yang halus hitam berombak-ombak di sekitar lehermu, melambai tertiup angin, seakan-akan setiap lembar rambut itu hidup dan bernyawa kau seperti seorang bidadari yang baru turun dari surga. Demi segala kecantikan dan keindahan, jangan kausanggul rambutmu, Moi-moi, biarkan saja terurai di atas kedua pundakmu!”

 Sampai bertitik dua butir air mata dari mata Ma Hoa karena amat terharu dan girang mendengar pujian yang keluar dari mulut kekasihnya ini dan semenjak saat itu ia berjanji tidak akan menyanggul rambutnya lagi. Tentu saja ia tidak memberi tahu kepada orang lain tentang hal ini dan hanya mengatakan bahwa ia lebih suka mengurai rambutnya. Lin Lin dan Cin Hai, juga Yousuf, menyatakan kagumnya karena dengan mengurai rambutnya yang berombak menghitam itu sesuai sekali dengan potongan wajahnya yang membulat telur.

 Pada suatu hari, ketika Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri sambil mengagumi pemandangan di sebuah lereng yang baru kali itu mereka datangi, menikmati pemandangan yang ditimbulkan oleh matahari yang baru saja muncul hingga indah luar biasa itu, tiba-tiba mereka melihat dua orang mendaki bukit dengan tindakan kaki cepat sekali. Keduanya merasa terkejut oleh karena kedua orang itu lari cepat sekali, tanda ginkang mereka sudah mencapai tingkat tinggi. Keduanya lalu berdiri menanti dengan hati berdebar-debar dan menduga-duga, siapa gerangan orang asing itu. Ketika mereka datang dekat Kwee An dan Ma Hoa, ternyata bahwa mereka adalah seorang hwesio gundul yang tua dan seorang laki-laki muda yang rambutnya juga panjangterurai tertiup angin. Selain berambut panjang, laki-laki itu pun berpakaian secara aneh sekali, potongan baju itu berbeda dengan pakaian bangsa Han yang biasa dipakai orang. Juga kakinya mengenakan sepatu yang panjang sampai ke atas betis. Akan tetapi gerak-gerik laki-laki ini gesit dan cepat, agaknya kepandaiannya tidak di sebelah bawah hwesio gundul itu.

 Agaknya kedua pendaki bukit yang aneh itu pun telah melihat Kwee An dan Ma Hoa, karena mereka segera menujukan ke arah kedua anak muda itu. Setelah tiba di hadapan Kwee An dan Ma Hoa yang memandang heran, hwesio tua itu lalu menjura dan bertanya,

 “Jiwi mohon tanya di mana rumah seorang Turki bernama Yousuf?”

 Kwee An dan Ma Hoa saling pandang, sedangkan orang muda berambut panjang itu memandang Ma Hoa dengan sinar mata kagum yang tidak disembunyikan.

 “Suhu ini siapakah dan apakah perlunya mencari rumah Yo-sianseng?” tanya Kwee An yang berlaku hati-hati karena menaruh curiga kepada dua orang pengunjung ini.

 “Eh, siapakah nama Nona yang cantik seperti bidadari ini? Kumaksudkan rambutnya yang cantik dan indah, alangkah bagusnya,” kata pemuda berambut panjang itu dengan kagum. Suaranya juga aneh, karena terdengar seperti suara wanita halus dan merdu, akan tetapi tak dapat disangsikan lagi bahwa dia adalah seorang pria, karena selain potongan tubuhnya yang kuat dan dadanya yang bidang itu, juga jelas nampak kalamenjing di lehernya yang takkan terdapat pada leher seorang wanita.

 Ma Hoa menjadi marah sekali dan memandang dengan mata bernyala. Ia hendak menegur dan mendamprat, akan tetapi Kwee An memberi isyarat agar supaya ia bersabar.

 ”Pinceng hendak mencari dua orang gadis yang berada dengan orang Turki itu. Kenalkah Jiwi kepada dua orang nona bernama Ma Hoa dan Lin Lin?”

 Makin curiga dan terkejutlah Kwee An dan Ma Hoa mendengar pertanyaan ini.

 “Akulah yang bernama Ma Hoa. Suhu mencari aku ada keperluan apakah?”

 Tiba-tiba mata hwesio itu terbelalak dan ia tertawa terbahak-bahak dengan girang. “Ha, ha, ha! Dicari-cari sampai pusing tidak bertemu, tahu-tahu mencari keterangan pada orang yang dicari! Ini namanya memang harus mampus di tangan pinceng ini hari!”

 Bukan main terkejutnya hati Kwee An dan Ma Hoa mendengar ini, karena sungguh tak pernah mereka sangka bahwa hwesio tua ini mencari Ma Hoa dan Lin Lin dengan maksud jahat!

 Kwee An melompat maju dengan marah. “Hwesio tua? Apa maksud kata-katamu yang jahat itu? Siapakah kau dan mengapa kau datang-datang mengandung maksud yang buruk dan jahat?”

 “Buka lebar-lebar mata dan telingamu! Pinceng adalah Bo Lang Hwesio dan Boan Sip adalah muridku. Muridku itu terbunuh mati oleh Ma Hoa dan Lin Lin, maka sekarang pinceng mencari dua orang pembunuh itu untuk maksud apa lagi?” Sambil berkata demikian, Bo Lang Hwesio tertawa lagi bergelak. “Dan ketahuilah bahwa anak muda kawanku ini adalah Ke Ce, pendekar gagah dari Mongolia Dalam. Dia adalah adik sepupu Pangeran Vayami dan datang hendak membalas dendam kepada Yousuf! Karena Yousuf orang Turki itulah yang telah menggagalkan usaha Pangeran Vayami dan mungkin orang Turki itu pula yang telah membunuh Pangeran Vayami!”

  

 Bukan main marahnya Kwee An mendengar ucapan ini. “Hm, jadi kau ini guru Boan Sip yang jahat? Pantas muridnya jahat, tidak tahu, gurunya juga berpemandangan sempit dan berpikiran dangkal! Adapun pembunuh Vayami bukanlah Yo-sianseng akan tetapi Hek Pek Mo-ko dan tak perlu kau mencari kedua orang tua itu, cukup aku wakilnya!”

 “Bagus!” Bo Lang Hwesio membentak marah dan ia segera melompat ke arah Ma Hoa dan mengirim serangan kilat!

 “Bo Lang Suhu, jangan kaubunuh bidadari itu, tangkap hidup-hidup untukku!” teriak Ke Ce sambil menyerbu dan menyerang Kwee An.

 “Ha, ha, ha, dasar kau mata keranjang!” kata Bo Lang Hwesio.

 Ma Hoa terkejut melihat serangan Bo Lang Hwesio yang mencengkeram dan hendak menangkap pundaknya, karena serangan ini mendatangkan angin gerakan yang lihai. Ia maklum bahwa lweekang hwesio tua ini tinggi sekali dan merupakan lawan yang tangguh, maka ia cepat mempergunakan ginkangnya untuk melompat ke pinggir dan mengelak. Sementara itu, Kwee An dengan tenang lalu menangkis pukulan Ke Ce dan keduanya berseru heran dan kagum karena ketika kedua lengan tangan mereka beradu, keduanya terpental mundur karena hebatnya tenaga lawan. Diam-diam Kwee An terkejut karena tak disangkanya bahwa pendekar dari Mongolia Dalam ini memiliki tenaga dalam yang demikian besarnya hingga tidak kalah oleh tenaganya sendiri! Maka ia lalu membalas dengan serangan kilat dan mengerahkan kepandaiannya karena maklum bahwa kali ini lawannya bukan orang lemah.

 Pada waktu Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, Kwee An dan Ma Hoa sedang berdiri di dekat tebing gunung yang curam sekali hingga hutan dan pohon-pohon nampak kecil di bawah mereka maka ketika mereka berdua diserang, mereka sedang berdiri membelakangi tebing itu hingga keadaan mereka amat berbahaya. Hal ini pun diketahui oleh Bo Lang Hwesio dan Ke Ce, maka mereka mendesak dengan hebat dan tidak memberi kesempatan kepada dua orang muda itu untuk berpindah tempat. Kwee An masih dapat mempertahankan diri dari serbuan Ke Ce dengan ilmu silatnya yang tinggi, bahkan ketika ia membalas dengan serangan-serangannya, Ke Ce menjadi sibuk sekali karena harus berlaku awas untuk menghindarkan diri dari kaki dan tangan Kwee An yang mempunyai gerakan gesit dan tak terduga sama sekali itu. Akan tetapi Ma Hoa yang menghadapi Bo Lang Hwesio, menjadi terdesak hebat sekali hingga gadis ini makin mundur mendekati tebing yang curam dan berbahaya! Kwee An yang melihat hal ini, merasa kuatir sekali, maka ia segera mengirim serangan kilat dengan tipu gerakan menyerampang dengan kaki kanan dan membarengi memukul dengan tangan kanan hingga Ke Ce terpaksa harus mempergunakan gerakan Ikan Leehi Melompati Ombak. Tubuh pemuda berambut panjang itu melompat ke atas dan berjungkir balik ke belakang dan karenanya dapat menghindarkan diri dari serangan Kwee An yang berbahaya tadi.

 Kesempatan ini digunakan oleh Kwee An untuk melompat ke dekat Ma Hoa sambil berseru, “Hoa-moi, hati-hati di belakangmu tebing!” Sambil berseru demikian, ia lalu menyerbu untuk menahan serangan Bo Lang Hwesio yang lihai itu. Akan tetapi, pada saat itu, Ke Ce yang sudah mengejarnya, lalu mengirim pukulan yang berupa dorongan dengan kedua telapak tangan dibarengi bentakan yang keras sekali, bagaikan seekor harimau mengaum! Kwee An merasa terkejut sekali ketika dari dorongan ini keluar tenaga dan angin yang luar biasa hingga ia terhuyung ke belakang dan pada saat itu, Bo Lang Hwesio yang tahu bahwa Kwee An memiliki ilmu kepandaian cukup lihai, lalu mengejar dan mengirim tendangan maut ke arah perut Kwee An yang sedang terhuyung ke belakang itu! Ma Hoa menjerit ngeri melihat ini karena tendangan ini benar-benar berbahaya sekali dan agaknya Kwee An tak dapat mengelak lagi. Akan tetapi, Kwee An telah memiliki ketenangan dan kepandaian yang hampir sempurna, maka ketika merasa betapa tendangan maut mengancam perutnya, ia berseru keras dan tubuhnya mumbul ke atas dengan gesit bagaikan seekor burung walet. Cara menghindarkan diri dari tendangan maut ini sama sekali tidak diduga oleh Bo Lang Hwesio sendiri hingga tak terasa lagi hwesio ini mengeluarkan seruan kagum.

 Akan tetapi, selagi tubuh Kwee An masih berada di udara, tiba-tiba Ke Ce menyerang lagi dengan pukulan atau dorongan kedua telapak tangan dibarengi bentakan hebat tadi. Kembali Kwee An merasa betapa besar tenaga yang mendorongnya sedangkan pada saat itu tubuhnya masih terapung di udara. Tanpa dapat dicegah lagi ia terdorong mundur dan ketika tubuhnya melayang turun, ia telah berada di sebelah sana tebing. Ma Hoa menjerit lagi dengan lebih ngeri dan ketika tubuh dara ini berkelebat, ternyata ia telah menyusul melompat ke dalam tebing yang curam itu, menyusul tubuh Kwee An yang sudah meluncur ke bawah. Keduanya jatuh ke dalam tebing yang tak dapat diukur dalamnya.

 Ketika, Kwee An melihat betapa tubuh Ma Hoa juga jatuh menyusulnya, ia segera mengulur tangannya. Ma Hoa menangkap tangan itu dan keduanya meluncur terus ke bawah sambil saling berpegangan tangan. Entah bagaimana, setelah mereka berpegang tangan, rasa takut karena terjatuh itu lenyap sama sekali. Inilah daya rasa cinta yang besar dan ia mengalahkan segala rasa takut, bahkan maut sendiri tak dapat melenyapkan perasaan sentausa dan aman yang ditimbulkan oleh rasa cinta.

 Melihat betapa Ma Hoa ikut meloncat ke dalam jurang yang curam itu, Ke Ce menyatakan penyesalannya. “Sayang... sayang sekali… katanya, akan tetapi sebaliknya Bo Lang Hwesio tertawa bergelak.

  

 “Boan Sip, muridku!” teriaknya bagaikan gila sambil berdongak ke atas memandang awan, “seorang pembunuhmu telah tewas, kauterimalah nyawanya, kini tinggal yang seorang lagi!”

 “Pendeta jahat dan rendah! Kau apakan kedua anak muda itu?” tiba-tiba terdengar suara yang keras dan Yousuf yang berlari mendatangi telah berada di situ. Dari jauh tadi ia telah melihat betapa Kwee An dan Ma Hoa terguling ke dalam jurang, maka alangkah marah dan terkejutnya. Ketika ia memandang kepada pemuda berambut panjang itu, ia berkata lagi, “Hm, Ke Ce, kau juga menempuh kejahatan, apakah kau tidak takut akan tertimbun oleh dosa?”

 Melihat kedatangan Yousuf, Ke Ce menjadi marah sekali. “Bangsat rendah!” ia memaki. “Kaulah yang berdosa besar, kau telah merintangi kehendak Kakanda Vayami yang suci, bahkan kau telah memberanikan diri untuk berusaha merampas Pulau Kim-san-to!” Sambil berkata demikian, Ke Ce lalu menerjang dan menyerang dengan sengit. Yousuf yang merasa gelisah memikirkan nasib Kwee An dan Ma Hoa, segera menyambutnya dan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya. Melihat bahwa kegesitan dan tenaga orang Turki ini masih mengatasi Ke Ce, Bo Lang Hwesio tidak mau membuang waktu lagi dan segera maju mengeroyok.

 “Majulah, majulah! Biar kubinasakan sekalian kau hwesio jahat, untuk membalaskan kedua anak muda itu!” teriak Yousuf dengan gemas karena kalau ia teringat akan kedua anak muda yang dilihatnya terguling ke dalam jurang tadi, ia rasanya mau menangis dan berteriak keras.

 Akan tetapi, ia segera terkejut sekali oleh karena ilmu kepandaian dan tenaga hwesio gundul ini benar-benar lihai sekali. Baru menghadapi Ke Ce saja, mungkin setelah bertempur lama baru ia akan dapat mengalahkannya, apalagi sekarang ditambah dengan Bo Lang Hwesio yang tingkat kepandaiannya lebih tinggi lagi.

 Tak terasa lagi Yousuf lalu mengumpulkan khikangnya dan berseru memanggil, “Lin Lin…! Cin Hai...!! Lekas ke sini...!!”

 “Ha, ha, ha! Kau memanggil kawan-kawanmu, ha, ha!” Ke Ce menyindir dengan tertawa menghina, “Panggillah semua agar lebih puas hatiku membasmi kau sekalian kaki tanganmu.”

 Akan tetapi Bo Lang Hwesio menjadi girang sekali ketika mendengar nama Lin Lin disebut. Akan terlaksana agaknya usaha membalas dendam kali ini. Kalau benar-benar yang bernama Lin Lin itu adalah Kwee Lin pembunuh muridnya, maka akan bereslah tugasnya membalas dendam.

 Teriakan Yousuf itu dilakukan dengan tenaga khikang sepenuhnya, maka suaranya bergema keras dan dapat terdengar sampai di tempat jauh. Ketika itu, Lin Lin dan Cin Hai sedang berlatih ilmu pedang di dekat rumah, maka ketika mendengar teriakan memanggil ini, keduanya terkejut sekali. Lin Lin lalu segera meloncat tanpa membuang waktu lagi, sambil membawa Han-le-kam di tangan kanannya. Cin Hai juga lalu meloncat bahkan ia mendahului Lin Lin oleh karena ia maklum bahwa Yousuf berada dalam bahaya. Pendengarannya yang lebih tajam daripada pendengaran Lin Lin dapat menangkap suara yang penuh kecemasan itu.

 Cin Hai yang datang lebih dulu dari pada Lin Lin, ketika melihat Yousuf didesak dan dikeroyok dua oleh seorang hwesio dan seorang gagah yang berpakaian aneh dan berambut panjang, tanpa banyak cakap lagi lalu menyerbu karena ia melihat betapa kedua orang lawan Yousuf itu tangguh dan hebat ilmu silatnya. Ia tidak mau mencabut pedangnya karena melihat betapa ketiga orang itu pun bertempur dengan tangan kosong dan memang menjadi pantangan bagi Cin Hai untuk melawan musuh yang bertangan kosong dengan menggunakan senjata. Apalagi memang dengan kedua tangannya ia cukup kuat menghadapi musuh yang bagaimana lihai pun, maka kalau tidak sangat terpaksa, ia tidak mau menggunakan Liong-coan-kiam.

 Sebaliknya, ketika Bo Lang Hwesio dan Ke Ce melihat sepak terjang anak muda ini, mereka terkejut sekali karena baik kegesitan maupun tenaga Cin Hai benar-benar luar biasa, dan membuat mereka menjadi gentar! Bo Lang Hwesio menjadi penasaran oleh karena belum pernah ia melihat seorang yang masih begini muda dapat memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi darinya, maka ia lalu mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan ilmu kepandaian untuk menghadapi Yousuf seorang diri dan pertempuran berjalan seru dan hebat!

 Tak lama kemudian sampailah Lin Lin di tempat pertempuran dan begitu melihat bahwa yang sedang bertempur melawan Cin Hai adalah hwesio tua yang telah dikenalnya sebagai guru Boan Sip, ia segera berteriak keras, “Hai-ko, iblis tua itu adalah Bo Lang Hwesio, suhu dari Boan Sip yang jahat!”

 Cin Hai terkejut sekali dan tanpa terasa ia melompat mundur. Juga Bo Lang Hwesio yang melihat Lin Lin, segera bertanya, “Apakah kau yang bernama Kwee Lin dan yang telah membunuh muridku?”

 “Benar!” jawab Lin Lin tanpa takut sedikitpun juga. “Aku dan Ma Hoa telah menghancurkan kepala Boan Sip, kau mau apa?”

 “Celaka dan sayang'“ tiba-tiba Ke Ce yang juga berhenti sebentar dan bersama Yousuf memperhatikan percakapan mereka berkata, “Mengapa musuh-musuhmu demikian cantik-cantik seperti bidadari, Bo Lang Suhu? Celaka, celaka dan sayang sekali!”

  

 “Anak muda!” kata Bo Lang Hwesio kepada Cin Hai. “Kau mendengar sendiri bahwa Nona itu adalah pembunuh muridku, maka jangan kau ikut campur. Biarkan aku bertempur mengadu jiwa dengan dia!” Ucapan ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ia merasa jerih terhadap Cin Hai yang lihai.

 Akan tetapi sambil tersenyum, Cin Hai menjawab, “Bo Lang Hwesio, ketahuilah bahwa kalau kiranya aku bertemu dengan muridmu itu, aku pun tentu akan membunuhnya untuk yang kedua kalinya! Muridmu adalah pembunuh keluarga nona ini, dan kebetulan sekali ibu nona ini adalah bibiku pula! Muridmu telah membunuh keluarganya dan dia telah membalas dan membunuh muridmu yang murtad itu, bukankah ini sudah pantas? Kalau sekarang kau membela murid jahat itu, maka banyak kemungkinan semua orang akan menuduh bahwa kaulah orangnya yang salah mendidik murid itu! Peribahasa menyatakan bahwa pohon yang tidak sehat menghasilkan buah yang masam, berarti bahwa guru yang buruk tentu menjadikan muridnya jahat pula.”

 Merahlah muka Bo Lang Hwesio mendengar ini karena marahnya.

 “Jangan banyak cakap, kalau kau mau membela perempuan ini, pinceng pun tidak takut!”

 “Hai-ko, biarkan aku melawan sendiri pendeta siluman ini dengan pedangku!” Lin Lin berseru dan Cin Hai yang maklum bahwa gadis ini tentu hendak mencoba Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut yang baru dipelajarinya, segera berpikir bahwa baik juga membiarkan gadis itu mencoba ilmu pedangnya karena ia telah memberi latihan ginkang dan lweekang. Akan tetapi oleh karena ilmu pedang itu baru saja dipelajari hingga tentu saja belum matang dan sempurna ia lalu berkata,

 “Baik, Moi-moi, kaulawanlah dia, kalau dia terlalu berat bagimu, baru aku yang akan turun tangan!”

 Dengan seruan garang, Lin Lin lalu maju menerjang dengan pedang Han-le-kiam. Ketika mencipta ilmu pedang ini, Lin Lin yang berwatak jenaka dan gembira itu telah memberi nama pada tiap jurus dan gerakan bersama dengan Cin Hai. Maka muncullah sebutan-sebutan aneh dan lucu dalam tiap gerakan yang hanya dikenal dan dimengerti oleh Lin Lin dan Cin Hai. Ada gerak tipu-gerak tipu yang diberi nama Cin-hai-kwa-houw atau Cin Hai Menunggang Harimau, ada Pula Lin-lin-chio-cu atau Lin Lin Merebut Mustika, bahkan ada nama Ang-i-lo-be atau Ang I Niocu Turun Dari Kuda. Ketika ia menerjang maju, ia menggunakan tipu gerakan Lin Lin-chio-cu, tangan kanan yang memegang pedang menusuk tenggorokan Bo Lang Hwesio, sedangkan tangan kiri bukan diangkat ke belakang sebagai imbangan badan, akan tetapi bahkan melaksanakan serangan pula dengan sebuah gerakan dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na. Hebatnya Ilmu Pedang Han-le Kiam-sut ini ialah perkembangan atau perubahannya yang benar-benar tidak terduga dan semua serangan hanya merupakan pancingan belaka yang kemudian disusul menurut gerak dan serangan pembalasan lawan. Maka ketika Bo Lang Hwesio yang mempergunakan kedua ujung lengan bajunya, mengebut ke arah pedang pendek yang menyambar tenggorokan sedangkan lengan kiri dengan tenaga lweekang sepehuhnya menghantam pergelangan tangan Lin Lin yang mencengkeram dada, tiba-tiba pedang pendek itu telah meluncur ke bawah mengubah sasaran dan kini bergerak menusuk iga kiri, sedangkan tangan kiri dara itu yang tadi mencengkeram dada ketika hendak dihantam oleh tangan Bo Lang Hwesio, tiba-tiba ditarik mundur dan terus diluncurkan ke atas dengan dua jari terbuka, mengarah kedua mata lawan.

 Bukan main terkejutnya hwesio itu melihat perubahan gerakan yang sekaligus mematahkan serangan atau tangkisannya itu dan yang terus dilanjutkan dengan serangan lain. Ia cepat mengebutkan ujung lengan bajunya yang panjang untuk menangkis dan membelit pedang lawan yang mengarah iga kirinya, sedangkan untuk menghindari serangan jari pada matanya, ia menundukkan kepala. kan tetapi, kembali Lin Lin merubah gerakannya karena sebelum pedangnya tertangkis dan terlibat oleh ujung lengan baju, pedang itu dengan mengeluarkan suara angin telah berkelebat dengan belokan indah dan kini melakukan serangan hendak memenggal leher hwesio yang sedang menundukkan kepala itu, sedangkan tangan kiri ditarik dan langsung menyodok perut.

 Memang hebat sekali llmu Pedang Han-le Kiam-sut ciptaan Cin Hai ini. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan perubahannya amat tidak terduga hingga tiap kali serangan tidak berhasil, lalu disusul dengan gerak serangan lain yang disesuaikan dengan kedudukan atau posisi lawan. Sayang sekali bahwa Lin Lin belum mahir dan belum cepat betul dalam menjalankan serangan-serangan hingga biarpun perubahannya cepat, namun semua masih dapat dilihat oleh lawan hingga masih sempat mengelak. Kalau saja yang mainkan itu Cin Hai atau Ang I Niocu yang sudah memiliki kecepatan tubuh yang otomatis dan memiliki gaya gerakan yang tidak sewajarnya hingga dapat membuat gerakan palsu yang tidak terduga, tentu ilmu pedang ini akan merupakan ilmu pedang yang amat sukar dilawan.

 Betapapun juga, Bo Lang Hwesio dapat dibikin bingung dan untuk menghindari serangan-serangan selanjutnya yang bertubi-tubi dan yang seakan-akan otomatis dan timbul dari cara ia menangkis atau mengelak itu, ia lalu berseru dan melangkah ke belakang dua tombak lebih jauhnya. Setelah jauh dari Lin Lin barulah ia terhindar dari serangan yang bertubi-tubi dan kini ia menghadapi gadis itu dengan hati-hati sekali, lalu maju menyerang dengan cepat, memutar-mutar dua ujung lengan baju bagaikan kitiran angin cepatnya!

  

 Sementara itu, Ke Ce semenjak tadi hanya berdiri dan memandang dengan kagum, sama sekali lupa kepada Yousuf yang masih berdiri saja karena orang Turki ini tidak akan mau menyerang apabila tidak diserang. Yousuf hanya berdiri dengan tegak sambil memandang pertempuran itu dan ia pun merasa kagum sekali melihat kehebatan ilmu pedang Lin Lin. Karena ia maklum bahwa gadis itu mendapat latihan dan pelajaran dari Cin Hai, maka makin kagum dan hormatlah ia terhadap pemuda itu. Tiba-tiba melihat betapa Bo Lang Hwesio agaknya tak dapat mengalahkan Lin Lin dalam waktu pendek, Ke Ce yang curang hatinya itu lalu membentak keras dan kedua lengan tangannya mendorong ke arah Lin Lin. Inilah Pukulan Angin Taufan yang hebat dan merupakan semacam pukulan khikang yang tinggi tingkatnya di daerah Mongolia Dalam dan yang tidak sembarang orang dapat menguasai atau mempelajarinya dengan sempurna. Tenaga khikang Ke Ce sudah hampir sempurna, maka Kwee An sendiri sampai tak dapat menahan serangan ini!

 Akan tetapi, kali ini Ke Ce tercengang sekali ketika tiba-tiba angin pukulannya yang dahsyat bagaikan tenaga angin taufan itu membalik dan membuat ia sendiri bergoyang-goyang! Ketika ia memandang, ternyata bahwa dari tempat di mana ia berdiri, Cin Hai dengan tubuh setengah membongkok, juga mengulur kedua tangan dan melakukan gerakan yang sama dengan gerakannya sendiri dan ternyata bahwa tenaga pukulan atau dorongan yang keluar dari kedua lengan anak muda itu lebih kuat hingga telah berhasil menggempur tenaga dorongannya! Terbelalak mata Ke Ce memandang oleh karena bagaimana seorang bangsa Han dapat memiliki ilmu dorong ini? Ia tidak tahu bahwa Cin Hai mengerti semua gerakan ilmu pukulan dan baru melihat gerakan pundak dan lengannya saja, pemuda itu telah dapat menirunya dan pada saat tepat telah mengirim kembali tenaga yang tadinya ditujukan dengan maksud merobohkan Lin Lin itu.

 “Eh, jangan main curang, kawan!” kata Cin Hai sambil tersenyum memandang. Yousuf menjadi marah sekali melihat betapa dengan curangnya Ke Ce telah menyerang Lin Lin yang masih bertempur ramai melawan Bo Lang Hwesio, maka ia berseru,

 “Ke Ce, kalau sudah gatal-gatal tubuhmu ingin dipukul, akulah lawanmu!” ia lalu menerjang dengan marah dan hebat hingga Ke Ce terpaksa melayani. Cin Hai memandang dengan penuh perhatian dan sebentar saja maklumlah dia bahwa biarpun ilmu kepandaian kedua orang ini tidak jauh selisihnya, namun kepandaian Yousuf masih lebih kuat dan tak perlu dikuatirkan keadaannya. Maka ia lalu memusatkan perhatiannya kepada Lin Lin lagi. Ia melihat betapa gadis itu dengan garang melakukan penyerangan, akan tetapi menghadapi Bo Lang Hwesio ia kalah pengalaman. Bo Lang Hwesio, ternyata gagah sekali dan Cin Hai maklum bahwa apabila pergelangan tangan Lin Lin kena dikebut oleh ujung lengan baju atau pedang Han-le-kiam dilibat, tentu Lin Lin akan kalah dan mendapat celaka.

 Baru saja ia berpikir demikian, tiba-tiba dengan bentakan keras Bo Lang Hwesio menyerang dengan telapak tangan dimiringkan memukul leher gadis itu dan ketika Lin Lin dengan lincahnya berkelit, tiba-tiba ujung lengan baju hwesio yang kosen itu telah berhasil melibat ujung pedang Han-le-kiam. Lin Lin berusaha mencabutnya, akan tetapi pedang itu seakan-akan telah melengket pada lengan baju dan tidak dapat ditarik kembali. Cin Hai berseru keras dan sekali tubuhnya berkelebat ia dapat mengirim serangan ke arah leher hwesio itu yang cepat mengangkat tangan yang tadinya dipakai memukul leher Lin Lin untuk menangkis karena sudah tidak ada jalan lain lagi baginya untuk mengelak. Ketika kedua lengan tangan mereka beradu, Bo Lang Hwesio mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya, maka ketika Lin Lin menarik pedangnya, “Brett!” sobeklah ujung lengan bajunya! Sedangkan tubuhnya menjadi terhuyung mundur ketika tenaga Cin Hai yang luar biasa mendorongnya dari pertemuan lengan itu!

 “Hebat!” serunya sambil melompat mundur lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat. “Aku yang tua dan lemah tak kuat melawan terus, biar lain kali bertemu pula! Ke Ce hayo kita pergi!” teriaknya kepada kawannya yang sementara itu telah didesak hebat oleh Yousuf!

 “Sampai lain kali!” kata Ke Ce dan pada saat itu juga tubuhnya mencelat ke atas, berjungkir balik empat kali di udara dan turun melayang ke tempat agak jauh hingga tentu saja kegesitan ini membuat Yousuf dan yang lain-lain merasa kagum sekali. Memang sungguh hebat gerakan tadi dan jarang dapat dilakukan oleh orang yang ilmu ginkangnya belum tinggi! Setelah kedua orang berlari turun gunung dengan cepat, Yousuf lalu menceritakan bahwa Kwee An dan Ma Hoa telah terdorong masuk ke dalam jurang!

 “Celaka!” kata Cin Hai dan Lin Lin yang segera berlari ke pinggir jurang dan menjenguk. Lin Lin menjerit ngeri dan menangis sedih ketika melihat betapa jurang itu dalamnya tak terkira hingga tidak kelihatan dasarnya! Cin Hai menggeleng-gelengkan kepala.

 “Ayah, kenapa kau tadi tidak memberitahu?” kata Lin Lin sambil menangis dan membanting-banting kaki dengan gemasnya. “Kalau aku tahu, tentu aku takkan melepaskan dua binatang kejam dan busuk itu!”

 Juga Cin Hai merasa kecewa karena kalau ia tahu bahwa Kwee An dan Ma Hoa terbinasa dan terlempar ke dalam jurang oleh kedua orang tadi tentu ia juga tidak akan melepas mereka! Yousuf merasa menyesal sekali dan merasa bahwa ia telah lupa sama sekali untuk menceritakan hal itu.

  

 “Biar aku mencari mereka di dalam jurang!” kata Yousuf yang lalu berlari secepat terbang ke rumahnya. Tak lama kemudian ia kembali lagi membawa segulung tambang yang panjang sekali.

 "Peganglah ini, Cin Hai, aku hendak turun dan mencari Kwee An dan Ma Hoa,” katanya sambil memberikan tambang itu kepada Cin Hai.

 “Jangan, Yo-pe-peh, biar aku saja yang turun. Kau dan Lin Lin yang memegang tambang itu!” kata Cin Hai.

 “Biarkanlah aku yang turun,” kata pula Yousuf dan tiba-tiba dari kedua mata orang tua ini mengalir turun air mata! Lin Lin dan Cin Hai maklum bahwa orang tua ini merasa bersalah sekali dan ia merasa demikian menyesal hingga sekarang ia hendak menebus kesalahannya dan ingin turun mencari mereka yang jatuh ke dalam jurang.

 Lin Lin merasa amat terharu dan lalu menubruk dan memeluk pundak ayah angkat itu, “Ayah... maafkanlah kami berdua... kami tidak menyalahkan kau. Ayah... biarkan Hai-ko saja yang turun.”

 “Benar, Yo-peh-peh, kau sudah tua dan aku yang muda lebih bertanggung jawab akan tugas berat ini. Tidak ada yang bersalah dalam hal ini dan soal kedua orang bangsat kecil itu, biar lain kali kita mencari mereka untuk membalas dendam!!”

 Akhirnya Yousuf menurut juga dan tambang yang panjang itu lalu dilempar ke bawah dan ujungnya dipegang oleh Yousuf dan Lin Lin. Akan tetapi ternyata bahwa tambang yang panjangnya tidak kurang dari seratus kaki itu masih bergoyang-goyang, yang menandakan bahwa tambang itu belum mencapai dasar jurang! Lin Lin bergidik dan ngeri.

 “Alangkah dalamnya!” katanya dengan bibir gemetar.

 “Di rumah sudah tidak ada tambang lagi,” kata Yousuf yang juga pucat wajahnya.

 “Biarlah, sebegini juga cukuplah. Biar aku turun sampai di ujung tambang dan melihat apa yang berada di bawahnya,” kata Cin Hai. “Peganglah tambang kuat-kuat!” Pemuda itu melangkah ke pinggir jurang dan tiba-tiba Lin Lin memegang lengannya. Cin Hai menengok.

 “Ko-ko... hati-hatilah kau...”

 Cin Hai tersenyum dan meraba dagu gadis itu, kemudian ia lalu turun ke bawah menyusur tambang. Karena ia telah memiliki kepandaian ginkang yang sempurna, maka mudah saja ia merayap melalui tambang itu. Ternyata bahwa tebing itu tinggi sekali dan di bawahnya tertutup oleh awan atau halimun tebal hingga keadaannya gelap benar. Setelah kedua kakinya merasa telah tiba di ujung tambang paling bawah, Cin Hai meraba-raba dengan kaki dan ternyata memang benar bahwa tambang itu masih tergantung di udara dan belum sampai ke tanah. Ia lalu mengayun tubuh ke depan hingga tambang itu ikut terayun. Tubuhnya terayun-ayun beberapa kali, makin lama makin keras dan akhirnya ia dapat menyentuh tanah di depannya. Ternyata bahwa tanah itu bukan batu karang yang keras ditumbuhi rumput dan pohon kecil. Akan tetapi karena tanah itu letaknya tegak lurus ke atas, tentu saja tak mungkin baginya untuk mendarat di situ. Ia berkali-kali memejamkan mata dan membukanya lagi untuk dapat membiasakan mata itu menembus halimun. Kemudian matanya memandang ke sekelilingnya mencari-cari.

 Baik Cin Hai maupun Lin Lin dan Yousuf sama sekali tak pernah menyangka dan menaruh curiga terhadap Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sebetulnya kedua orang itu masih belum pergi dari situ. Memang benar bahwa mereka telah lari turun gunung, akan tetapi tiba-tiba Ke Ce berhenti berlari dan berkata perlahan, “Bo Lang Suhu, mari kita kembali ke atas!”

 “Apa kau gila?” seru Bo Lang Hwesio yang tak dapat menangkap maksudnya,

 “Dara manis itu... ia cantik jelita dan ia musuhmu, bukan? Kalau saja kita bisa menyergapnya, tanpa bantuan Yousuf dan pemuda lihai itu, kita berdua masa tak dapat menangkapnya?” Sambil berkata demikian, kedua mata Ke Ce yang cerdik itu berputar-putar dan mulutnya tersenyum. Untuk beberapa lama Bo Lang Hwesio tertegun merasa malu dan rendah untuk melakukan hal ini, akan tetapi menghadapi mereka bertiga yang tangguh, sampai kapan ia dapat membalas sakit hati muridnya terhadap Lin Lin? Akhirnya ia anggukkan kepalanya yang gundul mereka berdua dengan berindap-indap dan sembunyi-sembunyi lalu naik lagi ke atas bukit.

 Pada saat mereka tiba di tempat itu sambil mengintai dan bersembunyi di balik pohon, Cin Hai masih berada di bawah dan ujung tambang masih dipegang oleh Lin Lin dan Yousuf. Bukan main girang hati Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Sambil tertawa dan membentak keras mereka berdua keluar dari tempat persembunyian mereka dan lari cepat ke arah Yousuf dan Lin Lin yang masih memegang tambang di mana tubuh Cin Hai bergantung di bawah.

  

 Alangkah terkejut hati Yousuf dan Lin Lin melihat kedatangan mereka tak perlu diceritakan lagi. Keduanya memandang dengan wajah pucat sekali dan merasa bahwa kini mereka berdua berikut Cin Hai, pasti akan binasa.

 “Pegang tambang itu kuat-kuat, aku melawan mereka mati-matian,” kata Yousuf. Lin Lin lalu memegang tambang itu seorang diri dengan sekuat tenaga karena biarpun sebenarnya tenaganya sudah lebih dari cukup untuk memegang ujung tambang yang digantungi tubuh kekasihnya, akan tetapi oleh karena perasaan takut kalau kalau tambang itu terlepas dari tangan dan ngeri memikirkan nasib Cin Hai kalau terjadi hal demikian, maka ia memegangnya erat-erat, seakan-akan nyawanya sendiri yang tergantung di ujung tambang itu.

 Yousuf yang tadi ketika mengambil tambang juga mengambil pedangnya, lalu mencabut pedang itu dan menyambut mereka sambil berlari agar pertempuran dapat dilakukan di tempat yang jauh dari Lin Lin. Akan tetapi, Bo Lang Hwesio dan Ke Ce yang hendak bertindak cepat, lalu menerjang dengan hebat hingga sebentar saja Yousuf terkurung dan terdesak hebat sekali.

 Sementara itu, Cin Hai yang tidak tahu apa-apa tentang peristiwa yang sedang terjadi di atas, masih mencari-cari dengan matanya. Ketika ia menggunakan ketajaman matanya menembus halimun tebal dan melihat ke bawah, ia hanya melihat warna putih kebiru-biruan yang bergerak-gerak di bawah kakinya, jauh di bawah. Ia menduga bahwa itu mungkin juga daun-daun pohon. Cin Hai lalu mencari akal, dan ketika tangannya menyentuh akar-akar dan daun pohon kecil, ia lalu memegang akar pohon kuat-kuat dan sambil menggantungkan kedua kakinya pada akar pohon, ia lalu mempergunakan kedua tangan untuk mengikat ujung tambang itu pada pinggangnya. Dengan demikian, ia mulai mencari-cari ke kanan-kiri sambil merayap dan berpegangan pada akar-akar pohon tanpa takut terpeleset atau akar itu patah, karena pinggangnya telah terikat tambang.

 Pada saat Lin Lin memandang dengan berdebar cemas betapa Yousuf terkurung hebat oleh kedua orang musuh yang tangguh itu tiba-tiba ia mendengar suara di atas kepalanya. Alangkah girangnya karena melihat Merak Sakti terbang berkeliling di atasnya.

 “Kongciak-ko, lekas tolong Ayah!” teriak Lin Lin dengan keras.Merak Sakti menyambar turun bagaikan tahu akan perintah Lin Lin, dan juga berkat rasa kesetiannya melihat Yousuf dikeroyok itu timbul, lalu ia menyambar ke arah Ke Ce sambil memekik keras!

 Ke Ce terkejut sekali ketika melihat bayangan kuning kebiru-biruan menyambar turun dari angkasa ke arah kepalanya. Ia cepat mengelak dan mengeluarkan keringat dingin ketika patuk merak yang kecil merah dan tajam itu meluncur dekat kepalanya, hampir saja berhasil mematuk matanya! Ketika Merak Sakti menyambar lagi, ia cepat mengulur tangan dengan gerakan Eng-jiauw-kang untuk mencengkeram dan menangkap leher merak yang bagus itu. Akan tetapi merak itu bukanlah burung sembarang burung, melainkan peliharaan orang sakti dan telah menerima latihan-latihan hingga ia menjadi seekor merak sakti. Menghadapi serangan ini, ia tidak gentar dan sambil terbang ia mengebut tangan yang hendak mencengkeramnya itu dengan sayap. “Blekk!” dan Ke Ce hampir saja mengeluarkan pekik karena tangannya yang terpukul sayap itu terasa sakit dan pedas. Ternyata bahwa kebutan sayap merak itu mengandung tenaga yang bukan main besarnya! Ke Ce menjadi marah sekali dan mempergunakan ilmu pukulan Angin Taufan untuk mendorong jauh merak yang lihai itu. Namun Merak Sakti agaknya yang telah maklum akan kelihaian pukulan yang mendatangkan angin ini hingga tiap kali Ke Ce memukul, ia selalu mengelak cepat. Betapapun juga, serangan Ke Ce dengan ilmu pukulan ini membuat merak itu tak berdaya untuk menyerangnya.

 Biarpun kini hanya menghadapi seorang lawan saja, namun oleh karena kepandaian Bo Lang Hweso lebih tinggi daripada kepandaiannya, tetap saja Yousuf terdesak hebat dan berada dalam keadaan berbahaya! Lin Lin mengeluarkan keringat dingin ketika melihat betapa bantuan Sin-kong-ciak tetap belum dapat menolong ayah angkatnya, bahkan kini merak itu hanya berani terbang berputaran di atas kepala Ke Ce oleh karena tadi hampir saja pukulan Angin Taufan orang mongol itu mengenai dadanya! Lin Lin mulai menarik-narik tambang membetot-betot untuk memberi tanda kepada Cin Hai, tiba-tiba ia merasa tambang itu dikedut dari bawah, tanda bahwa Cin Hai telah merasa akan isarat yang ia berikan dan kini membalas dengan kedutan seakan-akan hendak bertanya.

 “Hai-ko... lekas kau naik...!” Lin Lin berteriak ke arah bawah tebing, akan tetapi suaranya ditelan halimun dan tak dapat menembus ke bawah. Ia berteriak berkali-kali dan Ke Ce yang melihat hal ini, segera melompat ke arahnya! Lin Lin segera mempergunakan tangan kiri untuk menahan tambang sedangkan tangan kanannya mencabut pedangnya! Ia hanya berdiri dengan mata tajam menentang Ke Ce dan pedangnya siap di tangan kanan. Tekadnya hendak melawan mati-matian dan apabila ia kalah, ia takkan melepaskan tambang itu dan bersedia melompat ke dalam tebing menyusul kekasihnya!

 Sementara itu, Sin-kong-ciak ketika melihat betapa Ke Ce menghampiri Lin Lin, lalu berteriak-teriak nyaring dan mulai menyambar kepala Ke Ce lagi! Ke Ce memukul merak itu mengelak terbang lagi ke atas dengan jerih. Ke Ce tertawa menyeringai dan menghadapi Lin Lin sambil berkata,

 “Nona manis, kaulepaskan saja tambang itu dan kau ikut aku pergi ke…” pada saat itu, Sin-kong-ciak menyambar lagi dan mencakar ke arah mukanya sehingga terpaksa Ke Ce mengelak dan tak dilanjutkan ucapannya terhadap Lin Lin. “Burung celaka!” makinya. “Burung bedebah! Kalau aku dapat menangkapmu, akan kupanggang dagingmu sampai gosong!”

  

 Akan tetapi Merak Sakti itu hanya terbang mengelilingi di atas kepalanya sambil mengeluarkan pekik nyaring berkali-kali. Pekik inilah yang terdengar oleh Cin Hai dan yang membuat pemuda itu menjadi curiga, apalagi karena ia merasa betapa tambang itu berkali-kali ditarik dari atas. Dengan cepat Cin Hai lalu mulai memanjat tambang itu untuk naik kembali ke atas oleh karena penyelidikannya tidak menghasilkan sesuatu.

 Sementara itu, berkat sambaran-sambaran Sin-kong-ciak, Ke Ce tiada mendapat kesempatan untuk mengganggu Lin Lin, karena apabila ia telah usir merak itu dengan pukulan Angin Taufannya dan ia menghampiri Lin Lin, gadis itu telah siap dengan pedangnya yang tidak boleh dipandang ringan biarpun gerakannya tidak leluasa karena tangan kiri memegang tambang. Sebelum Ke Ce dapat bertindak lebih jauh, merak itu sudah turun menyambar lagi hingga pemuda Mongol ini menjadi marah benar-benar. Lin Lin yang merasa gugup dan cemas melihat keadaan Yousuf dan keadaannya sendiri, beberapa kali berseru,

 “Hai-ko, lekas... lekas keluar...!”

 Mendengar ini dan melihat betapa tambang di tangan Lin Lin bergoyang-goyang, Ke Ce menjadi takut. Hanya Cin Hai saja yang ia takuti, maka kini menduga bahwa pemuda itu akan segera muncul, ia lalu angkat kaki lebar sambil mengajak Bo Lang Hwesio,

 “Bo Lang-Suhu, lekas pergi!”

 Sementara itu, Yousuf telah beberapa kali terkena sampokan ujung lengan baju Bo Lang Hwesio yang lihai, bahkan pukulan terakhir yang mengenainya telah menghantam pundak dekat leher yang membuat dadanya terasa sesak dan sakit. Akan tetapi berkat ilmu lweekangnya yang sudah tinggi, ia dapat mengumpulkan tenaga dan masih dapat melawan dengan gigih! Bo Lang Hwesio merasa heran sekali melihat keuletan orang Turki ini, karena pukulan-pukulan ujung lengan bajunya tadi cukup untuk menewaskan seorang lawan gagah dengan sekali pukul saja. Kakek Turki ini telah empat kali menerima pukulannya dan masih saja kuat melakukan perlawanan! Diam-diam ia merasa kagum dan gentar juga. Apakah kakek ini memiliki ilmu kekebalan yang hebat? Karena hatinya telah gentar, maka ketika Ke Ce melarikan diri dan mengajak ia untuk kabur, ia lalu meloncat jauh dan mengejar kawannya itu, lari turun gunung dengan cepat. Dan kali ini mereka benar-benar lari dari atas gunung itu karena takut akan pembalasan Cin Hai!

 Ketika Cin Hai telah mendarat dan berada di atas tebing, ia menjadi terkejut sekali melihat Lin Lin memegang ujung tambang dengan pedang di tangan kanan dan air mata gadis itu mengalir di kedua pipi. Ketika ia memandang ke arah Yousuf, ia segera berseru kaget karena kakek itu roboh tak sadarkan diri! Keduanya lalu berlari menghampiri dan sambil memeriksa keadaan luka-luka di dalam tubuh Yousuf, Cin Hai mendengar keterangan Lin Lin dengan mata berapi dan muka merah.

 “Keparat betul kedua bangsat rendah itu!” katanya sambil mengertak gigi. “Alangkah curang dan rendahnya perbuatan mereka!”

 Cin Hai agak lega melihat bahwa biarpun Yousuf mendapat luka-luka yang hebat, namun tenaga dalam kakek itu telah cukup kuat untuk melindungi jantung dan paru-parunya hingga tidak sampai menderita luka. Akan tetapi ia memerlukan rawatan teliti dan lama sebelum dapat sembuh sama sekali. Kemudian ia lalu memondong tubuh Yousuf dan bersama Lin Lin ia kembali ke rumah untuk segera memberi pertolongan kepada orang Turki itu.

 Setelah mendapat urutan dan pencetan pada jalan darahnya, kakek itu siuman kembali dan ia tersenyum melihat bahwa Lin Lin dan Cin Hai masih selamat dan berada di dekatnya!

 “Lain kali akan kubalas dia...” katanya lemah.

 Kemudian Cin Hai lalu menceritakan pengalamannya ketika ia mencari-cari jejak kedua kawan yang terjatuh ke dalam tebing.

 “Halimun terlalu tebal dan tebing itu terlalu dalam hingga sukar untuk melihat nyata. Akan tetapi oleh karena tebing itu merupakan lereng gunung, aku akan mencoba untuk mencari dari kaki gunung dan hendak memanjat ke atas pada tempat itu. Mudah-mudahan saja Thian Yang Maha Kuasa melindungi mereka berdua!”

 Tiba-tiba Lin Lin menepuk jidatnya dengan perlahan. “Ah... mengapa kita begitu bodoh? Kong-ciak-ko tentu dapat mencari mereka.”

 Mendengar ini, Cin Hai dan Yousuf girang sekali karena mereka juga berpendapat bahwa burung merak itu tentu saja dapat mencari mereka.

 “Pergilah kalian segera membawa Sin-kong-ciak dan suruh burung itu mencari Kwee An dan Ma Hao. Lekas!” kata Yousuf dengan suara gembira.

 Lin Lin dan Cin Hai lalu berlari-lari keluar dan Lin Lin bersuit memanggil burung merak yang segera terbang datang.

 “Kong-ciak-ko, mari kau ikut kami!” katanya sambil berlari cepat kembali ke tebing tadi. Burung merak itu mengeluarkan suara girang dan terbang mengikuti di atas mereka.

  

 Setelah tiba di tebing, Lin Lin lalu memberi tanda dengan tangannya menyuruh burung merak itu turun. Kemudian, sambil menunjuk ke bawah tebing, Lin Lin berkata, “Kong-ciak-ko dengarlah baik-baik! Kwee An dan Ma Hoa hilang di bawah sana, kaucarilah mereka sampai dapat!” Setelah mengulangi perintah ini sampai beberapa kali, tiba-tiba merak itu lalu memekik girang dan segera terbang ke bawah tebing. Ternyata ia telah dapat menangkap maksud perintah tadi!

 Lin lin merasa begitu tegang dan gembira hingga ia memegang tangan Cin Hai dan keduanya lalu berdiri menanti di tepi tebing dengan wajah agak tegang dan tak dapat mengeluarkan kata-kata. Hanya hati kedua anak muda ini yang berdebar dan bersama-sama berdoa semoga burung merak itu akan dapat menemukan kedua kawan mereka dan kembali sambil membawa berita baik!

 Lama sekali mereka menanti dan tiba-tiba mereka mendengar merak itu memekik di sebelah bawah. Dan bukan main heran mereka karena pekik merak itu adalah pekik kemarahan, seperti biasanya dikeluarkan apabila ia menghadapi seorang lawan! Berkali-kali merak itu memekik dan dengan wajah pucat Lin Lin bertanya kepada Cin Hai,

 “Siapakah gerangan yang membuat Kong-ciak-ko demikian marah?”

 Cin Hai juga tak dapat menduga dan hanya menjenguk ke bawah yang putih gelap tertutup halimun itu dengan penuh perhatian dan harap-harap cemas.

 Setelah terdengar pekik merah itu beberapa kali lagi, lalu di bawah menjadi sunyi, sunyi yang makin menggelisahkan hati kedua teruna remaja itu. Tiba-tiba terdengar bunyi pukulan sayap merak itu dan muncullah Sin-kong-ciak menembus halimun, terbang ke atas dan langsung mendarat di dekat Lin Lin. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil mengeluarkan keluhan-keluhan aneh dan ketika Cin Hai dan Lin Lin memandang, ternyata bahwa di kaki merak itu telah terlibat oleh seutas tali hijau yang ternyata terbuat daripada semacam akar pohon. Tali itu di bagian depan mengikat sepotong batu karang kecil yang agaknya digunakan untuk disambitkan hingga tali dapat melibat kaki Merak Sakti. Tentu saja ilmu kepandaian melempar tali dengan batu karang ini yang dapat melibat kaki Merak Sakti, menunjukkan bahwa pelemparnya tentulah seorang luar biasa. Jangankan tali itu sampai dapat melibat kaki Merak Sakti yang lihai dan pandai mengelak, sedangkan untuk menangkap burung biasa dengan cara aneh itu pun agaknya takkan mudah dilakukan oleh sembarang orang! Dan yang membuat kedua anak muda itu merasa heran adalah sepotong kertas yang berada di ujung tali itu.

 Cin Hai cepat mencabut kertas itu dan ternyata bahwa di situ terdapat tulisan yang dilakukan dengan corat-coret kasar dan berbunyi,

 Pergilah kalian dan pelihara Merak ini baik-baik. Kalau ada jodoh, kelak bertemu.

 “Aneh...“ kata Cin Hai, “tulisan siapakah ini dan apa maksudnya? Apa hubungannya dengan Kwee An dan Ma Hoa?”

 Lin Lin yang membaca surat itu berkali-kali, juga tidak mengerti dan hanya memandang dengan bengong. “Tentu ada seorang yang luar biasa pandai di sebelah bawah yang penuh rahasia itu,” katanya, “dengan batu ia dapat membelitkan tali bersurat kepada kaki Kong-ciak-ko dan ia dapat mengetahui pula keadaan kita berdua di sini. Sungguh heran dan ajaib!”

 Sekali lagi Cin Hai membaca surat itu dengan teliti. “Dengan kata-kata pergilah kalian, orang aneh itu telah mengetahui bahwa kita berdua berada di sini dan menyuruh pergi tentu karena kedua orang saudara kita itu selamat. Ia menyuruh kita memelihara merak baik-baik karena agaknya ia kagum dan suka sekali kepada merak ini, sedangkan kata-kata kalau ada jodoh kelak bertemu adalah ucapan yang biasa dilakukan oleh pertapa atau orang-orang tua yang sakti. Ini hanya dugaanku saja, terutama tentang keselamatan Kwee An dan Ma Hoa, aku sendiri belum dapat memastikan benar.”

 Mereka lalu kembali ke rumah Yousuf dan menceritakan peristiwa itu sambil memperlihatkan surat itu. Yousuf juga merasa heran akan tetapi ia berkata dengan suara mengandung penuh harapan, “Orang yang mengirim surat secara aneh ini tentu seorang pandai dan kalau ia dapat mengetahui keadaan kalian di atas tebing, tentu ia tahu pula apa yang kalian cari. Maka menurut dugaanku, Kwee An dan Ma Hoa tentu tertolong olehnya!”

 “Akan, tetapi, kalau benar demikian halnya, mengapa ia tidak menyuruh An-ko dan Ma Hoa kembali ke sini?” tanya Lin Lin.

 Yousuf menggeleng-geleng kepala dan memejamkan matanya karena pembicaraan ini walaupun dilakukan sambil berbaring, cukup melelahkan tubuhnya yang lemah. Yousuf adalah seorang perantau yang banyak pengalaman dan ia mengerti pula cara pengobatan, maka ia dapat merawat luka-lukanya sendiri.

 Semenjak terjadinya peristiwa yang menguatirkan itu, yaitu lenyapnya Kwee An dan Ma Hoa serta terlukanya Yousuf, Cin Hai lalu menggembleng Lin Lin lebih rajin dan tekun lagi sambil memberi nasihat agar supaya gadis kekasihnya itu melatih diri baik-baik siang dan malam karena Cin Hai hendak meninggalkannya.

  

 “Kau harus dapat menguasai Ilmu Pedang Han-le-kiam-sut serta kedua Ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut dan Kong-ciak-sin-na baik-baik untuk menjaga bahaya mendatang, karena aku harus meninggalkan kau dan Yo-peh-peh beberapa lama untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa. Hatiku takkan tenteram sebelum dapat menemukan mereka,” katanya.

 Lin Lin juga mengatakan setuju. Tentu saja ia ingin sekali ikut akan tetapi keadaan Yousuf yang rebah dengan tubuh masih lemah dan belum sembuh lukanya itu memerlukan tenaga bantuan dan rawatannya, hingga ia tidak tega untuk meninggalkan ayah angkatnya yang dikasihinya itu. Demikianlah, mereka berlatih siang malam tanpa mengenal lelah hingga setelah digembleng secara demikian untuk sebulan lamanya, Cin Hai menjadi puas sekali.

 “Lin-moi,” katanya girang setelah ia mencoba melawan Lin Lin dan mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang gadis itu kini benar-benar telah hebat sekali. “Sekarang, biarlah Bo Lang Hwesio dan Ke Ce datang, bahkan biarlah mereka itu membawa dua tiga orang kawan lagi. Dengan adanya kau di sini, seorang diri saja kau akan sanggup memukul roboh mereka semua.”

 “Benarkah itu, Koko? Menurut pendapatku sendiri, kepandaianku masih sama saja.”

 Cin Hai tersenyum “Memang demikianlah adanya. Kemajuan sendiri takkan pernah terasa atau terlihat sendiri, orang lain yang bisa menentukannya. Makin pandai seseorang ia akan makin merasa dirinya bodoh. Kauingat akan nama guru kita? Bu Pun Su, artinya Tiada Kepandaian! Suhu yang ilmunya telah mencapai puncak kesempurnaan itu, bahkan mengaku bahwa Beliau tidak memiliki kepandaian sama sekali. Kepandaianmu sekarang telah berlipat beberapa kali kalau dibandingkan dengan sebulan yang lalu. Kalau tidak percaya, mari kita tanyakan kepada Yo-pekhu.”

 Keduanya lalu mendatangi Yousuf yang berangsur sembuh dan kini telah dapat duduk.

 “Yo-pekhu, coba kaulihat ilmu pedang Lin Lin dan nyatakan pendapatmu!” kata Cin Hai. Yousuf tersenyum dan mengangguk-angguk dan Lin Lin lalu bersilat dengan pedang pendeknya di depan Yousuf. Pedang pendek Han-le-kiam menyambar-nyambar dan merupakan sinar putih kebiru-biruan berkelebat di sekeliling tubuh Lin Lin yang menari-nari dengan gaya indah. Walaupun pedang itu pendek saja, namun sinarnya seakan-akan menjadi senjata yang panjang hingga dapat dibayangkan bahwa gerakan pedang itu cepat sekali. Yang hebat ialah bahwa tangan kiri Lin Lin tidak tinggal diam, akan tetapi membarengi gerakan tangan kanan yang memegang pedang pendek dan melakukan penyerangan pula sambil mainkan jurus-jurus yang lihai dan aneh dan Ilmu Silat Pek-in Hoatsut dan Kong-ciak Sin-na.

 Setelah ia berhenti mainkan ilmu pedangnya sambil memandang ke arah ayah angkatnya itu dengan mata mengandung pertanyaan, Yousuf menarik napas panjang karena tadi ia seperti menahan napas karena kagumnya.

 “Ah, sungguh sukar dipercaya bahwa kepandaian ini baru kaupelajari beberapa puluh hari saja. Terus terang saja, aku sendiri belum tentu kuat menghadapimu dalam sepuluh jurus. Kau hebat, anakku dan terima kasih kepada Cin Hai yang telah mendidikmu.”

 Cin Hai tersenyum girang, lalu menjura sambil berkata, “Terima kasih itu tak seharusnya ditujukan kepadaku, Yo-pekhu, akan tetapi kepada Suhu Bu Pun Su. Sekarang aku hendak turun gunung dan mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa. Dengan kepandaian Lin Lin sekarang, aku dapat meninggalkan kalian dengan hati tenteram. Lin-moi, harap kau jangan malas untuk melatih diri selama aku pergi.”

 Lin Lin mengerling tajam. “Apakah memang aku biasanya malas? Koko, jangan terlalu lama pergi!”

 “Mana aku kuat meninggalkan kau terlalu lama?”

 Kemudian, setelah sekali lagi memandang kepada Lin Lin dan menjura kepada Yousuf, Cin Hai lalu melompat dan tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan kedua orang itu.

 “Lin Lin, kau bahagia sekali mendapat jodoh seperti Cin Hai,” kata Yousuf dengan gembira.

 Lin Lin tidak menjawab, hanya menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi pembaringan Yousuf sambil tersenyum dan pandang matanya melayang jauh dalam lamunan.

 Cin Hai mempergunakan ilmunya untuk berlari cepat menuruni bukit itu. Ia terus turun sampai di kaki bukit, lalu mengambil jalan memutar menuju ke kaki gunung di bawah tebing yang curam di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh. Ternyata bagian ini, ialah bagian sebelah timur, penuh dengan hutan belukar dan lereng gunung itu walaupun terdiri dari tanah yang tidak keras, akan tetapi sukar dilalui karena penuh dengan jurang-jurang dan rawa-rawa yang penuh alang-alang. Bahkan ada bagian yang nampaknya seperti tanah rata ditumbuhi rumput tebal, akan tetapi ketika terinjak, ternyata bahwa di bawahnya merupakan tanah lumpur yang berbahaya karena sekali kedua kaki masuk ke situ, orang takkan mampu menarik kembali kedua kakinya yang makin lama tersedot makin dalam! Karena rawa yang demikian ini luas sekali dan tak mungkin diloncati begitu saja karena lebarnya, Cin Hai lalu mencari akal. Ia menggunakan pedangnya untuk memotong banyak batang pohon bambu dan melemparkan bambu itu ke atas rumput itu. Ia membawa beberapa batang bambu yang panjang dan menginjak bambu yang telah dilempar di atas rumput, kemudian ia menurunkan bambu sebatang lagi disambungkan kepada bambu yang diinjaknya. Dengan cara demikian ia membuat jembatan bambu yang sambung menyambung dan yang dapat diinjak tanpa kuatir tenggelam, hingga akhirnya setelah menghabiskan tujuh bambu panjang, ia dapat juga menyeberang rawa yang aneh dan berbahaya ini!

 Cin Hai terus maju dengan hati-hati sekali, pedang Liong-coan-kiam siap di tangan karena ia tidak tahu apa yang akan muncul di tempat yang belum pernah terinjak oleh kaki manusia itu. Akhirnya ia tiba juga di suatu tempat yang merupakan lereng yang curam dan yang tegak ke atas. Ketika ia memandang ke atas ternyata di atas penuh dengan halimun dan mengira-ngira di mana kiranya Kwee An dan Ma Hoa terjatuh. Ketika ia maju sedikit ia melihat banyak gua di lereng itu, besar-besar dan gelap. Hatinya berdebar keras. Boleh jadi sekali orang aneh yang telah mengirim surat itu tinggal di sebuah di antara gua-gua ini!

  

 Ia meneliti tiap gua dan memeriksa tanah lembek di depan gua. Kalau gua itu ada orangnya, pasti ia akan melihat tapak kaki di depan gua itu, karena betapapun tinggi ilmu ginkang seseorang, kalau menginjak tanah lembek itu pasti meninggalkan bekas. Setelah meneliti dan memeriksa beberapa buah gua, akhirnya ia berseru perlahan. Di depan gua yang besar dan gelap, ia melihat kaki manusia! Ketika ia memeriksa lebih teliti, hatinya tergoncang karena tapak kaki itu demikian tipisnya, seakan-akan tanah itu hanya disentuh saja oleh orang yang berjalan di atasnya. Ia lalu mengerahkan ginkangnya dan berjalan di dekat tapak-tapak kaki itu dengan ringan sekali, akan tetapi ia melihat, ternyata bahwa tapak kakinya lebih dalam daripada tapak kaki yang dilihatnya itu. Dari sini dapat ia duga bahwa ilmu ginkang orang itu ternyata lebih tinggi daripada ginkangnya sendiri!

 Cin Hai berlaku makin hati-hati karena ia tahu bahwa orang itu tentu seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar diukur sampai di mana tingginya dan ia belum tahu pula apakah orang itu kawan atau lawan. Ia lalu membuat api dari kayu, kering dan dengan sebatang obor menyala yang dibuatnya daripada alang-alang yang sudah kering, ia lalu memasuki gua itu, obor di tangan kiri dan Liong-coan-kiam di tangan kanan. Gua itu ternyata lebar dan dalam sekali. la melihat beberapa buah batu hitam licin yang halus permukaannya hingga dapat dibuat duduk orang, dan makin keras dugaannya bahwa di situ tentu pernah tinggal seorang manusia atau pertapa. Akan tetapi, selain batu-batu itu, tidak terdapat benda lain, juga tidak nampak seorang pun di dalam gua. la menjadi kecewa dan tiba-tiba kepalanya tertumbuk paIu, sebuah batu kecil yang ternyata tergantung di atas langit-langit gua. Ia mengangkat obornya ke atas dan alangkah girangnya ketika melihat bahwa batu kecil yang tertumbuk oleh kepalanya itu ternyata adalah sepotong batu karang yang diikat dengan tali, persis seperti yang dulu dipakai untuk membelit kaki Sin-kong-ciak!

 Ia tidak ragu-ragu lagi. Di sinilah tempat orang aneh yang berahasia itu. Ia memeriksa makin teliti dan ketika ia mengangkat obornya ke sebelah kiri, ia melihat corat-coret di atas dinding tanah batu itu. Ia segera menghampiri dan ternyata bahwa corat-coret itu merupakan lukisan orang dalam berbagai posisi yang jelas menggambarkan orang tengah bermain silat! Di sana-sini terdapat tulisan-tulisan dan ketika ia membaca tulisan itu, ia menjadi tertarik sekali karena tulisan-tulisan itu merupakan ujar-ujar dari Khongcu yang diambil dari kitab Tiong-yong! Di antara sekian banyak ujar-ujar yang ditulis di atas dinding itu, dengan gaya tulisan yang sama seperti yang dituliskan di atas kertas yang terbawa oleh kaki Sin-kong-ciak, ia tertarik akan sebuah ujar-ujar yang dulu pernah ia pelajari dari Kwi-sianseng gurunya yang suka memukul kepalanya itu. Ujar-ujar ini demikian bunyinya,

 Kou Kuncu Put Kho-i Put Siu-sin. Su siu-sin Put kho-i Put Su-jin. Su Su-jin Put-kho-i Ti-jin. Su Ti-jin, Put Kho-i Put Ti Thian!

 Ia teringat kepada Kwi-sianseng yang memecahkan arti ujar-ujar tersebut sebagai berikut, “seorang Budiman seharusnya menyempurnakan diri (batin dan pikiran) pribadi. Untuk dapat menyempurnakan diri pribadi, tak dapat tiada harus mencinta dan berbakti kepada ayah bunda. Untuk dapat mencinta dan berbakti kepada ayah bunda, tak dapat tiada harus mengetahui tentang perikemanusiaan. Dan untuk dapat mengetahui tentang perikemanusiaan, tak dapat tiada ia harus mengetahui tentang KETUHANAN.”

 Setelah membaca ujar-ujar yang dulu sering dihafalkan itu, tiba-tiba Cin Hai berdiri bengong karena ia teringat kepada ayah bundanya dan ingat pula bahwa ia belum juga mencari kuburan mereka! Sampai lama juga ia berdiri diam tak bergerak hingga setelah api obornya padam, barulah ia sadar dan segera keluar dari gua itu oleh karena merasa malu dan tidak enak hati untuk berdiam lebih lama dalam tempat kediaman orang lain tanpa seijin tuan rumah! Ia harus mencari hingga sehari penuh ia keluar masuk gua untuk mencari jejak Kwee An dan Ma Hoa, akan tetapi, jangankan orangnya, bayangannyapun tidak dilihatnya!

 Cin Hai merasa kecewa, akan tetapi ia juga merasa lega oleh karena tidak melihat bukti-bukti bahwa kedua orang yang dikasihinya itu telah tewas! Karena, andaikata keduanya terjatuh dan terbanting mati di situ, tentu ia akan melihat tanda-tanda atau bekas-bekasnya. Karena hari telah mulai gelap, maka Cin Hai lalu memasuki gua yang penuh tulisan dan lukisan itu lagi untuk bermalam. Ia anggap bahwa gua itu paling bersih dan paling baik, tidak mengandung hawa dan bau yang tidak enak seperti gua lain, dan lagi pula, ada kemungkinan penghuni gua itu datang hingga ia dapat bertemu dengannya! Ia ingin sekali bertemu dengan ahli ujar-ujar Khongcu ini yang telah mengirim berita ketika ia berada di atas dengan Lin Lin dan ia merasa yakin bahwa penulis surat itu tentu tahu akan nasib Kwee An dan Ma Hoa!

 Karena merasa asing di dalam gua seorang diri, maka Cin Hai lalu menyalakan api, lagi dan memeriksa lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan di dinding itu. Lukisan-lukisan itu ternyata mengandung pelajaran ilmu silat yang aneh dan tinggi akan tetapi sebagai seorang berjiwa gagah, Cin Hai tidak mau mencuri dan mempelajari ilmu silat orang lain, maka ia lalu mengalihkan perhatiannya pada tulisan-tulisan dan ujar-ujar yang selalu menarik hatinya. Tiba-tiba ia melihat lukisan-lukisan yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak, sebuah tubuh manusia dengan segala kekotorannya, dan sebuah muka yang jahat sejahat-jahatnya bagaikan setan sendiri memperlihatkan muka!

  

 Dan di bawah tiga buah lukisan aneh itu, terdapat syair yang amat menarik hatinya. Ia membaca dengan penuh perhatian,

 Alangkah buruk nasib! Aku dipaksa tinggal di tubuh hina. Dikurung dalam segala kerendahan jasmani! Diliputi oleh segala kepanasan hawa nafsu!

 Hanya satu hiburan bagiku : Akan tiba masanya aku pergi, meninggalkan semua keburukkan ini. Dan kembali ke tempat asal, kembali ke tempat suci!

 Sekali lagi Cin Hai dibikin bengong dan termenung membaca syair yang penuh arti ini. Ia maklum dan dapat merasa bahwa syair ini merupakan rintihan jiwa atau roh manusia, bukan penulis syair itu saja akan tetapi setiap manusia, termasuk dia sendiri! Ia bergidik memandang tengkorak itu yang tiba-tiba nampak menjadi tengkoraknya sendiri, ngeri melihat tubuh dengan segala kekotoran itu, dan meremang bulu tengkuknya melihat wajah mengerikan itu, wajah yang penuh diliputi nafsu-nafsu jahat yang tiap saat menyerang batin manusia! Siapakah pelukis dan penyair ini? Makin tertarik hatinya karena ia merasa bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan.

 Tiba-tiba terdengar suara “Ah, ah... uh... uh...!” yang keras di belakangnya dan secepat kilat Cin Hai membalikkan tubuhnya. Ia melihat seorang tua kurus dan tinggi tahu-tahu telah berdiri di pintu gua tanpa terdengar olehnya. Orang itu kelihatan marah sekali dan tiba-tiba ia mengangkat tangan kanannya lalu digerakkan ke arah Cin Hai. Bukan main terkejutnya karena tiba-tiba dari tangan itu menyambar angin pukulan yang keras sekali, Cin Hai cepat mengelak ke samping, akan tetapi angin pukulan yang keras itu telah menyambar dan membikin padam api obor yang dipegangnya!

 Di dalam gua menjadi gelap sekali. Jangankan melihat orang lain, memandang jari tangan sendiri di depan mata pun tak kelihatan! Cin Hai maklum bahwa betapapun tinggi kepandaian seorang dan betapa pun tajam pandangan mata seseorang, namun, tanpa ada sinar yang menerangi sama sekali, mata takkan ada gunanya lagi. Maka ia lalu meraba-raba dan berdiri mepet dinding gua. Ia mendengar angin pukulan orang itu masih menyerang secara membabi buta. Ia maklum bahwa biarpun angin pukulan itu akan dapat ditahannya dan takkan mencelakakannya karena ia pun memiliki tenaga lweekang cukup tinggi, namun apabila ia membuat gerakan, akan terdengar oleh orang itu dan jika orang itu menyerang dengan nekad di dalam gelap, tentu mau tidak mau ia harus membalas dan pertempuran di dalam gelap hanya dapat diakhiri dengan maut! Dan hal ini tidak ia kehendaki, karena ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan orang itu. Ia pun tidak berani membuka mulut, karena ia tidak tahu akan watak orang aneh itu. Ia hanya menanti sampai orang itu membuka mulut, akan tetapi ternyata orang itupun tidak bicara sesuatu, hanya ah-ah-uh-uh seperti suara monyet!

 Semalam itu Cin Hai duduk saja menyandar dinding dengan mengatur napas dan bersamadhi karena hanya dengan jalan duduk diam begini ia dapat beristirahat sambil mencurahkan perasaannya hingga tak mudah diserang lawan secara diam-diam.

 Pada keesokan harinya, ketika sinar matahari mulai menerangi tempat itu, Cin Hai mendapat kenyataan bahwa kakek itu tidak ada pula di tempat itu! Ia lalu berdiri dan keluar dari gua dan ternyata bahwa kakek itu telah berdiri di depan gua sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah!

 “Locianpwe, mohon kau orang tua suka memberi maaf kepadaku kalau tanpa disengaja aku telah mengganggu,” kata Cin Hai sambil menjura penuh hormat.

 Akan tetapi, orang itu dengan muka merengut, menggerak-gerakkan kedua tangannya seakan-akan mengusir supaya Cin Hai lekas pergi dari situ sambil mulutnya mengeluarkan suara, “Ah-ah-uh-uh!” dan terkejutlah Cin Hai karena ia mendapat kenyataan bahwa empek-empek itu ternyata adalah orang gagu!

 “Locianpwe, aku datang bukan dengan maksud jahat. Apakah kau orang tua yang telah mengirim surat yang diikatkan di kaki Sin-kong-ciak dulu itu?”

 Kakek itu menggeleng-geleng kepala dengan keras, hingga kembali Cin Hai tertegun karena kalau bukan kakek ini, siapa lagi yang tinggal di tempat itu?

 “Locianpwe, kalau begitu, tolonglah kau memberi tahu tentang dua orang muda yang terjun di tempat ini dari atas!” kata lagi Cin Hai sambil menggerak-gerakkan kedua tangan membantu kata-katanya agar lebih jelas bagi kakek gagu itu.

 Akan tetapi kembali kakek itu menggeleng-gelengkan kepala sambil berkata “ah-ah, uh-uh” tidak karuan dan tangannya makin cepat bergerak mengusir Cin Hai karena ia beberapa kali menuding ke arah bawah bukit.

 “Locianpwe, aku tidak akan turun sebelum mendapat keterangan kedua orang muda yang menjadi kawan-kawanku itu,” kata Cin Hai sambil menggeleng kepala.

  

 Tiba-tiba kakek itu menjadi marah dan sambil mengeluarkan seruan seperti seekor binatang buas, ia menerkam Cin Hai dengan ilmu pukulan yang aneh dan cepat. Cin Hai biarpun belum pernah melihat ilmu pukulan macam ini, namun pandangannya yang awas dan pengertiannya yang mendalam dalam hal gerakan pundak, tahu bahwa inilah ilmu silat seperti yang dilukiskan di dalam gua itu. Ia cepat mengelak dan tidak mau membalas karena ingin tahu sampai di mana kelihaian orang aneh ini. Lima jurus kakek itu menyerang dan makin lama makin heranlah kakek itu dan jelas nampak pada mukanya bahwa ia benar-benar merasa heran sekali karena serangannya itu dapat dielakkan dengan mudah oleh Cin Hai. Cin Hai mendapat kenyataan bahwa biarpun ilmu pukulan kakek itu hebat dan dalam hal keganasan tidak kalah dengan ilmu silat Hek Pek Moko, namun tingkat kepandaian kakek ini masih belum sangat tinggi dan juga ginkang kakek ini masih jauh dari pada sempurna. Maka ia maklum bahwa selain kakek gagu ini, tentu masih ada seorang lain yang betul-betul tinggi dan sakti kepandaiannya. Mungkin kakek ini hanya kawan atau murid saja dari orang pandai yang sebenarnya dan yang belum juga mau memperlihatkan diri.

 Setelah menyerang lagi lima jurus tanpa hasil tiba-tiba kakek itu lalu berseru keras dan melarikan diri ke atas bukit. Biarpun dalam hal ilmu silat Cin Hai masih jauh lebih lihai dari padanya, namun ketika menyaksikan betapa kakek itu mendaki bukit dengan cepat sekali bagaikan orang berlari di tanah datar saja, diam-diam Cin Hai menjadi kagum sekali. Akan tetapi ia merasa menyesal dan kecewa sekali karena pertemuannya dengan kakek gagu yang aneh ini pun tidak menghasilkan sesuatu dan tentang Kwee An dan Ma Hoa masih tetap merupakan teka-teki gelap baginya.

 Ia mengejar dan melompat ke atas sebuah batu besar akan tetapi ia urungkan niatnya untuk mengejar terus. Apa gunanya? Kalau ia dapat menyusul kakek itu, takkan ada gunanya karena ia tak dapat mengajak kakek itu bercakap-cakap. Ia berdiri termenung di atas tempat yang tinggi itu dan tiba-tiba ia mendengar suara riuh dari jauh. Ia segera memandang dan melihat betapa dari jurusan utara datang sepasukan tentara yang panjang dan besar jumlahnya. Debu mengepul ke atas ketika tanah yang kering terinjak oleh banyak kaki orang itu.

 Tiba-tiba dari jurusan selatan, nampak pasukan lain. Pasukan ini tidak begitu panjang akan tetapi di bagian depan terdapat beberapa orang penunggang kuda yang agaknya menjadi pemimpin pasukan itu. Juga debu mengepul hebat di bawah kaki pasukan ini. Kedua pasukan itu agaknya hendak berperang, karena masing-masing membawa bendera yang berkibar dan keduanya bergerak maju untuk saling bertemu.

 Cin Hai menjadi tertarik sekali, maka ia segera melompat turun dari batu karang, terus lari pergi dari tempat itu. Ia mempergunakan jembatan bambu yang dibuatnya kemarin dan setelah meninggalkan rawa itu, ia berlari cepat menuju ke tempat di mana kedua pasukan bertemu.

 Dan setelah ia tiba di situ, terdengarlah sorak sorai yang hebat dan dibarengi suara senjata beradu, dan pekik manusia berperang. Cin Hai mendekati dan ketika ia melihat bahwa yang sedang bertempur itu adalah pasukan kerajaan melawan pasukan orang-orang Mongol, ia segera menyerbu dan membantu pasukan kerajaan. Melihat orang-orang Mongol ini, ia teringat kepada Pangeran Vayami dan Ke Ce yang menimbulkan benci di dalam hatinya.

 Sebelum Cin Hai datang, tentara kerajaan terdesak oleh amukan tentara Mongol yang dikepalai seorang panglima perang bangsa Mongol yang kosen sekali. Juga jumlah mereka yang lebih besar membuat tentara kerajaan melawan dengan sia-sia dan banyak korban jatuh di pihak mereka. Akan tetapi ketika Cin Hai menyerbu, di mana saja ia datang tentu pihak Mongol menjadi kocar-kacir, karena dengan kedua tangan dan kakinya, setiap gerakan pemuda ini membuat seorang bangsa Mongol terguling! Melihat datangnya seorang pemuda Han yang amat lihai membantu pihak mereka, timbul kembali semangat pasukan kerajaan hingga mereka lalu menyerbu lagi dengan nekad dan penuh semangat hingga ketika Cin Hai membantu ke sana ke mari, pihak tentara kerajaan kini mendapat kemajuan dan musuh dapat dibikin kacau. Akan tetapi, ketika Cin Hai menyerbu sampai di tengah-tengah, ia melihat seorang panglima bangsa Mongol yang amat kosen dan yang sedang dikeroyok oleh empat orang panglima kerajaan, yaitu Perwira-perwira Sayap Garuda yang bersenjata pedang. Akan tetapi, panglima Mongol yang berkulit hitam dan bertubuh tinggi besar itu mengamuk dengan hebatnya hingga empat orang Perwira Sayap Garuda itu terdesak hebat. Bahkan di atas tanah menggeletak tiga orang Perwira Sayap Garuda dalam keadaan mandi darah dan mati!

 Bukan main marahnya Cin Hai karena ia maklum bahwa Panglima Mongol yang tangguh ini takkah menemukan tandingan, melihat betapa empat orang perwira kerajaan terdesak hebat dan bahkan telah ada tiga yang tewas. Ia lalu berseru keras dan menyerbu menghadapi perwira Mongol itu sambil berseru,

 “Cuwi Ciangkun, mundurlah dan biarkan aku menghadapi raksasa Mongol ini!”

 Keempat Perwira Sayap Garuda menjadi girang mendapat bantuan ini dan oleh karena mereka tadi memang sudah kewalahan menghadapi lawan tangguh itu, maka mereka lalu meloncat ke belakang membiarkan anak muda itu menggantikan mereka.

 Panglima Mongol tinggi besar itu tertawa lebar ketika melihat bahwa kini yang maju menghadapinya hanyalah seorang muda berpakaian seperti seorang pelajar.

  

 “Ha, ha, ha! Agaknya kalian telah kehabisan panglima hingga mengajukan seorang kanak-kanak yang masih harus berada dalam pelukan ibunya!” ia menyindir.

 Cin Hai menghadapi sindiran dan hinaan ini dengan tersenyum saja, lalu ia bertanya, “Panglima yang sombong, siapakah kau dan apakah kau masih mempunyai hubungan dengan Pangeran Vayami?”

 Panglima tinggi besar muka hitam itu tercengang mendengar disebutnya nama ini. “Hm, dari mana kau tahu nama pengkhianat kami itu? Vayami adalah seorang pengkhianat, jangan dihubungkan dengan aku, Balaki, seorang pahlawan sejati dari Mongol!”

 Balaki ini sebenarnya adalah seorang panglima tinggi di daerah Mongol, tangan kanan Yagali Khan, raja muda yang memimpin dan memerintah Mongolia pada masa itu. Dan ilmu kepandaian Balaki amat tinggi. Ketika mendengar tentang gagalnya expedisi Mongolia mencari Pulau Kim-san-to, maka ketika Yagali Khan mengadakan serbuan ke pedalaman Tiongkok, ia lalu menawarkan diri untuk mengepalai sendiri barisan Mongol. Tiap pasukan Han yang bertemu dengan pasukan pimpinan Balaki ini, pasti dihancurkan dan dikalahkan dengan mudah. Pasukan yang kini sedang bertempur, tentu akan hancur binasa pula kalau tidak kebetulan Cin Hai muncul sebagai bintang penolong.

 “Anak muda,” kata pula Balaki, “kau siapakah dan mengapa pula kau yang berpakaian pelajar ini berani maju menyambutku?”

 “Aku adalah seorang rakyat biasa yang tentu saja takkan tinggal diam melihat kau bangsa Mongol bermain gila di tanah airku!” jawab Cin Hai dengan tenang. Balaki tertawa terbahak-bahak. “Ha, kau ingin bermain menjadi patriot? Ha, ha, baiklah, aku akan membuat kau tewas sebagai seorang pahlawan negara!” Sambil berkata demikian, Balaki lalu menerjang maju dengan golok besarnya. Gerakannya antep dan cepat hingga Cin Hai tidak berani memandang ringan, lalu cepat mencabut pedangnya dan melayaninya dengan hati-hati. Para anak buah tentara kedua pihak ketika melihat pertempuran hebat ini, menjadi gembira dan mereka yang berada dekat pertempuran ini lalu menghentikan serbuan masing-masing dan kini menonton sambil bersorak menambah semangat jago masing-masing! Juga keempat Perwira Sayap Garuda melihat kelihaian Cin Hai, menjadi kagum dan berbesar hati karena selama ini belum pernah ada yang kuat menghadapi Balaki yang terkenal kosen itu.

 Cin Hai seperti biasa hanya mempertahankan diri dulu untuk mengukur kepandaian lawan dan ternyata bahwa ilmu kepandaian Balaki dengan ilmu golok tunggalnya, walaupun benar-benar lihai namun masih tidak dapat mengimbangi kegesitan Cin Hai hingga pemuda ini dengan mudah dapat mengelak atau menangkis semua serangan yang datang bertubi-tubi itu.

 Hal ini tentu saja membuat Balaki merasa penasaran sekali oleh karena belum pernah ia melihat seorang lawan yang dapat menahan serangannya tanpa membalas sedemikian lamanya. Ia lalu berseru keras dan tiba-tiba tangan kirinya mengeluarkan sebuah benda yang bulat, Cin Hai mengira bahwa itu tentu semacam senjata rahasia maka ia berlaku waspada dan siap sedia menghadapi serangan senjata gelap musuh. Akan tetapi Balaki tidak mempergunakan senjata aneh itu, hanya menggenggamnya di tangan kiri dan golok di tangan kanannya masih menyerang ganas. Tiba-tiba ketika Cin Hai mengelak dari serangan golok lawannya, Balaki membuka tangan kirinya dan tahu-tahu sebuah sinar keemasan yang bercahaya terang menyambar ke arah muka Cin Hai. Sinar ini demikian cepat datangnya hingga tak mungkin dikelit oleh kegesitan seorang manusia, maka Cin Hai merasa terkejut sekali dan tak terasa pula ia berseru. Akan tetapi, ternyata bahwa sinar atau cahaya itu tidak menyakitinya, hanya membuat matanya pedas sekali karena ternyata bahwa benda di tangan kiri Balaki itu adalah sebuah cermin yang digunakan untuk memantulkan cahaya matahari yang bersinar terang. Pantulan cahaya matahari itu digunakan untuk menyerang mata lawan, dan mengagetkannya hingga tentu saja orang itu akan menjadi silau dan kaget.

 Benar saja, Cin Hai yang lihai itu sama sekali tak menduga akan kelihaian lawan hingga ketika matanya bertemu dengan pantulan cahaya matahari yang disinarkan dari cermin itu ia tidak kuat menahan dan terpaksa menutup kedua matanya. Saat inilah yang dimaksudkan oleh senjata cermin itu dan pada saat Cin Hai tersilau dan meramkan mata, golok di tangan Balaki menyambar cepat dan hebat ke arah leher Cin Hai.

 Sudah banyak sekali lawan yang tewas dalam tangan Balaki terkena tipu ini, dan kali ini pun ia telah merasa pasti bahwa pemuda ini tentu akan roboh dengan kepala terpisah dari tubuh. Akan tetapi, kalau ia berpendapat demikian, ia belum kenal dan belum tahu betul siapa adanya Cin Hai! Pemuda ini selain telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan luar biasa, juga telah menerima gemblengan hebat dari Bu Pun Su, ditambah pengalaman bertempur yang banyak menghadapi lawan-lawan tangguh, hingga dalam keadaan bagaimana berbahaya pun, hatinya tetap tenang dan kewaspadaannya tidak tergoncang. Memang, ketika matanya tersorot sinar matahari, ia merasa terkejut dan tidak tahan untuk tidak memejamkan mata, akan tetapi hanya matanya saja yang tertutup dan untuk saat itu tidak dapat digunakan, akan tetapi, telinga dan perasaannya masih tajam dan tidak terpengaruh sama sekali. Ia dapat merasa dan mendengar suara angin serangan golok yang mengarah lehernya, maka ketika semua orang telah merasa ngeri, terutama keempat orang Perwira Sayap Garuda, dan menduga bahwa pemuda itu pasti akan binasa di tangan Balaki seperti orang-orang lain yang pernah menghadapinya, tiba tiba tubuh Cin Hai melompat ke belakang dengan cepat sekali hingga mata golok itu lewat menyerempet di dekat kulit lehernya.

  

 Tidak hanya Balaki yang terkejut, akan tetapi semua orang yang melihat lompatan ke belakang secara aneh itu merasa kagum sekali. Belum pernah mereka dapat melihat seorang melompat ke belakang sedemikian cepatnya dan tepat pada saat bahaya maut mengancam leher.

 Kini Cin Hai merasa marah juga karena hampir saja ia menjadi korban senjata golok pahlawan Mongol ini. Sebaliknya, Balaki menyangka bahwa pemuda itu menjadi gentar, maka ia tidak menyia-nyiakan waktu dan cepat mengejar untuk mengirim serangan dengan ilmu golok yang paling ia andalkan. Goloknya terputar-putar garang laksana seekor naga mengamuk hingga tubuhnya sendiri lenyap di dalam gulungan golok.

 “Rasakan pembalasanku!” kata Cin Hai dan pemuda ini mulai mainkan jurus-jurus limu Pedang Daun Bambu ciptaan sendiri. Ketika ia mencipta ilmu pedang ini, ia menusukkan pedangnya dan menyerang batang-batang bambu yang runcing seperti golok dan dapat mengenai sasaran dengan tepat tanpa menyentuh daun-daun itu. Kini menghadapi putaran golok Balaki, biarpun dalam pandangan mata orang lain, tubuh Balaki sampai lenyap tergulung sinar golok namun bagi mata Cin Hai, ia masih dapat melihat berkelebatnya ujung golok hingga dengan cepat ia dapat “memasukkan” pedangnya di antara sinar golok.

 Terdengar Balaki memekik. Pekik ini ia keluarkan bukan karena kesakitan, akan tetapi juga karena terkejut dan takjub. Ia tidak tahu bagaimana lawannya dapat menyerangnya dan tahu-tahu ia merasa lengan tangannya sakit sekali hingga goloknya terlepas dari pegangan dan ternyata bahwa lengannya telah tertusuk ujung pedang Cin Hai.

 Bukan main girangnya keempat Perwira Sayap Garuda melihat ini, akan tetapi Balaki segera memberi aba-aba keras dan menyerbulah semua anak buahnya, sedangkan ia sendiri cepat meloloskan diri dari keributan itu hingga Cin Hai tidak dapat mengejar dan merobohkannya. Pertempuran hebat terjadi akan tetapi kini tentara Mongol telah lemah semangat bertempurnya dan tak lama kemudian mereka melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan yang telah tewas dan terluka hingga tempat itu penuh orang-orang mati dan luka.

 Ini adalah kekalahan besar pertama kali yang diderita oleh Balaki semenjak ia mulai menginjakkan kaki di pedalaman Tiongkok. Keempat orang Perwira Sayap Garuda itu merasa girang dan berterima kasih sekali kepada Cin Hai. Melihat sikap mereka yang baik, Cin Hai menjadi heran sekali karena mereka ini berbeda sekali dengan Perwira-perwira Sayap Garuda yang pernah dilihatnya, ketika ia dan Kwee An mengamuk di dalam Eng-hiong-koan di kota raja dulu ketika ia membasmi para perwira yang menjadi musuh besar Kwee-ciangkun.

 “Hohan (orang baik atau orang gagah) yang muda telah memiliki ilmu kepandaian amat tinggi, sungguh membuat kami berempat menaruh hormat dan kagum serta amat berterima kasih sekali!” kata seorang di antara empat Perwira Sayap Garuda itu. “Bolehkah kami mengetahui nama Hohan yang gagah perkasa?”

 Dengan suara merendah, Cin Hai berkata terus terang untuk mencoba dan melihat sikap mereka, “Siauwte yang muda dan bodoh bernama Sie Cin Hai. Dan mungkin Cuwi-ciangkun akan ingat nama hamba apabila teringat akan peristiwa pembasmian keluarga Kwee-ciangkun!” sambil berkata demikian, Cin Hai memandang tajam.

 Jelas sekali nampak betapa empat orang perwira itu terkejut sekali dan saling pandang kemudian mereka lalu mengangkat tangan memberi hormat, sedangkan pemimpin mereka yang tertua berkata, “Ah, tidak tahunya Sie-taihiap yang menolong kami! Pantas saja demikian lihai! Sie-taihiap, kami juga semua Perwira Sayap Garuda, sudah tentu saja pernah mendengar nama Taihiap yang gagah perkasa, bahkan kaisar sendiri telah lama sekali mencari-cari Taihiap!”

 Cin Hai benar-benar merasa tertegun dan heran melihat sikap mereka ini.

 “Apa? Apakah kaisar mencari untuk menghukum aku yang telah pernah membunuh beberapa orang perwira jahat?”

 “Ah, agaknya telah lama Sie-taihiap tidak ke kota raja hingga tidak tahu akan keadaan dan perubahan di sana,” kata seorang di antara mereka dan kemudian mereka menceritakan hal yang amat menggembirakan hati Cin Hai. Ternyata bahwa semenjak Beng Kong Hosiang yang menjadi pemimpin para perwira itu tewas di tangan Balutin dan para perwira tinggi yang jahat telah tewas pula, yang menggantikan dan memegang pucuk pimpinan adalah seorang panglima baru yang masih muda dan gagah perkasa bernama Kam Hong Sin. Panglima Kam ini selaih gagah perkasa, juga berjiwa gagah dan tidak palsu seperti Beng Kong Hosiang dan perwira lain yang dulu memegang kekuasaan. Bahkan Panglima Kam ini mengindahkan kaum kang-ouw dan mempunyai pergaulan yang luas dengan orang-orang gagah hingga ia amat dihormati dan disegani. Panglima ini pula yang menyadarkan pikiran kaisar hingga kaisar tidak lagi mempunyai pandangan buruk terhadap orang-orang kang-ouw. Dengan tangan besi Kam Hong Sin memilih Perwira-perwira Sayap Garuda dan mengadakan peraturan-peraturan keras dengan ancaman hukuman berat. Sedikit saja seorang perwira melanggar, ia lalu dihukum dan dipecat dari kedudukannya. Oleh karena tindakan ini, maka banyak muncul perwira-perwira baru, pilihan Kam-ciangkun dan bahkan tidak sedikit orang-orang kang-ouw masuk menjadi Perwira Sayap Garuda!

  

 “Karena inilah, Sie-taihiap, maka selain Kam-ciangkun sendiri, juga kaisar ingin bertemu dengan Taihiap. Sudah lama Kam-ciangkun mengagumi Taihiap dan lain-lain orang gagah dan mengharapkan untuk dapat bertemu serta berkenalan,” kata Perwira Sayap Garuda itu. Tentu saja Cin Hai menjadi girang sekali mendengar tentang perubahan baik ini, dan tanpa diminta lagi ia lalu menyediakan tenaga untuk membantu mengusir para penyerbu dari Mongol.

 Ketika ia bertanya tentang penyerbuan orang-orang Mongol ini, perwira itu menceritakan, “Telah sebulan lebih tentara Mongol yang dipimpin oleh Yagali Khan menyerbu daerah Tiongkok dan raja muda ini memiliki banyak sekali pembantu-pembantu yang pandai, Balaki tadi adalah seorang di antara para jagonya itu maka kedudukannya kuat sekali. Kam-ciangkun lalu menggerakkan banyak tentara yang dipecah-pecah menjadi beberapa bagian dan mengadakan pengepungan kepada barisan induk dari tentara Mongol yang berkedudukan di sebelah dalam tembok besar, di daerah Tiang-lo-sia. Pasukan kami adalah sebagian dari barisan yang harus mengadakan pengepungan diri dari selatan, akan tetapi tak terduga-duga kami bertemu dengan barisan Balaki tadi hingga kalau saja tidak mendapat bantuan dari taihiap, tentu kami mendapat bencana besar.”

 Kemudian Cin Hai mendengar betapa tentara kerajaan seringkali menderita kekalahan hingga ia menjadi penasaran dan mengambil keputusan untuk ikut ke Tiang-lo-sia membantu usaha para pasukan kerajaan mengusir musuh. Tentu saja para perwira itu merasa girang sekali oleh karena dengan adanya pembantu yang lihai ini, banyak harapan usaha mereka akan berhasil dan kini mereka tak usah kuatir menderita kekalahan apabila bertemu di jalan dengan pasukan musuh.

 Ketika pasukan di mana Cin Hai berada tiba di Tiang-lo-sia, di sebelah luar daerah kekuasaan Yagali Khan, mereka bertemu dengan pasukan-pasukan lain yang mengurung dari lain jurusan. Pengepungan dilakukan dan tak lama kemudian berturut-turut pasukan-pasukan kerajaan datang dari segenap penjuru, dan daerah Tiang-lo-sia telah dikurung. Pimpinan serbuan ini adalah seorang perwira tinggi she Liang dan ia lalu mencari seorang untuk dijadikan utusan karena ia membawa surat dari kaisar yang ditujukan kepada Yagali Khan. Surat ini adalah bujukan halus yang juga mengandung ancaman agar supaya Yagali Khan suka menarik kembali pasukannya dan jangan melanggar tapal batas negara.

 Ketika mendengar bahwa komandan pasukan-pasukan kerajaan mencari seorang utusan untuk mengantar surat kaisar, Cin Hai lalu mengajukan diri untuk melakukan tugas ini. Keempat perwira yang pernah ditolongnya dari serbuan Balaki menceritakan kepada Liang-ciangkun akan kegagahan dan jasa Cin Hai dan betapa pemuda ini telah mengalahkan Balaki dengan mudahnya. Liang-ciangkun menjadi kagum dan tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memberikan tugas membawa surat itu kepada Cin Hai.

 Yagali Khan dan para pembantunya sudah mendengar bahwa pihak tentara Han akan mengirim utusan yang membawa surat kaisar dan bahwa utusan ini adalah seorang pemuda yang pernah mengalahkan Balaki. Oleh karena ini, kedatangan Cin Hai yang tidak mau dikawal dan hanya datang seorang diri itu disambut oleh Panglima-panglima Mongol dan kemudian Cin Hai dibawa menghadap pada Yagali Khan.

 Cin Hai kagum melihat keangkeran tempat itu, karena selain pengawal dan perajurit berbaris rapi dengan golok besar di tangan sambil berdiri tegak, juga para perwira yang menyambutnya rata-rata bertubuh tinggi besar dan kelihatan gagah sekali. Dan ketika ia tiba di ruang di mana Yagali Khan duduk di atas sebuah kursi indah ia melihat bahwa di dekat raja muda ini duduk pula tiga orang panglima besar, seorang di antaranya bukan lain adalah Balaki sendiri! Orang ke dua adalah seorang tua berrambut putih panjang yang terurai di pundak sedangkan pakaiannya mengingatkan ia kepada Pangeran Vayami, jubah merah yang indah. Orang ke tiga pendek gemuk setengah tua, juga berpakaian merah hingga dapat diduga bahwa kedua orang ini tentulah pendeta-pendeta Sakia Buddha atau pendeta Agama Buddha Merah seperti halnya Pangeran Vayami. Sikap ketiga orang yang duduk di dekat Yagali Khan ini nampak angker dan mereka tidak bergetar bagaikan patung. Akan tetapi dari mata mereka memancarkan sinar berapi ditujukan kepada Cin Hai yang masuk dengan tindakan kaki gagah dan tenang.

 Melihat bahwa orang yang pernah mengalahkan Balaki adalah seorang pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun, bukan main herannya Yagali Khan. Ia menyambut kedatangan Cin Hai dengan dingin dan tidak berdiri dari tempat duduknya, hanya berkata dengan suara nyaring dan dalam bahasa Han yang cukup fasih.

 “Tuankah utusan kaisar?”

 “Betul, Yagali Khan, akulah yang mendapat kehormatan untuk menjadi utusan kaisar,” jawab Cin Hai dengan tenang dan ia sama sekali tidak mau memberikan hormat karena melihat sikap mereka demikian dingin. Dari saku bajunya ia mengeluarkan surat kaisar yang ditujukan kepada Raja Muda Yagali Khan dan memberikannya kepada raja muda Mongol itu. Baik Yagali Khan sendiri maupun ketiga panglima besar yang duduk di sampingnya, merasa penasaran dan heran atas sikap dingin dan keberanian Cin Hai.

 “Anak muda, kau berani dan tinggi hati. Apakah ini terdorong oleh sifatmu yang sombong dan karena kau mengandalkan ilmu kepandaianmu?” tanya pula Yagali Khan sambil menerima surat itu.

  

 “Tidak demikian, Yagali Khan. Aku adalah seorang utusan dan pada saat ini aku boleh dibilang sebagai wakil kaisar yang memerintahkan datang memberikan surat dan mengadakan perundingan dengan kau. Maka sesuai pula dengan kebesaran kaisar negaraku, aku pun tidak boleh merendahkan diri di hadapan seorang raja muda asing, apa lagi karena aku berada di atas tanah sendiri sedangkan kau dan barisanmu merupakan tamu-tamu belaka.”

 Jawaban ini diucapkan dengan tenang dan tabah hingga Yagali Khan merasa makin heran dan kagum.

 “Anak muda, kalau aku menggerakkan seluruh perwira dan pasukanku, apa kaukira kau yang hanya seorang diri ini, betapapun tinggi kepandaianmu, akan dapat membela diri dan pulang dengan selamat?”

 “Aku tidak takut karena hal seperti itu tak mungkin terjadi,” jawab Cin Hai.

 “Mengapa kau bisa berkata demikian? Dengan hanya mengangkat tangan kananku, ribuan perajurit akan menyerbu dan menghancurkan tubuhmu dengan golok dan pedang.”

 “Sekali lagi aku yakin bahwa hal ini tak mungkin terjadi. Pertama karena aku adalah seorang utusan dan negara mana pun di dunia ini takkan mengganggu seorang utusan kaisar! Ke dua kalinya, kalau kau melanggar aturan ini dan mengerahkan perajurit untuk mongeroyokku, aku akan melawan mati-matian dan sebelum aku mati, tentu aku akan berhasil merobohkan ratusan orang-orangmu hingga mati pun takkan rugi. Ke tiga kalinya, kalau kau melakukan pelanggaran ini, nama Yagali Khan akan tenggelam ke dalam lumpur kehinaan hingga andaikata kelak kau bisa menjadi seorang raja yang bagaimana pun besarnya, namamu akan tetap dipandang rendah sebagai seorang raja yang curang dan tidak tahu akan kesopanan negara.”

 Tertegun semua yang hadir di situ mendengar jawaban yang berani sekali akan tetapi tepat ini. Wajah Yagali Khan berubah merah dan kalau saja yang mengucapkan kata-kata ini bukan seorang utusan kaisar tentu ia akan mencabut pedangnya dan memenggal kepala orang itu dengan tangannya sendiri. Ia hanya mengeluarkan suara “hm, hm” kemudian setelah menatap wajah Cin Hai yang membalas pandangannya dengan tenang dan mulut tersenyum, lalu ia membuka surat kaisar itu.

 Sebagai seorang utusan, Cin Hai telah diberi tahu oleh komandan pasukan kerajaan tentang isi surat agar ia dapat mengetahui baik-baik akan tugasnya. Isi surat itu adalah bujukan halus yang mengandung ancaman agar Yagali Khan suka insyaf dan tidak menanam permusuhan dan mengacau daerah Tiongkok, karena ini hanya akan mengakibatkan kehancurannya dan kerusakan kedua belah pihak.

 Setelah membaca surat itu, Yagali Khan memandang kepada Cin Hai dan berkata, “Hm, kaisarmu ini sama dengan kau, sombong dan mengagulkan diri! Apakah yang kalian andalkan? Kami mempunyai pasukan yang besar jumlahnya dan kuat, senjata kami lengkap dan perwira-perwira kami berkepandaian tinggi! Jangan kau menjadi sombong setelah berhasil mengalahkan seorang di antara perwira kami. Apakah kaisarmu itu menjadi sombong karena mengandalkan kau?”

 Cin Hai tersenyum. “Yagali Khan, jangan kau memandang rendah Negara Tiongkok! Betapapun besar jumlah barisanmu, dibandingkan dengan barisan dan rakyat Tiongkok, belum ada seperseratusnya! Tentang senjata dan kekuatan kami pun tidak akan kalah. Adapun tentang orang pandai, kami tidak kekurangan. Ketahuilah, bahwa baru aku saja yang hanya menjadi utusan biasa dan bukan seorang panglima, aku tidak gentar menghadapi perwiramu yang manapun juga! Apalagi panglima kami yang gagah perkasa dan ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada kepandaianku! Dan panglima-panglima yang gagah perkasa di pihak kami bukan hanya ratusan atau ribuan jumlahnya, bahkan ada laksaan! Sia-sia saja kalau kau hendak menyerbu ke negara kami. Lagi pula, apakah perlunya? Kau dan kami adalah tetangga yang harus mengadakan perhubungan baik. Apakah kau belum mendengar betapa para Lama di Tibet juga telah mengadakan hubungan baik dan damai dengan kami? Padahal mereka itu kuat sekali, lebih kuat daripada barisanmu. Oleh karena inilah, dan demi menjaga keamanan rakyat, kaisar kami minta kepadamu untuk menggunakan kebijaksanaan dan kembali pulang dengan damai.”

 Ucapan Cin Hai ini sebetulnya bukan omong kosong, oleh karena negeri mana di dunia ini yang memiliki rakyat lebih banyak daripada Tiongkok? Adapun tentang kepandaian, Cin Hai maklum bahwa banyak sekali orang-orang pandai di negaranya, maka biarpun agak berlebihan ketika ia mengatakan bahwa masih banyak sekali orang-orang yang jauh lebih pandai darinya, akan tetapi ada benarnya juga. Para perwira yang mendengar ucapan ini diam-diam merasa gentar juga, bahkan Yagali Khan sendiri juga merasa ngeri. Akan tetapi ia tidak mau menyatakan ini, bahkan lalu berkata,

 “Anak muda, jangan kaukira aku merasa takut mendengar ocehanmu itu! Dan tentang kesombonganmu yang sanggup dan berani menghadapi setiap perwira kami, baikiah kaubuktikan! Kami bukan hendak mencelakakan seorang utusan karena kami bukanlah orang rendah seperti yang orang kira, akan tetapi kami mengajak kau secara terang-terangan untuk mengadu kepandaian. Kalau kau dapat merobohkan seorang jago yang kutunjuk, biarlah kami anggap bicaramu tadi tidak bohong belaka dan kami akan menarik mundur pasukan-pasukan kami!”

  

 Cin Hai maklum bahwa sekarang terletak penuh di atas kedua pundaknya untuk menentukan apakah bujukan kaisar ini berhasil atau tidak. Kalau ia bisa merobohkan jago yang ditunjuk oleh Yagali Khan, mereka tentu akan merasa juga menghadapi perwira-perwira yang ia sombongkan memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi kalau ia sampai kalah, tidak saja jiwanya terancam, akan tetapi juga kata-katanya tadi akan dianggap bohong dan raja muda itu tentu akan melanjutkan serbuannya! Ia menganggap bahwa perlu sekali raja muda ini diberi bukti akan kelihaiannya agar dapat tunduk. Maka ia menjawab sambil tersenyum tenang,

 ”Boleh, boleh, Yagali Khan. Apakah kau akan mengajukan Balaki?”

 Merah wajah Balaki mendengar ini dan ia memandang kepada Cin Hai dengan mata melotot. “Biarkan hamba mengadu jiwa dengan orang ini!” katanya kepada Yagali Khan, akan tetapi raja muda itu sambil tersenyum lalu berkata,

 “Bukan kau lawannya, Balaki.” Lalu ia menyuruh pendeta Jubah Merah yang rambutnya putih itu dalam bahasa Mongol. Pendeta itu tersenyum, berdiri lalu membongkokkan tubuhnya dalam-dalam di depan junjungannya, kemudian ia menghampiri Cin Hai yang sudah siap.

 “Anak muda,” katanya dengan suara yang halus dan dalam bahasa Han yang kaku, “siapakah namamu? Aku tidak biasa menewaskan seorang tanpa mengenal namanya.”

 Biarpun kata-kata ini diucapkan dengan suara halus, namun mengandung pandangan yang merendahkan sekali. Cin Hai tertawa dan menjawab,

 “Agaknya kau telah yakin benar bahwa aku pasti akan tewas di dalam tanganmu! Namaku adalah Sie Cin Hai atau kau boleh saja sebut aku sebagai Pendekar Bodoh karena nama inilah yang dikenal oleh orang-orang yang menjadi lawanku. Pakaianmu mengingatkan aku akan Pangeran Vayami. Agaknya kau sepaham dengan dia.”

 “Vayami bukan apa-apaku, jangan kau ngaco! Aku adalah pendeta tinggi dari Sakia Buddha dan disebut Thai Kek Losu. Anak muda, apakah benar kau berani menerima tantangan ini? Ketahuilah, bahwa sekali Thai Kek Losu turun tangan, biasanya pasti akan ada orang melepaskan nyawanya!”

 “Thai Kek Losu, seorang laki-laki kalau sudah mengeluarkan kata-kata, biar sampai mati pun takkan menelan kembali kata-kata itu. Aku telah menerima tantangan ini dan tentu saja akan kuhadapi sampai akhir. Adapun tentang mati, siapakah orangnya yang akhirnya takkan mati? Hanya bedanya, ada orang mati seperti harimau dan ada pula yang mati seperti babi. Dan aku memilih yang pertama itu! Kau majulah!”

 Oleh karena maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan maka Cin Hai lalu mencabut Liong-coan-kiam dari pinggangnya, dan melintangkan pedang itu di dadanya. Thai Kek Losu tertawa bergelak mendengar kata-kata Cin Hai itu. “Pendekar Bodoh, tidak tahunya kau mempunyai semangat dan kegagahan juga! Bagus, bagus, kau hadapi senjataku ini yang akan membebaskan jiwamu dari pada penderitaan hidup!”

 Sambil berkata demikian, pendeta rambut putih ini lalu mengeluarkan sebuah tengkorak dari dalam bajunya yang lebar. Tengkorak ini mungkin tengkorak anak-anak, karena kecil saja dan pada leher tengkorak itu dipasangi rantai berwarna kuning yang panjangnya kurang lebih lima kaki. Dengan memegang ujung rantai itu, maka tengkorak yang mengerikan ini menjadi senjata yang luar biasa sekali, senjata rantai yang berujung tengkorak!

 Cin Hai merasa terkejut juga melihat senjata ini karena selama hidupnya belum pernah ia melihat senjata macam ini, maka ia berlaku waspada dan tidak mau menyerang lebih dulu. Melihat keraguan Cin Hai, Thai Kek Losu lalu melangkah maju sambil mengayunkan rantainya. Tengkorak kecil itu melayang dan menyambar ke arah muka Cin Hai, seakan-akan hendak menciumnya! Cin Hai bergidik karena ngeri, maka ia cepat-cepat menahan napas untuk menenteramkan hatinya yang secara aneh sekali tergoncang ketika melihat tengkorak itu dan ia lalu melompat ke samping. Ia dapat menduga bahwa senjata aneh ini tentulah mengandung kekuatan hoatsut (sihir) yang dapat membuat lawan terkejut, ngeri dan lemah semangatnya, maka ia segera menggerak-gerakkan tangan kirinya yang tidak memegang senjata itu untuk memainkan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut atau Ilmu Sihir Awan Putih! Beberapa kali ia menggerakkan lengan kiri dan mengerahkan semangat dan tenaga lweekang hingga dari lengannya yang kiri mengepul uap putih! Kembali tengkorak itu menyambar ke arah kepalanya dan cepat sekali Cin Hai lalu membacok tengkorak itu dengan pedangnya. Akan tetapi, segera ia tarik kembali pedangnya dan melompat lagi untuk mengelakkan diri. Entah bagaimana, ia merasa tidak tega untuk membacok dan memecahkan tengkorak itu yang tiba-tiba nampak seakan-akan menjadi kepala seorang anak-anak yang masih utuh, lengkap dengan mata, rambut, dan hidung serta mulutnya!”

 Memang senjata di tangan Thai Kek Losu ini bukan senjata biasa. Sebelum tengkorak itu diikat dengan rantai, telah ditapai dan dimasuki ilmu sihir. Hendaknya diketahui bahwa kepala itu diambil dari kepala seorang anak yang masih hidup, yang dikorbankan secara kejam dan tak mengenal perikemanusiaan oleh pendeta itu! Khasiat senjata ini ialah dapat menyihir lawan dan membuat lawan selain serasa pusing dan gentar, juga apa bila lawan hendak melawan dengan sungguh-sungguh, maka tengkorak itu akan nampak seperti masih hidup dan lengkap merupakan kepala seorang anak kecil yang menangis!

 Oleh karena maklum akan kelihaian senjata ini, Cin Hai lalu menyabarkan diri dan hanya memperhatikan gerak lawannya saja. Ia mempergunakan kelincahannya untuk mengelak dari setiap serangan dan setelah ia memperhatikan serangan lawan, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat kakek ini benar-benar lihai serta tenaga lwekangnya belum tentu kalah olehnya! Akan tetapi dengan kepandaian dan pengertiannya tenang pokok-pokok dasar segala macam gerak dan serangan lawan Cin Hai sebetulnya tak perlu merasa gentar. Hanya senjata hebat itulah yang membuatnya ragu-ragu dan ngeri. Baiknya ia telah mainkan Pek-in-hoatsut dengan tangan kirinya hingga sebagian besar hawa siluman yang merupakan daya sihir itu telah dapat ditolak sebagian. Namun ternyata bahwa kekuatan sihir atau ilmu hitam dari Thai Kek Losu kuat sekali. Biarpun kini Cin Hai tidak merasa gentar lagi akan tetapi tetap ia tidak tega untuk membacok kepala atau tengkorak itu.

 Cin Hai lalu mengeluarkan Ilmu Pedang Daun Bambu dan setelah ia membalasnya dengan serangan-serangan yang amat lihai itu, Thai Kek Losu baru merasa terkejut. Ilmu pedang lawannya yang muda ini memang luar biasa. Tadi ketika ia melihat bahwa Cin Hai tidak terpengaruh oleh daya sihir senjatanya dan lengan kiri pemuda itu begerak-gerak menurut garis Pat-kwa hingga dapat menolak daya sihir, ia telah merasa kagum dan maklum bahwa ia menghadapi murid seorang sakti. Akan tetapi ia maklum bahwa pemuda itu masih belum mampu menolak daya sihir yang membuat ia tidak tega membacok tengkorak itu dan diam-diam ia merasa girang oleh karena dengan ilmu silatnya yang tinggi, tentu ia akan dapat mendesak dan akhirnya mengalahkan lawannya ini. Tak usah banyak-banyak, sekali saja muka atau kepala lawannya dapat tercium oleh mulut tengkorak itu, pasti ia akan roboh dan tewas. Kini setelah Cin Hai mengeluarkan Ilmu Silat Daun Bambu, baru ia terkejut sekali karena gerakan anak muda itu membuat ia terpaksa mencurahkan sebagian perhatiannya untuk menjaga diri. Serangan-serangan ujung pedang Liong coan-kiam sungguh hebat dan sukar diduga, sedangkan untuk melukai kepala lawannya dengan tengkoraknya, bukanlah merupakan hal yang mudah karena pemuda itu memiliki kegesitan yang jauh lebih tinggi daripada kepandaian ginkangnya sendiri.

 Untuk dapat mempercepat kemenangannya, Thai Kek Losu lalu merogoh saku jubah dengan tangan kirinya dan ketika tangan kirinya itu bergerak, maka menyambarlah tujuh batang jarum hitam ke arah jalan darah di seluruh tubuh Cin Hai, antaranya dua batang menuju matanya. Inilah Hek-kang-ciam atau Jarum Baja Hitam yang cepat sekali lajunya karena biarpun kecil akan tetapi berat sekali. Cin Hai dengan tenang memutar pedangnya dan aneh sekali! Semua jarum itu menempel pada Pedang Liong-coan-kiam dan melengket di situ, kemudian sambil berseru keras, ketika Cin Hai menggerakkan pedangnya, semua jarum itu menyambar kembali ke arah tuannya. Thai Kek Losu merasa terkejut sekali dan cepat ia melompat ke samping untuk menghindarkan diri dari sambaran jarum-jarumnya sendiri! Sebetulnya tidak aneh, oleh karena Liong-coan-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang mengandung daya penarik sembrani hingga jarum-jarum kecil itu melengket dengan mudah. Kemudian sambil mengerahkan lweekangnya, pemuda itu dapat membuat jarum-jarum yang menempel itu terlepas dan melayang ke arah lawannya.

 Kemudian tangan kiri Thai Kek Losu bergerak dan kali ini Cin Hai hanya mengelak oleh karena yang menyambar hanya tiga batang jarum saja, akan tetapi kesempatan itu digunakan oleh Thai Kek Losu untuk menghantamkan tengkoraknya ke arah batok kepala Cin Hai. Serangan ini tiba-tiba datangnya dan selain tak terduga oleh karena perhatian Cin Hai tercurah kepada jarum-jarum itu juga cepat sekali hingga tanpa terasa pula Cin Hai menangkis dengan pedangnya. Terdengar suara keras ketika tengkorak itu mencium pedang dan tiba-tiba dari muka tengkorak itu menyambar keluar tujuh batang jarum-jarum yang kehijau-hijauan dan berbau amis karena mengandung racun. Inilah kelihaian tengkorak itu yang sengaja diserangkan dengan tiba-tiba agar ditangkis oleh lawannya. Dari kedua lubang hidung keluar empat batang jarum, sedangkan dari mulut tengkorak itu keluar tiga batang. Semua jarum ini menyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan cepat sekali.

 Kali ini Cin Hai benar-benar terkejut karena sama sekali tak pernah menduga akan hal ini. Ia cepat melempar tubuh ke belakang hingga seperti jatuh terjengkang dan ini pun hampir saja tak dapat menolongnya karena jarum-jarum itu lewat dekat sekali dengan kulit mukanya, hingga hidungnya mencium bau yang luar biasa amis dan busuknya.

 Setelah pengalaman ini, Cin Hai menjadi marah sekali, sebaliknya Thai Kek Losu menjadi kecewa dan gentar. Memang tipu tadi adalah tipu terakhir yang disengaja karena ia pasti akan dapat merobohkan lawannya. Tidak tahunya, anak muda itu benar-benar hebat sekali hingga pada saat dan keadaan yang agaknya tak mungkin dapat melepaskan diri dari bahaya maut itu, Cin Hai masih dapat mengelaknya. Ia merasa rugi oleh karena tipu itu tidak berhasil, maka Cin Hai takkan merasa tidak tega lagi kepada tengkorak itu oleh karena ketika pedangnya membentur tengkorak, ternyata tengkorak itu tidak pecah. Sekaligus pengalaman ini membuat hati pemuda itu menjadi tetap dan rasa kasihan serta tidak tega terhadap tengkorak itu menjadi lenyap, bahkan terganti rasa benci oleh karena ternyata bahwa tengkorak kecil yang dikasihinya tadi mengandung senjata maut yang hampir saja menewaskannya. Kini Cin Hai menerjang maju sambil memutar-mutar pedangnya dan mengeluarkan gerakan dan jurus-jurus Ilmu Pedang Daun Bambu yang paling hebat, hingga Thai Lek Losu terdesak mundur tanpa dapat membalas.

 Pada saat yang baik, Cin Hai menusukkan pedangnya ke arah tenggorokan Thai Kek Losu melalui sinar rantai musuh dengan gerakan miring. Thai Kek Losu mencoba untuk menghindarkan serangan ini dengan mengadu jiwa, yakni ia membarengi untuk memukulkan tengkoraknya pada muka Cin Hai. Dua senjata itu menyerang dengan cepat dalam waktu hampir bersamaan, dan kalau sekiranya kedua orang itu tidak mau menarik kembali serangan mereka, tentu kedua-duanya akan tewas. Akan tetapi, tentu saja Cin Hai tidak sudi mengadu jiwanya. Ia maklum bahwa tengkorak itu berbahaya sekali dan mengandung racun hebat dan sekali saja ia kena cium mulut tengkorak yang kebiru-biruan itu, ia akan mengalami bencana besar. Secepat kilat gerakan pedangnya yang memang mudah berubah-ubah itu, ia balikkan dan kini pedang itu menyambar ke arah rantai. Sebelum tengkorak mengenai mukanya, pedang Liong-coan-kiam dengan dorongan tenaga lweekang sepenuhnya telah berhasil menebas putus rantai itu hingga tengkorak yang berada di ujung rantai terpental jauh dan menggelinding bagaikan bal. Dan pada saat itu juga, kaki kiri Cin Hai dengan cepat melayang dan mendupak dada Thai Kek Losu yang terpental pula seperti tengkorak tadi dan kebetulan sekali ia jatuh ke arah tempat duduk Balaki. Balaki tidak berani menyambut tubuh Thai Kek Losu, hanya cepat sekali tubuhnya melayang pergi dari kursinya dan pada lain saat, tubuh Thai Kek Losu telah jatuh di atas kursi itu dan duduk dengan muka pucat.

 “Yagali Khan, kuharap saja sebagai seorang raja besar, kau suka pegang teguh ucapanmu!” kata Cin Hai yang lalu bertindak pergi keluar dari situ dengan langkah tenang.

 Yagali Khan mengertak giginya, jagonya yang nomor satu telah dikalahkan oleh seorang utusan atau pembawa surat saja, apalagi kalau menghadapi panglima besar kaisar!

 “Pendekar Bodoh, kami akan pegang janji, akan tetapi lain waktu kalau kami mengundangmu, harap kau tidak menolak karena takut!” teriaknya, akan tetapi Cin Hai pura-pura tidak mendengarnya dan mempercepat langkahnya, oleh karena ia tidak mau mengikat dirinya dengan perjanjian macam itu yang hanya akan memperbesar permusuhan belaka. Dan pula, entah mengapa, ia merasa kepalanya pening sekali dan selalu seperti hendak muntah.

 Karena kepeningan kepalanya, maka Cin Hai telah mengambil jalan keliru dan ia tersesat jalan tanpa ia sadari. Pada suatu jalan simpang tiga, seharusnya ia membelok ke kiri, akan tetapi sebaliknya ia membelok ke kanan. Kepalanya makin pening dan kedua kakinya gemetar, akan tetapi ia berlari terus secepatnya.

 Ketika ia masuk dalam sebuah hutan yang liar dan terus berlari cepat, tiba-tiba ia mendengar suara harimau mengaum. Akan tetapi, berbeda dengan auman harimau biasa, auman ini luar biasa kerasnya hingga Cin Hai sendiri sampai tergetar jantungnya. Ia lalu menekan perasaan peningnya dan berlari menuju ke arah auman harimau itu karena setelah suara auman itu hilang gemanya, terdengar suara orang bersuara.

 Setelah ia tiba di satu tempat terbuka, ia menyaksikan pemandangan yang aneh dan mengagumkan. Dua orang laki-laki, yang seorang sudah tua dengan rambut dan jenggot putih, yang ke dua setengah tua, sedang tertawa-tawa dan mempermainkan seekor harimau yang luar biasa besar dan galaknya. Cin Hai melangkah mendekati dan menyaksikan sepak terjang kedua orang tua itu. Kakek jenggot putih itu berdiri berhadapan dengan harimau sambil mempermainkan mulutnya seakan-akan mengolok-oloknya. Orang ke dua berdiri di belakang harimau sambil bertolak pinggang. Sikap mereka ini seakan-akan bukan sedang menghadapi seekor harimau yang besar, akan tetapi seakan-akan dua orang anak-anak menghadapi seekor kucing yang jinak!

 Tiba-tiba harimau itu menggerang keras dan melompat tinggi, menerkam kakek jenggot putih! Kakek itu diam saja tidak mengelak akan tetapi setelah harimau itu melayang dekat ia segera berseru dan tahu-tahu tubuhnya telah mencelat ke atas, melalui tubuh harimau dan sambil berjungkir balik di udara ia menjatuhkan diri pula menduduki punggung harimau!

 “Heh, heh heh! Hayo menari...!” katanya menepuk-nepuk punggung harimau besar itu dengan kedua tangannya persis anak kecil naik kuda-kudaan!

 “Ha, ha, Twako, jangan lepaskan dia, ha, ha!” Laki-laki setengah tua yang berjenggot hitam itu tertawa gembira dan sekali tubuhnya bergerak, ia telah menyambar ke arah harimau yang sedang marah sekali itu. Harimau itu menggoyang-goyang tubuhnya membuka mulutnya lebar-lebar dan ekornya bergerak cepat dan tiba-tiba bagaikan sebatang toya, ekor yang panjang itu menyambar kepala kakek jenggot putih dari belakang. Cin Hai merasa terkejut akan tetapi tiba-tiba seakan-akan kepala kakek itu ada mata di belakangnya, kakek itu menundukkan kepalanya hingga sabetan ekor harimau mengenai tempat kosong.

 Sementara itu, Si Jenggot Hitam yang telah melompat di dekat tubuh harimau, lalu mengulur tangan kanan dan menjiwir telinga harimau itu hingga binatang liar ini menggerung-gerung kesakitan.

 Ketika ekor harimau itu menyabet kembali, dengan mudah Si Jenggot Hitam menangkap ekor tadi dan menahannya di belakang hingga harimau yang hendak lari ke depan itu tertahan dan tak dapat bergerak.

 “Hayo, menyerah tidak kau!” kata kakek jenggot putih sambil menggenjot-enjot tubuhnya di punggung harimau.

 Binatang itu hendak menggulingkan diri dan mencakar kakek itu, akan tetapi ia merasa betapa tubuh kakek itu bukan main beratnya hingga ia tidak kuat berdiri lagi dan perutnya menempel pada tanah.

 Cin Hai melihat dengan kagum dan heran akan kelihaian dan kegesitan kedua orang itu, dan pada saat itu, ia mendengar suara keras berbunyi di udara, dan ketika ia memandang, ternyata di udara sedang terjadi pertempuran yang lebih aneh lagi. Seekor burung bangau besar sedang bertempur dengan ramainya melawan seekor burung rajawali. Rajawali itu menyambar-nyambar dengan ganasnya akan tetapi dengan patuknya yang runcing dan panjang bagaikan dua batang pedang itu, burung bangau mempertahankan diri dengan baiknya.

 Ketika dua orang laki-laki itu menengok ke atas karena tertarik oleh suara burung-burung yang sedang berkelahi, mereka juga terkejut sekali.

 “Kau mendekamlah!' seru kakek jenggot putih sambil menepuk dan menotok urat di punggung harimau dan aneh sekali, harimau itu tiba-tiba menjadi lemas dan mendekam tanpa berdaya lagi. Ternyata bahwa kakek itu tahu jalan-jalan darah binatang itu hingga dapat mengirim tiam-hwat (totokan) dengan tepat sekali. Adapun Si jenggot Hitam segera memandang ke atas dan berseru keras,

 “Ang-siang-kiam, kau turunlah!!” Kemudian ia mengeluarkan suara bersuit yang keras sekali. Burung bangau itu diberi nama Ang-siang-kiam atau Sepasang Pedang Merah oleh karena patuknya memang berwarna merah dan panjang seperti sepasang pedang.

 Mendengar suitan ini, bangau itu segera meluncur turun dengan cepat dan di belakangnya, rajawali itu menyambar pula mengejar.

 “Rajawali keparat!” Si Jenggot Hitam itu memaki dan tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sebatang pelor putih yang bulat meluncur cepat ke arah dada rajawali yang mengejar bangau itu. Akan tetapi, rajawali ini gesit sekali dan sebelum pelor mengenai dadanya, ia telah mengelak ke kiri. Sebutir pelor putih lain menyusul dan mengarah lehernya. Rajawali itu segera mengebutkan sayapnya dan pelor kena terpukul jatuh!

 Melihat kelihaian rajawali itu, kedua orang laki-laki itu menjadi terkejut dan mengeluarkan seruan tertahan, sedangkan Cin Hai yang juga memandang dengan perhatian lalu teringat akan rajawali yang dulu pernah bertanding melawan Ang I Niocu di atas perahu. Banyak persamaannya antara kedua burung rajawali itu.

 Sementara itu, burung bangau yang diberi nama Ang-siang-kiam itu telah turun di atas tanah dan kini berdiri di dekat kakek jenggot hitam. Tubuh burung bangau itu tinggi sekali hingga merupakan seekor burung bangau yang langka terdapat. Adapun rajawali tadi karena tahu akan kelihaian dua orang manusia yang berada di bawah, lalu hanya terbang berputaran sambil mengeluarkan pekik menantang tanpa berani turun ke bawah.

 Pada saat itu terdengar bentakan halus, “Sin-kim-tiauw, jangan kurang ajar!” Mendengar suara ini, rajawali tadi lalu melayang turun dan Cin Hai menjadi girang dan juga terkejut sekali oleh karena ia mengenal suara ini sebagai suara gurunya, Bu Pun Su!

 Benar saja, ketika kedua orang laki-laki itu pun memandang, dari sebuah tikungan, muncullah seorang kakek tua sekali yang berpakaian penuh tambalan hingga merupakan seorang jembel tua. Rajawali emas tadi telah turun dan kini berjalan di belakang kakek itu bagaikan seekor anjing yang jinak sekali.

 “Suhu!” Cin Hai berseru dan segera berlari dan menghampiri, akan tetapi hampir saja ia roboh terguling karena kepalanya terasa pening sekali ketika ia berlari itu. Untung ia masih dapat menetapkan kaki dan segera berlutut.

 “Cin Hai, lekas kaududuk dan kumpulkan semangat bersihkan napas!” terdengar kakek itu berseru setelah memandang wajah muridnya. Kakek sakti ini sekali pandang saja tahu bahwa muridnya ini telah terkena hawa beracun yang berbahaya sekali. Cin Hai biarpun merasa heran, segera menurut dan taat akan perintah gurunya itu. Ia segera duduk bersila, meramkan mata dan merangkapkan kedua tangan di depan dada. Tiba-tiba ia merasa betapa telapak tangan suhunya yang halus itu memegang tangannya dan dari telapak tangan suhunya mengalirlah hawa yang luar biasa hangat dan kuat melalui telapak tangannya sendiri dan terus membantu hawa kekuatan tubuhnya sendiri. Oleh karena ini, ia merasa betapa hawa tenaga di dalam tubuhnya menjadi berlipat ganda dan kini ia gunakan hawa itu diputar-putar ke seluruh tubuh karena tidak tahu akan maksud suhunya.

 “Penuhkan di dada, bersihkan paru-paru dan usir hawa racun yang tadi masuk dari lubang hidungmu!” kakek itu berbisik perlahan.

 Cin Hai diam-diam merasa terkejut dari teringatlah ia akan pertempurannya melawan Thai Kek Losu tadi. Jarum-jarum berbisa yang lihai dan yang keluar dari tengkorak Pendeta Sakia Buddha itu hampir saja tadi mengenainya dan menyambar dekat sekali di depan hidungnya hingga ia mencium bau yang amis dan busuk! Bukan main jahatnya jarum-jarum berbisa itu. Baru baunya telah mempengaruhinya, apalagi kalau sampai terluka oleh jarum itu! Cin Hai segera mengerahkan hawa di dalam tubuh itu di dikumpulkan di dada, mendesak keluar segala kekotoran yang terbawa masuk oleh pernapasan ke dalam paru-paru, hingga ketika ia mendesak hawa itu keluar hidungnya, kembali ia mencium bau yahg amis dan busuk itu! Ternyata bahwa bau yang amis dari senjata tadi telah mengeram di dalam paru-parunya. Bukan main berbahaya dan jahatnya!

 Sementara itu, kedua orang penakluk harimau tadi berdiri dengan heran dan kagum ketika melihat cara guru itu menyembuhkan muridnya. Mereka maklum bahwa kakek jembel itu tentu lihai sekali, maka mereka tidak berani mengganggu dan hanya berdiri memandang. Tak lama kemudian, Bu Pun Su melepaskan genggaman tangannya pada telapak tangan Cin Hai dan ia berdiri kembali.

 “Sudah, sudah bersih...” katanya, Cin Hai membuka kedua matanya dan segera berlutut.

 “Senjata siapakah yang hampir mencelakaimu tadi, Cin Hai?”

 Cin Hai lalu menceritakan tentang pengalamannya, betapa ia menjadi utusan kaisar, menyampaikan surat kepada Yagali Khan dan betapa ia mengadu kepandaian dengan Thai Kek Losu dan berhasil mengalahkannya tanpa menyadari bahwa ia telah hampir mendapat celaka karena senjata rahasia yang hebat dari pendeta itu.

 Bu Pun Su mengangguk-anggukkan kepalanya. “Bagus, bagus memang itu sudah menjadi tugasmu...”

 Kedua orang pemilik burung bangau tadi ketika mendengar cerita ini, segera menghampiri dan menjura dengan sikap hormat sekali.

 “Ah, tidak mengira bahwa kami berdua mendapat kehormatan besar sekali untuk bertemu dengan seorang patriot yang gagah perkasa dan suhunya yang sakti. Mohon tanya, siapakah Locianpwe ini dan siapa pula muridmu yang gagah perkasa?” tanya kakek jenggot putih itu sambil menjura kepada Bu Pun Su yang jauh lebih tua darinya.

 Bu Pun Su tidak membalas pemberian hormat itu, sebagaimana biasa ia memang tidak menyukai segala penghormatan, lalu menjawab seakan-akan mereka telah lama menjadi kawan baik saja,

 “Burung bangaumu itu hebat sekali. Bukankah kau yang bernama Sie Lok dan yang disebut Si Pemelihara Harimau?”

 Kakek jenggot putih itu nampak tercengang. “Eh, sungguh heran! Locianpwe benar-benar berpemandangan tajam. Memang nama siauwte Sie Lok dan ini adalah adikku Sie Kiong. Kami berdua saudara memang tukang memelihara harimau. Bolehkah kami mengetahui nama Locianpwe yang mulia?”

 “Siapakah aku ini? Ah, aku sendiri sudah hampir lupa siapa namaku. Kalian tanya saja kepada muridku ini!” jawabnya tak acuh sambil mendekati burung bangau dan memeriksa seluruh bulu dan tubuh burung itu dengan penuh perhatian dan tertarik sekali. Berkali-kali ia menganggukkan kepala dan berkata, “Bagus, bagus” seakan-akan seorang ahli barang antik sedang mengagumi sebuah benda kuno yang berharga dan menarik.

 Cin Hai yang sudah tahu akan sifat aneh dari suhunya, merasa kurang enak terhadap kedua orang tua itu, maka ia segera menjura dengan hormat sambil berkata,

 “Jiwi yang gagah, suhuku itu bernama Bu Pun Su dan siauwte sendiri bernama Sie Cin Hai.”

 Kedua orang itu nampak terkejut karena mereka telah mendengar nama Bu Pun Su sebagai seorang kakek sakti yang luar biasa. Akan tetapi, agaknya mereka lebih tertarik mendengar nama Cin Hai karena kakek jenggot putih itu lalu melangkah maju dan bertanya, “Anak muda, wajahmu mengingatkan daku akan seseorang. Siapakah nama ayahmu dan siapa pula nama ibumu?”

 Berdebarlah hati pemuda itu. Tadinya ia menyangka bahwa persamaan she dengan kedua orang itu hanya kebetulan saja, akan tetapi mendengar pertanyaan ini, timbul perasaan ganjil di dalam hatinya.

 Sambil menggeleng kepala ia menjawab, ”Siauwte tidak tahu, tidak tahu siapa nama ayah dan ibu...” sampai di sini ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya, karena hatinya merasa terharu.

 Tiba-tiba Bu Pun Su berkata dengan suara sambil lalu, “Eh, pemelihara harimau, apakah kau ketahui tentang seorang she Sie yang terbunuh mati sekeluarganya, karena dianggap pemberontak?”

 Mendadak kedua orang itu menjadi pucat wajahnya dan memandang kepada Bu Pun Su dengan mata terbelalak. “Locianpwe... apa... apa maksud pertanyaanmu ini...?” Kedua orang itu teringat bahwa pemuda itu adalah utusan kaisar, maka tentu saja akan memusuhi orang-orang yang dianggap pemberontak.

 Akan tetapi, Cin Hai yang mendengar pertanyaan suhunya ini dan yang melihat sikap kedua orang itu, tiba-tiba makin berdebarlah. “Lo-peh, tahukah kau tentang dia yang memberontak itu? Tahukah kau...? Katakanlah, Lo-peh!”

 Kakek jenggot putih itu memandang tajam lalu bertanya. “Kau bilanglah dulu apa maksudmu dengan pertanyaan itu? Kau adalah seorang utusan kaisar, apa hubungannya dengan segala pemberontak?”

 “Pemberontak she Sie adalah ayahku sendiri!” kata Sie Cin Hai dengan suara pilu.

 Kini kakek jenggot putih itu melangkah mundur dan wajahnya menjadi pucat, tanda bahwa ia terkejut sekali. Si Jenggot Hitam yang bernama Sie Kiong itu pun mengeluarkan seruan kaget.

 “Apa katamu... ? Anak muda... mukamu memang sama benar dengan Sie Gwat Leng, pemberontak she Sie itu. Dia itu adalah adikku dan kakak dari Sie Kiong. Anak muda, apakah kau mau bilang bahwa kau adalah anak Gwat Leng...?”

 Dengan kedua mata terbelalak Cin Hai lalu bertanya, suaranya gemetar. “Katakanlah... katakanlah... apakah Jiwi kenal kepada seorang wanita bernama Loan Nio yang menjadi isteri Kwee In Liang?”

 “Tentu saja kenal. Dia adalah adik ipar dari Gwat Leng...”

 “Ya Tuhan...! Kalau begitu kau adalah paman-pamanku...!” terdengar Cin Hai berkata dengan dada naik turun karena menahan gelora hatinya. “Pekhu... Siokhu... aku Sie Cin Hai memang putera Sie Gwat Leng itu... tak salah lagi...” Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu sambil menahan air matanya!

 Sie Lok dan Sie Kiong lalu menubruk Cin Hai dan memeluknya. “Kau anak Gwat Leng yang ikut Bibimu itu...? Ah, tak kusangka kita masih akan dapat bertemu...!” kata Sie Lok.

 Bu Pun Su menghampiri mereka dan berkata, “Tidak ada perceraian yang tak berakhir. Agaknya Thian telah menghendaki hingga kalian dapat saling berjumpa dengan tak tersangka-sangka. Telah lama aku mendengar nama kalian berdua pemelihara harimau, dan telah timbul persangkaanku, maka hari ini memang aku datang hendak menyelidiki. Siapa tahu, kebetulan sekali Cin Hai datang di sini pula dalam keadaan terpengaruh racun jahat. Sungguh, ini namanya jodoh!”

 “Siokhu, Pekhu, Suhuku inilah yang memungkinkan keponakanmu ini masih hidup sampai sekarang!” kata Cin Hai setelah keharuan hati mereka mereda.

 “Telah lama kami mendengar nama besar Locianpwe, tidak tahunya Locianpwe adalah guru dan penolong dari keponakan kami yang tunggal ini. Terimalah pernyataan terima kasih kami, Locianpwe!” Setelah berkata demikian, Sie Lok dan Sie Kiong lalu berlutut di depan Bu Pun Su.

 “Sudahlah, sudahlah, tak perlu bersikap seperti kanak-kanak,” kata Bu Pun Su dan ketika ia menggerakkan kedua tangannya menyentuh pundak kedua orang itu, mau tak mau keduanya harus berdiri lagi karena tenaga yang amat besarnya mengangkat mereka bangun! Kemudian, Bu Pun Su berkata kepada Cin Hai,

 “Muridku, setelah bertemu dengan kedua pamanmu, tentu kau akan mendengar riwayat orang tuamu. Sekarang aku akan pergi, tubuhku yang sudah amat tua dan lapuk ini tak kuat untuk merantau lebih lama lagi. Aku hendak kembali ke Gua Tengkorak dan membawa Sin-kim-tiauw bersamaku. Kalau kau bertemu dengan Im Giok, suruh dia menyusulku di sana!

 Cin Hai memandang kepada muka suhunya dengan bengong. “Suhu maksudkan Ang I Niocu? Bukankah Niocu sudah... sudah...” ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

 “Kekuasaan Thian tidak ada batasnya, anak bodoh. Aku sendiri belum memastikan benar apakah Im Giok masih hidup dan bukankah pada saat peristiwa hebat itu terjadi, baik burung ini maupun Im Giok berada di pulau itu? Sudahlah, Cin Hai, kalau tidak dapat bertemu dengan Im Giok, akhirnya aku pun akan dapat menemuinya, entah di sini entah di sana...“ setelah berkata demikian, sekali saja kakek itu mengebutkan lengan bajunya, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tanpa berpamit kepada Sie Lok dan Sie Kiong! Memang demikianlah watak Bu Pun Su yang aneh dan selalu tidak mengacuhkan segala hal yang dianggapnya kurang perlu! Sin-kim-tiauw memekik keras dan terbang cepat menyusul kakek itu.

 Sie Lok menghela napas. “Telah banyak aku melihat orang pandai dan sakti, akan tetapi baru kali ini aku melihat orang yang betul-betul pandai dan berilmu tinggi. Mari, Cin Hai, mari kita pulang ke rumahku dan di sana bercakap-cakap dengan leluasa. Hari ini adalah hari yang paling gembira dan baik semenjak kami ditinggal oleh ayahmu.”

 Sambil digandeng tangannya oleh Sie Kong, Cin Hai lalu ikut mereka pulang dan keluar dari hutan itu, sedangkan harimau yang telah ditotok tadi, setelah dikalungi tambang dan dipulihkan keadaannya, lalu diseret dan akhirnya berlari mengikuti mereka dengan jinak. Ternyata bahwa harimau itu pun maklum akan kelihaian kakek itu hingga menyerah kalah dan tidak berani memberontak! Dan demikianlah cara kedua orang she Sie itu menangkap harimau dan menjinakkannya. Setiap kali bertemu dengan harimau buas, mereka lalu mengganggunya, mempermainkannya dengan kepandaian mereka yang tinggi, kemudian, setelah harimau itu ditundukkan, leher harimau dicancang dan dibawa pulang, bagaikan orang menuntun anjing saja.

 Setelah tiba di rumah Sie Lok dan Sie Kiong yang berada di atas sebuah lereng bukit penuh dengan pohon pek dan siong, Cin Hai merasa kagum sekali oleh karena ternyata di sekeliling rumah besar itu terdapat banyak sekali harimau yang berkeliaran di sekitar rumah dengan jinak bagaikan binatang peliharaan biasa.

 Ketika Cin Hai mencoba untuk menghitung jumlah harimau, yang kelihatan saja olehnya sudah ada dua puluh ekor lebih. Kemudian dia mendengar dari pamannya bahwa mereka mempunyai lebih dari empat puluh ekor harimau yang besar dan galak.

 Bagaikan anjing-anjing penjaga rumah, ketika melihat Cin Hai dan menciumi bau manusia baru yang asing, harimau-harimau itu menggereng dan memperlihatkan gigi dan taring akan tetapi ketika kedua orang she Sie itu mengangkat tangan kanan, semua harimau itu menjadi ketakutan dan mengundurkan diri. Bukan main kagum hati Cin Hai melihat pengaruh dan kekuasaan kedua orang pamannya itu atas sekian banyaknya harimau buas.

 Setelah masuk ke dalam rumah duduk berhadapan, maka berceritalah Sie Lok kepada Cin Hai.

 Ternyata bahwa keluarga Sie terdiri dari empat orang saudara laki-laki bernama Sie Lok, Sie Gwat Leng, Sie Ban Leng dan Sie Kiong. Keempat saudara ini di waktu mudanya rajin mempelajari ilmu silat, dan di antara mereka, yang pandai sekali dan tinggi ilmu silatnya adalah Sie Gwat Leng dan Sie Ban Leng oleh karena kedua orang ini mendapat didikan dari seorang pertapa sakti Gobisan, sedangkan Sie Lok dan Sie Kiong mendapat didikan dari seorang hwesio perantau yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi ahli penakluk semua binatang buas. Dari hwesio inilah Sie Lok dan Sie Kiong mendapat ilmu atau cara menaklukkan harimau dan lain-lain binatang buas, bahkan mereka mempelajari cara menotok tubuh binatang-binatang itu.

 Setelah tamat belajar, keempat saudara ini bertemu lagi dan ketika diadakan pengukuran kepandaian, ternyata bahwa Sie Gwat Leng adalah yang paling pandai, kemudian Sie Ban Leng, kemudian Sie Lok dan Sie Kiong sungguhpun bagi orang biasa boleh disebut telah memiliki ilmu silat yang amat tinggi, namun dibandingkan dengan kedua saudaranya yang menjadi anak murid Gobi-san itu, kepandaian mereka masih jauh.

 Kecuali Sie Ban Leng yang mempunyai watak buruk, ketiga saudara yang lain adalah orang-orang yang berjiwa ksatria dan gagah, bahkan Sie Gwat Leng tiada hentinya mempergunakan kepandaian untuk menolong sesama manusia yang menderita. Gwat Leng merasa tidak puas sekali melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan papa, maka seringkali ia menyatakan ketidak-senangan hatinya terhadap kaisar dan pemerintahnya.

 Berbeda dengan Gwat Leng dan yang lain-lain, Ban Leng selalu mengumbar hawa nafsu jahat, bergaul dengan segala macam penjahat dan membiasakan diri dengan segala macam permainan judi. Gwat Leng seringkali menegurnya sehingga beberapa kali mereka bercekcok oleh karena Ban Leng tak pernah takut atau tunduk kepada kakaknya ini. Adapun Sie Lok yang menjadi saudara tertua tak berdaya apa-apa oleh karena ia memang jauh lebih lemah dari pada Ban Leng. Namun, betapapun juga, Sie Ban Leng masih berlaku hati-hati dan tidak berani berlaku jahat secara berterang oleh karena ia takut kepada suhunya yang telah menyuruhnya bersumpah ketika menjadi muridnya dulu. Kepada Gwat Leng ia tidak takut oleh karena biarpun ilmu kepandaian Gwat Leng lebih tinggi, namun ia tahu akan kesayangan kakaknya itu terhadap dirinya, maka ia yakin bahwa Gwat Leng tentu takkan tega untuk mencelakakannya.

 Kemudian Sie Gwat Leng menikah dengan seorang gadis dusun yang cantik dan halus budi bahasanya. Mereka berdua hidup dengan rukun dan saling mencinta, penuh kebahagiaan. Setahun kemudian terlahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Sie Hai yang kemudian ditambah dengan huruf “Cin” oleh Loan Nio karena nyonya ini tidak ingin kalau ada orang mengetahui bahwa anak itu adalah putera Sie Gwat Leng yang memberontak.

 Akan tetapi celakanya ketika melihat isteri Sie Gwat Leng yang cantik manis, timbul hati jahat di dalam dada Ban Leng yang berwatak buruk itu. Ia mencoba untuk menggoda sosonya sendiri hingga timbullah pertengkaran yang diakhiri dengan perkelahian antara dia dan kakaknya. Ban Leng kena dikalahkan oleh Gwat Leng. Dengan hati sakit dan mendendam, Sie Ban Leng lalu lari meninggalkan saudara-saudaranya. Sampai bertahun-tahun tak terdengar lagi berita tentang dirinya. Akan tetapi, setelah guru Gwat Leng, pertapa Gobi-san itu meninggal dunia, mereka mendengar lagi tentang keadaan Ban Leng dan ternyata bahwa Ban Leng telah berada di kota raja, menjadi seorang jago muda yang jarang mendapat tandingan dan disegani orang banyak hingga mendapat julukan Gobi Sin-liong atau Naga Sakti dari Gobi-san!

 Sie Gwat Leng masih saja bercita-cita untuk menolong kaum tani dan rakyat jelata yang lemah dan miskin. Ia mulai dengan usahanya di dalam dusun sendiri. Ia mengumpulkan orang-orang kampung, mendidik mereka dengan ilmu silat, lalu mendesak dengan kekerasan dan pengaruh kepandaiannya kepada mereka yang tergolong hartawan untuk mengulurkan tangan membantu hingga ia berhasil membuat kampungnya menjadi makmur. Semua orang bertubuh sehat dan mendapat didikan ilmu silat hingga dapat menjaga kampung dari serangan orang jahat dan tidak ada orang yang mengalami kemelaratan karena semua orang mendapat penghasilan yang cukup.

 Hal ini terdengar oleh kampung lain yang merasa iri dan kemudian dikabarkan orang bahwa keluarga Sie hendak mengadakan pemberontakan dan telah bersiap dengan melatih orang-orang dusun dengan ilmu silat untuk kelak digunakan memberontak dan memukul kerajaan!

 Hal ini terdengar oleh seorang perwira yang bertugas di satu tempat tak jauh dari dusun itu. Perwira ini orangnya sombong dan tanpa menanti perintah dari pusat, ia telah lancang mengadakan tindakan sendiri untuk mencari pahala. Ia membawa anak buahnya sebanyak empat puluh orang dan menyerbu ke dusun itu! Anak buahnya mengamuk dan tidak hanya memukul dan menawan orang-orang, bahkan mengganggu anak bini orang dan merampas harta mereka!

 Tentu saja Sie Gwat Leng menjadi marah sekali. Ia mengumpulkan orang-orang dusun dan melawan penyerbu-penyerbu itu hingga tentara di bawah pimpinan perwira sombong itu dapat dimusnakan berikut pemimpinnya!

 Segera kota raja mendengar tentang peristiwa ini, dan Sie Gwat Leng lalu dianggap sebagai pemberontak! Kaisar lalu memerintahkan Kwee In Liang untuk memimpin serombongan tentara terdiri dari seratus orang untuk menawan pemberontak-pemberontak itu. Dan di dalam rombongan ini ikut pula Sie Ban Leng karena orang ini mendapat kesempatan untuk membalas dendamnya kepada kakaknya sendiri. Walaupun ia tidak segera terang-terangan ikut di dalam rombongan Kwee-ciangkun, akan tetapi diam-diam ikut pergi kembali ke dusunnya sendiri dengan maksud membantu penindasan pemberontak, karena ia maklum bahwa dengan adanya ketiga saudaranya di dalam dusun, akan sukarlah bagi tentara kerajaan untuk menindas dan mengalahkan dusun itu.

 Terjadilah pertempuran hebat antara tentara kerajaan dan orang-orang dusun di bawah pimpinan ketiga saudara Sie yang melakukan perlawanan karena mereka telah merasa benci sekali terhadap kerajaan, yang ditimbulkan oleh sepak terjang yang jahat dari para tentara di bawah pimpinan perwira yang dulu menyerbu dan berhasil dihancurkan.

 Benar saja dugaan Ban Leng. Kwee Ciangkun tidak berdaya menghadapi ketiga saudara Sie yang benar-benar kosen dan tangguh. Selagi ia merasa bingung, datanglah Sie Ban Leng membantunya. Dengan licik dan curang sekali, Sie Ban Leng datang kepada kakaknya dan menyatakan penyesalannya, lalu berkata bahwa ia datang hendak membantu perjuangan saudara-saudaranya mengusir barisan kerajaan. Tentu saja Gwat Leng, Sie Lok dan Sie Kiong merasa gembira sekali, dan menerima saudara yang sesat ini dengan kedua tangan terbuka.

 Tidak tahunya, pada malam harinya, ketika Sie Gwat Leng sedang tidur karena lelahnya memimpin orang-orang dusun melawan tentara negeri, Ban Leng berlaku curang dan menotok kedua pundak kakaknya yang sedang tidur itu! Sie Lok dan Sie Kiong melihat hal ini menjadi marah sekali lalu menyerang Ban Leng yang berkhianat akan tetapi kepandaian mereka belum dapat melawan Ban Leng dan pada saat itu, sesuai dengan rencana Ban Leng dan Kwee-ciangkun, tentara negeri menyerbu!

 Dalam keadaan tidak berdaya karena totokan Ban Leng membuatnya lumpuh, Gwat Leng ditawan, orang-orang kampung banyak yang mati dan sebagian pula ditawan, kampung dibakar habis dan semua keluarga Sie ditawan pula! Di dalam suasana ribut itu, Ban Leng hendak menculik dan mengganggu isteri Gwat Leng, akan tetapi Kwee In Liang dengan marah mencegahnya.

 “Semua orang tidak boleh mengganggu wanita, siapa melanggar akan dihukum!” katanya dengan garang. Ban Leng sendiri sebetulnya tidak takut kepada Kwee In Liang, akan tetapi tiba-tiba isteri Gwat Leng yang merasa putus harapan itu, menggunakan kesempatan ini untuk membenturkan kepala sendiri pada dinding hingga kepalanya menjadi pecah dan tewas pada saat itu juga. Dengan hati menyesal, Ban Leng lalu meninggalkan tempat itu.

 Adik perempuan isteri Gwat Leng yaitu Loan Nio, yang pada waktu itu sudah remaja puteri, sambil menggendong Sie Hai yang masih kecil mencoba lari, akan tetapi ia ditangkap oleh orang anggota tentara yang kagum melihat kecantikannya. Akan tetapi, untung bahwa pada waktu itu Kwee In Liang melihat hal ini terjadi. Perwira ini memberi pukulan keras hingga tentara itu pingsan, sedangkan ia lalu menolong Loan Nio dan anak kecil yang disangka anak Loan Nio itu, dibawa ke dalam rumahnya.

 Loan Nio lalu diambil sebagai pelayan di rumah gedung Kwee In Liang, dan gadis yang cerdik ini lalu menitipkan Sie Hai kepada seorang wanita di luar gedung dengan memberi belanja tiap pekan, yaitu uang gajinya sendiri, seluruhnya diberikan kepada wanita itu. Demikianlah, Sie Hai yang kemudian dinamakan Cin Hai oleh Loan Nio itu, yang di waktu itu baru berusia setahun lebih, dipelihara dengan diam-diam oleh Loan Nio. Dan setelah Loan Nio diambil sebagai isteri oleh Kwee-ciangkun, barulah dia memberi tahu dengan sejujurnya kepada suaminya bahwa Cin Hai adalah putera Sie Gwat Leng. Karena mencintai dan sayang kepada isterinya yang baik budi ini, Kwee-ciangkun mau juga menerima Cin Hai di dalam gedungnya.

 Adapun Sie Lok dan Sie Kiong yang memiliki ilmu kepandaian, dapat melarikan diri setelah mereka tidak berhasil menghukum Ban Leng yang jahat dan yang telah mengkhianati kakak sendiri itu. Mereka lalu merantau dengan hati duka. Apalagi ketika mereka mendengar betapa Gwat Leng dijatuhi hukuman mati dalam keadaan masih lumpuh, sedangkan isterinya mati membunuh diri dan keluarga lain dihukum mati pula, kedua saudara ini hanya bisa menangis dan sedih. Mereka merasa benci sekali kepada manusia, oleh karena dianggapnya manusia adalah mahluk yang sejahat-jahatnya. Seorang saudara kandung sendiri seperti Ban Leng dapat berlaku jahat itu, apalagi orang lain? Maka, mereka lalu mengasingkan diri di hutan, dan menaklukkan banyak harimau untuk menjadi kawan-kawan dan penjaga mereka!

 Mendengar cerita Sie Liok ini, Cin Hai merasa sedih, terharu, marah dan menyesal sekali.

 “Pek-hu dan Siok-hu, di manakah adanya Paman Sie Ban Leng, manusia yang berwatak rendah dan biadab itu? Ingin sekali aku melihat muka orang yang berhati binatang itu!” katanya gemas dan marah, sambil mengepal tangannya.

 “Entahlah, kami berdua dulu pernah mencarinya untuk membalas dendam, akan tetapi dua kali kami telah kena dikalahkan dan kemudian kabarnya ia merasa menyesal atas perbuatannya yang terkutuk itu dan ia telah mengasingkan diri entah di mana.”

 Kemudian, atas permintaan kedua pamannya, Cin Hai dengan singkat lalu menceritakan pengalamannya. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali. Akan tetapi, mereka masih penasaran kalau belum mencoba dan mengukur sendiri kelihaian keponakannya ini, maka Sie Kiong yang berwatak gembira lalu berkata,

 “Cin Hai coba kauperlihatkan kepandaianmu agar hatiku puas.”

 Cin Hai tersenyum dan mengikuti mereka berdua keluar dari rumah di mana terdapat halaman yang cukup luas.

 “Bagaimanakah aku harus memperlihatkan kebodohanku?” tanyanya kepada Sie Lok dan Sie Kiong.

 “Kaulawanlah kami berdua, agar kami dapat mengukur apakah kepandaianmu dapat dibandingkan dengan Ayahmu atau Pamanmu yang jahat itu?” kata Sie Lok, yang segera menggulung lengan bajunya. Cin Hai maklum bahwa betapa pun tinggi ilmu kepandaian kedua pamannya ini, namun melihat gerakan mereka ketika menawan harimau tadi, ia merasa yakin bahwa ia tentu akan dapat mengalahkan mereka.

 “Baiklah, aku akan berusaha menjaga diri,” kata Cin Hai dengan tenang.

 “Awas serangan!” tiba-tiba Sie Kiong berseru gembira dan ia lalu menerkam dengan serangan yang cukup lihai berbahaya sedangkan Sie Lok yang hendak menguji kelihaian keponakannya juga segera membarengi menyerang dari lain jurusan. Cin Hai mengerti akan kehebatan serangan kedua pamannya ini, maka tubuhnya lalu berkelebat dan ia mengeluarkan ginkangnya yang sudah sempurna. Kedua mata Sie Lok dan Sie Kiong menjadi kabur ketika mereka melihat betapa tubuh keponakan itu tiba-tiba berkelebat dan lenyap dari tengah-tengah kepungan. Dan tiba-tiba mereka mendengar suara Cin Hai di tempat yang jauhnya tiga tombak lebih, “Aku berada di sini.”

 Bukan main heran kedua orang tua itu, dan dengan cepat mereka lalu menerjang lagi, kini dengan cepat sekali agar jangan sampai pemuda itu mendapat kesempatan mengelak, Sie Lok menyerang dengan jari tangan kanan dibuka dan menotok ke arah jalan darah di lambung Cin Hai, sedangkan Sie Kiong menyerang dengan pukulan tangan miring ke arah leher keponakannya. Cin Hai berseru keras, dan dengan menundukkan kepala ia dapat mengelak dari pukulan Sie Kiong, sedangkan untuk menghadapi totokan Sie Lok, ia mengulur tangan dan mendahului dengan totokan ke arah pergelangan tangan pamannya itu. Sie Lok terkejut dan menarik kembali tangannya lalu menyerang lagi dengan hebat, demikian pula Sie Kiong. Akan tetapi, Cin Hai lalu mengeluarkan Ilmu Silat Sianli Utauw atau Tarian Bidadari sambil berkata, “Inilah Sianli Utauw yang kupelajari dari Ang I Niocu.” Setiap serangan kedua orang tua itu ia kelit dan sampok dengan gerakan tubuh yang lemas seakan-akan orang menari, akan tetapi serangan-serangan kedua pamannya itu tidak mampu mengenai tubuhnya sama sekali. Kedua orang tua itu merasa kagum sekali dan juga heran betapa dengan menari-nari saja keponakannya ini dapat mengelak dari serangan-serangan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

 Cin Hai memang sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya kepada kedua pamannya, karena ia ingin membuat kedua pamannya itu girang dan senang. Maka setelah memainkan Sianli Utauw berapa belas jurus untuk menghadapi serangan-serangan kedua pamannya, ia lalu merubah gerakannya dan berkata pula,

 “Dan sekarang aku mainkan kepandaian pokok ilmu silat yang kupelajari dari Suhu Bu Pun Su!” Setelah ia berkata demikian, ia lalu memperhatikan gerakan-gerakan pamannya dan ia lalu mengembalikan setiap serangan dengan gerakan yang sama seperti ilmu silat kedua pamannya. Kalau tadi menyaksikan Sianli Utauw membuat kedua orang itu terheran-heran, kini menghadapi betapa keponakannya itu melawan mereka dengan ilmu silat mereka sendiri, kedua orang she Sie itu setelah mengeluarkan ilmu pukulan yang paling sulit dan berbahaya akan tetapi yang dikembalikan dengan sama baiknya oleh Cin Hai, keduanya tak dapat menahan keheranan mereka lagi dan dengan cepat melompat mundur.

 “Nanti dulu! Dari mana pula kau mempelajari ilmu silat kami itu?” tanya Sie Lok dengan terheran-heran dan mata terbelalak!

 “Aku belum pernah mempelajari ilmu-ilmu silat itu, akan tetapi memang Suhu Bu Pun Su telah melatihku untuk mengetahui semua dasar-dasar ilmu silat yang pada hakekatnya sama, hingga tiap kali aku diserang dengan semacam ilmu silat, aku dapat meniru gerakan itu dan mengembalikannya kepada lawan dengan jurus itu juga.”

 Sie Lok dan Sie Kiong saling pandang dengan heran dan mereka ini hampir tak dapat mempercayai keterangan ini, akan tetapi oleh karena tadi mereka telah menyaksikannya sendiri dan beberapa belas jurus pukulan yang paling terahasia dan terlihai dari mereka telah dilakukan dengan sempurna oleh Cin Hai, mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala.

 “Bukan main!” kata Sie Kiong. “Akan tetapi Kanda Ban Leng memiliki kepandaian Eng-jiauw-kang yang lihai sehingga ia sanggup menghadapi kami berdua yang memegang senjata dengan bertangan kosong saja. Maka cobalah kau menghadapi kami dengan tangan kosong pula sedangkan kami menyerang dengan senjata tajam!” Sie Lok juga menyetujui cara percobaan kepandaian ini dan Sie Kiong lalu berlari masuk untuk mengambil dua batang pedang. Setelah menyerahkan sebatang kepada kakaknya, kedua orang tua ini lalu menghadapi Cin Hai, dan Sie Lok berkata,

 “Cin Hai kau berhati-hatilah, karena ilmu pedang kami bukanlah kepandaian rendah!” Lalu ia melangkah maju dan mulai dengan serangannya. Demikianlah Sie Kong yang segera memutar pedang di atas kepala dan mengirim serangan hebat.

 Cin Hai lalu memperlihatkan ilmu silat tangan kosong yang dipelajari dari Bu Pun Su, yaitu Kong-ciak Sin-na. Tubuhnya dengan ringan sekali melompat-lompat ke atas bagaikan seekor burung merak sedang terbang saja dan kemudian dari atas ia menghadapi serangan pedang dengan tendangan dan cengkeraman untuk merampas senjata kedua pamannya.

 Sementara itu, semenjak tadi, burung bangau yang besar itu hanya berdiri memandang, kadang-kadang terbang ke atas dan berputaran di atas kepala ketiga orang yang sedang bertempur. Akan tetapi, setelah ia menyaksikan betapa tubuh Cin Hai melayang ke atas bagaikan burung, ia lalu memekik keras dan tubuhnya melayang lalu menyambar dengan sepasang patuknya yang runcing bagaikan pedang itu digerakkan secara hebat menyerang Cin Hai.

 “Ang-siang-kiam, jangan!” teriak Sie Lok, akan tetapi Cin Hai lalu berkata sambil tersenyum.

 “Biarlah, Pek-hu, dia mau ikut bergembira, mengapa tidak boleh?”

 Demikianlah, dengan ilmu Silat Kongciak Sinna, Cin Hai melayani kedua pamannya yang dibantu oleh burung bangau itu hingga ia dikeroyok tiga. Akan tetapi ilmu silatnya sungguh hebat dan tubuhnya seakan-akan tak pernah mengambah bumi. Tiap kali tubuhnya turun, ia lalu menggunakan ujung sepatunya untuk menggenjot lagi hingga tubuhnya melayang ke atas. Serangan burung bangau itu ia gagalkan dengan kepretan tangan ke arah paruh burung itu hingga tiap kali jari tangannya menyentuh paruh burung bangau itu dan hampir jatuh ke bawah! Sementara itu, kedua pedang Sie Lok dan Sie Kiong yang bergerak bagaikan dua ekor ular sakti menyambar-nyambar itu dapat dihindarkannya dengan tendangan kaki dan cengkeraman yang sebaliknya bahkan mengancam pergelangan tangan mereka dan bagian tubuh lain!

 Setelah menghadapi serangan ketiga pengeroyok ini sampai tiga puluh jurus lebih, tiba-tiba Cin Hai melompat turun dan berkata,

 ”Sekarang serelah permainan Kong-ciak Sin-na tadi, aku akan mainkan Pek-in-hoatsut, juga yang diturunkan oleh Suhu Bu Pun Su!”

 Jauh sekali perbedaan ilmu silatnya ini dengan yang tadi. Kalau tadi gerakannya gesit sekali, sekarang ia berdiri dengan tenang dan kokoh di atas tanah, kedua lengan tangannya digerak-gerakkan dan tiba-tiba dari kedua lengan ini mengebul uap putih! Burung bangau menyambar turun, lalu dikebut dengan tangan kiri dan ketika uap putih itu menyambar, burung itu memekik keras dan terlempar, lalu terbang lagi ke atas tanpa berani menyerang lagi!

 “Hebat!” kata Sie Lok yang segera menyerang lagi, disusul oleh Sie Kiong. Akan tetapi alangkah terkejut mereka ketika sekali saja Cin Hai menangkis, pedang mereka hampir saja terlepas dari pegangan!

 “Sungguh lihai!” kata Sie Lok sambil berhenti menyerang dan memandang Cin Hai dengan wajah berseri. “Cin Hai, kalau tidak menyaksikan dan merasakan sendiri, aku takkan dapat percaya bahwa kau memiliki ilmu kepandaian seperti ilmu sihir saja! Ah, anakku, jangankan baru seorang Ban Leng, biar dia menjadi tiga pun tak mungkin dapat mengalahkan kau! Hebat, hebat!”

 “Akan tetapi, semenjak tadi Hai-ji (Anak Hai) hanya menangkis dan menjaga diri saja. Aku belum merasai kehebatan serangan balasannya. Cin Hai, coba kau cabut pedangmu agar kami dapat pula menyaksikan kiamsutmu!”

 “Baiklah,” kata Cin Hai sambil mencabut keluar Liong-coan-kiam dari pinggangnya. “Nah, Pek-hu dan Siok-hu, bersiap sedialah, aku hendak menyerang dengan Ilmu Pedang Daun Bambu!” Sie Lok dan Sie Kong segera memutar pedang mereka untuk melindungi diri dan jangankan pedang lawan, biarpun air sepikul pun kalau disiramkan ke arah mereka tak mungkin akan dapat menembus sinar pedang mereka yang melindungi tubuh!

 Cin Hai lalu menggerakkan pedangnya. Gerakannya cepat sekali dan matanya yang tajam sudah dapat melihat lowongan-lowongan di antara sinar pedang kedua pamannya. “Awas!” teriaknya dan dua kali pedangnya berkelebat secara luar biasa sekali dan terdengarlah kain robek dua kali dan Cin Hai menarik kembali pedangnya dan berdiri tegak!

 Sie Lok dan Sie Kiong merasa heran dan segera menghentikan gerakan mereka pula. Alangkah terkejut hati mereka ketika melihat betapa baju di dada mereka telah robek dan bolong terkena ujung pedang Cin Hai yang baru menyerang segebrakan saja itu!

 Keduanya lalu melempar pedang masing-masing dan maju memeluk Cin Hai. Tak terasa pula, mata mereka berlinang air mata karena girang, puas dan bangga.

 “Hai-ji... kalau bangsat Ban Leng itu berada di sini, akan mampus dia di tanganmu!” kata Sie Lok.

 “Cin Hai, anakku yang gagah perkasa! Ah... kalau saja Kanda Gwat Leng masih hidup, tentu ia akan merasa bangga sekali melihat kau selihai ini...” kata Sie Kiong dan orang tua berjenggot hitam ini menggunakan punggung tangan untuk mengusir pergi dua butir air mata yang terloncat keluar dari kedua matanya.

 Dengan hati terharu Cin Hai lalu bertanya, “Di manakah makam Ibu? Dan di manakah pula jenazah Ayah dikuburkan?”

 “lbumu dikuburkan di dusun Kang-cou, dan jenazah ayahmu yang dibakar oleh para petugas di kota raja, dapat kami curi dan kami tanam pula di dekat makam Ibumu. Dusun itu berada di kaki Bukit Houw-san.”

 Untuk dua pekan lamanya Cin Hai tinggal bersama kedua pamannya dan selama itu ia mempelajari cara-cara menangkap binatang buas. Burung bangau menjadi kawan baiknya dan ia merasa suka sekali kepada burung ini hingga burung itu menjadi jinak dan ke mana ia pergi burung itu selalu mengikutinya. Melihat hal ini, kedua pamannya lalu menyatakan bahwa burung itu diberikan kepada Cin Hai untuk menjadi kawan seperjalanannya.

 “Bawalah Ang-siang-kiam, dia dapat menjadi kawan baik dalam perjalanan,” kata Sie Lok dan Cin Hai menerimanya dengan girang hati.

 Dalam waktu senggang, Cin Hai menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menceritakan pula tentang sahabat-sahabatnya, tentang Nelayan Cengeng, tentang Kwee An den Ma Hoa, dan tidak lupa pula menceritakan tentang diri Lin Lin yang diakuinya sebagai calon isterinya hingga kedua orang tua itu menjadi girang sekali.

 “Kelak kalau kau akan menikah, tak boleh tidak kau harus memberi kabar agar kami dapat datang minum arak kegirangan.”

 Kemudian Cin Hai berpamit karena ia telah terlalu lama meninggalkan Lin Lin. Kedua pamannya tidak dapat menahannya dan berangkatlah ia meninggalkan kedua pamannya dengan semua harimau itu, pergi dengan berlari cepat. Burung bangau yang besar terbang di atasnya dan ikut pergi bersamanya.

 Karena Cin Hai melakukan perjalanan dengan mempergunakan ilmu lari cepat dan jarang berhenti dalam kerinduannya hendak segera bertemu kembali dengan Lin Lin, sambil tidak lupa mencari-cari jejak Kwee An dan Ma Hoa yang lenyap tak meninggalkan bekas itu, maka beberapa hari kemudian tibalah ia di kaki bukit tempat tinggal Yousuf. Ia merasa heran sekali melihat betapa dusun-dusun di sekitar bukit itu telah kosong dan tiada bermanfaat lagi!

 Dengan hati berdebar cemas ia berlari ke atas bukit dan betul saja seperti apa yang ia kuatirkan, rumah Yousuf telah roboh dan nampak seperti bekas dibakar! Dengan hati cemas dan wajah pucat Cin Hai mencari dan membongkar tumpukan puing, akan tetapi ia menjadi lega oleh karena tidak melihat tanda-tanda bahwa kekasihnya dan Yousuf menjadi korban api yang membakar rumah. Ia berdiri di depan tumpukan puing dengan tubuh lemas, dan tiba-tiba ia mendengar suara ringkik kuda dari jauh.

 “Pek-gin-ma!” ia berseru dan melompat terus lari cepat mengejar ke arah suara itu. Dan di dalam sebuah hutan ia melihat kuda itu sedang makan rumput dan kadang-kadang meringkik sedih seakan-akan kehilangan kawan dan merasa kesunyian. Ketika Cin Hai lari menghampiri, ia mengangkat kepalanya dan meringkik lagi, seakan-akan hendak menceritakan sesuatu.

 Cin Hai memeluk leher kuda itu dan merasa menyesal sekali mengapa tidak menjadi kuda saja agar dapat mengerti apa yang hendak diceritakan oleh Pek-gin-ma tentang kekasihnya!

 “Pek-gin-ma, apakah yang terjadi pada mereka? Pek-gin-ma, kalau kau tahu tempat mereka, bawalah aku kepada Lin Lin...”

 Akan tetapi, kuda itu hanya menggaruk-garuk tanah dengan kedua kaki depannya. Sementara itu, burung bangau yang ikut datang bersama Cin Hai, terbang berputaran di atas melihat-lihat daerah yahg asing baginya itu. Cin Hai lalu menunggang Pek-gin-ma dan bersuit memanggil Ang-siang-kiam yang segera meluncur turun dan mengikuti ke mana pemuda itu melarikan kudanya. Cin Hai turun dari lereng dan memeriksa dusun-dusun di sekitar daerah itu. Ketika ia sedang berdiri di tengah dusun yang kosong sambil menuntun Pek-gin-ma, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki. Ia segera melompat ke belakang sebuah pohon besar dan dapat menangkap lengan tangan seorang penduduk dusun yang hendak melarikan diri. Orang itu masih muda dan meronta-ronta, kemudian setelah merasa bahwa ia tidak kuasa melepaskan diri lalu menjatuhkan diri berlutut sambil memohon.

 “Ampun, Hohaii, jangan bunuh aku,” katanya dengan tubuh menggigil.

 “Berdirilah, sahabat. Aku bukan orang jahat, dan aku hanya hendak bertanya kepadamu apa yang telah terjadi di pegunungan ini. Ke mana perginya semua penduduk dusun ini dan tahukah kau ke mana perginya orang Turki dan nona yang dulu tinggal di lereng itu?”

 Ketika melihat bahwa Cin Hai bukanlah orang yang ditakutinya, pemuda dusun itu lalu bercerita bahwa beberapa hari yang lalu, pegunungan itu didatangi serombongan orang-orang Turki yang terdiri dari puluhan orang banyaknya menunggang kuda-kuda besar sambil menyerang dusun-dusun seperti orang-orang gila. Kemudian orang-orang Turki menyerbu ke atas bukit untuk menangkis Yousuf. Terjadilah pertempuran hebat dan orang-orang dusun yang bersembunyi lalu melihat betapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti melarikan diri dari situ dengan cepat, dikejar-kejar oleh rombongan orang Turki itu!

 “Entah ke mana mereka melarikan diri, agaknya mereka tidak kuat menghadapi serbuan orang-orang Turki itu!” pemuda dusun tadi mengakhiri ceritanya.

 Cin Hai merasa terkejut sekali. Kalau Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti sampai tidak kuat menghadapi rombongan itu, tentu di dalam rombongan itu terdapat orang-orang pandai, pikirnya. Ia heran sekali, siapakah orangnya yang dapat mengalahkan Lin Lin yang sudah ia latih dengan ilmu-ilmu silat tinggi itu? Ia benar-benar tidak mengerti dan kemudian turun gunung dengan hati cemas dan pikiran bingung, diikuti oleh burung bangau yang dengan setia terbang rendah di atas kepalanya.

 Marilah kita ikuti pengalaman Kwee An dan Ma Hoa semenjak mereka terguling ke dalam jurang tebing yang amat curam itu.

 Telah diceritakan di bagian depan bahwa Kwee An terkena dorongan hawa pukulan Angin Taufan dari Ke Ce yang lihai hingga ia terguling ke dalam tebing, sedangkan Ma Hoa cepat melompat menyusul kekasihnya itu hingga mereka berdua ketika jatuh ke dalam tebing saling berpegangan tangan dan mendapat kekuatan batin luar biasa dari sentuhan tangan ini!

 Namun, betapapun juga, merasa betapa tubuhnya meluncur turun dengan cepatnya ke dalam jurang yang luar biasa dalamnya itu tanpa berdaya sedikit pun, Ma Hoa merasa ngeri sekali hingga ia menjadi pingsan! Sebaliknya, Kwee An biarpun juga tidak berdaya, namun ia masih sadar dan di dalam jatuhnya, ia masih berusaha menggerakkan tubuhnya dan mengulur tangan untuk mencari pegangan! Akhirnya ia berhasil dan sebelah tangannya dapat menangkap sebatang pohon yang tumbuh di permukaan jurang yang curam itu. Akan tetapi, tiba-tiba ia merasa betapa tangan Ma Ho yang memegangnya menjadi lemas dan ketika pegangan tangannya pada cabang pohon itu menahan luncuran tubuhnya, pegangan pada tangan Ma Hoa itu terlepas tanpa dapat ia tahan lagi hingga tubuh Ma Hoa terus ke bawah, terpisah darinya!

 Kwee An merasa betapa tangannya yang memegang pohon itu sakit dan seakan-akan sambungan tulang pada pundaknya terlepas oleh karena sentakan tenaga luncurannya yang tiba-tiba tertahan itu keras sekali. Ia berpegang kuat-kuat pada pohon itu sambil memandang ke bawah dengan penuh kengerian. Melihat betapa tubuh kekasihnya itu terus meluncur ke bawah hingga lenyap tertutup halimun tebal, ia mengeluh keras-keras.

 “Ma Hoa...” Kemudian ia pun roboh pingsan! Untung baginya bahwa di mana ia berada itu mempunyai banyak cabang dan daun, hingga ketika tubuhnya terkulai karena ia roboh pingsan, tubuhnya tertahan oleh ranting-ranting pohon dan tidak sampai jatuh ke bawah.

 Setelah beberapa lama berada dalam keadaan pingsan, lambat laun ia siuman kembali dan teringat akan nasib Ma Hoa, Kwee An menangis sedih di atas dahan pohon itu. Ia ingin melempar dirinya ke bawah untuk ikut mati bersama Ma Hoa, akan tetapi masih belum putus harapan. Siapa tahu kalau Ma Hoa juga tertolong jiwanya? Ia harus menyelidiki dulu dengan teliti. Maka ia lalu merangkak dengan hati-hati sekali di antara cabang pohon. Ia melihat betapa pohon itu tumbuhnya melintang dan bahwa permukaan jurang itu lurus ke atas dan tak mungkin dilalui. Dengan amat hati-hati ia lalu menggunakan batu-batu menonjol di pinggir atau dinding tebing itu untuk merayap ke atas.

 Dengan pertolongan batu-batu karang dan akar-akar pohon, ia dapat juga meninggalkan pohon di mana ia tersangkut tadi dan akhirnya ia mendapatkan sebuah gua di dinding tebing. Karena merasa lelah sekali, ia masuk ke dalam gua kecil itu dan beristirahat. Semalam penuh ia beristirahat di dalam gua itu, memikirkan nasib Ma Hoa dengan gelisah dan mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanannya merayap dan mencari jalan keluar dari dinding tebing yang curam dan luas itu, kemudian mencari kekasihnya.

 Sementara itu, tubuh Ma Hoa meluncur ke bawah dengan kecepatan makin besar. Tak dapat disangsikan lagi, kalau tubuh dara ini jatuh menimpa batu atau tanah, pasti tubuhnya akan hancur lebur. Akan tetapi, Thian Yang Maha Agung mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas. Kalau belum dikehendakinya, ada saja jalan atau penolong yang menyelamatkan nyawa seseorang dari kematian.

 Ketika tubuh Ma Hoa telah meluncur mendekati tanah, tiba-tiba terdengar orang mengeluarkan seruan kaget, “Ya Tuhan Yang Agung!” seruan ini dikeluarkan oleh seorang kakek berkepala botak. Secepat kilat kakek botak ini lalu menanggalkan mantelnya dan ketika tubuh Ma Hoa jatuh hendak menimpa tanah, ia menggerakkan mantel itu yang menangkap tubuh Ma Hoa, dan sekali mantel disentakkan, tubuh Ma Hoa yang tadinya meluncur ke bawah, lalu dibelokkan tenaga luncurannya ke kiri, kemudian diteruskan ke atas hingga tubuh itu melayang ke atas! Inilah cara luar biasa untuk mematahkan tenaga luncuran yang keras itu. Ketika tubuh Ma Hoa melayang lagi ke bawah, jauh berkurang dan telah patah tenaga luncurannya, kakek botak itu lalu menangkapnya dan membawanya masuk ke dalam sebuah gua yang berada tak jauh dari tempat itu.

 Setelah memeriksa keadaan Ma Hoa, kakek botak itu menarik napas lega oleh karena ia tahu bahwa gadis itu pingsan bukan karena menderita luka, akan tetapi oleh karena kengerian, ketakutan dan juga karena tekanan hawa yang menyesakkan pernapasannya ketika ia jatuh dari tempat yang luar biasa tingginya itu tadi! Maka kakek botak itu lalu membiarkan saja Ma Hoa pingsan, karena memang sebaiknya gadis itu dibiarkan sampai siuman sendiri. Ia hanya mengangkat kedua tangan Ma Hoa beberapa kali dan mengurut-urut leher gadis itu untuk memulihkan kembali jalan pernapasannya, kemudian ia membiarkan gadis itu terlentang di atas tanah, lalu ia duduk di atas batu hitam yang bundar dan lebar untuk bersamadhi, seakan-akan tidak terjadi sesuatu.

 Tak lama kemudian, dari luar gua masuklah seorang tua lain yang tinggi kurus. Ketika melihat tubuh Ma Hoa yang rebah terlentang di atas tanah, di belakang kakek botak yang duduk bersamadhi, orang tua tinggi kurus ini membelalakkan kedua matanya dan mengeluarkan suara, “Ah, ah, uh, uh...“ lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya. Ternyata bahwa dia adalah seorang kakek gagu!

 Kakek botak itu membuka matanya dan tersenyum melihat lagak Si Gagu. “A Tok! Jangah kau heran! Gadis ini bukan turun dari langit, akan tetapi ia terjatuh dari atas tebing itu. Ia mempunyai tulang dan bakat baik sekali untuk menjadi muridku, maka semenjak sekarang, ia menjadi sumoimu! Keluarlah kau mencari Daun Siu-hwa putih untuk mengobati pengaruh kaget dan takutnya.”

 A Tok yang gagu itu lalu terkekeh girang dan pergi dari situ. Akan tetapi, tak lama kemudian ia kembali lagi sambil tangannya membawa beberapa helai daun yang berwarna putih dan tangannya lalu bergerak-gerak dan dikembangkan ke kanan-kiri meniru gerakan burung dan mulutnya tetap mengeluarkan suara, “ah, ah, uh, uh” seperti tadi.

 “Hm, burung besar? Biarlah aku keluar melihatnya, A Tok!” Kakek botak itu lalu bertindak keluar dengan tenang, dan benar saja, ia melihat seekor burung merak yang besar dan indah melayang turun dengan kedua mata mencari-cari seperti lakunya seekor rajawali mencari mangsa. Ini adalah Sin-kong-ciak yang disuruh oleh Lin Lin untuk mencari Kwee An dan Ma Hoa.

 Ketika melihat kakek yang berdiri di depan gua itu, Sin-kong-ciak lalu turun menyambar dengan cepat, kedua kakinya siap mencengkeram dan patuknya siap menotok.

 “Ha, ha, burung merak yang lihai!” kata kakek botak itu sambil menggerakkan tangan kanannya. Dari tangan itu menyambar hawa yang kuat dan yang mendorong merak itu hingga terpental kembali ke atas. Merak Sakti maklum bahwa kakek itu lihai sekali, maka ia hanya memekik-mekik keras sambil terbang berputaran di atas kepala kakek botak itu. Sedangkan kakek itu lalu mengeluarkan kertas dan menulis beberapa huruf yang dicoret-coret, kemudian ia mengambil sehelai tali yang mengikat batu karang kecil pada ujungnya.

 “Merak baik, kau kembalilah dan berikan surat ini kepada orang-orang yang menyuruhmu turun!” Ia lalu menyelipkan kertas bersurat itu pada tali dan sekali ia menggerakkan tangan, batu karang berikut tali dan surat itu melayang bagaikan seekor ular terbang menuju ke arah Merak Sakti! Sin-kong-ciak menyangka bahwa kakek itu menyambitnya dengan batu atau senjata lain, maka ia cepat mengelak, akan tetapi aneh sekali, ternyata bahwa kakek itu menyambit dengan cara yang luar biasa hingga ketika merak itu mengelak, ujung tali membelit sebuah kakinya dan batu itu terputar-putar sedemikian rupa hingga tali membelit dengan erat pada kaki itu! Sin-kong-ciak biarpun tidak merasa sakit, akan tetapi ia terkejut sekali hingga kembali ia memekik-mekik keras, kemudian ia terbang ke atas karena takut dan ngeri menghadapi kakek botak yang luar biasa itu! Demikianlah, kakek botak itu memberi tahu kepada Cin Hai dan Lin Lin dengan suratnya sebagaimana yang telah dituturkan di bagian depan.

 Ketika akhirnya Ma Hoa siuman kembali dan membuka kedua matanya, ia merasa heran mendapatkan dirinya rebah di atas tanah yang lembek dan berada di dalam sebuah gua yang gelap. Ia lalu bangun duduk dan timbul perasaannya bahwa ia mungkin sudah mati karena segera terbayang kembali peristiwa tadi. Ia memandang ke sekeliling untuk mencari Kwee An, dan alangkah herannya ketika melihat bahwa di atas dua buah batu besar, ia melihat dua orang kakek sedang duduk bersamadhi. Kakek botak itu mendengar gerakannya, lalu membuka mata dan turun dari atas batu.

 “Anak, jangan kau kaget, kau berada di tempat yang aman,” katanya halus.

 “Teecu... berada di manakah... dan siapakah Locianpwe?”

 “Kau tadi terjatuh dari atas dan kebetulan sekali bertemu dengan aku hingga aku berhasil mencegah tubuhmu dari kehancuran. Kaumakanlah daun-daun ini untuk melenyapkan rasa kagetmu.” Sambil berkata demikian, kakek botak itu memberikan lima helai daun-daun kecil yang berwarna putih dan yang tadi ia suruh A Tok mencari. Tanpa ragu-ragu lagi Ma Hoa menerima daun-daun itu dan memakannya. Rasanya agak masam, akan tetapi oleh karena memang ia merasa betapa dada kirinya berdenyut-denyut keras, ia lalu makan habis daun itu dan aneh, denyutan keras itu segera mengurang dan akhirnya lenyap. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek botak itu dan berkata,

 “Locianpwe, teecu menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Mohon tanya bagaimana nasib seorang kawanku yang jatuh bersama teecu?” Sambil berkata demikian Ma Hoa memandang kepada wajah kakek botak itu dengan cemas.

 “Seorang kawanmu?” kakek itu berkata, “aku tidak melihat orang lain kecuali kau yang melayang jatuh dari atas.”

 “Ah... kalau begitu, biarlah teecu mencarinya,” kata Ma Hoa sambil berdiri.

 “Nanti dulu, Nak. Sebetulnya siapakah kau ini dan siapa pula kawanmu yang ikut jatuh? Mengapa pula kau dan kawanmu sampai terjatuh dari tempat setinggi itu?”

 Biarpun hatinya ingin sekali lekas keluar dari gua itu untuk mencari Kwee An, namun karena ia telah tertolong jiwanya oleh kakek itu, maka Ma Hoa lalu menuturkan singkat pengalamannya, betapa ia dan kawannya bertempur melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce. Kakek botak itu mengangguk-angguk dan berkata,

 “Pantas saja kau dan kawanmu kalah melawan Bo Lang Hwesio yang pernah kudengar namanya ketika aku masih muda dan masih menjelajah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, tiga bulan saja kau mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dari aku, tak usah kau takut lagi menghadapi mereka!”

 Ma Hoa terkejut mendengar ini karena kata-kata itu menyatakan bahwa kakek botak ini hendak mengambil dia sebagai muridnya! Maka ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Lo-cianpwe, bukan teecu tidak tahu terima kasih, akan tetapi tentang belajar silat ini lebih baik ditunda setelah teecu dapat mencari kawanku yang jatuh itu.”

 “Hm, tidak boleh! Kau berjodoh untuk menjadi murid dan ketahuilah, kalau tidak atas kehendakku sendiri, biar orang berlutut dan bermohon di depanku sampai dia mati, tak mungkin dia bisa menjadi muridku. Tentang kawanmu itu, percayalah bahwa selain kau tidak ada lagi orang lain jatuh dari atas. Maka menurut dugaanku, kawanmu itu tentu telah dapat menolong jiwanya sendiri dan telah selamat, oleh karena kalau dia memiliki ginkang yang tinggi, di waktu jatuh dia dapat menangkap cabang-cabang pohon yang banyak tumbuh di samping tebing itu.”

 Mendengar ucapan ini Ma Hoa menjadi lega juga dan ia percaya penuh bahwa kakek luar biasa ini tidak membohong. Ia pun merasa girang mendengar janji kakek ini bahwa selama mempelajari ilmu silat tiga bulan saja, ia akan dapat melawan Bo Lang Hwesio dan Ke Ce! Ingin sekali ia mencari dan membalas kedua orang yang hampir saja menewaskannya itu. Maka ia lalu mengangguk-anggukkan kepala dan berkata,

 “Suhu, teecu Ma Hoa menurut perintah dan petunjuk Suhu!”

 Kakek botak itu tertawa bergelak karena girangnya. “Bagus, bagus! Ketahuilah, aku bernama Hok Peng Taisu, dan kakek gagu ini adalah suhengmu bernama A Tok!” Ma Hoa lalu menjura kepada suhengnya yang sudah tua itu hingga A Tok menjadi girang dan membalas pemberian hormat itu sambil berseru “Ah-ah-uh-uh” dan tangannya bergerak-gerak.

 “Tempat ini kurang baik untuk belajar silat,” kata Hok Peng Taisu, “mari kau ikut aku ke Hong-lun-san!”

 Ma Hoa menurut dan kedua guru dan murid itu berlari cepat meninggalkan tempat itu, menuju ke sebuah bukit lain yang nampak puncaknya dari situ. Ma Hoa mengerahkan ilmunya berlari cepat, akan tetapi biarpun suhunya hanya berjalan perlahan saja kelihatannya, namun ia selalu tertinggal di belakang! Maka ia merasa girang sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa suhunya yang baru ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian tinggi.

 Setelah tiba di Hong-lun-san, Ma Hoa menjadi kagum melihat bahwa di puncak bukit ini terdapat pondok suhunya dan pemandangan di situ tidak kalah indahnya dengan tempat tinggal Yousuf. Semenjak saat itu, ia mendapat latihan IImu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari suhunya, Hok Peng Taisu. Ilmu silat ini dimainkan dengan menggunakan dua batang bambu kuning yang runcing. Sepasang bambu runcing ini pendek saja hingga merupakan siangkiam atau sepasang pedang yang aneh karena terbuat dari bambu biasa dan tidak tajam, ujungnya runcing. Biarpun hanya sepasang bambu runcing kering, akan tetapi senjata ini hebatnya tidak kalah dengan senjata-senjata lain yang terbuat dari besi atau baja. Hok Peng Taisu telah menggunakan waktu bertahun-tahun untuk mencipta ilmu silat ini hingga di waktu mencipta, ia telah memasukkan segala kemungkinan menghadapi senjata lawan yang bagaimanapun.

 Kemudian ia telah merantau puluhan tahun di waktu mudanya tanpa dapat menemukan tandingan yang dapat merobohkan ilmu silatnya ini. Setelah ia mengundurkan diri dan bertapa, ia bahkan memperdalam lagi Ilmu Silat Bambu Kuning dengan cita-cita untuk menurunkannya pada seorang murid yang berbakat dan baik. Dan pilihannya jatuh kepada Ma Hoa secara tak terduga dan kebetulan sekali. Ma Hoa sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat yang tinggi dari Nelayan Cengeng, bahkan ilmu pedangnya Hai-liong Kiamsut lihai sekali, dan oleh karena ginkangnya sudah cukup tinggi maka kini ia dapat mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning dengan tak banyak susah lagi.

 Setelah mempelajari ilmu silat yang aneh itu selama tiga bulan, maka ia telah dapat mainkan dua batang bambu runcing itu dengan sempurna dan hanya tinggal melatih dan mematangkannya saja. Oleh karena maklum bahwa muridnya ini amat menguatirkan keadaan Kwee An, Hok Peng Taisu tidak menahannya ketika Ma Hoa menyatakan keinginannya untuk turun gunung dan mencari kekasihnya. Kakek ini hanya memesan agar Ma Hoa berhati-hati dan jangan lupa untuk sewaktu-waktu mengunjunginya.

 Ma Hoa langsung menuju ke bukit tempat tinggal Yousuf oleh karena ia merasa pasti bahwa kalau Kwee An tertolong dari bahaya maut dan masih hidup, tentu pemuda itu akan kembali ke tempat tinggal orang Turki itu. Akan tetapi, alangkah kecewanya dan cemas hatinya ketika tiba di tempat itu ia melihat rumah Yousuf telah menjadi tumpukan puing dan keadaan di situ sunyi sekali. Dengan cepat Ma Hoa lalu turun dari bukit, dan menemui penduduk dusun yang kini telah berangsur-angsur kembali lagi ke rumah masing-masing dan gadis itu mendapat keterangan tentang adanya penyerbuan rombongan orang Turki yang hendak menangkap Yousuf. Seperti juga Cin Hai, ia merasa heran mengapa Yousuf, Lin Lin dan Merak Sakti dapat dikalahkan dan sampai melarikan diri dari serbuan rombongan itu. Ketika ia mencari keterangan tentang Kwee An dan Cin Hai, tak seorang pun dapat menceritakannya, oleh karena memang Kwee An tak pernah datang ke tempat itu, sedangkan ketika Cin Hai datang, orang-orang kampung sedang lari mengungsi.

 Bukan main bingung hati Ma Hoa, karena tidak saja ia tidak tahu akan nasib Kwee An, bahkan kini ia tidak tahu pula bagaimana keadaan kawan-kawan lain dan di mana mereka sekarang berada. Maka ia lalu meninggalkan tempat itu dan setelah memeriksa tempat di mana ia dan Kwee An terjatuh dari tebing, ia lalu turun gunung dan mengambil keputusan hendak mencari Kwee An di sekitar gunung ini.

 Setelah bermalam di dalam gua, pada keesokan harinya Kwee An terjaga dari tidurnya dengan tubuh terasa panas sekali. Ketika ia menggerakkan tubuhnya, ia menjadi terkejut karena seluruh tubuhnya terasa kaku dan sakit. Ternyata bahwa pukulan Angin Taufan dan kemudian kejatuhan itu mendatangkan akibat yang hebat juga. Ia menderita sakit dan agaknya keadaan gua yang kotor dan kekurangan hawa segar itu telah mendatangkan demam kepadanya! Terpaksa ia rebah di dalam gua itu dan selama tiga hari panas tubuhnya meningkat hingga ia rebah dalam keadaan sakit dan mengigau karena panasnya. Keadaannya berbahaya sekali karena selain tidak ada yang merawatnya, juga ia tidak dapat makan sesuatu. Akan tetapi, pada hari ke empat, panasnya mengurang dan ia dapat menggerakkan tubuhnya merangkak perlahan ke mulut gua. Ia melihat tetumbuhan kecil di mulut gua itu dan oleh karena ia merasa lapar sekali, ia mengambil daun-daun muda dan memakannya!

 Demikianlah, ia hidup dengan sengsara sekali selama berbulan-bulan di dalam gua itu, hanya makan akar-akar pohon dan daun-daun yang berada di dekat gua. Setelah tubuhnya menjadi kuat kembali, barulah ia merayap-rayap dengan jalan mencari pegangan pada akar-akar pohon dan menginjak batu-batu karang yang menonjol, berdaya keluar dari tempat tahanan alam ini! Setelah ia dapat menginjak tanah datar lagi, ternyata bahwa tempat itu jauh berbeda dengan keadaan lereng gunung di mana Yousuf tinggal. Bagian bukit ini penuh dengan hutan-hutan liar dan tanpa ia sadari ia telah tiba di bagian utara gunung itu, sedangkan tempat tinggal Yousuf adalah di bagian selatan. Ia juga tidak ingat lagi bahwa ia telah berada di gua itu selama tiga bulan lebih!

 Kwee An lalu memasuki sebuah hutan yang terdekat dan mencari buah-buah yang banyak tumbuh dari pohon-pohon besar di situ, dan makanlah ia sepuas dan sekenyangnya.

 Akan tetapi, baru saja ia turun dari pohon, tiba-tiba dari hutan muncul serombongan orang yang segera datang mengurungnya sambil berteriak-teriak. Orang-orang ini berpakaian aneh, setengah pakaian Han dan setengah Mongol. Potongan tubuh den wajah mereka bagus dan tiada banyak bedanya dengan orang-orang Han biasa, akan tetapi bahasa mereka terdengar aneh dan mirip bahasa Mongol. Mereka ini adalah sekelompok sisa dari bangsa Haimi yang telah dipukul pecah dan diusir oleh bangsa Mongol. Orang-orang Haimi ini sebenarnya masih memiliki darah campuran, yaitu darah Han dan Mongol dan mereka mempunyai potongan muka yang boleh disebut tampan. Kwee An merasa terheran-heran melihat bahwa semua orang yang aneh ini mempunyai kumis yang bagus dan panjang dan dilingkarkan ke atas. Akan tetapi mereka semua mencukur habis jenggot mereka, bahkan yang sudah agak tua pun tidak memelihara jenggot, hanya memelihara kumis yang melintang di bawah hidung! Lebih aneh lagi, bahkan orang-orang setengah dewasa yang berada di antara mereka, juga memelihara kumis pula!

 Rombongan orang berkumis melintang ini mengepung Kwee An sambil mengajaknya bercakap-cakap dalam bahasa mereka yang sama sekali tidak dimengerti olehnya.

 “Apakah yang kalian kehendaki? Aku tidak mengerti,” kata Kwee An kepada mereka sambil tersenyum dan mengangkat pundak. Betapapun juga, ia melihat sikap mereka bukan seperti orang-orang liar yang hendak mencelakakan atau menyerangnya, maka hatinya menjadi lega.

 Tiba-tiba seorang di antara mereka yang telah putih rambutnya, akan tetapi masih memiliki kumis yang hitam indah melintang di bawah hidungnya, maju menghampirinya dan bertanya dalam bahasa Han campuran yang kaku.

 “Siapakah kau dan darimana kau datang?”

 Kwee An merasa girang sekali. Ia cepat menjura memberi hormat kepada orang tua itu dan menjawab, “Sukur sekali kau bisa bicara bahasa Han, Lopek. Siauwte bernama Kwee An dan aku datang ke sini bukan disengaja, hanya kebetulan saja. Tempat apakah ini dan siapakah kalian ini?”

 Dengan sukar sekali kakek ini menjawab. “Kami adalah bangsa Haimi yang mengikuti pemimpin kami dan sekarang tinggal di hutan ini. Telah bertahun-tahun kami tidak bertemu dengan orang Han, maka kami merasa heran sekali dapat bertemu dengan kau di sini.”

 “Mengapa kalian mengurungku?” tanya Kwee An dengan hati tidak enak juga.

 “Kau harus ikut kami menghadap kepada pemimpin kami di dalam hutan.”

 Biarpun tidak merasa keberatan untuk bertemu dengan pemimpin orang-orang Haimi ini, akan tetapi Kwee An tidak senang juga karena ia seakan-akan hendak dipaksa dan dijadikan tawanan pula, apa perlunya ia harus menghadap pimpinan mereka? Adapun orang-orang yang mengelilinginya, terutama yang muda-muda, memandangnya seakan-akan ia adalah seorang yang lucu. Ia merasa betapa pandang mata mereka ini semua ditujukan kepada hidungnya hingga diam-diam Kwee An merasa heran dan beberapa kali ia menggunakan ujung lengan baju untuk menggosok-gosok hidungnya karena kuatir kalau-kalau tanpa disengaja ia telah mengotorkan hidungnya, ia tidak tahu bahwa para pemuda berkumis panjang itu memandangnya dengan tertawa-tawa karena geli melihat ia tidak berkumis sama sekali!

 Bagi mereka, melihat seorang pria tidak berkumis sama dengan melihat harimau tak berkumis atau kera tak berbulu! Seorang di antara mereka, yang berwajah tampan dan mempunyai kumis kecil panjang melingkar ke atas sedangkan usianya paling banyak baru lima belas tahun, bahkan maju mendekatinya dan sambil menunjuk ke bawah hidung Kwee An, ia tertawa-tawa berkata dalam bahasanya. Semua orang tertawa mendengar ucapan pemuda tanggung ini dan biarpun tidak mengerti bahasa mereka, namun Kwee An dapat merasa, bahwa ia dijadikan bahan olok-olok.

 “Tidak, aku tidak mau pergi menghadap pemimpinmu!” kata Kwee An yang merasa sebal dan marah juga.

 Orang tua itu melangkah mundur dua tindak dan bicara dalam bahasanya sendiri, yang maksudnya memberi tahu kepada semua kawannya bahwa orang asing ini tidak mau menghadap kepala mereka. Tiba-tiba sikap orang-orang yang tadinya tertawa-tawa itu berubah. Mereka lalu mundur dan ketika tangan mereka bergerak, mereka semua telah mencabut golok kecil dengan tangan kiri dan melepaskan sebuah cambuk panjang dengan tangan kanan. Sikap mereka mengancam sekali.

 “Eh, eh, apakah kalian hendak memaksaku?” tanya Kwee An kepada kakek tadi yang juga sudah mencabut keluar sebatang cambuk panjang berwarna merah dan sebuah golok kecil yang tajam sekali.

 Kakek itu mengangguk. “Kalau kau tidak mau menghadap dengan suka rela, terpaksa kami akan memaksamu. Setiap orang yang lewat di sini, harus menghadap kepada pemimpin kami oleh karena daerah ini menjadi daerah kami dan berada di bawah kekuasaan kami! Jangan kau mencoba untuk melawan, anak muda, karena kau takkan keluar dari tempat ini dengan bernyawa kalau kau tidak menuruti permintaan kami!”

 Tiba-tiba, anak muda belasan tahun yang tadi memperolok-oloknya, melompat maju ke hadapan Kwee An sambil memutar-mutar cambuknya ke atas. Cambuk itu berbunyi keras sekali, menyambar-nyambar di atas dengan ganasnya hingga diam-diam Kwee An menjadi terkejut dan juga kagum. Tak mudah menggerakkan cambuk seperti itu kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak melatih diri dengan baik. Cambuk itu dapat merupakan senjata yang berbahaya!

 “Siapakah anak ini dan apa kehendaknya?” tanya Kwee An kepada kakek itu. Orang tua itu berkata dengan suara dingin. “Dia adalah putera pemimpin kami yang merasa tidak puas melihat sikapmu. Ia menganggap kau tidak menghormat ayahnya maka sekarang ia menantang kau untuk mengadu cambuk!”

 “Mengadu cambuk? Apa artinya itu?”

 “Ini adalah semacam adu kepandaian yang menjadi tradisi bangsa kami. Orang yang mengadu kepandaian memegang cambuk di tangan kanan dan golok di tangan kiri. Yang boleh dipergunakan untuk menyerang hanyalah cambuk itu saja, sedangkan golok itu digunakan untuk mencoba membabat putus cambuk lawan. Siapa yang cambuknya dapat putus berarti kalah. Apabila keduanya dapat menjaga hingga cambuk masing-masing tidak terputus, maka siapa yang terbanyak mendapat luka cambukan, ia kalah.”

 Kwee An mengangguk-angguk dan ia memandang kepada pemuda belasan tahun itu dengan kagum. Sikapnya memang gagah sekali, tubuhnya kuat, sepasang matanya menyinarkan keberanian besar, sedangkan kedua tengan yang memegang senjata itu nampak tetap dan sigap.

 “Aku terima tantangannya,” kata Kwee An dengan wajah berseri karena ia ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaian anak muda yang tampan itu. Ketika kakek itu memberi tahu bahwa Kwee An menerima tantangan pemuda itu, sikap mereka berubah lagi. Kalau tadi mereka bersungut-sungut dan marah, sekarang mereka bersorak dan bergembira, karena mereka memang menghargai kegagahan dan melihat bahwa Kwee An berani melawan pemuda yang menjadi jago di antara mereka itu, mereka merasa kagum! Segera mereka berpencar dan duduk di atas rumput mengelilingi mereka dan memberi tempat yang cukup luas untuk kedua orang yang hendak bertanding itu. Sedangkan kakek itu lalu memberi pinjarnan sebatang cambuk panjang dan sebuah golok kepada Kwee An.

 Sebetulnya Kwee An tidak gentar untuk menghadapi pemuda tanggung itu dengan tangan kosong, akan tetapi oleh karena ia kuatir kalau-kalau dianggap memandang rendah, ia lalu menerima kedua senjata itu dan memegang di tangan dengan sembarangan saja. Tentu saja sikapnya ini menjadikan buah tertawaan lagi oleh karena bagi mereka, cara memegang kedua macam senjata itu saja sudah menunjukkan tingkat kepandaian pemegangnya. Menurut teori mereka, memegang cambuk itu harus di atas kepala dan selalu diayun-ayun dan diputar-putar, sedangkan tangan kiri yang memegang golok harus membalikkan golok itu dengan bagian yang tajam di atas agar mudah menangkis dan memutuskan cambuk lawan. Akan tetapi Kwee An memegang cambuk yang tergantung ke bawah, sedangkan goloknya ia pegang seperti orang memegang golok untuk bersilat.

 Pemuda tanggung itu tiba-tiba berseru keras dan Kwee An maklum bahwa itu tentu tanda bahwa lawannya hendak mulai menyerang, maka dengan tenang dan waspada ia berdiri memasang kuda-kuda dan memandang tajam. Benar saja, cambuk pemuda itu tiba-tiba berbunyi keras dan berkelebat menyambar ke arah lehernya. Kwee An mengelak cepat sambil merendahkan tubuhnya, akan tetapi ternyata bahwa yang menyambar lehernya adalah bagian tengah cambuk itu, sedangkan ujungnya yang kecil lemas dan masih panjang itu tiba-tiba dapat bergerak ke arah dadanya. Inilah tenaga lweekang yang dapat menggerakkan cambuk itu pada ujungnya seakan-akan cambuk itu hidup. Melihat ini, Kwee An merasa kagum juga dan cepat ia mengelak lagi dengan lompatan cepat ke samping.

 Ia terlepas dari pada serangan pertama dan semua orang yang duduk mengelilingi tempat itu dan menonton, mengeluarkan seruan-seruan karena mereka merasa heran, melihat cara Kwee An mempertahankan diri. Memang, mereka itu biasanya tidak mengandalkan kecepatan tubuh untuk mengelak dari serangan dan biasanya apabila diserang, mereka menggunakan golok di tangan kiri untuk menangkis dan mencoba memutuskan cambuk lawan, sedangkan cambuk sendiri harus segera dikerjakan untuk mengirim serangan balasan. Hingga ilmu cambuk mereka itu pada hakekatnya didasarkan atas kecepatan membalas serangan dan ketepatan menangkis dengan golok.

 Gerakan Kwee An yang cepat itu membuat mereka terherah-heran, akan tetapi ketika pemuda itu menyerang terus bertubi-tubi hingga cambuknya menyambar-nyambar sambil memperdengarkan suara keras mengurung seluruh tubuh Kwee An, dan betapa Kwee An lalu mempergunakan ginkangnya berkelebat ke sana ke mari di antara sinar dan ujung cambuk, semua orang menjadi bengong karena tiba-tiba saja mereka tidak melihat lagi tubuh Kwee An dan hanya melihat bayangannya saja berkelebatan. Bahkan kakek tua itu pun tiada habisnya mengeluarkan seruan memuji.

 Tiba-tiba pemuda tanggung itu menghentikan serangannya dan dengan muka merah karena penasaran dan marah, ia bicara dengan suara keras kepada Kwee An yang juga berdiri tenang. Kakek itu lalu berkata dari tempat duduknya, “Ia merasa penasaran karena kau tidak menggunakan cara bertanding yang biasa. Kau mempergunakan cara berkelahi terhadap musuh, sedangkan permainan ini sama sekali bukan berkelahi, hanya mengadu kepandaian. Sekarang kaupilih, hendak berkelahi mengadu jiwa atau hendak bertanding mengadu kepandaian? Kalau hendak bertanding, kau harus membalas dengan cara yang sama dan menyerang dengan cambukmu!”

 Kwee An terkejut. Tanpa disengaja ia telah melukai perasaan pemuda tanggung itu, maka ia lalu berkata, “Baiklah, aku akan membalas dengan serangan cambuk. Aku akan merampas cambuk dari tangannya!”

 Ketika kakek itu memberitahukan hal ini kepada pemuda itu, ia lalu tersenyum senang dan mulai menyerang lagi. Kini Kwee An tidak mau mempergunakan ginkangnya lagi, dan ketika cambuk lawan menyambar, ia pun lalu menggerakkan cambuk di tangannya dan menggerakkan tenaga lweekangnya hingga cambuknya lalu membelit cambuk lawan. Ketika ia berseru keras dan membetot, tak tertahan lagi pemuda tanggung itu berteriak kaget dan terlepaslah cambuk itu dari tangannya.

 “Nah, aku menang, karena cambuknya telah dapat kurampas!” kata Kwee An kepada kakek itu yang duduk memandang cara tadi dengan mata terbelalak heran. Juga semua orang, termasuk pemuda tanggung itu, merasa heran sekali. Bagaimana cambuk dapat dipakai untuk merampas senjata demikian mudahnya? Akan tetapi, pemuda itu melangkah maju dan kembali mengeluarkan kata-kata keras dengan muka penasaran. Setelah ia habis berkata-kata, terdengar semua orang yang duduk mengelilingi mereka itu tertawa bergelak.

 “Ada apa lagi?” tanya Kwee An kepada kakek yang menjadi juru bahasa itu. Kakek itu pun tersenyum geli mendengar kata-kata anak muda tadi. “Ia bilang bahwa laki-laki tanpa kumis memang seperti seorang perempuan yang berhati lemah. Ia menganggap kau tidak tahan melihat darah seperti seorang perempuan, dan karena kau tidak berkumis, maka tentu saja kau berhati curang dan mempergunakan ilmu sihir yang jahat untuk mengalahkannya. Ia tidak merasa kalah karena selain cambuknya tidak putus oleh golokmu, ia pun tidak mendapat luka satu pun dari cambukmu, ia menantangmu bertanding secara laki-laki, jangan seperti seorang perempuan!”

 Merahlah muka Kwee An mendengar ini. Ia lalu melempar cambuk yang dirampasnya itu kepada pemuda tadi, dan setelah berseru keras, ia mulai menyerang dengan cambuknya yang disabetkan ke arah pinggang pemuda itu! Pemuda itu berseru gembira dan mengangkat golok, dengan membabat keras dan cepat sekali dengan maksud memutuskan cambuk Kwee An yang berarti bahwa ia akan memperoleh kemenangan! Kwee An terkejut juga melihat gerakan golok itu oleh karena ternyata ketika menangkis pemuda tanggung itu mempergunakan gerakan silat golok Bidadari Memalang Pintu! Ia maklum bahwa sabetan golok itu berbahaya sekali bagi keselamatan cambuknya, maka ia menggerakkan tangannya dan cambuk memutar kembali lalu menyerampang kedua kaki pemuda itu dengan gerakan cepat oleh karena ia mengira bahwa pemuda itu tentu tidak memiliki ilmu ginkang hingga lemah pada pergerakan kaki dan kegesitannya. Akan tetapi ia kecele karena dengan cepat, pemuda itu melompat ke atas dan dari atas cambuknya menyambar ke arah kepala Kwee An! Kembali Kwee An terkejut. Gerakan melompat tadi adalah gerakan ilmu silat bernama Ikan Melompati Ombak!

 Maka ia tidak berlaku sungkan-sungkan lagi dan menerjang dengan cambuknya yang diputar cepat sekali mengurung tubuh itu! Pemuda tanggung itu makin gembira nampaknya dan melawan dengan hebat dan ternyata bagi Kwee An bahwa ilmu kepandaian bermain cambuk dari pemuda ini benar-benar lihai! Kini para penonton bersorak dengan gembira sekali, karena mereka kini menyaksikan pertandingan main cambuk yang benar-benar hebat dan ramai! Bahkan kakek tadi mengeluarkan sebuah huncwe (pipa tembakau) yang pendek, lalu mengepulkan asap dari huncwenya dan ia duduk menonton dengan asyiknya seakan-akan yang sedang berlangsung di depannya adalah pertunjukan yang amat indah menarik!

 Betapapun pandai permainan cambuk anak muda itu, namun ia bukanlah lawan Kwee An yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Untuk menangkis tiap sabetan lawan, Kwee An tidak perlu menggunakan goloknya, karena cambuknya cukup digunakan untuk menangkis, sedangkan tiap kali pemuda itu menyabet cambuknya, dengan mengerahkan lweekangnya, Kwee An dapat membuat cambuknya menjadi lemas, licin kuat hingga ketika beradu dengan mata golok, cambuknya hanya terpental saja dan tak dapat diputuskan! Ia mulai mengirim cambukan dan mula-mula ia hanya mencambuk punggung pemuda itu saja. Bukan main herannya semua penonton ketika melihat betapa tiap kali Kwee An mengayun cambuk, selalu ujung cambuknya mengenai punggung lawannya! Juga pemuda tanggung itu merasa heran dan penasaran karena tidak ia sangka sama sekali bahwa pemuda asing tanpa kumis ini ternyata seorang jago cambuk yang luar biasa! Ia adalah seorang jago yang nomor satu di antara para pemuda dan telah lama dikagumi, tak nyana bahwa sekarang ia menjadi korban cambuk seorang pemuda tanpa kumis dan sama sekali tak dapat membalas! Maka ia menjadi marah dan penasaran sekali, lalu menyerang terus dengan nekad walaupun bajunya di bagian punggung telah robek semua oleh ujung cambuk Kwee An! Memang Kwee An tidak bermaksud melukai pemuda itu hingga tiap kali cambuknya mengenai sasaran, ia selalu menyimpan tenaga dan tidak membuat kulit lawan menjadi terluka, hanya merobek-robek bajunya saja.

 Tadinya Kwee An bermaksud agar supaya pemuda itu menginsafi kelemahannya dan suka mengaku kalah, akan tetapi setelah melihat betapa pemuda itu bahkan mendesak makin nekad, ia menjadi penasaran juga. Ia mulai menambah tenaga pada ujung cambuknya dan pecahlah kulit punggung pemuda itu terkena ujung cambuk. Darah mengalir membasahi bajunya yang sudah sobek. Alangkah heran hati Kwee An ketika tiba-tiba semua orang bersorak melihat darah itu, seakan-akan menyaksikan peristiwa yang menggembirakan dan yang menambahkan keindahan pada pertandingan itu! Kwee An mengirim beberapa kali cambukan yang membuat kulit punggung lawannya penuh dengan darah karena kulit itu terpukul pecah. Sungguhpun Kwee An tidak bermaksud melukainya terlalu dalam, namun seharusnya cambukan-cambukan itu cukup menyakitkan. Akan tetapi anehnya, bukan menyerah, bahkan pemuda itu menjadi makin nekad dan menyerang makin hebat!

 Kwee An menjadi kewalahan juga. Melihat dari sikap pemuda ini dan sorak-sorakan para penonton yang menjadi gembira, ia maklum bahwa pemuda tanggung yang gagah ini tentu mengambil keputusan hendak melawan sampai darahnya habis atau sampai tidak kuat lagi, sedangkan para penonton makin merasa gembira saja. Ketika ia mengerling dan memandang ke arah kakek tua tadi, ternyata bahwa kakek itu pun sedang menonton sambil mengepul-ngepulkan asap huncwenya, seakan-akan menikmati pemandangan yang menyenangkan hati!

 Maka Kwee An lalu mendapat akal. Ia mulai mengeluarkan ilmu silat yang berdasarkan ilmu silat warisan Hek Mo-ko. Tubuhnya berkelebat dan melompat ke atas dan bergerak mengelilingi pemuda itu yang menjadi pening dan kabur matanya. Tiba-tiba, tanpa terlihat orang lain, Kwee An mengulurkan jari tangan dan dengan tepat sekali menotok jalan darah thian-hu-hiat hingga pemuda itu roboh dengan lemas tanpa dapat bergerak lagi!

 Melihat pemuda itu roboh dengan lemas semua orang mengira bahwa pemuda itu tentu telah lelah dan terlalu banyak mengeluarkan darah, maka dianggap kalah dan semua orang lalu menolongnya! Kwee An juga pura-pura menolongnya, akan tetapi ketika ia mengangkat pundak pemuda itu, ia menekan dengan jarinya hingga totokannya tadi dapat dilenyapkan, hingga kesehatan pemuda itu pulih kembali. Pemuda itu hanya memandang dengan heran dan kagum, lalu tiba-tiba ia berdiri, memeluk leher Kwee An dan menciumi pipinya! Inilah tanda dari persahabatan dan kekaguman, hingga tadinya Kwee An merasa heran sekali. Akan tetapi setelah ia mendapat keterangan dari kakek itu, ia merasa lega dan senang. Semua orang tiada habisnya memuji dan mengagumi Kwee An dan seketika itu juga Kwee An mendapat julukan Malaikat Cambuk! Betapa tidak? Pemuda tanggung itu adalah putera pemimpin mereka yang memiliki ilmu cambuk tertinggi di antara anak-anak muda di situ, sekarang Kwee An dapat mengalahkannya tanpa menderita cambukan sekali pun!

 Kini semua orang bukan memaksa, akan tetapi membujuk-bujuk Kwee An untuk menemui pemimpin mereka. Melihat keramahan mereka ini, Kwee An merasa kurang enak hati untuk menolaknya, maka ia lalu ikut mereka masuk ke dalam hutan yang liar itu. Kedatangan mereka disambut oleh banyak orang dan kembali Kwee An terheran-heran, oleh karena semua orang laki-laki di kampung itu berkumis! Kumis mereka semodel, yaitu panjang melintang dan dipilin ke atas, membuat mereka nampak gagah dan keren! Akan tetapi yang membuatnya benar-benar tidak mengerti adalah bahwa anak-anak muda yang baru dua belas atau tiga belas tahun pun mempunyai kumis macam itu! Ketika melihat seorang anak laki-laki paling banyak berusia sebelas tahun sudah kumisan, Kwee An tidak terasa pula mengulurkan tangan untuk memeriksa apakah kumis itu tulen. Akan tetapi ketika ia mencabutnya perlahan, anak itu berteriak kesakitan dan semua orang menjadi heran melihat kelakuan Kwee An itu! Hanya kakek juru bahasa tadi saja yang mengerti akan maksudnya, maka ia berkata, “Semua kumis yang kami pakai adalah kumis tulen, kumis yahg tumbuh dengan sewajarnya dari kulit!”

 “Tapi... tapi anak kecil itu... usianya baru sebelas tahun!” kata Kwee An dengan heran sekali.

 Kakek itu tertawa. “Mengapa tidak? Usia sebelas tahun sudah dewasa! Menurut kebiasaan kami, anak laki-laki yang telah berusia sepuluh tahun, dianggap dewasa dan padanya lalu dikenakan upacara tumbuh kumis, yaitu dengan perayaan gembira, anak itu dinyatakan dewasa dan di atas bibirnya lalu digosok dengan obat tumbuh kumis. Dalam waktu setahun saja kumisnya akan tumbuh dengan baiknya seperti yang kaulihat pada anak tadi.”

 Baru mengerti Kwee An setelah mendengar penuturan ini. Pantas semua orang memelihara kumis. Yang lebih mengherankannya lagi ialah ketika orang-orang wanitanya muncul. Mereka ini rata-rata berkulit halus putih dan biarpun potongan muka hampir sama dengan orang-orang Han, namun mata mereka lebar-lebar dan bagus. Akan tetapi ketika wanita-wanita itu tertawa, Kwee An terkejut oleh karena gigi mereka yang kecil dan berderet rapi itu berwarna hitam mengkilat! Diam-diam Kwee An mengeluh menyayangkan mengapa wanita-wanita cantik manis itu bergigi hitam!

 Ia dibawa menghadap pada seorang Haimi yang bertubuh tinggi besar dan yang mempunyai kumis indah dan panjang sekali. Matanya lebar berpengaruh, usianya belum tua benar, paling banyak empat puluh tahun. Ketika melihat Kwee An, ia lalu turun dari tempat duduknya dan menyambutnya dengan ramah,

 “Sahabat, kunjungan seorang Han merupakan kehormatan besar sekali bagi kami!”

 Bukan main dan herannya hati Kwee An mendengar betapa pemimpin Haimi ini dapat bicara bahasa Han dengan amat baiknya! Ia lalu menjura dan berkata girang,

 “Akulah yang mendapat kehormatan besar sekali dapat bertemu dengan orang-orang gagah bangsa Haimi, dan girang sekali hatiku karena ternyata bahwa selain kakek itu kau pun pandai berbahasa Han!”

 Tempat di mana Kwee An disambut oleh kepala suku bangsa Haimi itu adalah sebuah pondok yang cukup besar terbuat dari pada kayu-kayu hutan. Pada saat itu, dari ruang dalam muncul seorang wanita muda dan ketika Kwee An memandang, ia menjadi kagum. Dara ini cantik sekali, terutama sepasang matanya yang lebar dan indah. Dengan gerakan lemah lembut dan tanpa sungkan-sungkan lagi, dara muda itu mengambil tempat duduk di dekat pemimpin itu dan memandang Kwee An dengan sinar mata kagum, memandang dengan langsung tanpa malu-malu seperti biasa kelakuan gadis-gadis bangsanya sendiri! Oleh karena dipandang secara demikian itu, Kwee Anlah yang merasa malu dan sungkan!

 “Ini adalah puteriku yang bernama Meilani,” kata pemimpin itu kepada Kwee An dan gadis itu tersenyum kepadanya. Kembali datang rasa kecewa dalam hati pemuda itu ketika melihat betapa senyum manis dikacau oleh cahaya gigi yang hitam berkilau itu. Mengapa orang merusak gigi yang bagus itu?

 Pemuda yang tadi dikalahkan oleh Kwee An, lalu menghampiri ayahnya dan menuturkan tentang pertandingan tadi kepada ayahnya dengan menggerak-gerakkan tangannya. Ia memandang kepada Kwee An dengan kagum dan agaknya ia memuji-muji kepandaian Kwee An karena Kwee An melihat betapa pemimpin itu memandangnya dengan mata terbelalak, sedangkan Meilani bahkan lalu berdiri dari tempat duduknya dan menghampirinya sambil memandangnya penuh perhatian dari kepala sampai ke kaki, seperti seorang memeriksa dan menaksir-naksir benda yang indah menarik! Kwee An tidak berani bergerak ketika didekati oleh dara ini dan ketika gadis ini mendekatinya ia mencium keharuman yang ganjil, seperti bau bunga mawar!

 Ketika Kwee An mengerling ternyata ruang yang luas itu telah penuh orang-orang, laki-laki dan wanita, serta kanak-kanak yang kesemuanya memandangnya dengan kagum! Dikelilingi oleh sekian banyak laki-laki berkumis sedangkan ia sendiri tidak, dan sekian banyak wanita-wanita cantik yang bergigi hitam, ia merasa seakan-akan ia berada di dunia lain!

 “Anak muda, ketahuilah bahwa aku adalah Sanoko, pemimpin rombongan bangsaku yang terdiri dari dua ratus jiwa lebih. Meilani adalah puteriku dan pemuda yang kaukalahkan tadi adalah puteraku. Kau siapakah dan di mana kau mempelajari ilmu cambuk yang hebat hingga telah mengalahkan puteraku?” pertanyaan ini diajukan dengan mata memandang kagum.

 “Aku bernama Kwee An, tentang ilmu cambuk itu, sesungguhnya aku belum pernah mempelajarinya. Hanya sedikit ilmu silat bangsaku pernah kupelajari hingga aku dapat mempertahankan diri terhadap serangan cambuk puteramu.”

 Tiba-tiba gadis yang bernama Meilani itu lalu bicara kepada ayahnya, dan ternyata suaranya merdu dan nyaring. Ayahnya tertawa bergelak, lalu bertanya kepada Kwee An, “Kwee-taihiap, apakah kau juga pandai bermain golok?” Mendengar bahwa kepala suku bangsa Haimi ini tiba-tiba menyebut taihiap (pendekar besar), Kwee An merasa sungkan juga, maka sambil merendah ia menjawab,

 “Aku pernah mempelajari sedikit ilmu pedang, akan tetapi sayang sekali pedangku itu telah hilang di jalan.”

 Ketika Sanoko menterjemahkan ucapan Kwee An kepada anak perempuannya, tiba-tiba gadis itu berlari masuk ke dalam rumah dan keluar pula sambil membawa sebatang pedang yang terbungkus kain kuning. Ia lalu menyerahkan pedang itu kepada Kwee An yang ketika menerima dan melihat pedang itu, menjadi terkejut sekali karena pedang itu bukan pedang sembarangan, akan tetapi sebuah pedang mustika yang ringan sekali dan tajam serta mengeluarkan cahaya kekuningan! Meilani lalu bicara kepada ayahnya yang menjelaskan pada Kwee An,

 “Anakku Meilani dulu pernah menemukan golok dan pedang ini di dalam sebuah gua dan oleh karena kami tidak pernah mempelajari ilmu pedang, hanya mempelajari sedikit ilmu golok, maka pedang ini tidak ada yang dapat menggunakannya. Maka karena anakku juga pernah belajar main golok, ia sekarang minta supaya kau suka melawannya dengan pedang ini dan apabila kau dapat mengalahkannya, maka pedang ini dihadiahkan kepadamu!”

 Bukan main girang hati Kwee An, oleh karena ia maklum bahwa ini benar-benar pedang yang ampuh dan tajam. Pada tempat dekat gagang ini melihat ukiran dua huruf “Oei Kang” yang berarti “Baja Kuning”. Akan tetapi, pada saat itu ia tidak sempat memperhatikan keadaan Oei-kang-kiam itu terlebih teliti lagi oleh karena ia merasa kaget mendengar bahwa dara cantik bergigi hitam itu mengajaknya pibu! Tak pernah disangkanya bahwa gadis itu pun pandai ilmu golok. Ketika ia melihat golok itu, ia maklum pula bahwa golok itu pun terbuat daripada logam yang sama dengan pedangnya, karena mengeluarkan cahaya kekuningan. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja Kwee An tidak menolak ditantang pibu, maka ia segera menjawab,

 “Baik, hanya kuharap saja Nona Meilani akan berlaku murah hati kepadaku.”

 Setelah mendengar jawaban pemuda itu, Meilani lalu bertindak keluar dari pondok, diikuti oleh ayahnya dan adiknya. Kwee An juga keluar dari situ membawa pedang Oei-kang-kiam, dan semua orang lalu keluar pula dengan wajah berseri gembira, seakan-akan mereka hendak menghadiri pesta perayaan yang menarik hati.

 Setelah berada di halaman pondok yang luas, Meilani lalu melompat dengan gerakan ringan dan lincah sambil membawa goloknya. Gadis ini lalu mempererat ikat pinggangnya, mengikat pula dua kuncir rambutnya lalu diselipkan di dalam baju di belakang punggung. Setelah itu, dengan gagah dan cantik, ia berdiri menanti Kwee An dengan golok di tangan kanan dan senyum manis menghias bibirnya.

 Ketika melihat gerakan gadis yang melompat tadi, Kwee An merasa kagum juga karena Meilani ternyata memiliki gerakan yang gesit. Maka ia menjadi gembira juga dan sambil memegang pedang Oei-kang-kiam di tangan kanan, ia lalu membuat gerakan Naga Sakti Menembus Awan, melompat ke hadapan gadis itu. Ia telah melompat cepat dari tempat yang jauhnya kira-kira lima tombak, maka gerakannya ini disambut dengan tampik sorak oleh semua penonton yang secara cepat sekali mengelilingi tempat adu silat itu!

 Melihat bahwa pemuda ini telah melompat di depannya, Meilani berseru nyaring yang maksudnya memberitahu bahwa ia hendak mulai menyerang. Ia menggerakkan goloknya, diputar-putar di atas kepala seperti gerakan orang Haimi bermain cambuk, kemudian tubuhnya menerjang dengan sebuah lompatan cepat dan golok itu menyambar ke arah leher Kwee An! Seperti juga pedang Oei-kang-kiam, golok di tangan gadis itu tipis dan tajam, akan tetapi ringan sekali hingga gerakan Meilani cepat sekali datangnya. Kwee An hendak mencoba pedangnya, maka ia lalu mengangkat pedang menangkis. Terdengar suara nyaring dan ketika dua batang senjata itu beradu, dari pedang dan golok yang terbuat dari logam yang sama itu keluarlah bunga-bunga api berwarna hijau. Meilani berseru kaget karena ketika goloknya beradu dengan Oei-kang-kiam, hampir saja senjata itu terlepas dari pegangannya!

 “Hebat sekali tenagamu!” katanya dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Kwee An, akan tetapi yang membuat para pendengarnya, terutama Sanoko, menjadi kagum, karena ia tahu bahwa puterinya itu telah diberi latihan tenaga dalam yang cukup tinggi maka dengan sekali tangkis saja membuat puterinya memuji, tentu pemuda tanpa kumis itu benar-benar lihai!

 Meilani lalu memutar-mutar goloknya dan memainkan ilmu golok yang cukup hebat. Golok di tangannya berubah menjadi sinar kuning yang bergulung-gulung bagaikan gelombang menderu mengancam diri Kwee An, akan tetapi Kwee An lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Hai-liong-koamsut yang dulu ia pelajari dari Nelayan Cengeng. Melihat betapa pemuda itu berkelebat cepat sekali seakan-akan menerobos di antara sinar goloknya dan kadang-kadang lenyap dari pandangan matanya, Meilani menjadi terkejut sekali. Sedangkan semua penonton menjadi melongo keheranan melihat kehebatan ilmu sitat Kwee An dan pertandingan yang seru itu membuat mereka menahan napas dan lupa untuk bersorak. Sanoko juga merasa kagum sekali karena puterinya yang tadinya menggerakkan golok hendak mengurung, kini bahkan kena dikurung oleh pedang Kwee An. Saking tegangnya, ia sampai berdiri dari tempat duduknya dan memandang dengan penuh perhatian. Gerakan pedang Kwee An benar-benar merupakan seekor naga laut yang mengamuk hingga diam-diam ia mengakui bahwa belum pernah ia menyaksikan ilmu silat sedemikian lihainya.

 Kwee An yang merasa gembira karena mendapatkan pedang yang baik sekali, mendemonstrasikan ilmu pedangnya tanpa bermaksud melukai lawannya, hanya mengurungnya dengan pedang saja. Kalau ia mau, dengan mudah saja ia dapat menjatuhkan Meilani, akan tetapi mana hatinya tega untuk melukai gadis cantik yang tidak bermaksud buruk terhadap dirinya itu. Dikurung oleh sinar pedang Kwee An yang lihai, lambat laun Meilani merasa pening dan pandangan matanya kabur. Tiba-tiba ia berseru keras dan segera tubuhnya melompat tinggi dan jauh. Ketika ia turun, ia berdiri memandang dengan wajah kemerah-merahan, kemudian setelah memandang dengan kagum kepada pemuda itu ia lalu melemparkan goloknya kepada Kwee An yang disambut dengan baik oleh tangan kiri Kwee An! Melihat hal ini, semua orang bersorak riang dan bahkan ada beberapa orang yang menghampiri Kwee An, memeluk dan menciumi pipinya hingga pemuda itu merasa geli sekali karena merasa betapa kumis-kumis mereka itu seakan-akan mengitik-itiknya. Kakek yang dapat berbahasa Han itu pun menghampirinya dan menjura sambil berkata, “Kionghi, kionghi, (selamat, selamat)...!” Kwee An hanya menyangka bahwa kakek itu memberi selamat atas kemenangannya, maka alangkah terkejutnya ketika Sanoko datang menghampirinya, memeluknya sambil berkata dengan suara yang penuh keharuan.

 “Kwee An, puteriku telah memilih jodohnya dan aku merasa girang sekali mendapat seorang mantu seperti engkau!”

 “Apa...? Apa maksudmu...?” Ia bertanya sambil memandang dengan mata terbelalak heran.

 “Meilani telah memberikan goloknya dan kau telah menerimanya dengan baik, masih bertanya apa lagi? Harap kau berlaku seperti seorang laki-laki sejati dan jangan berpura-pura atau malu-malu. Upacara pernikahan dilakukan besok pagi dan sementara itu, kau boleh mengadakan persiapan dan dibantu oleh pamanku ini!” kata Sanoko sambil menunjuk kepada kakek penghisap huncwe yang ternyata adalah pamannya sendiri. Kemudian ia masuk ke dalam rumah dengan tindakan kaki gagah.

 Kwee An berdiri bagaikan sebuah patung dan ketika kakek itu menariknya menuju ke sebuah pondok tak berjauhan dari tempat itu, Kwee An segera bertanya, “Lopek, apakah maksudnya ini semua?”

 “Barangkali kau tidak tahu, anak muda. Sudah menjadi kebiasaan kami bahwa apabila seorang gadis memberikan goloknya pada seorang pemuda dan pemberian itu diterimanya, maka itu berarti bahwa mereka telah mengikat diri menjadi jodoh masing-masing. Tadi Meilani telah memberikan goloknya kepadamu dan kau telah menerimanya, maka berarti bahwa kau adalah jodoh Meilani. Kau boleh merasa bangga dan bahagia oleh karena Meilani adalah gadis tercantik di antara bangsa kami dan telah banyak pemuda yang merindukannya. Selain berkepandaian tinggi dan menjadi puteri kepala kami, dia juga berilmu tinggi dan berbudi baik. Tidak kaulihatkah betapa cantik jelitanya dia?” Pucatlah wajah Kwee An mendengar ini. “Tapi… tapi… bukan maksudku untuk menerimanya sebagai… sebagai… jodohku. Aku tidak tahu akan kebiasaan menerima golok itu. Ia melemparkan goloknya kepadaku, sudah tentu saja kusambut dengan tangan. Lopek tolonglah aku karena aku sungguh-sungguh tak dapat menerima perjodohan ini!”

 Wajah kakek itu berubah tak senang. “Mengapa begitu? Apakah dia kurang cantik? Anak muda, ingatlah bahwa di seluruh daerah ini tak mungkin kau akan mendapatkan seorang gadis seperti Meilani. Dia telah memilihmu tanpa mempedulikan wajahmu yang tidak patut karena tidak berkumis, semata-mata karena ia kagum melihat kelihaian ilmu pedangmu. Sanoko juga telah menyetujuinya, maka kau tidak boleh menolak. Penolakanmu ini akan berarti penghinaan kepada kami seluruh suku bangsa Haimi dan tentu kau akan dikeroyok dan dibunuh kalau kau berani menolak. Untung bahwa penolakanmu ini hanya terdengar olehku yang masih dapat berpikir panjang, kalau terdengar oleh orang lain terutama oleh Sanoko, tentu kau akan dibunuh!”

 Bukan main terkejut hati Kwee An mendengar ini. Ia segera berdiri dan sambil menyerahkan kembali golok Meilani kepada kakek itu, ia lalu berkata, “Lopek, kau kembalikan golok ini dan sampaikan salam serta hormatku kepada Sanoko, serta penyesalan dan maafku kepada Meilani, karena kalau memang demikian halnya, sekarang juga aku mau pergi agar jangan timbul hal-hal yang tidak diinginkan.”

 Akan tetapi begitu menerima kembali golok baja kuning itu kakek ini lalu melompat berdiri dengan sikap mengancam. ”Tidak bisa, anak muda! Ketahuilah bahwa perbuatanmu ini hanya akan membuat Meilani malu sekali dan pasti ia akan membunuh diri, sesuai dengan adat kami. Dan karena ini, sebagai paman kakek gadis itu, aku takkan membiarkan kau pergi! Kau baru bisa meninggalkan tempat ini setelah melewati mayatku!”

 “Jangan, Lopek, biarkan aku pergi!” kata Kwee An dengan gugup akan tetapi, kakek itu lalu menyerangnya dengan golok di tangan! Penyerangannya hebat sekali, jauh lebih lihai daripada gerakan golok Meilani, hingga Kwee An terpaksa mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Mo-ko. Dan sekali tubuhnya berkelebat dan tangannya diulurkan, golok itu telah terampas olehnya!

 “Kau benar-benar lihai, nah, kaubunuhlah dulu aku sebelum pergi dari sini!”

 Lemaslah tubuh Kwee An. Ia merasa bingung sekali. Kalau sampai benar-benar gadis itu membunuh diri karena ia tinggal pergi, ia merasa tidak tega sekali. Maka ia lalu memandang kakek itu dengan mata mengandung permintaan tolong.

 “Kakek, aku... tidak dapat melukaimu. Kalian telah berlaku amat baik kepadaku, begitu ramah tamah, bagaimana aku sampai hati mendatangkan malapetaka? Akan tetapi, perkawinan itu sungguh-sungguh tak mungkin kulakukan. Ketahuilah bahwa aku telah mempunyai seorang tunangan. Aku tidak bisa kawin dengan gadis lain.”

 Mendengar ini, kakek itu berpikir keras. “Kalau menurut kebiasaan kami, tiada halangan bagi seorang pemuda untuk mempunyai dua orang isteri, sungguhpun hal itu jarang sekali terjadi. Aku maklum akan penolakanmu, dan ternyata kau memang seorang yang baik budi. Baiknya diatur begini saja, yang terpenting bagi seorang gadis kami ialah upacara pernikahan. Apabila upacara itu telah dilangsungkan, kau tidak berhalangan untuk meninggalkan isterimu walaupun tidak menjadi isteri dalam arti sesungguhnya. Setelah upacara selesai, kau boleh pergi kalau itu benar-benar kau kehendaki dan Meilani hanya akan merasa malu dan membunuh diri. Dengan demikian, kau tidak menghina bangsa kami dan tidak menghina Meilani.”

 “Akan tetapi, Lopek, tentu Meilani akan memandang aku sebagai seorang laki-laki berhati rendah dan seakan-akan menipunya kalau setelah melakukan upacara pernikahan aku lalu pergi meninggalkannya!” Kwee An membantah.

 “Jangan kuatir, sebelum upacara dilangsungkan malam ini juga aku akan memberitahukan kepadanya bahwa kau menjalankan upacara hanya untuk melindungi mukanya dari perasaan rendah dan malu, dan bahwa kau tidak mungkin menjadi suaminya karena kau telah mempunyai calon istri lain.”

 Kwee An memegang tangan kakek itu dengan pernyataan terima kasihnya karena ia anggap itu adalah cara terbaik. Malam itu, lima orang gadis yang berwajah manis-manis dan bergigi hitam mengkilap, menyerbu masuk ke kamarnya di pondok kakek itu. Sambil tertawa-tawa dan bicara tidak karuan karena tidak dimengerti oleh Kwee An, gadis-gadis itu menghampiri Kwee An. Ada yang memegang tangannya dan menarik-nariknya, ada yang memegang kepalanya, dan ada pula yang hendak menggunakan sesuatu untuk digosokkan di bawah hidungnya. Kwee An terkejut sekali dan dengan hati berdebar ketakutan ia lalu memberontak dan melepaskan diri dari serbuan kelima orang gadis itu!

 “Eh, eh, kalian pergilah! Keluar dari kamar ini! Apakah kalian gila dan hendak menggangguku?” katanya dengan keras dan mata terbelalak. Akan tetapi oleh karena kelima orang gadis itu tidak mengerti ucapannya, mereka hanya tertawa saja dan menghampirinya kembali! Kwee An lari ke sana ke mari di dalam kamarnya, akan tetapi dikejar-kejar oleh para gadis itu sambil tertawa-tawa! Karena merasa ngeri dan takut, Kwee An berteriak dan tak lama kemudian, datanglah kakek penghisap huncwe itu ke dalam kamarnya untuk melihat apakah yang terjadi di situ. Melihat betapa Kwee An telah melompat ke atas pembaringan dan berdiri mepet di sudut sambil memandang lima orang gadis yang mengurungnya dengan mata terbelalak bagaikan seekor tikus melihat lima ekor kucing, tak tertahan lagi kakek itu tertawa bergelak! Girang sekali hati Kwee An melihat kedatangan kakek itu dan ia lalu melompat turun dan lari ke belakang tubuh kakek tadi.

 “Lopek, tolonglah aku. Mereka ini apakah tiba-tiba menjadi gila?”

 “Ini termasuk upacara perayaan pernikahan yang akan dilangsungkan besok. Mereka datang untuk menggodamu dan untuk menggosok hidungmu dengan obat penumbuh kumis!”

 “Apa?” Kwee An berseru sambil menutupi hidungnya dengan tangan kanan, seakan merasa ngeri sekali bahwa hidungnya tadi telah terkena obat itu dan tumbuh kumis! “Aku tidak mau... aku tidak mau, Lopek. Usirlah mereka keluar!” Sedangkan di dalam hatinya, Kwee An berkata, “Alangkah akan kagetnya Ma Hoa kalau ia kelak melihat aku berkumis panjang menjungat ke atas!”

 Kakek itu lalu mengucapkan perkataan kepada para gadis itu yang lalu pergi sambil terkekeh-kekeh, akan tetapi ketika mereka memandang Kwee An, mereka merasa kecewa sekali! Kwee An menghela napas panjang karena lega hatinya melihat gadis-gadis itu sudah pergi.

 “Bagaimana Lopek, apakah kau memberi tahu dan berterus terang kepada Meilani?”

 Kakek itu mengangguk dengan muka sedih.

 “Dan marahkah dia kepadaku?”

 “Tidak, tidak marah. Hanya kecewa dan berduka. Kau... kau memang kejam.”

 “Eh, mengapa kau berkata demikian, Lopek? Pernikahan ini terjadi karena salah sangka dan bukan terjadi atas kehendakku. Bahkan upacara ini pun terpaksa kulakukan hanya untuk menolong dia.”

 Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali menghela napas. “Alangkah baiknya kalau kau benar-benar menjadi suami Meilani dan menjadi anggota keluarga kami. Kepandaianmu lihai sekali dan kau dapat kami harapkan untuk membantu kami mengusir para pengganggu kami, keparat-keparat Mongol itu!”

 Tergerak hati Kwee An melihat wajah kakek yang telah keriputan itu nampak sedih sekali. “Lopek, untuk membantu kalian, tak perlu aku harus menjadi keluarga saja. Kalau memang terdapat kesulitan dan aku bisa membantu, pasti aku akan membantu sekuat tenaga. Katakanlah, apakah yang telah terjadi dan apa pula yang diperbuat oleh orang-orang Mongol kepada bangsamu?”

 Setelah menghela napas berulang-ulang kakek itu bercerita, “Bangsa kami, yaitu suku bangsa Haimi, adalah yang besar dan memiliki kebudayaan tinggi. Akan tetapi, oleh karena kami merupakan bangsa perantau dan tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka inilah yang merupakan kelemahan kami. Selama beberapa tahun ini, kami selalu mendapat pukulan dan gangguan dari bangsa Mongol yang memperluas daerah kekuasaan mereka. Banyak anggota keluarga kami dibinasakan, wanita diculik, dan harta benda kami dirampas! Hinaan-hinaan ini terpaksa kami terima dengan cucuran air mata dan dengan helaan napas, karena kami tidak berdaya.

 Makin banyak kami melakukan perlawanan, makin banyak jatuh korban di pihak kami hingga makin lama makin kecillah jumlah keluarga kami, oleh karena pihak Mongol memang jauh lebih kuat daripada kami. Telah lama kami mengimpikan datangnya bintang penolong, dan setelah kini kau datang, maka besarlah harapanku dan harapan Sanoko bahwa kaulah orangnya yang dapat menolong kami membalas dendam kepada orang-orang Mongol serta mengusir mereka kalau berani datang mengganggu lagi. Akan tetapi, memang nasib bangsaku yang buruk... kau bahkan mengecewakan kami, menghancurkan hati puteri kami yang bernasib malang...”

 Setelah mengucapkan kata-kata itu, dari kedua mata kakek itu mengalirlah beberapa butir air mata! Kwee An merasa terharu sekali dan ia segera memegang lengan kakek itu.

 “Lopek, jangan kau kuatir. Aku bersumpah bahwa aku akan mengusir dan menghajar orang-orang Mongol yang berani mengganggu kalian. Tunjukkan di mana mereka berada, akan kudatangi dan kuhajar mereka!” kata-kata ini diucapkan dengan penuh semangat hingga kakek itu dapat tersenyum lagi.

 “Hal itu mudah, nanti kalau upacara perkawinan sudah dilanjutkan akan kutunjukkan padamu di mana keparat-keparat itu berada.”

 Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, kakek itu telah memberi sesetel pakaian Haimi yang indah kepada Kwee An, lengkap dengan ikat kepala yang lebar. “Pakailah ini, hanya untuk memenuhi syarat upacara adat.”

 Agar jangan melukai perasaan kakek itu dan semua orang, terpaksa Kwee An lalu mengenakan pakaian itu.

 “Ah, kau memang gagah sekali. Kalau kau membiarkan kumismu tumbuh, kau akan menjadi pemuda yang paling tampan di antara kami dan kau akan menjadi suami yang cocok sekali bagi Meilani! Sayang... sayang...” kata kakek itu sambil memandang dengan kagum.

 Kemudian sambil menabuh kendang dan tambur, serombongan anak gadis “mengambil” pengantin laki-laki dan diiringkan menuju ke pondok pengantin perempuan. Ketika kedua mempelai dipertemukan, Kwee An melihat betapa wajah “isterinya” itu basah dengan air mata dan diam-diam ia lalu menghela napas panjang dan terkenanglah ia kepada Ma Hoa. Ah, alangkah baiknya kalau yang menjadi mempelai wanita itu Ma Hoa.

 Seorang pendeta Haimi membaca doa-doa dalam bahasa Haimi, akan tetapi dari cara-cara ia membaca doa, tahulah Kwee An bahwa upacara adat ini berdasarkan Agama Buddha yang telah berubah, disesuaikan dengan kepercayaan nenek moyang mereka.

 Kwee An harus mengakui kecantikan Meilani yang benar-benar jelita itu, hanya kalau mengingat gigi yang dihitamkan itu, ia merasa sayang sekali. Pada saat upacara dilakukan, tiba-tiba seorang pemuda Haimi datang dengan tergesa-gesa dan melaporkan sesuatu kepada Sanoko. Mendengar laporan ini, ributlah orang-orang yang berada di situ. Bahkan Meilani lalu membuka penutup mukanya dan segera mengambil goloknya yang telah dikembalikan oleh Kwee An.

 “Apakah yang telah terjadi?” Kwee An bertanya kepada Sanoko yang memberi aba-aba dan mengatur orang-orangnya yang telah berkumpul dengan senjata di tangan.

 “Seorang Perwira Mongol yang kosen dan yang sering mengganggu kami telah datang dengan seorang kawannya. Dia telah menculik dua orang gadis dan membunuh tiga orang pemuda kami!”

 “Keparat!” Kwee An memaki sambil mencabut Oei-kang-kiam “Hayo tunjukkan di mana ia berada!”

 “Kami hendak mengeroyoknya, karena kepandaiannya tinggi sekali!” kata Sanoko dengan ragu-ragu.

 “Jangan kuatir, biar aku yang menghadapinya!” Maka semua orang lalu mengiringkan pemuda itu, berlari keluar dari hutan.

 Akan tetapi ketika mereka tiba di tempat yang dimaksudkan, ternyata bahwa dua orang gadis yang diculik itu telah tertolong oleh orang lain! Dan pada saat itu, kedua orang jahat itu sedang bertempur melawan seorang gadis yang gagah perkasa. Hampir saja Kwee An menjerit karena girang, terkejut dan heran. Ternyata bahwa dua orang pengacau yang dimaksudkan itu adalah Ke Ce sendiri dan Bo Lang Hwesio! Sedangkan gadis berambut riap-riapan yang cantik jelita dan yang memainkan sepasang bambu runcing dengan hebatnya melawan kedua orang kosen itu, bukan lain ialah Ma Hoa sendiri!!

 “Hoa-moi...!” Kwee An berseru dan ia segera menerjang maju pedangnya.

 Ketika Ma Hoa memandang, ia terbelalak heran melihat kekasihnya berada di tempat itu dan mengenakan pakaian yang aneh itu.

 “Koko mari kita gempur bangsat-bangsat ini dan membalas dendam!” katanya sambil mengerjakan kedua batang bambu runcingnya dengan hebat dan luar biasa. Biarpun merasa heran sekali melihat betapa kekasihnya itu dapat memainkan senjata aneh secara lihai itu, namun Kwee An tidak sempat bertanya. Ia lalu memutar pedangnya dan menyerang Bo Lang Hwesio yang bersenjata sebatang pedang pula karena kewalahan menghadapi Ma Hoa dengan tangan kosong saja.

 Melihat munculnya Kwee An, Ke Ce menjadi jerih karena ia maklum bahwa setelah kini gadis itu memiliki ilmu silat yang demikian lihainya, maka ditambah dengan bantuan Kwee An yang juga lihai sekali, tak mungkin pihaknya akan memperoleh kemenangan. Apalagi ia melihat bahwa serombongan besar orang-orang Haimi dengan golok mereka di tangan juga ikut datang pula. Orang Mongol yang licik ini lalu berseru keras dan segera melompat pergi dengan maksud melarikan diri. Akan tetapi, Ma Hoa tentu saja tidak mau melepaskannya. Sambil berseru nyaring, dara itu lalu melompat ke atas sebuah batu besar dan ketika Ke Ce lari, ia segera menyambar turun dengan kedua bambu runcing di tangan, bagaikan seekor burung rajawali menyambar korbannya. Ke Ce menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba dari atas terdengar bentakan Ma Hoa yang halus tapi nyaring,

 “Bangsat keji hendak lari ke mana?”

 Ke Ce menengok ke belakang dan mempercepat larinya oleh karena tadi ia telah merasa betapa lihai sepasang bambu runcing di tangan gadis ini hingga ia merasa percuma saja untuk melawan terus. Ia hendak mempergunakan ginkangnya yang tinggi untuk melarikan diri, akan tetapi Ma Hoa mengejar sambil berlompatan hingga sebentar saja ia sudah melompati kepala Ke Ce dan berdiri menghadang di depan pemuda Mongol itu!

 “Kalau mau lari, hanya boleh lari ke neraka untuk menerima hukuman!” kata lagi Ma Hoa sambil mengirim tusukan dengan bambu runcingnya, yang kiri ke arah lawan, sedangkan yang kanan ke arah jalan darah di dada! Ke Ce terkejut sekali melihat betapa ginkang gadis ini sudah sedemikian sempurnanya dan terlebih kaget lagi ketika ia menghadapi serangan berbahaya itu. Ia membuang diri ke kiri, bergulingan di atas tanah sampai beberapa kaki jauhnya lalu melompat berdiri dan cepat menggerakkan kedua tangannya hendak mengirim pukulan Angin Topan yang hebat! Akan tetapi Ma Hoa sudah siap menghadapi ilmu pukulan yang pernah membuat ia dan Kwee An terjungkal ke dalam jurang itu, maka sambil berseru keras ia melompat ke kiri dan cepat sekali tangan kanannya bergerak. Bambu runcing di tangan kanannya lalu meluncur melebihi anak panah terlepas dari busur cepatnya dan sebelum Ke Ce dapat berkelit, kembali bambu runcing di tangan kirinya meluncur menyusul bambu pertama! Cep, cep! Kedua bambu runcing itu menancap di tubuh Ke Ce, sebatang di tengah dada dan sebatang lagi di lehernya. Tubuh orang Mongol itu roboh dan nyawanya melayang pergi meninggalkan tubuh pada saat itu juga!

 Terdengar sorak sorai riuh rendah dari orang-orang Haimi ketika melihat betapa musuh besar mereka itu binasa! Ma Hoa segera menghampiri tubuh Ke Ce, mencabut keluar dua bambu runcingnya dan membersihkan ujung bambu itu pada pakaian lawannya. Kemudian ia menghampiri rombongan orang Haimi yang menyambutnya dengan berlutut. Ma Hoa mendekati Meilani dan mengangkat bangun gadis yang cantik itu, akan tetapi ketika ia bertanya, gadis itu menjawab dengan bahasa yang asing baginya. Gadis itu hanya menunjuk ke arah Kwee An dan Ma Hoa menengok.

 Ternyata bahwa Kwee An sedang bertempur hebat melawan Bo Lang Hwesio. Kepandaian Bo Lang Hwesio benar-benar lihai, karena biarpun Kwee An telah mengeluarkan Ilmu Pedang Hai-liong-kiamsut, namun hwesio itu dapat menahan serangannya dengan baik dan bahkan membalas dengan serangan yang tak kalah hebatnya! Kwee An lalu mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Mo-ko, dan sambil mainkan ilmu silat ini dengan tangan kiri, barulah ia dapat mengimbangi desakan Bo Lang Hwesio. Namun, dalam lweekang ia masih kalah setingkat hingga tiap kali pedang mereka bertemu, Kwee An merasa betapa tangannya gemetar! Untungnya ia memegang pedang Oei-kang-kiam yang ampuh, kalau ia memegang pedang biasa tentu pedangnya akan dapat dipatahkan oleh pedang Bo Lang Hwesio yang selain merupakan pedang mustika, juga digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi itu.

 Melihat ini, Ma Hoa berseru, “An-ko, jangan kuatir, aku membantumu!” Tubuh gadis ini berkelebat dan segera kedua batang bambu runcingnya menyerang dengan hebat sekali. Bo Lang Hwesio harus mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, karena baru menghadapi Kwee An seorang saja biarpun ia tidak akan kalah akan tetapi sudah amat sukar merobohkan anak muda itu, kini ditambah dengan permainan bambu runcing Ma Hoa dalam gerakan Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa, ia menjadi sibuk sekali!

 Dengan perlahan akan tetapi tentu, Ma Hoa dan Kwee An mendesak hwesio itu hingga keringat dingin mulai mengucur keluar dari jidat Bo Lang Hwesio. Kwee An merasa gembira sekali oleh karena ia mendapat kenyataan betapa gerakan ilmu silat Ma Hoa amat lihai. Sedangkan Bo Lang Hwesio amat gelisah menghadapi serangan sepasang orang muda yang lihai ini. Dia pun amat heran menyaksikan ilmu silat gadis itu karena ia teringat bahwa yang memiliki limu Silat Bambu Kuning ini hanyalah seorang pertapa sakti yang bernama Hok Peng Taisu! Mengapa tiba-tiba gadis ini dapat memiliki ilmu kepandaian ini?

 Ketika Ma Hoa mendesak makin hebat, akhirnya ujung bambu di tangan kirinya berhasil menusuk pundak Bo Lang Hwesio yang berteriak kesakitan oleh karena biarpun ia memiliki lweekang yang membuat kulitnya menjadi kebal, namun tetap saja ujung bambu yang tajam itu telah melukainya. Sambil berseru hebat ia memutar pedangnya dan ketika kedua lawannya mengelak, ia lalu melompat ke belakang dengan cepat dan kabur dari tempat itu. Ma Hoa hendak mengejar, akan tetapi Kwee An mencegahnya dan berkata,

 “Yang mencelakai kita dulu adalah Ke Ce. Biarlah kita ampuni jiwa rendah hwesio itu!”

 Ma Hoa dan Kwee An berdiri saling pandang dan sekarang setelah musuh pergi, mereka saling pandang dengan perasaan terharu sekali. Tak terasa lagi dari mata mereka mengalir air mata karena girang dan terharu, seakan-akan melihat kekasihnya baru bangkit dari lubang kuburan! Bagaikan ditarik oleh tenaga mujijat, keduanya saling rangkul sambil berbisik,

 “Koko...”

 “Moi-moi... serasa dalam mimpi dapat berjumpa dengan kau lagi...”

 “Koko...” kata Ma Hoa setelah melepaskan diri dari rangkulan Kwee An dan memandang kepada pemuda itu dengan mata basah tapi bibir tersenyum, “kau... kelihatan lucu sekali! Dari mana kauperoleh pakaian seperti itu?”

 “Untung saja kau tidak melihat aku berkumis seperti mereka itu!” kata Kwee An sambil menahan ketawanya. Ma Hoa heran mendengar ini dan ketika ia menengok, orang-orang Haimi telah lari menghampiri mereka, dan Meilani lalu memegang tangan Kwee An dengan mesra, oleh karena ia tidak tahu bahwa Ma Hoa adalah wanita yang menjadi tunangan pemuda ini. Hati Meilani terlalu girang, karena Ke Ce terbunuh mati dan terlampau bangga karena betapapun juga, pemuda yang gagah berani dan yang telah berhasil mengusir musuh itu adalah “suaminya”.

 “Engko An, siapakah gadis manis ini?”

 “Dia adalah isterinya, lihiap!” kata Sanoko, “dan aku adalah pemimpin suku bangsa Haimi, juga menjadi ayah mertua Kwee An!”

 Bukan main terkejut hati Ma Hoa mendengar keterangan Sanoko ini dan ia memandang kepada Kwee An dengan wajah pucat. Kwee An memegang tangan Ma Hoa dan berkata, “Tenanglah, Moi-moi, hal ini memerlukan penjelasan!” Kemudian ia berkata kepada Sanoko dengan suara tegas,

 “Dengarlah Sanoko! Kau tentu sudah mendengar keterangan dari Pamanmu dan ketahuilah bahwa Nona ini adalah tunanganku yang kuceritakan itu!”

 Karena di situ terdapat banyak orang orang Haimi, biarpun mereka tidak mengerti percakapan mereka, namun Kwee An merasa tidak enak karena kalau sampai terjadi salah paham, maka Ma Hoa tentu akan marah sekali dan Meilani akan tersinggung, maka ia lalu memberi isyarat kepada Sanoko dan kakek penghisap huncwe untuk ikut bicara di tempat yang agak jauh dari mereka. Meilani hanya memandang dengan heran dan tidak mengerti, akan tetapi ia tidak berani ikut bicara mencampuri pembicaraan mereka yang dilakukan dalam bahasa Han yang tidak dimengertinya.

 “Lopek, sekarang harap kau suka ceritakan hal ini terus terang kepada tunanganku, agar tidak sampai terjadi salah paham,” kata Kwee An kepada kakek itu setelah mereka berada jauh dari rombongan itu.

 “Lihiap, kata-kata Kwee-taihiap ini memang benar. Biarpun ia terpaksa menjalankan upacara pernikahan dengan Meilani, akan tetapi itu hanya untuk menjaga kehormatan puteri kami itu saja, dan Kwee-taihiap tadinya juga berkeras menolak, akan tetapi akhirnya menyetujui untuk melakukan upacara pernikahan berdasarkan menolong gadis itu.” Maka dengan panjang lebar kakek itu lalu menuturkan bagaimana telah terjadi kesalahpahaman ketika Kwee An menerima golok dari Meilani, dan betapa kalau pemuda itu tidak memenuhi kebiasaan adat mereka, maka gadis itu tentu akan membunuh diri karena malu. Ma Hoa mendengarkan semua ini dengan terharu. Tadinya ia marah sekali, akan tetapi setelah tahu akan duduknya perkara, ia merasa kasihan sekali kepada Meilani.

 “An-ko, kalau kau memang suka kepada gadis itu, kawinlah dengan dia dan jangan kaupikirkan aku lagi!”

 “Eh, eh, Moi-moi, mengapa kau berkata demikian? Selain dengan kau aku tidak mau kawin dengan wanita lain! Setelah mendengar keterangan tadi, apakah kau masih juga merasa cemburu kepadaku?”

 “Bukan cemburu, akan tetapi aku merasa kasihan sekali kepada Meilani!” Kemudian Ma Hoa lalu bertindak menghampiri Meilani dan memeluknya. Biarpun Meilani tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi oleh karena ia sudah mendengar dari Kwee An bahwa pemuda itu tidak bisa menjadi suaminya karena telah bertunangan dengan seorang gadis Han, maka ia dapat juga menduga. Ketika melihat hubungan antara Ma Hoa dengan Kwee An, ia dapat menduga pula bahwa gadis inilah tentu yang menjadi tunangan Kwee An dan ia tidak hanya kagum akan kelihaian Ma Hoa, akan tetapi juga kagum melihat kecantikannya, hingga ia merasa bahwa memang gadis itu lebih cocok menjadi calon isteri Kwee An. Ketika Ma Hoa memeluknya, ia hanya dapat mengalirkan air mata saja.

 Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa oleh karena ternyata bahwa “gadis saingan” puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan lebih membunuh bangsanya! Maka ketika kedua orang muda itu berpamit, ia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih. Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur. Sedangkan semua orang Haimi ketika melihat Kwee An meninggalkan “isterinya” yang baru saja menikah dengannya, merasa tidak puas, akan tetapi mereka tidak berani banyak bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.

 Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan ketika mendengar dari Ma Hoa bahwa gadis itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali. Sebaliknya, ketika Kwee An menceritakan betapa ia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam gua dalam keadaan menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan Meilani itu.

 "Koko," katanya di tengah perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku membikin hitam gigiku.”

 Kwee An tersenyum pahit. "Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sesungguhnya aku merasa ngeri tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"

 Ma Hoa tertawa. "Kalau kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"

 "Betapapun juga, mereka adalah orang-orang baik. Bangsa Haimi itu dan nasib mereka buruk sekali. Moi-moi, biarlah kita jangan bicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah, ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?"

 “Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya. Sebelum bertemu dengan kau, aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di Kansu pemandangannya amat indah dan disana terdapat gua-gua kuno yang terkenal. Kalau hendak mendengar tentang Lin-lin dan Paman Yo, baiknya kita merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”

 Bagi Kwee An, jangankan harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biarpun harus ke neraka sekalipun, kalau bersama Ma Hoa, ia akan pergi dengan senang hati.

 “Dugaanmu ini memang berdasar juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat pula,” katanya.

 Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia. Dalam menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia. Siapa yang pernah melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta, dan mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu, yang terasa hanyalah kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu! Pendeknya, Ma Hoa dan Kwee An melakukan perjalanan dengan hati penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Apalagi mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang belum pernah mereka kunjungi hingga pemandangan yang ganjil di daerah itu menambah kegembiraan mereka.

 Suatu hari di tapal batas daerah Sui-yuan, ketika mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah yang berbukit, tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan oleh orang yang sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari menuju ke arah suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah tikungan, mereka melihat dua orang sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.

 Ketika mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera memandang wajah kekasihnya yang tiba-tiba berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat. Sepasang mata gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur dengan terbelalak penuh keheranan dan nampaknya terkejut sekali bagaikan melihat setan di tengah hari! Kwee An segera memandang dan memperhatikan dua orang yang bertempur itu tiba-tiba ia pun memandang dengan mulut celangap.

 Ma Hoa menggosok-gosok kedua matanya dan bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan, "Koko... apakah kau juga melihat apa yang kulihat?"

 Kwee An hanya berkata perlahan, "Heran…. heran….. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar dia ?"

 Sanoko juga sudah tahu akan hal itu dan dia pun tidak merasa kecewa oleh karena ternyata bahwa “gadis saingan” puterinya adalah seorang pendekar wanita yang bahkan lebih membunuh bangsanya! Maka ketika kedua orang muda itu berpamit, ia hanya menghaturkan selamat jalan dan terima kasih. Meilani tidak kuat melihat Kwee An pergi, maka ia mendahului lari masuk ke dalam hutan dan menangis di dalam pondoknya dengan hati hancur. Sedangkan semua orang Haimi ketika melihat Kwee An meninggalkan “isterinya” yang baru saja menikah dengannya, merasa tidak puas, akan tetapi mereka tidak berani banyak bertanya, hanya merasa berduka mengingat akan nasib Meilani.

 Demikianlah, Ma Hoa dan Kwee An meninggalkan orang-orang Haimi itu dengan diikuti pandangan mata mereka yang merasa kagum sekali melihat betapa kedua orang muda bangsa Han itu berlari cepat sekali melebihi larinya rusa! Tentu saja Kwee An dan Ma Hoa merasa bahagia sekali dapat bertemu dalam keadaan selamat, bahkan ketika mendengar dari Ma Hoa bahwa gadis itu telah mempelajari Ilmu Silat Bambu Kuning yang luar biasa dari Hok Peng Taisu, Kwee An menjadi gembira dan girang sekali. Sebaliknya, ketika Kwee An menceritakan betapa ia telah menderita sakit sampai berbulan-bulan di dalam gua dalam keadaan menderita dan sengsara, kekasihnya menjadi terharu dan merasa iba sekali. Namun, masih saja dalam perasaan hati Ma Hoa merasa tidak enak oleh karena peristiwa yang terjadi dengan Kwee An ketika terpaksa menikah dengan Meilani itu.

 "Koko," katanya di tengah perjalanan, "agaknya kau suka kepada gigi hitam! Bagaimana kalau aku membikin hitam gigiku.”

 Kwee An tersenyum pahit. "Sudahlah, Hoa-moi, jangan kau menggoda terus. Sesungguhnya aku merasa ngeri tiap kali teringat akan gigi hitam dan kumis melintang!"

 Ma Hoa tertawa. "Kalau kubayangkan sungguh lucu. Kau berkumis panjang melintang yang ujungnya melingkar ke atas, sedangkan aku bergigi hitam mengkilap!"

 "Betapapun juga, mereka adalah orang-orang baik. Bangsa Haimi itu dan nasib mereka buruk sekali. Moi-moi, biarlah kita jangan bicara tentang mereka lagi. Sekarang yang terpenting ialah, ke mana kita harus mencari Lin Lin, Cin Hai dan Paman Yousuf?"

 “Lin-lin dan Paman Yo dikejar-kejar oleh orang-orang Turki yang datang dari barat daya. Sebelum bertemu dengan kau, aku banyak mendengar orang bercerita bahwa di daerah Kansu dan Cinghai di barat kini terdapat orang-orang Turki yang menjadi pedagang. Aku mendengar bahwa di Kansu pemandangannya amat indah dan disana terdapat gua-gua kuno yang terkenal. Kalau hendak mendengar tentang Lin-lin dan Paman Yo, baiknya kita merantau ke barat dan menyelidiki orang-orang Turki itu, sekalian melihat pemandangan di kedua daerah itu. Bagaimana pendapatmu?”

 Bagi Kwee An, jangankan harus pergi merantau dan menikmati perjalanan ke daerah-daerah yang indah dan menarik hati, biarpun harus ke neraka sekalipun, kalau bersama Ma Hoa, ia akan pergi dengan senang hati.

 “Dugaanmu ini memang berdasar juga. Mudah-mudahan saja Cin Hai juga berpendapat sama dan pergi ke barat pula,” katanya.

 Demikianlah, kedua sejoli itu lalu mulai melakukan perjalanan ke barat melalui sepanjang tapal batas Mongolia. Dalam menyeberangi Propinsi-propinsi Sui-yuan dan Ning-sia. Siapa yang pernah melakukan perjalanan dengan seorang tunangan atau kekasih yang dicinta, dan mencinta, tentu akan maklum pula bahwa di dalam perjalanan itu, yang terasa hanyalah kegembiraan besar. Segala benda di dunia ini nampak seakan-akan bercahaya gemilang dan berseri, setiap daun dan bunga tersenyum manis, setiap suara terdengar bagaikan nyanyi indah dan merdu! Pendeknya, Ma Hoa dan Kwee An melakukan perjalanan dengan hati penuh kebahagiaan dan kegembiraan. Apalagi mereka melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang belum pernah mereka kunjungi hingga pemandangan yang ganjil di daerah itu menambah kegembiraan mereka.

 Suatu hari di tapal batas daerah Sui-yuan, ketika mereka sedang berjalan cepat melalui sebuah daerah yang berbukit, tiba-tiba mereka mendengar seruan seperti yang biasanya dikeluarkan oleh orang yang sedang berkelahi. Mereka menjadi tertarik dan segera berlari menuju ke arah suara itu. Ketika mereka tiba di sebuah tikungan, mereka melihat dua orang sedang bertempur dengan luar biasa hebatnya.

 Ketika mereka telah tiba agak dekat, tiba-tiba Ma Hoa memegang lengan tangan Kwee An dan pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan Ma Hoa menggigil. Ia segera memandang wajah kekasihnya yang tiba-tiba berhenti itu, dan melihat betapa wajah Ma Hoa menjadi pucat. Sepasang mata gadis itu memandang ke arah orang-orang yang sedang bertempur dengan terbelalak penuh keheranan dan nampaknya terkejut sekali bagaikan melihat setan di tengah hari! Kwee An segera memandang dan memperhatikan dua orang yang bertempur itu tiba-tiba ia pun memandang dengan mulut celangap.

 Ma Hoa menggosok-gosok kedua matanya dan bibirnya bergerak mengeluarkan bisikan, "Koko... apakah kau juga melihat apa yang kulihat?"

 Kwee An hanya berkata perlahan, "Heran…. heran….. bukankah nona yang berpedang itu benar-benar dia ?"

 "Siapa lagi ? Biarpun lupa akan wajah dan bentuk badannya, aku takkan melupakan gerakan dan ilmu silatnya. Dia benar-benar Enci Im Giok!"

 "Mari kita membantunya!?" kata Kwee An, akan tetapi Ma Hoa menjawab,

 "Jangan dulu! Enci Im Giok paling tidak suka dibantu apabila keadaannya tidak terdesak. Lihat, dia sedang mendesak lawannya, dan dua orang pendeta yang menonton itu. Mereka entah kawan atau lawan. Baiknya kita menonton sambil bersembunyi, melihat gelagat."

 Keduanya lalu mengintai dari balik pohon. Ternyata bahwa yang bertempur itu adalah seorang nenek tua yang mengerikan. Tubuhnya bongkok karena punggungnya tinggi dan di situ terdapat daging yang menonjol, merupakan punggung onta, rambutnya digelung dan diikat dengan saputangan bersulam yang kecil. Telinganya memakai anting-anting yang besar melingkar. Nenek itu sedang bertempur dengan tangan kosong menghadapi seorang dara jelita berpakaian merah yang memegang pedang. Nona ini cantik sekali dan sekali pandang saja orang yang telah pernah melihatnya tak akan ragu-ragu lagi bahwa dia ini bukan lain ialah Ang I Niocu! Kalau gerakan Ang I Niocu indah menarik dan gesit sekali hingga nampaknya seperti tengah menari dengan pedangnya, gerakan nenek itu tidak kalah hebatnya. Tubuh nenek itu berlompatan ke atas sambil menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman tangan yang jari-jarinya ditekuk bagaikan cakar burung garuda! Di dekat tempat pertempuran itu, dua orang kakek berdiri menonton dengan tertarik. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi besar, berjubah hitam panjang dan kepalanya ditutup dengan sebuah sorban. Kakek ke dua adalah seorang tosu yang mukanya penuh cambang bauk.

 Pada saat itu, Ang I Niocu sedang mendesak hebat dengan ilmu pedangnya. Kalau gerakan nenek itu boleh diumpamakan sebagai seekor garuda yang ganas menyambar-nyambar korbannya, Ang I Niocu merupakan seekor burung merah yang indah dan luar biasa gesitnya. Nenek itu ternyata selain memiliki ginkang yang tinggi dan sempurna, juga memiliki tenaga dalam yang hebat karena selain serangan mencengkeram yang mirip dengan Ilmu Silat Eng-jiauw-kang dari ahli silat Tiongkok Selatan, juga kadang-kadang ia mengirim pukulan-pukulan yang anginnya saja membuat rambut Ang I Niocu berkibar dan awut-awutan! Akan tetapi, pedang Ang I Niocu amat lihainya, sinar pedangnya dapat mendesak terus hingga nenek itu terpaksa berkelahi sambil mundur. Ketika nenek itu mundur dan melompat ke atas sebuah batu karang, Ang I Niocu membabat dengan pedangnya ke arah kaki lawannya dengan gerakan Bidadari Menyebar Bunga hingga hampir saja kaki nenek itu terbabat. Akan tetapi, dengan cepat sekali nenek itu melompat ke atas sambil mengeluarkan teriakan keras, dan ketika tubuhnya masih berada di atas, tiba-tiba kedua tangannya digerakkan dan berhamburanlah hancuran batu menyerang ke arah Ang I Niocu! Ternyata bahwa ketika nenek itu meloncat ke atas batu karang, kedua tangannya mencengkeram batu karang hingga hancur di dalam kedua tangannya dan kini ia menggunakan hancuran batu karang itu untuk menyerang Ang I Niocu! Hancuran batu karang yang menjadi kerikil kecil-kecil ini tidak boleh dipandang ringan, oleh karena tenaga lemparannya yang disertai tenaga khikang ini membuat batu-batu kecil itu dapat menembus kulit dan daging, dan setiap potongan kecil merupakan sebuah senjata rahasia yang lihai!

 Akan tetapi Ang I Niocu yang berkepandaian tinggi tidak gentar menghadapi serangan hebat ini. Dengan tenang ia lalu memutar pedangnya hingga tubuhnya seakan-akan terlindung oleh dinding baja dan semua potongan batu kecil itu dapat terpukul jatuh. Kembali mereka bertempur seru, masing-masing mengeluarkan ilmu kepandaian yang paling tinggi. Biarpun Ang I Niocu selalu mendesak, namun agaknya tidak mudah menjatuhkan nenek yang lihai itu.

 Sebelum kita maju lebih lanjut dengan cerita ini, sebaliknya kita mengikuti dulu pengalaman Ang I Niocu semenjak ia berada di Pulau Kim-san-to, oleh karena pembaca tentu merasa heran bagaimana Ang I Niocu bisa muncul di sini sedangkan dulu ia berada di Pulau Kim-san-to ketika pulau itu terbakar dan meledak? Baiklah kita mundur sejenak agar selanjutnya cerita ini dapat diikuti dengan lancar.

 Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu mendahului Cin Hai untuk pergi ke Pulau Kim-san-to mencari Lin Lin. Dengan nekat Gadis Baju Merah itu naik ke atas puncak untuk mencari Lin Lin, akan tetapi bukan Lin Lin yang ia jumpai, bahkan ia melihat pemandangan yang amat mengerikan, yaitu seluruh danau di bukit itu terbakar merupakan neraka yang dahsyat. Ia melihat bayangan Vayami bagaikan sedang meiambai-lambai memanggilnya dari tengah lautan api itu, maka dengan hati ngeri sekali Ang I Niocu mencari-cari Lin Lin, berlari ke sana ke mari dan suaranya sampai serak karena terus-menerus ia memanggil,

 “Lin Lin…. Lin Lin….! Di mana kau…?”

 Ketika ia sedang berlari menubruk sana menubruk sini memanggil-manggil Lin Lin seperti orang gila, tiba-tiba sebuah letusan hebat terdengar dan daya tenaga raksasa yang keluar dari ledakan itu membuat tubuh Ang I Niocu terlempar ke atas udara. Biarpun semangat Ang I Niocu seakan-akan terbang keluar dari tubuhnya karena kehebatan ledakan itu, namun ia masih sempat berteriak lagi memanggil, "Lin Lin…. Lin Lin…. Hai-ji…. " Kemudian pingsan selagi tubuhhya masih melayang di udara! Memang mati atau hidup seseorang berada sepenuhnya dalam kekuasaan dan tangan Yang Maha kuasa. Kalau Tuhan menghendaki, seorang yang telah berada di mulut harimau masih akan dapat tertolong dan hidup, sedangkan seorang segar bugar dapat tiba-tiba mati. Hal ini harus diakui oleh semua orang karena banyak terjadi bukti-bukti akan kekuasaan yang besar ini. Tidak ada hal yang tidak mungkin terjadi dalam tangan Tuhan!

 Demikianpun dengan nasib Ang I Niocu. Agaknya Tuhan belum menghendaki dia terbebas dari hidup di dunia, maka tubuhnya terlempar ke udara tanpa terluka. Hal ini memang tidak begitu aneh oleh karena dapat diketahui sebab-sebabnya. Kalau sekiranya Ang I Niocu tidak berada terlalu dekat dengan bukit yang meledak itu, seperti halnya para tentara Turki dan tentara kerajaan yang terbasmi habis seluruhnya, tentu Dara Baju Merah itupun akan tewas juga, termakan oleh api dan minyak panas. Akan tetapi ketika ledakan terjadi, tubuh Ang I Niocu berada dekat sekali hingga sebelum api dapat membakar tubuhnya, hawa ledakan yang luar biasa kerasnya itu telah membuat tubuhnya terlempar ke udara! Karena hebatnya tekanan ledakan itu, pakaiannya yang merah sampai terobek ke sana ke mari dan potongannya terlempar lalu melayang-layang terbawa angin yang didatangkan oleh ledakan hingga sepotong dari pakaian ini kemudian ditemukan oleh Cin Hai di atas laut.

 Biarpun pada saat ia terlempar ke udara, Ang I Niocu terhindar dari bahaya api yang mengamuk, akan tetapi ia masih belum terlepas dari bahaya maut sama sekali, oleh karena ia telah menjadi pingsan dan kalau ia jatuh kembali, maka tubuhnya tentu akan hancur dan dimakan api! Namun, memang Tuhan belum menghendaki kematiannya maka kembali Yang Maha Kuasa memperlihatkan kekuasaanNya lagi.

 Di antara semua mahluk hidup yang berada di atas Pulau Kim-san-to ketika ledakan terjadi, selain Ang I Niocu yang selamat, masih ada lagi yang lain, yaitu Sin-kim-tiauw atau rajawali sakti berbulu emas. Kebetulan sekali pada waktu ledakan terjadi, burung rajawali ini sedang terbang tinggi di atas pulau karena ia merasa terkejut melihat sekian banyak orang sedang berperang di atas pulaunya yang biasanya sunyi dan tenteram itu. Ia terbang berputar-putar di atas sambil berteriak-teriak marah, karena perasaannya memberitahukannya bahwa orang-orang yang demikian banyaknya itu bukanlah orang baik-baik. Ia hendak mengamuk dan menyerang, akan tetapi tidak berani dan merasa takut menghadapi sekian banyaknya orang, maka kini ia hanya terbang tinggi sambil memekik-mekik marah.

 Ketika terjadi ledakan, Sin-kim- tiauw terkejut sekali dan sambil menyambar-nyambar ke bawah dengan marah, ia menjadi bingung dan takut melihat api berkobar hebat membakar pulaunya. Kemudian, tiba-tiba ia melihat tubuh seorang yang berpakaian merah melayang ke udara dengan kecepatan luar biasa. Tadinya burung itu merasa terkejut dan takut, oleh karena belum pernah ia melihat orang yang dapat terbang! Tentu ilmu kepandaiannya lihai sekali, pikirnya. Maka ia hanya terbang mengelilingi dan tidak berani menyerang, sungguhpun ia merasa marah sekali. Akan tetapi, ketika Ang I Niocu menjadi pingsan dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan tubuhnya menjadi lemas terkulai dan tubuh itu mulai melayang lagi jatuh ke bawah, Sin-kim-tiauw lalu menyambar dan mencengkeramnya. Perlu diketahui bahwa Sin-kim-tiauw bukanlah burung liar sembarangan saja, akan tetapi adalah burung peliharaan yang telah dilatih oleh Bu Pun Su dan adik seperguruannya Han Le, hingga burung ini telah dapat membawa apa saja dalam cengkeramannya tanpa melukai. Maka ketika ia mencengkeram tubuh Ang I Niocu yang pingsan, ia tidak melukai tubuh itu, hanya membawanya terbang menuju ke timur dengan cepat sambil berteriak-teriak girang seperti biasa kalau ia menang berkelahi!

 Burung rajawali yang besar itu membawa tubuh Ang I Niocu terus ke timur lalu membelok ka arah tenggara, dan selama itu Ang I Niocu masih saja pingsan tak sadarkan diri karena ledakan hebat itu benar-benar telah mengguncang jantungnya sedangkan perasaan kuatir dan takut membuat semangatnva seakan-akan terbang meninggalkan tubuhnya.

 Burung rajawali itu terbang terus dan setelah berputar-putar tinggi di atas pulau yang banyak terdapat di permukaan Laut Tiongkok, lalu menyambar turun ke atas sebuah pulau kecil yang penuh dengan pohon-pohon hijau. Ketika ia telah terbang rendah di alas pulau itu, tiba-tiba terdengar suara orang bersuit keras dan Sin-kim-tiauw segera terbang ke arah suara suitan itu.

 "Eh, Kim-tiauw, siapakah yang kau bawa itu?" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan seorang laki-laki keluar dari sebuah gua memandang kepada Kim-tiauw yang terbang rendah itu. "Lepaskan dia!" teriaknya dan Sin-kim-tiauw dengan taat lalu melepaskan tubuh Ang I Niocu dari cengkeraman kakinya. Tubuh Dara Baju Merah itu melayang ke bawah dan dengan gerakan cepat, laki-laki itu lalu menyambut tubuhnya. Merahlah muka laki-laki itu melihat betapa Ang I Niocu hampir tak berpakaian lagi karena pakaiannya yang merah telah robek di sana-sini oleh hawa ledakan tadi! Cepat-cepat laki-laki itu menanggalkan mantelnya menyelimuti tubuh yang segera dibawanya masuk ke dalam gua dan diletakkannya di atas tanah yang bertilamkan rumput-rumput kering. Dengan hati-hati laki-laki itu lalu memeriksa nadi pergelangan tangan Ang I Niocu lalu ia menarik napas lega. Dari sudut gua ia mengambil bungkusan pakaiannya dan mengeluarkan sebuah kulit buah labu yang telah dikeringkan dan yang digunakan sebagai tempat air. Ternyata bahwa isinya bukanlah air biasa, akan tetapi sari buah-buahan yang mengandung khasiat menguatkan tubuh dan mendatangkan ketenangan pada hati. Dengari hati- hati, ia lalu membuka bibir dan mulut Ang I Niocu dengan tangan kanan dan menuangkan sedikit isi tempat air itu ke dalam mulut gadis itu. Kemudian, setelah menyimpan tempat air ke dalam bungkusannya kembali, ia lalu berdiri memandang wajah dara itu dengan penuh perhatian lalu menarik napas panjang dan keluar dari gua.

 Burung rajawali melihat kedatangannya, lalu berjalan menghampiri sambil mengeluarkan keluhan panjang.

 "Sin-kim-tiauw, dari manakah kau datang dan siapakah gadis itu? Aku mendengar suara ledakan keras dari arah Pulau Kim-san-to dan melihat api berkobar-kobar. Heran sekali, apakah yang telah terjadi?"

 Kim-tiauw itu mengeluarkan keluhan keras dan aneh, lalu mengembangkan sayapnya dan memukul-mukul tanah, seakan-akan hendak menceritakan peristiwa hebat yang menimpa pulaunya, akan tetapi tentu saja laki-laki itu tidak mengerti sama sekali, hanya dia dapat menyangka bahwa tentu telah terjadi hal yang aneh sekali, karena tidak biasa Sin-kim-tiauw berlaku seaneh ini.

 Siapakah laki-laki yang tinggal seorang diri di sebuah pulau kecil yang asing dan tiada berkawan ini? Ia adalah seorang laki-laki yang berwajah cukup tampan, berkening lebar dan sinar matanya tajam berkilat. Tubuhnya tegap dan sedang, dan usianya paling banyak tiga puluh lima tahun. Pakaiannya terbuat dari pada bahan kasar berwarna biru dan sebilah pedang tergantung di pinggangnya. Orang ini sebetulnya adalah seorang pendekar silat yang mengasingkan diri, seorang berilmu tinggi yang patah hati oleh karena kecewa melihat keadaan dunia yang penuh kepalsuan. Dulu ia tinggal di atas Pulau Kim-san-to, ikut belajar silat kepada suhunya yang bukan lain ialah Han Le atau sute dari Bu Pun Su! Mereka tinggal bertiga dengan seorang sutenya, karena Han Le mempunyai dua orang murid, yaitu laki-laki ini yang bernama Lie Kong Sian, dan seorang pemuda bernama Song Kun. Baik Lie Kong Sian maupun Song Kun, keduanya adalah anak-anak yatim piatu yang menjadi korban keganasan tentara Mongol. Ayah bunda mereka telah tewas ketika tentara Mongol menyerbu dusun-dusun dan mereka berdua mendapat pertolongan dari Han Le yang lalu membawa mereka ke atas Pulau Kim-san-to dan mengangkat mereka menjadi murid.

 Biarpun Lie Kong Sian mempunyai bakat baik sekali hingga ia dapat mewarisi kepandaian suhunya, namun ia masih kalah apabila dibandingkan dengan Song Kun yang memiliki bakat. Luar biasa sekali. Bahkan Han Le sendiri pernah berkata kepada Lie Kong Sian yang dipercaya penuh dan disayangi seperti anak sendiri, "Muridku, kau lihat saja, Song Kun kelak akan memiliki ilmu kepandaian yang jarang mendapat tandingan oleh karena anak itu memiliki tulang dan bakat yang luar biasa. Dalam hal ilmu silat, bakat mempunyai pengaruh hebat sekali oleh karena biarpun ilmu silat yang dipelajarinya sama dengan yang kaupelajari, akan tetapi bakatnya dapat membuat ilmu silatnya menjadi lebih lihai dan hebat, karena mendapat tambahan sendiri oleh bakatnya yang baik. Akan tetapi ia masih amat muda, muridku, dan apabila aku telah tidak ada lagi di dunia ini, kaulah yang harus menjadi wakilku untuk menuntunnya ke arah jalan benar."

 Bertahun-tahun kedua orang murid ini digembleng oleh Han Le di atas Pulau Kim-san-to, kemudian Han Le mengajak, kedua orang muridnya itu berkelana untuk mencari pengalaman di dunia ramai. Dan hal inilah yang kemudian membuat Song Kun berubah. Kelihatanlah watak aselinya ketika pemuda ini melihat benda-benda berharga dan hal- hal yang terjadi di dunia ramai. Ia mulai menjadi sesat dan pengaruh-pengaruh buruk menguasai hatinya. Sebuah di antara wataknya yang buruk ialah kesukaannya akan wanita cantik.

 Baik Han Le maupun Lie Kong Sian mengetahui hal ini, maka setelah berkelana selama dua tahun, Han Le lalu mengajak Song Kun kembali ke Pulau Kim-san-to dan menyuruh Lie Kong Sian mengembara seorang diri untuk meluaskan pengalaman dan menjalankan pekerjaan sebagai seorang pendekar yang harus menolong sesama hidup yang menderita kesukaran.

 Diam-diam Song Kun merasa mendongkol sekali kepada suhunya, akan tetapi ia tidak berani menyatakan dengan terus terang, bahkan ia lalu dengan cerdiknya merubah sikap menjadi penurut dan berbakti sekali. Ia melayani suhunya dengan amat baiknya, bahkan ketika Bu Pun Su datang berkunjung ke pulau itu, ia dapat pula menipu kakek jembel ini hingga Bu Pun Su juga salah sangka dan memuji murid adik seperguruannya ini, lalu menurunkan semacam kepandaian ilmu silat kepada Song Kun. Di atas pulau itu, selain Song Kun dan gurunya, telah ada tiga ekor binatang sakti yang dulu dipelihara oleh Bu Pun Su, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas dan Harimau Bertanduk. Ketika dulu Bu Pun Su bertapa di pulau itu, ia memelihara ketiga ekor binatang ini dan kemudian meninggalkannya kepada Han Le yang tetap berdiam di pulau itu.

 Selama Lie Kong sian pergi merantau, Song Kun dapat menipu suhunya dan membujuk hingga Han Le lalu memberi pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Dan pada suatu hari, tanpa memberi tahu kepada suhunya, Song Kun minggat dari pulau itu! Han Le terkejut sekali dan mulailah ia merasa sedih dan jatuh sakit berat di atas pulau itu.

 Kebetulan sekali Lie Kong Sian datang ke Pulau Kim-san-to untuk mengunjungi suhunya dan sutenya. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat suhunya dalam keadaan sakit berat. Cepat-cepat ia menolong dan merawatnya, akan tetapi terlambat. Agaknya memang sudah menjadi takdir Han Le untuk meninggalkan dunia ini di pulau itu! Sebelum ia menutup mata, ia meninggalkan pesan kepada Lie Kong Sian.

 “Muridku, kalau aku telah mati, kuburkanlah mayatku dalam gua ini, dan juga pedangku ini harus ikut di tanam pula, kemudian kau pergilah mencari sutemu Song Kun. Selidikilah keadaannya karena aku kuatir sekali kalau-kalau ia mencemarkan namaku dengan perbuatan rendah. Akan tetapi, kau berhati-hatilah menghadapinya, Kong Sian, karena ilmu silatnya hampir sempurna. Kalau kau perlu bantuan, kau carilah supekmu Bu Pun Su untuk membantu menangkapnya. Selain supekmu Bu Pun Su, kukira tidak ada orang lain yang akan dapat melawannya!”

 Tak lama kemudian, setelah Lie Kong Sian memenuhi pesanan suhunya yang telah meninggal, yaitu mengubur jenezah suhunya berikut pedangnya di dalam gua yang penuh pasir itu, lalu ia meninggalkan Pulau Kim-san-to. Ketiga ekor binatang sakti masih berdiam di pulau itu dengan sedih dan kesunyian.

 Lie Kong Sian berhasil bertemu dengan sutenya, akan tetapi, biarpun ia melihat bahwa sutenya ini menyimpang dari perjalanan hidup yang benar, ia tidak tega untuk minta pertolongan Bu Pun Su. Semenjak kecil ia hidup di atas pulau, belajar silat bersama sutenya ini hingga ia pandang Song Kun seperti adik sendiri yang amat ia kasihi, maka ketika ia melihat akan kesesatan Song Kun, ia hanya memberi nasihat. Akan tetapi, benar sebagaimana dugaan suhunya, adiknya itu tidak mau menurut bahkan menantangnya hingga mereka lalu berkelahi! Tingkat kepandaian mereka memang sama, akan tetapi Song Kun memiliki kecepatan yang lebih hebat hingga akhirnya Lie Kong Sian dapat dikalahkan dan terpaksa melarikan diri.

 Hal ini amat mendukakan hati Lie Kong Sian. Untuk minta bantuan Bu Pun Su, ia tidak tega melihat adiknya terhukum, kalau didiamkan saja bagaimana. Maka dalam kebimbangan dan keraguannya, ia lalu kembali ke Pulau Kim-san- to dan menangis di depan kuburan suhunya, mengakui akan kelemahannya. Kemudian ia lalu mengasingkan diri, bertapa di sebuah pulau kosong tak jauh dari Kim-san-to, sebuah pulau kecil yang disebut Pulau Pek-le-to. Seringkali Merak Sakti terbang ke pulau itu untuk mengunjunginya, dan juga beberapa kali Lie Kong Sian mendayung perahu kecil mengunjungi pulau di mana suhunya dimakamkan itu.

 Demikianlah selama beberapa tahun bertapa di Pulau Pek-le-to, Kong Sian menuntut penghidupan tenteram, sampai pada hari itu ia dikejutkan oleh ledakan yang datang dari arah Pulau Kim-san- to. Kemudian datang Sin-kim-tiauw yang membawa tubuh Ang I Niocu yang pingsan, maka tentu saja ia menjadi heran, akan tetapi kepada siapa ia harus bertanya? Setelah menepuk-nepuk punggung rajawali itu, Kong Sian kembali ke dalam gua.

 Seperti tadi, ia berdiri memandang Ang I Niocu dan kembali ia merasa jantungnya berdebar aneh. Ia menjadi terkejut sekali oleh karena belum pernah selama hidupnya ia mendapat perasaan seperti ini, sungguhpun telah banyak ia jumpai wanita-wanita cantik selama ia merantau. Ia maklum pengaruh apa yang mencengkeram hatinya, maka dengan wajah pucat ia segera membuang muka dan tidak mau memandang lagi. Akan tetapi oleh karena hatinya masih saja berdebar, ia lalu pergi ke sudut gua di mana terdapat sebuah batu besar yang ia tilami jerami kering di atasnya, lalu duduk dan bersamadhi untuk menenteramkan hatinya yang terguncang!

 Tak lama kemudian, Kong Sian berhasil menekan perasaan hatinya yang bergelora itu, maka ia lalu turun dari atas batu dan menghampiri Ang I Niocu kembali. Dilihatnya betapa wajah dara itu merah sekali dan pernapasannya sesak. Ia mengulurkan tangan meraba jidat gadis itu dan mendapat kenyataan bahwa gadis itu terserang demam hebat. Maka cepat ia keluar dari gua dan mencari daun obat yang banyak tumbuh di atas pulau Pek-le-to, lalu memeras daun itu dan meminumkan airnya pada Ang I Niocu, kemudian dengan saputangan yang dibasahi air ia lalu mengompres kepala Ang I Niocu.

 Kekagetan dan ketakutan yang menyerang Ang I Niocu, ditambah lagi dengan pukulan hawa ledakan yang dahsyat itu, membuat gadis itu pingsan dan menderita sakit demam hebat selama tiga hari. Dan selama itu, dengan setia dan hati penuh iba Kong Sian menjaga di sampingnya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Akan tetapi selama tiga hari itu, beberapa belas kali terpaksa Lie Kong Sian yang biasa berhati teguh dan beriman baja itu harus pergi duduk untuk bersamadhi dan mengatur pernapasannya menekan perasaan yang menggelora di dalam dadanya!

 Pada hari ke empatnya, tubuh Ang I Niocu sudah mulai bergerak-gerak dengan gelisah, akan tetapi tubuhnya ternyata lemah sekali. Karena pergerakan yang gelisah itu, beberapa kali mantel yang menutupi tubuhnya terbuka dan dengan cepat dan sopan, Kong Sian lalu menutupkannya kembali. Kemudian ia lalu mengurut jalan darah gadis itu hingga Ang I Niocu merasa mendingan dan tidak begitu gelisah lagi, akan tetapi gadis itu masih belum membuka matanya. Sambil bergerak perlahan dengan mata tertutup ia berbisik.

 “Lin Lin…. Hai-ji….” Kemudian sambil mengeluarkan ujung lidah yang disapu-sapukan pada bibirnya ia berbisik lagi, “Air…. air….”

 Ketika Kong Sian meraba jidatnya, maka ternyata panasnya telah naik lagi. Kong Sian merasa kuatir sekali dan segera mengambil air yang telah dimatangkannya, lalu dengan sebuah sendok yang terbuat dari kayu, ia menyuapi air matang ke dalam mulut Ang I Niocu yang menelannya dengan lahap sekali. Kong Sian lalu mengambil bubur gandum yang tadi di masaknya, lalu dengan perlahan ia menyuapkan bubur ini sesendok demi sesendok ke dalam mulut gadis itu yang menelannya tanpa membuka mata.

 Setelah diberi makan bubur, gadis itu lalu tertidur kembali dan panasnya menurun. Kong Sian tetap menjaga dengan perasaan penuh iba. Dalam perawatan ini, timbullah rasa cinta yang amat besar dan mendalam di hati pemuda yang telah berusia tiga puluh lima tahun ini. Memang tadinya Kong Sian mengambil keputusan untuk tidak kawin selama hidupnya dan tinggal di pulau itu menjadi pertapa, mempelajari ilmu batin, ilmu silat, dan ilmu pengobatan. Akan tetapi semenjak pertemuannya dengan Ang I Niocu dalam keadaan yang ganjil ini, hatinya selalu bergoncang keras dan ia merasa betapa hidup ini baginya menjadi berubah sama sekali. Sering kali ia duduk di dekat Ang I Niocu dan membayangkan betapa akan hancur hatinya dan kosong hidupnya apabila gadis ini meninggal dunia karena sakitnya.

 Setelah dirawat dengan amat teliti dan telaten oleh Kong Sian selama dua hari dua malam dalam keadaan setengah sadar dan belum pernah selama itu Ang I Niocu membuka matanya, maka lenyaplah demam yang menyerangnya. Tubuhnya menjadi segar kembali dan biarpun tubuhnya masih agak lemah, akan tetapi ia tidak gelisah lagi. Pada hari ke tujuh semenjak ia tiba di situ, pagi-pagi hari Ang I Niocu membuka kedua matanya bagaikan baru bangun dari alam mimpi yang dahsyat. Ia bangun sambil tersentak kaget dan begitu membuka mata, ia lalu bangun duduk sambil memanggil nyaring.

 "Lin Lin…. Hai-ji….. " dan cahaya kekuatiran hebat terbayang pada wajahnya yang cantik.

 Akan tetapi, alangkah kaget dan herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa ia sedang duduk diatas setumpuk rumput kering di dalam sebuah gua dan melihat seorang laki-laki cakap duduk di dekatnya sambil memandangnya dengan kagum sekali karena setelah kini Ang I Niocu membuka matanya Kong Sian merasa seakan-akan ia melihat seorang bidadari yang duduk di situ. Alangkah indah mata gadis itu!

 Ang I Niocu meloncat ke atas karena kagetnya dan terlepaslah mantel penutup tubuhnya, hingga Kong Sian juga buru-buru melompat ke belakang dan memutar tubuhnya membelakangi gadis itu.

 "Nona, pakailah mantel itu baik-baik, baru kita bicara!" katanya perlahan dan halus.

 Sementara itu Ang I Niocu terkejut bukan main melihat betapa pakaiannya telah robek tidak karuan hingga ia hampir telanjang! Buru-buru dan dengan muka merah karena jengah, ia lalu menyambar mantel itu kembali dan menyelimuti tubuh dengan mantel itu dengan ikat pinggangnya yang berwarna kuning emas. Setelah selesai, maka dengan mata bernyala ia lalu menubruk dan menyerang Kong Sian dari belakang.

 "Bangsat kurang ajar! Kau berani menghinaku?" serunya.

 Mendengar sambaran angin pukulan, Kong Sian merasa terkejut sekali dan cepat ia mengelak sambil berkata,

 "Eh, Nona, sabar dulu... aku... aku …."

 Biarpun merasa tubuhnya masih lemah, akan tetapi oleh karena marah maka Ang I Niocu tetap menyerang dengan hebat sambil mengeluarkan ilmu silatnya Kong-ciak Sian. Kong Sian merasa terkejut sekali oleh karena tentu saja ia mengenal ilmu silat dari suhunya ini, maka dengan heran ia lalu melayani Ang I Niocu dengan baik. Makin kagumlah ia ketika mendapat kenyataan bahwa ilmu gerakan gadis ini ternyata lihai sekali dan biarpun tenaganya masih lemah, akan tetapi ginkang dan lweekang gadis ini menyatakan bahwa ia menghadapi seorang pendekar wanita yang tak boleh dibuat gegabah. Ia pikir bahwa gerakan-gerakan ini membahayakan kesehatan gadis yang baru saja sembuh itu, maka dengan cepat ia lalu membalas serangan Ang I Niocu dengan totokan- totokan luar biasa dan karena Ang I Niocu belum cepat gerakannya disebabkan tubuhnya yang masih lemah, pula oleh karena ilmu kepandaian silat Kong Sian memang masih lebih tinggi, maka sebentar saja pemuda itu berhasil menotok pundak Ang I Niocu yang segera mengeluh dan roboh dengan lemas!

 Kong Sian segera mengangkat tubuh Ang I Niocu dan membawanya keluar gua di mana ia menaruh tubuh gadis itu di bawah sebatang pohon dan angin gunung yang sejuk membuat Ang I Niocu merasa nyaman sekali.

 "Nona, banyak sekali hal yang perlu kita bicarakan. Harap kau bersabar mendengarkan bicaraku. Pertama-tama yang perlu kauketahui ialah kau sama sekali keliru menyangka padaku. Aku bukanlah orang jahat dan sama sekali aku tidak mempunyai maksud buruk terhadapmu. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang yang mengasingkan diri di pulau ini dan tujuh hari yang lalu, Sin-kim-tiauw datang terbang ke mari sambil mencengkeram tubuhmu yang telah pingsan! Kemudian kau jatuh sakit tidak sadarkan diri sampai tujuh hari dan aku merawatmu di dalam gua itu!"

 Mendengar ucapan ini, lenyaplah sinar marah dari mata Ang I Niocu danKong Sian lalu mengulur tangan memulihkan totokannya pada pundak gadis itu sambil berkata, "Biarlah, kalau kau tetap tidak percaya kepadaku, kauseranglah aku lagi, aku tak hendak membalas untuk menyatakan bahwa kata-kataku tadi benar belaka!"

 Setelah sadar dari totokan, Ang I Niocu memandang dengan mata bengong dan ia tidak berkutik dari tempat duduk. Tubuhnya masih merasa lemah dan ia menyandarkan diri pada pohon itu.

 "Benar-benar masih hidupkah aku?" tanyanya perlahan setengah berbisik, karena sekarang ia teringat betapa ia telah dilontarkan ke atas oleh ledakan dahsyat itu dan kemudian ia tidak ingat apa-apa lagi.

 Kong Sian tersenyum dan wajahnya yang tadi nampak bersungguh-sungguh itu berubahlah setelah ia tersenyum. Sekarang ia tampak tampan dan matanya memancarkan seri gembira. "Tentu saja kau masih hidup, Nona, kalau tidak bagaimana kau bisa berada di sini? Kau berada di Pulau Pek-le-to dan di pulau ini hanya akulah penghuni satu-satunya."

 "Bagaimana seekor rajawali dapat membawaku ke sini?" Di mana burung itu?" tanya Ang I Niocu yang masih merasa ragu-ragu oleh karena ia masih kurang percaya kepada cerita yang aneh itu.

 Lie Kong Sian lalu berdiri dan bersuit keras. Dari atas lalu terdengar suara balasan dari seekor burung dan tiba-tiba nampaklah setitik hitam yang tinggi menyambar turun dengan cepatnya. Setelah tiba dekat, ternyata yang melayang turun itu adalah seekor burung rajawali besar, mengingatkan Ang I Niocu kepada burung rajawali yang dulu menyambar-nyambarnya di atas perahu ketika ia masih mencari Pulau Kim-san-to di atas perahu bersama Cin Hai dan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio. Akan tetapi rajawali ini lebih besar dan bulunya indah sekali. Sin-kim-tiauw terbang rendah lalu turun di depan Kong Sian, memandang kepada Ang I Niocu dengan sepasang matanya yang tajam sinarnya.

 "Nah, inilah Sin-kim-tiauw yang membawamu ke sini. Sekarang akulah yang minta keterangan kepadamu bagaimana kau bisa terbawa oleh burung sakti ini."

 "Aku…. aku berada di Pulau Kim- san-to dan pulau itu terbakar lalu meledak hingga aku terlempar ke udara oleh ledakan itu kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi. Agaknya ketika tubuhku melayang di udara dalam keadaan pingsan, burung sakti ini menyambar diriku dan membawanya ke sini. Kalau begitu, dia adalah penolong jiwaku!" Setelah berkata demikian, Ang I Niocu lalu berdiri dan ia berlutut di depan burung itu!

 Kim-tiauw itu adalah seekor burung yang luar biasa cerdiknya. Melihat Ang I Niocu, ia agaknya tahu dan dengan keluhan panjang ia lalu menundukkan kepalanya dan membelai kepala Ang I Niocu dengan lehernya yang berbulu tebal. Kemudian, sambil memekik girang burung itu lalu terbang ke atas dan berputaran di udara seakan-akan merasa girang sekali bahwa ada orang yang berterima kasih dan berlutut padanya!

 "Kau katakan tadi bahwa aku jatuh sakit dan tidak ingat diri sampai tujuh hari di sini?" tanya Ang I Niocu sambil menghadapi Kong Sian kembali. Mereka masih duduk di atas rumput, berhadapan.

 Kong Sian mengangguk. "Ya, kau pingsan tiga hari tiga malam dan tubuhmu panas sekali. Kau terserang demam hebat dan tiap hari mengigau dalam keadaan tidak ingat orang. Kemudian kau dapat bergerak, akan tetapi kau gelisah dan panas sekali dan sama sekali tidak membuka matamu. Aku telah merasa kuatir sekali dan sudah hampir habis harapanku untuk dapat melihat kau hidup lagi."

 Ketika Kong Sian sedang bercerita, Ang I Niocu memandang dengan penuh keheranan. Duduk berhadapan dengan Kong Sian dan mendengar suara orang ini bercerita tentang keadaannya, ia merasa seakan-akan ia telah menjadi kenalan lama, apa lagi ketika ia dapat menangkap nada suara yang penuh getaran karena terharu pada saat pemuda itu menceritakan kegelisahannya melihat dia sakit!

 “Kalau begitu, selama tujuh hari aku menderita sakit… akan tetapi sungguh heran… bagaimana aku masih dapat hidup….?”

 Kong Sian merasa segan dan malu untuk menceritakan betapa ia merawat gadis ini selama sakit, maka ia hanya menjawab, “Thian itu adil dan selalu melindungi orang-orang baik, maka Thian telah melindungimu dari keadaan yang membahayakan jiwamu itu.”

 Ang I Niocu menggeleng kepalanya. “Betapapun juga, kalau dalam keadaan sakit aku tidak diberi obat dan selama tujuh hari tidak makan apa-apa, tidak mungkin aku akan dapat hidup! Siapakah yang merawatku dan siapa yang memberi makan padaku?”

 Merahlah wajah Kong Sian mendengar ini. Sikapnya menjadi canggung sekali dan suaranya menjadi gagap ketika ia menjawab, “Memang… aku telah… aku yang memberi obat padamu dan… dan melihat kau begitu lemah dan gelisah…. aku memberi bubur gandum kepadamu."

 Sinar terima kasih yang amat mendalam terbayang pada mata Ang I Niocu ketika mendengar ini, karena biarpun pemuda itu tidak menceritakannya, ia sudah dapat menduganya. Sikap ragu-ragu untuk memberitahukan bahwa pemuda itu telah merawatnya, membuat pandangannya terhadap pemuda itu semakin tinggi dan kagum sekali. Sikap ini menunjukkan betapa tinggi pribadi orang ini. Akan tetapi tiba-tiba Ang I Niocu teringat akan sesuatu dan sinar kemarahan tercampur keraguan membayang kembali pada wajahnya yang menjadi makin memerah.

 "Dan... keadaan pakaianku ini…!” Ia lalu melompat berdiri lagi, kedua tangannya terkepal, "katakanlah terus terang, apa yang terjadi dengan pakaianku? Dan mengapa pula kau menyelimutkan dengan mantel? Mantel siapakah ini?" Pertanyaan ini diucapkan dengan ketus dan marah oleh karena ia merasa bercuriga.

 Kong Sian menarik napas panjang. "Nona, kalau saja bukan kau yang bersikap seperti ini dan menyangka yang bukan-bukan terhadap aku, tentu aku akan naik darah dan menjadi marah sekali! Kaukira aku Lie Kong Sian ini orang macam apakah? Nona, kau boleh maki padaku, bahkan kau boleh menyerangku, akan tetapi janganlah sekali-kali kau menyangka aku berlaku rendah dan biadab terhadap dirimu! Ketika Sin-kim-tiauw datang membawamu ke sini, pakaianmu sudah robek semua dan tidak keruan macamnya, maka lalu aku menyelimutimu dengan mantelku. Nah, itulah keadaan yang sebenarnya!"

 Sambil berkata demikian, teringatlah Kong Sian akan hal itu hingga ia menundukkan kepala dengan kemalu-maluan.

 Kalau saja ia tidak menundukkan mukanya, tentu ia akan melihat betapa Ang I Niocu menjadi merah sekali mukanya dan betapa kedua mata gadis itu mencucurkan air mata! Tiba-tiba Ang I Niocu lalu menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah di depan pemuda itu sambil berkata dengan suara penuh keharuan, "In-kong (Tuan Penolong), maafkanlah aku yang kasar dan yang telah menuduhmu yang bukan-bukan! Kau telah menolong jiwaku, telah merawatku selama tujuh hari, memberi obat, menyuapkan makan akan tetapi aku yang tertolong bahkan telah menuduhmu yang bukan-bukan! Maafkanlah aku ….." Ang I Niocu mengucapkan kata-kata ini sambil menangis karena tidak saja ia merasa terharu, akan tetapi ia juga teringat akan semua peristiwa dan ia menguatirkan keadaan Lin Lin dan Cin Hai!

 Lie Kong Sian berkata dengan halus, "Duduklah, Nona, dan legalah hatiku karena sekarang kau telah percaya kepadaku."

 Ang I Niocu bangun dan duduk kembali sambil menyusut air matanya dengan ujung mantelnya. Ia kini merasa amat jengah dan malu hingga ia tidak berani memandang langsung kepada pemuda itu.

 "Yang amat mengherankan," katanya kemudian, "mengapa tubuhku tidak terluka sedangkan aku dicengkeram dan dibawa terbang oleh seekor burung rajawali yang begitu besar dan ganas.”

 “Tak usah kau merasa heran, Nona. Sin-kim-tiauw bukanlah burung rajawali biasa. Ia sudah terlatih baik sekali oleh Supekku yang sakti, dan mungkin hanya Supek Bu Pun Su saja yang dapat melatihnya.”

 Ang I Niocu mengangkat kepalanya dan memandang tajam. “Apa? Jadi kau adalah murid keponakan dari Suhu Bu Pun Su?”

 Kong Sian juga memandang heran. “Benar, mendiang Suhuku yang bernama Han Le adalah sute dari Supek Bu Pun Su. Nona, ketika kau menyerangku di dalam gua tadi kau telah mainkan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna. Dari siapakah kau memperoleh ilmu itu?”

 Dengan girang sekali Ang I Niocu berkata, “Kalau begitu, kau masih terhitung suhengku (kakak seperguruan) karena aku pernah menerima latihan silat dari Suhu Bu Pun Su! Biarpun sesungguhnya Suhu Bu Pun Su masih menjadi susiok couwku sendiri karena mendiang ayahku adalah murid keponakannya. Akan tetapi akhir-akhir ini aku mendapat latihan Kong-ciak-sinna dan Pek-in -hoat- sut dari Suhu Bu Pun Su hingga aku boleh juga menyebutnya Suhu!"

 Bukan main girang rasa hati Kong Sian "Ah, ah, dunia ini memang tidak berapa luas! Siapa tahu bahwa aku telah menolong seorang saudara sendiri. Sumoi, sungguh-sungguh aku merasa girang sekali mendengar ini. Akan tetapi, siapakah mendiang Ayahmu?"

 "Ayahku adalah Kiang Liat," jawab Ang I Niocu dengan singkat oleh karena ia merasa malu membicarakan ayahnya yang mati karena gila!

 Kong Sian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku pernah mendengar dari Suhu tentang ayahmu itu yang berjuluk Jian-jiu-sianjin (Manusia Dewa Tangan Seribu). Ketika merantau, aku pernah mendengar nama besar dari seorang pendekar wanita yang berjuluk Ang I Niocu, apakah kau sendiri orang itu?"

 Ang I Niocu mengangguk. "Memang itu nama julukanku yang kosong tak berisi. Namaku adalah Kiang Im Giok, seorang yatim piatu yang hidup sunyi dan penuh penderitaan." "Sumoi, kata-katamu ini benar-benar menyentuh jiwaku. Aku Lie Kong Sian juga merasa bosan sekali di dunia ramai karena hidupku sebatang kara penuh kesunyian."

 Keduanya berdiam sampai lama, dan tenggelam dalam lamunan masing-masing. Kemudian Kong Sian minta kepada Ang I Niocu untuk menceritakan pengalamannya ia sampai dapat berada di Pulau Kim-san-to. Dengan panjang lebar Ang I Niocu lalu menceritakan semua pengalamannya dan menyebut nama-nama Cin Hai, Lin Lin, Kwee An, Ma Hoa, Nelayan Cengeng dan juga nama Yousuf dan lain- lain. Setelah selesai bercerita, Kong Sian lalu menepuk kepalanya sendiri sambil berkata,

 "Ah, memang aku yang percuma dihidupkan di atas dunia ini! Telah terjadi peristiwa yang besar dan demikian banyaknya serta membutuhkan tenaga bantuanku, akan tetapi yang kukerjakan hanyalah duduk melamun di pulau ini! Sampai-sampai Pulau Kim-san-to telah kutinggalkan bertahun-tahun hingga sekarang lenyap dimakan api! Ah, arwah Suhu tentu marah melihat sikapku ini. Memang aku seorang yang berjiwa lemah!" Ia menghela napas berulang-ulang dan merasa kecewa terhadap diri sendiri.

 "Suheng, kau adalah seorang gagah dan mulia dan melihat gerakanmu ketika kau menotok roboh padaku tadi, aku yakin bahwa ilmu kepandaianmu tentu tinggi sekali. Mengapa kausia-siakan diri di tempat ini? Mengapa kau tidak mau terjun di dunia ramai dan melakukan darma bakti sebagai seorang yang berkepandaian? Kalau kau mengasingkan diri di tempat ini, bukankah berarti sia-sia saja kau mempelajari kepandaian sampai bertahun-tahun?"

 Seperti biasa Ang I Niocu selalu merasa bahwa ia lebih berpengalaman dan lebih "berakal" daripada orang lain, maka di dalam ucapannya ini terkandung nasihat-nasihat, teguran dan penyesalan, seperti biasa orang-orang tua menasehati anak-anak atau guru menasehati murid. Memang, selama ia menjelajah di dunia kang-ouw, yang disegani oleh Ang I Niocu dan yang membuat ia tunduk hanyalah Bu Pun Su seorang, sedangkan kepada lain-lain orang ia bersikap “lebih tinggi".

 Kong Sian tersenyum mendengar ucapannya ini. "Sumoi, memang demikianlah dipandang sepintas lalu. Akan tetapi, selama kau malang melintang di dunia ramai, apakah yang kau dapat? Hanya permusuhan, kejahatan, dan perkelahian mengadu jiwa, bunuh-membunuh sesama manusia. Aku sudah bosan menghadapi semua itu. Di sini aku mendapat ketenteraman jiwa dan tidak terpengaruh oleh kejahatan-kejahatan manusia yang terjadi di dunia ramai. Memang, sewaktu-waktu aku tentu keluar, dari sini untuk meninjau dunia ramai hingga tidak terputus hubunganku dengan manusia umumnya, akan tetapi, tempat ini telah kupilih untuk menjadi tempat tinggalku yang tetap di mana aku dapat hidup dengan tenteram dan aman sentausa!"

 Ucapan ini membuat Ang I Niocu tertegun. Terutama kata-kata pertanyaan yang diucapkan oleh suhengnya ini berkesan di dalam hatinya. Apakah yang ia dapat selama ini? Hanya kesedihan, kekecewaan, dan permusuhan belaka. Demikianlah, kedua orang itu lalu bercakap-cakap dengan asyiknya, menceritakan pengalaman masing-masing. Ketika mendengar tentang Cin Hai yang menjadi murid Bu Pun Su dan yang amat dipuji kepandaiannya oleh Ang I Niocu, Lie Kong Sian merasa kagum sekali.

 "Ah, ingin sekali aku bertemu dengan dia itu! Memang sungguh mengagumkan bahwa seorang pemuda yang masih demikian muda sudah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian pokok dari Supek Bu Pun Su. Suhu dulu pernah menyatakan bahwa ilmu pengertian pokok segala gerakan ilmu silat adalah kepandaian tunggal Supek yang membuat ia menjadi seorang yang tiada lawannya dalam dunia persilatan. Dan ia sudah mampu mencipta sendiri ilmu pedangnya. Sungguh mengagumkan." Diam-diam Kong Sian membandingkan anak muda itu dengan sutenya Song Kun yang juga amat lihai ilmu silatnya.

 Sambil merawat dan memulihkan kesehatannya, Ang I Niocu berdiam di pulau itu dan melatih ilmu-ilmu silat bersama Kong Sian. Ia telah menggunakan waktu senggang untuk menjahit kembali pakaiannya hingga kini tak perlu lagi ia menyelimuti diri dengan mantel pemuda itu. Dalam latihan ilmu silat, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat pemuda itu benar-benar hebat dan lihai sekali hingga boleh dikata masih lebih tinggi setingkat daripada ilmu kepandaiannya sendiri. Oleh karena ini, ia mendapat petunjuk-petunjuk dari suhengnya ini yang juga merasa kagum sekali melihat kepandaian sumoinya.

 Ketika mendengar tentang Song Kun, Ang I Niocu menyatakan pendapatnya,

 "Suheng sudah terang bahwa sutemu itu jahat dan membahayakan keselamatan umum, mengapa kau tidak pergi mencari dan menasihatinya?"

 “Dulu sudah pernah aku mencarinya, akan tetapi dia tidak mau mendengar nasihatku," jawab Kong Sian dengan suara sedih.

 "Kalau begitu, kau harus menggunakan kekerasan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk memberantas kejahatan, dan siapapun juga orangnya yang berlaku jahat, harus kita berantas!"

 "Kami bahkan telah bertempur dan aku tak dapat mengalahkan. Ilmu kepandaiannya walaupun tidak lebih daripada kepandaianku, namun ia memiliki bakat luar biasa serta kelincahan yang mengagumkan sekali. Dan….. dan aku tidak tega melihat ia mendapat celaka. Aku amat menyayangnya seperti adik sendiri, sumoi."

 Ang I Niocu memandangnya tajam dan kagum. "Kau memang seorang berhati mulia, akan tetapi kau terlalu lemah, Suheng. Agaknya, kalau kau sudah mencinta seseorang, kau akan membelanya sampai mati! Sayang tidak ada seseorang wanita yang mendapat kehormatan menerima cinta hatimu itu, Suheng. Alangkah bahagianya seorang wanita yang mendapat cinta hati seorang mulia seperti kau ini!" Ucapan ini sebetulnya hanya muncul dari watak yang jujur dari Ang I Niocu karena ia merasa betapa ada persesuaian antara dia dan Kong Sian. Dia sendiri pun kalau sudah mencinta orang, ia rela membelanya dengan taruhan jiwa sekalipun. Seperti halnya Lin Lin dan Cin Hai, ia rela untuk mengorbankan jiwa demi kebahagiaan mereka! Akan tetapi, tak disangkanya, ketika mendengar ucapan yang diucapkan sewajarnya ini, tiba-tiba Kong Sian menjadi pucat sekali.

 "Suheng, kau….. kau kenapakah?"

 Sambil menundukkan kepala dan tak berani menentang mata Ang I Niocu, Kong Sian lalu berkata perlahan, "Sumoi, sebetulnya lidahku seakan-akan beku untuk mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi, biarlah aku berterus terang saja. Sebelum bertemu dengan kau, tak pernah terpikir olehku tentang diri seorang wanita dan aku telah mengambil keputusan untuk hidup menyendiri di pulau ini sampai mati. Akan tetapi…. setelah aku bertemu dengan kau… bahkan sebelum aku mengetahui siapa adanya kau, melihat kau menderita sakit tanpa mengetahui apakah kau orang baik-baik atau orang jahat, hatiku sudah…. tertarik sekali kepadamu dan… dan…. " kemudian ia mengangkat mukanya dan dengan wajah pucat ia memandang kepada gadis itu dengan mata sayu, "Sumoi… maafkan kata-kataku ini… kita sama-sama hidup tidak berisi sakan-akan kosong dan sunyi. Maukah kau….. maukah kau menghabiskan sisa hidupmu dengan aku di pulau ini?"

 Warna merah menjalar di seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya, dan matanya terbelalak ketika ia memandang pemuda itu. "Suheng….. apakah maksudmu?" tanyanya dengan suara gemetar.

 "Sumoi, kalau kau sudi, marilah kita hidup bersama di pulau ini…. maksudku, kita hidup sebagai suami isteri!"

 Kini mata Ang I Niocu memandang tajam. “Mengapa, Suheng? Mengapa kau mengajukan usul ini? Apakah yang mendorongmu?"

 Sementara itu, Kong Sian sudah dapat menetapkan hatinya yang tadi berguncang. Dengan gagah ia lalu mengangkat muka memandang wajah Ang I Niocu sepenuhnya. "Sumoi, biarlah kau mendengar pengakuanku. Biarpun kau akan mentertawaiku, akan mencaci, biarlah! Aku cinta kepadamu, Sumoi, sebagai cinta seorang laki-laki terhadap seorang wanita! Belum pernah ada perasaan demikian di hatiku, akan tetapi setelah aku melihatmu, aku cinta padamu, cinta dengan sepenuh jiwaku! Maka, sekarang aku mengajukan pinangan kepadamu, Sumoi, kalau kau sudi, sukalah kiranya kau menjadi isteriku dan kita menghabiskan sisa hidup sebagai suami isteri di pulau ini."

 Tiba-tiba tanpa dapat ditahan lagi, mengalirlah air mata dari kedua mata Ang I Niocu hingga Kong Sian menjadi terkejut dan berkata halus,

 "Sumoi, kalau aku menyinggung dan melukai hatimu, ampunkanlah aku. Aku tidak akan memaksamu, Sumoi, demi Tuhan Yang Maha Kuasa, kalau kau tidak suka menerima katakanlah tanpa ragu-ragu atau sungkan-sungkan lagi. Aku takkan menyesal kepadamu, hanya akan menyesali diri sendiri yang bodoh dan tidak tahu diri!"

 Sambil menghapus air matanya, Ang I Niocu menggelengkan kepala berkali-kali dan berkata, "Bukan demikian, Suheng. Jangan kau salah sangka. Aku... aku hanya merasa terharu sekali mendengar pernyataanmu yang sama sekali tak pernah kusangka-sangka itu. Aku telah menerima budi pertolonganmu yang besar yang selama hidupku takkan pernah kulupa. Kau telah menolong jiwaku dan kalau seandainya tidak ada kau, aku Kiang Im Giok pasti sudah mati! Dan seandainya aku tidak terjatuh dalam tanganmu, akan tetapi dalam tangan laki-laki lain ah... entah nasib apa yang akan kuderita! Kau seorang gagah dan mulia, Suheng, terlalu mulia bagiku….. aku…. aku seorang yang jahat dan kotor! Ketahuilah, ketika aku masih muda, aku telah jatuh cinta yang akhirnya mengorbankan nyawa Ayahku sendiri. Aku tidak berharga bagimu, Suheng."

 "Im Giok, aku sudah tahu akan hal itu dari Suhuku. Aku pernah mendengar betapa kekasihmu dibunuh oleh ayahmu sendiri. Akan tetapi, kau tidak bersalah dalam hal itu. Ayahmu meninggal dunia oleh karena serangan penyakit jantung yang berbahaya. Wajar bagi seorang gadis untuk jatuh cinta!"

 "Bukan itu saja, Suheng. Semenjak peristiwa itu, aku membenci laki-laki! Banyak pemuda yang jatuh cinta kepadaku, sengaja kupermainkan perasaan cintanya hingga mereka menjadi seperti gila! Aku berlagak membalas perasaan mereka dan apabila mereka telah menjadi gila betul-betul, aku meninggalkannya. Banyak yang sudah menjadi korban, bahkan seorang pemuda yang baik budi bernama Kang Ek Sian, yang bahkan telah dipilih oleh Suhu Bu Pun Su sendiri untuk menjadi suamiku, telah kupermainkan dan kupatahkan hatinya!"

 Kong Sian menggeleng kepala dan menarik napas dalam. "Memang kau telah berlaku kejam dan sesat, Sumoi, akan tetapi pengakuanmu ini meringankan dosamu, tanda bahwa kau telah insyaf. Aku tidak menyesal mendengar ini dan tidak mengurangi rasa cintaku padamu."

 "Masih ada lagi, Suheng….. " kata Ang I Niocu sambil mengusap air mata yang menitik ke atas pipinya, "aku…. aku yang tidak tahu diri telah jatuh hati akhirnya! Dan aku jatuh hati serta mencinta dengan sepenuh jiwaku kepada seorang pemuda yang usianya jauh lebih muda dariku, padahal ketika aku bertemu dengan dia, aku telah berusia dua puluh tahun lebih dan dia baru berusia dua belas tahun! Aku…. aku yang tidak tahu malu ini diam-diam mencinta padanya, dan…. dan orang itu adalah Cin Hai, murid Suhu Bu Pun Su yang pernah kuceritakan padamu!"

 "Hm, jadi karena itukah maka kau mati-matian hendak mengorbankan nyawamu menolong Lin Lin seperti yang kau ceritakan itu? Sumoi, kau benar- benar seorang mulia yang bernasib malang dan patut dikasihani! Aku dapat membayangkan betapa suci dan mulia rasa cintamu terhadap Cin Hai! Melihatpemuda itu mencinta seorang gadis lain, kau tidak sakit hati, bahkan kau berdaya sekuat tenaga hendak mempertemukan mereka! Aku tahu, Sumoi, aku dapat menyelami jiwamu dan aku merasa bersyukur sekali bahwa kau dapat mengatasi perasaan-perasaan yang kurang baik. Sumoi, cerita dan pengakuanmu ini mempertinggi nilai dirimu dalam pandanganku."

 Ang I Niocu mengangkat muka dan memandang heran. "Apa? Kau tidak marah kepadaku, Suheng? Tidak memandang rendah padaku setelah segala apa yang kuceritakan padamu itu?"

 Kong Sian menggeleng-geleng kepalanya sambil tersenyum dan dari matanya bersinar cinta kasih yang diliputi kekaguman hati. "Pengakuanmu bahkan mempertebal rasa cintaku, Sumoi. Sudah wajar bagi setiap manusia untuk menjalankan kekeliruan, akan tetapi, setiap kekeliruan akan musnah apabila orang itu menyadari dan menginsyafinya. Kau adalah seorang mulia."

 Lemaslah seluruh anggota tubuh Ang I Niocu mendengar ini dan ia lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas rumput sambil menangis.

 "Im Giok, jangan kau merasa berat untuk menolak permintaanku tadi. Aku maklum bahwa aku memang mungkin terlalu tua bagimu dan…. "

 "Tidak Suheng. Usia kita tidak berselisih jauh."

 "Apa??? ]angan kau membohongi aku, Sumoi!" kata Kong Sian dengan heran.

 Ang I Niocu tersenyum sedih diantara air matanya. "Aku tidak membohong, Suheng. Memang mungkin aku nampak lebih muda oleh karena aku banyak makan telur dari pek-tiauw (rajawali putih), akan tetapi sesungguhnya aku telah berusia tiga puluh lebih, sedikitnya tiga puluh dua tahun!"

 Kong Sian mengangguk-angukkan kepalanya karena sebagai seorang ahli pengobatan yang menerima warisan kepandaian dari Han Le, ia maklum akan khasiat yang besar dari telur burung rajawali putih. "Pantas, pantas! Dan hal ini lebih-lebih menunjukkan kegagahanmu, karena tidak sembarangan orang dapat mengambil telur pek-tiauw! Melihat wajahmu, agaknya kau paling banyak baru berusia dua puluh lima lebih! Bagaimana Sumoi. Bersediakah kau menerima aku yang bodoh dan buruk rupa sebagai kawan hidupmu?"

 Ang I Niocu menggunakan tangan untuk menutup mukanya. Ia merasa bingung sekali. Di dalam hati ia mengaku bahwa mungkin di dunia ini tidak ada seorang pemuda yang layak dan patut menjadi suaminya selain Kong Sian. Kepandaiannya tinggi melebihinya sendiri, rupanya tampan dan sikapnya halus dan sopan santun. Pribadinya tinggi dan hal ini sudah ia buktikan ketika pemuda itu mendapatkan dirinya yang berada dalam keadaan setengah telanjang itu dan ketika pemuda ini merawatnya dengan penuh kesabaran dan ini saja sudah menunjukkan bahwa pemuda ini betul-betul mencintanya dengan sepenuh jiwa. Terutama sekali, dalam hal usia pemuda ini sebanding dengan dia! Apa lagi? Pemuda ini bahkan telah menolong jiwanya hingga sampai mati pun belum tentu ia bisa membalas budinya. Akan tetapi, kalau ia menerima pinangan itu, seakan-akan ia terlalu murah memberi harga pada dirinya! Ia memang berwatak tinggi hati dan keras, dan tidak mau ditundukkan dengan mudah. Akan tetapi, untuk menolak ia pun tidak berani!

 "Suheng,” katanya setelah berpikir dengan masak-masak, "aku harus menghaturkan beribu terima kasih atas budi kecintaanmu itu. Bagaimana aku dapat menolak pinangan seorang seperti kau? Akan tetapi hal ini terjadi terlalu tiba-tiba hingga aku belum dapat memutuskannya karena masih merasa bingung! Sekarang beginilah saja, Suheng. Biarlah kauanggap aku telah menerima pinanganmu itu dan aku pun takkan malu-malu mengaku bahwa aku telah menjadi tunanganmu. Akan tetapi, soal pernikahan antara kita baru dapat terlaksana setelah kau memenuhi beberapa syarat!"

 Kong Sian tersenyum dan dari ucapan ini saja ia yang sudah paham akan tabiat manusia, dapat mengetahui bahwa gadis kekasih hatinya ini memiliki adat yang tinggi dan keras! Ia menjawab sambil masih tersenyum. "Sumoi, katakanlah, apa syarat-syaratmu itu?"

 "Pertama, kau harus menanti sampai aku dapat bertemu kembali dengan kawan-kawanku, terutama dengan Cin Hai dan Lin Lin. Sebelum aku dapat mempertemukan kedua sejoli ini atau melihat mereka telah berkumpul kembali, tak mungkin aku dapat mengikat diri dengan laki-laki lain!"

 Kong Sian mengangguk-angguk, karena maklum akan isi hati Ang I Niocu.

 “Kedua, kita harus mendapat perkenan dari Suhu Bu Pun Su, oleh karena dulu Beliau mempunyai maksud dan kehendak untuk menjodohkan aku dengan Kang Ek Sian, yang biarpun mencintaku, akan tetapi tak kubalas cintanya itu.”

 Syarat ke dua ini diam-diam menggirangkan hati Kong Sian, oleh karena dari ucapan terakhir yang menyatakan bahwa gadis ini tidak menerima pinangan Kang Ek Sian oleh karena tidak mencintanya, hampir menyatakan bahwa biarpun sedikit, gadis ini “ada hati” kepadanya, kalau tidak, tentu ia akan menolaknya pula! Maka ia mengangguk-angguk kembali dengan mulut tersenyum.

 “Ke tiga,” kata lagi Ang I Niocu, “kau harus keluar dari pulau ini dan turun ke dunia ramai untuk mencari sutemu Song Kun itu dan memenuhi pesan Suhumu, yaitu menasihatinya atau menggunakan kekerasan terhadapnya.”

 “Ah, yang ke tiga ini berat sekali, Sumoi! Kau tahu bahwa aku amat mencintanya dan tidak tega untuk mencelakakannya!”

 “Inilah kelemahan yang membuat hatiku tidak puas! Kau tidak tega kepada Sutemu karena kau mencintanya, akan tetapi apakah kau bertega hati melihat betapa wanita-wanita diganggunya? Kelemahanmu ini menimbulkan ketidak-adilan dalam hatimu yang tidak layak dan tidak patut dipunyai oleh seorang pendekar silat.”

 Kong Sian menghela napas dan menjawab, “Biarlah, hal ini perlu kurenungkan dan kupikirkan baik-baik, sumoi. Masih ada lagikah syarat-syaratmu?”

 Pertanyaan ini membuat Ang I Niocu menjadi merah mukanya karena ia telah merasa keterlaluan mengajukan sekian banyak syarat. Akan tetapi, syarat-syarat itu setidaknya dapat “mengangkat” harga dirinya, tidak semurah kalau ia menerimanya mentah-mentah!

 “Masih ada satu lagi,” katanya dengan muka merah dan menundukkan kepala, “akan tetapi yang terakhir ini baru akan kuceritakan kalau kau telah memenuhi yang ketiga itu.”

 “Baiklah, Sumoi. Kuterima syarat-syaratmu.” Kemudian Lie Kong Sian meloloskan pedangnya dari pinggang dan memberikan itu kepada Ang I Niocu berkata, “Sumoi, terimalah Cian-hong-kiam ini sebagai bukti daripada ikatan yang ada di antara kita, dan biarlah Thian yang menjadi saksi atas pertunangan kita ini.” Kata-kata ini diucapkan dengan suara menggetar hingga mengharukan hati Ang I Niocu yang menerima pedang itu.

 Kemudian Ang I Niocu mengambil perhiasan rambutnya yang terbuat daripada mutiara dan memberikannya kepada Kong Sian. “Aku tidak mempunyai apa-apa, Suheng dan biarlah benda ini menjadi bukti daripada kesetiaanku.”

 Tidak ada upacara yang mengesahkan pertunangan mereka itu selain daripada penukaran barang yang dilakukan dengar sikap sederhana ini akan tetapi diramaikan oleh pertemuan pandang mata mereka yang menembus ke hati masing-masing.

 Setelah itu, Ang I Niocu lalu berpamit hendak pergi mencari Cin Hai dan Lin Lin. Kong Sian lalu mengambil perahunya dan ia lalu mengantarkan tunangannya itu sampai ke darat di pesisir Tiongkok. Si Rajawali Emas tidak ketinggalan, ikut mengantar sambil terbang di atas perahu itu.

 Ketika keduanya telah mendarat dan Ang I Niocu hendak meninggalkannya, mereka saling pandang dan Ang I Niocu berbisik, “Semoga Thian memberkahi perjodohan kita dan semoga cita-cita kita bersama akan terlaksana, Koko.”

 Kedua mata Kong Sian menjadi basah karena terharu dan girang mendengar sebutan ini dan makin yakinlah ia bahwa diam-diam Ang I Niocu juga mempunyai perasaan yang sama dengan perasaan hatinya. “Selamat Jalan, Moi-moi, dan Sin-kim-tiauw biarlah mengawanimu.”

 Ang I Niocu girang sekali. Ia berkata epada burung rajawali itu,

 “Sin-kim-tiauw, kau ikutlah padaku!”

 Burung itu agaknya mengerti ucapan ini, karena ia lalu menoleh kepada Kong Sian seakan-akan minta perkenannya. Ia takkan berani pergi sebelum mendapat perkenan dari Kong Sian.

 “Pergilah kau ikut dia, Kim-tiauw, dan jagalah dia baik-baik!”

 Burung itu lalu mengeluarkan bunyi karena girang dan ketika Ang I Niocu berlari cepat-cepat meninggalkan tempat itu, ia lalu terbang dan mengejar. Kong Sian kembali ke pulaunya untuk merenungkan peristiwa yang tak tersangka-sangka telah terjadi dalam hidupnya itu.

 Demikianlah kisah pengalaman Ang I Niocu yang disangka telah tewas itu. Beberapa bulan lamanya ia merantau mencari-cari Cin Hai dan Lin Lin. Ia kembali ke pesisir dari mana ia menyeberang ke Pulau Kim-san-to, akan tetapi ia tidak mendapatkan jejak kawan-kawannya hingga ia lalu menuju ke barat. Oleh karena mendengar bahwa Lin Lin ikut dengan seorang Turki dan bahwa pada waktu itu daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, ia lalu merantau ke barat.

 Pada suatu hari ia tiba di sebuah bukit di daerah Sui-yan. Ia berlari cepat akan tetapi Sin-kim-tiauw telah mendahuluinya, terbang rendah sambil mengeluarkan bunyi karena ia merasa girang bahwa Ang I Niocu tidak dapat mengejarnya! Tiba-tiba burung itu memekik keras dan pekik kemarahan ini mengherankan Ang I Niocu dan membuatnya mempercepat larinya. Ketika ia tiba di tempat itu, ia menjadi marah sekali oleh karena melihat betapa tiga orang-orang tua sedang melempar-lempar batu kecil ke arah Sin-kim-tiauw yang beterbangan dan menyambar-nyambar di atas mereka dengan marah! Burung itu cepat mengelak dan mengebut sambitan batu dengan sayapnya dan orang-orang tua itu berseru kagum, “Burung bagus!”

 Ketiga orang tua itu adalah seorang nenek buruk rupa, berhidung panjang dan bongkok seperti hidung kakak tua, dan berpunggung bongkok seperti punggung onta, sedangkan dua orang tua lainnya adalah seorang kakek berjubah hitam dan bersorban dan seorang lagi tosu yang bermata lebar.

 Melihat betapa rajawali itu dapat mengelak dari setiap sambitan, bahkan sebuah batu yang dikebut oleh sayapnya terbalik meluncur ke arah nenek itu, Si Nenek Tua yang buruk menjadi marah.

 “Burung siluman! Rasakan sambitanku ini!” Dan ketika ia menggerakkan tangan kanannya, puluhan batu-batu kecil melayang dengan hebatnya ke arah tubuh rajawali emas! Sin-kim-tiauw cepat mengelak dan mengebut dengan sayapnya, akan tetapi sebuah dari pada batu-batu itu tepat mengenai pahanya hingga ia merasa sakit sekali dan memekik-mekik kesakitan!

 “Nenek jahat! Jangan kau mengganggu burungku!” Ang I Niocu berseru marah sambil melompat ke hadapan nenek itu. Ketika melihat seorang gadis baju merah melompat maju dan menegurnya, nenek itu menjadi marah dan tanpa berkata sesuatu lalu menyerang dengan cengkeraman tangannya ke arah pundak Ang I Niocu! Dara Baju Merah ini segera mengangkat lengan dan menangkis, akan tetapi ia menjadi terhuyung ke belakang oleh karena ternyata bahwa tenaga lengan tangan nenek itu besar sekali! Melihat kelihaian nenek ini, Ang I Niocu segera mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong Sian dan segera menyerang dengan cepat.

 Dan pada saat ia bertempur dengan seru melawan nenek bongkok itu, datanglah Kwee An dan Ma Hoa yang terheran-heran melihat Dara Baju Merah yang tadinya disangka telah mati itu!

 Dua orang kakek yang tadinya hanya menjadi penonton saja, ketika melihat betapa Nona Baju Merah ternyata lihai sekali ilmu pedangnya dan dapat mendesak nenek bongkok, segera berseru keras, dan maju menyerbu dengan kebutan ujung lengan baju mereka yang panjang. Ang I Niocu merasa terkejut oleh karena sambaran angin pukulan mereka ternyata lebih hebat daripada serangan nenek bongkok itu, terutama pendeta yang bersorban! Maka ia lalu memutar pedangnya dengan lebih cepat lagi, mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan-kiamhwat.

 Kwee An dan Ma Hoa melihat hal ini lalu menerjang dengan pedang di tangan, membantu Ang I Niocu. Mereka berdua telah bermufakat untuk diam saja dan tidak menegur Ang I Niocu, untuk membuktikan bahwa benar-benar Dara Baju Merah itu Ang I Niocu. Ketika melihat dua bayangan berkelebat membantunya dan ternyata bahwa dua orang penolong itu adalah Kwee An dan Ma Hoa, bukan main girangnya dan segea menegur,

 “Ma Hoa... Kwee An.,.”

 Berdebarlah tubuh kedua anak muda itu mendengar suara ini karena kini mereka tak perlu merasa ragu-ragu lagi, terutama sekali Ma Hoa yang tak dapat menahan isaknya! Sambil menangkis ujung lengan baju pendeta bersorban yang melayang ke arah mukanya, ia berseru dengan isak tertahan,

 “Enci Im Giok...!”

 Juga Kwee An berseru girang, “Ang I Niocu...!”

 Sementara itu, ketiga orang tua yang mendengar nama Ang I Niocu disebut-sebut, segera melompat mundur dengan terkejut. Kesempatan ini digunakan oleh Ma Hoa dan Ang I Niocu untuk saling tubruk dan saling peluk.

 “Enci Im Giok..., kau... kau masih hidup...?”

 “Adik Ma Hoa...” mereka berpelukan sambil mencucurkan air mata karena girang dan keduanya saling pandang dan tersenyum.

 “Ha, ha, jadi kau adalah Ang I Niocu, Ma Hoa, dan Kwee An?” berkata tosu tadi. ”Kebetulan sekali!”

 Juga nenek bongkok itu lalu berkata, “Hm, memang sudah takdir bahwa kalian harus mampus di tangan kami! Ang I Niocu, ketahuilah bahwa aku adalah Siok Kwat Moli dan kedua kakek ini adalah sahabat-sahabat baikku. Mereka bernama Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin.” Ia menunjuk ke arah pendeta bersorban lalu ke arah tosu itu. “Tak perlu aku bercerita panjang lebar mengapa kami memusuhi kalian, cukup kalau kuberi tahu bahwa Hai Kong Hosiang yang kalian siksa itu adalah suhengku!”

 Mengertilah Ang I Niocu dan kedua orang kawannya sekarang, dan mereka maklum bahwa pertempuran mati-matian tak dapat dielakkan lagi.

 “Memang burung gagak selalu berkawan dengan burung-burung mayat juga!” kata Ang I Niocu sambil tersenyum sindir. “Hai Kong Hosiang belum terhitung jahat kalau belum mempunyai seorang sumoi seperti kau ini dan mempunyai sahabat-sahabat yang terdiri dari pendeta-pendeta palsu pula!”

 Bukan main marahnya ketiga orang itu mendengar hinaan ini. Sambil berseru keras, nenek itu lalu mencabut keluar senjata yang istimewa, yaitu sehelai sabuk kuning emas yang panjang hingga ketika ia pegang dengan kedua tangan maka merupakan sepasang senjata lemas yang luar biasa. Wai Sauw Pu pendeta yang bersorban itu adalah seorang dari Sin-kiang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan ia pun telah kena terbujuk oleh Hai Kong Hosiang hingga ikut pula membela pendeta gundul itu. Pendeta bersorban ini mengeluarkan senjatanya yang jarang terlihat, yaitu seuntai tasbeh terbuat daripada gading gajah yang merupakan lingkaran panjang. Lok Kun Tojin, seorang pertapa yang sakti dari Thaisan, juga mencabut senjatanya yang lebih lihai, yaitu sepasang roda memakai tali hingga roda-roda itu kalau digerakkan bisa berputaran bagaikan kitiran dan membuat bingung kepada lawannya.

 Sambil berseru keras, ketiga orang itu lalu menyerbu. Si Nenek bongkok menghadapi Ang I Niocu, pendeta bersorban menghadapi Ma Hoa, dan tosu itu menghadapi Kwee An. Pertempuran hebat segera berlangsung dengan ramai sekali. Ang I Niocu memegang pedang Cian-hoan-kiam pemberian Lie Kong Sian, sebatang pedang pusaka yang ampuh. Kwee An memegang pedang Oei-kang-kiam pemberian Meilani, juga pedang pusaka hingga ia tidak takut menghadapi roda-roda Lok Kun Tojin. Sedangan Ma Hoa dengan sepasang bambu runcingnya yang dimainkan secara luar biasa itu dapat mengimbangi permainan tasbeh yang hebat dari Wai Sauw Pu! Setelah bertempur belasan jurus, ketiga orang tua itu baru benar-benar merasa terkejut oleh karena tadinya mereka memandang rendah kepada tiga orang lawan muda itu yang sama sekali tak pernah mereka sangka demikian lihainya.

 Ang I Niocu maklum akan kelihaian Kwee An, maka ia tidak perlu menguatirkan keadaan pemuda itu, akan tetapi tadinya ia merasa cemas melihat betapa Ma Hoa menghadapi kakek bersorban yang nampaknya kuat dan lihai sekali. Namun begitu ia melihat permainan bambu runcing Ma Hoa, diam-diam ia merasa amat kagum dan juga heran, maka dengan hati gembira Ang I Niocu lalu melayani nenek bongkok sambil berkata kepada Ma Hoa, “Adikku, kau kini hebat sekali!” Mendengar pujian ini, Ma Hoa lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya yang baru saja didapatnya dari Hok Peng Taisu dan biarpun tasbeh di tangan kakek bersorban itu luar biasa gerakannya, akan tetapi sepasang bambu runcingnya juga merupakan senjata lihai yang gerakannya belum dikenal oleh Wai Sauw Pu!

 Adapun rajawali emas yang masih beterbangan dan berputar-putar di atas kepala mereka yang sedang bertempur, kini mulai menyambar turun dan membantu. Yang terutama dibantunya ialah Ang I Niocu dan beberapa kali ia menyerang kepala nenek bongkok itu hingga Si Nenek Bongkok memaki-maki kalang kabut, “Burung jahanam! Burung siluman! Akan kusembelih lehermu, kumakan dagingmu mentah-mentah!” Sambil berkata demikian, dengan tangan kanan menggunakan sabuknya untuk melayani Ang I Niocu sedangkan ujung sabuk di tangan kiri beberapa kali mengebut ke arah Sin-kim-tiauw tiap kali burung itu menyambar turun.

 Tiba-tiba ketika burung itu menyambar turun tosu yang berkelahi melawan Kwee An, menggerakkan roda di tangan kirinya dan roda itu terputar cepat menyambar ke arah burung yang terbang di atas kepala nenek bongkok itu! Ternyata bahwa tali yang di tengah-tengah roda amat panjangnya hingga roda itu dapat terbang tinggi dan jauh! Hampir saja rajawali itu terkena hantaman roda, baiknya ia cepat mengelak dan terbang ke atas sambil berteriak marah. Kini ia menyambar turun dan menyerang Lok Kun Tojin!

 “Sin-kim-tiauw, jangan!” teriak Ang I Niocu oleh karena gadis ini maklum betapa lihainya roda-roda tosu itu. Akan tetapi rajawali yang sedang marah ini mana mau mendengarkan cegahannya, tetap menyerang dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.

 “Sin-kim-tiauw, tak maukah kau menurut perintahku?” bentak Ang I Niocu dan suaranya menyatakan kemarahan besar yang terdorong oleh kekuatirannya. Rajawali itu terkejut mendengar bentakan Ang I Niocu dan pada saat itu, sebuah roda dari Lok Kun Tojin dengan keras mengenai dadanya!

 Burung itu terpental ke atas udara sambil berteriak-teriak kesakitan. Kemudian, karena merasa dadanya sakit sekali dan pula karena mendongkol mendengar bentakan dan cegahan Ang I Niocu yang dibelanya, ia lalu terbang tinggi sekali dan terus terbang pergi jauh!

 Ang I Niocu merasa cemas sekali, sebaliknya Lok Kun Tojin merasa pukulan rodanya tadi amat berbahaya dan keras. Jangankan kulit daging, bahkan batu karang pun akan hancur apabila terpukul oleh rodanya, akan tetapi burung itu tidak tewas karenanya bahkan lalu terbang pergi dengan cepat!

 Dengan Ilmu Silat Bambu Runcing yang lihai, Ma Hoa dapat membikin jerih hati lawannya yang sebenarnya masih lebih tinggi ilmu silatnya. Sedangkan ilmu pedang Ang I Niocu juga membuat nenek bongkok itu merasa gentar. Tak pernah disangkanya bahwa musuh-musuh suhengnya yang muda-muda memiliki ilmu kepandaian yang begini luar biasa. Tidak heran apabila suhengnya yang lihai itu sampai kena dikalahkan. Sebaliknya, biarpun ilmu pedang yang dimiliki Kwee An juga bukan ilmu pedang sembarangan, yaitu ilmu pedang Kim-san-pai warisan suhunya yang pertama, yaitu Eng Yang Cu, dan Ilmu Pedang Hai-liong-kiam-sut warisan Nelayan Cengeng, akan tetapi sepasang roda di tangan tosu yang menjadi lawannya itu benar-benar luar biasa. Beberapa kali pemuda ini hampir saja menjadi korban pukulan roda, untung ia masih dapat mengelak sambil mengeluarkan ilmu silat yang ia pelajari dari Hek Mo-ko, hingga Lok Kun Tojin merasa kagum. Jarang sekali tosu ini mendapat lawan yang dapat mengimbangi ilmu kepandaiannya dan sekarang, baru saja ia turun gunung dan bertemu dengan musuh-musuh sahabatnya, ia telah bertemu dengan seorang pemuda yang dapat bertahan melawannya sampai hampir seratus jurus!

 Kwee An maklum bahwa apabila dilanjutkan, ia takkan menang dan juga kedua orang kawannya belum tentu akan dapat menang pula, maka ketika ia melihat rajawali terbang pergi, ia mendapat akal dan berkata,

 “Bagus, Sin-kim-tiauw tentu akan memanggil Suhumu!”

 Benar saja, ucapan ini membuat ketiga orang tua itu merasa kaget dan kuatir, baru murid-muridnya saja sudah begini lihai, apalagi kalau suhunya yang datang! Maka, nenek bongkok itu berkata, “Jiwi bengyu, mari kita pergi! Kita jumpai Hai Kong lebih dulu, lain kali mudah untuk mengambil nyawa ketiga tikus kecil itu!”

 Ketiga orang tua itu lalu melompat pergi dan segera lari secepatnya meninggalkan tempat itu. Ang I Niocu yang mempunyai watak tidak mau kalah itu merasa penasaran dan kecewa, maka ia menegur Kwee An,”Kongcu, mengapa kau menggunakan akal mengusir mereka?”

 “Mereka itu sebetulnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan kita, untuk apa berkelahi mati-matian?” kata Kwee An sambil menarik napas lega.

 “Akan tetapi, Sin-kim-tiauw telah dilukainya!” kata Ang I Niocu.

 “Belum tentu kim-tiauw itu terluka, karena kalau benar terluka, bagaimana ia bisa terbang begitu tinggi dan cepat?” Ma Hoa membela kekasihnya. “Enci Im Giok, mereka itu lihai sekali. Sudahlah jangan membicarakan mereka pula yang perlu sekarang kauceritakanlah pengalamanmu. Kami semua, terutama Cin Hai dan Lin Lin, merasa berduka sekali, karena menyangka bahwa kau tentu sudah meninggal di atas Pulau Kim-san-to yang terbakar hebat dan meledak itu.” Sambil berkata demikian, Ma Hoa lalu memegang tangan Ang I Niocu dan ketiganya lalu duduk di bawah sebatang pohon untuk beristirahat dan bercakap-cakap.

 Mendengar disebutnya nama Cin Hai dan Lin Lin, lenyaplah rasa kecewa dari wajah Ang I Niocu yang cantik, dan sekarang wajahnya berseri gembira. “Apa katamu? Lin Lin dan Cin Hai, apakah benar-benar mereka itu selamat dan sudah saling bertemu?”

 Ma Hoa lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya dan menuturkan segala peristiwa yang terjadi semenjak mereka berpisah juga pengalamannya sendiri ketika terjatuh dari atas tebing bersama Kwee An. Mendengar itu, Ang I Niocu mengucap syukur karena kawan-kawan baiknya telah terhindar dari bahaya maut, akan tetapi ketika mendengar betapa kini kedua orang muda itu tidak tahu bagaimana nasib Lin Lin dan Yousuf yang dikejar-kejar orang-orang Turki, di mana pula adanya Cin Hai, ia menghela napas dan berkata,

 ”Ah, sungguh kasihan sekali Lin Lin dan Cin Hai. Baru saja bertemu, sudah harus berpisah pula. Sekarang kita harus mencari mereka sampai dapat.”

 “Memang kami berdua pun sedang mencari jejak mereka, Niocu.” kata Kwee An. “Yang mengejar Lin Lin dan Yo-siokhu adalah orang-orang Turki, maka ketika mendengar bahwa di daerah Kansu banyak terdapat orang-orang Turki, kami lalu menuju ke barat untuk menyelidiki di sana. Tidak tahunya kebetulan sekali kita saling bertemu di sini.”

 “Sayang sekali Sin-kim-tiauw telah terbang pergi, entah di mana ia sekarang berada,” kata Ang I Niocu. Tentu saja ketiga orang muda ini tidak tahu bahwa Rajawali Sakti itu telah bertemu dengan Bu Pun Su hingga tertolong jiwanya, karena kakek jembel ini yang melihat Sin-kim-tiauw terbang tinggi di udara, lalu mengerahkan tenaga khikangnya memanggil, kemudian ia mengobati luka di dada burung sakti itu yang selanjutnya mengikuti kakek jembel itu.

 Setelah menanti sampai senja, burung itu tidak juga kembali, Ang I Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa lalu melanjutkan perjalanan mencari Lin Lin ke arah barat. Tujuan mereka adalah Propinsi Kansu sebelah barat.

 Cin Hai melarikan Pek-gin-ma dengan cepat, diikuti oleh burung bangau di atas kepalanya. Ia telah menjelajah di sekitar daerah perbatasan Tiongkok dan Mongol untuk mencari jejak Lin Lin dan Yousuf, akan tetapi sia-sia belaka. Akhirnya, tepat sebagaimana yang diduga oleh Kwee An dan Ma Hoa ia lalu menuju ke barat oleh karena ia pun berpikir bahwa boleh jadi Yousuf melarikan diri ke barat.

 Pada suatu hari, ketika ia sedang menjalankan kudanya perlahan sambil merenungkan nasibnya yang selalu terpisah dari Lin Lin, ia merasa seakan-akan ada orang mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia menoleh, akan tetapi ia tidak melihat bayangan seorang pun. Akan tetapi, apabila ia melanjutkan perjalanannya, kembali ia merasa seakan akan sepasang mata memandangnya dan sepasang kaki berjalan cepat dengan amat ringannya di belakang kuda. Dengan tiba-tiba Cin Hai berpaling lagi, akan tetapi kembali ia kecele, oleh karena ia tidak melihat ada orang. Setankah yang mengikutinya? Atau orang yang berkepandaian tinggi? Seingatnya, yang mungkin mengikutinya secara luar biasa cepatnya dan diam-diam, tidak ada orang lain kecuali suhunya yang akan sanggup melakukannya. Akan tetapi tak mungkin suhunya mengikuti dengan diam-diam. Cin Hai lalu melarikan kudanya cepat-cepat, akan tetapi kembali ia mendengar tindakan kaki yang amat ringannya mengikutinya dengan cepat pula. Ketika ia menengok, masih saja kosong di belakangnya, tidak nampak seorang pun.

 Sungguh mengherankan, dan dengan penasaran ia lalu turun dari kudanya dan berjalan sambil menuntun Pek-gin-ma. Setelah berjalan kaki, Cin Hai makin merasa yakin bahwa benar-benar ada orang yang mengikutinya dari belakang dan orang ini tentu berkepandaian tinggi sekali oleh karena selain tindakan kakinya yang ringan sekali, juga tiap kali menengok, orang itu telah dapat melenyapkan diri dan bersembunyi dengan cara yang luar biasa. Ia dapat menduga bahwa dengan mengandalkan ginkangnya yang sempurna, tentu orang itu telah melompat ke belakang pohon pada saat ia menengok, oleh karena di sepanjang jalan yang dilaluinya memang terdapat banyak sekali pohon-pohon besar. Oleh karena ini, ia lalu mendapat akal. Ia sengaja menuntun kudanya keluar dari tempat itu dan melalui jalan yang membelok ke kanan di mana tidak terdapat sebatang pohon juga. Ia hendak melihat apakah orang itu masih berani mengikutinya dan kalau ia menengok, orang itu hendak lari bersembunyi ke mana?

 Benar saja, ketika ia melalui jalan yang tidak berpohon, tindakan kaki yang mengikutinya lalu berhenti. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya ketika ia mendengar lagi suara tindakan kaki itu di belakangnya. Alangkah beraninya orang itu, pikirnya penasaran dan secepat kilat ia menggerakkan kepala berpaling memandang ke bekakang. Dan kini ia melihat seorang laki-laki yang berpakaian indah sedang berjalan dengan seenaknya, sama sekali tidak gugup atau hendak pergi bersembunyi ketika ia menengok!

 “Sobat, kenapa kau mengikuti aku?” tanya Cin Hai gemas.

 Orang itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan tinggi, mengandung ejekan seperti biasanya suara ketawa orang yang berwatak sombong. Orang ini masih muda, paling banyak berusia tiga puluh tahun, tubuhnya sedang, wajahnya tampan dan gagah, keningnya tinggi sedangkan pakaiannya terdiri dari baju warna kuning dan celananya biru. Di luar bajunya masih memakai sehelai mantel abu-abu yang indah sekali. Pada rambutnya yang hitam itu nampak hiasan dari batu giok yang merupakan seekor naga terbang. Cin Hai merasa heran karena setelah dekat, ia melihat betapa pada kedua pipi laki-laki ini nampak warna kemerah-merahan yang tidak aseli, seakan-akan pipi itu dibedaki dengan yanci dan bedak seperti biasa dipakai wanita bersolek!

 Setelah tertawa nyaring laki-laki pesolek ini lalu berkata,

 “Aku berjalan di belakangmu atau di depanmu, maupun di sebelahmu, apakah hubungannya dengan kau? Aku berjalan di atas kedua kakiku sendiri dan jalan ini adalah jalan umum! Padamu tidak ada sesuatu yang menarik hatiku, kecuali kuda putih ini dan burung bangau itu!”

 Ia tertawa lagi sambil memandang dengan mata mengandung ejekan. Biarpun hatinya mendongkol, akan tetapi Cin Hai dapat merasakan juga bahwa ucapan orang ini ada benarnya juga. Ia berjalan sendiri dan tidak mengganggunya, mengapa ia harus merasa penasaran dan gemas? Maka timbul kejenakaannya dan ia menjawab,

 “Peribahasa kuno menyatakan bahwa orang harus berlaku waspada terhadap orang yang berada di belakangnya dan tak perlu takut kepada orang yang berada di hadapannya! Kau selalu berjalan di belakang, bahkan dengan cara bersembunyi, maka teringatlah aku akan peribahasa itu. Bukan maksudku hendak menyebutmu pengecut, akan tetapi maksud peribahasa itu bahwa orang harus berhati-hati terhadap orang yang selalu melakukan hal dengan sembunyi-sembunyi karena orang demikian itu adalah seorang yang berbahaya dan berwatak pengecut!”

 Ucapan yang diputar-putar ini biarpun tidak langsung memaki, akan tetapi telah dua kali Cin Hai menyebut orang di depannya itu sebagai pengecut!

 Laki-laki pesolek itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum dibuat-buat dan ia meloloskan sehelai tali yang banyak bergantungan di ujung bajunya, lalu mempermainkan tali itu di antara jari tangannya. “Kau pandai berkelakar anak muda, tapi tetap saja aku menganggap bahwa kuda dan burungmu itu lebih baik daripadamu!”

 Pada saat itu burung bangau melayang dari atas melihat betapa Cin Hai berhadapan dengan orang asing, ia lalu menyambar ke atas kepala orang itu.

 “Ang-siang-kiam, jangan kurang ajar!” seru Cin Hai, akan tetapi dengan tenang seakan-akan tidak diserang oleh seekor burung bangau yang besar dan ganas, orang itu lalu menggerakkan tangannya ke arah burung itu, kemudian ia menjura kepada Cin Hai sambil berkata,

 “Ah, burungmu mulai membosankan aku, anak muda. Selamat tinggal!”

 Bukan main terkejut hati Cin Hai ketika merasa betapa dari kedua tangan orang yang sedang menjura kepadanya itu, menyambar angin pukulan yang hebat ke arah dadanya! Cin Hai buru-buru membungkukkan tubuhnya dan balas menjura sambil mengerahkan khikangnya dan ketika dua tenaga mereka bertemu keduanya melangkah mundur dua tindak! Ternyata bahwa tenaga mereka berimbang. Orang itu memandang kepada Cin Hai dengan mulut tersenyum mengejek, akan tetapi kedua matanya mengeluarkan pandangan kagum.

 “Bagus, bagus, aku telah bertemu dengan seorang ahli!” Tubuhnya lalu berkelebat dan sebentar saja lenyaplah ia dari pandang mata Cin Hai. Pemuda ini merasa heran dan kagum, akan tetapi ketika memandang ke arah burung bangau yang telah terbang turun, keheranannya berubah kekagetan karena ia melihat betapa burung itu sedang bergulingan di atas tanah dan mencakar-cakar paruhnya sendiri! Ketika Cin Hai menghampiri, ternyata bahwa sepasang paruh burung yang seperti sepasang pedang merah itu telah terikat menjadi satu oleh tali yang tadi dipegang oleh laki-1aki pesolek itu! Ia cepat menggunakan pedangnya memutuskan tali yang mengikat paruh burung bangau, akan tetapi ternyata bahwa tali itu kuat sekali dan tidak mudah diputuskan. Setelah ia mengerahkan tenaga, barulah tali istimewa itu dapat diputuskan dan burung itu lalu terbang tinggi dengan ketakutan! Cin Hai mengeluarkan keringat dingin. Bukan main lihainya orang itu yang dengan sehelai tali dapat membuat burung itu tidak berdaya. Orang yang dapat melontarkan tali hingga dapat melibat dan mengikat burung yang sedang terbang menyambarnya, dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu silatnya! Masih untung bahwa orang itu tidak turun tangan dan memusuhinya, kalau terjadi demikian belum tentu ia akan dapat mengalahkan lawan yang sedemikian tangguhnya itu!

 Teringatlah Cin Hai akan kata-kata suhunya bahwa di dunia terdapat banyak sekali orang-orang pandai. Ia lalu menaiki punggung Pek-gin-ma lagi dan bersuit memberi tanda kepada burung bangau untuk melanjutkan perjalanan menuju ke barat.

 Ketika ia telah melakukan perjalanan sampai beberapa puluh li jauhnya, hari telah menjadi senja dan ia tiba di luar sebuah kota yang temboknya telah terlihat dari situ. Tiba-tiba ia mendengar suara kaki kuda di sebelah belakang. Ia berhenti dan alangkah herannya ketika melihat bahwa kira-kira seperempat li jauhnya di sebelah belakang, ada seorang penunggang kuda yang juga menghentikan kudanya! Ia lalu menggerakkan Pek-gin-ma lagi dan ternyata orang itu pun melarikan kudanya pula. Ketika ia berhenti dengan tiba-tiba, orang itu pun berhenti.

 “Kurang ajar!” kata Cin Hai sambil membalikkan kudanya dan melarikan kuda mengejar orang yang mengikutinya itu! Ia sudah merasa bosan untuk diikuti orang saja dan siapapun juga orang itu, ia akan menghajarnya! Orang itu pun membalikkan tubuh kuda dan melarikan kudanya dengan cepat dan Cin Hai makin merasa heran oleh karena kini ia dapat melihat bahwa orang itu adalah seorang Turki yang tinggi kurus! Orang yang dikejarnya itu melarikan kudanya ke dalam sebuah hutan dan ketika Cin Hai mengejar dan memasuki hutan pula, tiba-tiba dari depan melayang belasan batang anak panah yang kesemuanya mengarah dada, leher, dan perut!

 “Pengecut!” ia berseru marah sambil mempergunakan ujung lengan bajunya mengebut ke depan hingga berhasil memukul jatuh semua anak panah, kemudian ia mengeprak kudanya agar berlari lebih cepat. Akan tetapi tiba-tiba rumput yang diinjak oleh kudanya itu nyeplos ke bawah dan tubuh Pek-gin-ma terjeblos ke dalam lubang perangkap yang besar dan yang ditutup oleh rumput-rumput hijau! Cin Hai cepat melompat dari kudanya hingga tidak ikut terjeblos ke dalam lubang itu. Ia mendengar kudanya meringkik ngeri dan ketika ia memandang ke dalam lubang, ternyata bahwa Pek-gin-ma telah tertusuk oleh tiga batang tombak yang sengaja dipasang di dalam lubang itu! Melihat tubuh kudanya berkelojotan, dengan marah dan hati penuh rasa iba, Cin Hai lalu menarik keluar pedangnya dan menusuk punggung kuda itu ke arah jantungnya hingga kuda itu mati seketika itu juga! Kalau ia tidak melakukan tikaman ini, kuda itu pasti akan mati, akan tetapi harus menderita lebih dulu beberapa lamanya. Kemudian, Cin Hai memburu ke depan hedak mencari orang Turki tadi, akan tetapi ia tidak melihat bayangan orang di dalam hutan itu! Ia mencari-cari terus dan berteriak-teriak memaki-maki akan tetapi setelah hari sudah mulai gelap dan belum juga ia mendapatkan musuh yang curang itu, terpaksa ia pergi meninggalkan hutan dengan hati marah sekali.

 Burung bangau yang terbang di atas hutan itu pun tidak melihat adanya musuh dan burung ini tidak berani turun seakan-akan ia masih merasa gentar menghadapi lawan yang tadi telah secara aneh dapat mengikat paruhnya!

 Cin Hai melanjutkan perjalanan menuju ke kota di depan itu sambil berlari cepat. Hatinya gemas sekali oleh karena ia merasa telah dipermainkan orang. Kota yang dimasukinya adalah sebuah kota yang cukup ramai dan di situ ia melihat banyak orang-orang Mongol, serta orang-orang dari suku bangsa lain.

 Setelah mencari kamar di sebuah rumah penginapan, Cin Hai lalu keluar dari kamarnya untuk melihat-lihat dan sekalian mencari jejak Lin Lin, juga ingin sekali bertemu dengan orang Turki tinggi kurus yang dilihatnya tadi. Ia melihat sebuah rumah makan besar yang penuh tamu, lalu masuk memesan makanan. Pelayan membawanya ke loteng, oleh karena di bagian bawah telah penuh. Ketika ia memasuki tangga loteng, tiba-tiba ia mendengar percakapan tamu di loteng itu yang membuatnya segera menahan tindakan kakinya dan mendengarkan dengan teliti. Seorang di antara tamu-tamu itu telah membicarakan dan menyebut nama Yousuf!

 “Yousuf sedang sakit dan tak berdaya kalau kita menyerbu dengan tiba-tiba dan berbareng, apa sukarnya menundukkan gadis itu?”

 Hanya sedemikianlah yang dapat didengar oleh Cin Hai, oleh karena ketika pelayan muncul, percakapan itu lalu dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tak mengerti sama sekali. Ia berjalan menundukkan muka, akan tetapi ia memperhatikan mereka. Ternyata bahwa ruang atas itu kosong dan hanya terdapat empat orang duduk mengelilingi sebuah meja penuh mangkok berisi hidangan. Seorang di antaranya adalah seorang laki-laki berbangsa Turki, sedangkan yang tiga orang lainnya adalah seorang nenek bongkok, seorang kakek bersorban, dan seorang pula berpakaian seperti tosu. Mereka ini bukan lain ialah Giok Kwat Moli si Nenek Bongkok, Wai Sauw Pu si Kakek Bersorban, dan, Lok Kun Tojin, tiga orang yang dulu pernah bertemu dan bertempur melawan Ang I Niocu, Kwee An, dan Ma Hoa! Akan tetapi Cin Hai belum pernah melihat mereka.

 Ketiga orang tua itu ternyata pandai bercakap-cakap dalam bahasa Turki hingga Cin Hai hanya duduk mendengarkan penuh perhatian dan biarpun tidak mengerti sama sekali, akan tetapi beberapa kali ia mendengar nama Yousuf disebut-sebut, hingga diam-diam ia berdebar girang. Tadi mereka menyebut seorang gadis yang hendak mereka keroyok, bukankah gadis yang dimaksudkan itu Lin Lin adanya?

 Cin Hai tidak tahu bahwa keempat orang itu merasa mendongkol dan marah karena percakapan mereka terganggu oleh kedatangannya, oleh karena biarpun mereka mengerti bahasa Turki, akan tetapi mereka lebih suka bercakap-cakap dalam bahasa Han tanpa didengar oleh telinga lain orang. Tiba-tiba mereka itu bicara dalam bahasa Han lagi, akan tetapi pembicaraan mereka kini telah berubah dan Cin Hai mendengar tosu itu berkata dengan keras,

 “Memang sugguh menyebalkan orang-orang sekarang, terutama anak-anak mudanya. Mereka bisanya hanya bersolek dan menjual lagak belaka. Yang paling kubenci adalah pemuda-pemuda yang berpakaian seakan-akan ia seorang sasterawan pandai, akan tetapi sebetulnya dia tak mengerti apa-apa. Kalau melihat orang pemuda berpakaian pelajar, timbul keinginanku untuk mencekik lehernya!” Tiga orang kawannya tertawa lebar dan ketika Cin Hai memandang ternyata bahwa dengan terang-terangan mereka berempat sedang memandang kepadanya. Ia maklum bahwa empat orang itu tentu sengaja menghinanya oleh karena ia memang mengenakan pakaian sebagai seorang pelajar dan pedangnya disembunyikan ke dalam bajunya yang lebar dan panjang. Hanya ia belum mengerti mengapa mereka itu menghinanya tanpa sebab.

 “Yang menyebalkan ialah bahwa mereka itu tidak insyaf bahwa kehadiran mereka tidak disukai orang. Dan sama sekali tidak mengerti bahwa kehadiran mereka mengganggu percakapan orang lain!” terdengar suara nenek bongkok dan Cin Hai mengerti bahwa mereka itu merasa terganggu, maka berusaha menakut-nakutinya agar ia segera berpindah tempat ke ruang bawah! Akan tetapi ia tidak peduli dan ketika masakan yang dipesannya datang, ia lalu makan seakan-akan di ruang atas itu tidak terdapat lain orang kecuali dia sendiri!

 Tiba-tiba tosu bercambang bauk itu membersihkan kerongkongannya dengan suara yang menjijikkan sekali. Hal ini dilakukan berkali-kali dibarengi suara tertawa dari kawan-kawannya hingga Cin Hai hampir tak dapat menahan sabar lagi. Lenyaplah nafsu makannya karena merasa jijik dan sambil menoleh dan meletakkan sumpitnya, ia berkata,

 “Heran sekali, mengapa orang-orang tua dan pendeta-pendeta di sini demikian tidak tahu kesopanan dan bersikap seperti orang-orang liar?”


 Ucapan Cin Hai ini membuat Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu, marah sekali. Ia bangun berdiri dan tubuhnya yang tinggi besar itu membuat ia nampak garang sekali. Tangan kanannya menyambar sepasang sumpitnya dan sekali ia menggerakkan tangan, sebatang sumpit itu menyambar dan menancap di meja Cin Hai sampai setengahnya lebih!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar