Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Minggu, 06 Maret 2016

PENDEKAR BODOH KPH 6 401 - 500

SAMBUNGAN  401 ......

Cin Hai mendongkol sekali karena terang-terangan mereka itu hendak menghina dan mengajaknya berkelahi. Dengan tenang ia lalu memegang sumpitnya dan dengan perlahan ia memukulkan sumpitnya pada sumpit yang tertancap di atas mejanya sambil berseru, “Kakek tua, hati-hatilah kau menggunakan sumpitmu, jangan sampai terloncat ke meja lain!” Ketika sumpit yang tertancap di atas meja itu kena dipukul oleh sumpitnya, sumpit itu mencelat dan melayang kembali ke arah Wai Sauw Pu yang masih berdiri di dekat mejanya sendiri. Kakek bersorban itu menangkap sumpitnya yang melayang kembali sambil tertawa bergelak dan berkata, “Ha, ha, tidak tahunya bukan sembarang kutu buku, dan memiliki juga sedikit punsu (kepandaian). Kau patut menerima penghormatanku. Terimalah sepotong daging sebagai penghormatan!” Sambil berkata demikian, ia menusuk sepotong daging dan ketika ia mengayun tangannya, sumpit berikut daging yang tertusuk melayang ke arah mulut Cin Hai. Pemuda ini merasa marah sekali, maka ia hendak mendemonstrasikan kepandaiannya. Ia tidak mengelak atau menangkap sumpit yang menyambar ke arah mulutnya itu, hanya miringkan kepala sedikit dan ketika sumpit itu lewat di depan mulutnya, ia membuka mulut dan menggigit ujungnya. Daging dan sumpit dapat tergigit olehnya dan ketika ia meniup, sumpit itu meluncur ke atas lantai dan patah menjadi dua! Kemudian ia menghadapi Wai Sauw Pu dan mengerahkan tenaga khikang lalu menyemburkan daging dari mulutnya itu kepada kakek itu, disusul dengan kata-kata, “Kakek yang baik, kubayar lunas penghormatanmu dan terimalah kembali daging busukmu!” Daging yang disemburkan itu cepat sekali meluncur ke arah mulut Wai Sauw Pu.

 Kini terkejutlah kakek ini dan ia segera miringkan kepala hendak berkelit akan tetapi semburan Cin Hai ini selain cepat, juga tidak terduga hingga biarpun daging itu tidak mengenai mulutnya, akan tetapi masih menyerempet pipinya hingga terasa pedas dan pipinya ternoda oleh kuah daging itu!

 Wai Sauw Pu menjadi marah sekali. Dengan tindakan kaki lebar ia lalu menghampiri Cin Hai yang juga belum berdiri dengan tenang.

 “Tikus kecil! Berani betul kau berlaku kurang ajar di depanku!” teriak Wai Sauw Pu dengan marah sekali.

 “Kakek yang baik, pernahkah kau mendengar sebuah ujar-ujar kuno yang sangat baik! Ujar-ujar itu menyatakan, bahwa menghormat orang lain berarti menghormat diri sendiri! Kau dan kawan-kawanmu sengaja menggangguku padahal aku tidak melakukan sesuatu yang salah! Kalau kau tidak menghormat bahkan menghina orang lain, bukankah itu menyalahi ujar-ujar itu? Menghormati orang lain berarti menghormat diri sendiri, sebaliknya menghina orang lain berarti menghina diri sendiri karena dengan perbuatanmu yang menghina orang lain itu hanya menyatakan betapa rendahnya martabatmu!”

 Mendengar ucapan ini, tertegunlah hati Wai Sauw Pu dan ia mulai menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Akan tetapi, untuk daerah barat nama Wai Sauw Pu sudah terkenal sekali dan apa lagi ia dihina oleh pemuda itu di depan ketiga orang kawannya, maka tentu saja ia tidak mau mengalah. “Anak muda, siapakah kau yang berani bermain gila di depan Wai Sauw Pu si Malaikat Tasbeh? Katakan siapa namau agar aku tidak menghajar segala oang yang tidak bernama!”

 Cin Hai berpura-pura memperlihatkan muka terkejut dan ketakutan mendengar nama yang sesungguhnya belum pernah dikenalnya itu. “Ah, kiranya aku berhapan dengan seorang malaikat? Tentu kau masih terhitung keluarga dengan Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa), karena menurut cerita orang Giam-lo-ong juga bertubuh tinggi besar seperti kau! Aku hanya seorang biasa saja, mana ada kehormatan untuk memperkenalkan nama kepada malaikat? Sudahlah, kakek yang baik, kaumaafkan aku saja dan jangan kau mencabut nyawaku!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sewajarnya dan tidak mengandung ejekan akan tetapi cukup memerahkan telinga Wai Sauw Pu. “Boleh, boleh! Kau boleh minta maaf akan tetapi kau harus mencukur gundul dulu kepalamu di hadapanku, baru aku bisa memberi maaf dan tidak menghancurkan kepalamu!”

 Cin Hai adalah seorang yang mempunyai kesabaran besar, akan tetapi tidak ada ucapan yang akan melebihi sakitnya terasa di dalam hatinya selain menyuruh dia menggundul kepalanya! Ucapan yang dikeluarkan oleh Wai Sauw Pu tanpa disengaja itu mengingatkan dia akan hinaan-hinaan yang dideritanya ketika ia masih kanak-kanak dan berkepala gundul. Maka ia lalu menjawab,

 “Pikiranmu cocok sekali dengan keinginan hatiku! Aku pun ingin sekali melihat benda apakah yang tersembunyi di dalam sorbanmu itu! Ingin sekali aku melihat warna kulit kepalamu, apakah kulitnya sama tebalnya dengan mukamu!”

 “Keparat!” teriak Wai Sauw Pu dan tahu-tahu tangannya telah menarik keluar lihai tasbehnya, senjatanya yang ampuh itu! Dan tanpa mengeluarkan peringatan lagi, tahu-tahu tasbehnya telah meluncur dan menyerang ke arah kepala Cin Hai! Pemuda ini dengan tenang lalu mengelak segera mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk menghadapi tasbeh kakek itu dengan tangan kosong!

 Tidak hanya Wai Sauw Pu yang terkejut melihat gerakan pemuda yang luar biasa cepatnya itu, bahkan kawan-kawannya juga memandang dengan heran dan kagum. Biarpun tasbeh itu membuat gerakan yang melingkar-lingkar dan mencegah seluruh jalan keluar, namun dengan cepat tubuh Cin Hai dapat berkelebat mengikuti gulungan sinar senjata dan menghindarkan diri dari setiap sambaran tasbeh!

 ”Kakek yang baik, kaubukalah sorbanmu!” Sambil berkata demikian, kedua tangan Cin Hai cepat bergerak dan dengan gerakan Kong-ciak-jio-cu atau Merak Sakti Merampas Mustika, ia mencengkeram ke arah kepala Wai Sauw Pu dengan tangan kirinya! Kakek itu terkejut sekali dan mengelak ke kanan, akan tetapi secepat kilat tangan kanan Cin Hai menyusul dan sebelum Wai Sauw Pu sempat berkelit, sorbannya telah dapat dicengkeram dan direnggutkan dari kepalanya oleh Cin Hai. Tertawalah anak muda itu ketika melihat betapa kepala Wai Sauw Pu ternyata gundul pelontos seperi kepalanya dulu!

 “Ha, ha, ha! Pantas saja kau minta aku mencukur gundul rambutku, tidak tahunya kau telah mendahuluiku mencukur gundul kepalamu! Ha, ha, alangkah licinnya! Lalat pun akan terpeleset apabila hinggap di kepalamu!”

 Biarpun merasa marah sekali, ketiga kawan Wai Sauw Pu terpaksa menahan ketawa mereka mendengar kata-kata yang lucu ini. Mereka bertiga lalu meloloskan senjata masing-masing dan menerjang maju hingga Cin Hai terkurung di tengah-tengah. Melihat gerakan mereka diam-diam Cin Hai terkejut juga karena tidak disangkanya bahwa ilmu kepandaian keempat orang ini ternyata benar-benar tinggi dan hebat! Ia pikir takkan ada gunanya untuk melawan mati-matian kepada mereka itu, karena bukankah mereka ini mempunyai hubungan dengan lenyapnya Yousuf dan Lin Lin? Maka ia lalu melompat ke sana ke mari dan membuat gerakan-gerakan Tarian Bidadari hingga tubuhnya dengan mudah dapat mengelak dari setiap serangan, sambil berkata,

 “Aduh, lihai... lihai sekali, aku terima kalah!” Ia lalu melompat ke atas dan cepat pergi dari tempat itu, bersembunyi di tempat gelap di luar rumah makan.

 Empat orang itu segera mengejar dan melompat turun dari loteng hingga semua tamu yang mengenal mereka sebagai orang-orang berilmu tinggi menjadi panik dan lari ketakutan!

 Dengan marah keempat orang itu mencari-cari, akan tetapi Cin Hai dapat menyembunyikan diri dengan baik, bahkan lalu mengikuti mereka ketika mereka pergi dengan berlari cepat sekali.

 Keempat orang yang diikuti Cin Hai itu menuju ke sebelah timur kota dan mereka memasuki sebuah pondok. Cin Hai menggunakan ilmu ginkangnya yang tinggi untuk mengintai tanpa diketahui oleh penghuni pondok. Ketika ia memandang, alangkah kagetnya oleh karena keempat orang itu ternyata mengadakan pertetnuan dengan tiga orang tosu bangsa Han yang bukan lain orangnya ialah Kang-lam Sam-lojin, ketiga tokoh besar dari Liong-san-pai yang pernah menjad guru-gurunya dulu! Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng Cu sudah kelihatan tua sekali akan tetapi mereka masih bersikap gagah!

 Ketujuh orang di dalam pondok itt sedang membicarakan tentang pertemuan yang baru dialami oleh keempat orang tua itu dengan Cin Hai. Si Kakek bersorban berkata,

 “Jangan-jangan pemuda yang aneh itu adalah kawan Yousuf, atau jangan-jangan ia adalah seorang penyelidik dari kaisar! Maka lebih baik malam ini juga kita menyerbu ke pondok itu untuk menawan Yousuf!”

 Setelah mengadakan permufakatan, ketujuh orang itu lalu keluar dari pondok dan segera berlari menuju ke sebuah hutan yang berada di luar kota. Cin Hai tetap mengikuti mereka dengan hati berdebar. Alangkah banyaknya orang-orang pandai yang hendak menawan Yousuf! Benar-benarkah yang hendak ditawannya Yousuf yang menjadi ayah angkat Lin Lin itu? Dengan hati menduga-duga dan penuh harapan, Cin Hai terus mengikuti mereka masuk ke dalam hutan. Malam itu terang bulan hingga mereka dapat berjalan di dalam hutan tanpa banyak susah. Mereka berhenti di luar sebuah pondok kayu sederhana yang agaknya masih baru dibangun di tengah-tengah hutan itu.

 “Yousuf! Kau keluar dan menyerahlah dengan damai!” Wai Sau Pu berteriak dari luar. Tiba-tiba api penerangan yang tadinya nampak bernyala di dalam pondok itu menjadi padam, dan terdengarlah suara yang merdu dan nyaring dari dalam pondok,

 ”Kawanan penjahat rendah! Kaukira Nonamu akan membiarkan kau mengganggu ayahnya?”

 Cin Hai hampir berseru karena girang. Itulah suara Lin Lin! Maka tanpa terasa lagi ia lalu mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam jubahnya dan bersiap sedia membantu kekasihnya itu.

 Diam-diam Cin Hai lalu mengumpulkan kayu dan daun kering karena ia pikir bahwa kalau keadaan di luar tidak cukup terang, maka akan berbahaya sekali bagi Lin Lin. Apabila di luar gelap maka pada saat gadis itu keluar, mudah ia diserang dengan senjata rahasia, sedangkan tadi di rumah makan ia sudah mendapat kenyataan betapa kakek bersorban itu pandai sekali menimpuk dengan sumpit, tanda bahwa ia bisa mempergunakan senjata rahasia. Setelah kayu dan daun kering ia tumpuk, lalu ia membuat api dan membakar tumpukan itu hingga berkobarlah api yang membuat tempat itu menjadi terang sekali!

 Mari kita ikuti sebentar dan secara singkat pengalaman Yousuf dan Lin Lin yang memaksa mereka berlari meninggalkan tempat tinggal mereka di lereng bukit dekat tapal batas sebelah utara itu.

 Sambil menanti berita dari Cin Hai pergi mencari jejak Ma Hoa dan Kwee An, Lin Lin setiap hari melatih Ilmu Pedang Han-le Kiam-hwat yang dipelajarinya dari Cin Hai. Di samping itu ia merawat Yousuf yang terluka dengan penuh kesabaran.

 Beberapa hari kemudian, selagi ia melatih ilmu pedangnya, ia melihat rombongan orang Turki menyerbu naik bukit itu dan jumlah mereka tidak kurang dari sebelas orang!

 “Nona, di mana adanya Yousuf?” tanya seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebuah golok di tangan.

 “Ada keperluan apakah kalian mencari Yousuf?” tanya Lin Lin dengan hati-hati

 “Kami hendak menawannya!”

 Baru saja mendapat jawaban ini, Lin Lin menyambar dengan hebat hingga pemegang golok itu terpelanting dengan luka pada lengan tangannya!

 “Enak saja kau bicara!” Lin Lin membentak. “Siapa pun tidak boleh menawan Ayahku!”

 Orang-orang Turki itu merasa heran sekali mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Yousuf sedangkan sepanjang pengetahuan mereka, Yousuf belum pernah beristeri, apa lagi mempunyai seorang puteri! Mereka lalu menyerbu dengan hebat yang disambut dengan marah oleh Lin Lin. Pedang Han-le-kiam di tangannya walaupun hanya pendek, akan tetapi gerakannya luar biasa, seakan-akan seekor naga sakti mengamuk para penyerangnya.

 Akan tetapi, di antara para penyerbu ini terdapat seorang yang tinggi silatnya, yaitu Lok Kun Tojin dan beberapa orang Turki yang terkenal jago-jago nomor satu di negaranya! Sebentar saja Lin Lin terkurung rapat dan terdesak hebat.

 Tiba-tiba terdengar pekik nyaring dari atas dan seekor burung merak besar menyambar turun bagaikan halilintar dan begitu burung sakti itu menggerakkan sayap dan kakinya, dua batang golok musuh telah terpental dan orangnya terpelanting!

 Akan tetapi, Lin Lin maklum bahwa pihak lawan kuat sekali, dan apabila diteruskan, ia akan lelah dan kalah, sedangkan Yousuf masih dalam keadaan lemah! Mengingat bahwa mereka ini datang hendak menawan Yousuf, ia menjadi gelisah sekali maka secepat kilat ia melompat mundur. Ketika pihak musuh mengejar, ia berseru,

 “Kongciak-ko, kautahan mereka!” Merak Sakti agaknya mengerti akan maksud perintah ini karena ia lalu menyambar-nyambar dan menghalangi mereka yang hendak mengejar Lin Lin. Seorang pengeroyok yang berlaku kurang hati-hati dan terlalu berani, telah kena dipatuk matanya hingga menjadi buta!

 Lin Lin mempergunakan kesempatan itu berlari cepat ke arah pondok di mana Yousuf sedang duduk dengan wajah muram. Orang tua ini selain menderita karena lukanya, juga ia merasa gelisah sekali apabila mengingat akan nasib Kwee An dan Ma Hoa yang terjatuh ke dalam jurang!

 “Ayah, Ayah... ayo kita lekas lari!” tiba-tiba terdengar suara Lin Lin yang masuk dengan wajah pucat.

 “Kau kenapa, Nak?” Yousuf bertanya tenang.

 “Musuh datang menyerbu! Rombongan orang-orang Turki yang lihai sekali!”

 Yousuf terkejut juga dan akhirnya menurut untuk melarikan diri dari belakang, sementara musuh ditahan oleh Merak Sakti. Akan tetapi, oleh karena pihak musuh memang terdiri dari orang-orang pandai, akhirnya Merak Sakti juga tidak kuat bertahan lebih lama lagi setelah ia mendapat luka-luka ringan karena tusukan golok, hingga sambil berteriak-teriak ia lalu terbang tinggi sekali. Ia melihat dua orang kawannya yang berlari cepat, maka ia lalu melayang dan mengejar mereka.

 Ketika rombongan orang Turki menyerbu ke dalam rumah, mereka hanya mendapatkan rumah kosong dan pada saat itu Yousuf dan Lin Lin telah cukup jauh. Dengan gemas orang-orang Turki itu lalu membakar rumah Yousuf serta melaksanakan pengejaran. Di sepanjang jalan mereka melampiaskan rasa marah dan gemasnya kepada rakyat dusun hingga rakyat dusun banyak yang menderita dan menjadi korban keganasan mereka.

 Sementara itu, Lin Lin dan Yousuf terus melarikan diri, dikawal dari atas oleh Merak Sakti. Beberapa kali mereka tersusul oleh rombongan pengejar, akan tetapi berkat kegagahan Lin Lin dan pembelaan Merak Sakti yang setia, mereka selalu dapat dipukul mundur hingga akhirnya mereka hanya mengejar dari belakang tanpa berani menyerang lagi.

 Akhirnya Lin Lin dan Yousuf tinggal dalam hutan itu dan mereka menyangka bahwa mereka telah terlepas dari kejaran orang-orang Turki itu oleh karena telah lama tidak kelihatan mereka menyerang. Padahal rombongan itu masih tetap mengintai, bahkan mereka lalu mendatangkan bala bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli yang menjadi sumoi dari Hai Kong Hosiang dan yang telah memberi kesanggupan kepada suhengnya itu untuk membalaskan dendamnya kepada Cin Hai dan kawan-kawannya, si kakek bersorban Wai Sau Pu yang gagah perkasa, jago dari Sin-kiang itu, dan masih banyak lagi jago-jago yang mereka datangkan dari Turki.

 Ketika pada malam hari itu rombongan musuh menyerbu lagi, Yousuf yang mendengar musuh-musuhnya lalu berkata kepada Lin Lin,

 “Lin Lin, anakku yang baik, kaupergunakanlah kepandaianmu untuk lari menyelamatkan diri. Tinggalkanlah aku seorang diri, aku sudah tua dan aku berani menghadapi bencana ini seorang diri. Akan tetapi kau, kau jangan sampai terbawa-bawa, anakku. Kau mendapat berkah dan doaku, pergilah Lin Lin, kalau sampai kau terkena bencana bersamaku, sampai mati pun aku akan merasa penasaran dan duka!”

 “Tidak, tidak. Bagaimanapun juga aku akan tetap membelamu, Ayah!”

 Yousuf merasa terharu sekali melihat betapa anak pungutnya ini bersedia membelanya dengan berkorban jiwa! Tak tertahan lagi air mata mengucur dan membasahi pipinya. Lin Lin lalu menerjang keluar sambil memutar-mutar pedang Han-le-kiamnya. Biarpun pedangnya hanya sebuah, akan tetapi ketika ia mainkan Han-le Kiam-hwat, pedang itu seakan-akan berubah menjadi puluhan pedang. Juga pada saat itu, Merak Sakti menyambar keluar dari pintu pondok dan mengamuk tak kalah hebatnya.

 Siok Kwat Moli si nenek bongkok yang melihat kehebatan Merak Sakti menjadi marah sekali. Ia mencabut sebatang pisau kecil dan mengayunkan tangannya. Merak Sakti dapat melihat berkelebatnya pisau yang mengancam dada, maka cepat ia menyampok dengan kaki kirinya, akan tetapi tidak tahunya, bahwa pisau itu lihai sekali, tidak bergagang dan pada kedua ujungnya tajam. Ketika disampok, pisau itu tidak terpental bahkan lalu melejit dan meleset menancap pada paha burung merak itu. Merak Sakti memekik kesakitan dan terbang tinggi ke atas dengan pisau masih menancap pada pahanya.

 Cin Hai segera melompat dan menerjang dengan pedangnya sambil berseru,

 “Moi-moi, jangan kau takut, aku datang membantumu!”

 Alangkah girangnya hati Lin Lin melihat pemuda kekasihnya ini, maka ia lalu memutar pedangnya makin hebat dan bersemangat sambil berteriak,

 “Koko...!”

 Sementara itu, keempat orang tua yang tadi telah bertemu dengan Cin Hai di rumah makan, menjadi terkejut sekali melihat bahwa pemuda itu kini tiba-tiba muncul dan membantu gadis yang gagah itu.

 “Tikus kecil, kau berani muncul lagi?” Wai Sauw Pu membentak dan tasbehnya lalu menyambar.

 “Tikus besar, mengapa aku tidak berani?” balas Cin Hai membentak. Biarpun dikeroyok hebat, hati pemuda ini merasa girang dan gembira sekali karena telah dapat bertemu dengan kekasihnya. Pedang Liong-coan-kiam berkelebaten dan menyilaukan mata para pengeroyoknya ketika ia mainkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai.

 Ketika Kang-lam Sam-lojin ikut maju mengeroyok Cin Hai, pemuda ini lalu menegur mereka, “Sam-wi Totiang, apakah Sam-wi selama ini baik saja?” Giok Yang Cu yang tinggi besar dan itu lalu membentak, “Setan kecil, siapakah engkau yang berpura-pura telah kenal kami tiga saudara?”

 “Ha, ha, Giok Yang Cu Totiang, lupakah kau kepada Cin Hai si Anak Gundul?”

 Bukan main terkejut dan herannya tiga orang tosu itu mengetahui bahwa pemuda itu benar-benar Cin Hai, anak gundul yang dulu pernah ikut mereka. Tak mereka sangka bahwa anak yang kelihatan bodoh dan gundul itu dan kemudian pergi bersama Ang I Niocu, kini telah menjadi seorang pemuda yang demikian lihainya. Mereka lalu berbalik mengeroyok Lin Lin lagi oleh karena mereka merasa tidak enak hati mengeroyok Cin Hai, anak yang dulu pernah menolong jiwa mereka!

 Biarpun Cin Hai lihai sekali kepandaiannya dan Lin Lin juga telah memiliki ilmu pedang yang hebat, akan tetapi oleh karena para pengeroyok itu terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi, lagi pula oleh karena ilmu pedang Lin Lin belum sempurna dan matang betul, maka terpaksa Cin Hai harus mengerahkan tenaga untuk bersilat di dekat gadis kekasihnya untuk membelanya di waktu perlu, dan keadaan keduanya segera terkurung rapat! Celakanya bahwa Sin-kong-ciak yang lihai telah terluka dan tidak berani turun membantu lagi!

 Yousuf yang menderita sakit karena selain lukanya yang belum sembuh dan kegelisahannya berhubung dengan jatuhnya Kwee An dan Ma Hoa di dalam jurang mendatangkan tekanan batin yang hebat, kini menghadapi penyerbuan yang membahayakan ini menjadi bingung sekali. Ia lalu menganggap dirinya berdosa besar, karena perpisahan antara Lin Lin dan Cin Hai pun terjadi oleh karena urusannya. Kalau rombongan orang Turki itu tidak datang menyerbu untuk menawannya dan Lin Lin tidak membelanya, tentu gadis itu tidak akan pergi dari lereng gunung di utara itu dan tidak akan terpisah dari Cin Hai. Dan sekarang kembali gadis itu berada di dalam bahaya karena membelanya. Kalau gadis itu sampai terbinasa, alangkah besar dosanya! Maka ia lalu paksakan diri keluar sambil membawa sebatang pedang, akan tetapi tubuhnya amat lemas!

 Pada saat ia muncul di ambang pintu, matanya terbelalak ketika ia melihat seorang pemuda bertempur membantu Lin Lin dan ternyata bahwa pemuda itu adalah Cin Hai!

 “Cin Hai...!” serunya girang, akan tetapi segera ia roboh tertotok oleh Wai Sauw Pu yang telah melompat dan segera menawannya.

 “Cuwi, tangkaplah aku akan tetapi jangan kalian mengganggu kedua orang muda itu!” Yousuf masih sempat berteriak sebelum Wai Sauw Pu membawanya lari! Lin Lin terkejut sekali dan hendak mengejar, akan tetapi para pengeroyoknya tidak memberi kesempatan kepadanya. Juga Cin Hai tak dapat meninggalkan Lin Lin seorang diri, maka kedua orang muda itu merasa gelisah sekali.

 Dan pada saat itu, terdengar suara ketawa yang nyaring sekali, lalu disusul berkelebatnya bayangan yang gesit sekali ke arah Wai Sauw Pu yang sedang lari sambil mengempit tubuh Yousuf. Sekali bayangan itu bergerak, Wai Sauw Pu roboh terpelanting dan Yousuf telah dipulihkan kembali dari totokan!

 Yousuf dengan lemah lalu merayap ke pinggir dan tiba-tiba terdengar bisikan orang,

 “Paman Yousuf, mari ikut aku!”

 Yousuf memandang dan ternyata seorang Turki keluar dari tempat gelap. Ketika ia memperhatikan, orang itu bukan lain adalah keponakannya sendiri yang segera menggendongnya dan membawanya lari ke dalam gelap!

 Sementara itu, penolong yang datang dengan tiba-tiba itu tertawa lagi dan berkata, “Kalian ini semut-semut kecil hendak berlagak ganas, melarikan orang dan berani mengeroyok seorang nona manis? Ha, ha, itu namanya tidak memandang mukaku. Sungguh terlalu, terlalu sekali!” Setelah berkata demikian, orang itu lalu menyerbu dan gerakan kaki tangannya ringan dan cepat sekali!

 Bukan main herannya hati Cin Hai ketika mengenal bahwa orang ini adalah laki-laki pesolek yang tampan dan yang pernah menaklukkan burung bangau secara lihai sekali itu! Dan bukan main terkejutnya ketika ia melihat betapa laki-laki itu lalu bersilat dengan ilmu silat yang hampir sama dengan Pek-in-hoatsut!

 Menghadapi Cin Hai dan Lin Lin saja, semua pengeroyok sudah merasa sukar untuk menjatuhkannya, apalagi ditambah dengan seorang yang demikian lihainya. Mereka lalu melompat mundur dan hanya dapat bertahan saja. Beberapa kali Si Pesolek itu tertawa bergelak sambil bersilat di dekat Lin Lin dan ketika pengeroyok mulai mengendur kurungan mereka, tiba-tiba saja laki-laki itu lalu mengulur tangan dan menotok iga kiri Lin Lin! Serangan ini adalah sebuah tipu dalam limu Silat Kong-ciak Sin-na yang dilakukan dengan baik sekali hingga Lin Lin yang sama sekali tak pernah menduga bahwa penolong itu akan menyerang dirinya, tak sempat mengelak dan tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas. Secepat sambaran burung walet, laki-laki itu sambil tertawa lalu mengempit tubuh Lin Lin dan melompat cepat melarikan diri!

 Bukan main terkejutnya hati Cin Hai melihat hal ini.

 “Orang rendah, kau hendak lari ke mana?” Ia lalu mengejar dengan cepat pula ke arah mana bayangan orang tadi menghilang.

 Rombongan orang Turki yang tiba-tiba melihat ketiga lawan mereka menghilang dan juga Yousuf tak nampak bayangannya, lalu menolong kawan-kawan yang terluka dan cepat meninggalkan tempat itu dengan penasaran dan kecewa. Mereka juga bingung dan menduga-duga melihat sepak terjang orang aneh yang tadinya menolong akan tetapi akhirnya bahkan menculik gadis itu!

 Ternyata bahwa laki-laki yang melarikan Lin Lin itu memiliki ilmu lari cepat yang hebat sekali hingga biarpun Cin Hai telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, ia hanya dapat mengikutinya saja tanpa dapat merobah jarak antara dia dan orang yang dikejarnya. Sebaliknya, orang itu pun merasa terheran-heran karena pemuda yang mengejarnya itu ternyata tak pernah tertinggal jauh, biarpun ia telah mengeluarkan ilmu Lari Cepat Jauw-sang-hwe (Terbang di Atas Rumput)! Demikianlah, mereka berkejar-kejaran setengah malam penuh sampai fajar menyingsing, dan tetap mereka berlari melalui hutan-hutan dan melompati jurang-jurang! Tak seorang pun di antara mereka mau mengalah!

 Sementara itu, ketika pada keesokan harinya pagi-pagi sekali, burung bangau Ang-siang-kiam beterbangan di atas hutan itu berputar-putar mencari Cin Hai, Ia mendengar keluh kesakitan dari Merak Sakti yang berada di atas sebuah pohon tinggi dan berdiri di atas cabang dengan sebelah kaki tertancap pisau. Burung bangau lalu terbang menyambar turun dan ketika melihat Sin-kong-ciak, ia lalu terbang dan hinggap di depannya. Kedua hurung ini telah mendapat didikan dan bisa membedakan kawan atau lawan. Burung bangau melihat betapa burung merak terluka, lalu mengeluarkan suara mengeluh, dan ia lalu menggunakan sepasang paruhnya yang panjang dan tajam untuk menjepit pisau itu dan mencabutnya. Memang ia telah mendapat latihan-latihan untuk melakukan pertolongan hingga dengan mudah ia dapat mengeluarkan pisau itu.

 Melihat perbuatan yang menolongnya ini, Sin-kong-ciak tahu bahwa burung bangau ini bermaksud baik, maka ia maklum bahwa Ang-siang-kiam adalah seorang kawan. Setelah pisau yang menancap di kakinya telah tercabut keduanya lalu terbang tinggi di udara, merupakan kawan baik dan sama-sama terbang berputar-putar mencari jejak majikan mereka!

 Ang I Niocu, Kwee An dan Ma Hoe melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat untuk mencari Lin Lin dan Yousuf. Pada suatu hari ketika mereka tiba di sebuah hutan, mereka melihat seorang kakek sedang dikeroyok oleh rombongan perampok yang terdiri dari belasan orang bersenjata golok. Kakek ini gagah sekali, bertempur sambil tertawa bergelak dan memutar-mutar sebatang dayung dengan hebatnya. Tiga orang pengeroyoknya telah roboh dengan tulang patah dan kulit matang biru, sedangkan sisa pengeroyok-pengeroyok terdesak hebat.

 “Nelayan Cengeng!” seru Ang I Niocu dan ketiga orang muda itu segera menerjang kawanan perampok itu yang segera melarikan diri karena baru menghadapi seorang kakek saja mereka sudah terdesak, apalagi kini datang tiga orang muda membantu kakek itu!

 Nelayan Cengeng ketika melihat kedatangan Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An, tertawa gembira sekali. Ia mengusap-usap rambut Ma Hoa ketika gadis itu berlutut di depan suhunya, mulutnya tiada hentinya tertawa, akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata!

 “Ma Hoa, alangkah senangnya hatiku dapat bertemu dengan kau di sini. Kau sekarang telah berubah banyak, muridku! Dengan rambutmu terurai seperti ini, kalau tidak ada Kwee An dan Ang I Niocu, mungkin akan pangling!”

 Ternyata bahwa Nelayan Cengeng telah menyusul muridnya di lereng bukit di utara itu, akan tetapi hanya mendapatkan tumpukan puing belaka hingga ia pun menyusul dan mengejar ke barat. Ketika tiba di dalam hutan itu, ia dikeroyok oleh perampok-perampok yang merupakan makanan lunak bagi dayungnya hingga ia mempermainkan mereka dengan gembira, tak menyangka sama sekali bahwa di situ ia akan dapat bertemu dengan murid yang dicari-carinya itu.

 “Ketika aku mencarimu di utara, aku mendengar tentang Lin Lin dan Yo Se Pu dikejar kejar oleh orang Turki. Di manakah mereka itu sekarang? Dan di mana pula adanya Cin Hai? Sungguh tak kusangka tadinya bahwa kalian semua akan terpisah-pisah seperti ini. Dan Ang I Niocu seakan-akan baru kembali dari lubang kubur! Ketahuilah, Niocu, bahwa tak seorang pun pernah menyangka bahwa kau masih hidup! Syukurlah, semuanya berada dalam selamat, ini menambahkan keyakinan bahwa kalian adalah orang-orang baik yang berada dalam lindungan Thian!”

 Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan pengalamannya bagaimana ia sampai dapat tertolong dari pulau yang meledak itu, akan tetapi sama sekali ia tidak menyebut nama Lie Kong Sian. Sedangkan Ma Hoa lalu menuturkan pengalamannya ketika ia dan Kwee An terjerumus ke dalam jurang dan betapa ia mendapat pelajaran dari seorang pertapa bernama Hok Peng Taisu, kakek botak yang mengajarkan Ilmu Silat Bambu Kuning kepadanya.

 “Hebat, hebat! Kau beruntung sekali, Ma Hoa! Ketahuilah bahwa Hok Peng Taisu adalah seorang tokoh besar dan dulu ketika aku masih muda, pernah aku mendapat pertolongan dari Si Botak itu hingga sampai sekarang gurumu ini masih dapat hidup! Dulu aku pernah dikepung oleh imam-imam dari perkumpulan Agama Ngo-bwe-kauw dan ketika aku terdesak hebat dan terancam bahaya maut, datanglah Si Botak itu yang menolongku.

 Dan sekarang, kembali ia menolong jiwamu dan bahkan memberi pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadamu! Bagus, bagus, sebelum aku mati, aku harus menemui Si Botak itu untuk berlutut menghaturkan terima kasih kepadanya. Sekarang kauperlihatkanlah kepandaianmu yang baru itu!”

 Ma Hoa menganggap Nelayan Cengeng seperti ayah sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengeluarkan sepasang bambu runcingnya dan bersilat dengan cepat. Melihat betapa gadis itu dengan rambut berkibar melambai-lambai menggerakkan kedua batang bambu runcing hingga dua batang bambu yang berwarna kuning itu merupakah sinar panjang berbelit-belit bagaikan ratusan ekor ular kuning sedang saling belit dan bergerak-gerak dengan ruwet dan aneh, tidak saja Kwee An memandang dengan kagum dan rasa kasih sayangnya bertambah, juga Ang I Niocu dan Nelayan Cengeng merasa kagum sekali. Setelah Ma Hoa selesai bersilat, gurunya tertawa lagi dengan gembira dan air matanya mengucur makin deras!

 “Adik Ma Hoa, ilmu silatmu sekarang telah maju hebat, sungguh membuat aku merasa kagum sekali,” kata Ang I Niocu dengan sejujurnya.

 “Aah, Enci Im Giok, jangan kau terlalu memuji. Aku masih banyak mengharapkan petunjukmu,” kata Ma Hoa sambil menyimpan kembali kedua batang bambu runcingnya.

 Kembali Ang I Niocu mengusulkan untuk mencari Lin Lin dan Cin Hai dengan terpisah agar lebih banyak harapan dan lebih cepat bertemu dengan kedua anak muda itu.

 “Biariah Kong Hwat Lojin mengawani kalian berdua, dan aku akan mencari sendiri,” kata Ang I Niocu yang memang lebih suka melakukan perjalanan seorang diri. Biarpun Ma Hoa merasa agak sayang untuk berpisah lagi dengan wanita pandekar yang disayanginya itu, namun ia anggap usul ini betul juga.

 “Akan tetapi kita harus menentukan tempat berkumpul kembali agar kita tidak saling mencari tanpa mengetahui di mana kita harus saling mengadakan pertemuan,” kata Nelayan Cengeng. Lalu mereka mengadakan permufakatan untuk bertemu di rumah Kwee An. Semua orang setuju dan pada saat mereka hendak melanjutkan perjalanan dengan terpisah, tiba-tiba mereka mendengar dengan sayup-sayup suara orang bertempur. Mereka saling pandang dengan heran dan keempatnya lalu lari menuju ke arah dari mana suara itu datang.

 Pada waktu itu, hari telah mulai menjadi gelap, akan tetapi di udara banyak bintang hingga keadaan tidak terlalu gelap. Suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan itu datang dari tengah hutan dan ketika mereka tiba, di suatu tempat terbuka, mereka melihat dua orang laki-laki sedang bertempur dengan hebatnya!

 Seorang di antara mereka adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang barusia kira-kira empat puluh tahun lebih. Ia bersenjata sebuah alat tetabuhan yang bertali empat, gerakannya hebat dan angin gerakannya membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang! Lawannya juga seorang yang lihai sekali, yaitu seorang pendeta bertubuh pendek gemuk, berjubah merah dan memegang sebuah gendewa sebagai senjata. Gerakannya juga lihai sekali dan tiap kali ujung gendewanya beradu dengan senjata lawannya, bunga api memercik tinggi, tanda bahwa selain kedua senjata itu terbuat dari logam yang keras, juga bahwa tenaga mereka besar dan seimbang!

 Mereka berempat, bahkan Nelayan Cengeng sendiri tidak tahu siapa adanya dua orang yang berilmu tinggi itu. Sebenarnya, orang yang bersenjata alat musik itu bukan lain ialah Sie Ban Leng atau paman Cin Hai yang dulu telah mengkhianati ayah Cin Hai hingga terbinasa sekeluarganya! Sedangkan pendeta jubah merah itu adalah Sian Kek Losu, seorang pendeta Sakya Buddha, atau sute dari Thai Kek Losu yang lihai dan yang menjadi jago nomor dua dari semua tangan kanan Yagali Khan, Raja Muda Mongol itu!

 Bertambah banyaknya orang-orang Turki yang mendatangi Tiongkok bagian barat, membuat kaisar menaruh curiga, maka kemudian kaisar lalu memerintahkan panglimanya untuk mengirim seorang utusan atau penyelidik. Kam Hong Sin atau Kam-ciangkun yang kini menjadi panglima tertinggi kerajaan adalah seorang yang amat lihai dalam melakukan tugasnya. Ia maklum bahwa tugas seorang penyelidik di barat bukanlah tugas yang ringan dan yang dapat dilakukan oleh sembarang orang saja, maka ia lalu minta pertolongan kawan baiknya dengan memberi hadiah dan upah besar. Kawan baiknya ini bukan lain ialah Sie Ban Leng!

 Juga Yagali Khan menyebar orang-orangnya untuk melihat gerak-gerik orang Turki yang menjadi musuhnya. Di antara orang-orangnya ini, juga Sian Kek Losu ikut pula melakukan perjalanan ke barat untuk melihat keadaan. Maka bertemulah Sian Kek Losu dengan Sie Ban Leng di tempat ini hingga setelah mengetahui bahwa mereka datang dari pihak yang bermusuhan, bertempurlah mereka dengan hebatnya.

 Gerakan serangan Sie Ban Leng benar-benar hebat luar biasa. Senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar dan tak pernah berhenti menyerang karena tiap kali serangannya dapat dielak, senjatanya itu membuat gerakan melengkung dan terus membabat dan memukul lagi, hingga serangan itu dilakukan tanpa pernah tertunda, merupakan serangan bertubi-tubi hingga membuat pendeta Sakya Buddha itu tersedak hebat. Tiba-tiba pendeta Sakya Buddha itu melompat mundur dan gerakan tubuhnya yang pendek itu amat gesitnya hingga sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari lima tombak. Ketika Sie Ban Leng melompat untuk menerjang lagi, Sian Kek Losu telah mengeluarkan anak panah yang dipasangnya pada gendewanya dan begitu terdengar suara tali gendewa menjepret, tujuh batang anak panah sekaligus melayang ke arah tubuh Sie Ban Leng di beberapa bagian!

 Terkejutlah Nelayan Cengeng dan kawan-kawannya melihat kehebatan dan bahaya besar yang mengancam orang Han itu. Betapapun juga, dan biarpun mereka tidak kenal siapa adanya dua orang itu dan mengapa pula mereka bertempur, akan tetapi sebagai orang-orang Han, sedikit banyak mereka memihak bangsa sendiri. Ini adalah watak manusia pada umumnya, maka melihat bahaya yang mengancam Sie Ban Leng, tak terasa pula Nelayan Cengeng mengeluarkan seruan tertahan.

 Akan tetapi kalau kepandaian memanah dari Sian Kek Losu hebat, maka kegesitan Sie Ban Leng lebih hebat lagi. Ia berseru kerasa dan untuk mengelak sambaran tujuh batang anak panah yang dilepas dari dekat dan yang melayang dengan kecepatan luar biasa itu memang sudah tak mungkin, maka tiba-tiba ia mengenjot kakinya dan kaki itu melayang ke atas dengan kepala di bawah. Dengan demikian, maka tubuh bagian bawah yang terancam akan panah telah terhindar dari bahaya dan untuk menjaga kepalanya ia memutar-mutar senjatanya sedemikian rupa hingga dua batang anak panah yang tadinya mengarah mata dan tenggorokannya, dengan suara keras beradu dengan senjatanya. Sebatang anak panah dapat dipukul jatuh akan tetapi yang sebatang pula menancap pada perut alat musik itu. Anak panah yang terpukul itu melayang dengan masih cepatnya ke arah Ang I Niocu yang berdiri terdepan. Dengan tenang Ang I Niocu lalu memegang ujung ikat pinggangnya yang melambai di bawah dan sekali ia menggerakkan tangan, ikat pinggangnya meluncur dan ujungnya dapat menangkis anak panah yang menuju kepadanya hingga jatuhlah anak panah itu di atas tanah.

 “Kau berani merusak alat musikku!” teriak Sie Ban Leng dengan marah dan ia melompat lalu mengirim serangan berupa pukulan hebat ke arah kepala pendeta pendek itu. Kalau pukulan itu mengenai sasaran, pasti kepala Sian Kek Losu akan menjadi remuk. Akan tetapi Sian Kek Losu sudah siap sedia. Biarpun ia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa lawannya dapat menghindarkan diri dari semua anak panahnya, akan tetapi ketika lawannya menyerbu dengan pukulan senjata, ia lalu maju dan menggempur senjata lawan itu dengan gendewanya. Akan tetapi, kali ini Sie Ban Leng benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya hingga ketika gendewa itu beradu dengan senjatanya, Sian Kek Losu terdorong ke belakang dengan keras!

 Sie Ban Leng tidak mau memberi hati dan mendesak terus, akan tetapi pada saat itu, dari dalam gerumbulan pohon keluarlah tujuh orang pahlawan Mongol, di antaranya nampak Balaki yang lihai. Segera mereka menyerbu dan mengeroyok Sie Ban Leng yang tertawa bergelak dan berkata,

 “Majulah! Majulah kalian tikus-tikus Mongol!” dan ia memutar-mutar senjatanya dengan hebat.

 Tadi ketika Sian Kek Losu bertempur dengan Sie Ban Leng, Kwee An mengusulkan untuk membantu, akan tetapi ia dicegah oleh Ang I Niocu yang menyatakan bahwa orang Han itu takkan kalah.

 Akan tetapi kini setelah melihat betapa banyak orang Mongol yang berilmu silat tinggi dan lihai membantu dan mengeroyok orang Han itu, tanpa mendapat komando lagi Nelayan Cengeng lalu menyerbu sambil memutar-mutar dayungnya dengan hebat dan berteriak, “Pengecut, pengecut! Mengapa terjadi pengeroyokan??”

 Ang I Niocu, Kwee An dan Ma Hoa juga lalu menerjang maju hingga sebentar saja pihak Mongol menjadi kacau balau karena biarpun mereka itu lihai, namun empat orang yang membantu Sie Ban Leng ini adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari mereka, sedangkan pihak mereka yang dapat mengimbangi kepandaian Nelayan Cengeng dan kawan-kawannya hanyalah Sian Kek Losu dan Balaki. Maka atas aba-aba yang dikeluarkan oleh Balaki, mereka lalu melompat mundur dan menghilang di dalam gelap.

 “Ha, ha, ha! Hanya begitu saja kelihaian orang-orang Mongol!” Sie Ban Leng berseru dengan suara menyatakan kebanggaannya. Mendengar ucapan dan melihat lagak Sie Ban Leng, diam-diam Nelayan Cengeng merasa tidak suka, apalagi ketika orang itu memandang ke arah Ang I Niocu dengan mata terbelalak kagum dan bibir tersenyum dibuat-buat. Pandangan ini dapat pula ditangkap oleh Ang I Niocu dan tahulah ia bahwa batin laki-laki ini tidak bersih.

 “Cuwi gagah perkasa sekali dan kalau Cuwi tidak keburu datang, tentu akan makan waktu lama sebelum aku dapat merobohkan mereka seorang demi seorang” kata Sie Ban Leng sambil mengerling kepada Ang I Niocu. Kwee An dan Ma Hoa merasa mendongkol mendengar ucapan sombong ini! Kalau mereka tahu bahwa orang yang dibantunya ini demikian sombongnya, belum tentu mereka mau turun tangan.

 “Ha, ha, pendeta pendek tadi adalah jago ke dua dari Yagali Khan yang bernama Sian Kek Losu, tak tahu hanya sebegitu saja kepandaiannya. Kalau tidak keburu kawan-kawannya datang mengeroyok, pasti kepalanya yang licin itu akan remuk oleh senjataku!” Kembali Sie Ban Leng menyombong. “Kalau terjadi demikian barulah mereka tahu bahwa aku Sie Ban Leng Si Tubuh Baja bukanlah orang yang boleh dibuat permainan!”

 Biarpun ucapan ini seakan-akan ucapan yang ditujukan kepada diri sendiri, namun jelas bahwa maksudnya ialah memperkenalkan diri berikut nama julukannya Si Tubuh Baja! Ang I Niocu yang merasa sebal karena beberapa kali dilirik, lalu berkata kepada Nelayan Cengeng,

 “Lo-enghiong, marilah kita keluar dari tempat yang gelap dan kotor ini dan melanjutkan perjalanan kita!”

 Juga Kwee An dan Ma Hoa lalu membalikkan tubuh dan meninggalkan tempat itu. Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak hingga keluarlah air matanya ketika ia bertindak pergi meningalkan Sie Ban Leng sambil berkata, “Sobat, kau cukup gagah perkasa, akan ketapi kalau kau berdiri di tempat terlampau tinggi, ada bahayanya kau akan tergelincir jatuh!”

 Sie Ban Leng merasa penasaran sekali oleh karena keempat orang itu, terutama Dara Baju Merah yang cantik bagaikan bidadari itu belum memperkenalkan diri. Akan tetapi oleh karena mereka telah pergi, ia tidak dapat menahan mereka. Diam-diam ia mengikuti mereka dari jauh dan ketika tiba di luar hutan, melihat bahwa Ang I Niocu memisahkan diri dan berpisah dari tiga orang yang lain. Hatinya girang bukan main dan diam-diam ia lalu mengejar Ang I Niocu!

 Adapun Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng, lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Kansu. Di sepanjang jalan mereka membicarakan pertemuan mereka dengan Sie Ban Leng yang sombong itu.

 “Dulu aku pernah mendengar nama Si Tubuh Baja itu, kalau tidak keliru, beberapa tahun yang lalu ia menjagoi di kota raja dan mempunyai hubungan erat dengan para Perwira Sayap Garuda akan tetapi kemudian ia lalu menjelajah ke barat. Mungkin dia inilah orangnya!” Ma Hoa sendiri biarpun menjadi putera seorang Perwira Sayap Garuda, akan tetapi oleh karena semenjak kecil sering kali berada bersama Nelayan Cengeng mempelajari ilmu-ilmu silat, maka ia belum pernah bertemu dengan Sie Ban Leng atau mendengar namanya.

 Ketiga orang ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Propinsi Kansu, dan baru saja mereka mulai memasuki Propinsi ini, mereka telah bertemu dengan banyak orang yang terdiri dari berbagai suku bangsa, akan tetapi yang terbanyak ialah suku bangsa Hui. Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke ibu kota Kan-su, yaitu Lan-couw yang besar dan ramai. Di sinilah terdapat banyak sekali perantau-perantau dari Turki yang menjadi saudagar dan membeli banyak kulit dan bulu onta yang panjang dan tinggi mutunya dari daerah ini.

 Cin Hai terus mengejar orang pesolek yang melarikan Lin Lin sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat. Ia merasa heran sekali karena biarpun ilmu ginkangnya sudah mencapai tingkat yang tinggi, namun orang itu masih saja belum dapat tersusul olehnya, padahal orang itu berlari sambil mengempit tubuh Lin Lin yang tidak berdaya karena telah tertotok secara lihai sekali!

 Akan tetapi ia tidak mau kalah dan andaikata orang itu membawa lari Lin Lin menuju ke lautan api sekalipun, ia akan tetap mengejar! Fajar telah menyingsing dan matahari telah mulai timbul ketika mereka masih saja berkejaran hingga mereka tiba di tanah datar yang kering dan luas. Akhirnya, orang pesolek itu melarikan diri naik ke sebuah bukit kecil di sebelah kiri, terus dikejar oleh Cin Hai. Melihat betapa pengejarnya tidak mau mengalah, akhirnya pesolek itu lalu berhenti dan sambil mengempit tubuh Lin Lin dalam pelukan lengan kirinya, ia menanti dengan mulut tersenyum akan tetapi sepasang matanya memancarkan sinar mengancam hebat!

 Cin Hai berlari dan melompat ke hadapannya sambil memaki, “Bangsat berjiwa rendah! Kau masih tidak hendak melepaskan gadis itu?”

 “Eh, bocah kurang ajar kau ini siapakah maka berani berlaku kurang ajar di depanku? Apakah kau tidak tahu bahwa kau sedang berhadapan dengan Kwi-eng-cu (Bayangan Setan) yang berarti akan mendatangkan maut bagimu apabila kau menentangnya! Dan apakah hubunganmu dengan gadis ini? Kuperingatkan padamu agar segera pergi dan jangan ikut mencampuri urusanku!”

 “Orang rendah! Ternyata yang kauhias hanya mukamu saja hingga biarpun di luar kau nampak cakap dan bersih, akan tetapi sebetulnya di sebelah dalam dari tubuhmu bersembunyi batin yang rendah, buruk dan kotor! Kuakui bahwa kepandaianmu memang tinggi, akan tetapi jangan kaukira bahwa aku takut kepadamu! Aku Pendekar Bodoh, tidak takut menghadapi seorang penjahat, betapapun gagahnya dia! Lepaskan gadis itu kalau kau sayang jiwamu sendiri!”

 “Ha, ha, ha! Masih baik kalau kau mengaku bodoh, karena memang kau bodoh dan tolol! Mungkin kau memang pendekar, karena kepandaianmu berlari cepat tidak rendah, dan kau memang bodoh karena tidak tahu akan kehendak seorang laki-laki seperti aku! Gadis ini cantik jelita dan manis, sedangkan aku seorang laki-laki yang gagah dan tampan, sekarang aku menawannya dengan maksud apakah? Tentu saja, kau akan mengerti sendiri kalau saja kau tidak demikian bodoh! Aku hendak mengambil dara ini sebegai isteriku, isteri yang tercinta, karena gadis seperti inilah yang semenjak dulu kucari-cari untuk menjadi jodohku! Nah, sekarang kau sudah mendengar maksudku membawa gadis ini, maka kau pulanglah ke rumah ibumu dan jangan mencari penyakit dengan mencampuri urusan pribadi orang lain!”

 “Bangsat cabul!” Cin Hai memaki marah sekali. “Bukalah telingamu baik-baik! Gadis ini adalah tunanganku! Siapa sudi mencampuri urusanmu yang kotor? Kaulepaskan tunanganku ini dan baru aku mau mengampuni jiwamu yang rendah!”

 Berdirilah kedua alis orang itu mendengar ucapan ini. Hidungnya yang mancung itu berkembang-kempis, dan sungguhpun mulutnya masih tersenyum, namun Cin Hai melihat betapa sinar matanya bernyala-nyala bercahaya.

 “Bagus, kalau begitu mampuslah kau!” tiba-tiba orang itu membentak dan sekali saja tubuhnya berkelebat, ia menyerang Cin Hai dengan tangan kanannya! Serangan ini hebat sekali dan dari lengan tangan orang itu mengepul uap putih. Melihat betapa orang ini mempergunakan Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut, kembali Cin Hai terheran dan ia lalu melawan dengan Pek-in-hoatsut juga! Orang itu terkejut sekali melihat gerakan Cin Hai ini dan cepat merobah ilmu silatnya dengan Kong-ciak Sinna, akan tetapi kembali ia terheran sampai mengeluarkan suara tertahan ketika Cin Hai juga melawannya dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna yang sama pula!

 Kembali orang itu merobah ilmu silatnya dengan bermacam-macam pukulan yang lihai dan permainan silat pilihan yang tinggi, namun dengan mempergunakan pengertiannya dalam hal segala macam gerakan tangan dan kaki, Cin Hai melayaninya dengan gerakan yang sama pula.

 “Eh, eh tahan dulu!” kata orang itu sambil melompat ke belakang.

 “Apa kehendakmu?” tanya Cin Hai sambil berdiri tenang dan memandang tajam.

 “Kau yang mengerti Pek-in-hoatsut dan Kong-ciak Sinna serta yang paham akan dasar persilatan, siapakah kau dan siapa pula Gurumu?”

 “Aku pun sedang terheran-heran melihat betapa seorang yang pandai Ilmu Silat Pek-in-hoatsut dan Kong-ciak Sinna sampai terjerumus ke dalam lembah kehinaan seperti kau! Sebelum aku bertanya, kau telah mengajukan pertanyaan lebih dulu, maka dengarlah baik-baik! Aku bernama Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dan suhuku ialah Bu Pun Su!”

 Untuk sesaat wajah pesolek itu menjadi pucat dan ia memandang seakan-akan melihat setan dan dari sinar matanya mengandung ketidak percayaan.

 “Maukah kau bersumpah bahwa kau benar-benar murid Bu Pun Su?” tanyanya.

 “Bukan hanya aku, bukalah lebar-lebar kedua matamu, karena gadis yang kautawan itu pun seorang murid Suhu Bu Pun Su pula” kata Cin Hai.

 Tiba-tiba berubahlah wajah orang itu. Ia tersenyum dan tiba-tiba ia mengangkat tangan dengan girang. “Kalau begitu, kau adalah Suteku dan gadis ini adalah Sumoiku! Lebih baik lagi! Sute, dengarlah bahwa Bu Pun Su adalah Supekku (Uwa Guru) karena aku adalah murid dari Guruku Han Le!”

 Cin Hai merasa terkejut sekali dan mengertilah dia mengapa orang ini demikian lihainya dan mengerti Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut dan Kong-ciak Sinna dengan baiknya.

 “Hm, hm, kalau begitu kau benar adalah Suhengku sendiri. Mengapa Suhu tak pernah menceritakan tentang kau. Siapakah namamu?”

 Sambil tertawa orang itu berkata “Namaku adalah Song Kun dan ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu di atas Pulau Kim-san-to, Supek sering kali datang dan bahkan beliau telah memberi pelajaran beberapa ilmu kepadaku dan sekarang aku perintahkan agar supaya kautinggalkan aku dan Sumoi!”

 “Apakah yang hendak kauperbuat kepada tunanganku ini?” tanya Cin Hai dengan suara gemas.

 “Sute, dengarlah baik-baik, Kau sebagai seorang saudara muda yang baik dan berbakti, harus mengalah kepadaku. Sumoiku ini hendak kubawa pulang dan hendak kuambil menjadi isteriku. Terus terang saja, semenjak aku melihatnya, timbul cintaku yang besar kepadanya.”

 “Tapi dia adalah tunanganku!” kata Cin Hai penasaran.

 “Sute, sudah selayaknya seorang saudara muda mengalah terhadap kakaknya. Suhengnya belum kawin, mana sutenya boleh bertunangan? Kau mengalahlah kepadaku kali ini, Sute. Biar lain kali aku mencarikan jodoh yang manis dan jelita untukmu!”

 “Aku tidak mempunyai seorang Suheng seperti macammu!” teriak Cin Hai dengan amat marahnya. “Kalau kau tidak mau melepaskan Lin Lin, biar kita mengadu jiwa di tempat ini!”

 Kedua mata Song Kun berkilat. “Apakah benar-benar kau sudah bosan hidup? Dengarlah kau, bocah sombong! Jangankan baru kau, biar Suhu hidup kembali atau Supek datang membantumu, jangan harap kau akan bisa menangkan Kwie-eng-cu!”

 “Jangan banyak cakap dan kaucobalah saja!” Seru Cin Hai sambil melangkah maju. Bukan main marahnya Kwie-eng-cu melihat sikap Cin Hai yang menantang ini. Tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang telah berada di tangan itu. Cin Hai tiba-tiba terkejut melihat pedang ini karena pedang itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan dan sinar merah yang keluar dari pedang itu mendatangkan hawa panas! Inilah pedang Ang-ho-sian-kiam yang luar biasa dan yang ratusan tahun yang lalu telah menjadi pedang pusaka yang keramat di istana kaisar. Ketika pedang ini terjatuh ke dalam tangan Song Kun, maka menjadi seakan-akan seekor naga yang tumbuh sayap!

 Cin Hai juga mencabut keluar Liong-coan-kiam dari dalam bajunya dan ketika Song Kun melompat dan menerjangnya, ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai! Song Kun terkejut sekali melihat gerakan ilmu pedang ini oleh karena biarpun ia telah mewarisi hampir seluruh kepandaian Han Le, belum pernah ia melihat gerakan ilmu pedang yang sedemikian aneh dan lucunya, akan tetapi berbareng juga lihai sekali.

 Dan oleh karena tangan kirinya masih mengempit tubuh Lin Lin maka gerakannya kurang leluasa sekali. Apalagi ketika Cin Hai selain menggerakkan pedang untuk menyerang, juga menggunakan tangan kiri untuk mengirim pukulan-pukulan ke arah jalan darahnya! Song Kun memutar-mutar pedangnya dengan ganas dan mencoba untuk mengadu pedangnya itu dengan pedang Cin Hai, akan tetapi Cin Hai cukup maklum bahwa pedang lawannya ini berbahaya sekali maka ia selalu menghindarkan beradunya kedua senjata, dan bahkan memperhebat serangan tangan kirinya. Pada suatu kesempatan, tangan kiri Cin Hai mendorong dengan tenaga penuh ke arah pelipis lawannya dan dalam keadaan terdesak, Song Kun terpaksa melemparkan tubuh Lin Lin untuk mengangkat tangan kirinya menangkis. Tubuh Lin Lin terlempar ke kiri dan terus masuk ke dalam sebuah jurang yang curam!

 Cin Hai menjerit ngeri melihat betapa tubuh kekasihnya terlempar ke dalam jurang dan saat itu digunakan oleh Song Kun yang sudah menjadi marah sekali itu untuk mengirim tusukan ke arah dadanya, dibarengi dengan pukulan tangan yang dimiringkan ke arah lambung Cin Hai. Cin Hai merasa terkejut sekali, ia lalu mempergunakan gerakan Awan Putih Mengusir Mendung dengan tangan kiri, sedangkan pedangnya diangkat untuk menangkis. Dua batang pedang beradu keras dan terpentallah pedang Liong-coan-kiam dari tangan Cin Hai dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan tubuh Cin Hai terhuyung-huyung ke belakang! Ketika ia diserang tadi, semangatnya sedang melayang mengikuti tubuh Lin Lin dan hatinya berdebar kuatir, maka ia menjadi kurban serangan berbahaya dari Song Kun Yang lihai itu.

 Song Kun tertawa girang dan penuh ejekan kemudian ia terus menyerang dengan hebat hingga terpaksa Cin Hai mempergunakan ginkangnya untuk mengelak dan mengeluarkan Ilmu Pukulan Kong-ciak Sinna untuk menghadapi lawannya yang lihai dengan tangan kosong.

 Pada saat itu dari jurang di mana tadi Lin Lin jatuh, melayang keluar seorang kakek sambil menggendong tubuh Lin Lin dan ternyata bahwa kakek ini bukan lain ialah Bu Pun Su! Kakek ini melompat ke tempat pertempuran dan sekali ia mengebutkan lengan bajunya yang panjang, pedang di tangan Song Kun kena tertangkis hingga tangan Song Kun menjadi tergetar dan ia melompat ke belakang dengan kaget sekali.

 “Suhu...!” kata Cin Hai dengan girang sekali karena melihat betapa suhunya telah berhasil menolong Lin Lin. Saking girangnya, pemuda ini sampai menitikkan dua butir air mata.

 “Ah, kiranya Supek yang datang!” kata Song Kun dengan pedang dilintangkan di dada dan ia tidak mau memberi hormat sama sekali terhadap supeknya itu. “Song Kun kau terjerumus ke dalam lembah kesesatan, tidak insyafkah kau?” kata Bu Pun Su dengan suara keren.

 Song Kun tersenyum dengan penuh ejekan dan kesombongan.

 “Teecu tidak tahu akan maksud ucapan Supek ini,” jawabnya.

 “Orang tersesat! Baiknya Suhumu telah meninggal, kalau tidak, dia tentu akan berduka sekali melihat betapa muridnya yang terkasih menjadi seorang yang berbudi rendah! Song Kun, perbuatanmu yang rendah masih nampak di depan mata, apakah kau masih saja belum mau mengakuinya? Kau menculik seorang gadis dan biarpun kau sudah mengetahui bahwa dia ini adalah seorang Sumoimu sendiri kau masih tetap akan melanjutkan kesesatanmu.”

 “Teecu mencinta dia, apakah salahnya itu? Apakah Supek akan merintangi orang muda yang mencinta seorang wanita dan hendak mengambilnya menjadi isteri? Supek, ini adalah urusan orang-orang muda orang tua tidak berhak mencampurinya!”

 Ucapan ini benar-benar kurang ajar sekali hingga Cin Hai merasa betapa kedua tangannya gatal-gatal hendak turun tangan menyerang suheng yang jahat itu.

 “Setelah Suhu meninggal, yang berhak mengajar teecu hanyalah suhengku, Lie Kong Sian seorang! Akan tetapi, kalau Supek hendak merendahkan dan menurunkan tangan kejam kepada teecu, silakan, teecu sedikit pun tidak merasa takut!”

 Kalau kiranya bukan Bu Pun Su yang menerima tantangan ini, tentu ia akan menjadi marah dan tak bersabar lagi, akan tetapi kakek jembel ini memiliki kesabaran yang luar biasa dan lagi ia merasa tidak tega untuk menurunkan tangan besi kepada seorang murid sutenya.

 “Song Kun, Suhumu dulu lebih keliru memilih murid. Aku tidak sudi untuk mengotori tanganku pada tubuhmu. Akan tetapi, kalau kauhendak memaksa dan melanjutkan maksudmu menculik muridku perempuan ini, kau majulah dan boleh kaucoba-coba kepandaian Supekmu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su melangkah maju dan menghadapi Song Kun dengan dada terangkat.

 Kalau Song Kun mengangkat tangan dan menusuk dengan pedangnya, maka dada kakek itu akan tercapai oleh ujung pedang, akan tetapi Song Kun bukanlah demikian bodoh untuk melakukan hal ini. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su amat tinggi dan bahwa saat itu Bu Pun Su sedang memancing-mancing agar ia turun tangan terlebih dulu hingga kakek ini mempunyai alasan untuk menghajarnya! Kalau tadi ia mengeluarkan ucapan menantang, itu hanya karena ia merasa yakin bahwa Bu Pun Su takkan mau turun tangan terhadapnya. Maka, sambil tertawa mengejek ia berkata dan memasukkan pedangnya kembali.

 “Supek, dunia bukanlah sebesar telapak tangan. Di mana-mana banyak terdapat wanita cantik maka untuk apakah teecu harus berebut seorang wanita dengan Supekku sendiri? Ha, ha, ini amat menggelikan dan akan menjadi buah tutur orang-orang saja! Supek, teecu tidak mau nekat merebut perempuan ini, biarlah kalau Supek menghendakinya, dia boleh ambil! Akan tetapi,” katanya sambil menuding kepada Cin Hai dengan pandangan mata mengancam, “kau telah berani turun tangan kepada aku yang menjadi Suhengmu, maka awaslah kau! Lain kali kita bertemu, jangan harap aku akan dapat mengampuni jiwamu lagi!” Setelah berkata demikian, Song Kun menjura di depan Bu Pun Su sambil tersenyum menyindir, kemudian tubuhnya berkelebat dan lari turun dari bukit itu!

 Bu Pun Su menghela napas. “Kasihan sekali bahwa Han Le harus pula menerima nama busuk sesudah mati oleh karena perbuatan muridnya itu! Ah, begitulah kalau salah menerima murid. Tidak heran bahwa jarang ada orang-orang cerdik pandai yang mau mengambil murid. Cin Hai, kau telah menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu silat Song Kun dan betapa hebat pedang Ang-ho-sian-kiam itu hingga Liong-coan-kiam sendiri sampai terputus olehnya! Melihat mukanya, orang seperti dia itu tentu akan membuktikan ancamannya maka mulai sekarang kau harus berlaku hati-hati sekali. Juga Lin Lin berada dalam bahaya, maka baiknya biarlah dia ikut padaku untuk memperdalam ilmu silatnya hingga cukup kuat apabila kelak bertemu dengan Song Kun.”

 Kakek itu lalu membebaskan totokan yang mempengaruhi tubuh Lin Lin hingga gadis itu dapat bergerak kembali dan berlutut di depannya.

 “Lin Lin, kalian telah menanam bibit permusuhan dengan Song Kun yang merupakan lawan tangguh sekali. Jangankan kau, bahkan Cin Hai sendiri kalau tidak memiliki pedang yang dapat melawan Ang-ho-sian-kiam agaknya akan sukar untuk dapat merobohkannya. Maka, sekarang kau ikutlah aku untuk memperdalam ilmu pedangmu yang masih mentah. Dan kau, Cin Hai, kau pergilah ke Kansu. Di antara ratusan buah gua yang terdapat di Kansu, yaitu gua-gua Tun-huang, di situ terdapat sebuah gua yang menyimpan sepasang pedang mustika, yaitu Liong-cu-siang-kiam atau Sepasang Pedang Mustika Naga. Hanya pedang itulah agaknya yang sanggup dihadapkan Ang-ho-sian-kiam (Pedang Dewa Api Merah) dari Song Kun tadi! Kelak, kau boleh menyusul Lin Lin ke Gua Tengkorak.”

 Cin Hai lalu berlutut dan menyatakan bahwa ia hendak mentaati perintah suhunya itu. Kemudian Bu Pun Su meninggalkan tempat itu bersama Lin Lin setelah kedua orang muda itu saling lirik dengan pandangan mata yang mesra. Cin Hai lalu bangun dan berdiri memandang sampai bayangan dua orang itu terlenyap di sebuah tikungan. Hatinya merasa lega dan gembira, Lin Lin telah tertolong dan selamat dan kini ia tidak perlu merasa kuatir lagi oleh karena di dalam tangan Bu Pun Su, gadis itu akan aman sentausa melebihi daripada dalam pelukan ibu sendiri!

 Ia lalu memikirkan keadaan Yousuf yang lenyap dan menguatirkan keadaan orang Turki yang budiman itu. Akan tetapi, kebetulan sekali ia mendapat tugas mencari pedang di Propinsi Kansu dan ia mengambil keputusan untuk sekalian mencari jejak Yousuf dan apa bila perlu menolong orang Turki itu. Ia hanya menyayangkan bahwa dalam berlari mengejar Song Kun, ia telah meninggalkan hutan di mana Yousuf tinggal itu jauh sekali hingga ia pun tidak tahu di mana adanya burung bangau yang ditinggalkannya di dalam hutan.

 Cin Hai tidak tahu bahwa Lin Lin yang menceritakan pengalamannya kepada Bu Pun Su di tengah jalan, lalu minta kepada kakek itu untuk mampir di hutan itu. Mereka mencari jejak Yousuf dan mendengar dari seorang Turki bahwa Yousuf telah dilarikan oleh keponakannya sendiri dan kini entah berada di mana. Dan di dalam hutan itu juga, Lin Lin mendapatkan kembali meraknya, bahkan selain Sin-kong-ciak, di situ terdapat pula Ang-siang-kiam si Burung Bangau Besar itu hingga kedua burung sakti itu lalu dibawa oleh Bu Pun Su ke Gua Tengkorak.

 Cin Hai melanjutkan perjalanannya masuk Propinsi Kansu. Propinsi ini adalah daerah pegunungan yang tinggi dan terjal letaknya di sebelah utara Propinsi Se-cuan. Di sebelah baratnya adalah Propinsi Cing-hai dan sebelah utaranya terletak Propinsi Ning-sia dan kemudian perbatasan Mongolia. Tembok besar yang terkenal di Tiongkok itu dimulai dari Propinsi Kan-su ini, terus memanjang menuju ke timur, bahkan Sungai Kuning (Huang-ho) juga melalui propinsi ini dan di sepanjang Sungai Kuning terdapat tanah pertanian yang subur. Iklim di daerah ini istimewa keringnya, hingga dengan adanya sungai Kuning yang lewat di daerah itu maka hal ini merupakan berkah yang besar bagi rakyat yang tinggal di Kan-su. Propinsi Kan-su memiliki banyak kekayaan alam dan pemandangan yang cukup indah. Di ibu kota terdapat Bukit Pagoda Putih, Pegunungan Cilian yang penuh dengan hutan-hutan yang kaya akan berbagai binatang. Selain pertanian yang hidup subur di sepanjang lembah Sungai Kuning, juga usaha peternakan amat besar dikerjakan orang di tempat ini. Bulu onta dan daging lembu keluaran daerah ini terkenal sekali karena tinggi mutunya. Di selatan terdapat padang-padang pengembalaan alam yang luas dan baik, rumputnya subur dan airnya jernih. Gua-gua Tun-huang yang beratus-ratus, bahkan mungkin seribu lebih banyaknya itu, merupakan pemandangan indah peninggalan kesenian kuna. Gua-gua ini penuh dengan patung-patung dan lukisan-lukisan dinding Agama Budha yang dibuat kira-kira pada abad ke empat.

 Tidak heran apabila daerah ini menarik perhatian orang-orang dari luar negeri, dan yang terbanyak adalah orang-orang Turki yang datang mengembara dan mencari penghasilan di daerah yang kaya ini. Juga di sini terdapat banyak sekali suku-suku bangsa dari barat dan utara.

 Pada suatu hari Cin Hai tiba di kota Ling-sia. Kota ini berada di sebelah utara tepi Sungai Huangho. Dengan hati gembira Cin Hai memasuki kota itu, berjalan perlahan di sepanjang jalan raya yang penuh dengan bangunan-bangunan besar di kanan kiri. Tiba-tiba ia mendengar suara suling berbunyi aneh, maka ia segera menghampiri arah datangnya suara itu. Ternyata bahwa yang menyuling itu adalah seorang Turki yang bermain sulap di sebuah lapangan terbuka. Banyak orang menonton dan mengelilinginya. Orang Turki itu sudah tua dan ia duduk bersila di depan sebuah keranjang bambu yang besar sambil meniup sulingnya. Suling yang ditiupnya berbentuk ular dan ketika ia meniup sulingnya makin keras, tiba-tiba tutup keranjang itu terbuka perlahan-lahan dari dalam dan tersembullah seekor kepala ular yang besar! Ular itu mendengar suara suling lalu merayap keluar, melingkar di atas tanah dan lehernya terangkat ke atas. Ternyata ular itu besar sekali dan di bawah kepalanya melar merupakan sendok yang besar. Itulah semacam ular kobra atau ular sendok yang berbahaya, akan tetapi terhadap suara suling itu ia terpengaruh hebat sekali hingga ia mulai menari-nari menggeleng-gelengkan kepalanya dan lehernya bergerak-gerak menari mengikuti irama suara suling! Orang-orang yang menonton menjadi gembira dan mendengar suara kagum di sana-sini, ada juga suara orang yang menyatakan ngeri dan takut! Cin Hai tidak tertarik hatinya melihat ular itu, akan tetapi amat tertarik mendengar suara suling dan diam-diam ia mengingat lagu suling ini di dalam hatinya.

 Ketika ia meninggalkan tempat itu tiba-tiba di lain bagian lapangan itu ia mendengar suara gembreng dan tambur, dibarengi suara orang berkata-kata dan gelak suara para penonton. Ternyata di bagian itu juga terdapat orang yang sedang memperlihatkan kepandaiannya dan ketika ia mendekati, alangkah herannya melihat bahwa yang menjual kepandaian di situ adalah seorang hwesio dan seorang tosu. Mudah saja baginya mengenal wajah hwesio yang selalu tertawa dengan muka dan perut yang gemuk itu, dan mengenal wajah tosu yang selalu mewek mau menangis! Hwesio itu sedang membadut, perutnya yang gendut dan tidak tertutup pakaian itu sebentar mengempis dan sebentar pula mengembang sampai besar dan gendut! Pemandangan ini bagi orang-orang biasa merupakan hal yang lucu sekali, akan tetapi bagi orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian, menimbulkan kekaguman. Oleh karena perbuatan Si Gendut itu menunjukkan bahwa ia memiliki khikang yang tinggi hingga perut yang demikian besarnya dapat ditarik ke dalam hingga kempis sama sekali!

 “Cuwi sekalian,” kata Si Gendut sambil tak pernah mengubah tarikan muka yang selalu tersenyum bagaikan sebuah patung Jai-lai-hud yang peramah. “Kepandaian mengempiskan perutku yang kecil ini banyak sekali gunanya. Di Tiongkok banyak terdapat daerah-daerah yang kekurangan makan, sedangkan pinceng adalah seorang perantau. Pada waktu pinceng berada di daerah kering, kalau tidak ada makanan yang boleh dimasukkan perut, pinceng lalu menarik perut ke dalam hingga menjadi kempis dan kecil, hingga diberi minum air semangka pun sudah kenyang! Sebaiknya, kalau pinceng berada di tempat yang subur seperti Kan-su ini pinceng dapat melembungkan perut sebesar-besarnya agar dapat menikmati segala macan makanan. Bahkan daging unta pun bisa masuk ke dalam perutku!” Sambil berkata demikian, ia mengembang-kempiskan perutnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya yang bulat seperti bal. Kembali orang-orang tertawa geli dan Cin Hai juga ikut tertawa. Biarpun dulu kedua orang ini telah membawa lari perahunya, akan tetapi terhadap Si Gendut ini yang selalu tertawa, tak mungkin orang dapat marah kepadanya!

 “Akan tetapi,” kata pula hwesio itu, “Saudaraku yang kurus seperti cecak mati ini memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi.” Sambil berkata demikian ia menuding ke arah Ceng To Tosu yang duduk berjongkok dengan muka seperti mau menangis. Tak perlu disertai kata-kata lucu, baru melihat mukanya saja sudah menimbulkan rasa geli di dalam hati hingga kembali orang-orang tertawa bergelak. “Jangan Cuwi mentertawakan Suhengku ini,” kata pula hwesio gendut tadi, “banyak orang lihai dan berkepandaian di dunia ini, bahkan banyak pula orang yang memiliki kekebalan hingga segala macam senjata tajam tidak dapat melukai kulitnya! Akan tetapi, saudaraku ini lebih hebat lagi. Dia tidak bisa mati oleh karena dia ini tidak mempunyai darah!”

 Terdengar seruan-seruan tidak percaya. “Kalau orang tidak mempunyai darah, ia akan mati,” terdengar suara seorang penonton mencela.

 “Memang kata-kata itu benar,” kata Ceng Tek Hosiang, “akan tetapi saudaraku itu adalah seorang sakti. Kalau Cuwi tidak percaya sekarang hendak kubuktikan!” Sambil berkata demikian, Si Gendut mengeluarkan sebuah pisau belati yang bergagang panjang. Pisau itu putih mengkilap, nampaknya tajam dan baru.

 “Nah, lihatlah baik-baik. Pisau ini akah kutusukkan kepadanya dan akan kutusuk tubuhnya sampai seluruh mata pisau ini terbenam ke dalam dagingnya!” Setelah berkata demikian, ia menghampiri Ceng To Tosu yang masih saja duduk dengan mewek. Benar saja, hwesio itu menusuk leher tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas. Bahkan Cin Hai merasa terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap di leher Ceng To Tosu sampai ke gagangnya! Ketika Ceng Tek Hosiang mencabut pisaunya, benar saja tidak nampak darah sedikitpun pada leher itu, bahkan luka sedikit pun tidak!

 Semua orang memandang dengan mata terbelalak, bahkan Cin Hai sendiri hampir tak percaya kepada kedua matanya sendiri. Bagaimana tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian anehnya? Ilmu kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk kulit, bukanlah hal yang aneh baginya, akan tetapi kulit dan daging yang sudah tertusuk pisau sekian dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak mengeluarkan darah sama sekali, adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang dipergunakan oleh kedua orang ini?

 Ceng To Tosu lalu membuka bajunya dan tiga kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti kerangka hidup itu, lalu lambungnya, dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula. Dan semua tusukan itu walaupun dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai menancap habis, namun setelah dicabut kembali, tosu itu sama sekali tidak terluka sedikit pun. Kemudian hwesio gendut itu lalu melempar pisau itu ke arah sebatang pohon dan pisau itu menancap dengan keras sampai ke gagangnya.

 “Nah, Cuwi lihat, bahkan batang pohon itu pun tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa pisau pinceng ini benar-benar tajam dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu kepandaian Suhengku ini, pinceng tidak berdaya.”

 “Lihai sekali...” semua orang berseru.

 Hwesio gendut itu lalu menjura dan berkata, “Pertunjukkan kami selesai sampai di sini saja, kalau ada jodoh kita saling bertemu lagi!” Maka semua penonton lalu bubaran dan tiada hentinya mereka membicarakan kelihaian tosu yang kurus kering itu.

 Cin Hai yang menyaksikan itu semua, dari rasa heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah menyaksikan kepandaian kedua pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka biarpun lihai, namun tidak melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu kepandaian yang baru diperlihatkan oleh Ceng To Tosu itu, benar-benar membuat kagum dan tidak mengerti. Maka setelah semua orang bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan menjura.

 “Jiwi-suhu apakah baik-baik saja?”

 Ketika hwesio dan tosu itu melihat Cin Hai, keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng Tek Hosiang tetap tertawa dan Ceng To Tosu tetap mewek.

 “Ah, ah, kiranya Sie-taihiap Si Pendekar Bodoh!” kata Ceng To Tosu. “Bagaimana bisa sampai di sini, Taihiap?”

 Sementara itu sambil tertawa-tawa, Ceng Tek Hosiang mendahului Cin Hai. “Dulu ketika kau dan Ang I Niocu melompat ke atas kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan terpaksa pergi lebih dulu.”

 Cin Hai terseyum. “Tidak apa, hal yang sudah lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi, dulu aku menemukan perahu kalian terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa selamat dan sampai di sini?”

 “Thian melindungi orang-orang baik,” kata hwesio gendut itu, “maka kami terdampar ombak besar dan dilempar ke tepi laut dengan selamat.”

 “Dan sekarang jiwi-suhu berada di darat ini sedang apakah?”

 “Taihiap sudah menyaksikan sendiri bahwa kami menjual kepandaian sambil merantau,” jawab Ceng To Tosu.

 Cin Hai mengangguk-angguk dan keterangan ini memang masuk di akal. “Kepandaianmu tadi benar-benar lihai sekali, Ceng To Totiang,” katanya memuji akan tetapi dengan tertawa ha-ha hi-hi Ceng Tek Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu dan berkata, “Dengan pisau yang sengaja kami buat khusus untuk keperluan ini, apakah yang lihai?”

 Cin Hai memegang pisau belati itu dan berkata, “Pisau ini pisau biasa dan tadipun dapat menancap di pohon, apanya yang aneh? Mungkin kalian telah mempergunakan ilmu sihir!”

 Tiba-tiba Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak tertawa, akan tetapi mulutnya bahkan makin mewek dan makin menyedihkan! “Ah, ah, kami benar-benar merasa puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu bagi kami tidak ada artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap sungguh-sungguh membikin kami merasa puas dan bangga!”

 Ceng To Tosu juga berkata, “Sie-taihiap, pisau kami itu ada rahasianya! Kaulihat besi kecil hitam pada gagangnya itu? Kalau besi kecil itu tidak ditekan, maka, pisau ini adalah pisau biasa yang akan melukai orang.Akan tetapi, coba kautekan besi kecil itu, dan kau akan melihat keanehannya!” Cin Hai melihat besi hitam yang kecil pada ujung gagangnya dan ketika ia menekan, ternyata pisau itu apabila ditekan pada sesuatu lalu masuk ke dalam gagangnya yang panjang hingga tidak kelihatan lagi ujungnya! Demikian akal yang digunakan oleh kedua pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan pisaunya pada tubuh tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang kelihatannya pisau itu menancap pada tubuhnya sampai ke gagang, padahal pisau itu ketika menekan kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak kelihatan lagi, seakan-akan semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk!

 Hampir saja Cin Hai tertawa bergelak karena geli. Ia mengangguk-angguk kagum dan hatinya merasa senang bertemu dengan kedua orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia pisau ini saja dapat membuktikan bahwa mereka menaruh kepercayaan kepadanya.

 “Taihiap, sesungguhnya kami berdua sedang melakukan tugas!” kemudian Ceng Tek Hosiang berbisik.

 “Tugas? Tugas apa dan dari siapa?”

 “Dari siapa lagi kalau bukan dari pemerintah kita. Kami berdua kini telah membantu kerajaan. Panglima besar yang sekarang, Kam-ciangkun, adalah seorang gagah yang budiman, maka kami berdua membantunya dan kini kami diutus datang ke propinsi ini untuk semacam tugas!”

 Cin Hai mengangguk. “Aku telah mendengar tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah kalau memang demikian halnya, memang sudah waktunya bagi pemerintah kerajaan untuk mengganti panglima-panglima dengan orang-orang yang benar-benar gagah dan budiman.”

 “Memang kata-katamu ini benar sekali Taihiap, apalagi oleh karena sekarang keadaan negara sedang dalam bahaya besar.”

 Cin Hai terkejut. “Apa maksudmu?”

 Dengan suara berbisik Ceng To Tosu berkata, “Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki hendak mengadakan serangan ke daerah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan Pulau Kim-san-to dulu itu. Dan sikap orang-orang Mongol juga amat mencurigakan hingga kita seakan-akan terancam dari dua pihak. Oleh karena inilah maka Kam-ciangkun lalu mengadakan penyelidikan, sebagian ke daerah utara dan sebagian pula ke daerah barat. Kami mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka di Propinsi Kan-su dan selain kami berdua, masih banyak pula perwira-perwira yang menyamar dan menjadi penyelidik, bahkan kabarnya Kam-ciangkun sendiri pun hendak datang ke daerah ini oleh karena agaknya pergerakan musuh yang terbesar berada di daerah ini.”

 Cin Hai mengangguk-angguk maklum dan berkata, “Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, Totiang, akan tetapi harap kau berdua suka berhati-hati dan jangan sembarangan bicara dengan orang lain mengenai hal ini.”

 Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak. “Tentu saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu menyimpan rahasia.”

 Kedua orang pendeta aneh itu lalu berpamit dan mereka lalu berpisah dari Cin Hai.

 Setelah berpisah dengan Ceng Tek Hosiang, dan Ceng To Tosu, Cin Hai lalu berjalan-jalan di luar kota dan pergi ke tepi Sungai Huangho yang airnya kuning. Keadaan di situ sunyi, penuh dengan sawah ladang dan rumput di sepanjang tepi sungai amat subur kehijau-hijauan. Keadaan ini membuat Cin Hai merasa girang sekali. Memang, semenjak pertemuannya dengan Lin Lin, ia merasa amat gembira dan kini setelah gadis itu pergi dengan Bu Pun Su untuk mempelajari ilmu silat, hatinya merasa tenteram dan aman. Sedikit ganjalan hati yang terbit oleh karena peristiwa yang menimpa diri Ma Hoa dan Kwee An, ia hibur dengan dugaan bahwa kedua orang itu pasti masih hidup oleh karena mayat mereka tak dapat diketemukan, juga pertemuannya dengan kakek gagu di gua yang berada di bawah tebing di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh, juga surat yang dikirim oleh seorang sakti dan yang dikirim melalui kaki Merak Sakti dulu itu, mempertebal keyakinannya bahwa kedua orang kawannya itu pasti masih hidup.

 Cin Hai duduk di tepi sungai dan ia teringat akan kakek bangsa Turki yang menyuling dan bermain-main dengan ularnya tadi. Ia mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh suling kakek itu, kemudian tanpa terasa ia lalu mencabut keluar sulingnya terus ditiup meniru lagu kakek tadi! Dia memang pandai sekali meniup suling dan ingatannya kuat hingga biarpun kurang sempurna namun ia dapat menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik! Makin ditiup makin terasalah kenikmatan irama lagu yang asing itu, maka sebentar saja Cin Hai telah tenggelam dalam permainan sulingnya.

 Tak disangka sama sekali, bahwa suara sulingnya itu telah menarik perhatian sepasang ular sendok yang tinggal dalam sebuah lubang di tepi sungai itu. Tadinya Cin Hai tidak tahu akan kedatangan kedua ekor ular itu yang datang berlenggak-lenggok tanpa menerbitkan suara. Tahu-tahu dua ular itu telah berada di depannya dengan kepala terangkat tinggi-tinggi dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar sambil lehernya yang menggembung itu bergerak-gerak ke kanan kiri!

 Bukan main terkejut dan ngerinya rasa hati Cin Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul dua ekor ular sendok besar dan panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan jijik, ia menghentikan tiupan sulingnya dengan tiba-tiba. Kedua ekor ular itu nampak marah dan bingung, lalu dari mulut mereka keluarlah suara mendesis yang keras dan tiba-tiba mereka menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas rumput itu dengan cepat sekali!

 Cin Hai berseru keras dan menangkis dengan sulingnya. Tangkisannya itu dapat membuat seekor ular terpental ke samping, akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus menyerangnya dengan mulut terbuka lebar-lebar! Terpaksa Cin Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata bahwa ular itu pun mengejar dengan cepat! Cin Hai lalu melompat berdiri dan ia mulai menjadi marah. Ia melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini telah merayap maju dengan kepala berdiri dan agaknya marah sekali kepadanya. Ia tak usah takut menghadapi dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya. Akan tetapi Cin Hai telah marah karena tadi benar-benar ia dikejutkan oleh kedua binatang itu. Ia tidak mau mengotorkan sulingnya, maka ia lalu menyimpan suling itu dan mencabut sebatang rumput alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat situ. Ketika ular yang pertama telah datang dekat dan menyambar kakinya, Cin Hai memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil mengerahkan tenaga lweekangnya. Akan tetapi ular itu benar-benar gesit karena dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat mengelak dari sabatan Cin Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira menghadapi dua ekor binatang yang gesit ini! Ketika ia hendak menyabat kembali tiba-tiba terdengar seruan orang,

 “Jangan bunuh mereka!”

 Cin Hai cepat melompat ke belakang dan ketika ia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam dan berambut putih karena sudah tua berlari mendatangi dengan cepat. Melihat gerakannya yang gesit dan larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu kepandaian lumayan juga.

 “Menawan ular bukan seharusnya dipukul dengan senjata,” katanya pula, lalu ia menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di atas kedua pasang kaki tangannya! Ular-ular itu memandang tajam dan marah, lalu ular yang jantan menyambar ke arah lehernya untuk digigit! Kakek Turki itu lalu mengangkat tangannya dengan gerakan tangan seperti seekor ular juga,dan ketika kepala ular itu sudah datang dekat, tiba-tiba jari-jari tangan kanannya dibuka seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit lengannya dan meronta-ronta akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap tubuh ular itu dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.

 Aneh sekali, setelah tubuhnya diurut ke belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika kakek itu melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas tanah tanpa berdaya lagi. Ular betina menjadi marah sekali melihat kawannya dikalahkan, maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat. Akan tetapi, kakek Turki yang gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dengan lumpuh. Setelah itu barulah kakek Turki itu berpaling kepada Cin Hai sambil tersenyum.

 “Sepasang ular sendok jantan betina yang keluar bersama bukanlah hal yang mudah dijumpai. Hal ini menandakan bahwa ular betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda yang masih berada di dalam perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan sukar didapat. Sungguh aku merasa beruntung sekali bertemu dengan kau dan dua ekor ular ini. Kalau tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di dalam perutnya akan lenyap tak berguna lagi.”

 Cin Hai memandang kagum. “Kau hebat sekali, Lopek,” katanya karena selain ia merasa kagum akan kelihaian kakek ini, juga ia merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali bicara dalam bahasa Han, bahkan tidak kalah fasihnya daripada Yousuf sendiri. “Kau tentu seorang ahli penangkap ular.”

 Kakek Turki itu menggeleng-gelengken kepalanya. “Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi aku hanyalah seorang ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula.”

 “Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali!”

 “Tidak ada sepersepuluh bagian dari pada kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau balau dan banyak kejahatan merajalela di mana-mana kalau kita tidak memiliki sedikit tenaga, pasti sukar untuk hidup terus.”

 Cin Hai terkejut. Orang ini tentu bukan orang sembarangan, pikirnya. Ia teringat akan cerita kedua pendeta yang membantu kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang penting dalam rombongan orang Turki yang hendak menyerang Tiongkok? Ia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba kakek itu berkata,

 “Anak muda, harap kau jangan menduga yang bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar Bodoh, bukan? Aku bukanlah anggauta orang-orang Turki yang menyerang negerimu!” Hampir saja Cin Hai melompat tinggi karena kaget dan herannya.

 “Eh, Lopek, kau... bagaimana kau bisa tahu namaku dan bagaimana pula kau bisa membaca apa yang sedang kupikirkan?”

 Kakek itu tersenyum, lalu membungkuk dan menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan cekatan sekali ia menggulung tubuh ular itu bagaikan seorang menggulung sehelai tambang. Lalu ia mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular itu dengan eratnya. Ular ke dua pun diperlakukan demikian hingga tak lama kemudian kedua ular itu telah merupakan dua buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah mereka saja masih seringkali menjulur-julur keluar. Kemudian ia duduk di atas rumput yang tebal dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di sampingnya. Dengan penuh keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.

 “Taihiap, aku dapat menduga bahwa kau tentu Sie Cin Hai taihiap, karena selain gerakanmu yang lihai ketika kau diserang ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai bermain suling seperti kau itu? Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?”

 Cin Hai mengangguk cepat. “Di mana dia? Bagaimana keadaannya?” tanyanya.

 “Dia telah diselamatkan dan sekarang berangsur sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu, karena ia telah menceritakan segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain sahabat baiknya. Berhari-hari ia mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin Lin, bagaimanakah keadaan anak itu?”

 Cin Hai merasa girang dapat bertemu dengan orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf. “Lin Lin telah tertolong dan kini berada dengan suhunya memperdalam ilmu silatnya,”katanya dan kemudian disambungnya, “Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada hubungan apakah dengan Yo-pekhu?”

 “Yousuf adalah muridku, dan namaku Ibrahim.”

 Cin Hai terkejut sekali mendengar bahwa kakek ini adalah guru Yousuf, maka ia cepat berdiri dan menjura dengan hormat sekali. “Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan kelancanganku Locianpwe.”

 Ibrahim melambai-lambaikan tangannya. “Jangan terlalu banyak sungkan anak muda, aku lebih menyukai kesederhanaan, karena hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena tertutup oleh kepalsuan segala peradatan dan kesopanan pura-pura!”

 Mendengar ucapan ini, Cin Hai teringat akan suhunya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai banyak persamaan dengan kakek ini. Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan dan kesopanan, dan hidup dengan sederhana sekali. Maka ia makin menaruh hormat kepada kakek ini yang dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja, yaitu Yousuf, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. “Locianpwe, aku mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita yang kudengar itu?”

 Kakek berambut putih itu menarik napas panjang. “Memang betul, dan inilah yang menggelisahkan hatiku. Ketahuilah anak muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki terjadi perpecahan, yaitu di antara para pengikut pangeran muda yang mempunyai kehendak untuk memerangi Tiongkok, dan antara pengikut pangeran tua yang tidak menyetujui kehendak ini. Yousuf dan kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut pangeran tua, maka kami dimusuhi oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang terdiri dari banyak orang gagah di negeri kami, bahkan mereka itu telah berhasil membeli tenaga orang-orang kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri, aku sudah merasa bosan dengan segala kekacauan dunia dan aku tidak mau ikut-ikut, kecuali kalau melihat kejahatan terjadi di depan mata barulah terpaksa aku harus turun tangan!”

 Kemudian Ibrahim menuturkan betapa Yousuf telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan sekarang berada dalam perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu kota Kansu. Ketika Cin Hai bertanya tentang pergerakan orang-orang Mongol, kakek itu berkata,

 “Memang semenjak dahulu, orang-orang Mongol memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa lain. Mereka ini agaknya merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka dilanggar oleh barisan Turki ketika orang-orang Turki mengadakan ekpedisi ke Kim-san-to untuk mencari emas, hingga kini jago-jago mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak mengadakan pembalasan oleh karena mereka tahu bahwa di daerah ini banyak terdapat orang-orang Turki. Ah, memang dunia ini banyak sekali terjadi permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin menang dan kesombongan kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di kota Lan-couw, harap kau suka mampir untuk berjumpa dengan Yousuf. Kami tinggal di luar kota sebelah barat dan apabila kau keluar dari tembok kota dan bertanya kepada orang-orang di situ, kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku.”

 Setelah berkata demikian, kakek itu lalu memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura kepeda Cin Hai dan sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari sepuluh kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi Sungai Huangho! Cin Hai diam-diam merasa kagum sekali dan pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan hatinya, oleh karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat, juga ia kini makin terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang terjadi pada masa itu di daerah Kan-su. Diam-diam berdebar tegang hatinya kalau mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kan-su terdapat empat rombongan yang berpaham lain dan yang mungkin akan bertemu dan merupakan permusuhan hebat, yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke dua adalah golongan orang-orang Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat ialah para pengikut pangeran tua dan pangeran muda dari Turki!

 Cin Hai duduk lagi di atas rumput sambil melihat mengalirnya air sungai Huangho. Ia melihat perahu-perahu nelayan pulang dengan perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala perahu sambil bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang sederhana akan tetapi oleh karena enam buah perahu itu semua ditumpangi oleh orang-orang yang bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali dan suara nyanyian itu terdengar merdu! Bunyi riak air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut berdentang hingga hati pemuda itu menjadi gembira sekali. Ia mencabut sulingnya dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan oleh para nelayan itu!

 Mendengar bunyi suling yang merdu, para nelayan memandang ke arahnya dan suara nyanyian mereka terdengar makin bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan ketika perahu mereka lewat di depan Cin Hai. Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian mereka telah terdengar sayup sampai, tiba-tiba Cin Hai yang masih meniup sulignya itu mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang ditiup! Ketika ia memandang, ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik semacam alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya! Laki-laki itu ternyata hanya duduk di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang perahu, agaknya ia seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan pemandangan di situ. Setelah lagu yang dimainkan habis, orang itu tertawa dan melambai kepada Cin Hai sambil berkata, “Anak muda, suara tiupan sulingmu bagus sekali!”

 “Masih lebih bagus suara rebabmu itu!” kata Cin Hai sambil tertawa juga, wajah orang yang tampan itu mendatangkan rasa suka di dalam hatinya. “Saudara yang baik, kalau kau sudi, naiklah ke sini dan mari kita main bersama,” kata Cin Hai lagi.

 “Anak muda, aku hanya menyukai suara sulingmu, akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap melihatnya!” jawab orang tua itu yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan. Mengapa orang ini tiba-tiba menyatakan tidak suka kepadanya? Ia menjadi penasaran sekali karena jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.

 “Ah, sayang, adatmu tidak sebaik suara rebabmu!” jawabnya.

 Tiba-tiba orang itu pun berdiri di kepala perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat dari perahu dan dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang masih berdiri di tepi sungai! Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya gerakan ini, maka ia segera mengangkat sulingnya menangkis. Tangkisan ini membuat orang itu merasa betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil berseru keras ia melompat jauh dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!

 Cin Hai menghela napas. Banyak sekali terdapat orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah ini. Ia melihat bahwa orang tadi adalah seorang Han dan dari logat bicaranya, dapat diketahui bahwa orang itu datang dari Tiongkok Selatan. Yang mengherankan hatinya ialah mengapa orang yang berwajah tampan dan menyenangkan hatinya itu ternyata mempunyai adat yang buruk dan hati yang kejam. Kalau saja bukan dia yang diserang secara demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk kepalanya! Dari tangkisannya tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu ia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie Ban Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang tuanya! Dan ia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti Ang I Niocu yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia. Melihat betapa Ang I Niocu bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie Ban Leng lalu melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jerih dengan tangkisan hebat itu!

 Cin Hai lalu kembali ke rumah penginapan dan malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tidak jauh dari rumah penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I Niocu yang telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!

 Ang I Niocu sendiri tidak tahu bahwa semenjak berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng, ia diikuti oleh Sie Ban Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah ini melanjutkan perjalanan dan ketika tiba di kota Ling-sia, ia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar lagi dari situ. Pada keesokan harinya pagi-pagi benar ia telah keluar dari hotel dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan Yousuf, serta kalau mungkin, mencari Cin Hai juga.

 Dia telah mengambil jalan sebelah selatan hingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai, sedangkan Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara, maka Cin Hai yang mengambil jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tak dapat bertemu pula dengan rombongan ini.

 Jalan yang ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi mereka mendiami dua buah hotel yang berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada di dalam kamarnya! Hanya seorang yang memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu bahkan orang segera mengikuti dengan diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu dan mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya.

 Ang I Niocu yang melakukan perjalanan dengan cepat, tidak tahu sama sekali bahwa diam-diam ada orang yang mengikutinya. Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di kanan-kirinya tampak tanah yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput yang luas, hari telah menjadi senja. Para penggembala sedang menghalau ternak mereka untuk pulang ke kandang, hingga di tempat itu ramai suara lembu menguak dan domba mengembik.

 Tiba-tiba, dari jalan simpang sebelah kiri, muncul dua orang pendeta yang ketika dekat segera menghadang di tengah jalan sambil memandang kepada Ang I Niocu dengan tajam. Pendeta-pendeta itu bukan lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor dua dari Mongol! Ang I Niocu mengenal Sian Kek Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur melawan orang sombong di dalam hutan itu, maka diam-diam ia menjadi terkejut. Ia tidak mempedulikan mereka dan hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek Losu lalu berkata kepada suhengnya,

 “Inilah seorang di antara mereka.” kemudian sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja menghadang jalan gadis itu, ia membentak,

 “Mata-mata kerajaan, kau hendak lari ke mana?” Sambil berkata demikian pendeta pendek ini lalu mengeluarkan gendewanya dan tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I Niocu di bagian leher, dada dan lambung!

 Ang I Niocu telah menyaksikan kelihaian anak panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat ia lalu mengenjot tubuhnya ke atas hingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya dengan cepat sekali! Sebatang di antara tiga buah anak panah itu meluncur cepat dan tepat sekali menancap di punggung seekor lembu hingga binatang itu menguak kesakitan dan berlari menubruk sana-sini mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang segera berlari cerai berai! Para penggembala menjadi terkejut sekali, mereka mengayun cambuk mereka yang panjang hingga terdengar suara cambuk riuh rendah, dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha menenangkan ternaknya dan mengumpulkan sekalian binatang yang berlari-larian itu!

 Ang I Niocu menjadi marah sekali. “Pendeta pengecut! Kaukira aku takut kepadamu? Rasakan pembalasan Ang I Niocu!” Secepat kilat Ang I Niocu lalu mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian tunangannya dan maju menerjang pendeta pendek itu! Sian Kek Losu lalu mengangkat gendewanya dan mereka segera bertempur dengan seru! Sebagai jago nomor dua dari Mongol, tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang telah berada di tingkat yang tinggi hingga Ang I Niocu mengerahkan kepandaiannya. Ia mainkan Ilmu Pedang Ngo-lian-hoan-kiamhwat, dibarengi dengan gerakan-gerakan Sianli-utauw yang lihai dan indah.

 “Bagus, bagus sekali!' Thai Kek Losu memuji oleh karena pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu pedang yang amat indah gerakannya itu. Ia maklum bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang tangguh, apa lagi setelah ia mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I Niocu yang telah tersohor namanya sebagai seorang pendekar wanita yang lihai. Maka sambil berseru keras ia lalu maju menerjang dan membantu sutenya.

 Terkejutiah hati Ang I Niocu melihat betapa angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju Thai Kek Losu luar biasa sekali. Diam-diam ia mengeluh oleh karena untuk menjatuhkan Sian Kek Losu saja ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apa lagi sekarang ada seorang pendeta tua yang luar biasa dan yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari pada pendeta pendek itu. Ia menggigit bibirnya dan mainkan ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga. Pedang Cian-hong-kiam berkelebat cepat merupakan segulung sinar berkilauan hingga seluruh tubuhnya terkurung rapat. Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat sekali menekannya hingga beberapa kali pedangnya kena disampok hingga lengannya terasa kesemutan.

 Pada saat itu terdengar bentakan orang, “Pendeta-pendeta jahat jangan kalian berani mengganggu kawan baikku!” Dan ketika seorang laki-laki melompat dan menggunakan senjatanya yang berupa rebab, tahulah Ang I Niocu bahwa orang ini bukan lain ialah Sie Ban Leng yang berjuluk Si Tubuh Baja itu. Betapapun tidak sukanya melihat kesombongan orang ini, namun bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu merasa berterima kasih dan bernapas lega. Ia lalu memutar pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu yang lihai, sedangkan Sie Bang Leng lalu menyerang Sian Kek Losu hingga kedua orang ini bertempur lagi dengan seru.

 Para penggembala yang melihat pertempuran ini menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi sunyi karena semua ternak telah dihalau dengar buru-buru oleh para penggembala hingga kini yang terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan gendewa Sian Kek Losu. Memang kedua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang setingkat tingginya hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang ramai.

 Sementara itu, menghadapi kelincahan Ang I Niocu yang luar biasa, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga dan tiba-tiba ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat dengan rantai. Begitu senjata itu menyambar, Ang I Niocu telah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang membuatnya menjadi muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang meringis dan seakan-akan muka anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya lemah dan ngeri. Sebentar saja permainan pedangnya menjadi kalut dan Thai Kek Losu mendesaknya dengan hebat. Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal inipun mempengaruhi Sie Ban Leng karena ketika ia melihat betapa gadis yang menggiurkan hatinya itu terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan kesempatan ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang digerakkan secara luar biasa.

 Seperti halnya Cin Hai ketika mengadapi Thai Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anak-anak sedang menangis itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani menggunakan pedangnya untuk menangkis atau membacok tengkorak itu, karena hal ini seakan-akan seperti ia membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak tega dan berbareng merasa ngeri oleh karena selama hidupnya belum pernah ia menghadapi sebuah senjata sehebat ini. Seorang yang sedang mainkan senjata, apalagi di waktu bertempur menghadapi seorang lawan tangguh, yang terutama harus berhati tabah, tenang dan perhatian harus dicurahkan seluruhnya terhadap pertempuran itu. Dengan demikian, barulah ia akan dapat berkelahi dengan baik dan sempurna. Maka, setelah perhatiannya sebagian besar dikacaukan oleh senjata lawan yang mengerikan itu, maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan ia banyak membuat kesalahan-kesalahan. Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu makin hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang diperoleh dari banyak pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih dapat bertahan selama itu!

 Pada saat keadaan Ang I Niocu amat berbahaya dan juga Sie Ban Leng ikut pula terancam, tiba-tiba terdengar suara orang ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu tanpa banyak cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan Sie Ban Leng! Ketika melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya mewek mau menangis dan seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan, bukan main herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru, “Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? Dari mana Jiwi tiba-tiba datang?” Akan tetapi sambil berseru demikian, Ang I Niocu tetap mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.

 “Ha, ha, ha, Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat bertemu di sini!” Ceng Tek Hosiang menjawab. “Tentu saja pinceng datang dari alam kosong!”

 Setelah menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek Hosiang lalu membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu!

 Biarpun ia dapat mendesak Ang I Niocu akan tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa ia tidak dapat cepat-cepat menjatuhkan Ang I Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu hanya dapat melawan Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja, maka kini melihat datangnya seorang hwesio dan seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga diam-diam Thai Kek Losu menjadi gentar.

 Sambil tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang berkata “Eh, dua orang pendeta merah, bukalah matamu lebar-lebar! Kalian ini anak-anak kemarin sore berani mengganggu kawan-kawan pinceng? Belum kenalkah kalian akan kesaktianku? Lihat ini!” Sambil berkata demikian, hwesio gendut yang selalu tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya yang mengkilap.

 Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu siap sedia melihat hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena mereka menyangka bahwa pisau itu tentu akan dilontarkan ke arah mereka dan menduga bahwa hwesio itu tentulah seorang ahli hui-to (golok terbang). Akan tetapi alangkah heran mereka ketika melihat betapa pisau itu diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi segera keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa setelah pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun tidak terluka! Berkali-kali Ceng Tek Hosiang menancapkan “Pisau wasiatnya” ke dalam perut hingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut! Hanya Buddha sendiri yang dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!

 “Cobalah kautiru perbuatanku tadi, kalau kau sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!” kata Ceng Tek Hwesio sambil melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu. Dengan mudah Thai Kek Losu menjepit pisau itu dengan dua jarinya dan karena ia merasa penasaran, ia lalu memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu dengan hwesio ini. Ketika ia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen dan tidak palsu, maka buru-buru ia menjura sambil berkata,

 “Kami yang bodoh telah bertemu dengan seorang sakti. Maafkan kami!” Maka ia lalu melempar pisau itu dengan perlahan ke arah Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut gagang pisau itu merasa betapa tangannya menjadi tergetar, akan tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu yang merasa gentar menghadapi hwesio gendut yang mukanya seperti Jai-lai-hud dan yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah pergi dengan cepat sekali!

 Ang I Niocu sendiri berdiri bagaikan patung karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini, akan tetapi Sie Ban Leng yang sudah tahu, hanya tertawa saja. Sebenarnya, kedua orang pendeta ini masih berada di bawah kekuasaan Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi perintah kepada mereka dan perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai pemimpin tertinggi dan wakilnya! Diam-diam Sie Ban Leng memberi isyarat dengan kedua matanya, hingga kedua orang pendeta itu segera menghampiri Ang I Niocu sambil menjura.

 “Apakah Niocu selama ini baik-baik saja?” kata Ceng To Tosu sambil mewek. “Terima kasih, dan atas pertolongan Jiwi, aku tak lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula.” Sambil berkata demikian, Ang I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek Hosiang dengan kagum dan heran. Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh hwesio gendut, biarpun Bu Pun Su sendiri belum tentu akan sanggup melakukannya!

 Setelah menjura lagi kepada Ang I Niocu dan Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah mendapat perintah untuk pergi dengan isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, lalu meninggalkan mereka tanpa banyak cakap lagi.

 “Mereka itu orang-orang aneh,” kata Ang I Niocu.

 “Memang, orang-orang sakti memang bersikap aneh,” kata Sie Ban Leng sambil maju mendekati Ang I Niocu dengan senyum yang memikat.

 Sebenarnya yang mengherankan hati Ang I Niocu dan yang membuat ia menganggap mereka aneh itu adalah demonstrasi dengan pisau tadi. Dulu ia pernah bertempur dengan Ceng Tek Hosiang dan tahu sampai di mana kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian sehebat itu? Kemudian Dara Baju Merah ini teringat bahwa ia telah ditolong oteh Sie Ban Leng, maka cepat ia menjura sambil berkata,

 “Sie-enghiong telah menolongku, banyak-banyak terima kasih!”

 Sie Ban Leng membalas penghormatan ini dan berkata sambil tersenyum, “Ah, Niocu terlalu merendah dan sungkan. Di antara kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan-sungkan? Kalau kita tidak saling membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah? Sebetulnya, kalau aku boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?”

 “Aku hendak pergi ke Lan-couw,” jawab Ang I Niocu sejujurnya.

 “Kebetulan sekali, aku pun hendak ke ibu kota itu. Kalau tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi, marilah kita jalan bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang jahat, kita dapat saling membantu. Di daerah ini memang banyak sekali terdapat orang-orang Mongol yang jahat, dan ada pula orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa kita.”

 Ang I Nocu merasa serba salah. Ia merasa sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng telah menolongnya dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan kata-kata menolak atau menyatakan keberatan?

 “Aku tidak takut segala macarn penjahat, biar bangsa apapun juga!” jawabnya sambil memandang tajam. “Akan tetapi kalau tujuan perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama.”

 Bukan main girang hati Ban Leng oleh karena kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak perlu lagi mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu! Dan oleh karena Ban Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap sombong dan kurang ajar, bahkan ia selalu memperlihatkan sikap sopan dan menghormat terhadap Ang I Niocu maka gadis itu pun mulai percaya kepadanya dan menganggapnya sebagai seorang kawan baik.

 Ketika Ang I Niocu secara sambil lalu bertanya kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di barat dan pergi ke Kan-su, Ban Leng menarik napas panjang dan menjawab,

 “Lihiap, sebetulnya hal ini merupakan rahasia besar dan belum pernah kuceritakan kepada orang lain.” Semenjak Ang I Niocu menyatakan tidak suka disebut “Niocu” maka Ban Leng lalu mengubah sebutan menjadi “Lihiap”.

 “Ah, kalau memang rahasia, tak perlu pula diceritakan kepadaku,” jawab Ang I Niocu.

 “Kepadamu aku tidak mempunyai rahasia sesuatu, Lihiap. Terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa aku bekerja untuk kaisar dan kedatanganku di daerah ini pun atas perintah kerajaan.”

 Ang I Niocu tercengang. “Ah, kalau begitu kau adalah seorang perwira yang menyamar?”

 “Bukan, aku bukan seorang perwira akan tetapi aku hanya diminta membantu saja, mewakili pekerjaan Kam-ciangin yang kini menjadi pemimpin perwira kerajaan menggantikan kedudukan Beng Kong Hosiang yang telah tewas. Oleh karena banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah Kan-su ini, dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka. Bahkan kedua orang yang dulu menolong kita, Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami bekerja dengan diam-diam dan sebelum mendapat bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan, sesuai dengan perintah Kam-ciangkun.”

 Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Sebetulnya, apakah yang dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol itu di daerah ini?”

 “Inilah yang sedang kami selidiki, dan menurut laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat menarik hati di samping maksud-maksud serombongen orang Turki yang hendak menyerbu negeri kita. Menurut hasil penyelidikan di daerah Kan-su selain menjadi sumber penghasilan bagi perantau-perantau itu, juga di ibu kota terdapat harta terpendam yang luar biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya yang menarik hati jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha mereka untuk mencari dan mendapatkannya.”

 Ang I Niocu merasa tertarik sekali, tetapi ia tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menyelidiki sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama makin nampak jelas sikap Ban Leng yang seringkali memandang dengan mata mengandung perasaan hatinya secara terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah saja diterka bahwa laki-laki ini “jatuh hati” kepadanya. Hal ini tidak dipedulikan oleh Ang I Niocu walaupun ada juga sedikit perasaan iba di dalam hatinya. Entah bagaimana, dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin Hai. Sama benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya sedikit bedanya kalau Cin Hai menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng menggerakkannya dengan lincah, tanda bahwa otaknya kerja cepat dan wataknya cerdik.

 Sementara itu, Cin Hai tertinggal dua hari oleh Ang I Niocu karena pemuda melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati tamasya alam di daerah itu dan tiap kali melalui dusun atau kota, ia tentu berhenti sebentar, bahkan kadang-kadang bermalam untuk mengenal tempat itu lebih baik. Penghidupan di daerah itu menarik hatinya, terutama melihat banyaknya macam suku-suku bangsa yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.

 Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam sebuah dusun. Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di dalam rombongan tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka. Kelima orang itu masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika mendengar pembicaraan mereka dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan tempat itu akan tetapi ketika ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama Yousuf, ia membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.

 Tak lama kemudian, kelima orang itu yang agaknya menanti sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan menuju ke sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di ujung dusun itu. Wai Sauw Pu mengetuk pintunya dan ketika pintu dibuka oleh seorang Turki yang sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk. Cin Hai melihat betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka ia lalu melompat naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian.

 Cin Hai melihat betapa kelima orang itu melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan kakek itu menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek itu, ternyata bahwa berkali-kali ia menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan. Kemudian agaknya Wai Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri ia memegang leher baju orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Kemudian tangan kanannya menampar hingga tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw Pu keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat bangun pula. Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya, akan tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata sepotong genteng itu, disusul oleh melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok, sambil membentak,

 “Orang-orang kejam jangan menyiksa orang tua yang lemah!”

 Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang dulu membela Yousuf dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya menjadi gentar. Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum mengenal Cin Hai, maka dengan golok di tangan mereka maju menerjang pemuda asing ini. Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawann Wai Siauw Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya bergerak, dua batang golok telah dapat dirampas dan pemilik-pemilik golok terpelanting roboh! Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu tiba-tiba dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping dan kakek bersorban ini terus melompat melalui jendela dan lari! Kawan-kawannya juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan tenaganya. Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas lantai sambil merintih-rintih itu.

 “In-kong (Tuan Penolong)... terima kasih... terima kasih...” katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil terengah-engah. Ketika Cin Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, ia menjadi terkejut sekali oleh karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.

 “Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?”

 “Mereka adalah pengikut-pengikut…Pangeran muda... kejam dan ganas...” akan tetapi tiba-tiba wajah yang menyeringai kesakitan itu lalu tersenyum, “akan tetapi jangan harap akan dapat merampas ini... biar mereka membunuhku sekalipun...” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan dari dalam bajunya.” In kong... aku sudah tua, lukaku berat, tiada gunanya kautolong aku... kalau kau memang seorang gagah yang berhati mulia... tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya...”

 Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan kasihan dan terheran. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanya, “Lopek, apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan Yousuf?”

 Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali. “Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku... kau...kaujagalah benda ini baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya berani mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-kong, kau boleh pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan berikan benda ini kepada orang lain!”

 “Baiklah, Lopek. Kau tidak memilih keliru, karena terus terang saja, aku ialah seorang sahabat baik dari Yousuf.” Wajah kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata, “Pergilah, lekas pergi!”

 Ketika melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, kakek itu berkata lagi, “Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat diri sendiri...!”

 Terpaksa Cin Hai lalu melompat pergi dari tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku bajunya. Ia tidak tahu bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, kakek itu telah tak bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!

 Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai mencoba untuk melihat apa gerangan isi bungkusan yang demikian dikehendaki oleh Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning dan ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup cawan terbuat daripada perak! Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang harganya tidak beberapa banyak! Ia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan memandangnya dengan heran. Tutup cawan itu kecil saja, terbuat daripada perak bakar dan pada mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa bunga-bunga yang tak dapat disebut indah. Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup cawan ini. Kalau saja tidak teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai sudah melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya sebuah tutup cawan? Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat yang gagah, maka sekali berjanji, betapapun juga tentu akan memegang teguh janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu dan memasukkannya kembali ke dalam saku.

 Ketika ia melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam orang peunggang kuda telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura kepada Cin Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.

 “Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup cawan itu kepada kami.”

 “Apa maktudmu?” Cin Hai membentak marah. “Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan kalian dan selama hidupku belum pernah aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!”

 Wai Sauw Pu tersenyum akan tetapi matanya memandang tajam. “Sicu, harap kaumaafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Sicu takkan sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu telah memberikannya kepadamu.”

 “Memang barang itu ada padaku akan tetapi aku telah berjanji kepada kakek tua itu untuk menyimpannya dan tak boleh memberikannya kepadamu!”

 “Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang jahat itu?”

 “Maling tua itu, kalau benar-benar ia maling, tidak lebih jahat dari pada kau dan kaki tanganmu!” bentak Cin Hai yang marah ketika teringat betapa kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul kakek itu dengan kejam.

 Mendengar ini, Wai Sauw Pu menjadi marah sekali dan cepat ia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu segulung tasbeh dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masing-masing. Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat juga Lok Kun Tojin, tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh. Apalagi sekarang ia tidak mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong, paling banyak dengan sulingnya!

 “Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau masih muda dan gagah, sedangkan di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu. Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu? Kalau kau suka, kami sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!” kata pula Wai Sauw Pu membujuk.

 “Eh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan tutup cawan itu?” tanya Cin Hai. “Aku mengukuhi benda itu bukan karena ingin memilikinya, akan tetapi hanya karena aku sudah berjanji untuk melindunginya. Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini benar-benar aneh! Mengapa untuk sebuah tutup cawan dari perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?”

 “Sicu, ini adalah urusan dan kepentingan pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda itu adalah barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan mengembalikan barang itu,” kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun memandangnya dengan heran.

 “Malaikat tasbeh! Kau jangan membohongi aku, karena biarpun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku bukanlah seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah serang dari Sin-kiang! Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki. Apakah kau ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang sudah menjadi tanah jajahan Turki? Ha, ha, ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa anak yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, akan tetapi seorang yang mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?”

 “Bangsat bermulut lancang!” Wai Sauw menggerakkan tasbehnya dengan marah. “Jangan banyak cakap, pendeknya kau kembalikan benda itu atau tidak?”

 ”Tidak ada persoalan menerima dan mengembalikan,” jawab Cin Hai dengan tenang, “Aku tak pernah menerimanya darimu dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih berharga daripada jiwa, tahukah kau?”

 “Keparat!” Wai Sauw Pu lalu menggerakkan tasbehnya dan manyerang ke arah Cin Hai! Pemuda ini dengan sigapnya mengelak, akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu telah melompat turun dan menggerakkan senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang bertangan kosong! Cin Hai terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian orang lihai dengan bertangan kosong adalah amat berbahaya. Walaupun sulingnya hanya terbuat daripada bambu tipis, akan tetapi oleh karena ia mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam jalan darah semua lawannya hingga mereka tidak berani mengurung terlalu dekat!

 Akan tetapi, tasbeh dari Wai Sauw Pu dan senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar berbahaya dan tiap kali sulingnya yang ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya terpaksa ia gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau sulingnya pecah dan rusak!

 Sebetulnya kalau Cin Hai tidak menguatirkan kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena yang terlihai di antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang memiliki tenaga besar belaka, akan tetapi ilmu silat mereka masih jauh di bawah tingkatnya. Akan tetapi ia pikir bahwa sesungguhnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama lagi. Ia segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan pukulan-pukulan Pek-in-hoatsut hingga dua orang pengeroyok dapat ia robohkan tanpa menderita luka hebat, kemudian ia lalu lompat keluar dari kurungan mereka berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!

 Lawan-lawannya segera mengejar sambil menunggang kuda, akan tetapi mereka tak dapat mengejar Cin Hai yang mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah meninggalkan mereka jauh-jauh!

 Akan tetapi musuh-musuhnya itu tidak mau membiarkan dia pergi dengan aman dan semenjak saat itu, Cin Hai selalu merasa bahwa ia diikuti orang! Ke mana juga ia pergi, bahkan ketika ia bermalam di hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang secara diam-diam. Ia menjadi jengkel sekali dan mulai merasa betapa tugas yang ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan. Ia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu pasti akan muncul dan mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Maka ia menjadi gelisah juga, karena sedikitnya, walaupun ia tak pernah merasa takut, hal ini mengganggu tidurnya dan ia tidak dapat menikmati perjalanannya, karena ia selalu harus berlaku waspada dan hati-hati.

 Dua hari kemudian, sampailah ia di Lan-couw, ibu kota Kan-su. Ketika ia tiba di luar tembok kota, ia melihat sebuah rumah terpencil di pinggir jalan. Tadinya ia hendak melewatinya saja, akan tetapi, tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu, maka ia menjadi tertarik dan segera melompat pula menghampiri pondok itu. Ketika ia tiba di dekat jendela pondok yang terbuka, ia mendengar suara orang bicara. Pada saat itu ia mengalami dua macam hal yang amat mengejutkan hatinya, bahkan membuat wajahnya menjadi pucat. Yang pertama ialah suara yang keluar dari dalam pondok itu! Jelas terdengar olehnya dua orang, seorang laki-laki dan seorang wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I Niocu! Hal kedua yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat kenyataan bahwa umah itu berikut dirinya, telah terkurung dari segenap penjuru oleh orang-orang Turki yang dikepalai oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok Siok Kwat Moli juga kelihatan bayangannya!

 Akan tetapi hal ke dua ini tidak ia pedulikan, yang lebih menarik hatinya adalah suara wanita itu. Ia mendekatkan telinganya pada jendela dan mendengar suara wanita itu berkata dengan suara yang tandas dan nyaring, akan tetapi merdu, “Jangan kau ulangi lagi ucapanmu tadi!”

 “Lihiap... tidak kasihankah kau kepadaku? Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku, akan tetapi aku harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa dayaku? Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya hendak mengasingkan diri dan menyucikan diri untuk menebus dosaku, akan tetapi, semenjak aku melihat wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap, mungkin di dunia ini ada orang yang mencintaimu seperti aku!” terdengar suara seorang laki-laki berkata.

 “Cukup tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja kalau aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan tidak ingat bahwa kau mengingatkan daku akan seorang yang amat kuhargai, tentu sekarang juga sudah kucabut pedangku untuk menabas batang lehermu!”

 “Lihiap, kalau aku melawan, belum tentu kau akan dapat menang, akan tetapi, aku tak sampai hati mengangkat tangan melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan tetapi kasihanilah aku dan janganlah kausia-siakan cinta kasihku!”

 Cin Hai tak dapat menahan lagi gelora hatinya oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara Ang I Niocu! Ia cepat membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang berada di dalam pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak dengan tangan kanan di gagang pedangnya sedangkan laki-laki itu berlutut di depannya!

 “Niocu...!” Cin Hai berteriak dengan wajah pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa dara yang baju merah itu benar-benar Ang I Niocu!

 Dara Baju Merah itu berpaling cepat dan mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai. “Hai-Ji...” serunya dengan suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela. Mereka berdiri berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.

 “Niocu... Niocu... benar-benarkah kau ini... apakah aku tidak sedang bermimpi...” Sambil berkata demikian, air mata mengalir ke atas kedua pipi Cin Hai.

 Ang I Niocu memegang kedua tangan Cin Hai. “Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul Kiang Im Giok yang telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-bun-to.”

 Saking girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara ini, akan tetapi sebaliknya lalu menjatuhkan diri berlutut. Ang Niocu mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan pada pundak pemuda itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu berkata sambil tersenyum penuh keharuan hati dan kegirangan, “Hai-ji, kau benar-benar telah dewasa sekarang. Bahkan kau telah nampak masak. Di mana Lin Lin?”

 “Dia ikut belajar silat dengan Suhu.”

 Ang I Niocu mengangguk girang, dan sebelum ia melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu berkelebat bayangan Ban Leng yang segera mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit cepat dan sekarang barulah ia mengenal laki-laki ini sebagai orang yang dulu pernah pula menyerangnya di tepi Sungai Huangho.

 ”Eh, eh, tunggu dulu, kawan!” teriaknya dengan marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,

 “Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan turun tangan!”

 Bukan main terkejut hati Cin Hai mendengar nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang ke arah pamannya itu dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie Ban Leng yang dulu mengkhianati ayah bundanya?

 Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah mendatangi dengan cepat dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan tiba-tiba ia bersuit keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap lalu memutar-mutar rebabnya menyerang Wai Sauw Pu. Wai Sauw Pu menggerakkan tasbehnya dan berkata dengan marah,

 “Tangkap tiga tikus ini!” Maka majulah semua orang Turki mengeroyok, hingga Ang I Niocu lalu mencabut pedangnya dan Cin Hai juga menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya pengeroyok di dekat Ang I Niocu.

 Tak lama kemudian, datanglah kawan-kawan Sie Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang menyamar, bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran hebat antara orang-orang kaisar melawan orang-orang Turki.

 “Niocu, sebenarnya mereka ini datang untuk menangkap aku!” kata Cin Hai sambil menangkis serangan lawan yang kini tidak begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.

 “Mengapa?” tanya Ang I Niocu sambil mengirim tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang tertendang itu terguling dan tak dapat bangun pula.

 “Karena aku membawa sebuah tutup cawan perak yang tidak berharga!” jawab Cin Hai sambil tertawa. Akan tetapi mendengar jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata terbelalak.

 “Tutup cawan perak yang berukir di atasnya?” tanyanya.

 “Betul,” jawab Cin Hai sambil memandang heran. “Bagaimana kau bisa tahu?”

 “Hai-ji, cepat! Mari kita keluar dari kepungan ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka bertempur, kita boleh bekerja cepat!”

 Biarpun tidak mengerti akan maksud gadis itu, namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan dengan cepat lalu mengikuti Ang I Niocu yang telah melompat keluar dari kalangan pertempuran, lalu keduanya lari cepat memasuki kota Lan-couw.

 Ternyata Ang I Niocu membawanya menuju ke Gua Tun-huang yang beratus-ratus banyaknya itu.

 “Coba kaukeluarkan tutup cawan itu, Hai-ji,” kata Ang I Niocu dan ketika Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu juga mengeluarkan sebuah cawan dan ternyata bahwa tutup itu memang pas betul. Ketika tutup cawan itu dipasang di atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar ukirannya dengan seksama. Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,

 “Gua ke tiga puluh enam dari kiri! Hayo Cin Hai, jangan membuang waktu!”

 Sambil berlari-lari mencari gua ke tiga puluh enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang rahasia cawan dan tutupnya.

 “Ketahuilah bahwa sepasang cawan dan tutupnya ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah tempat penyimpanan harta pusaka terpendam yang berada di dalam gua-gua ini.”

 Cin Hai makin terheran dan ia segera berkata, “Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari sepasang pedang, yaitu Liong-cu-kiam yang katanya berada di dalam gua-gua di Tun-huang ini.”

 “Nah, itulah,” kata Ang I Niocu girang. “Dan selain sepasang pedang itu, masih terdapat harta yang luar biasa banyaknya!”

 Cin Hai hendak bertanya lagi, akan tetapi mereka telah tiba di gua ke tiga puluh enam itu dan segera mereka masuk ke dalam gua yang besar itu. “Mari kita memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu tembusan!” kata Ang I Niocu. Keduanya lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding gua yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa patung-patung Buddha, akan tetapi tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan. Mereka mendorong-dorong dinding, membersihkan lantai, memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi hasilnya nihil. Cin Hai lalu tidak sabar dan ia lalu duduk mengaso dan berkata kepada Ang I Niocu yang masih mencari-cari.

 “Niocu, untuk apakah tergesa-gesa? Marilah kita duduk bercakap-cakap dulu dan kauceritakan pengalamanmu semua. Aku ingin sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar pengalamanku semenjak berpisah.”

 “Nanti saja, Hai-ji, orang-orang Mongol dan Turki serta orang-orang kaisar juga mencari harta pusaka ini. Kalau mereka tahu kita berada di sini tentu mereka akan datang menyerbu,” kata Ang I Niocu sambil masih memeriksa kanan kiri. “Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah mendengar dari Kwee An dan Ma Hoa.”

 “Apa??” Cin Hai melompat memegang lengannya. Kau telah bertemu dengan mereka? Masih hidupkah mereka?”

 Ang I Niocu tersenyum manis sambil memandangnya. “Kalau mereka sudah meninggal, bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka?”

 Bukan main girang hati Cin Hai mendengar warta ini. “Aduh, alangkah mulia dan besarnya hari ini!” ia berkata memandang ke atas seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung. “Melihat Niocu masih hidup, mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat” tiba-tiba ia melompat bangun dan berkata,

 “Niocu kita sudah memeriksa lantai dan dinding, mengapa kita lupakan di atas?”

 “Apa maksudmu?” tanya Ang I Niocu heran.

 “Langit-langit itu,” kata Cin Hai sambil menuding ke atas, “Siapa tahu kalau-kalau di situ letak rahasia yang kita cari?”

 Ang I Niocu berseri dan pada wajahnya yang cantik timbul harapan baru. Mereka lalu memeriksa lagi dengan teliti dan akhirnya mereka harus memeriksa cawan itu lagi dengan segala ukiran. Setelah memeriksa sampai mata mereka terasa pedas, akhirnya mereka mendapatkan sebuah lukisan pada tutup cawan itu yaitu lukisan patung Buddha yang duduk bersila.

 “Ah, aku tadi pernah melihat lukisan ini!” kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai mencari-cari lagi dan memeriksa seluruh ukiran yang berada di dinding dan di langit-langit.

 “Itulah dia!” kata Ang I Niocu sambil menunjuk ke atas. Benar saja, di ujung kiri dari langit-langit gua ini, terdapat sebuah lukisan yang serupa benar dengan ukiran pada kepala cawan itu, yaitu sebuah patung Buddha yang duduk bersila. Mereka lalu meneliti cawan itu lagi, oleh karena masih belum tahu apa maksud persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka kini. Biarpun ukiran itu campur aduk, akan tetapi apabila diteliti melihatnya, ternyata setangkai bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka lalu mencari tangkai bunga ini di dinding gua dan akhirnya mereka dapat menemukannya. Dari ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang terus menuju ke bawah dan berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.

 “Jangan-jangan inilah rahasianya!” kata Cin Hai sambil memutar-mutar patung itu, ternyata biarpun tidak berapa besar, akan tetapi patung itu berat sekali.

 “Niocu, mari kita pindahkan patung yang berat ini, siapa tahu kalau-kalau di bawahnya terdapat pintu rahasia!” Ang I Niocu lalu membantu dan dengan persatuan tenaga mereka, terangkatlah patung itu.

 “Awas!!” tiba-tiba Ang I Niocu berseru. Mereka segera menurunkan kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas tiba-tiba terbuka sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini, dipasangi tali baja yang menghubungkan patung itu dengan sebuah pintu di langit-langit gua. Tali baja ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di dalam dinding batu yang sengaja dibuat oleh orang-orang kuna untuk menutupi rahasia ini.

 Ang I Niocu dan Cin Hai merasa terkejut sekali akan tetapi juga girang. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum dan biarpun hati mereka sangat ingin membuka peti itu, akan tetapi mereka masih berdebar-debar dan untuk beberapa lama mereka hanya berdiri saja.

 “Niocu, hayo kita buka peti itu. Siapa tahu di dalamnya penuh dengan emas permata!”

 “Jangan-jangan terisi binatang beracun. Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?” kata Ang I Niocu sambil tertawa. Keduanya lalu maju dan bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka tercengang sekali. Ketika tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang berkilauan gemilang keluar dari peti itu dan ketika mereka telah membiasakan mata mereka yang tadinya menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti kecil itu terisi dua batang pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya berkilauan!

 “Ah, inilah Liong-cu-kiam!” kata Cin Hai dan Ang I Niocu mengangguk.

 “Agaknya benar juga, inilah pedang yang dimaksudkan oleh Susiok-couw Bu Pun Su itu!”

 Otomatis mereka lalu mengulurkan tangan dan tanpa disengaja mereka telah mengambil pedang yang sesuai dengan mereka. Cin Hai mengambil pedang yang lebih panjang dan yang pada gagangnya selain tertulis nama pedang itu, yaitu Liong-cu-kiam, juga terdapat huruf “jantan”, sedangkan pedang yang terambil oleh Ang I Niocu terdapat huruf “betina”!

 “Bagaimana Niocu? Harus kita apakan pedang ini?”

 “Eh, anak bodoh!” kata Ang I Niocu dan wajah Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah lama ia rindu akan sebutan ini yang keluar dari mulut Ang I Niocu. “Tentu saja pedang ini kita serahkan kepada Susiok-couw! Akan tetapi sementara ini biarlah kita membawa pedang ini seorang satu.”

 “Niocu, lubang di atas itu besar dan gelap, mungkin di situlah tersimpannya harta yang kau sebutkan itu.” Keduanya lalu berdiri dan memandang ka atas akan tetapi karena lubang itu benar-benar gelap menghitam, mereka tidak melihat sesuatu.

 “Marilah kita periksa ke atas, biarkan aku memasukinya,” kata Cin Hai akan tetapi pada saat itu di luar terdengar banyak suara kaki orang.

 “Hai-ji, lekas kita kembalikan patung itu!” Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi ke tempat semula dan aneh! Lubang itu tertutup dengan sendirinya dari atas!

 Cin Hai hendak berlari keluar, akan tetapi tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang lengannya, “Jangan keluar dulu, mungkin kalau terlihat oleh mereka, akan menimbulkan kecurigaan!”

 Keduanya lalu bersembunyi sambil mengintai dari dalam gua dan setelah rombongan orang yang terdengar bunyi kakinya itu lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai lalu melompat keluar dari dalam gua dengan pedang Liong-cu-kiam di tangan. Setelah tiba di luar gua, keduanya memandang kepada pedang masing-masing dengan amat kagum oleh karena setelah berada di tempat terang kedua pedang ini mengeluarkan cahaya yang amat indahnya. Sinar matahari yang menimpa mata pedang, terpantul kembali menimbulkan berbagai warna pada sinar pedang itu hingga keduanya selain merasa kagum, juga merasa girang sekali. “Lebih baik kita simpan pedang ini, kalau terlihat orang akan menimbulkan keheranan,” kata Ang I Niocu dan keduanya lalu menyimpan pedang itu di dalam baju masing-masing.

 “Sekarang tiba waktunya bagimu untuk menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah amat ingin mendengarkannya,” kata Cin Hai sambil duduk di atas sebuah batu yang besar. Ang I Niocu duduk di dekatnya dan mulailah bercerita tentang segala hal yang dialaminya. Akan tetapi ia masih merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan Lie Kong Sian. Ketika ia menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin Hai berkata,

 “Dia itu adalah pamanku sendiri yang telah mengkhianati Ayah Bundaku.”

 Terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ucapan ini. “Ah, pantas saja ada persamaan pada mukanya dan mukamu. Hayo, kau sekarang ceritakan pengalamanmu!”

 Cin Hai juga menceritakan semua pengalamannya, dan ketika pemuda itu bercerita tentang pertandingannya melawan Song Kun, Ang I Niocu tanpa terasa ia berseru,

 “Ah, Song Kun itu adalah Sutemu yang jahat!”

 “Sute siapa?” tanya Cin Hai terheran.

 Tiba-tiba wajah Ang I Niocu menjadi merah.

 “Sute dia… eh, penolongku itu, Lie Kong Sian. Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin, adik seperguruan Susiok-couw!”

 Akhirnya, mengertilah Cin Hai dan ia berkata,

 “Menurut Suhu Bu Pun Su pedang yang dapat menghadapi pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah pedang Liong-cu-kiam ini. Sekarang pedang ini telah kupegang, maka aku tidak takut lagi menghadapi dia!”

 “Jangan kuatir, Hai-ji, aku pun bersedia membantumu untuk merobohkan dia itu, biarpun kepandaianku jauh berada di bawah tingkat kepandaianmu!”

 “Ah, jangan kau terlampau merendahkan diri, Niocu.”

 Kemudian, Ang I Niocu lalu minta kepada Cin Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu pedang yang dulu diciptakan atas bantuannya. Dengan suka hati, Cin Hai lalu mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam dan mulai bersilat hingga Ang I Niocu menjadi kagum sekali.

 “Ah, kepandaianmu makin maju saja,” katanya. ”Sungguh aku merasa gembira melihat kawan-kawan mendapat kemajuan hebat. Terutama sekali yang sekarang menerima ilmu silat luar biasa adalah Ma Hoa. Ia sungguh lihai sekali dan permainannya bambu runcing benar-benar mengagumkan,”

 “Tak disangka bahwa Ma Hoa yang tadinya terjerumus ke dalam tebing yang demikian tinggi, tidak saja selamat, bahkan menerima pelajaran ilmu silat tinggi sungguh nasib orang tidak tentu. Akan tetapi, selain Ma Hoa, Lin Lin juga bernasib baik oleh karena kini ia mendapat gemblengan dari Suhu.” Ketika membicarakan hal kekasihnya ini, wajah Cin Hai berseri dan matanya bersinar.

 “Hai-ji demikian besar kasih sayangmu kepada Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum, “dan aku percaya bahwa cinta kasih gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku girang sekali melihat kau bahagia, Hai-ji.”

 Cin Hai merasa terharu sekali karena teringat akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau Kim-san-to demi kebahagiaannya dan Lin Lin.

 Dengan mesra dan suara penuh harapan, Cin Hai memandang Ang I Niocu dan berkata,

 “Niocu, memang kau mulia sekali. Kudoakan sepenuh hatiku semoga kau pun akan dikurniai kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh yang baik, sebagaimana diharapkan pula oleh Suhu.”

 Merahlah seluruh muka Ang I Niocu sampai ke telinganya mendengar ucapan pemuda itu. Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau Nona Baju Merah itu marah mendengar kata-katanya yang lancang itu, maka ia buru-buru melanjutkan bicaranya. “Maaf, Niocu, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu...”

 Ang I Niocu mengerling kepadanya dan tersenyum manis. “Mengapa minta maaf? Aku tidak marah dan ucapanmu itu memang berharga untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke gua itu. Mereka telah pergi dan sekarang kita ada kesempatan untuk mencari harta terpendam yang menurut keterangan harus ada di tempat itu.”

 Cin Hai merasa girang sekali mendengar ucapan Ang I Niocu dan diam-diam ia mengharapkan perubahan perasaan Ang I Niocu terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang amat mencinta Dara Baju Merah itu. Mendengar ajakan Ang I Niocu untuk mencari harta terpendam, sungguhpun ia sendiri tidak ingin mendapatkan harta itu, namun tanpa membantah lagi ia lalu bangun berdiri dan mengikuti nona itu kembali ke dalam gua di mana mereka tadi mendapatkan Liong-cu-kiam.

 “Niocu, lubang di atas itu kecil dan takkan dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah nanti aku saja yang masuk dan kau menjaga di luar gua, takut kalau-kalau ada orang yang akan melihat kita dan mengetahui rahasia tempat ini.”

 “Baik, akan tetapi kau berhati-hatilah karena bukan tak mungkin bahwa dalam tempat yang aneh terdapat hal-hal yang aneh dan berbahaya pula, dan kabarnya pendeta-pendeta yang dulu menyimpan benda-benda ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi.”

 Cin Hai menjadi tertarik sekali.

 “Niocu, sebelum kita bertindak lebih jauh, terlebih dulu harap kau suka ceritakan padaku tentang riwayat harta terpendam itu karena tak enak mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik keadaannya.”

 Ang I Niocu dapat mengerti perasaan dan pendapat Cin Hai ini, maka ia lalu duduk di atas sebuah batu dalam gua itu dan berkata, “Memang seharusnya kau tahu akan hal itu, akan tetapi aku sendiri pun hanya mendengar dari lain orang dan ceritanya hanya samar-samar saja,” Nona Baju Merah itu lalu menceritakan riwayat harta terpendam di dalam gua itu sebagaimana yang ia dengar dari lain orang.

 Menurut pendengarannya, diceritakan orang bahwa ratusan tahun yang lalu, ketika pendeta-pendeta Buddha mulai memperluas perkembangan agamanya ke daerah timur, mereka mendapat tantangan keras dari orang-orang yang tidak menyetujui pelajaran agama mereka hingga tidak jarang terjadi pertempuran hebat yang mengorbankan banyak jiwa orang. Pada masa itu, di dekat perbatasan Tiongkok sebelah barat laut terdapat suku bangsa Kazak yang tangguh dan kuat, akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang Kazak ini tidak hentinya menyerang ke pedalaman dan melakukan perampokan-perampokan yang ganas, mengumpulkan barang-barang berharga hingga mereka memiliki banyak sekali emas dan permata hasil perampokan itu.

 Hal ini membuat kaisar menjadi marah dan karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya kaisar membaiki para pendeta Buddha dan dapat mempergunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan menghancurkan bangsa Kazak yang suka merampok itu. Akan tetapi, setelah para pendeta Buddha itu berhasil membasmi para perampok dan merampas kembali barang-barang berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan mengerahkan tentara untuk mengusir pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga itu. Para pendeta itu karena tidak pernah menyangka-nyangka, dapat terpukul hingga cerai-berai dan sebagian di antara mereka segera melarikan diri ke gua-gua Tun-huang dan menyimpan harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat dikejar dan ditewaskan hingga tak seorang pun tahu di mana tempat harta pusaka itu disimpan. Hanya seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.

 “Nah, hanya sekianlah yang kudengar dari keterangan orang-orang, benar tidaknya entahlah,” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai yang mendengarkan dengan hati tertarik.

 “Kalau begitu, seandainya kita mendapatkan kembali harta itu, kita pergunakan untuk apakah?” tanyanya dengan muka memandang bodoh.

 Ang I Nicu tersenyum. “Hai-ji, kau benar-benar linglung! Baru kau saja orangnya yang tidak tahu harus mempergunakan harta benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dulu dan kalau sudah berhasil, kita bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu apa yang harus kaulakukan.”

 “Tapi, kau sendiri, Niocu? Untuk apakah harta benda itu bagimu?”

 “Anak bodoh! Aku sih hanya membantu kau saja. Aku sendiri tidak membutuhkan barang-barang itu!”

 “Aku pun tidak membutuhkan! Kalau begini halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah mencarinya?”

 “Hai-ji, ketahuilah. Selain kita, masih banyak pihak yang mencari harta itu dan apabila harta benda yang besar itu terjatuh ke tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan malapetaka belaka!”

 Cin Hai mengangguk-angguk dan berkata, “Benar, benar, sekarang aku teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa harta benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang berguna dan mulia, akan tetapi sebaliknya apabila harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi akan menjadi alat hidup yang jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!” Ang I Niocu tertawa “Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi guru sastera di dalam gua ini!” Cin Hai Juga tertawa, kemudian mereka lalu bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci pembuka pintu di atas guha. Setelah lubang di langit-langit gua itu terbuka, Cin Hai lalu melompat ke atas dan mempergunakan tangan kanan untuk menyambar pinggiran lubang dan bergantungan di situ, kemudian ia mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam lubang kecil itu. “Ah, gelap sekali, Niocu!” katanya. “Biasakan dulu matamu di tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam gua ini agar cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang,” kata Ang I Niocu yang segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar gua. Tiba-tiba ketika ia sedang mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang perwira. Cepat ia masuk ke dalam gua dan berkata kepada Cin Hai, “Hai-ji kau cepatlah bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!” Setelah menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan berlari ke luar dari gua. Ia mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan dengan langkah lebar menuju ke situ! Ang I Niocu segera melompat jauh dan memapaki orang itu dan setelah dekat hingga perwira itu melihatnya, ia lalu membelok ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut. Perwira itu merasa curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka ia segera mengejar dan berseru, “Nona, tunggu dulu!” Akan tetapi, Ang I Niocu berlari terus menjauhkan diri dari gua di mana Cin Hai sedang mencari harta pusaka dan setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti berlari dan berdiri sambil bertolak pinggang. Perwira itu cepat sekali larinya dan setelah berhadapan muka, ia memandang kepada Ang I Niocu dengan heran dan kagum. Tadinya ia mengira bahwa wanita itu adalah seorang penduduk situ, seorang perempuan suku bangsa Hui, akan tetapi alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita yang dikejarnya adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang bidadari! Ia memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena kagumnya. Sementara itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa perwira itu tadi telah mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan, dan tahulah ia bahwa perwira ini bukanlah orang sembarang. Ia lalu memandang penuh perhatian. Perwira itu memakai topi pahlawan yang indah dan dihias bulu-bulu, sedangkan rambutnya yang panjang dan hitam itu dikuncir dan tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling banyak tiga puluh lima tahun, tubuhnya sedang dan nampak kuat, sedangkan pada pinggangnya tergantung sebatang pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh. Ang I Niocu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan panglima tertinggi di seluruh kerajaan pada waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang menjadi panglima nomor satu di kerajaan! Ia datang menyusul anak buahnya karena menganggap bahwa keadaan di barat amat genting hingga perlu turun tangan sendiri. Karena berhak bekerja secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. “Perwira gadungan!” Ang I Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu tidak melanjutkan perjalanannya dan melihat Cin Hai, “Mengapa kau mengejarku?”

 Dimaki demikian itu, Kam Hong Sin hanya tersenyum dan menjawab, “Nona yang cantik, mengapa pula kau melarikan diri dariku? Kau adalah seorang Han, apa kerjamu di daerah ini?”

 “Kau peduli apa? Pergi!” Ang I Niocu yang segera mengulur tangan kanan mendorong agar perwira itu roboh dan lari ketakutan. Dorongannya ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia mempergunakan pukulan dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut yang kelihaiannya luar biasa dan tak mungkin ditangkis oteh orang sembarangan saja. Akan tetapi bukan main terkejutnya ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat dan berhasil mengelak dengan gerakan cepat sekali! Juga perwira itu terkejut melihat serangan yang demikian hebat dan mendatangkan angin yang terasa panas ketika menyerempet ujung jari tangannya itu!

 “Eh, eh, siapakah kau yang lihai ini?” teriaknya, akan tetapi Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil membentak,

 “Peduli apakah kau siapa adanya aku?”

 Kini perwira tertinggi di kerajaan itu tidak berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya untuk menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tak boleh dibuat gegabah. Ang I Niocu merasa kagum dan terheran-heran melihat seorang perwira kerajaan yang dapat menghadapi ilmu silatnya Pek-in-hoatsut dan bahkan dapat membalas dengan serangan-serangan yang tak kurang hebatnya! Ilmu ginkang dari perwira muda itu benar-benar membuat Ang I Niocu tertegun karena gerakannya demikian ringan hingga tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung saja hingga setiap serangan dari Pek-in-hoatsut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan lweekang dari perwira itu pun tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri.

 Ang I Niocu merasa penasaran sekali melihat betapa serangan-serangannya tak mendatangkan hasil, maka sambil membentak marah ia mencabut Liong-cu-kiam yang tersembunyi di dalam jubahnya.

 “Perwira gadungan, rasakan kelihaian Ang I Niocu!”

 Bukan main terkejutnya Kam Hong Sin mendengar bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang tersohor dan yang sudah lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu mengangkat kedua lengan sebagai penghormatan.

 “Ah, ah, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan Ang I Niocu yang telah menggemparkan dunia kang-ouw. Maaf, maaf siauwte tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada Lihiap.”

 “Ciangkun siapakah?” tanya Ang I Niocu heran.

 “Siauwte adalah Kam Hong Sin.”

 Kini Ang I Niocu yang terkejut karena tidak pernah disangkanya bahwa perwira muda itu adalah panglima tertinggi di kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.

 “Ah, kiranya Kam-ciangkun yang gagah perkasa. Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan berada di tempat asing dan sunyi ini?”

 Akan tetapi pada saat itu, kedua mata Kam Hong Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh perhatian kepada pedang Ang I Niocu hingga ia tidak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan membalas dengan sebuah pertanyaan pula,

 “Lihiap, bukankah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”

 “Ciangkun, di dunia kang-ouw terdapat peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang pedang lain orang.”

 Kam Hong Sin tersenyum, lalu berkata dengan suara tenang, “Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan tetapi harap diingat bahwa pada saat ini siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap sebagai seorang yang menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa keberatan untuk menjawab, siauwte masih akan mengulangi pertanyaan itu dengan mengingat kedudukan siauwte sebagai seorang perwira yang bertugas mencari pedang pusaka kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu. Benarkah pedang di tanganmu itu pedang Liong-cu-kiam?”

 Terpaksa Ang I Niocu yang tak mau membohong menganggukkan kepala.

 “Dari manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini, Lihiap?”

 “Hal ini tak perlu kuberitahukan kepada siapapun juga,” jawab Ang I Niocu setengah marah.

 Kam Hong Sin tertawa dan berkata, “Biarpun kau tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang ini tentu kaudapatkan di sebuah di antara gua-gua Tun-huang ini. Lihiap, pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan dan yang berhak mempunyai dan menyimpannya adalah kaisar sendiri. Maka, kuminta kau dengan hormat sukalah kau mengembalikan pedang itu kepadaku agar dapat kuserahkan kepada kaisar.”

 Ang I Niocu tersenyum sindir. “Enak saja kau bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang ini dan akulah yang berhak! Selain aku, orang-orang Turki dan Mongol juga mencarinya dan kalau pedang ini terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau mengembalikan kepadamu?”

 Kam Hong Sin memandang tajam, “Lihiap, sudah lama aku mengagumi namamu sebagai seorang pendekar besar, dan aku merasa segan sekali untuk melawanmu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku merasa takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang itu, sebagai seorang panglima yang setia terpaksa aku harus menggunakan kekerasan!”

 Sepasang mata Ang I Niocu yang indah itu bercahaya marah. “Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu menggunakan kekerasan!”

 “Sudah kukatakan bahwa aku mengagumi padamu, akan tetapi bukan berarti takut!” kata Kam Hong Sin dengan suara masih tenang akan tetapi tiba-tiba ia mencabut pedangnya yang pada gagangnya tergantung sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya dan berkata, “Lihiap, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang kerajaan itu dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan di mana pula tempat harta pusaka itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan pedang di tangan!”

 “Siapa takut padamu?” bentak Ang I Niocu dengan marah sambil menyerang dengan pedang Liong-cu-kiam. Kam Hong Sin lalu berseru keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar biasa sekali karena selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan ginkangnya yang luar biasa membuat tubuhnya berkelebat bagaikan halilintar menyambar.

 Akan tetapi Ang I Niocu telah memiliki ilmu pedang yang mencapai tingkat tinggi hingga ia melakukan desakan-desakan hebat dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-cu-kiam yang bercahaya berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu mendesak terus hingga Kam Hong Sin benar-benar merasa kagum dan terkejut. Sudah lama ia mendengar bahwa ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan dan sudah lama ia ingin bertemu dan kalau mungkin mencoba kepandaian pendekar wanita itu. Kini keinginannya terkabul karena bukan saja ia berkesempatan mencoba ilmu pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan mati-matian. Terpaksa ia mengandalkan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari rangsekan gadis itu.

 Ang I Niocu merasa penasaran karena belum juga ia dapat merobohkan lawan yang tangguh dan gesit ini, maka lalu maju menyerang dan merobah ilmu pedangnya, meniru gerakan Cin Hai dengan serangan Ilmu Pedang Daun Bambu yang lihai. Biarpun ia tidak mempelajari ilmu pedang ini, namun ketika menciptakan ilmu pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka sedikitnya ada beberapa jurus terlihai yang masih teringat olehnya dan kini ia mendesak sambil mengeluarkan ilmu silat itu.

 Melihat hebatnya Liong-cu-kiam yang digerakkan menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam Hong Sin merasa terkejut sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke atas sambil berputar. Ginkangnya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali. Dengan gerakan itu, ia melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari serangan maut yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian, dari atas Kam Hong Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan pedangnya ke arah kepala Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari tangannya dan melayang ke arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang diluncurkan! Ang I Niocu cepat mengelak dan ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat turun!

 Bukan main terkejutnya Ang I Niocu melihat ilmu pedang yang aneh dan lihai ini dan baru ia tahu bahwa tali hitam panjang yang mengikat gagang pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan perwira itu bukan tidak ada gunanya. Dengan tali panjang itu, maka pedang dapat disambitkan dan dapat menyerang lawan dari jarak jauh tanpa kuatir pedang itu akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat pedang itu tidak mengenai sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang mengagumkan adalah cara Kam Hong Sin menggerakkan pedangnya di waktu menyambit. Agaknya ia telah mempelajari ilmu pedang yang aneh ini sampai mendalam betul hingga pedang itu dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya.

 Menghadapi ilmu pedang yang aneh dan lihai ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling hebat. Mereka bertempur lagi dengan seru dan kali ini karena mengandalkan pedangnya yang seringkali diluncurkan untuk menyerang dari jauh, Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan pedang Ang I Niocu yang kini menjadi terdesak oleh serangan-serangan aneh dan berbahaya itu. Ia merasa seakan-akan Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut hui-kiam atau pedang terbang yang sering ia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah disaksikan. Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut hui-kiam atau pedang terbang itu tentulah ilmu pedang seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali panjang yang dapat mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya.

 Namun, biarpun Ang I Niocu terdesak oleh perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya benar-benar tinggi itu, ia sama sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I Niocu, tak pernah ada rasa takut menghadapi lawan di dalam hatinya. Ia melawan dengan gerakan-gerakan tenang dan cukup kuat hingga sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk merobohkan lawan luar biasa ini. Diam-diam perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa menarik gadis lihai ini menjadi kawan di pihaknya, maka ia tentu akan lebih yakin akan berhasilnya tugas yang dijalankannya.

 Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin memperlihatkan muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tak lama kemudian, muncullah Sie Ban Leng dan dua orang pertapa yang bukan lain ialah Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang! Melihat betapa Kam Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu, Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap Dara Baju Merah yang telah menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan berkata,

 “Ang I Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-ciangkun pula?”

 Melihat datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu dan Kam Hong Sin menunda senjata masing-masing dan melompat mundur.

 “Ang I Niocu!” seru pula Ceng To Tosu sambil mewek hampir menangis “Mengapa Lihiap bertempur melawan Kam-ciangkun?”

 Sementara itu, Ceng Tek Hosiang berpaling kepada Kam Hong Sin dan berkata, “Kam-ciangkun, Nona ini adalah Ang I Niocu seorang pendekar gagah, bukan musuh kita!”

 Kam Hong Sin tersenyum. “Aku pun segan melawan dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan tempat itu, dan tidak mau memberitahukan kepadaku.”

 “Apa...?” Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidakpercayaan.

 “Lihat saja, ia telah mendapatkan pedang Liong-cu-kiam, dan juga ia tidak mau mengembalikan pedang itu kepadaku.”

 Tiba-tiba Sie Ban Leng mendapat kesempatan baik untuk membalas dendam.

 “Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak tahunya kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini harta pusaka dan pedang itu! Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami, kalau kau membangkang berarti kau akan mendapat bencana.”

 “Aku tidak hendak menyerahkan pedang ini, habis kalian mau apa?” bentak Ang I Niocu dengan garang.

 “Memang kau tidak tahu budi! Kau pernah kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak maksud baikku, sekarang kau mencuri pedang kerajaan pula,” cela Sie Ban Leng dengan gemas.

 Tiba-tiba Ang I Niocu menudingkan pedangnya ke arah muka Sie Ban Leng dan memaki. “Sie Ban Leng, manusia tak berbudi! Kau pandai memutar lidah dan kau tidak mau melihat mukamu sendiri! Seorang yang telah mengkhianati kakaknya, yang telah membuat kakaknya sekeluarga habis binasa, masih mau bicara tentang budi? Tak tahu malu!!”

 Ang I Niocu teringat akan cerita Cin Hai tentang kejahatan Sie Ban Leng yang telah menjadi biang keladi kebinasaan seluruh keluarga pemuda itu, maka hatinya menjadi panas dan kalau mungkin pada saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng.

 Sie Ban Leng merasa terkejut sekali hingga wajahnya menjadi pucat.

 “Bangsat wanita, jangan kau bicara yang bukan-bukan!” katanya sambil mengayunkan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan menyambar kepala Ang I Niocu.

 “Akan kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat Leng, kakakmu itu!” teriak Ang I Niocu sambil mengelak dan menyerang dengan hebat. Pedang Liong-cu-kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu dengan rebab di tangan Sie Ban Leng. Terdengar suara keras dan ternyata beberapa helai tali senar rebab yang terbuat daripada kawat baja itu putus.

 Sie Ban Leng merasa terkejut dan marah sekali, maka ia lalu menyerang kalang-kabut. Sementara itu, Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang hanya berdiri memandang dengan bengong, akan tetapi ketika Kam Hong Sin memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.

 “Ang I Niocu, lepaskan pedang Liong-cu-kiam itu!”

 Akan tetapi, jangankan baru dikeroyok empat, biarpun ia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan merasa gentar sungguhpun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main hebatnya hingga sebentar saja ia telah terkurung dan terdesak hebat! Ia mainkan ilmu pedangnya Ngo-lian-hoan kiam-hwat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang bagaikan air hujan itu! Ia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja, tanpa dapat membalas sedikitpun juga.

 Sementara itu, Cin Hai yang ditinggal seorang diri di lubang kecil pada langit-langit gua, setelah membiasakan matanya di tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api unggun yang dibuat oleh Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang ternyata merupakan jalan terowongan kecil itu. Jalan itu besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya, maka ia merangkak maju lagi sambil meraba-raba. Tiba-tiba ia melihat dua benda yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata harimau atau binatang buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan pedangnya di tangan, karena jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang merupakan lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh dan jalan keluar baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar itu ternyata mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka terpaksa harus menghadapinya dalam keadaan merangkak!

 Berbahaya sekali keadaan demikian melawan seekor binatang buas, apalagi kalau binatang itu berbisa! Akan tetapi, yang aneh sekali, dua benda seperti mata yang mencorong itu, tidak bergerak-gerak dari tempatnya sungguhpun sinarnya yang mencorong itu tertimpa cahaya api unggun nampak berkeredepan bagaikan mata binatang hidup. Apakah gerangan benda itu? Cin Hai untuk beberapa lama mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau binatang itu terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa boleh jadi binatang itu telah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang itu masih hidup, mengapa sama sekali tak pernah bergerak? Namun ia masih ragu-ragu karena memang ada binatang yang sanggup berdiam lama sekali tanpa bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular. Setelah lama menanti, timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali ia bergerak maju lagi dengan pedang siap disodorkan ke depan!

 Setelah maju kurang lebih lima kaki jauhnya, ia telah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang mencorong itu, lalu benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya. “Ting!” Ujung pedangnya berbunyi dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda-benda itu adalah dua potong batu yang ketika dipegangnya hanya sebesar telur burung! Akan tetapi batu itu bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa batu-batu itu bercahaya indah sekali. Hatinya berdebar keras. Inilah sebagian daripada harta pusaka itu. Ia maju terus, dan makin banyak batu-batu bercahaya seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak potongan emas dan perak. Yang hebat adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk amat banyaknya di suatu tempat, membuat terowongan kecil itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu.

 Cin Hai merasa girang sekali. Tak salah lagi, inilah harta pusaka yang dicari-cari. Ia membawa dua buah batu permata yang terbesar, tak kurang dari sebutir telur ayam besarnya, lalu ia merayap keluar lagi. Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu melompat turun. Ia mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja ia berseru keras saking kagumnya. Dua buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang besar dan cahayanya amat indah. Dua butir mutiara besar ini saja sudah tak ternilai harganya, apalagi yang bertumpuk di terowongan itu! Cin Hai cepat memutar patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asal hingga lubang di langit-langit itu tertutup kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir mutiara itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu.

 Di luar sunyi saja, maka ia lalu melompat ke atas gua dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah olehnya betapa di tempat yang agak jauh dari situ, Ang I Niocu sedang dikeroyok oleh empat orang dan berada dalam keadaan terdesak sekali. Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu melompat turun dan berlari cepat ke tempat itu. Kalau saja ia tidak merasa kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian tergesa-gesa, tentu ia akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol berkelebat dan mengintai ketika ia keluar dari gua itu!

 Ketika tiba di tempat pertempuran, Cin Hai berseru, “Niocu, jangan kuatir, aku membantumu!” Dan pedang Liong-cu-kiam di tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa bukan main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu pedang sehebat itu.

 “Hai-ji, mereka hendak merampas pedang kita!” teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya pemuda itu.

 Ketika Cin Hai melihat Sie Ban Leng, ia merasa gemas sekali lalu membentak, “Ah, inikah macamnya orang yang telah mengkhianati Ayahku?” Pedangnya menyerang hebat dan dengan suara keras, rebab itu terbelah dua! Sie Ban Leng terkejut sekali, bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan tetapi juga karena kata-kata Cin Hai.

 “Siapakah kau?” bentaknya.

 “Kau masih ingat kepada Sie Gwat Leng? Nah, dialah Ayahku!”

 Pucatlah wajah Sie Ban Leng mendengar ucapan ini hingga tubuhnya menggigil. Pada pandangan matanya, wajah Cin Hai tiba-tiba berubah menjadi wajah kakaknya yang dulu telah dikhianatinya itu! Dan sebelum ia sempat mengeluarkan kata-kata, pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai telah menyambar cepat dan robohlah Sie Ban Leng dengan dada kiri tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga!

 Melihat betapa dengan beberapa gebrakan saja pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie Ban Leng, bukan main kagetnya hati Kam Hong Sin. Ia bersuit keras sekali dan memutar pedangnya dengan hebat untuk menahan serbuan Ang I Niocu dan Cin Hai. Maka datanglah berturut-turut beberapa orang perwira kerajaan yang berkepandaian tinggi sehingga kini yang mengeroyok kedua orang muda itu tak kurang dari sepuluh orang! Akan tetapi, Ang I Niocu dan Cin Hai mainkan pedang dengan seenaknya saja, karena mereka ini hanya membela diri saja dan tidak berniat menjatuhkan para perwira itu. Terutama sekali mereka tidak tega melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur sambil tersenyum dan Ceng To Tosu yang mewek dengan sedihnya itu.

 Pada saat pertempuran masih berjalan seru, tiba-tiba terdengar teriakan riuh dan muncullah serombongan orang Mongol yang dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!

 “Pendekar Bodoh, hayo kauserahkan tutup cawan itu kepada kami!” teriak Thai Kek Losu sambil menerjang dan menyerang Cin Hai.

 Melihat datangnya rombongan yang terdiri dari belasan orang pendeta Mongol jubah merah itu, Cin Hai lalu memberi tanda kepada Ang I Niocu untuk melarikan diri. Sedangkan para perwira kerajaan ketika melihat pendeta-pendeta Mongol ini pun segera menyerangnya, sehingga terjadilah pertempuran antara perwira-perwira kerajaan dengan pendeta-pendeta Mongol. Sebenarnya hal ini tidak dikehendaki oleh Kam Hong Sin maupun oleh Thai Kek Losu, akan tetapi Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu yang mendahului menyerang para pendeta Mongol itu, karena diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai dan Ang I Niocu hingga ketika para orang Mongol datang menyerang, mereka berdua lalu membantu Cin Hai dan menyerang para pendeta Mongol itu! Memang diantara kedua golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja membakar api diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup membuat yang lain lain lalu menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya!

 Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai telah melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat pertempuran itu.

 “Niocu, harta pusaka itu benar-benar berada di terowongan kecil itu!” kata Cin Hai kepada Ang I Niocu dan secara singkat ia menuturkan betapa banyaknya harta itu bertumpuk di dalam terowongan kecil. Ia memperlihatkan bukti dua butir mutiara itu kepada Ang I Niocu yang memandangnya dengan kagum.

 “Kalau kau suka, ambillah, Niocu,” kata Cin Hai sambil memberikan dua butir mutiara besar itu. Ang I Niocu menerimanya, akan tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata,

 “Simpanlah yang sebutir ini untuk diberikan kepada Lin Lin kelak.”

 “Sekarang bagaimana baiknya, Niocu? Fihak Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda itu, bahkan fihak Turki juga tidak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil harta itu tanpa mereka ketahui dan kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?”

 Setelah mendengar banyaknya harta yang terdapat di situ, Ang I Niocu sendiri pun menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana.

 “Lebih baik kita membuat laporan kepada Susiok-couw saja, Hai-ji. Kaubawalah sepasang pedang Liong-cu-kiam ini dan berikan kepada Susiok-couw, sekalian kauceritakan tentang harta pusaka itu dan tentang keadaan di sini.”

 “Kenapa hanya aku yang harus menceritakan? Bukankah kita pergi ke sana berdua?” tanya Cin Hai.

 “Tidak, kau pergilah sendiri. Aku harus tinggal di sini mengamat-amati gua itu, jangan sampai didapatkan oleh lain orang. Kalau kita berdua pergi dan harta itu diambil orang lain, kita takkan dapat berbuat sesuatu.”

 Cin Hai mengangguk-angguk, dan bertanya lagi, “Kalau kedua pedang kubawa, habis kau bagaimana, Niocu? Kau perlu memiliki pedang yang cukup baik untuk menghadapi bahaya. Tempat ini penuh dengan orang-orang pandai dan jahat.”

 Ang I Niocu tersenyum, lalu menyerahkan pedang Liong-cu-kiam kepada Cin Hai, kemudian mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian Lie Kong

 “Pedang ini cukup baik dan kuat. Kaulihatlah!” Ang I Niocu mengayun pedangnya membacok sebuah batu karang hitam di pinggir jalan dan batu terbelah dengan mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.

 “Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus!”

 Kemudian ia lalu berangkat menuju ke tempat pertapaan suhunya, yaitu di Gua Tengkorak di mana dulu ia mempelajari ilmu silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggat di Lan-couw untuk menjaga dan mengamat-amati gua rahasia di mana tersimpan harta pusaka yang besar itu.

 Cin Hai melakukan perjalanan dengan cepat menuju ke timur. Jarang ia berhenti kalau tidak hendak makan dan beristirahat, karena ia hendak cepat-cepat tiba di tempat itu, seakan-akan ada besi sembrani yang menariknya, yaitu Lin Lin. Pemuda itu baru saja berpisah beberapa lama, sudah merasa rindu sekali dan kini ia tergesa-gesa bukan lain ialah karena ingin bertemu dengan kekasihnya itu.

 Pada suatu hari ia tiba di sebuah dusun dan tertariklah hatinya melihat betapa penduduk dusun itu seakan-akan sedang mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia hendak lewat terus saja, akan tetapi ketika melihat beberapa orang dusun memikul sebuah orang-orangan dari kertas yang besar dan rupanya seperti Hai Kong Hosiang, ia menjadi terheran sekali dan menunda perjalanannya. Ia menduga bahwa persamaan wajah orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentulah merupakan hal yang kebetulan saja, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia bertanya gambar siapakah yang mereka gotong itu, ia mendapat jawaban,

 “Gambar si keparat Hai Kong.”

 Cin Hai tertarik sekali dan ingin melihat apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang kampung itu dan mengapa mereka menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka maki-maki keparat. Rombongan itu menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah penuh orang dan di depan pintu rumah itu terdapat sebuah meja sembahyang.

 Setelah orang-orangan itu digotong ke situ, semua orang berdiri dan memaki-maki, “Hai Kong keparat! Hai Kong Hwesio bangsat!” dan lain-lain makian lagi menyatakan kemarahan mereka. Kemudian beramai-ramai semua orang mengeroyok orang-orangan itu dan menghujani pukulan dengan senjata tajam sehingga orang-orangan dari kertas itu robek-robek dan hancur, kemudian sisa-sisanya dibakar dibawah sorak-sorai yang riuh!

 Cin Hai makin terheran-heran dan menonton saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu bersembahyang dan semuanya berlutut di depan meja sembahyang itu dengan muka berduka, bahkan ada pula beberapa orang wanita yang menangis! Cin Hai tak dapat menahan keheranannya lagi, maka ia lalu bertanya kepada seorang laki-laki tua yang berada di belakang dan juga ikut bertutut,

 “Lopek, mengapa kalian demikian membenci Hai Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa ini?”

 Kakek itu memandang kepada Cin Hai dengan tajam dan setelah mengetahui bahwe pemuda itu adalah orang dari luar dusun, ia lalu menjawab,

 “Siangkong, ketahuilah. Dulu di dusun kami ini datang seorang hwesio jahat bernama Hai Kong Hosiang yang mengganggu kami, bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di dusun ini. Kemudian datanglah dua orang pendekar wanita yang membela kami dan bertempur melawan Hai Kong Hosiang si keparat itu, akan tetapi dua orang pendekar wanita itu tewas dalam tangan Si Bangsat Gundul. Oleh karena kami berterima kasih sekali kepada kedua orang pendekar wanita yang telah mengorbankan nyawa demi pertolongannya kepada kami maka sekarang kami mengadakan peringatan untuk menghormati jasanya itu.”

 Cin Hai merasa tertarik sekali mendengar ini. “Lopek, siapakah namanya dua orang pendekar wanita yang gagah dan mulia itu?”

 “Entahlah, kami juga tidak tahu dan tidak mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu. Akan tetapi senjata kedua pendekar itu masih kami simpan dan sekarang pun kami memuja senjata-senjata mereka itu yang ditaruh di atas meja sembahyang.”

 Karena tertarik, Cin Hai lalu menghampiri meja itu, diikuti oleh pandang mata semua orang kampung yang merasa heran dan curiga. Cin Hai mendekati meja dan memandang. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat sebuah hud-tim (kebutan pertapa) warna merah dan sebatang pedang. Ia melangkah maju untuk memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat ketika ia mengenal senjata-senjata itu. Kebutan meitu adalah senjata Biauw Suthai dan pedang itu adalah pedang Pek I Toanio, guru dan suci dari Lin Lin!

 Lemaslah tubuh Cin Hai dan kedua kakinya gemetar. Ia segera berlutut dan ikut bersembahyang bersama semua orang kampung yang kini lenyap kecurigaan mereka melihat pemuda itupun memberi hormat! Selesai bersembahyang, Cin Hai lalu minta keterangan penjelasan dari kakek tadi dan setelah ia mendengar cerita tentang dua orang pendekar wanita itu, bahwa yang seorang adalah seorang pendeta wanita tua dan yang kedua adalah seorang wanita berpakaian putih yang cantik, ia tidak ragu-ragu lagi. Biauw Suthai dan Pek I Toanio telah tewas dalam tangan Si jahat Hai Kong! Kalau saja ia tidak melihat bahwa Hai Kong Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu ia makin merasa dendam dan sakit hati kepada hwesio jahat itu!

 Cin Hai tak pernah bermimpi bahwa Hai Kong Hosiang yang disangkanya telah mati itu sebetulnya masih hidup dan sebentar lagi akan bertemu dengannya!

 Ia lalu melanjutkan perjalanannya dan berpikir-pikir bagaimana ia harus menyampaikan berita sedih ini kepada Lin Lin. Ia maklum bahwa Lin Lin pasti akan berduka sekali mendengar tentang matinya gurunya dan sucinya yang amat dikasihinya itu.

 Pada keesokan harinya, ia telah tiba dekat Gua Tengkorak, hanya tinggal perjalanan beberapa belas li saja. Ketika ia masuk ke dalam sebuah hutan, tiba-tiba ia melihat serombongan orang berjalan cepat dari depan. Melihat gerakan mereka yang cepat, Cin Hai menjadi heran dan segera ia bersembunyi di balik sebatang pohon besar dan mengintai.

 Ketika rombongan itu telah datang dekat, tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan menggosok-gosok mata itu seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Tak salah lagi, yang berjalan di depan adalah Hai Kong Hosiang! Bentuk badan dan pakaian hwesio itu masih sama dengan dulu, hanya bedanya sekarang matanya tinggal sebelah, yang kanan tertutup dan buta, sedangkan yang kiri terdapat cacat bekas terobek dan menjadi lebih lebar dari biasa! Muka hwesio itu kelihatan buruk dan menyeramkan sekali.

 Dan yang lebih mengherankan hati Cin Hai adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di tengah-tengah rombongan itu. Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa, berjalan sambil menundukkan kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali! Siapakah orangnya yang dapat menawan dan menundukkan suhunya? Tak mungkin Hai Kong Hosiang! Cin Hai memandang rombongan itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki, perwira Mongol yang dulu pernah dikalahkannya itu, seorang perwira Mongol lain, seorang pendeta Mongol jubah merah, dan seorang wanita tua berbaju putih bercelana hitam dan tak bersepatu! Wanita ini nampak aneh karena walaupun nampak tua, akan tetapi rambutnya masih hitam dan biarpun pakaiannya amat sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi sabuk yang mengikat pinggangnya terbuat dari pada sutera merah yang panjang dan indah, sabuk yang biasa dipakai oleh nona-nona muda!

 Pada jidat wanita tua itu nampak garis palang hitam, tepat di tengah-tengah alis agak di atas. Nenek aneh ini berjalan di sebelah kiri Bu Pun Su. Cin Hai menjadi bengong dan terheran-heran. Mungkinkah orang-orang ini dapat mengalahkan dan menawan suhunya yang demikian sakti? Hampir ia tidak percaya, akan tetapi pemandangan yang oleh kedua matanya bukanlah terlihat di alam mimpi! Dari perasaan heran Cin Hai menjadi marah sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut sepasang pedang Liong-cu-kiam, memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri, lalu melompat keluar sambil berseru, “Hai Kong keparat! Kau berani menghina Suhuku?” bentaknya dan kemudian ia menerjang mereka. Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan Cin Hai yang memegang sepasang pedang yang bercahaya dan menggerakkannya secara hebat sekali! Balaki dan pendeta Mongol berjubah merah menyambut serangannya dengan senjata mereka, akan tetapi sekali bentrokan saja senjata kedua orang itu terpental jauh, terlepas dari pegangan! Cin Hai hendak menyerang Hai Kong dan nenek tua itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suhunya berseru keras, “Cin Hai, tahan pedangmu!!” Suara ini menyiram api yang membakar di dada Cin Hai dan ia berdiri memandang kepada suhunya dengan heran dan cemas. “Suhu...” katanya menahan napas, “mereka ini... mau apakah?” “Jangan sembarangan turun tangan!” kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat berpengaruh. “Kau pergilah saja ke Gua Tengkorak dan kautolong Lin Lin.” “Lin Lin... kenapa dia, Suhu...?” tanya Cin Hai dengan wajah pucat. Dan aneh sekali, Bu Pun Su menarik napas panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin Hai melihat suhunya berduka! “Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari Lin Lin.” Cin Hai mendengar suara ketawa bergelak dan ia cepat berpaling memandang kepada Hai Kong Hosiang yang masih tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin ia menggerakkan pedangnya menusuk dada hwesio yang jahat itu. “Akan tetapi, Suhu...” ia mencoba membantah. “Diam! Dan jangan banyak cakap lagi. Pergilah!” seru Bu Pun Su marah. Dengan kepala tunduk dan beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak pergi. “Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su lebih pintar dari padamu! Nyawa Lin Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku dan tergantung kepada Suhumu apakah ia menghendaki kekasihmu itu hidup atau mati. Awas, jungan kau berani main-main dengan kami kalau menghendaki Suhumu dan kekasihmu itu dapat hidup! Ha-ha-ha!” Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak sehingga menggema di dalam hutan itu. Suara tertawanya saja membuktikan bahwa kini ilmu lweekang hwesio itu telah naik berlipat ganda hingga diam-diam Cin Hai merasa tertegun. Akan tetapi, kepandaian itu masih jauh daripada cukup mengalahkan suhunya! Ia tidak berani membantah perintah suhunya. Apalagi mendengar ancaman Hai Kong Hosiang tadi, membuat ia merasa gelisah dan cemas memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia segera berlari cepat menuju ke Gua Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa Hai Kong Hosiang. Cin Hai berlari cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah sekali. Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah kalian! Ketika tiba di depan Gua Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas dan hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan yang terjadi pada diri kekasihnya. Setelah menetapkan hatinya, ia lalu melompat masuk ke dalam ruang besar di mana tengkorak-tengkorak raksasa masih berdiri dengan megahnya. Bertahun-tahun ia tinggal di tempat ini mempelajari ilmu silat, maka pemandangan ini tidak menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia segera memandang dengan kedua matanya mencari-cari, dan karena tidak melihat Lin Lin di ruang itu, ia lalu berlari masuk ke dalam kamar tempat menaruh hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah telentang, pucat tak bergerak bagaikan mayat.

 Cin Hai berdiri terpaku di atas lantai, tak kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening. Hampir saja ia jatuh pingsan kalau ia tidak menekan perasaannya dan menguatkan hatinya.

 “Lin Lin...” akhirnya ia dapat berseru dan menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa keadaan kekasihnya. Ternyata bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguhpun amat lemah. Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik hijau yang terdapat pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, terasa panas menyerang jari tangannya. Ia merasa terkejut sekali dan dapat menduga bahwa kekasihnya tentu terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat. Bukan main marahnya. Mengapa suhunya mendiamkannya saja, bahkan menyerah menjadi tawanan musuh? Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia tidak mau menerimanya begitu saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa mereka memberi obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup menyembuhkan Lin Lin, ia hendak mengamuk dan membunuh mereka semua dengan taruhan jiwa. Biarpun andaikata suhunya akan melawan, ia akan nekat dan tidak menurut perintah suhunya. Cintanya kepada Lin Lin jauh lebih besar daripada ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah menggelapkan jalan pikiran Cin Hai dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan yang meramkan kedua matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang dan mengejar secepatnya. Akan tetapi, ketika ia tiba di sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Ketika ia memandang, ternyata kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap kepala Lin Lin sambil berbisik, “Lin-moi... Lin-moi... kau kenapakah...?” Untuk sejenak Lin Lin tidak menjawab, hanya memandang kepada wajah Cin Hai seakan-akan baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan ia menangis terisak-isak di dada pemuda itu. Cin Hai mendiamkannya saja dan setelah tangis Lin Lin mereda, ia lalu menurunkan tubuh kekasihnya itu, didudukkan di atas rumput dan ia sendiri duduk di sebelahnya. Ia merasa heran melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih seperti bisia kembali, hanya wajahnya masih nampak pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan wajah kuatir,

 “Lin-moi, kau kenapakah?” “Hai-ko, sukur sekali kau keburu datang. Telah terjadi malapetaka hebat menimpa Suhu dan diriku.” Cin Hai mengangguk. “Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat itu. Anehnya, ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi dengan suka rela menjadi tawanan mereka!” “Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu sengaja mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong jiwaku.” Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah ia akan kata-kata Hai Kong Hosiang yang mengejek ketika ia hendak pergi meninggalkan mereka. “Apa... apa maksudmu, Moi-moi...?” Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti berikut. Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu pedangnya di bawah pimpinan kakek jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta burung Merak Sakti dan Bangau Sakti, hingga kini di Gua Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu Sin-kong-ciak si Merak Sakti, Sin-kim-tiauw si Rajawali Emas dan Ang-siang-kiam si Bangau Sakti. Gadis ini melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja ia telah mencapai kemajuan yang luar biasa sehingga kalau ia mainkan pedang Han-le-kiam dengan ilmu pedang yang diciptakan oleh Cin Hai untuknya maka gerakannya menjadi luar biasa hebatnya! Bu Pun Su telah memperbaiki gerakan-gerakannya itu dengan gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan pedang yang pendek itu. Pada suatu pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri di luar gua karena gadis yang rajin ini setiap hari bangun pagi-pagi sekali dan berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai Kong Hosiang itu. Seperti juga Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa pendeta jahat itu masih hidup. Ia melihat empat orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang, yaitu dua orang perwira Mongol, seorang pendeta Sakya Buddha dan seorang nenek tua yang aneh. “Hai Kong si Jahat! Kau belum mampus?” teriak Lin Lin dengan terheran-heran. Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini hingga sebelah matanya yang kiri itu melotot dan mengeluarkan air mata! “Kwee Lin, anak jahat! Kau dan Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan tetapi, Sang Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan tetapi sebetulnya kaulah yang jahat. Buktinya, biarpun aku telah menggelundung ke dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh ke dalam jurang! Sekarang aku telah datang kembali dan aku harus mencokel sebelah matamu sebelum kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku. Ha-ha-ha!” “Gundul keparat, jangan sombong!” Lin Lin dengan garang memaki. Lin Lin sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan dulu. Setelah membentak, ia segera menyerang dengan pedang Han-le-kiam di tangannya. Hai Kong memandang rendah dan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, maksudnya hendak dengan satu dua jurus saja menggulingkan gadis itu, akan tetapi kesombongannya ini hampir saja membuat nyawanya melayang! Ketika Lin Lin menyerang dengan gerakan limu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-i-to-hwa atau Ang I Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang licin dari hwesio itu dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang tersenyum sindir dan membentak keras lalu mempergunakan tangan kiri menyambar dari samping ke arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang dan tangan kanan mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk mencokel keluar mata itu. Tidak tahunya, Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan secepat kilat ujung Han-le-kiam telah dibalikkan dan dari gerakan membacok jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam tenggorokan hwesio itu dengan gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Sedangkan menghadapi tusukan jari tangan Hai Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya tidak mau tinggal diam akan tetapi membarengi gerakan pedangnya mengirim pukulan ke arah dada kiri Hai Kong Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut yang dilakukan dengan sepenuh tenaga! Bukan main terkejutnya hati Hai Kong Hosiang melihat perubahan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kalau saja ia tidak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah dibikin terkejut oleh serangan ini, sungguhpun serangan Lin Lin ini benar-benar merupakan gerakan silat yang tinggi tingkatnya. Akan tetapi karena tadinya memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat mengelak dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan tubuh ke kiri. Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-in-hoatsut itu, ia tidak keburu berkelit lagi hanya dapat memutar dada dan menerima pukulan itu yang kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada kanannya! Hai Kong Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan yang panas sehingga telah mengerahkan lweekangnya ke arah dada kanan, kalau tidak pasti akan pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan biarpun ia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, namun dada kanannya masih terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi biru! Ia mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada kiri, pasti jantungnya akan terluka! Ia merasa bergidik memikirkan bagaimana gadis ini sekarang telah memiliki ilmu kepandaian sehebat itu, sedangkan Lin Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-in-hoatsut yang ampuh itu tidak merobohkan Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu kepandaian hwesio ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi! Ia menjadi nekat dan maju lagi menyerang dengan keras, sedangkan Hai Kong Hosiang yang merasa marah lalu mencabut senjatanya yang masih seperti dulu, yaitu tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau dan mengerikan sekali. Sambil membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut terjangan Lin Lin dan bertempurlah mereka dengan seru. Pendeta Sakya Buddha kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah gadis itu sehingga dapat mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi habis sabar dan maju mengeroyok sambil mainkan pedangnya yang juga lihai. Pada saat Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam gua, “Siancai... siancai…” dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang dan perlahan. “Aha, Hai Kong... kaukah yang kembali datang mengacau? Mundurlah dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang gadis muda!” Sambil berkata, Bu Pun Su membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong Hosiang dan pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang dan kawannya karena dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka terhuyung mundur. Lin Lin juga menahan pedangnya dan berdiri sambil memandang suhunya, karena pada saat itu terjadi hal yang aneh. Bu Pun Su setelah mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha tadi kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu, dan berseru perlahan, “Wi Wi... kau datang juga...?” Nenek itu tersenyum menyindir, lalu berkata dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan suara seorang nyonya bangsawan terpelajar, “Lu Kwan Cu, dimanakah ada perceraian yang kekal?” “Wi Wi, tak kusangka bahwa kau masih hidup...” “Kau sendiri masih betah tinggal di dunia, mengapa aku tidak?” Melihat sikap Bu Pun Su yang agaknya takut-takut terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka yang aneh ini, Lin Lin berdiri bengong dan seluruh perhatiannya tertuju kepada suhunya dan nenek itu, hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari fihak Hai Kong Hosiang. Ketika melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu mengayun tangannya dan belasan batang jarum hitam menyambar ke arah dada dan leher gadis itu. Lin Lin telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat halus dan tajam, maka kedatangan belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya itu biarpun tidak dilihatnya, dapat ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi terkejut sekali. Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh ke atas tanah dan dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan ia dapat menghindarkan diri. Akan tetapi ia tidak menduga bahwa ketika itu, Hai Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya yang ketika ditekannya lalu memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin Lin yang masih bergulingan! Lin Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat itu sukar sekali dikelit atau ditangkis, maka biarpun gerakan Lin Lin cukup cepat, sebatang jarum hijau masih berhasil mengenai leher! Lin Lin sudah mengerahkan lweekangnya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut jarum itu, lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang, akah tetapi, tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak berdaya. Tubuhnya terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali. Ia masih melihat betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak sedang terheran-heran dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena perjumpaannya dengan nenek itu, pasti ia dapat menggunakan kepandaiannya untuk menolong Lin Lin. Akan tetapi, keadaan kakek jembel itu tadi seperti seorang yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa bahkan ketika Lin Lin diserang oleh Hai Kong dan pendeta baju merah, ia tidak tahu atau mendengar sama sekali. Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia sadar dan cepat memandang. “Hai Kong, pengecut berbatin rendah!” ia berteriak marah dan menggerakkan kedua tangannya. Kalau dua tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah Hai Kong Hosiang, entah nasib apakah yang akan dialami pendeta gundul itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek itu dengan halus akan tetapi nyaring. “Lu Kwan Cu, jangan bergerak!” Bu Pun Su memandang dan melangkah mundur dengan muka pucat. Nenek itu memegang sebatang tusuk konde terbuat daripada perak yang berbentuk naga indah sekali dan bermata intan, diangkatnya tusuk konde itu tinggi-tinggi sambil matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah tubuh kakek itu dan ia menurunkan kembali kedua tangannya. “Wi Wi, kau hendak mempergunakan itu untuk membela kejahatan?” bisiknya. “Kwan Cu, apakah kau yang sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?” Bu Pun Su menggelengkan kepala. “Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biarpun tubuhku akan hancur lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?” “Kehendakku yang harus kauturut ialah, kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka berada di sampingku!” Bu Pun Su menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baik, baik, aku takkan mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!” ia berjanji. Nenek itu tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang demikian berpengaruh terhadap Bu Pun Su itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan muka penuh kecemasan lalu menghampiri Lin Lin yang masih rebah miring dan memandang semua peristiwa itu dengan mata terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa luka di leher Lin Lin dan ketika ia meraba luka bintik warna hijau itu, ia menjadi terkejut sekali. “Hai Kong, kau kejam sekali!” katanya sambil memandang kepada hwesio gundul yang berdiri sambil tersenyum penuh kepuasan. “Bu Pun Su, jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?” tanya Hai Kong Hosiang dengan senyum sindir. “Kau telah menggunakan racun Ular Hijau yang hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!” kata Bu Pun Su. “Ha-ha-ha. Matamu masih cukup awas!” Hai Kong Hosiang menyindir. “Tahukah kau cara bekerjanya racun itu? Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan tidak ada obat di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena racun itu. Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan biasa saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan ia jangan merasa kuatir. Kalau ia merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang jantungnya hingga ia akan jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi. Ha, ha, ha!” “Hai Kong, demi Ketuhanan dan Perikemanusiaan, jangan kau sekejam itu. Aku tahu bahwa untuk racun ini ada semacam obat di Mongolia dan kau yang bermain-main dengan racun ini tentu mempunyai pula obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu untuk menolong nyawa muridku ini!” “Ha, ha, ha! Enak saja kau bicara, pengemis tua!” Hai Kong menjadi berani karena ia maklum bahwa kakek jembel itu berada di dalam kekuasaannya. “Aku tidak begitu bodoh untuk membawa-bawa obat itu bersamaku. Obat itu berada di suatu empat yang aman!” “Hai Kong, aku minta kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan takkan lama lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih muda, dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Berikan obat itu dan aku berjanji hendak melakukan apa saja yang kaupinta, asal bukan kejahatan yang harus kulakukan!” kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan.

 Melihat dan mendengar semua ini, Lin Lin segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan racun di tubuhnya sudah banyak mengurang.

 “Suhu, teecu tidak takut mati. Biarlah teecu diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan teecu mengadu jiwa dengan pendeta rendah budi itu!”

 Bu Pun Su menggelengkan kepalanya. “Jangan, muridku. Bukan saatnya, jangan menggunakan kekerasan...” kemudian ia memandang kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu. “Wi Wi, sekarang apakah kehendakmu lagi?”

 “Kau harus ikut dengan kami dan membantu kami mendapatkan harta pusaka terpendam di gua Tun-huang.”

 “Hanya itukah?”

 “Ya, hanya itu dan setelah berhasil mendapatkan harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa pihak Turki dan juga Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus melindungi kami melawan dan mengundurkan mereka!”

 “Aku menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku takkan menurut, biarpun dengan berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah! Marilah kita masuk ke dalam guaku dan di sana kita bicarakan hal ini lebih mendalam pula.”

 Sambil menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su mendahului rombongan itu memasuki Gua Tengkorak.

 “Lin Lin kau beristirahatiah di dalam kamar hio-louw itu dan bersamadhilah dengan tenang, membersihkan pernapasanmu agar racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya,” katanya kepada Lin Lin dan tidak mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang mengejeknya. Lin Lin melontarkan pandang mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati perintah suhunya dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur napas. Akan tetapi, ia memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan mereka.

 Akhirnya diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus membantu mereka mendapatkan harta pusaka itu, kemudian kalau harta pusaka itu telah terjatuh ke dalam tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat penyembuh racun yang menguasai Lin Lin.

 Mendengar percakapan itu, Lin Lin merasa terhina sekali dan ia merasa penasaran mengapa Bu Pun Su menjadi demikian lemah dan tidak berdaya terhadap nenek itu? Apakah nenek itu lebih lihai daripada Bu Pun Su? Andaikata lebih juga, mungkinkah suhunya bersikap demikian pengecut dan takluk tanpa mengadakan perlawanan terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan duduknya tidak bisa diam.

 Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su berkata, “Lin Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran.” Kemudian, kakek yang lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, jangan kau membuat aku dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tidak mau menceritakan riwayat kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas, jangan harap kau akan dapat membawaku ke barat untuk mencari harta pusaka itu.”

 “Apa?” nenek itu berseru heran. “Kau tidak takut rahasia kita itu kubongkar?”

 “Apakah yang kutakuti lagi? Nama buruk? Biarlah, aku sudah tak bernama lagi,” jawab Bu Pun Su.

 “Tidak akan merasa malukah kau?”

 “Di mana letaknya malu? Perbuatan yang telah dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan tahu kita menyimpan rahasia itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati.”

 “Tapi... tapi mengapa kaumasih tunduk kepadaku kalau kau tidak takut rahasia itu terbongkar?” nenek itu suaranya mengandung gelora penuh keheranan dan kejutan.

 Bu Pun Su tersenyum. “Itulah rahasiaku sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas sebelum kita berangkat.”

 Dengan suara gemetar, berceritalah nenek yang aneh itu.

 Dulu ketika muda dan masih berusia dua puluh lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda, tampan, dan gagah. Ilmu kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di seluruh daerah dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat. Karena kakeknya, Perdana Menteri Lu Pin, menderita karena pemberontakan An Lu San, maka Lu Kwan Cu membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu San yang bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan seorang gadis Han yang cantik. An Kai Seng sendiri biarpun berkepandaian tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang mencari-carinya, hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu yang bernama Wi Wi, seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.

 Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil menjumpai mereka dan biarpun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan An Kai Seng namun tak seorang pun dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi gelisah dan takut sekali dan tiba-tiba muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik. Melihat suaminya berada dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu mempergunakan kecantikannya untuk menggoda hati Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk mengadu jiwa di dalam sebuah hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri. Tantangan ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan ketika pendekar muda ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, ia hanya menjumpai Wi Wi seorang diri.

 Wi Wi mempergunakan segala kecantikannya untuk memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan cara yang tak patut dituturkan di sini. Lu Kwan Cu adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan dengan wanita dan darah mudanya menggelora ketika ia menghadapi Wi Wi yang cantik dan pandai menggairahkan hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan bagaikan tak sadar ia menuruti kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh yang tidak tahu akan bahaya umpan pancing!

 Semenjak saat itu, ia jatuh bertekuk lutut di depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Seringkali mereka mengadakan pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tak sadar bahwa ia telah melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan isteri orang lain, bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya akan dibunuhnya! Semenjak saat itu, jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya belaka. Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika ia memberi sebatang tusuk konde kepada wanita itu pada saat ia mengucapkan sumpahnya bahwa selama hidupnya, ia akan menurut segala perkataan wanita yang juga bersumpah “mencintanya” itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi. Lu Kwan Cu benar-benar mabok asmara dan tergila-gila. Ia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi benar-benar mencintainya dengan setulus hati.

 Akhirnya, ketika pada suatu hari ia mengadakan pertemuan dengan Wi Wi di hutan, ia mendengar gerakan orang. Cepat ia melompat dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain ialah Ang Kai Seng sendiri yang mengintai. Ia hendak memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan tusuk konde itu dan minta ia melepaskan suaminya! Bukan main terkejut dan herannya hati Lu Kwan Cu melihat hal ini. Ternyatalah kini bahwa tak terduga-duga sekali, An Kai Seng telah mengetahui akan perhubungan itu, dan bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya di depan suaminya untuk menolong suami itu. Terbukalah matanya bahwa agaknya An Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama isterinya, yaitu mempergunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya! Dalam takutnya, An Kai Seng beserta isterinya telah menjalankan siasat keji dan rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka.

 Hancurlah hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan ini, akan tetapi ia adalah seorang gagah yang menetapi janji. Oleh karena ia sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa ia lalu meninggalkan tempat itu. Semenjak itu, ia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya itu. Ia takut kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu melakukan hal-hal yang jahat! Maka ia melarikan diri dan merantau jauh meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu Pun Su dan bertapa di pulau kosong, yaitu Pulau Kim-san-to! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu telah mati. Tidak tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu muncul lagi membuat gara-gara hingga terpaksa ia memegang teguh sumpah dan janjinya dulu dan membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut.

 Setelah Wi Wi Toanio menceritakan semua ini yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan kawan-kawanya, akan tetapi juga oleh Lin Lin, terdengar Bu Pun Su menarik napas panjang dan berkata,

 “Tepat sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang berbunyi, Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sin-ki-tok-ha! (Tidak ada yang lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas dari pada yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap hal yang tersembunyi). Ujar-ujar ini jelas memperingatkan manusia akan bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran sendiri. Segala hal yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya tunas yang mekar terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hm, usia muda memang penuh bahaya!”

 Setelah berkata demikian, Bu Pun Su lalu berkata kepada Lin Lin,

 “Muridku, kau telah mendengar hal itu semua, dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar sumpah sendiri. Kau tenanglah dan tunggu saja di sini dengan baik-baik bersama tiga burung kita, tunggulah sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!”

 Setelah berkata demikian, pergilah mereka meninggalkan Gua Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang diri di kamar hio-louw itu. Dan di dalam hatinya, ia merasa berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap diri sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak takut mati, akan tetapi ia menguatirkan keadaan suhunya. Ia lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan kuatir, maka begitu penasaran itu mendesak jantungnya, ia menjerit keras lalu jatuh pingsan!

 Dan kemudian datanglah Cin Hai menemukannya dalam keadaan masih pingsan!

 Cin Hai mendengarkan penuturan itu dengan amat tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang seperti suhunya. Gagah perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguhpun sumpah terhadap seorang jahat, akan tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya!

 “Kalau demikian halnya, kau harus menenangkan hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup banyak bagi kita untuk berusaha mencari obat bagimu. Biarpun aku percaya penuh kepada Suhu bahwa ia tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula kalau kita tidak tinggal diam dan marilah kita pergi ke Kan-su untuk menyusul mereka. Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah berada di sampingmu dan demi Tuhan Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong.”

 Pada saat itu, di udara nampak tiga titik hitam yang melayang turun dan tak lama kemudian, tiga burung yang menjadi kawan Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau Sakti, menyambar turun dan berdiri dekat mereka sambil mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan menegur mereka mengapa meninggalkan begitu saja.

 “Marilah kalian ikut kami pergi ke barat,” kata Lin Lin.

 Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan bersama Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh tiga burung sakti yang terbang tinggi di atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai diam-diam merasa berduka dan gelisah sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan kekasihnya itu, menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka hingga Cin Hai merasa terhibur juga. Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apa-apa dan memang betul ucapan Hai Kong Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu amat halus kerjanya hingga orang yang terkena seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal orang itu makin hari makin mendekati maut!

 Dalam usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin Hai bukanlah seorang pemuda yang berhati lemah dan bersemangat kecil, maka ia pun segera dapat melupakan kekuatirannya dan sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolongnya, bahkan ia lalu sadar bahwa seharusnya dialah yang seharusnya memperlihatkan sikap gembira agar kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan dirinya dan tidak timbul kekuatiran, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka dengan gembira ia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk hingga ilmu pedang Lin Lin kini menjadi makin maju saja.

 Cin Hai tidak mau menceritakan kepada Lin Lin tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena ia maklum bahwa hal ini membahayakan kesehatannya. Bahkan ia sengaja mengambil jalan memutar dan tidak melalui dusun di mana kedua pendekar wanita itu tewas.

 Kita mengikuti keadaan Ang I Niocu yang ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan kepada Bu Pun Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga gua rahasia tempat harta pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng yang juga menuju ke Kan-su mengambil jalan lain.

 Pada suatu hari, karena merasa kesal tidak ada kawan dan tidak ada sesuatu yang dikerjakan, Ang I Niocu keluar dan pergi berjalan-jalan di sekeliling ibu kota Lan-couw yang ramai. Daerah Kan-su adalah daerah barat daratan Tiongkok dan di situ banyak terdapat suku-suku bangsa, bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini, maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna. Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis dengan pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.

 Akan tetapi, ketika Ang I Niocu berjalan-jalan dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang gagah, tubuhnya yang ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, ia merupakan pemandangan yang amat mencolok mata dan yang jarang terlihat oleh orang-orang di situ. Oleh karenanya hampir semua mata memandang Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman. Akan tetapi Ang I Niocu sudah biasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini, maka ia tidak mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka itu hanyalah patung-patung batu yang memandangnya tanpa berkedip.

 Ketika lewat depan sebuah toko yang menjual barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan tertutup yang menjadi penunjuk jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia gua rahasia itu. Ia teringat betapa anehnya ia mendapatkan cawan berukir itu, yaitu dari seorang gila! Ketika itu ia sedang berjalan menuju ke Kan-su, yaitu sebelum bertemu dengan Cin Hai. Tiba-tiba ia melihat seorang yang berpakaian tidak karuan dan hampir telanjang duduk di tepi jalan, tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah seorang Turki sudah tua, dan yang amat aneh ialah biarpun pakaiannya compang-camping tidak karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang amat besar, namun ia memegang sebuah cawan perak yang indah!

 Ketika Ang I Niocu sedang memandang dengan terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang mendekati orang gila itu dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu sunyi dan hanya ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh, ketiga orang itu lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu.

 Si Gila lalu berteriak-teriak, berdiri dan menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan, sambil mulutnya mengomel, “Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan harta pusaka ini! Pergi!”

 Seorang di antara tiga orang yang hendak merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil tersenyum ia berkata,

 “Kakek sinting, biarlah kami tukar dengan uang untuk membeli nasi!” orang itu lalu mengeluarkan uang perak beberapa potong, akan tetapi orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil memaki.

 “Perampok-perampok, pergi! Aku tidak butuh uang! Harta pusaka ini milikku!”

 Tiga orang itu menubruk dan merampas cawan, tiba-tiba mereka roboh sambil merintih-rintih. Ternyata Ang I Niocu telah bertindak karena kasihan kepada orang gila itu.

 Tiga orang laki-laki bangsa Hui itu bangkit lagi dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I Niocu bergerak cepat dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu ketiga orang itu telah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit! Mereka memandang dengan mata terbelalak ketakutan seakan-akan melihat setan di tengah hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak!

 Orang gila itu menghampiri Ang I Niocu dan karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika ia mengulurkan kedua tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan itu menumpang di atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang pendeta memberi berkah.

 “Kau gagah, ha, ha, mereka lari pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki harta pusaka itu. Ini, kauterima harta pusaka yang tak ternilai harganya!” Ia memberikan cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.

 “Untuk apa cawan ini?” tanyanya.

 Orang gila itu memandangnya dengan marah. “Untuk apa katamu? Itu bukan cawan. Bodoh, menyebut harta pusaka sebagai cawan biasa!” Si Gila itu lalu pergi dengan langkah lebar dan terdengar ia bernyanyi dalam bahasa Turki yang tidak karuan. Ang I Niocu mengamat-amati cawan itu dan melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul sayangnya. Ia lalu masukkan cawan itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila itu sampai ia bertemu dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya.

 Demikianlah, sambil mengenangkan peristiwa semua ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti depan toko barang antik itu sambil melamun. Tiba-tiba ia melihat dua orang Turki berkelebat masuk ke dalam toko dan ketika seorang di antara mereka memandang keluar toko, maka nampak wajahnya yang dibayangi ketakutan hebat! Ang I Niocu menjadi tertarik dan curiga, maka ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai dari atas genteng.

 Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang Turki lainnya dan agaknya mereka membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia. Akan tetapi sebuah perkataan saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena mereka bicara dalam bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka “Yousuf”! Kata-kata ini cukup untuk membuat ia memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga orang itu keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari cepat, ia lalu mengikuti mereka dengan diam-diam.

 Dengan mudah ia dapat mengikuti ketiga orang itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama ketiga orang itu masuk keluar hutan dan kemudian tiba di sebuah perkampungan kecil di mana banyak terdapat rumah-rumah model Turki. Tiga orang Turki itu masuk ke dalam rumah yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik ke atas genteng dari bagian belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng dan mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke dalam sebuah ruangan yang kebetulan berada di bawahnya. Di dalam ruangan yang lebar nampak duduk dua orang Turki. Seorang di antara mereka telah tua sekali, dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah. Juga kakek yang sudah tua dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras yang mencolok dengan kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar tajam berpengaruh.

 Tiga orang Turki itu setelah melihat mereka, lalu maju dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh dalam-dalam dan kedua tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara seakan-akan membuat laporan kepada dua orang itu. Tak lama kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan beberapa perkataan yang agaknya memberi perintah, karena setelah mendengar ucapan itu, tiga orang pendatang tadi lalu pergi lagi.

 Tiba-tiba, orang setengah tua itu tertawa dan sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh kaki Ang I Niocu ia berkata dalam bahasa Han yang lancar, “Sahabat yang berada di atas genteng, harap kau suka turun saja apabila ada perlu dengan kami.”

 Ang I Niocu terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau mendengarkannya, dan selagi ia merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih itu juga berkata,

 “Nona berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan sendiri!”

 Makin terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ini. Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui bahwa di atas genteng terdapat orang mengintai, adalah kakek berambut putih itu bahkan tahu bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah, bahkan dapat menduga namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu untuk turun, maka ia teringat sesuatu dan bertanya,

 “Apakah seorang diantara Jiwi ada yang bernama Yousuf?”

 Mendengar pertanyaan ini, laki-laki setengah tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab girang. “Akulah yang bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap, silakan turun!”

 Kini Ang I Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi. Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun sambil berkata, “Mohon dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!”

 Yousuf memandang kepada Nona Baju Merah itu dengan mata kagum, kemudian ia menjura sambil berkata girang, “Betul, betul! Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan anakku Lin Lin!”

 Ang I Niocu menjadi girang sekali. “Dan aku pun telah lama mengenal nama Yo-lopek dari kawan-kawan.”

 Mendengar bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I Niocu menyebutnya lo-pek (uwa) seperti Cin Hai, Kwee An dan yang lain-lain. Yousuf merasa girang sekali.

 “Ang I Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah tewas di atas Pulau Kim-san-to hingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri merasa amat berduka. Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan sekali!”

 Ang I Niocu memandang ke arah kakek berambut putih yang lihai tadi dan bertanya, “Siapakah Locianpwe yang terhormat ini?”

 Kakek itu tertawa bergelak dan menjawab, “Ang I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar namaku, sungguhpun telah seringkali aku mendengar namamu dari muridku ini.”

 “Ah, kalau begitu Locianpwe tentu yang bernama Ibrahim!” kata Ang I Niocu.

 Baik Ibrahim maupun Yousuf menjadi tercengang. “Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?” tanya Yousuf heran.

 Ang I Niocu lalu menceritakan pengalamannya, dan bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya dengan guru Yousuf itu ketika Ibrahim menangkap ular.

 Bukan main girangnya hati Yousuf ketika mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam keadaan selamat, bahkan kini sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak kemungkinan ia akan bertemu dengan mereka. Kalau tadinya ia masih agak muram wajahnya, kini ia menjadi riang gembira dan berkata,

 “Lihiap, tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang ternyata bahwa kau bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan sendiri jatuh di pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau membawa berita yang amat menggirangkan hatiku. Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Tunggal.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat kedua tangan ke atas sebagai puji syukur kepada Tuhan.

 “Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi, Yo-lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa curiga. Ketika mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka ke sini dan agaknya mereka membuat laporan. Ada apakah?” tanya Ang I Niocu yang sama sekali tidak mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Turki.

 Yousuf menarik napas panjang. “Sebetulnya hal yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan pribadi Turki sendiri. Akan tetapi, oleh karena di sini terkandung juga soal-soal kejahatan, maka kami percaya bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki yang berada di daerah ini terpecah menjadi dua rombongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran Tua yang pada waktu ini masih menjadi raja di Turki, dan sebagian pula pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan kekacauan. Kami adalah pengikut-pengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap baik dan bersahabat terhadap negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat itu dikacau dan dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu mencari perkara. Kini pengikut-pengikut Pangeran Muda itu bahkan mempunyai maksud menyerbu ke pedalaman Tiongkok, dan mereka datang hendak mencari harta pusaka yang bukan menjadi hak orang Turki. Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud jahat ini, karena kalau maksud mereka itu dilanjutkan, yang akan menderita rugi adalah bangsa kami sendiri, karena tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami bertugas menghalangi maksud mereka mencuri harta pusaka itu, dan mencegah mereka melanjutkan usaha menyerbu ke pedalaman Tiongkok!”

 Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Kalau begitu, kau dan kawan-kawanmu memang orang-orang gagah yang mulia, Yo-lopek. Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang Turki itu, akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di fihak siapakah orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan yang lain-lain itu berdiri?”

 Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari tempat duduknya dan berkata dengan gemas,

 “Nah, itulah yang amat menyebalkan hati kami. Para pengikut Pangeran Muda itu telah mempergunakan cahaya emas untuk menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha mereka yang rendah. Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri sudi membantu usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda, yang mempunyai maksud buruk terhadap negeri mereka sendiri?” Ibrahim menarik napas panjang.

 Ang I Niocu tersenyum. “Tidak sangat aneh, Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Kalau mata mereka sudah silau dan buta karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang bagi mereka?”

 Ibrahim mengangguk-angguk. “Kau benar, kau benar...” lalu kakek rambut putih itu duduk melamun tidak mempedulikan lagi keadaan di sekelilingnya.

 “Ang I Niocu,” kata Yousuf, “sekarang kami menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka. Tadi kawan-kawan melaporkan bahwa pengikut-pengikut Pangeran Muda agaknya telah mendapatkan kunci yang membawa mereka kepada tempat harta pusaka itu! Kabarnya bahwa mereka telah berhasil mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang menunjukkan di mana tempat harta itu, yang dirampasnya dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami harus menghalangi mereka!”

 Ang I Niocu tersenyum. “Tak usah, Yo-lopek. Harta pusaka itu telah diketemukan dan yang mendapatkannya bukan lain ialah aku sendiri dan Cin Hai.”

 Yousuf memandangnya dengan bengong sehingga Ang I Niocu segera menceritakan pengalamannya. Yousuf menjadi girang sekali sehingga ia segera berpaling kepada gurunya dan menuturkan semua cerita Ang I Niocu dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu bercerita, agaknya kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim juga merasa girang dan tertawa senang.

 “Akan tetapi, Lihiap, sekarang mereka sedang menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan kawan-kawan. Kami telah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu, kami bersedia untuk bertempur pula.”

 “Jangan kuatir, Yo-lopek. Aku telah berada di sini dan aku pasti akan membantu kalian.”

 Pada saat itu, dari luar masuk seorang penjaga dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang segera dijawabnya dengan perintah singkat pula. Orang itu pergi lagi dan Yousuf talu berkata kepada Ang I Niocu,

 “Mereka telah datang dan kuminta pemimpin-pemimpin mereka datang ke sini untuk mengadakan pembicaraan.”

 “Kalau begitu aku harus mengundurkan diri,” kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya ia ikut bicara tentang urusan negara orang lain, apalagi kalau mereka bicara dalam bahasa mereka yang tidak dimengertinya sama sekali itu.

 Akan tetapi Yousuf mengangkat tangan. “Tak usah Li-hiap. Kau duduklah saja di sini, mengawani kami berdua. Mereka yang datang ini pun hanya wakil-wakil dan utusan-utusan saja dan pembicaraan akan dilakukan dalam bahasa Han, karena mereka itu sebagian besar juga orang-orang Han yang telah kaukenal tadi.”

 Rombongan tamu yang datang itu adalah tujuh orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban merah, diiringkan oleh Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam Sam-lojn, yaitu Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu.

 Yousuf menyambut mereka dengan dingin dan angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran Tua itu merasa lebih tinggi derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama sekali dan Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah.

 Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.

 “Hm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!” Kata pemimpin Turki sambil tersenyum sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini menggunakan bahasa Han oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.

 “Nona yang berdiri di pihakku adalah seorang pendekar wanita yang membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kausodorkan kepada mereka, mana mereka bisa dipersamakan?” jawab Yousuf menyindir hingga wajah enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.

 Yousuf lalu berkata lagi kepada pemimpin orang Turki itu, “Sahabat, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang pukulmu ini?”

 Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap angkuh, “Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan raja dan kami harus tunduk terhadapmu. Akan tetapi sekarang kita berada di negeri orang lain dan kau tak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami melakukan usaha kami sendiri mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau dan orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami menimbulkan permusuhan di antara bangsa sendiri?”

 “Sahimba, kalau usahamu itu baik dan jujur, siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau menurut perintah dan nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita, dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami takkan membiarkannya saja! Dengan perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?”

 “Yousuf kau manusia sombong! Kau mengandalkan apakah maka berani berkata demikian? Orang yang mencampuri urusan lain orang dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kaulepaskan tangan dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan membasmi kau dan kawan-kawanmu!”

 Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia tetap tersenyum ketika menjawab, “Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita, sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kauanggap kami merasa takut akan ancaman-ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam terang bulan!”

 “Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah, dan ia bersama keenam orang-orangnya itu meraba gagang senjata!

 “Terserah kepadamu, Sahimba!” kata Yousuf sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan orang dengan senjata lengkap! “Kami sudah bersiap sedia!”

 Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke sekeliling dan ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf yaitu pengikut Pangeran Tua telah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!

 “Kau hendak menggunakan orang banyak mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan kegelisahannya.

 “Hanya orang-orang macam kaulah yang suka mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!” Jawab Yousuf. “Kawan-kawanku siap sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang berkawan banyak ini berani berlagak!”

 “Yousuf!” terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok.”

 Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan sikapnya masih tenang ketika dia berkata, “Aduh, galak benar! Yousuf, kalau tamu-tamu kita menghendakinya, kita sebagai tuan rumah seharusnya menerima untuk membuktikan keramahan terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!”

 Yousuf lalu menghadapi Sahimba. “Kau telah mendengar sendiri ucapan Guruku dan kalau kau menghendaki, boleh kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”

 “Boleh-boleh! Inilah kesempatan baik untuk membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang jujur.” jawab Sahimba.

 Yousuf lalu memberi aba-aba dan beberapa orang penjaga lalu masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi disingkirkan dan kini ruangan itu menjadi sebuah tempat yang cukul luas di mana orang boleh bertempur sesuka hatinya.

 Yousuf berkata lagi, “Karena pihakku hanya ada tiga orang jago, sedangkan kulihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul, maka kau boleh majukan tiga orang tukang pukulmu.”

 “Orang sombong, kauanggap kami tukang pukul? Jaga lidahmu baik-baik!” kata Giok Yang Cu, orang ke dua Kang-lam Sam-lojin yang bertubuh tinggi besar. Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan mengejek, “Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili pihakmu?”

 Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang, “Sahabatku Yo Se Pu, jangan kauborong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk menikmati dagingnya juga!” Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!

 Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee An dan Ma Hoa hingga ia melompat maju dan memeluk mereka berdua seakan-akan seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati. Kedua mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan Cengeng dengan girang dan berkata kepada Sahimba,

 “Dasar kau yang sedang berbintang gelap! Dengan datangnya ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!” Kemudian, tanpa mempedulikan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu memperkenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An hingga mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh Ibrahim.

 “Nama kalian telah kukenal lama sekali dan setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!” kata kakek itu.

 Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke depan akan tetapi tidak mendapat pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya sibuk bercakap-cakap dengan pendatang-pendatang baru itu, menjadi mendongkol sekali.

 “Yousuf apakah tidak ada orang yang berani melawanku?” tegurnya marah.

 Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cangeng tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf, “Saudara Yo, mengapa kau tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu agar ia tidak melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar air mata bercucuran dari kedua matanya!

 “Orang gila jangan kau menghinaku!” seru Giok Yang Cu yang segera mencabut pedangnya. Akan tetapi sebelum ia maju menyerang Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata,

 “Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan lebih dulu!” Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan kedua orang ini segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.

 Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hwat telah banyak mengalami perubahan dan kemajuan hingga ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih lihai daripada dulu, sedangkan pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya, pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.

 Akan tetapi Yousuf selain tinggi ilmu kepandaiannya juga telah banyak sekali pengalamannya bertempur menghadapi orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Juga, semenjak dekat dengan Nelayan Cengeng, Lin Lin dan yang lain-lain, Yousuf telah banyak memahamkan rahasia-rahasia ilmu silat Tiongkok hingga pengertiannya menjadi luas dan kepandaiannya banyak maju.

 Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena betapapun juga, ia anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi setelah bertempur dua puluh jurus lebih ia menjadi terkejut dan diam-diam mengeluh, karena dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan pedangnya dan tingkat ginkangnya lebih tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan kejerihannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.

 Yousuf tidak menjadi gugup sungguhpun desakan lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari Liong-sam-hwat yang disebut Naga Liong-san. Mengamuk itu hebat sekali. Dengan ketenangannya yang diperkuat oteh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil mainkan pedangnya dengan cepat hingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar pedangnya. Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan dada terluka oleh pedang Yousuf. Walaupun luka itu tidak membahayakan nyawanya, akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tidak berdaya lagi dan harus mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,

 “Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!”

 Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im Cu, saudara tertua dari Kang-lam Sam-lojin telah melompat maju dengan gesit sekali dan di tangannya memegang sebatang bambu panjang. Giok Im Cu hendak menebus kekalahan sutenya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba ia telah melompat ke tengah lapangan bersilat.

 “Biar pinto menerima pengajaran dari tuan rumah!” katanya.

 “Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu ini,” kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa tertarik melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.

 “Kau?” Yousuf memandang ragu-ragu, akan tetapi Nelayan Cengeng segera berkata,

 “Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!”

 Yousuf selamanya tak pernah meragukan ucapan Nelayan Cengeng apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan Cengeng takkan membiarkan muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka ia lalu menganggukkan kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,

 “Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!”

 Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju menghadapi Giok Im Cu yang merasa tidak enak sekali. Ia merasa sungkan dan dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini?

 “Nona, dengan senjata apakah kau hendak memberi pengajaran kepada pinto?”

 Ma Hoa tersenyum dan mencabut keluar sepasang bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya pendek itu. “Dengan ini!” jawabnya singkat.

 Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga ia merasa berdebar karena teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang bambu runcing yang pendek. Segera ia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,

 “Mari, mari, majulah!”

 Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa. Yousuf yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu merasa terheran-heran hingga tak terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil memandang bengong. Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan indah dipandang. Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di sekeliling kepalanya sedangkan bambu runcing itu ketika digerakkan untuk menyerang, demikian cepat gerakannya hingga seolah-olah berubah menjadi puluhan batang!

 Giok Im Cu tercengang melihat ini dan ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan yang amat aneh ini. Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama ia hidup, baru sekali ia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti yang lihai.

 Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli lweekang ia lalu mengerahkan lweekangnya hingga tiap sambaran tongkatnya membawa tenaga besar yang ganas. Ia hendak mengandalkan tenaga lweekangnya untuk mengalahkan gadis yang pandai bermain bambu runcing itu. Akan tetapi kembali ia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga, hanya mengandalkan kelincahannya untuk berkelebat di antara sambaran tongkat lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah jalan darah lawan!

 Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf tak dapat menguasai kegembiraannya lagi. Berkali-kali ia berseru dengan girang sambil mengeluarkan pujian-pujian. Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang seakan-akan bergerak berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan tetapi, tiba-tiba ia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati hingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas lantai. Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat telah tertotok oleh ujung bambu runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang sambil mengeluarkan senyuman.

 Wai Sauw Pu pendeta bersorban itu melompat dan seketika ia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan bertanya,

 “Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”

 “Ada perlu apakah kau menanyakan Suhuku?”

 “Oh... jadi kau murid Hok Peng Taisu? Pantas... pantas.” dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan diri. Ia tadi merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan daripada dikalahkan secara demikian, yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya. Akan tetapi setelah ia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu, rasa penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah semacam ilmu yang takkan dapat dilawannya, biarpun ia akan melatih diri sepuluh tahun lagi!

 Dengan girang sekali, juga disertai kebanggaan hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata, “Anak nakal, kelak kau harus menceritakan padaku darimana kau mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!”

 Melihat betapa dua kali fihaknya mengalami kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang dianggap paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus kekalahan. Akan tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa penasaran dan marah, telah mendahului dan kini pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan menantang.

 “Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!”

 Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh tinggi besar, juga sepasang matanya tajam berpengaruh sekali. Ia memang telah mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan rombongan lawan yang biarpun masih muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku tangan seperti orang hendak bertapa berdiri!

 Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba Ibrahim berseru, “Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah bagianku!”

 Dengan langkah yang sembarangan bagaikan orang lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu dan memandangnya dengan muka memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa ketika ia berkata,

 “Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan sebagai guru dari Yousuf, apakah kau orang tua yang sudah tinggal menanti saat terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan orang lain?”

 “Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari kebatinan, agaknya kau lupa akan dua perkara. Pertama, bahwa jalan yang ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung daripada usia tua, bilamana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua maupun muda, akan berakhir hidupnya! Akan tetapi kau telah melanggar syarat pertama dan tidak berjalan di atas jalan kebenaran, bahkan membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan dan menjadi silau oleh bersinarnya emas yang sebetulnya tiada bedanya dengan tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa atas nyawa setiap manusia dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh kalau kau tidak lekas-lekas mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku masuk ke dalam neraka!”

 Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan omongan menghina untuk memancing kemarahan dalam hati kakek tua itu, akan tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah dipengaruhi oleh ilmu sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Ibrahim, tokoh tua yang dihormati orang di I Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan pengobatan, kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi!

 “Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja, siapa yang akan mampus terlebih dahulu!” teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari gading. Ang I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An pernah merasai kelihaian Wai Sauw Pu ini maka mereka memandang dengan penuh kekuatiran. Dapatkah kakek rambut putih yang kelihatannya lemah itu menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang karena ia percaya penuh akan kelihaian gurunya.

 Gerakan tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu kali ini berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini ia bersilat dengan ilmu sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang membuat hati menjadi gentar dan berpengaruh melemahkan semangat lawan. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun lalu menarik keluar seikat tasbeh kecil yang terbuat daripada batu-batu kemala putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan membalik menyambar ke arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri! Wai Sauw Pu terkejut sekali karena ia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang kuat sehingga ilmu sihir yang ia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata telah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian silatnya!

 Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka seimbang. Ibrahim yang sudah tua itupun harus mengerahkan kepandaiannya untuk menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini. Kalau lawannya mempergunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan mengembalikan segala serangan itu, akan tetapi oleh karena Wai Sauw Pu kini hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.

 Biarpun ilmu silat mereka seimbang, akan tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biarpun ia menang dalam hal ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapat kemenangan terakhir. Ang I Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat. Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata, “Ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak berdaya menghadapi seorang kakek tua renta. Sedangkan tasbehnya saja gede-gede, segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihat, lihat, aku berani bertaruh apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”

 Bukan main marahnya Wai gauw Pu mendengar ejekan ini, karena ia pun tadi telah merasa penasaran dan panas perut karena kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan, kini ditambah dengan sindiran Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali ia berseru, tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai yaitu golok-golok kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang) dan yang jumlahnya tiga buah itu meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus menggunakan tenaga lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan digerakkan oleh tangan-tangan yang tidak kelihatan.

 Ibrahim tertawa bergelak dan berkata, “Wai Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?”

 Dan aneh, sehabis kakek itu mengeluarkan ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang meluncur ke arahnya itu tiba-tiba membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke arah Wai Sauw Pu sendiri.

 Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak dapat dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi, maka cepat-cepat ia mengebut dengan tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.

 “Runtuh!!”

 Benar saja, tiga batang golok itu runtuh ke bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga terlukalah kakinya oleh ujung golok.

 Pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru,

 “Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di ujung senjata!” Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu Kang-lam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu kepada Yousuf dan kawan-kawannya.

 “Manusia-manusia curang!” seru Nelayan Cengeng sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor naga sungai mengamuk. Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lalu menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!

 Pertempuran dalam ruangan itu makin menghebat, dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian, akan tetapi mengadu jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang telah direncanakan untuk maju menyerbu dan jumlah mereka amat besar sehingga orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf terdesak. Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu ke dalam, membantu Sahimba dan kawan-kawannya!

 Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kang-lam Sam-lojin bertempur melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian mereka berimbang dan pertempuran pasti akan berjalan seru dan lama apabila fihak Sahimba tidak menggunakan kecurangan. Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar jarum-jarumnya yang berbahaya, sedangkan Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan hui-to-hui-to yang tak kurang berbahayanya pula.

 Tak lama kemudian, selagi Yousuf dan kawan-kawannya terdesak karena fihak lawan menyebar senjata-senjata rahasia yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang telah berhasil memecahkan pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas dan lebih banyak jumlahnya, sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran Tua kena dilukai atau dibinasakan.

 Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring bagaikan seorang berdoa,

 “Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba hendak mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi keselamatan semua kawan ini!” ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba ia mementang kedua lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.

 “Sahimba... Dan enam orang kawanmu... dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut... berlutut... berlutut...!”

 Hal yang aneh terjadi. Sahimba dan kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat menguasai diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang menjatuhkan diri berlutut dan melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih kuat mempertahankan diri.

 “Ha-ha-ha... tua bangka... kau harus mampus...” Dan secepat kilat ia mengayun enam batang hui-to ke arah Ibrahim yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang bagaikan patung. Enam batang hui-to itu menancap dengan jitu ke sasarannya dan tubuh Ibrahim terhuyung-huyung lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan biarpun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu masih menghantam dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!

 Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka pengaruh sihirnya pun lenyap dan Sahimba beserta kawan-kawannya menjadi sadar kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali senjata mereka, Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang Sahimba hingga tembuslah punggung Sahimba oleh pedang Yousuf. Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang lawan-lawannya yang kini melakukan perlawanan dengan tangan kosong. Akan tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba, telah masuk dan mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali.

 Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti harimau-harimau berebut daging. Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dan mata mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya dengan dahsyat sehingga tidak saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan kawan-kawannya menjadi jerih juga.

 Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li mendapatkan luka oleh tusukan pedang Ang I Niocu di pundaknya, sedangkan sebuah roda dari Lok Kun Tojin telah terampas oleh bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena ini, mereka makin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apalagi karena kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan diri pula.

 Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lalu mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar,

 “Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa dalam perang saudara yang terkutuk ini!”

 Yousuf lalu mengumpulkan anak buahnya yang masih ada dan mereka lalu merawat semua orang baik kawan maupun lawan yang terluka dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.

 Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang sibuk mengurus semua itu, maka mereka lalu beristirahat dalam sebuah rumah di dalam kampung itu yang disediakan untuk mereka.

 Setelah mereka berempat ramai membicarakan peristiwa yang baru terjadi dan mengambil keputusan untuk membantu Yousuf selama para pengacau dari Turki itu masih mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu berkata kepada Kwee An.

 “An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi selamat kepada Enci Im Giok?” gadis ini bicara sambil tersenyum gembira sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apalagi ketika ia melihat Kwee An memandangnya dengan tersenyum pula.

 Selagi ia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan Cengeng tertawa girang dan berkata, “Tadi kita tidak ada kesempatan. Sekarang akulah orang pertama yang harus memberi selamat kepadanya!” Kemudian ia menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengan memberi selamat sambil berkata keras-keras,

 “Ang I Niocu, kionghi... kionghi… (selamat, selamat)!”

 Ucapan ini diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa yang juga berdiri memberi selamat.

 Ang I Niocu memandang berganti-ganti kepada mereka bertiga lalu katanya gagap,

 “Nanti dulu...! Memberi selamat sih mudah, akan tetapi terangkanlah dulu untuk apakah kalian memberi selamat...?”

 “Ha, masih berpura-pura lagi! Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Ma Hoa menggodanya sambil memegang lengan Ang I Niocu. “Enci Im Giok, kau memang tidak ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu kau rahasiakan saja?”

 “Adik Hoa, kalau kau tidak mau lekas menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit bibirmu!” kata Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata dipelototkan.

 “Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng tertawa bergelak. “Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja, mengapa harus dirahasiakan terhadap kawan-kawan?”

 “Pertunangan...? Jodoh... ?” Ang I Niocu memandang heran.

 “Enci Im Giok, janganlah kau berpura-pura lagi. Kami tanpa disengaja telah mengetahui rahasiamu!” kata Ma Hoa, sedangkan Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak berani menggoda Ang I Niocu.

 “Nanti dulu, Adik Hoa, aku masih belum mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kaumaksudkan?”

 “Aduh, pandainya bermain sandiwara!” Ma Hoa menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah muka Ang I Niocu. “Siapa lagi kalau bukan urusan pertunanganmu? Jangan kau menyangkal bahwa kau telah bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan mata!”

 “Apa buktinya?”

 Ma Hoa menuding ke arah pedang yang tergantung di pinggang Dara Baju Merah itu. “Bukankah pedang yang kau pakai itu adalah Cian-hong-kiam pemberian tunanganmu?”

 Mulai berdebar dada Ang I Niocu.

 “Darimana kau dapat mengetahui hal ini?” tanyanya.

 “Dari siapa lagi kalau bukan dari Lie-taihiap!”

 Ang I Niocu bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Di... di mana dia...?”

 Ma Hoa bertepuk tangan. “Nah, nah... sekarang kau mencari-carinya. Kau mencari dia... siapakah, Enci...?”

 Dengan gemas Ang I Niocu mengulurkan tangan hendak mencubit pipi Ma Hoa. “Jangan main-main, Adik Hoa. Benar-benarkah kau bertemu dengan dia?”

 “Eh... dia siapakah...? Jelaskan namanya, ah...” Ma Hoa menggoda lagi, akan tetapi Kwee An merasa kasihan kepada Ang I Niocu maka ia berkata,

 “Kami memang telah bertemu dengan taihiap Lie Kong Sian.”

 “Di mana? Bagaimana kalian bisa bertemu dengan dia?” tanya Ang I Niocu dengan heran.

 “Sabar, Enci Im Giok. Sabar dan tenang. Kaududuklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami bertemu dengan... calon suamimu yang gagah perkasa itu!”

 Dengan muka merah karena jengah dan malu, Ang I Niocu yang “mati kutunya” terhadap godaan Ma Hoa itu, lalu duduk dan mendengarkan penuturan Ma Hoa.

 Setelah berpisah dari Ang I Niocu di dalam hutan, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat. Tujuan mereka ialah Propinsi Kan-su dan ibu kotanya, yaitu Lan-couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh karena kenyataan bahwa Ang I Niocu masih hidup benar-benar membuat mereka merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa yang merasa suka sekali kepada Dara Baju Merah yang lihai itu.

 Gadis ini merasa betapa beruntungnya hidup ini. Ia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat guru baru yang lihai, dan kini mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula. Dan ia merasa yakin bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya pula. Alangkah akan senangnya kalau ia dapat bertemu dengan Lin Lin lagi.

 Kegembiraannya membuat ia merasa seakan-akan seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga seringkali ia mendahului Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan. Kwee An dan Nelayan Cengeng hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu. Mereka berdua dalam hati dan cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang rambut gadis yang terurai dan berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan Ma Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu membiarkan rambutnya terurai indah.

 Ketika Ma Hoa sedang berlari-lari seorang diri di depan dan Kwee An Nelayan Cengeng berjalan di belakang seenaknya, tiba-tiba gadis itu mendengar teguran suara halus,

 “Aduh, alangkah indah dan jelitanya bidadari berambut panjang.”

 Ketika ia memandang, ia melihat seorang pemuda yang tampan dan yang berpakaian indah mewah sedang duduk di atas cabang pohon di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum kepadanya.

 “Laki-laki ceriwis! Tutup mulutmu yang lancang!” kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya, karena di dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu. Wanita manakah yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau yang memuji itu seorang pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi ia menahan tindakan kakinya karena pemuda, itu berkata lagi sambil tertawa.

 “Bidadari manis! Hatimu gembira menerima pujianku, mengapa kau tidak membentangkan sayapmu dan terbang melayang ke sini, duduk di atas cabang yang enak ini di sampingku, menikmati angin yang bersilir di pohon?”

 Kini marahlah Ma Hoa. “Bangsat bermulut lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?”

 “Eh, eh, makin manis saja kalau marah-marah. Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau! Sayang sekali rambut itu terlalu liar dan seharusnya diikat dengan pita merah ini!” Sambil berkata demikian, pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah dan sekali ia mengayun tangannya, pita merah itu meluncur ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa! Ma Hoa mengelak dan miringkan kepalanya, akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah memperhitungkan hal ini, maka ia menyambit ke arah belakang kepala, karena ketika Ma Hoa miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini dan terurai di belakangnya sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit rambutnya, seakan-akan dipasang oleh tangan seorang ahli!

 Ma Hoa marah sekali. Ia merenggutkan pita merah itu, membantingnya ke atas tanah dan menginjak-injaknya!

 “Bangsat liar! Kau betul-betul sudah bosan hidup!” teriaknya sambil meloloskan sepasang bambu runcingnya dan dengan gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang!

 Pemuda itu terkejut juga karena sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis yang digodanya itu pandai ilmu silat yang luar biasa ini, maka ia lalu menggerakkan tubuh dan mengelak sambil melayang turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.

 “Ah, ah, tidak tahunya bidadari rambut panjang ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk main-main denganku sebentar!”

 Ma Hoa tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya. Ia lalu menyerang dengan gesit dan sengit hingga pemuda tampan itu terpaksa harus berlaku waspada. Akan tetapi, begitu ia bergerak, Ma Hoa merasa kaget. Sambaran angin yang keluar dari kebutan tangan pemuda itu telah berhasil membuat serangan bambu runcingnya jadi miring! Alangkah hebatnya tenaga ini. Maka ia lalu menyerang lagi bertubi-tubi dengan ganas dan penasaran.

 Pada saat itu, datanglah Kwee An dan Nelayan Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang menggunakan sepasang bambu runcing menyerang seorang laki-laki yang hebat sekali gerakannya, mereka lalu berlari cepat menghampiri.

 “Tahan...!” kata Nelayan Cengeng hingga Ma Hoa meloncat mundur dengan taat.

 Pemuda tampan itu memandang kepada Nelayan Cengeng dan Kwee An, lalu mengernyitkan hidungnya dengan pandang menghina dan bertanya.

 “Tuan besarmu sedang bermain-main dengan gadis cantik, mengapa kalian ini budak-budak hina berani mengganggu?”

 Merahlah wajah Kwee An mendengar ini, maka ia segera mencabut pedang dan membentak, “Darimana datangnya bajingan yang kurang ajar?”

 Sementara itu, Nelayan Cengeng yang menerima hinaan ini balas mengejek,

 “Eh, eh! Ma Hoa, Kwee An, kalian lihatlah baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki aseli, juga bukan seorang wanita.”

 Kwee An tidak tahu bahwa kakek ini sedang berolok-olok, maka dengan heran ia bertanya, “Kalau bukan laki-laki juga bukan wanita, habis apa?”

 “Banci…! Ia seorang banci...! Ha-ha-ha!” dan Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak sehingga bercucuranlah air matanya. Juga Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa.

 Akan tetapi, laki-laki tampan itu dengan masih bertolak pinggang, lalu bertanya, “Kakek gila, dengan alasan apakah kau menyebutku banci?”

 “Tidak ada laki-laki yang membedaki mukanya dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti ini, akan tetapi kau tidak hanya membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu dan pemerah bibir! Ha-ha-ha!”

 Memang laki-laki itu pesolek benar sehingga mukanya sampai dibedaki dan diberi merah-merah. Akan tetapi ketika mendengar kata-kata ini ia menjadi marah dan berkata,

 “Kakek gila, kau belum tahu siapa adanya orang yang kauhina ini, maka kau berani membuka mulut secara sembrono. Ketahuilah, aku Song Kun yang berjuluk Kwie-eng-cu Si Bayangan Iblis, tidak biasa memberi ampun kepada orang yang telah menghinaku!”

 Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba pemuda itu lalu menggerakkan tangannya dan memukul kepada Nelayan Cengeng. Melihat pukulan ini, terkejutlah Nelayan Cengeng karena pukulan itu luar biasa sekali dan dari tangan yang melakukan pukulan mengepul uap putih! Inilah Pek-in-hoatsut yang pernah ia mendengarnya dan yang dimiliki oleh Cin Hai! Ia cepat melompat jauh untuk menghindarkan diri dari serangan itu dan karena maklum bahwa pemuda ini tangguh sekali, sambil melompat ia lalu mengayun dayungnya, memukul dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, pemuda itu memang pantas diberi gelar Si Bayangan Iblis, oleh karena gerakan tubuhnya luar biasa cepatnya dan hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata!

 Melihat kelihaian pemuda ini, Kwee An tidak mau tinggal diam dan lalu menyerang dengan pedangnya, juga Ma Hoa maju pula mengerjakan sepasang bambu runcingnya.

 Pemuda itu memang benar Song Kun adanya, murid dari Han Le Sianjin yang lihai. Inilah sute dari Lie Kong Sian yang menjalani kesesatan dan yang telah bertemu dan bertempur dengan Cin Hai! Tadinya Song Kun memandang rendah lawan-lawannya, akan tetapi setelah menyaksikan gerakan pedang Kwee An dan gerakan dayung di tangan Nelayan Cengeng, diam-diam ia terperanjat dan mengeluh bahwa ia ternyata telah “salah tangan” dan mencari perkara dengan orang-orang yang berilmu tinggi!

 Akan tetapi, ilmu silatnya memang hebat dan setelah beberapa lama ia menghadapi mereka dengan tangan kosong, akhirnya ia mencabut pedang Ang-ho-sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah berapi-api dan berhawa panas itu!

 Nelayan Cengeng terkejut sekali melihat pedang itu dan ia berseru kepada Ma Hoa dan Kwee An, “Hati-hati terhadap pedangnya!” Song Kun tertawa mengejek dan ia lalu memutar-mutar pedangnya dengan gerakan luar biasa cepat dan hebatnya sehingga sibuklah ketiga orang itu mengeroyok dari kanan kiri! Biarpun tidak berani mengadu pedangnya, namun Kwee An yang mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Hek Mo-ko, cukup hebat dan berbahaya. Sementara itu, Ma Hoa juga merupakan pengeroyok yang berbahaya oleh karena gadis ini selain memiliki Ilmu Silat Bambu Runcing yang aneh, juga tidak takut mengadu senjata, oleh karena bambu lemas kecil itu tidak takut terkena pedang tajam. Di samping dua orang anak muda yang tangguh ini, masih ada lagi Nelayan Cengeng yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaganya luar biasa sehingga Song Kun sendiri merasa ragu-ragu untuk mengadu pedangnya dengan dayung yang besar dan berat itu, takut kalau-kalau pedangnya akan menjadi rusak! Oleh karena ini, maka pertempuran berjalan seru dan ramai, akan tetapi mereka lebih banyak bertempur dari jarak jauh dan berlaku hati-hati hingga dapat diduga bahwa pertempuran itu akan berjalan lama sekali.

 Song Kun memaklumi hal ini dan karena itu ia lalu mendesak maju. Ketika dayung Nelayan Cengeng menyambar, ia memapaki dengan pedangnya yang disabetkan dan putuslah ujung dayung itu! Nelayan Cengeng terkejut dan hampir saja ia menjadi korban sabetan pedang pada pinggangnya kalau tidak Ma Hoa yang menjadi nekat telah melakukan serangan kilat dari belakang, menotok ke arah kedua iga lawan itu! Song Kun menarik kembali pedangnya dan kalau ia mau, ia akan dapat menjatuhkan Ma Hoa dengan serangan pedang, akan tetapi Song Kun memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik. Ia tidak tega melukai Ma Hoa, maka ia hanya menahan kedua bambu runcing itu dengan pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya ia ulur ke depan untuk mengusap pipi Ma Hoa! Gerakannya ini adalah pecahan dari limu Silat Kong-ciak-sin-na, dan kecepatannya luar biasa hingga colekan itu berhasil! Ma Hoa yang merasa betapa pipinya diusap oleh tangan Song Kun, menjerit marah dan menyerang lebih seru!

 Namun dengan ilmu pedangnya yang luar biasa, Song Kun dapat menjaga diri dan kini bahkan melancarkan serangan-serangan mematikan ke arah Nelayan Cengeng dan Kwee An! Ia mengambil keputusan untuk membunuh dua orang laki-laki itu untuk dapat melarikan gadis muda berambut panjang ini!

 Pada saat itu, terdengarlah bentakan keras.

 “Song Kun...! Janganlah kau terjerumus ke jurang makin dalam saja!”

 Mendengar suara ini, Song Kun terkejut sekali dan melompat jauh ke belakang.

 “Suheng...!” katanya.

 Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa memandang. Ternyata yang datang adalah seorang laki-laki yang berusia tiga puluh lebih, bermuka bundar dan gagah, bersikap tenang dan kumis kecil menghias di atas bibirnya. Tubuhnya tegap dan bidang, sedangkan sepasang matanya bercahaya tajam dan berpengaruh. “Song Kun, setelah berpisah bertahun-tahun, setiap hari aku mengharapkan dan berdoa supaya kau dapat insyaf akan kesesatanmu. Tidak kusangka bahwa kau makin dalam terjerumus ke dalam jurang kejahatan!” kata orang itu yang bukan lain Lie Kong Sian adanya, dengan suara mengandung penuh penyesalan.

 Song Kun mengeluarkan suara ketawa mengandung ejekan. “Lie Kong Sian! Tadi aku menyebut Suheng kepadamu karena kukira kau hendak berbaik, tidak tahunya datang-datang kau memaki orang! Apakah kau masih merasa penasaran karena dulu kalah olehku. Jangan kaukira aku takut karena kedatanganmu ini, dan segala perbuatanku adalah aku sendiri yang melakukan dan aku sendiri pula yang menanggungjawabnya! Kau peduli apakah?”

 “Dasar batinmu yang rendah! Kalau begitu, terpaksa sekali lagi aku harus memenuhi perintah mendiang Suhu dan menghajarmu dengan kekerasan.”

 “Ha-ha, majulah! Hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu!” Ucapan ini bagi seorang sute terhadap suhengnya memang amat kurang ajar, maka Lie Kong Sian lalu menerjang sambil mencabut pedangnya. Song Kun mengelak dan balas menyerang dan sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat. Tingkat pelajaran mereka memang berimbang, dan dulu ketika mereka bertempur, Lie Kong Sian dapat dikalahkan oleh sutenya yang memang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Kini, sungguhpun Lie Kong Sian telah melatih diri dengan keras dan ilmu kepandaiannya telah meningkat tinggi, namun di lain fihak Song Kun telah memiliki pedang Ang-ho-sian-kiam yang luar biasa sehingga Lie Kong Sian tidak berani mengadu pedangnya karena takut kalau-kalau pedang pemberian Ang I Niocu itu akan putus. Oleh karena ini, untuk kedua kalinya, ia terdesak hebat oleh serangan adik seperguruannya yang menyerang sambil tertawa mengejek, sungguhpun diam-diam ia mengakui kelihaian suhengnya dan maklum bahwa biarpun suhengnya tak berani beradu pedang, namun agaknya takkan mudah baginya untuk menjatuhkan suheng itu.

 Sementara itu, Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa menyaksikan pertandingan itu dengan penuh kekaguman. Tadi mereka telah merasa terkejut, heran dan kagum sekali menyaksikan kepandaian Song Kun yang dapat mendesak mereka, dan kini mereka melihat seorang pemuda lain yang seimbang kepandaiannya dengan pemuda pesolek yang lihai itu. Sesudah Cin Hai dan Bu Pun Su, belum pernah mereka menyaksikan ilmu kepandaian orang-orang muda selihai itu.

 Melihat bahwa Lie Kong Sian datang dan membela mereka, maka mereka bertiga tentu saja tidak mau, tinggal diam dan dengan seruan keras, Nelayan Cengeng lalu mengerjakan dayungnya diikuti oleh Ma Hoa dan Kwee An. Kini sibuklah Song Kun, karena menghadapi keroyokan empat orang yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi itu tentu saja ia merasa kewalahan sekali. Setelah bertahan sampai puluhan jurus, terpaksa ia lalu melompat jauh dan berkata,

 “Lie Kong Sian! Lain kali kalau kita bertemu berdua dan kau tidak mengandalkan keroyokan, tentu aku akan menabas batang lehermu!” Kemudian kepada Ma Hoa ia menyeringai dan berkata. “Sayang, bidadari rambut panjang, kita belum berjodoh!”

 Keempat orang itu marah sekali, akan tetapi dengan sekali berkelebat saja Song Kun telah lari jauh dan meninggalkan tempat itu.

 “Lihai sekali!” kata Nelayan Cengeng dengan kagum.

 “Memang Suteku itu lihai sekali dan jahat,” kata Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Lo-enghiong, melihat dayungmu yang hebat itu, kalau tidak salah dugaanku tentu kau adalah Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng. Betulkah?”

 Nelayan Cengeng menjura dan menjawab, “Benar, Taihiap. Darimana kau tahu namaku?”

 Lie Kong Sian tersenyum. “Dan kalau tidak salah, Saudara yang gagah ini tentulah Kwee An dan Nona ini Ma Hoa.”

 Ketiga orang itu memandangnya dengan heran. “Lie-taihiap, darimana kau bisa tahu?” tanya Kwee An, sedangkan Ma Hoa tiba-tiba berkata sambil menuding kepada pedang yang dipegang oleh Lie Kong Sian.

 “Eh, bukankah pedang itu pedang Ang I Niocu??”

 Kini Lie Kong Sian tersenyum dan mengangguk, “Memang ini pedang Kiang Im Giok, dan aku adalah tunangan Ang I Niocu!”

 Kemudian Lie Kong Sian yang jujur lalu mengaku dan menceritakan pengalamannya betapa ia menolong Ang I Niocu dan akhirnya menjadi calon jodohnya. Lie Kong Sian suka sekali melihat sikap tiga orang yang telah lama dikenal dari penuturan Ang I Niocu itu dan yang dipuji oleh kekasihnya, maka ia lalu mengaku terus terang tentang pertunangannya itu dan demikianlah maka mereka tahu akan pertunangan Ang I Niocu dengan Lie Kong Sian yang gagah perkasa. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan terpisah, karena Lie Kong Stan hendak mengejar dan menyusul sutenya untuk memenuhi syarat Ang I Niocu, yaitu merobohkan sutenya yang ternyata bukan insyaf, bahkan makin jahat itu.

 Setelah Ma Hoa menceritakan semua pengalaman kepada Ang I Niocu, tahulah Nona Baju Merah itu bagaimana mereka dapat mengetahui hal pertunangannya sehingga mereka menggodanya. Terutama Ma Hoa menggodanya sehingga Ang I Niocu menjadi semerah bajunya. Ia tak dapat marah karena maklum bahwa Ma Hoa menggoda karena rasa girangnya.

 “Ma Hoa, sudahlah jangan kau menggodaku lebih lanjut. Kalau menggoda terus, aku takkan menceritakan kepadamu perihal Lin Lin.”

 Ma Hoa memegang lengan tangan I Niocu dan bertanya, “Lin Lin? Apakah kau sudah bertemu dengan dia, Cici yang baik? Bagaimana keadaannya? Selamatkah ia dan bagaimana dengan Cin Hai?” Dihujani pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan sengaja berlaku lambat-lambatan sehingga tidak saja Ma Hoa menjadi tidak sabar, bahkan Kwee An dan Nelayan Cengeng juga mendesaknya untuk segera menceritakan hal Lin Lin.

 “Maka jangan suka menggoda orang,” kata Ang I Niocu. “Baikiah, aku akan menceritakan pengalamanku.” Kemudian tiba giliran Ang I Niocu untuk menuturkan semua pengalamannya, betapa ia bertemu dengan Cin Hai dan mendapatkan sepasang pedang Liong-cu-kiam dan harta pusaka di dalam Gua Tung-huang dan pengalaman-pengalaman lainnya. Dan juga ia menceritakan betapa Lin Lin telah dibawa oleh Bu Pun Su untuk diberi pelajaran silat sebagaimana yang ia dengar dari Cin Hai.

 Mendengar penuturan ini, bertitik air mata dari kedua mata Ma Hoa karena terharu dan girangnya. Sekarang pengharapannya terkabul semua. Seluruh kawan-kawannya telah selamat dan terlepas dari bahaya. Demikian pun Kwee An dan Nelayan Cengeng. Mereka berempat itu sama sekali tidak tahu bahwa telah terjadi peristiwa hebat di Gua Tengkorak yang membuat Lin Lin terluka dan terancam jiwanya!

 “Kini tugas kita cari-mencari ini telah selesai karena orang-orang yang dicari telah ditemukan,” kata Nelayan Cengeng. “Akan tetapi kita harus melindungi Yo Se Pu dari bahaya dan juga, karena menurut penuturan Ang I Niocu tadi bahwa Cin Hai akan kembali ke sini dan Ang I Niocu sendiri ditugaskan menjaga gua tempat harta pusaka, kita semua lebih baik untuk sementara waktu tinggal di sini, menanti datangnya Cin Hai untuk kemudian bersama-sama kembali ke timur.”

 Semua orang menyetujui usul ini dan setelah Yousuf selesai mengurus semua kawan dan lawan yang terluka dan tewas, ia pun lalu datang dan saling menceritakan pengalaman masing-masing. Nelayan Cengeng dan yang lain-lain mencoba seberapa dapat untuk menghibur hati Yousuf yang masih berduka karena kematian gurunya dan banyak kawan-kawannya.

 “Sesungguhnya, tentang kematian tak kusedihkan benar karena soal itu bukanlah soal yang aneh dan harus disesalkan. Yang membuat hatiku berduka ialah adanya perpecahan dan permusuhan diantara bangsa sendiri. Baiknya kalian membawa berita bahwa anakku Lin Lin sudah diselamatkan dan bahkan kini memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan Bu Pun Su, kalau tidak, tentu aku akan makin gelisah dan cemas saja.”

 Demikianlah, mereka bertempat tinggal di kampung Yousuf dan kawan-kawannya itu sehingga pengikut Pangeran Muda tidak berani datang untuk bermain gila lagi. Hampir tiga atau empat kali sehari Ang I Niocu menyelidiki keadaan gua itu, menjaga dan memeriksa kalau-kalau ada orang yang mengetahui tempat itu. Kadang-kadang ia pergi seorang diri, tidak jarang ditemani oleh Ma Hoa, bahkan beberapa kali Kwee An dan Nelayan Cengeng juga ikut.

 Sementara itu, Cin Hai dan Lin Lin masih melakukan perjalanan menuju ke barat, menyusul Bu Pun Su yang menjadi “tawanan” Wi Wi Toanio dan kawan-kawannya. Ternyata bahwa Balaki semenjak dikalahkan oleh Cin Hai, lalu melarikan diri dari Yagali Khan dan kemudian ia bergabung dengan Hai Kong Hosiang dan seorang pendeta Sakya Buddha. Ia maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang maka ia lalu menceritakan tentang harta pusaka di daerah Kan-su itu dan mengusulkan untuk pergi mencari bersama. Hai Kong Hosiang yang cerdik itu telah mendapat tahu tentang riwayat Bu Pun Su ketika mudanya, maka mereka lalu mencari dan menjumpai Wi Wi Toanio yang telah menjadi janda. Melihat bahwa Wi Wi Toanio ternyata juga lihat sekali ilmu kepandaiannya, maka mereka lalu membujuk nyonya tua itu untuk ikut pula mencari harta pusaka dan kemudian atas rencana dan siasat Hai Kong Hosiang yang licin, mereka berhasil menundukkan Bu Pun Su untuk dipergunakan kepandaiannya mencari harta itu!

 Cin Hai tidak berani melakukan perjalanan terlalu cepat hingga ia dan Lin Lin tidak bisa mengejar rombongan yang menawan Bu Pun Su. Beberapa hari kemudian, setelah mereka mendekati batas Propinsi Kan-su, dan beristirahat di dalam sebuah hutan menikmati hawa yang nyaman dan buah-buahan yang lezat, tiba-tiba dari jauh mendatangi seorang laki-laki dan ketika orang itu datang dekat, Cin Hai merasa terkejut sekali hingga tak terasa lagi ia memegang tangan Lin Lin. Ia mengenal baik muka laki-laki yang datang itu, laki-laki muda pesolek yang tampan.

 “Song Kun...” katanya dengan dada berdebar karena ia maklum bahwa pertemuan ini tentu akan menjadi pertempuran hebat!

 Sementara itu, Song Kun sudah melihat mereka pula. Mula-mula wajahnya yang tampan melihat dengan terheran-heran karena ia sendiri tidak pernah menyangka akan bertemu dengan gadis yang membuatnya tergila-gila itu bersama Cin Hai, pemuda yang dibencinya dan yang hendak dibunuhnya! Ia memandang ke kanan kiri, kuatir kalau-kalau Bu Pun Su supeknya itu berada pula di situ, akan tetapi ketika melihat bahwa tidak ada orang lain di situ, bibirnya tersenyum girang dan ia segera menghampiri.

 “Ha, ha! Pendekar Bodoh, Pendekar Tolol dan goblok! Suteku yang baik budi, kekasih Supek Bu Pun Su! Agaknya kau berdua saja dengan bidadari yang telah lama kurindukan ini. Atau, membawa juga anjing penjagamu yang tua itu?”

 Cin Hai dapat menduga bahwa yang dimaki “anjing penjaga tua” itu adalah Bu Pun Su suhunya, maka bukan kepalang marahnya hingga debar hatinya yang tadi agak kuatir itu lenyap, terganti dengar debar marah.

 “Song Kun! Siapakah yang kaumaki itu?”

 “Siapa lagi kalau bukan Suhumu yang tua dan lebih goblok dari padamu itu?”

 “Kurang ajar! Kaukira aku takut kepadamu?”

 “Cin Hai, kau telah merasai kelihaianku, apakah kau belum kapok? Dengarlah, bocah sombong. Aku mempunyai hati yang lemah dan suka menaruh kasihan kepada anak-anak kecil. Aku masih ingat bahwa kau adalah Suteku sendiri, maka aku akan memberi ampun kepadamu. Pergilah kau dengan aman, dan tinggalkan kekasih hatiku ini. Aku akan menjaganya dan mencintanya dengan baik, lebih baik daripada kalau kau menjaganya. Kelak kalau kau ingin menikah katakan saia kepada Suhengmu ini gadis mana yang kausukai, tentu aku membantumu sehingga kau berhasil mendapatkannya!” Ucapan ini dikeluarkan dengan muka sungguh-sungguh sehingga ia hanya dapat memandang dengan melongo dan tak dapat mengeluarkan kata-kata!

 Akan tetapi, sementara itu Lin Lin sudah tak dapat menahan marahnya lagi. Gadis ini sampai menjadi pucat karena marahnya dan ia memandang kepada Song Kun seakan-akan ia hendak meremukkan kepala pemuda pesolek itu dengan pandangan matanya kalau mungkin.

 “Bangsat rendah, keparat jahanam! Aku bersumpah hendak membunuh kau!” Sambil berkata demikian, Lin Lin lalu melompat dan mencabut pedang Han-le-kiam, terus menyerang dengan hebatnya!

 Song Kun mengelak dengan mudah sambil berkata, “Sayang, janganlah kau marah-marah, karena dengan setulus hati aku mencintaimu. Salahkah hatiku kalau tertarik dan runtuh melihat kecantikanmu? Lin Lin, ah, namamu indah sekali. Janganlah kau menurunkan tangan kejam kepadaku, sayang!”

 Bukan main marahnya Lin Lin mendengar kata-kata ini sehingga ia menjerit dan menyerang makin hebat sambil mengucurkan air mata karena marah dan mendongkol tak dapat membikin mampus orang itu dengan sekali tusuk! Cin Hai merasa khawatir sekali melihat keadaan Lin Lin, karena ia maklum bahwa kemarahan dan perkelahian akan membuat keadaan Lin Lin makin buruk saja.

 “Lin-moi, mundurlah. Tak perlu kau mengotorkan tanganmu dengan bedebah itu. Biarkan aku yang mengadu jiwa dengan bajingan ini!”

 Sambil berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut sebatang daripada sepasang pedang Liong-cu-kiam yang panjang lalu melompat dan menyerang dengan hebat! Sementara itu, dengan hati membakar panas Lin Lin terpaksa melompat mundur dan berdiri dengan mata berapi.

 Song Kun terkejut melihat bahwa pedang di tangan Cin Hai mengeluarkan sinar gemilang, maka tanpa membuang waktu lagi ia segera mencabut keluar pedang pusakanya Ang-ho-sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah seperti api itu! Ketika Cin Hai menyerang hebat, Song Kun lalu menyabet dengan pedangnya dengan maksud hendak membuat pedang Cin Hai terbabat putus sekaligus! “Trangg!!” Kedua pedang beradu dan berpancaranlah bunga-bunga api yang menyilaukan mata. Cin Hai merasa betapa telapak tangannya tergetar maka menarik pulang pedang cepat-cepat dan memeriksanya. Ia merasa lega karena pedang Liong-cu-kiam tidak menjadi rusak karena peraduan itu. Sementara itu, Song Kun yang juga merasa tergetar telapak tangannya, merasa kaget sekali karena pedangnya ternyata tidak dapat memutuskan pedang Cin Hai. Ia memandang dengan mata terbelalak marah dan kemudian ia menjadi marah sekali.

 “Bangsat! Agaknya kau telah dapat mencuri pedang pusaka! Baik, jangan kira pedang yang baik saja akan dapat melindungi jiwamu! Hari ini tentu kau akan mampus dalam tanganku!!”

 Setelah berkata demikian, Song Kun tiba-tiba menggerakkan pedangnya secara hebat dan ganas sekali sehingga lenyaplah bayangan tubuhnya, menjadi satu dengan sinar pedangnya yang bercahaya merah api bagaikan segulung api yang dahsyat menyambar-nyambar ke arah tubuh Cin Hai dengan gerakan yang cepat dan luar biasa sekali! Cin Hai maklum bahwa baru kali ini ia menghadapi lawan yang betul-betul tangguh dan yang ilmu kepandaiannya tidak berada di sebelah tingkat kepandaiannya sendiri! Bahkan dasar pelajaran mereka datang dari satu sumber. Ia kalah pengalaman, kalah lama berlatih dan dalam hal ginkang, mungkin ia masih kalah cepat oleh Song Kun yang benar-benar memiliki kecepatan yang membuat bayangannya tepat disebut Bayangan Iblis itu!

 Akan tetapi Cin Hai tidak menjadi gentar. Betapapun juga, intisari kepandaian silat belum pernah diturunkan kepada siapa juga oleh Bu Pun Su dan kepandaian itu hanyalah dimiliki oleh Bu Pun Su sendiri, bahkan sute dari Bu Pun Su yaitu Han Le Sianjin yang menjadi guru Song Kun, juga tidak mempunyai pengetahuan ajaib ini. Maka, pengetahuan tentang dasar-dasar dan pokok-pokok pergerakan ilmu silat inilah yang membuat Cin Hai berhati tenang dan tetap, karena pengetahuan ini dapat menutup kekurangan dan kekalahannya dalam hal ginkang dan pengalaman tadi.

 Song Kun merasa penasaran dan marah melihat betapa Cin Hai dapat menahan semua penyerangannya, maka sambil berseru gemas ia menggerakkan pedangnya bagaikan halilintar menyambat-nyambar, dan tangan kirinya juga tidak tinggal diam, akan tetapi mengirim serangan-serangan maut dengan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut dan lain-lain ilmu pukulan yang mengarah jiwa lawannya. Akan tetapi Cin Hai tetap berlaku tenang dan mengembalikan setiap pukulan lawannya dengan hati-hati. Ia cukup maklum akan berbahayanya Song Kun dan maklum pula bahwa sekali saja serangan lawan ini mengenai tubuhnya, maka nyawanya berada dalam bahaya besar. Oleh karena itu, ia berlaku hati-hati sekali dan selain mempertahankan diri, ia juga mengirim serangan balasan yang cukup membuat Song Kun berlaku hati-hati.

 Demikianlah, kedua orang muda itu saling serang dan saling gempur bagaikan dua ekor naga sakti saling menyerang dengan mati-matian. Tubuh mereka tak tampak lagi, dan hanya cahaya pedang mereka yang saling gulung dan saling desak dengan hebatnya. Song Kun memang amat lincah dan cepat, akan tetapi menghadapi Cin Hai yang tenang dan kuat serta yang telah tahu akan semua gerakannya, ia merasa tak berdaya, sungguhpun untuk mengalahkan Song Kun, bagi Cin Hai bukanlah merupakan hal yang mudah. Baik Song Kun maupun Cin Hai merasa betapa baru sekali itu selama hidup mereka menghadapi lawan yang behar-benar tangguh dan berimbang baik tenaga maupun kepandaian.

 Lin Lin memandang pertempuran itu dengan kagum sekali. Bagi matanya yang telah terlatih dan menjadi tajam sekali penglihatannya, ia masih dapat melihat gerakan-gerakan kedua orang itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa gerakan Song Kun masih lebih lincah dan cepat, sungguhpun Cin Hai tidak menjadi terdesak karenanya.

 Song Kun yang merasa amat penasaran karena setelah bertempur puluhan jurus belum juga dapat mendesak Cin Hai, lalu berseru keras dan tangan kirinya bergerak. Sebuah cahaya merah meluncur dari tangannya itu dan Cin Hai melihat betapa sehelai sabuk merah bergerak bagaikan hidup menyambar ke arah lehernya. Cin Hai cepat mengelak ke kiri, akan tetapi sabuk merah itu dengan lihainya bergerak juga ke kiri seakan-akan bernyawa dan kini mengebut ke arah matanya.

 Inilah semacam ilmu kepandaian yang istimewa dari Han Le Sianjin, dan yang telah diturunkan kepada muridnya itu. Cin Hai belum pernah mempelajari, dan juga karena pergerakan sabuk ini bukan mengandalkan gerakan lengan, akan tetapi mengandalkan pergerakan pergelangan tangan, maka sukarlah bagi Cin Hai untuk dapat melihat dan mengikuti gerakan lawannya ini. Setiap pukulan selalu berpusat kepada pundak yang menjadi pangkal lengan, akan tetapi sabuk ini digerakkan oleh Song Kun dengan menggerakkan pergelangan tangannya tanpa mempengaruhi lengan, hingga Cin Hai kali ini benar-benar tak dapat menduga lebih dulu ke mana sabuk lawan itu akan meluncur! Song Kun maklum pula bahwa Cin Hai tentu telah mewarisi ilmu kepandaian Bu Pun Su yang sakti, yaitu ilmu kepandaian mengenal dan mengetahui segala pokok-pokok dan dasar pergerakan ilmu pukulan, maka ia sengaja mengeluarkan sabuknya itu untuk mencapai kemenangan. Dulu suhunya, Han Le Sianjin pernah berkata kepadanya bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su tak ada lawannya di dunia ini oleh karena Bu Pun Su telah memiliki pengetahuan tentang pokok dan dasar ilmu silat, akan tetapi apabila Bu Pun Su menghadapi senjata yang digerakkan dengan pergelangan tangan seperti senjata sabuk yang lihai itu, tentu Bu Pun Su sendiri takkan dapat menduga sebelumnya ke mana sabuk itu ikan diserangkan!

 Benar-benar Cin Hai terkejut ketika tahu-tahu sabuk itu telah mengejarnya dan mengancam matanya. Ia tidak mau mengelak lagi, akan tetapi segera mengerjakan Liong-cu-kiam di tangannya untuk membuat putus sabuk yang berbahaya itu. Akan tetapi tiba-tiba ia berseru terkejut karena bukan saja pedangnya tidak mampu membabat putus sabuk itu, bahkan sabuk merah itu lalu membelit pedangnya sehingga tak dapat digerakkan lagi!

 Lin Lin melihat pula hal ini dengan jelas, maka bukan main rasa kuatirnya melihat keselamatan kekasihnya terancam bahaya. Ia menjerit keras dan roboh pingsan! Dalam keadaan seperti itu, Lin Lin lupa akan pantangannya dan menjadi kuatir sehingga racun di dalam tubuhnya menyerang jantung dengah hebat yang membuatnya roboh pingsan.

 Sementara itu, ketika sabuk merahnya telah berhasil membelit pedang Cin Hai, Song Kun sambil tertawa mengejek lalu menyerang dengan pedang Ang-ho-sian-kiam di tangan kanannya ke arah dada Cin Hai!

 Sebetulnya bukan karena pedang Liong-cu-kiam kurang tajam maka tak dapat membabat putus sabuk itu, akan tetapi oleh karena sabuk itu terbuat dari sutera lemas dan ulet sekali hingga tentu saja kalau berada di tangan seorang ahli yang tinggi ilmu lweekangnya, pedang yang bagaimana tajam pun akan kehilangan dayanya dan takkan dapat membabatnya putus, biarpun pedang Liong-cu-kiam itu akan membabat putus segala macam senjata besi atau baja.

 Biarpun berada dalam keadaan yang amat berbahaya, namun murid Bu Pun Su ini tidak menjadi bingung atau gentar. Secepat kilat ia mencabut pedang Liong-cu-kiam pendek yang masih terselip di punggungnya dan dengan pedang ini di tangan kiri ia menangkis tusukan pedang Song Kun pada dadanya, kemudian ia menggunakan pantulan pedang untuk membabat sabuk yang masih melibat pedang di tangan kanan. Sekali sabet saja, sabuk itu terputus menjadi dua potong! Ini dapat terjadi oleh karena setelah melibat pedang maka sabuk itu menjadi tertarik dan tertahan oleh pedang yang dilibatnya dan tangan Song Kun yang memegangnya, maka dalam keadaan merentang ini tentu saja dengan mudah sabuk itu dapat dibabat putus!

 Song Kun terkejut sekali, akan tetapi, pada saat itu terdengar jerit Lin Lin yang roboh pingsan, Cin Hai cepat melompat dan setelah melihat kekasihnya roboh pingsan, ia lalu menyimpan pedangnya dan menubruk kekasihnya itu dengan bingung dan cemas.

 “Lin Lin... Lin-moi... ah, mengapa kau berkuatir...?”

 Melihat betapa Cin Hai dengan wajah pucat memeluk Lin Lin dan melihat pula muka gadis itu yang menjadi pucat bagaikan mayat, Song Kun merasa heran dan juga kaget. Ia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa dalam keadaan sesulit itu Cin Hai masih dapat menyelamatkan diri bahkan berhasil pula membabat putus pedangnya, maka diam-diam ia merasa amat kagum dan juga sedikit jerih. Kini melihat Lin Lin roboh pingsan bagaikan telah mati, ia merasa kasihan dan berkuatir. Memang di dalam hatinya, ia amat mencinta gadis itu.

 “Dia kenapakah...?” tanyanya terheran.

 Tanpa menengok, Cin Hai lalu menjawab, “Dia telah terkena racun jahat dari Hai Kong Hosiang, dan dalam seratus hari dia akan mati.”

 “Apa...?? Dia tidak boleh mati. Apakah tidak ada obatnya?” tanya Song Kun dengan hati berdebar cemas.

 Cin Hai mengangguk. “Hanya ada satu macam obat dan obat itu berada di tangan Hai Kong Hosiang. Untuk itulah maka kami berdua menuju ke barat.”

 “Racun apakah itu?”

 “Racun Ular Hijau yang jahat dari yang hanya terdapat di daerah Mongol, maka obatnya pun harus dari sana.”

 “Tidak, dia tidak boleh mati! Dia harus menjadi isteriku, karenanya dia tidak boleh mati! Cin Hai, biar aku titipkan dulu dia kepadamu dan karena itulah maka kau tidak kubunuh sekarang dan kuberi ampun. Aku hendak mencari obat untuknya dan setelah dapat, akan datang menjemput calon isteriku ini!”

 Song Kun lalu menyimpan pedangnya dan melompat pergi lalu lari cepat sekali. Cin Hai tidak mempedulikannya, bahkan menengoknya pun tidak oleh karena ia merasa gelisah sekali melihat betapa wajah Lin Lin menjadi agak kebiru-biruan.

 Akan tetapi ternyata bahwa serangan racun itu hanya berlangsung sebentar saja dan tak lama kemudian Lin Lin telah siuman kembali. Cahaya merah kembali ke mukanya dan ia membuka matanya. Ketika ia melihat bahwa ia berada dalam pelukan Cin Hai, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan terisak menangis.

 “Lin-moi, mengapa kau melanggar pantanganmu?”

 “Hai-ko, aku tidak ingat akan hal itu, aku terlalu kuatir melihat kau terancam bahaya sehingga aku terlupa bahwa aku tidak boleh berkuatir.”

 Cin Hai tersenyum. “Jangan kuatir, Moi-moi. Biarpun harus kuakui bahwa Song Kun memang lihai, akan tetapi aku takkan kalah terhadapnya. Lihat sajalah kalau lain kali ia berani mengganggu kita lagi akan kuhabiskan nyawanya!”

 “Dia di mana, Koko?”

 Cin Hai hendak menceritakan apa yang telah terjadi, akan tetapi ia takut kalau-kalau Lin Lin akan merasa berkuatir mendengar betapa pemuda pesolek itu hendak mencari obat baginya dan hendak kembali menjemputnya kelak! Maka ia lalu menjawab, “Setelah aku berhasil membabat putus sabuk merahnya, agaknya ia menjadi jerih dan lalu melarikan diri.”

 Lin Lin menarik napas lega dan mereka lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat dengan perlahan dan tidak tergesa-gesa.

 Pada suatu hari, seperti biasa, Ang I Niocu berjalan-jalan di depan gua-gua Tung-huang untuk memeriksa keadaan gua tempat harta pusaka itu tersembunyi, dan kali ini ia dikawani oleh Ma Hoa.

 Tiba-tiba ia merasa terkejut sekali ketika melihat beberapa orang Mongol berkerumun di depan gua itu! Ia berseru,

 “Ma Hoa, celaka, agaknya mereka telah menemukan tempat itu.”

 Maka berlari-larilah Ang I Niocu dan Ma Hoa ke tempat itu dan ketika mereka tiba di situ, ternyata bahwa orang-orang itu dipimpin oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, Bo Lang Hwesio, dan lain-lain perwira Mongol!

 Melihat fihak lawan yang berat dan cukup banyak ini, Ang I Niocu tidak mau berlaku sembrono, karena ia menduga bahwa biarpun gua itu telah mereka temukan, akan tetapi belum tentu mereka dapat mencari tahu tentang rahasia pembuka lubang tempat penyimpanan harta pusaka. Ia lalu menarik tangan Ma Hoa dan diajaknya bersembunyi di balik sebuah gunung karang yang kecil dan mengintai dari situ.

 Tak lama kemudian, dari jurusan lain datanglah serombongan orang yang bukan lain ialah rombongan perwira kerajaan yang dipimpin oleh Kam Hong Sin! Selain panglima yang lihai ini, tampak juga Ceng Tek Hosiang, Ceng To Tosu dan banyak perwira-perwira tinggi lainnya yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.

 Pihak Mongol yang melihat kedatangan para perwira kerajaan itu, lalu maju menyerbu dan terjadilah pertempuran hebat di depan gua rahasia, Ang I Niocu dan Ma Hoa memandang dengan penuh kekuatiran, karena dengan adanya dua fihak sama-sama menghendaki harta pusaka itu, maka keadaan lawan makin bertambah berat saja.

 “Biar...” bisik Ang I Niocu sambil menggenggam tangan Ma Hoa, “biar mereka saling gempur hingga binasa seluruhnya!”

 Pertempuran berjalan ramai sekali, karena kedua fihak sama kuat. Kam Hong Sin yang tangguh itu mendapat lawan berat, yaitu Thai Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu melawan Sian Kek Losu, dan Ceng Tek Hwesio melawan Bo Lang Hwesio! Sesungguhnya, di antara ketiga pasangan ini, fihak Mongol lebih kuat, akan tetapi oleh karena di fihak tentara kerajaan masih terdapat beberapa orang perwira yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mengeroyoknya, maka keadaan mereka menjadi seimbang.

 Pada saat Ang I Niocu dan Ma Hoa sedang menonton dengan hati tegang, tiba-tiba datang rombongan lain dan ketika mereka memandang, mereka menjadi girang sekali, karena di dalam rombongan orang itu terdapat Bu Pun Su!

 Akan tetapi, kegirangan mereka segera berubah menjadi keheranan dan kekuatiran karena ternyata bahwa yang datang bersama Bu Pun Su adalah seorang nenek bertelanjang kaki, seorang pendeta Mongol, seorang perwira Mongol, dan juga Hai Kong Hosiang! Melihat Hai Kong Hosiang yang jahat dan yang mereka benci ini berjalan bersama Bu Pun Su, sungguh membuat kedua orang gadis itu berdiri bengong saking herannya!

 Melihat pertempuran hebat itu, Bu Pun Su lalu menghampiri mereka dan berseru keras, “Tahan pertempuran ini!”

 Suaranya amat nyaring dan berpengaruh hingga Ang I Niocu dan Ma Hoa sendiri yang berdiri di tempat agak jauh juga terkena getaran suara dan terpengaruh oleh gema suara itu. Apalagi mereka yang sedang bertempur, mendengar suara ini mereka tak terasa lagi segera melompat mundur dan menahan senjata masing-masing. Mereka memandang kepada kakek itu dengan terheran-heran.

 Thai Kek Losu dan kawan-kawannya yang melihat Balaki datang bersama kakek itu menjadi terkejut, akan tetapi sebelum mereka bertanya, Bu Pun Su telah mendahuluinya dengan ucapan yang halus,

 “Kalian ini bertempur bukanlah memperebutkan harta pusaka yang tersimpan di dalam gua ini? Bodoh amat! Untuk apa bertempur mengadu jiwa hanya untuk setumpuk harta yang tidak berharga dan yang hanya mendatangkan kekacauan belaka?”

 Biarpun sikap Bu Pun Su lemah lembut dan kelihatannya seperti seorang lemah, namun menyaksikan pengaruh yang keluar dari bentakannya tadi, baik pihak Mongol maupun pihak perwira kerajaan dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi.

 “Kami yang mendapatkan tempat ini, akan tetapi perwira-perwira kerajaan hendak merampasnya dari kami!” kata Thai Kek Losu sebagai pembelaan diri.

 “Tempat ini termasuk wilayah kerajaan, tak boleh orang lain memiliki harta pusaka itu selain Kaisar!” kata Kam Hong Sin dengan suara garang.

 Bu Pun Su tersenyum dan menjawab, “Semua salah! Yang mendapatkan tempat ini bukan orang-orang Mongol dan yang berhak memiliki harta ini bukanlah Kaisar, karena harta ini berasal dari milik rakyat yang dirampok! Daripada bersitegang dan mencari kebenaran sendiri dengan berperang mengorbankan nyawa dengan sia-sia, lebih baik diatur begini saja. Kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian dan siapa yang paling pandai, dialah yang berhak memiliki tempat ini!”

 “Boleh, bolehl” kata Thai Kek Losu yang merasa bahwa pihaknya lebih banyak mempunyai orang-orang lihai. “Kita majukan tiga jago masing-masing, dan dari pihak kami, aku majukan tiga orang, yaitu aku sendiri, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.” Sambil berkata demikian, Thai Kek Losu menunjuk kepada Sian Kek Losu dan kepada Bo Lang Hwesio, akan tetapi ia merasa heran sekali melihat betapa Bo Lang Hwesio sedang memandang kepada Bu Pun Su dengan wajah pucat!

 “Ia... ia adalah Bu Pun Su yang lihai...!” kata Bo Lang Hwesio dengan berbisik hingga Thai Kek Losu yang pernah mendengar nama ini pun menjadi gentar sekali.

 “Kam Hong Sin, kau boleh majukan tiga orang jago-jagomu!” Thai Kek Losu menantang kepada perwira itu, akan tetapi Kam Hong Sin membentak marah.

 “Aku tidak mau mentaati perintah siapa juga selain perintah dari Kaisar! Betapapun juga, tak boleh orang-orang menggunakan aturan sendiri seakan-akan di negara ini tidak ada pemerintah!”

 Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan Hai Kong Hosiang maju ke depan. “Tidak turut pun tidak apa! Pendeknya masing-masing fihak harus mengajukan paling banyak tiga orang jagonya. Fihakku hanya cukup mengajukan seorang jago saja! Ha-ha-ha! Yang tidak merasa gembira untuk ikut dalam pertandingan ini boleh mundur dan jangan mengganggu orang lain!”

 Thai Kek Losu memberi isyarat dengan tangan kepada Balaki dan memanggil perwira Mongol itu untuk datang mendekat, akan tetapi Balaki tertawa mengejek saja tanpa mempedulikannya.

 “Balaki, kau tidak menurut perintahku'?” teriak Thai Kek Losu dengan marah dan heran.

 Balaki tertawa. “Siapa sudi menurut perintahmu? Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi denganmu!”

 Thai Kek Losu dan kawan-kawannya tercengang mendengar ini. “Balaki, kau hendak menjadi pemberontak?”

 “Tutup mulutmu!” bentak Hai Kong Hosiang dengan marah.

 Pada saat itu, kembali muncul serombongan orang dan ternyata yang kini muncul adalah rombongan orang-orang Turki pengikut Pangeran Muda dan yang dikepalai oleh Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga saudara Kang-lam Sam-lojin, diikuti pula oleh beberapa orang perwira lain. Ternyata bahwa Siok Kwat Mo-li dan kawan-kawannya masih penasaran dan melanjutkan usaha mereka mencari harta pusaka itu sambil mengerahkan orang-orang Turki dan membohongi mereka dengan janji bahwa setelah harta pusaka bisa didapatkan, harta pusaka itu akan diberikan kepada mereka dan dibagi-bagi. Padahal di dalam hatinya, Siok Kwat Mo-li dan juga kawan-kawannya itu sama sekali tidak mempunyai niat untuk membagi harta pusaka itu kepada orang-orang Turki.

 Melihat kedatangan mereka, Hai Kong Hosiang berkata sambil tertawa,

 “Nah, sekarang lebih ramai lagi! Siok Kwat Mo-li, kau datang bersama orang-orang Turki ini hendak melakukan apakah?”

 “Suheng, aku dan Lok Kun Tojin, juga kawan Wai Sauw Pu tadinya sengaja datang memenuhi undanganmu hendak membantu, akan tetapi oleh karena kami tidak dapat bertemu dengan kau, maka terpaksa kami mengambil jalan kami sendiri, dan dalam usaha kami itu ternyata bahwa kawan Wai Sauw Pu telah terbinasa dalam tangan pengikut Pangeran Tua dari Turki dan kawan-kawannya.”

 “Dan sekarang, kau membawa orang-orang Turki ini dengan maksud apakah? Apa kalian juga hendak mencari harta pusaka itu? Kalau memang demikian kehendakmu, lebih baik kau pulang saja dan bawa kawan-kawanmu itu pergi dari sini, karena harta itu adalah bagianku dan kawan-kawanku, dan kau tidak boleh mengganggu!”

 Mendengar ucapan suhengnya itu, Siok Kwat Mo-li merasa penasaran sekali karena dulu suhengnya minta pertolongan dan bantuannya untuk menghadapi lawan-lawannya dan juga untuk mencari harta pusaka itu dengan janji hendak dibagi-bagi, akan tetapi tidak tahunya sekarang suhengnya itu telah memilih kawan-kawan lain. Akan tetapi, oleh karena maklum akan kelihaian Hai Kong Hosiang, ia diam saja tidak berani membantah. Hanya Lok Kun Tojin yang merasa penasaran dan tentu saja ia tidak mau menerima dengan demikian saja. Ia lalu melompat maju menghadapi Hai Kong Hosiang dan membentak keras,

 “Hai Kong! Aku mengingat akan persahabatan di kalangan kang-ouw telah ikut turun gunung dengan Sumoimu ini karena hendak membantumu dan sama-sama mencari pusaka berharga. Akan tetapi sekarang kedatangan kami tidak kauhargai, bahkan kau hendak mengusir kami. Kauanggap kami ini orang macam apakah? Apakah tanpa kau kami tak dapat mencari sendiri dan menggunakan kepandaian kami?”

 “Ha-ha-ha! Lok Kun Tojin, jangan kau menyombong di depanku! Kalau kau hendak mencari harta pusaka itu, siapakah yang sudi melarangmu? Bahkan kuanjurkan agar supaya kalian ikut pula dalam pertandingan memperebutkan harta itu. Lihatlah, semua telah berkumpul dan kita semua telah bermufakat untuk mengajukan masing-masing tiga orang jago. Pihak Mongol telah mengajukan jago-jago mereka, yaitu Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio. Fihak kami mengajukan seorang jago, yaitu kakek jembel ini!” Ia menuding ke arah Bu Pun Su yang berdiri sambil menundukkan kepalanya. “Akan tetapi sayangnya fihak perwira kerajaan agaknya tidak berani mengajukan jago-jago mereka. Ha-ha-ha!”

 “Hai Kong, jangan kau sombong'“ teriak Kam Hong Sin dengan muka merah karena marahnya. “Hendak kulihat kalian ini pemberontak-pemberontak rendah hendak berbuat kurang ajar sampai seberapa jauhnya. Aku tidak sudi mengadakan segala macam perjanjian dengan kalian, dan hendak kulihat saja siapa yang akan berkeras mengambil harta pusaka itu, pasti akan kuhadapi dengan taruhan jiwaku sebagai seorang petugas setia dari Kaisar!”

 Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan berkata, “Kam Hong Sin, baru menjadi panglima besar Kaisar saja kau telah berkepala batu! Kalau saja aku tidak mengingat bahwa semua orang telah menyetujui untuk mengajukan jago-jago masing-masing, tentu akan kuhadapi sendiri orang macam kau! Akan tetapi biarlah aku bersabar dulu, dan kalau tidak mau ikut dalam pertandingan ini, biarlah kau menjadi penonton dan boleh kami anggap sebagai saksi! Ha-ha-ha!”

 Sementara itu, Lok Kun Tojin dan Siok Kwat Mo-li berbisik-bisik mengadakan perundingan, akhirnya Lok Kun Tojin barkata, “Baik, kami ikut dalam pertandingan ini dan kami mengajukan tiga jago kami, yaitu Siok Kwat Mo-li, aku sendiri, dan Sahali.” Sambil berkata demikian ia menunjuk ke arah Siok Kwat Mo-li dan seorang Perwira Turki yang bertubuh pendek kecil dan berkulit hitam.

 “Bagus, bagus! Sekarang akan menjadi ramai!” kata Hai Kong Hosiang sambil tertawa terbahak-bahak.

 Sementara itu Bu Pun Su berpikir bahwa gara-gara Hai Kong Hosiang, maka kalau dilanjutkan, tentu akan terjadi pertandingan hebat dan hal ini tidak ia kehendaki, oleh karena tentu akan banyak terjatuh korban yang terluka hebat atau bahkan binasa. Maka ia segera berkata kepada semua orang dengan suara sembarangan,

 “Aku tua bangka jembel hendak bicara dan kalian semua kalau akan menganggap bicaraku sebagai suatu kesombongan, apa boleh buat. Dengarlah baik-baik. Untuk menyingkat waktu, kupersilakan semua fihak maju seorang demi seorang dan menghadapi aku orang tua. Kalau sampai aku dirobohkan terluka maupun binasa, maka kuanggap bahwa pihakku kalah, dan tidak berhak lagi untuk mendapatkan harta benda itu!”

 Tentu saja ucapan ini dianggap sombong sekali dan semua mata memandangnya dengan penasaran dan marah, kecuali Bo Lang Hwesio yang sudah cukup maklum akan kelihaian Bu Pun Su.

 “Kakek tua! Alangkah sombongmu! Kau seorang diri hendak menghadapi jago-jago Mongol dan Turki sebanyak enam orang. Biarpun kau tangguh dan lihai, patutkah bagi seorang yang berkepandalan tinggi untuk bersikap sesombong ini?”

 Juga Siok Kwat Mo-li yang marah sekali membentak, “Kakek yang mau mampus! Belum pernah selama hidupku mendengar bual seorang sesombong kau! Kau tidak memandang mata kepada kami sekalian!”

 Memang, menurut kebiasaan di kalangan kang-ouw, orang-orang yang sudah tinggi kepandaiannya, biasanya merendahkan diri, karena mereka selalu berhati-hati menjaga kalau-kalau ia kena dijatuhkan orang lain hingga kesombongannya itu hanya akan menjatuhkan namanya belaka. Makin tinggi kepandaian seseorang, makin pendiam dan makin merendahkan dia. Oleh karena ini, ucapan Pun Su tadi tentu saja dianggap keterlaluan sekali dan merasa penasaran dan marah. Akan tetapi, mereka belum mengenal adat Bu Pun Su yang kukoai (ganjil), atau yang sudah pernah mengenalnya juga tidak mengetahui betul adatnya itu. Bu Pun Su tidak biasa menyombongkan kepandaiannya, baru nama yang dipilihnya saja, yaitu Bu Pun Su yang berarti Tiada Berkepandaian, sudah menunjukkan bahwa dia tidak suka akan segala macam nama kosong belaka. Kalau kali ini ia mengucapkan tantangan yang bersifat sombong, bukanlah semata timbul dari watak sombong, akan tetapi karena ia mengandung semacam maksud, yaitu hendak mencegah terjadinya pertumpahan darah hanya karena memperebutkan harta pusaka belaka!

 Melihat kemarahan orang-orang itu, diam-diam Bu Pun Su menjadi gembira karena bahwa maksudnya berhasil baik, maka untuk menambah “minyak” agar api yang mulai membakar hati mereka itu menjadi makin berkobar dan agar persoalan itu cepat selesai, ia lalu menambahkan ucapannya tadi sambil tersenyum,

 “Kalau kalian menganggap aku sombong, biarlah, kuakui bahwa aku memang sombong. Kesombonganku barusan itu masih belum seberapa hebat apabila dibandingkan dengan usulku yang berikut ini. Oleh karena dari pihak kami hanya maju seorang jago dan dari pihak Mongol maupun pihak Turki diajukan tiga orang jago, maka aku tantang kalian untuk maju berbareng, yaitu tiga orang sekaligus!”

 Benar saja, ucapan ini membuat semua orang menjadi bengong dan untuk sejenak mereka tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun. Akhirnya Thai Kei Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio maju berbareng dengan marah dan mereka ini memandang kepada Bu Pun Su dengan muka merah.

 “Bu Pun Su! Aku mendengar namamu dari Bo Lang Hwesio dan sudah lama aku mendengar bahwa Bu Pun Su adalah seorang berilmu tinggi yang sakti dan yang patut disebut Lo-cianpwe (Orang Tua Gagah). Akan tetapi, tidak tahunya Bu Pun Su hanyalah seorang tua bangka yang sudah pikun dan yang menjadi gila dan sombong sekali! Baiklah, kau sendiri yang menantang untuk dikeroyok tiga, dan kalau kau tewas di tangan kami, janganlah merasa penasaran karena kau sendiri yang minta mati!”

 Dimaki sehebat itu, Bu Pun Su hanya memandang dengan senyum simpul dan ia lalu menjawab,

 “Baiklah, Robot. Kalau sampai aku Si Tua Bangka ini terbunuh mati di tangan kalian, tak usah kalian memasang meja sembahyang!”

 Thai Kek Losu marah sekali dan sekali tangannya bergerak, maka ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu tengkorak anak-anak yang dipasang tali. Tengkorak itu diputar-putar hingga dalam pandangan banyak orang seperti kepala seorang anak kecil yang meringis dan suara angin yang masuk dan keluar dari lubang-lubang tengkorak itu terdengar seperti suara tangis. Semua orang bergidik dan merasa ngeri melihat kehebatan senjata ini, akan tetapi Bu Pun Su tersenyum dan berkata,

 “Losu, mengapa bukan kepalamu sendiri yang kauikat itu?”

 Sementara itu, Sian Kek Losu juga mengeluarkan senjatanya yang tak kalah lihainya, yaitu sebuah gendewa bertali, senjata yang jarang sekali dapat dimainkan oleh ahli silat, oleh karena memang amat sukar untuk mainkan senjata ini. Akan tetapi apabila orang telah dapat memainkan, senjata itu merupakan senjata yang amat sukar dilawan karena lihainya.

 Juga Bo Lang Hwesio menarik keluar senjatanya yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil bulu kecil saja, akan tetapi sepasang senjata ini merupakan penyambung tangan untuk melakukan serangan tiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) kepada lawan dan kelihatan sepasang poan-koan-pit ini memang sudah amat ditakuti orang. Memang biasanya Bo Lang Hwesio jarang mempergunakan senjata dalam perkelahian, cukup dengan kedua tangannya ditambah ujung lengan bajunya saja, karena dengan ilmu pukulan tangan kosong saja memang sudah amat sukar mengalahkan dia. Akan tetapi sekarang ia maklum bahwa biarpun mengeroyok tiga, ia menghadapi seorang sakti yang tingkat kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka ia sengaja mengeluarkan senjatanya itu.

 “Sudah siap?” tanya Bu Pun Su dengan tenang. “Nah, mari kita mulai!”

 “Keluarkan senjatamu!” bentak Thai Kek Losu yang sebagai orang berilmu tinggi merasa segan untuk menyerang seorang yang bertangan kosong.

 “Eh, Thai Kek Losu, bukalah matamu baik-baik. Bukankah aku sudah siap dengan empat buah senjataku ini?” sambil berkata demikian ia menggerak-gerakkan dua tangan dan dua kakinya. “Thian telah memberi senjata-senjata yang tiada bandingannya di dunia ini kepada kita, akan tetapi kalian masih saja menanyakan senjata, bukankah itu kurang berterima kasih kepada Thian namanya?” Bukan main mendongkolnya hati Thai Kek Losu mendengar ini. Ia anggap kakek jembel ini menghina sekali.

 “Kau mencari mampus sendiri!” teriaknya dan tengkorak kecil di tangannya itu tiba-tiba menyambar ke arah muka Bu Pun Su dengan cepatnya. Akan tetapi baru saja tengkorak itu bergerak, tubuh Bu Pun Su sudah lebih dulu menyingkir sehingga serangannya mengenai angin saja. Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio juga maju menyerbu dan sebentar saja Bu Pun Su dihujani serangan-serangan kilat yang amat berbahaya dari tiga orang ahli dan tokoh besar itu.

 Bu Pun Su maklum bahwa ketiga orang lawannya ini adalah orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya dan tidak boleh dilawan dengan sembrono, maka ia lalu mengerahkan ilmu kepandaiannya yang luar biasa dan menghadapi mereka dengan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut yang dimainkan secara luar biasa sekali. Kalau Cin Hai yang mainkan ilmu silat ini, maka hanya pada dua lengan tangannya saja mengebulkan uap putih, akan tetapi ketika Bu Pun Su yang mengerahkan tenaga dalamnya mainkan ilmu silat itu tidak hanya kedua lengannya bahkan seluruh tubuhnya mengebulkan uap putih yang melindungi tubuhnya hingga tiap kali senjata lawan mendekati tubuhnya dalam serangan yang dilakukan oleh lawan itu, maka senjatanya seakan-akan tertahan oleh semacam tenaga yang luar biasa kuatnya!

 Ketiga orang pengeroyok itu menjadi terkejut dan kagum sekali karena selama hidup belum pernah mereka menghadapi seorang lawan yang demikian tangguhnya, yang dengan bertangan kosong sanggup menghadapi mereka bertiga dan kini ternyata dapat melawan senjata-senjata mereka dengan baiknya. Jangankan menghadapi, bahkan menyaksikan kepandaian yang seperti ini pun baru sekali ini mereka alami. Namun, sebagai tokoh-tokoh besar yang berilmu tinggi, mereka merasa malu apabila memperlihatkan ketakutan, maka mereka memperhebat serangan dan mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga lweekang mereka juga sudah sampai di tingkat yang tinggi, maka biarpun beberapa kali senjata mereka kena terbentur dan terpental oleh hawa yang keluar dari gerakan kedua tangan Bu Pun Su, namun ada beberapa kali senjata mereka berhasil memecahkan pertahanan itu dan hanya berkat kelincahan dan ginkangnya yang luar biasa saja maka Bu Pun Su dapat terhindar daripada bahaya maut!

 Kalau ia menghendaki, dengan sekali pukulan tangannya yang ampuh, Bu Pun Su akan sanggup menghancurkan tengkorak itu, akan tetapi oleh karena kakek yang sudah banyak pengalaman ini tahu bahwa di dalam tengkorak itu tersimpan senjata-senjata rahasia yang mengandung racun berbahaya hingga kalau tengkorak terpecah, biarpun ia tidak kuatir akan keselamatan dirinya sendiri akan tetapi takut kalau-kalau senjata rahasia itu akan menewaskan orang-orang lain di sekitar tempat itu, maka ia tidak berani memukulnya. Keraguan ini membuat Thai Kek Losu mendapat hati dan menyangka bahwa kakek jembel itu benar-benar merasa gentar terhadap senjatanya, maka ia memutar-mutar senjata lihai itu makin cepat mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Bu Pun Su!

 Sedangkan senjata gendewa di tangan Sian Kek Losu menyambar-nyambar dari atas bagaikan seekor burung garuda yang menyerang kepala dan tubuh bagian atas. Gendewa itu berat dan menyambar dengan dorongan tenaga yang bukan main besarnya hingga biarpun Bu Pun Su sudah sangat lihai namun sekali saja terkena pukulan gendewa itu pada kepalanya, tentu ia akan mengalami celaka! Bo Lang Hwesio juga tidak kurang berbahaya. Sepasang poan-koan-pit di tangannya adalah senjata kecil yang dapat digerakkan cepat sekali mengarah jalan-jalan darah yang paling berbahaya dari tubuh kakek jembel itu. Melihat kelihaian ketiga orang lawannya, Bu Pun Su mengambil keputusan untuk bertindak cepat dan menyingkirkan lawan-lawan ini agar ia tidak membuang waktu terlalu banyak. Tiba-tiba ia berseru keras hingga ketiga orang lawannya itu menjadi terkejut karena jantung mereka tergetar oleh gema suara yang hebat ini. Pada saat itu, tengkorak di tangan Thai Kek Losu sedang melayang dan mengarah kepala Bu Pun Su, senjata gendewa Sian Kek Losu dengan gerakan yang hebat sekali menusuk ke arah ulu hatinya, sedangkan sepasang poan-koan-pit di tangan Bo Lang Hwesio menotok ke arah iganya! Akan tetapi, karena kekagetan tadi membuat mereka agak tercengang hingga gerakan mereka menjadi lambat, Bu Pun Su lalu memperlihatkan kelihaiannya yang benar-benar hebat dan sukar untuk dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya! Kakek jembel itu tidak mengelak dari sambaran tengkorak ke arah kepalanya, bahkan ia lalu mengulur tangan kanan dan menggunakan jari telunjuk dan jari tengah untuk menjepit dan menggunting tali pengikat tengkorak itu hingga dengan mengeluarkan suara nyaring tali itu putus dan tengkorak itu telah berpindah ke dalam tangannya!

 Pada saat itu, sepasang poan-koan-pit telah mencapai sasarannya dan tepat menotok bagian iga Bu Pun Su. Akan tetapi, alangkah terkejut dan herannya hati Bo Lang Hwesio ketika ia merasa betapa kedua poan-koan-pitnya itu mengenai tempat yang lunak, seakan-akan ia telah menusuk air saja! Ia cepat menarik kembali poan-koan-pit itu dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa sepasang poan-koan-pitnya telah patah dua!

 Gendewa di tangan Sian Kek Losu yang lebih berat itu paling akhir datangnya dan dengan kekuatan luar biasa menyambar ke arah ulu hati Bu Pun Su! Kakek jembel ini sudah tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, dan agaknya ulu hatinya pasti akan tertembus oleh ujung gendewa yang keras dan kuat itu! Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu meniup ke arah muka Sian Kek Losu dan ketika angin tiupan yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga khikang hebat sekali itu menyambar mukanya, Sian Kek Losu merasa betapa kulit mukanya menjadi perih dan matanya tak dapat dibuka lagi ! Terpaksa ia memejamkan matanya dan karena terkejut dan sakit, gerakan tusukannya mengendur. Kesempatan ini digunakan oleh Bu Pun Su untuk menjatuhkan diri ke belakang dan berjungkir balik dengan kaki di atas dan kepala di bawah lalu berdiri lagi dan terlepaslah ia dari ancaman senjata gendewa itu. Sebelum Sian Kek Losu dapat membuka mata, Bu Pun Su melompat maju dan sekali ia mengebutkan tangan ke arah tengah-tengah gendewa itu patahlah gendewa di tangan Sian Kek Losu!

 Bu Pun Su tidak berhenti sampai di situ saja dan sekali tubuhnya berkelebat ke arah tiga orang lawannya, mereka merasa tenaga yang besar menyambar ke arah dada, maka mereka terpaksa mengangkat tangan menangkis. Akan tetapi, dengan heran mereka melihat Bu Pun Su melompat mundur lagi sambil tertawa girang, sedangkan mereka tidak merasa mendapat pukulan.

 Selagi tiga orang itu memandang heran, tiba-tiba Hai Kong Hosiang yang tadi berdiri bengong dan bergidik melihat demonstrasi kepandaian yang hebat itu, tertawa bergelak-gelak.

 “Ha-ha-ha! Dengan mudah jago kami menjatuhkan ketiga jago dari Mongol! Thai Kek Losu, kau dan kawan-kawanmu telah kalah, maka kalian harus mundur dan memberi kesempatan kepada jago-jago lain untuk mencoba kepandaian mereka!”

 Thai Kek Losu memandang dengan marah, “Kami memang telah kehilangan senjata, akan tetepi itu bukan berarti bahwa kami telah kalah, karena kami belum dirobohkan!”

 Hai Kong Hosiang kembali tertawa bergelak. “Manusia goblok dan tidak tahu kebodohan sendiri! Kalian telah mendapat ampun dari jago kami, akan tetapi masih belum mengakui kebodohan sendiri? Lihatlah dadamu, Thai Kek Losu dan kalian juga, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!”

 Ketiga orang pendeta itu melihat ke arah dadanya, dan terkejutlah mereka oleh karena baju mereka pada bagian dada sebelah kiri ternyata telah berlubang! Mereka menjadi pucat dan bergidik oleh karena ternyata bahwa setelah membalas dengan satu kali serangan saja, kakek jembel itu telah berhasil membuat baju mereka berlubang dan kalau saja kakek itu menghendaki, maka untuk membunuh mereka bagi kakek itu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan sendiri!

 “Hebat, hebat!” Thai Kek Losu menarik napas panjang. “Bu Pun Su, kepandaianmu membuat aku merasa takluk dan aku mengaku kalah.” Setelah berkata demikian, Thai Kek Losu lalu memberi perintah kepada semua anak buahnya untuk mundur dan ia bersama kawan-kawannya lalu pergi dari situ.

 “Thai Kek Losu, bawalah senjatamu ini dan jangan pergunakan lagi senjata itu karena akhirnya tentu akan mencelakakan dirimu sendiri!” teriak Bu Pun Su sambil melempar tengkorak itu ke arah Thai Kek Losu.

 Thai Kek Losu mengulurkan tangan menyambut tengkorak kecil itu dan berkata sambil tersenyum, “Biarpun aku sudah kalah olehmu, namun kau tak berhak melarang aku mempergunakan senjata buatanku sendiri!” Setelah berkata demikian, dengan hati penuh dendam, Thai Kek Losu lalu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. Ia telah merasa putus harapan oleh karena menghadapi kakek jembel itu ia tak berdaya dan percuma saja kalau ia hendak melanjutkan usaha mencari harta pusaka, maka ia lalu memimpin anak buahnya untuk kembali kepada Yagali Khan membuat laporan.

 “Sekarang dipersilakan jago-jago Turki untuk memperlihatkan kepandaian,” kata Hai Kong Hosiang yang merasa girang sekali karena sebagaimana telah ia duga, dengan adanya Bu Pun Su di pihaknya, maka dengan amat mudah mereka mengalahkan pihak lawan yang hendak memperebutkan harta pusaka itu. Memang, biarpun tidak ada bantuan dari Bu Pun Su, belum tentu ia dan kawan-kawannya yang cukup lihai akan dapat dikalahkan oleh pihak lawan, akan tetapi hal itu merupakan hal yang belum pasti dan juga amat berbahaya.

 Siok Kwat Mo-li, Lo Kun Tojin, dan Perwira Turki yang bernama Sahali itu, ikut merasa terkejut melihat kehebatan sepak terjang Bu Pun Su tadi, akan tetapi sebagai orang-orang berilmu tinggi, tentu saja mereka pun tidak sudi menyerah sebelum mencoba. Kini mendengar ucapan suhengnya yang telah menipunya, Siok Kwat Mo-li lalu mencabut keluar senjatanya yang lihai, yaitu sebatang tongkat hitam, diikuti oleh Lok Kun Tojin yang mengeluarkan sepasang rodanya dan Perwira Turki itu mengeluarkan sepasang golok (siang-to) yang tajam mengkilap.

 “Bu Pun Su, jagalah serangan kami!” seru Siok Kwat Moli dengan keras sambil memutar-mutarkan tongkat hitamnya. “Majulah, majulah!” jawab Bu Pun Su tenang.

 Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang tadi bersembunyi dan mengintai, ketika menyaksikan pertandingan antara Bu Pun Su dan tiga orang jago tadi, saking tertariknya mereka telah keluar dari tempat persembunyian dan memandang penuh kekaguman, akan juga dengan keheranan besar mengapa Bu Pun Su bekerja sama, bahkan membela Hai Kong Hosiang yang jahat! Hal ini sungguh-sungguh membuat Ang I Niocu heran dan juga penasaran, akan tetapi ia memang sudah maklum akan adat aneh dari susiok-couwnya itu, maka ia hanya menonton dan tidak berani mengganggunya.

 Sebetulnya, kalau mau dibuat pertandingan tentang ilmu kepandaian maka tingkat ilmu kepandaian jago-jago yang berdiri di pihak Turki ini dengan jago-jago Mongol yang telah dikalahkan tadi, mungkin masih lebih tinggi kepandaian jago-jago Turki ini karena di situ terdapat Siok Kwat Mo-li yang amat lihai sedangkan senjata Lok Kun Tojin yang merupakan sepasang roda itu amat berbahaya sekali. Juga Sahali bukanlah seorang lemah karena dia adalah jago yang sudah amat disegani di Turki dan merupakan tangan kanan Pangeran Muda. Maka mengingat akan kepandaian sendiri, ketiga orang ini tidak menjadi gentar bahkan mempunyai harapan untuk merobohkan Bu Pun Su dan mendapatkan harta pusaka yang belum pernah mereka lihat itu. Hasil penyelidikan mata-mata mereka membuat mereka tahu bahwa gua tempat harta pusaka disembunyikan itu telah didapatkan oleh orang-orang Mongol, maka mereka lalu menyerbu ke situ hingga secara kebetulan semua pihak dapat bertemu di depan gua di mana tersembunyi harta pusaka yang diperebutkan.

 Bu Pun Su menghadapi ketiga orang lawannya yang baru ini dengan ketenangan yang amat mengagumkan. Dari gerakan-gerakan senjata ketiga lawannya yang mewakili pihak Turki ini, ia dapat memaklumi bahwa ilmu silat mereka ini tak kalah lihainya dari kepandaian ketiga lawan yang telah dikalahkan tadi, maka dia berlaku amat hati-hati.

 Siok Kwat Mo-li adalah sumoi dari Hai Kong Hosiang yang jahat dan lihai, maka tongkat hitam di tangannya pun berbahaya sekali. Ketika ia membuat gerakan menyerang maka tongkat itu seakan-akan berubah menjadi banyak seperti ular-ular hidup berlenggak-lenggok menyambar ke arah tubuh Bu Pun Su. Ternyata bahwa seperti halnya Hai Kong Hosiang, ilmu tongkatnya berdasarkan ilmu tongkat Jeng-coa-tung-hwat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang mempunyai gerakan-gerakan luar biasa cepatnya.

 Lok Kun Tojin mempunyai sepasang senjata roda bertali yang jarang dapat dimainkan orang karena memang amat sukar untuk memainkan senjata macam itu, akan tetapi di tangan pendeta itu sepasang roda bertali merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya, yang menyambar-nyambar bagaikan mustika-mustika naga bermain-main di udara.

 Perwira Turki bernama Sahali itu adalah tangan kanan Pangeran Muda dan ilmu golok sepasang yang dimainkannya ini hebat dan berbahaya. Ia mempunyai cara bertempur yang, aneh dan ilmu silatnya pasti akan membingungkan lawannya karena di Tiongkok tidak terdapat ilmu golok seperti itu, akan tetapi kini ia menghadapi Bu Pun Su yang mengenal ilmu silat bukan berdasarkan permainannya, akan tetapi berdasarkan gerakan kaki tangan yang bagaimanapun juga mempunyai dasar-dasar yang sama.

 Sebagaimana diketahui, rombongan ini tadinya dibantu oleh Wai Sauw Pu yang lihai dan juga Kang-lam Sam-lojin. Akan tetapi Wai Sauw Pu telah tewas dalam tangan Ibrahim, sedangkan Kam-lam Sam-lojin yang merasa gentar menghadapi lawan-lawannya, telah melarikan diri dan kembali ke timur, lenyap nafsu mereka untuk ikut mencari harta pusaka itu karena maklum bahwa mereka akan menghadapi lawan-lawannya yang luar biasa tangguhnya. Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li dan Lok Kun Tojin yang berilmu tinggi, tidak putus harapan biarpun ditinggalkan oleh kawan-kawannya ini apalagi ketika dari pihak Turki yang mereka bantu itu datang pula Sahali yang lihai.

 Tadi ketika Bu Pun Su dikeroyok tiga oleh Thai Kek Losu dan kawan-kawannya, Siok Kwat Mo-li telah melihat dengan penuh perhatian. Permainan silat Pek-in-hoat-sut yang hebat itu terlihat amat kuat menghadapi lawan dari depan maupun dari belakang, karena pergerakan kaki tangan secara otomatis berpindah-pindah dan tubuh kakek itu dengan mudah membalik ke belakang, tiap kali bahaya datang dari belakang. Dalam permainannya, seakan-akan kakek itu mempunyai empat mata, di depan dan di belakang! Dan Thai Kek Losu serta kawan-kawannya yang mengeroyok dari depan dan belakang menjadi tidak berdaya! Siok Kwat Mo-li yang cerdik itu dapat melihat hal ini dan kini ia telah mendapat cara untuk mengeroyok kakek jembel itu maka ia berbisik kepada dua kawannya, “Kalian menyerang dari kanan dan kirinya, sedangkan aku akan menghadapinya dari depan!”

 Kini Bu Pun Su dikeroyok oleh lawan yang mempergunakan bentuk segitiga yaitu dari depan, kanan dan kiri, tidak menyerang dari belakang! Serangan yang dilakukan dari tiga jurusan ini jauh lebih berbahaya dari pada serangan yang dilakukan dari depan dan belakang, karena hanya datang dari dua jurusan, maka diam-diam ia merasa kagum dan memuji kecerdikan nenek bongkok itu. Memang benar, ketika dikeroyok dengan cara demikian, ia akan menderita lelah sekali karena kini ia harus membuat lebih banyak gerakan untuk menghadapi ketiga orang lawan itu.

 Bu Pun Su adalah seorang sakti yang pada masa itu sukar dicari bandingannya, maka tentu saja tipu muslihat ini tak membuatnya menjadi bingung. Tiba-tiba ia berseru,

 “Siok Kwat Mo-li, kau benar-benar cerdik. Akan tetapi aku Si Tua Bangka ini tidak mempunyai banyak waktu dan tenaga untuk melayani kalian bermain-main!” Setelah berkata demikian, Bu Pun Su mengambil sepotong gendewa yang telah patah dari Sian Kek Losu tadi yang kini panjangnya hanya tinggal satu kaki lebih. Biarpun benda itu hanya merupakan sepotong baja bengkok, akan tetapi setelah berada di tangan Bu Pun Su, merupakan sebuah senjata yang luar biasa ampuhnya. Kakek jembel ini berseru keras dan baja bengkok itu lalu menyambar hebat, merupakan gulungan sinar yang panjang dan dahsyat.

 “Lepaskan senjata!” terdengar teriakan Bu Pun Su dari dalam gulungan sinar itu, sedangkan tubuh kakek itu sendiri lenyap ditelan gulungan sinar senjatanya yang diputar secara luar biasa itu. Terdengar suara logam beradu keras sekali dan segera disusul pekik kesakitan dan terkejut oleh tiga buah mulut pengeroyoknya. Sepasang golok di tangan Sahali terpental dan melayang ke atas sedangkan dua buah roda dari Lok Kun Tojin juga melayang ke kanan kiri karena talinya telah putus. Adapun Siok Kwat Moli yang memiliki lweekang lebih tinggi daripada kedua orang kawannya itu, masih dapat mempertahankan senjatanya hingga tidak terlepas dari tangannya walaupun kulit telapak tangannya serasa akan pecah. Namun ternyata bahwa tongkatnya tidak sekuat tangannya hingga ketika ia memandang, ternyata bahwa tongkatnya itu telah putus di tengah-tengah dan kini hanya merupakan sebatang tongkat yang amat pendek saja.

 Ternyata bahwa tadi Bu Pun Su telah mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang dahsyat, yang disebutnya Gerakan Halilintar Menyambar Bumi. Kehebatan gerakan ini memang luar biasa hingga jangankan baru ada tiga orang lawap yang bersenjata, biarpun ada puluhan lawan agaknya takkan ada yang dapat mempertahankan sambarannya ini yang dilakukan dengan tenaga lweekang sepenuhnya!

 Siok Kwat Mo-li dan dua orang kawannya berdiri bengung karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana cara kakek itu membuat senjata mereka terpental dan patah-patah. Akan tetapi, nenek bongkok itu menjadi marah sekali dan melihat Bu Pun Su berdiri di depannya dengan tenang, akan tetapi nyata bahwa kakek itu sedang mengatur kembali pernapasannya yang agak tersengal karena tadi ia telah mempergunakan tenaga sepenuhnya sedangkan usianya telah amat tua, maka sambil memekik keras Siok Kwat Mo-li lalu mengayun tangannya dan berhamburanlah jarum-jarum hitam ke tubuh Bu Pun Su!

 Ang I Niocu dan Ma Hoa terkejut sekali melihat hal ini. Sebagai orang-orang yang telah mempelajari ilmu silat tinggi, mereka maklum bahwa pada saat itu Bu Pun Su sedang mengatur napas dan karenanya dilarang membuat gerakan-gerakan besar karena hal ini akan membahayakan keselamatannya. Ma Hoa dan Ang Niocu memang amat tertarik melihat pertandingan ke dua yang lebih hebat itu, maka tak terasa pula mereka telah mendekat, dan bahkan Ma Hoa telah berdiri dekat Bu Pun Su, sedangkan Ang I Niocu yang masih merasa takut-takut kepada Bu Pun Su, berdiri agak jauh.

 Ma Hoa melihat keadaan Bu Pun Su yang berbahaya itu, lalu melompat dengan sepasang bambu runcingnya di tangan. Ia melompat di depan Bu Pun Su dan cepat sekali ia memutar-mutar dua batang bambu runcing itu menangkis jarum-jarum hitam hingga semua jarum dapat dipukul runtuh ke atas tanah.

 “Eh, anak lancang, lekas kau mundur, Im Giok! Jangan perbolehkan kawanmu ini maju!” kata Bu Pun Su dengan suara perlahan, akan tetapi berpengaruh hingga Ma Hoa menjadi terkejut dan segera melompat kembali ke dekat Ang I Niocu.

 Bu Pun Su memandang kepada Siok Kwat Mo-li dan tersenyum. “Kalau kau masih merasa penasaran, kau boleh menyerang lagi dengan jarum-jarummu!”

 Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li yang melihat betapa Ma Hoa dan Ang I Niocu yang telah ia kenal kelihaiannya itu berdiri di situ dan agaknya akan membantu pula kepada Bu Pun Su, merasa bahwa perlawanan dari pihaknya takkan ada gunanya, maka ia memandang dengan mata penuh mengandung kebencian ke arah Ma Hoa, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu membalikkan tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh kawan-kawannya dan semua anak buah Turki.

 Makin sunyilah keadaan di situ sekarang dan hanya tinggal Kam Hong Sin seorang bersama anak buahnya yang masih berdiri di tempat semula. Kam Hong Sin menyaksikan semua pertandingan itu dan diam-diam ia pun amat kagum terhadap Bu Pun Su. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri belum ada sepersepuluh bagian kepandaian kakek itu, akan tetapi Kam Hong Sin terkenal sebagai seorang panglima gagah yang pantang mundur dalam melakukan tugasnya. Sebelum ia dikalahkan, betapapun juga ia tilak mau mengalah begitu saja. Maka ia segera melangkah maju dan menjura kepada Bu Pun Su.

 “Locianpwe, sungguh hebat kepandaianmu dan selama hidupku baru kali ini aku melihat kesaktian sedemikian hebatnya. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar yang berkuasa, aku melarangmu mengambil harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan itu!”

 Bu Pun Su tersenyum dan dalam hatinya ia mengagumi dan memuji sikap yang gagah berani dari perwira ini.

 “Dan bagaimana kalau aku tetap hendak mengambil harta pusaka itu?” tanyanya dengan tenang.

 “Terpaksa aku harus menangkap dan menawanmu untuk dibawa ke kota raja!” Terdengar suara tertawa riuh rendah dan ternyata bahwa yang tertawa itu adalah Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan perwira serta pendeta Mongol yang menjadi kawan-kawannya. Hai Kong Hosiang berkata kepada Balaki, perwira Mongol yang kini menjadi kawannya itu.

 “Balaki, kaulihat bagaimana sombongnya perwira yang masih kanak-kanak itu, ha, ha, ha!”

 Tiba-tiba Bu Pun Su berpaling kepada mereka dan membentak, “Diam! Perwira ini lebih gagah dan jantan daripada kalian semua, mengapa mentertawakannya?”

 Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tercengang mendengar bentakan ini karena mereka benar-benar tak menyangka bahwa Bu Pun Su akan menjadi demikian marah. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya dalam hatinya Bu Pun Su merasa segan untuk melawan perwira yang gagah perkasa dan yang setia akan tugasnya ini.

 “Kam-ciangkun,” kata kakek itu kemudian, “lebih baik Ciangkun kali ini mengalah saja dan kembali ke Kota Raja. Biariah lain kali kalau ada ketika, aku orang tua akan datang menyatakan maaf.”

 “Tak mungkin, Locianpwe. Tugas kewajiban harus dilaksanakan, biarpun aku mempertaruhkan jiwaku. Kalau Locianpwe hendak melanjutkan usaha mengambil harta pusaka itu, betapapun juga terpaksa aku harus turun tangan dan menangkapmu.”

 “Hm, kalau begitu, silakan kau maju dan menangkapku kalau kau sanggup, Ciangkun, dan bukalah matamu baik-baik agar kau tidak melewatkan kesempatan baik ini dengan sia-sia!”

 Kam Hong Sin tak mengerti akan maksud ucapan ini, akan tetapi ia tidak merasa gentar dan ketika Bu Pun Su menantangnya untuk menangkap, ia lalu mempergunakan ilmu tangkapan tangan yang dulu ia pernah pelajari dari seorang perantau dari seberang laut timur. Perantau itu datang dari seberang timur dan dalam perantauannya ke daratan Tiongkok, ia telah bertemu dengan Kam Hong Sin dan memberinya pelajaran silat yang sifatnya seperti Sin-na-hwat. Oleh karena itu, ia memiliki kepandaian yang luar biasa dan sekali ia dapat menangkap kedua lengan orang, maka sukarlah bagi orang itu untuk melepaskan dirinya lagi!

 Ketika Kam Hong Sin melangkah maju hendak menangkapnya, Bu Pun Su hanya berdiri tersenyum dan bahkan mengulurkan kedua lengannya untuk ditangkap! Kam Hong Sin merasa heran dan segera ia menyambar kedua lengan itu untuk terus diputar ke belakang tubuh Bu Pun Su dalam pegangan yang kuat sekali! Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu kedua lengan tangan kakek itu telah ditekuk ke belakang punggung dan ikatan belenggu besi pun takkan lebih kuat dan meyakinkan daripada pegangan ini.

 “Ciangkun, perhatikan baik-baik!” kata Bu Pun Su.

 Kam Hong Sin maklum bahwa tentu kakek itu akan mempergunakan ilmunya untuk melepaskan diri, maka cepat-cepat ia lalu mempererat pegangannya dan menekuk kedua lengan kakek itu makin tinggi di atas punggungnya! Bu Pun Su mengangkat sebelah kakinya ditendangkan ke belakang dengan perlahan hingga Kam Hong Sin yang berdiri di belakangnya itu tentu saja harus mengelak dari tendangan yang mengarah ke bagian berbahaya dari tubuhnya. Ia miringkan tubuh dan mengganti kedudukan kakinya dan saat inilah yang digunakan oleh Bu Pun Su untuk melepaskan diri. Ketika Kam Hong Sin mengangkat kaki untuk membuat perobahan posisi kakinya, tiba-tiba Bu Pun Su membungkuk dan sekali Bu Pun Su berseru keras maka tubuh Kam Hong Sin itu terpelanting melewati kepala Bu Pun Su hingga jatuh tunggang langgang!

 Sampai tiga kali Kam Hong Sin mencoba menangkap Bu Pun Su dengan mengeluarkan berbagai ilmu menangkap, akan tetapi selalu akibatnya terpelanting dan terbanting jatuh di depan kakek itu. Dan anehnya, ketika terbanting itu, Kam Hong Sin tidak merasa sakit karena tidak terbanting keras dan tiap kali melakukan gerakan untuk melepaskan diri dari tangkapan, Bu Pun Su sengaja berlaku lambat hingga Kam Hong Sin dapat mengikuti gerakannya dan dapat memahami ilmu gerakan itu hingga seakan-akan mereka bukan sedang bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi hanya merupakan latihan saja, yaitu Kam Hong Sin mendapat latihan tiga macam ilmu gerakan yang hebat dari Bu Pun Su!

 “Terima kasih atas pengajaran Locianpwe. Saya mengaku kalah dan biarlah kekalahan ini kulaporkan ke Kota Raja” Setelah berkata demikian, Kam Hong Sin lalu memimpin anak buahnya untuk kembali ke timur, memberi laporan tentang gagalnya tugas yang dijalankannya! Walaupun ia merasa penasaran dan kecewa, namun diam-diam ia merasa girang karena menerima pelajaran tipu gerakan yang lihai dari kakek sakti itu!

 Hai Kong Hosiang tertawa dan sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan Ma Hoa, ia berkata keras, “Kalian apakah hendak merebut harta pusaka pula? Kalau demikian halnya, boleh kalian maju melawan jago kami. Ha, ha, ha,”

 Biarpun merasa gemas dan marah, akan tetapi Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani berlaku sembrono di depan Bu Pun Su. Mereka hanya berdiri bingung dan memandang ke arah kakek itu. Ketika Bu Pun Su berpaling kepada mereka, Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Bu Pun Su dengan mengerutkan keningnya, membuat gerakan dengan tangan mengusir mereka dan berkata, “Pergilah, pergilah...”

 Ang I Niocu dan Ma Hoa tak berani membantah dan terpaksa mereka pergi dari situ tanpa berani bertanya apa-apa lagi. Mereka cepat pulang ke rumah Yousuf untuk menceritakan peristiwa mengherankan ini kepada Nelayan Cengeng dan Yousuf.

 Sementara itu, setelah berhasil mengusir semua pihak yang hendak mencari harta pusaka itu, Bu Pun Su lalu membawa kawan-kawannya masuk ke dalam gua itu.

 “Inilah gua penyimpanan harta-pusaka itu.” katanya.

 “Bu Pun Su, kau berjanji untuk mendapatkan harta pusaka itu, bukan hanya guanya,” kata Hai Kong Hosiang dengan senyum menyeringai.

 “Kita harus mencari rahasianya,” keluh kakek jembel itu yang segera mencari-cari. Ia adalah seorang yang sudah mempunyai pengalaman luas, maka biarpun tanpa bantuan peta, ia dapat menduga bahwa patung yang berdiri di dekat dinding itu tentu bukan sengaja dipasang di situ, karena biasanya patung Buddha itu selalu dipasang ditengah dan di tempat yang khusus untuk menjadi pujaan. Maka ia lalu menggerak-gerakkan patung itu dan benar saja, terdengar bunyi di bagian atas dan tampaklah lubang tempat persembunyian harta itu. Bu Pun Su lalu menggerakkan tubuhnya dan memasuki lubang kecil itu sebagaimana dilakukan oleh Cin Hai dahulu. Tak lama kemudian, ia turun kembali dan berkata kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio,

 “Harta ada di dalam sana, kalian boleh mengambilnya dan sekarang keluarkanlah obat untuk muridku itu!”

 “Obat itu tidak ada padaku,” jawab Hai Kong Hosiang.

 Bu Pun Su memandang dengan mata bersinar-sinar hingga Hai Kong Hosiang menjadi takut dan mundur dua langkah.

 “Aku tidak membohongimu, Bu Pun Su. Obat itu memang ada, yaitu dalam tangan dukun tua dari Mongol yang juga sudah kami ajak ke tempat ini dan kami sembunyikan di dalam sebuah tempat rahasia di dalam hutan.”

 “Bawa dulu aku ke sana untuk mengambil obat, setelah itu kauserahkan kepadaku, barulah kalian boleh mengambil harta ini!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su lalu menggerakkan kembali patung itu hingga lubang tadi tetutup kembali.

 “Benarkah harta itu berada di tempat itu?” tanya Wi Wi Toanio kepada Bu Pun Su.

 “Wi Wi, aku adalah seorang laki-laki sejati. Pernahkah aku membohong?” Bu Pun Su mendongkol sekali dan ia kembali menggerakkan patung untuk membuka “Lihatlah sendiri, perempuan curang!”

 Wi Wi Toanio tertawa menjemukan lalu melompat ke atas dan memasuki lubang itu. Sampai lama ia tidak keluar hingga Hai Kong Hosiang terpaksa berseru memanggilnya. Akhirnya kepala perempuan itu muncul kembali dan sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan seorang yang merasa girang sekali.

 “Aduh, bukan main hebatnya!” katanya hingga ucapan yang pendek itu cukup menyakinkan hati Hai Kong Hosiang, Balaki dan kawan-kawannya.

 Bu Pun Su menutup kembali lubang itu dan berkata, “Hayo cepat antar aku ke dukun itu untuk mengambil obatnya!”

 Mereka lalu membawa Bu Pun Su ke dalam sebuah hutan di luar kota, di mana terdapat sebuah pondok yang terjaga oleh beberapa orang Mongol kawan-kawan Balaki, dan ketika mereka datang para penjaga lalu menyambut mereka dengan muka pucat.

 “Celaka, baru saja ada seorang muda yang mengacau di sini. Kami semua tidak berdaya terhadapnya, karena ia lihai sekali!”

 Hai kong Hosiang dan kawan-kawannya, juga Bu Pun Su menjadi terkejut sekali dan mereka segera memburu ke dalam pondok. Dukun tua yang kurus itu duduk di atas bangku sambil menundukkan kepala seperti orang yang mengantuk.

 “Muhambi, apakah yang terjadi?” teriak Hai Kong Hosiang dengan kuatir.

 “Tidak ada apa-apa, hanya seorang pemuda yang memaksaku menyerahkan obat penolak racun dari kembang semut merah itu.”

 Hai Kong Hosiang menjadi pucat. “Celaka! Justru obat itulah yang kami butuhkan! Siapa orangnya yang berani merampasnya?”

 “Entahlah,” jawab Mahambi, dukun itu. “Seorang pemuda tampan yang mengaku bernama Song Kun!”

 Mendengar ini, Bu Pun Su menjadi pucat dan ia segera berkata, “Wi Wi, dan kau Hai Kong! Aku memenuhi janjiku mengusir semua lawan dan mendapatkan tempat disimpannya harta pusaka, akan tetapi ternyata kalian tidak dapat memenuhi janjimu!”

 “Sabar dulu, Bu Pun Su,” kata Hai Kong Hosiang yang segera ia memegang pundak dukun itu sambil mengancam, “Buatkan lagi obat itu untuk kami!”

 Mahambi menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah penuh uban. “Harus menanti berkembangnya kembang semut merah itu kira-kira setengah tahun lagi.”

 “Aku pergi!” kata Bu Pun Su. “Jangan harap kalian akan dapat membawa harta pusaka itu!” Setelah berkata demikian, kakek itu melompat keluar pondok dan lenyap.

 Cin Hai dan Lin Lin yang melakukan perjalanan dengan perlahan dan seenaknya, akhirnya sampai pula di luar batas kota Lan-couw dan mereka lalu berhenti dan beristirahat dalam sebuah gua di luar hutan.

 “Mudah-mudahan Suhu akan berhasil mendapatkan obat itu secepatnya agar hatiku tidak menjadi gelisah sekali,” kata Cin Hai.

 “Hai-ko, jangan kau gelisah. Suhu pasti akan bisa mendapatkan obat itu dan andaikata Suhu gagal, aku pun masih tetap percaya bahwa akhirnya kau akan berhasil menolongku,” kata Lin Lin dengan mata memandang mesra dan penuh kepercayaan.

 Tiga ekor burung sakti, Yaitu Sin-kong-ciak, Kim-tiauw dan Ang-siang-kiam Si burung bangau, melihat kedua orang itu berhenti di dalam gua, lalu melayang turun dan mengeluarkan suara seakan-akan mereka merasa kecewa, karena tempat itu memang kurang menyenangkan bagi mereka. Tempat itu merupakan tanah tak berumput, penuh gunung batu karang dan banyak pula gua-gua besar di situ, dengan batu-batu karang bergantungan dari atas merupakan pedang tajam dan di dalam gua pun lantainya dari batu karang yang menyakitkan kaki bila menginjaknya.

 Akan tetapi oleh karena panas terik matahari membakar tempat yang gundul tak berpohon itu, maka gua di mana mereka berteduh merupakan tempat yang enak dan melindungi mereka dari serangan matahari yang panas.

 “Lin-moi,” kata Cin Hai sambil membelai kepala Sin-kong-ciak yang mendekatinya, “Kalau kita sudah beristirahat dan menghilangkan lelah, kita harus melanjutkan perjalanan memasuki kota Lan-couw. Betapapun juga, aku merasa amat gelisah mengingat akan nasib Suhu yang berada dalam pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat seperti Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya.”

 “Tenangkanlah hatimu, Hai-ko. Suhu bukan sembarangan orang yang akan mudah dicelakai oleh orang-orang macam Hai Kong itu. Aku yakin sepenuh hatiku bahwa Suhu pasti akan tiba dengan segera membawa obat itu.”

 Tiba-tiba Sin-kong-ciak dan kedua burung yang lain itu berteriak keras dan ketiga-tiganya lalu terbang keluar gua sambil memekik-mekik marah. Cin Hai melompat keluar, diikuti oleh Lin Lin.

 Mereka terkejut sekali karena melihat bahwa yang datang itu adalah Song Kun! Ketiga burung itu telah mengenal Song Kun dan telah mengetahui kelihaiannya, maka mereka hanya terbang rendah sambil mengeluarkan suara teriakan seakan-akan memberi tanda kepada Cin Hai dan Lin Lin agar supaya bersiap menghadapi lawan.

 “Obat sudah didapatkan!” teriak Song Kun dengan wajah berseri. “Cin Hai, adikku yang baik. Sekarang akulah yang berhak membawa gadis ini, karena jiwanya berada dalam tangan tanganku. Aku telah mendapatkan obat itu dan akulah pula yang berhak mendapatkannya karena hanya aku yang dapat menyembuhkannya!”

 Cin Hai menjadi pucat dan ia memandang penuh ketidakpercayaan.

 “Kau tidak percaya?” kata Song Kun sambil tersenyum dan melirik ke arah Lin Lin. “Inilah obat itu!” Ia mengeluarkan sebotol obat warna merah dari saku bajunya dan mengangkat tinggi-tinggi.

 “Song Kun! Betulkah bicaramu itu?” tanya Cin Hai dengan hati berdebar.

 “Kauanggap aku ini orang apakah maka bicaraku harus diragukan lagi? Dengar, Sute. Obat untuk menyembuhkan Lin Lin hanyalah sebotol ini yang berada di tangan dukun Mongol. Obat inilah yang seharusnya diberikan kepada orang yang berhasil mendapatkan harta pusaka untuk rombongan yang dikepalai Hai Kong Hosiang, demikian menurut dukun Mongol itu. Akan tetapi dengan berkeras, aku berhasil merampas botol ini, dan segera aku mencari kalian untuk mengobati Lin Lin. Akan tetapi, aku baru memberi obat ini kepada Lin Lin kalau ia mau berjanji untuk menjadi isteriku yang tercinta.” Song Kun berkata demikian sambil mempermain-mainkan botol itu di tangannya dan mengerling ke arah Lin Lin yang menjadi merah mukanya.

 “Suheng!” teriak Cin Hai yang merasa girang dan juga kaget. Girang karana ada harapan bagi Lin Lin untuk sembuh kembali akan tetapi, kaget mendengar permintaan dan syarat Song Kun itu.

 “Kautolonglah Lin Lin dan berikan obat itu kepadanya. Kesembuhannya merupakan hal yang terpenting bagiku dan biarpun kau menghendaki jiwaku, akan kuberikan dengan rela asalkan kau suka menyembuhkan Lin Lin. Akan tetapi, jangan kau memaksanya menjadi isterimu kalau ia tidak suka.”

 Song Kun tertawa bergelak, “Sute, kau membolak-balik omonganmu sendiri. Kau tidak ingin melihat tunanganmu itu meninggal dan juga tidak ingin melihat ia menjadi isteri orang lain! Cin Hai, apakah kau benar-benar mencinta kepadanya?”

 “Tak perlu kau bertanya lagi. Aku rela mengorbankan nyawa untuknya.”

 “Kalau benar cintamu itu murni, kau tentu tidak keberatan untuk mengalah padaku. Pilih saja, membiarkan ia sembuh sama sekali dan menjadi isteriku, atau obat ini akan kubuang dan membiarkan ia mati.” Sambil berkata demikian, Song Kun membuat gerakan seolah-olah ia benar-benar hendak melempar botol itu ke dalam jurang batu karang! Cin Hai menjadi bingung karena ia maklum bahwa seorang macam Song Kun itu bukan hanya pandai menggertak saja, akan tetapi dapat melakukan segala perbuatan yang keji.

 "Jangan buang botol itu, Suheng! Tentu saja aku lebih suka melihat Lin Lin sembuh kembali!”

 “Dan menjadi isteriku?” tanya Song Kun.

 “Soal itu.terserah kepadanya,” jawab Cin Hai tanpa berani memandang muka kekasihnya.

 Lin Lin semenjak tadi mendengarkan percakapan mereka itu dengan hati panas, akhirnya tak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Ia melompat berdiri dan mencabut pedang pendeknya.

 “Song Kun manusia berbatin rendah! Aku lebih baik seribu kali mati dari pada menjadi isterimu. Buanglah botol itu! Kaukira aku takut mati?” Sambil berkata demikian, dengan kemarahan besar gadis itu lalu menerjang Song Kun dengan pedang pendeknya dalam serangan yang hebat. Song Kun cepat menyimpan botol itu kembali ke dalam saku bajunya dan segera mencabut pedangnya Ang-ho-sian-kiam untuk menghadapi serangan Lin Lin yang tak boleh dipandang ringan itu.

 Melihat betapa kekasihnya menjadi nekat, Cin Hai lalu mencabut keluar pedang Liong-cu-kiam dan menerjang sambil berseru,

 “Song Kun, jangan kaulawan dia yang masih lemah. Akulah lawanmu!” Dengan tikaman hebat ia menyerang yang segera ditangkis oleh Song Kun. Lin Lin tetap menyerang dan membantu kekasihnya, akan tetapi Cin Hai yang berkuatir melihat kelemahan Lin Lin segera berkata kepadanya,

 “Lin-moi mundurlah dan biarkan aku menghadapi iblis ini! Aku telah yakin akan perasaan hatimu dan jangan kau kuatir. Kalau perlu, kita akan mati bersama!”

 Lin Lin melompat mundur dan membiarkan kekasihnya menghadapi lawan yang terlampau tangguh baginya itu, apa lagi karena ia memang merasa pening dan lemah. Ia berdiri saja memandang dan menyaksikan pertempuran yang berjalan hebat itu. Sekali lagi kedua orang muda yang lihai itu mengadu kepandaian di antara batu-batu karang yang menjulang tinggi, disaksikan oleh Lin Lin dan tiga ekor burung sakti yang hanya beterbangan di atas dan kadang-kadang saja menyambar turun untuk membantu. Akan tetapi, sinar pedang Ang-ho-sian-kiam yang hebat dan mengeluarkan hawa panas itu membuat mereka tidak tahan mendekati Song Kun dan terpaksa hanya beterbangan di atas mereka yang sedang bertempur sambil mengeluarkan pekikan-pekikan nyaring.

 Karena hatinya telah bulat untuk merobohkan Song Kun yang dibencinya ini, Cin Hai mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia dapat mendesak Song Kun setelah mereka bertempur selama puluhan jurus dengan hebat. Diam-diam Song Kun merasa terkejut sekali karena kini ia mendapat kenyataan bahwa betul-betul pengertian tentang dasar-dasar ilmu silat membuat Cin Hai menjadi lihai sekali dan dapat mengembalikan setiap serangannya bagaimana lihai pun. Juga pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai merupakan senjata ampuh yang dapat mengimbangi kehebatan Ang-ho-sian-kiam yang tadinya merupakan pedang tunggal yang jarang menemukan tandingannya.

 Song Kun adalah seorang yang tidak saja pandai dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi ia juga cerdik dan memiliki sifat curang. Melihat kehebatan sepak terjang Cin Hai, tiba-tiba ia menarik keluar botol obat itu dan membuat gerakan seakan-akan hendak melempar obat itu ke jurang. Gerakan ini tentu saja membuat Cin Hai menjadi pucat, karena betapapun juga, ia tidak ingin melihat obat tunggal itu dibuang hingga jiwa Lin Lin takkan tertolong lagi. Ia menggigil kalau memikirkan bahwa kekasihnya itu akan mati karena racun tanpa dapat ditolong lagi. Botol obat di tangan Song Kun itu nampak olehnya seakan-akan nyawa Lin Lin, maka gerakan Song Kun itu tak dapat tiada membuat ia memekik tanpa terasa lagi,

 “Jangan lempar botol itu!”

 Tentu saja pikiran yang bingung itu membuat gerakan pedangnya menjadi kacau dan pada saat yang tepat, pedang Ang-ho-sian-kiam di tangan Song Kun menyerang seperti kilat dan menusuk ke arah matanya! Cin Hai cepat menundukkan kepala, akan tetapi gerakan itu terlalu cepat cepat hingga ujung pedang masih menggores kulit jidatnya! Darah mengucur dari kulit itu, terus mengalir turun di sepanjang hidung dan pipinya. Cin Hai menggunakan lengan baju tangan kiri mengusap mukanya dan pada saat itu kembali pedang Song Kun meluncur dalam serangan yang dahsyat, yaitu dengan bacokan ke arah lehernya!

 Serangan ini datangnya tak tersangka-sangka, karena rasa perih pada jidatnya membuat Cin Hai kurang dapat memperhatikan pergerakan lawan, maka cepat ia lalu menjatuhkan diri ke belakang untuk berjungkir balik dan menghindarkan diri dari serangan itu, akan tetapi kembali ujung pedang Song Kun masih berhasil melukai kulit pundak kirinya! Darah mengucur lagi dan kini lebih banyak karena sedikit daging di bahunya ikut terpapas oleh pedang yang tajam itu!

 Melihat hal ini, tak tertahan pula Lin Lin menjerit dan roboh pingsan karena kembali kekuatiran telah membuat jantungnya terserang racun di tubuhnya!

 Melihat keadaan kekasihnya, timbullah kemarahan besar di hati Cin Hai. Ia menjadi nekat dan maklum bahwa menghadapi seorang yang tangguh dan kejam semacam Song Kun, ia tidak boleh merasa kuatir karena betapapun juga, tentu Song Kun takkan mau memberikan obat itu kepadanya. Maka ia lalu menggigit bibirnya dan mempererat pegangan tangan pada pedangnya lalu membentak,

 “Song Kun, kalau bukan kau, tentu aku yang akan menggeletak tak bernyawa di tempat ini!”

 Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu mengirim serangan-serangan balasan kilat yang luar biasa hebatnya, karena ia telah mengerahkan seluruh kepandaian dan kecepatannya dan menyerang dengan maksud merobohkan dan membunuh lawannya ini. Memang gerakan serangan Cin Hai ini terjadi dengan otomatis. Dalam keadaan sabar, gerakannya menjadi tenang dan kuat, dan dalam keadaan marah dan menggelora, maka kini gerakan pedangnya menjadi berubah ganas seakan-akan seorang iblis mengamuk! Setiap gerakan pedang merupakan tusukan, tikaman, atau sabetan yang dapat membawa maut!

 Song Kun terkejut sekali. Ia berseru sambil menangkis serangan Cin Hai, “Mundur, kalau tidak, benar-benar obat ini hendak kulempar ke jurang,”

 Akan tetapi, Cin Hai telah menjadi gelap mata dan tidak mau memikirkan lain hal kecuali merobohkan lawan yang dibencinya ini. Ia tidak menjawab, bahkan memperhebat desakannya. Song Kun terpaksa melayani dengan sungguh hati, karena benar berbahaya baginya.

 “Benar-benar kulemparkan botol ini!” teriaknya mencoba sekali lagi, akan tetapi kini Cin Hai tak dapat digertak lagi. Song Kun menjadi gemas dan ia melompat ke belakang, agak jauh dari Cin Hai. Dengan napas memburu karena menahan marahnya Cin Hai mengejar, akan tetapi ia melihat Song Kun benar-benar melemparkan botol itu ke dalam jurang!

 Melihat hal ini, mau tidak mau Cin Hai merasa betapa hatinya menjadi perih seakan-akan melihat Lin Lin meninggal dunia pada saat itu! Ia memekik keras dan ngeri sambil melihat arah botol itu dilemparkan.

 Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam jurang itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di situ dengan botol tadi diangkat tinggi-tinggi.

 “Ha, akhirnya obat ini terdapat juga olehku!” katanya girang.

 Bukan main girangnya hati Cin Hai melihat ini sehingga tak terasa pula air matanya mengalir turun, bercampuran dengan darahnya yang tadi mengucur keluar dari luka di jidatnya.

 Sementara itu, Song Kun menjadi marah sekali.

 “Tua bangka!” ia memaki supeknya. “Kau selalu memusuhi aku dan membela muridmu! Majulah dan mari kita mengadu jiwa di sini!”

 Bu Pun Su hanya tersenyum dengan tenang. “Aku tidak sudi mengotorkan tanganku. Cin Hai, kaulawanlah dia!”

 Cin Hai yang merasa beruntung sekali seakan-akan melihat Lin Lin bangkit kembali dari alam baka itu, segera memutar pedangnya dan berkata,

 “Suhu, teecu mohon ijin dan restu untuk mengakhiri hidup manusia iblis ini!”

 “Memang kejahatan harus dibalas dengan keadilan, dan orang macam dia ini sudah pantas kalau dibasmi. Laksanakanlah tugasmu menjadi wakil mendiang Susiokmu dan juga wakilku!” kata Bu Pun Su yang berdiri dengan tegak dan wajahnya nampak bersungguh-sungguh.

 Cin Hai lalu maju menyerang dan terjadilah pertempuran yang lebih hebat dari tadi. Kini keduanya berusaha keras untuk menjatuhkan lawan, semua serangan dimaksudkan untuk menewaskan lawan itu. Pedang Ang-ho-sian-kiam berubah menjadi gulungan sinar merah, sedangkan pedang Liong-cu-kiam ketika dimainkan, berubah menjadi sinar putih yang terang sekali. Sinar pedang kedua pihak bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan kalau yang menyaksikan pertandingan ini hanya orang-orang biasa, mereka akan merasa heran sekali melihat sinar putih dan merah bergulung-gulung tanpa melihat bayangan orang atau pedang, dan tentu mereka menyangka bahwa dongeng-dongeng tentang para kiam-hiap (pendekar pedang) yang dapat menerbangkan pedangnya yang disebut hui-kiam (pedang terbang) itu memang benar-benar ada!

 Akan tetapi, mata Bu Pun Su dapat melihat dengan nyata betapa Cin Hai berhasil mendesak Song Kun yang kini hanya dapat menangkis saja. Biarpun Song Kun menang gesit dan menang pengalaman serta keuletan, akan tetapi karena pemuda itu selalu menjalankan penghidupan sebagai seorang pemogoran yang terlalu banyak pelesir, maka kesehatannya tidak sedemikian sempurna dan setelah terdesak oleh Cin Hai dalam sebuah pertempuran yang memakan waktu lama dan mereka telah berkelahi seratus jurus lebih, akhirnya ia menjadi lelah dan daya tahannya sudah banyak berkurang. Sebaliknya, Cin Hai yang mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, walaupun banyak darah keluar dari dua lukanya, masih tetap segar dan bahkan mendesak makin hebat!

 Akhirnya Song Kun terdesak sampai ke pinggir jurang dan ketika kaki kirinya menginjak tempat kosong sehingga tubuhnya terjengkang, Cin Hai secepat kilat menusuk ke arah dadanya. Ia masih berusaha miringkan tubuh, akan tetapi kurang cepat dan pedang Liong-cu-kiam telah masuk ke dalam dada kanannya dan tubuhnya lalu terguling masuk ke dalam jurang!

 Cin Hai memandang ke dalam jurang dalam itu dan melihat betapa tubuh Song Kun itu terguling-guling dan makin lama makin kecil sehingga akhirnya lenyap dari pandangan matanya!

 “Bagus, Cin Hai, kepandaianmu sudah banyak maju!”

 Cin Hai bagaikan baru sadar dari lamunan dan ia segera berlutut di depan gurunya tanpa dapat mengeluarkan sepatah pun kata.

 Mereka lalu menghampiri Lin Lin yang masih pingsan dan Bu Pun Su segera menuangkan isi botol itu ke dalam mulut Lin Lin yang dibuka oleh Cin Hai.

 Pemuda itu lalu memondong tubuh Lin Lin, dibawa masuk ke dalam gua agar jangan terserang panas matahari. Bu Pun Su mengikuti dari belakang. Setelah dengan hati-hati sekali dan penuh kasih sayang Cin Hai meletakkan tubuh kekasihnya di atas batu karang, ia dan suhunya lalu duduk tanpa bergerak maupun mengeluarkan suara. Seluruh perhatian mereka menuju kepada keadaan Lin Lin, dengan hati penuh harap dan cemas!

 Makin lama, wajah Lin Lin yang tadinya nampak pucat itu, makin menjadi merah, bahkan terlalu merah bagaikan orang yang sedang marah! Kemudian Lin Lin membuka kedua matanya dan melihat Bu Pun Su, ia lalu melompat dan bangun berdiri. Kedua matanya yang indah itu memandang marah kepada Bu Pun Su dan tiba-tiba ia mencabut Han-le-kiam, terus menyerang kakek itu!

 Tentu saja kejadian ini membuat Bu Pun Su dan Cin Hai terkejut dan heran sekali. Bu Pun Su mengelak dan Cin Hai cepat memburu dan berseru,

 “Lin-moi, mengapa kau menyerang Suhu?”

 “Siapa yang menjadi Suhu? Dia orang jahat! Dia harus dibunuh... lekas kaubantu aku, Hai-ko kekasihku!” Sambil berkata demikian, kembali Lin Lin menyerang Bu Pun Su.

 Cin Hai makin terkejut oleh karena selain gadis ini tidak mengenal pula kepada Bu Pun Su gurunya sendiri, juga di depan orang lain gadis ini menyebutnya “kekasihku” satu hal yang belum pernah terjadi! Dengan hati berdebar kuatir, timbul persangkaan dalam hatinya bahwa kekasihnya ini telah terganggu ingatannya! Maka ia lalu menubruk dari belakang, memeluk pinggang kekasihnya itu dan merampas pedangnya.

 “Lin Lin... dia adalah Suhu kita...!” Dalam pelukan Cin Hai yang kuat, Lin Lin tidak berdaya, akan tetapi, ia masih memandang ke arah Bu Pun Su dengan mata melotot.

 “Lin Lin, aku adalah Bu Pun Su!” kata kakek jembel itu dengan suara mengharukan karena ia merasa bersedih melihat keadaan muridnya yang terkasih itu.

 “Tidak, tidak! Kau laki-laki kurang ajar yang hendak membunuh kekasihku. Pergi... pergi... Kalau tidak, kau akan kubunuh!”

 Setelah memaki-maki lagi, akhirnya tubuh Lin Lin menjadi lemas dan ia jatuh pulas dalam pelukan Cin Hai!

 Bu Pun Su dan Cin Hai menjadi cemas sekali dan ketika Cin Hai membaringkan tubuh kekasihnya di atas lantai gua, ternyata bahwa jalan pernapasan gadis itu normal dan tidak nampak tanda-tanda bahwa kesehatannya terganggu, bahkan ketika ia memeluk Lin Lin yang mengamuk tadi, Cin Hai merasa betapa tenaga gadis itu telah pulih kembali!

 “Bagaimana baiknya, Suhu…?” tanya Cin Hai dengan bingung.

 “Sabar dan tunggulah saja perkembangannya terlebih jauh. Mungkin sekali mereka sengaja memberi obat yang bukan semestinya!”

 Tak lama kemudian, Lin Lin terbangun dari tidurnya dan ia memandang sekeliling bagaikan seorang yang baru saja sadar dari mimpi buruk. Ketika melihat Bu Pun Su, ia lalu maju berlutut dan berseru,

 “Suhu...!”

 Bu Pun Su dan Cin Hai saling pandang dengan mata terbelalak.

 “Lin Lin, mengapa tadi kau mengamuk dan menyerang Suhu?” tanya Cin Hai. Lin Lin memandangnya dengan heran dan menjawab,

 “Hai-ko, apakah arti pertanyaanmu itu? Aku menyerang Suhu dan mengamuk? Ah, kau mengimpi barangkali!”

 Ternyata bahwa Lin Lin tidak ingat sama sekali, bahwa tadi ia telah menyerang suhunya sendiri dan mengamuk bagaikan orang kemasukan setan! Ketika Bu Pun Su memeriksa nadi tangannya, kakek ini mengangguk puas dan untuk melenyapkan rasa penasaran, ia minta gadis itu mainkan ilmu silat dengan pedangnya. Lin Lin lalu mencabut keluar Han-le-kiam dan bersilat di depan guru dan kekasihnya. Mereka berdua merasa kagum karena ternyata gadis ini telah sembuh benar, tenaga dan kegesitannya kembali sedia kala. Akan tetapi kalau mereka mengingat hal tadi, mereka menjadi gelisah juga.

 “Cin Hai, marilah kita datangi mereka itu untuk bertanya kepada dukun Mongol mengapa setelah minum obat itu, Lin Lin menjadi terganggu pikirannya. Lin Lin, kau menantilah saja di sini, dengan kembalinya tenaga dan kepandaianmu kami tidak perlu kuatir meninggalkanmu seorang diri di sini. Apa lagi kau dikawani oleh tiga burung sakti itu.” kata Bu Pun Su yang segera bersuit nyaring memanggil Merak Sakti dan kawan-kawannya. Tiga ekor burung besar melayang turun dan masuk ke dalam gua itu. “Kalian bertiga jagalah baik-baik pada Lin Lin!” kata Bu Pun Su kepada tiga burung itu, kemudian ia bersama Cin Hai lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk mencari keterangan kepada dukun Mongol.

 Setelah menceritakan pengalamannya yang aneh, yaitu tentang pertempuran antara fihak Mongol dan Turki serta kerajaan yang melawan Bu Pun Su hingga membuat Nelayan Cengeng dan Yousuf terheran-heran, Ang I Niocu lalu berkata,

 “Di balik peristiwa itu tentu ada sesuatu yang hebat, karena kalau tidak demikian, tak mungkin Susiok-couw sampai membantu Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya yang jahat itu. Hal ini perlu sekali diselidiki.”

 “Memang hal itu aneh sekali,” kata Kwee An. “Hai Kong terkenal jahat dan banyak tipu muslihatnya hingga maut pun seakan-akan jerih mencabut nyawanya. Ia telah menjadi buta dan terguling ke dalam jurang akan tetapi kini tiba-tiba ia muncul dan sebelah matanya masih dapat digunakan, bahkan ia telah berhasil menarik Bu Pun Su Lo-cianpwe membantunya, tentu ia menggunakan akat muslihat yang keji. Mari kita menyelidiki mereka!”

 “Cin Hai tentu tahu akan hal ini karena ia sedang pergi mencari Suhu itu, maka sudah pasti ia akan segera kembali ke sini. Baiknya aku dan Ma Hoa menyusulnya sehingga dapat bertemu di jalan, sedangkan kalian orang-orang lelaki mencari tahu akan rahasia peristiwa yang aneh itu, sekalian melihat apakah harta pusaka itu telah diambil,” kata Ang I Niocu.

 Semua orang setuju dan demikianlah, Ang I Niocu bersama Ma Hoa lalu keluar dari Lan-couw untuk menyusul atau mencegat kembalinya Cin Hai.


 Ketika mereka tiba di luar kota Lan-couw, tiba-tiba mereka melihat bayangan tiga ekor burung besar sedang terbang berputaran di atas bukit-bukit batu karang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar