Cin Hai mendongkol sekali karena
terang-terangan mereka itu hendak menghina dan mengajaknya berkelahi. Dengan
tenang ia lalu memegang sumpitnya dan dengan perlahan ia memukulkan sumpitnya
pada sumpit yang tertancap di atas mejanya sambil berseru, “Kakek tua,
hati-hatilah kau menggunakan sumpitmu, jangan sampai terloncat ke meja lain!”
Ketika sumpit yang tertancap di atas meja itu kena dipukul oleh sumpitnya,
sumpit itu mencelat dan melayang kembali ke arah Wai Sauw Pu yang masih berdiri
di dekat mejanya sendiri. Kakek bersorban itu menangkap sumpitnya yang melayang
kembali sambil tertawa bergelak dan berkata, “Ha, ha, tidak tahunya bukan
sembarang kutu buku, dan memiliki juga sedikit punsu (kepandaian). Kau patut
menerima penghormatanku. Terimalah sepotong daging sebagai penghormatan!”
Sambil berkata demikian, ia menusuk sepotong daging dan ketika ia mengayun
tangannya, sumpit berikut daging yang tertusuk melayang ke arah mulut Cin Hai.
Pemuda ini merasa marah sekali, maka ia hendak mendemonstrasikan kepandaiannya.
Ia tidak mengelak atau menangkap sumpit yang menyambar ke arah mulutnya itu,
hanya miringkan kepala sedikit dan ketika sumpit itu lewat di depan mulutnya,
ia membuka mulut dan menggigit ujungnya. Daging dan sumpit dapat tergigit
olehnya dan ketika ia meniup, sumpit itu meluncur ke atas lantai dan patah
menjadi dua! Kemudian ia menghadapi Wai Sauw Pu dan mengerahkan tenaga khikang
lalu menyemburkan daging dari mulutnya itu kepada kakek itu, disusul dengan
kata-kata, “Kakek yang baik, kubayar lunas penghormatanmu dan terimalah kembali
daging busukmu!” Daging yang disemburkan itu cepat sekali meluncur ke arah
mulut Wai Sauw Pu.
Kini terkejutlah kakek ini dan ia segera
miringkan kepala hendak berkelit akan tetapi semburan Cin Hai ini selain cepat,
juga tidak terduga hingga biarpun daging itu tidak mengenai mulutnya, akan
tetapi masih menyerempet pipinya hingga terasa pedas dan pipinya ternoda oleh
kuah daging itu!
Wai Sauw Pu menjadi marah sekali. Dengan
tindakan kaki lebar ia lalu menghampiri Cin Hai yang juga belum berdiri dengan
tenang.
“Tikus kecil! Berani betul kau berlaku kurang
ajar di depanku!” teriak Wai Sauw Pu dengan marah sekali.
“Kakek yang baik, pernahkah kau mendengar
sebuah ujar-ujar kuno yang sangat baik! Ujar-ujar itu menyatakan, bahwa
menghormat orang lain berarti menghormat diri sendiri! Kau dan kawan-kawanmu
sengaja menggangguku padahal aku tidak melakukan sesuatu yang salah! Kalau kau
tidak menghormat bahkan menghina orang lain, bukankah itu menyalahi ujar-ujar
itu? Menghormati orang lain berarti menghormat diri sendiri, sebaliknya
menghina orang lain berarti menghina diri sendiri karena dengan perbuatanmu
yang menghina orang lain itu hanya menyatakan betapa rendahnya martabatmu!”
Mendengar ucapan ini, tertegunlah hati Wai
Sauw Pu dan ia mulai menduga bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan. Akan
tetapi, untuk daerah barat nama Wai Sauw Pu sudah terkenal sekali dan apa lagi
ia dihina oleh pemuda itu di depan ketiga orang kawannya, maka tentu saja ia
tidak mau mengalah. “Anak muda, siapakah kau yang berani bermain gila di depan
Wai Sauw Pu si Malaikat Tasbeh? Katakan siapa namau agar aku tidak menghajar
segala oang yang tidak bernama!”
Cin Hai berpura-pura memperlihatkan muka
terkejut dan ketakutan mendengar nama yang sesungguhnya belum pernah dikenalnya
itu. “Ah, kiranya aku berhapan dengan seorang malaikat? Tentu kau masih
terhitung keluarga dengan Giam-lo-ong (Malaikat Pencabut Nyawa), karena menurut
cerita orang Giam-lo-ong juga bertubuh tinggi besar seperti kau! Aku hanya
seorang biasa saja, mana ada kehormatan untuk memperkenalkan nama kepada
malaikat? Sudahlah, kakek yang baik, kaumaafkan aku saja dan jangan kau
mencabut nyawaku!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara sewajarnya dan tidak
mengandung ejekan akan tetapi cukup memerahkan telinga Wai Sauw Pu. “Boleh,
boleh! Kau boleh minta maaf akan tetapi kau harus mencukur gundul dulu kepalamu
di hadapanku, baru aku bisa memberi maaf dan tidak menghancurkan kepalamu!”
Cin Hai adalah seorang yang mempunyai
kesabaran besar, akan tetapi tidak ada ucapan yang akan melebihi sakitnya
terasa di dalam hatinya selain menyuruh dia menggundul kepalanya! Ucapan yang
dikeluarkan oleh Wai Sauw Pu tanpa disengaja itu mengingatkan dia akan
hinaan-hinaan yang dideritanya ketika ia masih kanak-kanak dan berkepala
gundul. Maka ia lalu menjawab,
“Pikiranmu cocok sekali dengan keinginan
hatiku! Aku pun ingin sekali melihat benda apakah yang tersembunyi di dalam
sorbanmu itu! Ingin sekali aku melihat warna kulit kepalamu, apakah kulitnya
sama tebalnya dengan mukamu!”
“Keparat!” teriak Wai Sauw Pu dan tahu-tahu
tangannya telah menarik keluar lihai tasbehnya, senjatanya yang ampuh itu! Dan
tanpa mengeluarkan peringatan lagi, tahu-tahu tasbehnya telah meluncur dan
menyerang ke arah kepala Cin Hai! Pemuda ini dengan tenang lalu mengelak segera
mempergunakan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na untuk menghadapi tasbeh kakek itu
dengan tangan kosong!
Tidak hanya Wai Sauw Pu yang terkejut melihat
gerakan pemuda yang luar biasa cepatnya itu, bahkan kawan-kawannya juga
memandang dengan heran dan kagum. Biarpun tasbeh itu membuat gerakan yang
melingkar-lingkar dan mencegah seluruh jalan keluar, namun dengan cepat tubuh
Cin Hai dapat berkelebat mengikuti gulungan sinar senjata dan menghindarkan
diri dari setiap sambaran tasbeh!
”Kakek yang baik, kaubukalah sorbanmu!” Sambil
berkata demikian, kedua tangan Cin Hai cepat bergerak dan dengan gerakan
Kong-ciak-jio-cu atau Merak Sakti Merampas Mustika, ia mencengkeram ke arah
kepala Wai Sauw Pu dengan tangan kirinya! Kakek itu terkejut sekali dan
mengelak ke kanan, akan tetapi secepat kilat tangan kanan Cin Hai menyusul dan
sebelum Wai Sauw Pu sempat berkelit, sorbannya telah dapat dicengkeram dan
direnggutkan dari kepalanya oleh Cin Hai. Tertawalah anak muda itu ketika
melihat betapa kepala Wai Sauw Pu ternyata gundul pelontos seperi kepalanya
dulu!
“Ha, ha, ha! Pantas saja kau minta aku
mencukur gundul rambutku, tidak tahunya kau telah mendahuluiku mencukur gundul
kepalamu! Ha, ha, alangkah licinnya! Lalat pun akan terpeleset apabila hinggap
di kepalamu!”
Biarpun merasa marah sekali, ketiga kawan Wai
Sauw Pu terpaksa menahan ketawa mereka mendengar kata-kata yang lucu ini.
Mereka bertiga lalu meloloskan senjata masing-masing dan menerjang maju hingga
Cin Hai terkurung di tengah-tengah. Melihat gerakan mereka diam-diam Cin Hai
terkejut juga karena tidak disangkanya bahwa ilmu kepandaian keempat orang ini
ternyata benar-benar tinggi dan hebat! Ia pikir takkan ada gunanya untuk
melawan mati-matian kepada mereka itu, karena bukankah mereka ini mempunyai
hubungan dengan lenyapnya Yousuf dan Lin Lin? Maka ia lalu melompat ke sana ke
mari dan membuat gerakan-gerakan Tarian Bidadari hingga tubuhnya dengan mudah
dapat mengelak dari setiap serangan, sambil berkata,
“Aduh, lihai... lihai sekali, aku terima
kalah!” Ia lalu melompat ke atas dan cepat pergi dari tempat itu, bersembunyi
di tempat gelap di luar rumah makan.
Empat orang itu segera mengejar dan melompat
turun dari loteng hingga semua tamu yang mengenal mereka sebagai orang-orang
berilmu tinggi menjadi panik dan lari ketakutan!
Dengan marah keempat orang itu mencari-cari,
akan tetapi Cin Hai dapat menyembunyikan diri dengan baik, bahkan lalu
mengikuti mereka ketika mereka pergi dengan berlari cepat sekali.
Keempat orang yang diikuti Cin Hai itu menuju
ke sebelah timur kota dan mereka memasuki sebuah pondok. Cin Hai menggunakan
ilmu ginkangnya yang tinggi untuk mengintai tanpa diketahui oleh penghuni
pondok. Ketika ia memandang, alangkah kagetnya oleh karena keempat orang itu
ternyata mengadakan pertetnuan dengan tiga orang tosu bangsa Han yang bukan
lain orangnya ialah Kang-lam Sam-lojin, ketiga tokoh besar dari Liong-san-pai
yang pernah menjad guru-gurunya dulu! Giok Im Cu, Giok Yang Cu, dan Giok Keng
Cu sudah kelihatan tua sekali akan tetapi mereka masih bersikap gagah!
Ketujuh orang di dalam pondok itt sedang
membicarakan tentang pertemuan yang baru dialami oleh keempat orang tua itu
dengan Cin Hai. Si Kakek bersorban berkata,
“Jangan-jangan pemuda yang aneh itu adalah
kawan Yousuf, atau jangan-jangan ia adalah seorang penyelidik dari kaisar! Maka
lebih baik malam ini juga kita menyerbu ke pondok itu untuk menawan Yousuf!”
Setelah mengadakan permufakatan, ketujuh orang
itu lalu keluar dari pondok dan segera berlari menuju ke sebuah hutan yang
berada di luar kota. Cin Hai tetap mengikuti mereka dengan hati berdebar.
Alangkah banyaknya orang-orang pandai yang hendak menawan Yousuf!
Benar-benarkah yang hendak ditawannya Yousuf yang menjadi ayah angkat Lin Lin
itu? Dengan hati menduga-duga dan penuh harapan, Cin Hai terus mengikuti mereka
masuk ke dalam hutan. Malam itu terang bulan hingga mereka dapat berjalan di
dalam hutan tanpa banyak susah. Mereka berhenti di luar sebuah pondok kayu
sederhana yang agaknya masih baru dibangun di tengah-tengah hutan itu.
“Yousuf! Kau keluar dan menyerahlah dengan
damai!” Wai Sau Pu berteriak dari luar. Tiba-tiba api penerangan yang tadinya
nampak bernyala di dalam pondok itu menjadi padam, dan terdengarlah suara yang
merdu dan nyaring dari dalam pondok,
”Kawanan penjahat rendah! Kaukira Nonamu akan
membiarkan kau mengganggu ayahnya?”
Cin Hai hampir berseru karena girang. Itulah
suara Lin Lin! Maka tanpa terasa lagi ia lalu mencabut keluar Liong-coan-kiam
dari dalam jubahnya dan bersiap sedia membantu kekasihnya itu.
Diam-diam Cin Hai lalu mengumpulkan kayu dan
daun kering karena ia pikir bahwa kalau keadaan di luar tidak cukup terang,
maka akan berbahaya sekali bagi Lin Lin. Apabila di luar gelap maka pada saat
gadis itu keluar, mudah ia diserang dengan senjata rahasia, sedangkan tadi di
rumah makan ia sudah mendapat kenyataan betapa kakek bersorban itu pandai
sekali menimpuk dengan sumpit, tanda bahwa ia bisa mempergunakan senjata
rahasia. Setelah kayu dan daun kering ia tumpuk, lalu ia membuat api dan
membakar tumpukan itu hingga berkobarlah api yang membuat tempat itu menjadi
terang sekali!
Mari kita ikuti sebentar dan secara singkat
pengalaman Yousuf dan Lin Lin yang memaksa mereka berlari meninggalkan tempat
tinggal mereka di lereng bukit dekat tapal batas sebelah utara itu.
Sambil menanti berita dari Cin Hai pergi
mencari jejak Ma Hoa dan Kwee An, Lin Lin setiap hari melatih Ilmu Pedang
Han-le Kiam-hwat yang dipelajarinya dari Cin Hai. Di samping itu ia merawat
Yousuf yang terluka dengan penuh kesabaran.
Beberapa hari kemudian, selagi ia melatih ilmu
pedangnya, ia melihat rombongan orang Turki menyerbu naik bukit itu dan jumlah
mereka tidak kurang dari sebelas orang!
“Nona, di mana adanya Yousuf?” tanya seorang
di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebuah golok di
tangan.
“Ada keperluan apakah kalian mencari Yousuf?”
tanya Lin Lin dengan hati-hati
“Kami hendak menawannya!”
Baru saja mendapat jawaban ini, Lin Lin
menyambar dengan hebat hingga pemegang golok itu terpelanting dengan luka pada
lengan tangannya!
“Enak saja kau bicara!” Lin Lin membentak.
“Siapa pun tidak boleh menawan Ayahku!”
Orang-orang Turki itu merasa heran sekali
mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Yousuf sedangkan sepanjang pengetahuan
mereka, Yousuf belum pernah beristeri, apa lagi mempunyai seorang puteri!
Mereka lalu menyerbu dengan hebat yang disambut dengan marah oleh Lin Lin.
Pedang Han-le-kiam di tangannya walaupun hanya pendek, akan tetapi gerakannya
luar biasa, seakan-akan seekor naga sakti mengamuk para penyerangnya.
Akan tetapi, di antara para penyerbu ini
terdapat seorang yang tinggi silatnya, yaitu Lok Kun Tojin dan beberapa orang
Turki yang terkenal jago-jago nomor satu di negaranya! Sebentar saja Lin Lin
terkurung rapat dan terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar pekik nyaring dari atas
dan seekor burung merak besar menyambar turun bagaikan halilintar dan begitu
burung sakti itu menggerakkan sayap dan kakinya, dua batang golok musuh telah
terpental dan orangnya terpelanting!
Akan tetapi, Lin Lin maklum bahwa pihak lawan
kuat sekali, dan apabila diteruskan, ia akan lelah dan kalah, sedangkan Yousuf
masih dalam keadaan lemah! Mengingat bahwa mereka ini datang hendak menawan
Yousuf, ia menjadi gelisah sekali maka secepat kilat ia melompat mundur. Ketika
pihak musuh mengejar, ia berseru,
“Kongciak-ko, kautahan mereka!” Merak Sakti
agaknya mengerti akan maksud perintah ini karena ia lalu menyambar-nyambar dan
menghalangi mereka yang hendak mengejar Lin Lin. Seorang pengeroyok yang
berlaku kurang hati-hati dan terlalu berani, telah kena dipatuk matanya hingga
menjadi buta!
Lin Lin mempergunakan kesempatan itu berlari
cepat ke arah pondok di mana Yousuf sedang duduk dengan wajah muram. Orang tua
ini selain menderita karena lukanya, juga ia merasa gelisah sekali apabila
mengingat akan nasib Kwee An dan Ma Hoa yang terjatuh ke dalam jurang!
“Ayah, Ayah... ayo kita lekas lari!” tiba-tiba
terdengar suara Lin Lin yang masuk dengan wajah pucat.
“Kau kenapa, Nak?” Yousuf bertanya tenang.
“Musuh datang menyerbu! Rombongan orang-orang
Turki yang lihai sekali!”
Yousuf terkejut juga dan akhirnya menurut
untuk melarikan diri dari belakang, sementara musuh ditahan oleh Merak Sakti.
Akan tetapi, oleh karena pihak musuh memang terdiri dari orang-orang pandai,
akhirnya Merak Sakti juga tidak kuat bertahan lebih lama lagi setelah ia
mendapat luka-luka ringan karena tusukan golok, hingga sambil berteriak-teriak
ia lalu terbang tinggi sekali. Ia melihat dua orang kawannya yang berlari
cepat, maka ia lalu melayang dan mengejar mereka.
Ketika rombongan orang Turki menyerbu ke dalam
rumah, mereka hanya mendapatkan rumah kosong dan pada saat itu Yousuf dan Lin
Lin telah cukup jauh. Dengan gemas orang-orang Turki itu lalu membakar rumah
Yousuf serta melaksanakan pengejaran. Di sepanjang jalan mereka melampiaskan
rasa marah dan gemasnya kepada rakyat dusun hingga rakyat dusun banyak yang
menderita dan menjadi korban keganasan mereka.
Sementara itu, Lin Lin dan Yousuf terus
melarikan diri, dikawal dari atas oleh Merak Sakti. Beberapa kali mereka
tersusul oleh rombongan pengejar, akan tetapi berkat kegagahan Lin Lin dan
pembelaan Merak Sakti yang setia, mereka selalu dapat dipukul mundur hingga
akhirnya mereka hanya mengejar dari belakang tanpa berani menyerang lagi.
Akhirnya Lin Lin dan Yousuf tinggal dalam
hutan itu dan mereka menyangka bahwa mereka telah terlepas dari kejaran
orang-orang Turki itu oleh karena telah lama tidak kelihatan mereka menyerang.
Padahal rombongan itu masih tetap mengintai, bahkan mereka lalu mendatangkan
bala bantuan dari orang-orang pandai, di antaranya Si Nenek Bongkok Siok Kwat
Moli yang menjadi sumoi dari Hai Kong Hosiang dan yang telah memberi
kesanggupan kepada suhengnya itu untuk membalaskan dendamnya kepada Cin Hai dan
kawan-kawannya, si kakek bersorban Wai Sau Pu yang gagah perkasa, jago dari
Sin-kiang itu, dan masih banyak lagi jago-jago yang mereka datangkan dari
Turki.
Ketika pada malam hari itu rombongan musuh
menyerbu lagi, Yousuf yang mendengar musuh-musuhnya lalu berkata kepada Lin Lin,
“Lin Lin, anakku yang baik, kaupergunakanlah
kepandaianmu untuk lari menyelamatkan diri. Tinggalkanlah aku seorang diri, aku
sudah tua dan aku berani menghadapi bencana ini seorang diri. Akan tetapi kau,
kau jangan sampai terbawa-bawa, anakku. Kau mendapat berkah dan doaku, pergilah
Lin Lin, kalau sampai kau terkena bencana bersamaku, sampai mati pun aku akan
merasa penasaran dan duka!”
“Tidak, tidak. Bagaimanapun juga aku akan
tetap membelamu, Ayah!”
Yousuf merasa terharu sekali melihat betapa anak
pungutnya ini bersedia membelanya dengan berkorban jiwa! Tak tertahan lagi air
mata mengucur dan membasahi pipinya. Lin Lin lalu menerjang keluar sambil
memutar-mutar pedang Han-le-kiamnya. Biarpun pedangnya hanya sebuah, akan
tetapi ketika ia mainkan Han-le Kiam-hwat, pedang itu seakan-akan berubah
menjadi puluhan pedang. Juga pada saat itu, Merak Sakti menyambar keluar dari
pintu pondok dan mengamuk tak kalah hebatnya.
Siok Kwat Moli si nenek bongkok yang melihat
kehebatan Merak Sakti menjadi marah sekali. Ia mencabut sebatang pisau kecil
dan mengayunkan tangannya. Merak Sakti dapat melihat berkelebatnya pisau yang
mengancam dada, maka cepat ia menyampok dengan kaki kirinya, akan tetapi tidak
tahunya, bahwa pisau itu lihai sekali, tidak bergagang dan pada kedua ujungnya
tajam. Ketika disampok, pisau itu tidak terpental bahkan lalu melejit dan
meleset menancap pada paha burung merak itu. Merak Sakti memekik kesakitan dan
terbang tinggi ke atas dengan pisau masih menancap pada pahanya.
Cin Hai segera melompat dan menerjang dengan
pedangnya sambil berseru,
“Moi-moi, jangan kau takut, aku datang
membantumu!”
Alangkah girangnya hati Lin Lin melihat pemuda
kekasihnya ini, maka ia lalu memutar pedangnya makin hebat dan bersemangat
sambil berteriak,
“Koko...!”
Sementara itu, keempat orang tua yang tadi
telah bertemu dengan Cin Hai di rumah makan, menjadi terkejut sekali melihat
bahwa pemuda itu kini tiba-tiba muncul dan membantu gadis yang gagah itu.
“Tikus kecil, kau berani muncul lagi?” Wai
Sauw Pu membentak dan tasbehnya lalu menyambar.
“Tikus besar, mengapa aku tidak berani?” balas
Cin Hai membentak. Biarpun dikeroyok hebat, hati pemuda ini merasa girang dan
gembira sekali karena telah dapat bertemu dengan kekasihnya. Pedang
Liong-coan-kiam berkelebaten dan menyilaukan mata para pengeroyoknya ketika ia
mainkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai.
Ketika Kang-lam Sam-lojin ikut maju mengeroyok
Cin Hai, pemuda ini lalu menegur mereka, “Sam-wi Totiang, apakah Sam-wi selama
ini baik saja?” Giok Yang Cu yang tinggi besar dan itu lalu membentak, “Setan
kecil, siapakah engkau yang berpura-pura telah kenal kami tiga saudara?”
“Ha, ha, Giok Yang Cu Totiang, lupakah kau
kepada Cin Hai si Anak Gundul?”
Bukan main terkejut dan herannya tiga orang
tosu itu mengetahui bahwa pemuda itu benar-benar Cin Hai, anak gundul yang dulu
pernah ikut mereka. Tak mereka sangka bahwa anak yang kelihatan bodoh dan
gundul itu dan kemudian pergi bersama Ang I Niocu, kini telah menjadi seorang
pemuda yang demikian lihainya. Mereka lalu berbalik mengeroyok Lin Lin lagi
oleh karena mereka merasa tidak enak hati mengeroyok Cin Hai, anak yang dulu
pernah menolong jiwa mereka!
Biarpun Cin Hai lihai sekali kepandaiannya dan
Lin Lin juga telah memiliki ilmu pedang yang hebat, akan tetapi oleh karena
para pengeroyok itu terdiri dari tokoh-tokoh persilatan yang berilmu tinggi,
lagi pula oleh karena ilmu pedang Lin Lin belum sempurna dan matang betul, maka
terpaksa Cin Hai harus mengerahkan tenaga untuk bersilat di dekat gadis kekasihnya
untuk membelanya di waktu perlu, dan keadaan keduanya segera terkurung rapat!
Celakanya bahwa Sin-kong-ciak yang lihai telah terluka dan tidak berani turun
membantu lagi!
Yousuf yang menderita sakit karena selain
lukanya yang belum sembuh dan kegelisahannya berhubung dengan jatuhnya Kwee An
dan Ma Hoa di dalam jurang mendatangkan tekanan batin yang hebat, kini
menghadapi penyerbuan yang membahayakan ini menjadi bingung sekali. Ia lalu
menganggap dirinya berdosa besar, karena perpisahan antara Lin Lin dan Cin Hai
pun terjadi oleh karena urusannya. Kalau rombongan orang Turki itu tidak datang
menyerbu untuk menawannya dan Lin Lin tidak membelanya, tentu gadis itu tidak
akan pergi dari lereng gunung di utara itu dan tidak akan terpisah dari Cin
Hai. Dan sekarang kembali gadis itu berada di dalam bahaya karena membelanya.
Kalau gadis itu sampai terbinasa, alangkah besar dosanya! Maka ia lalu paksakan
diri keluar sambil membawa sebatang pedang, akan tetapi tubuhnya amat lemas!
Pada saat ia muncul di ambang pintu, matanya
terbelalak ketika ia melihat seorang pemuda bertempur membantu Lin Lin dan
ternyata bahwa pemuda itu adalah Cin Hai!
“Cin Hai...!” serunya girang, akan tetapi
segera ia roboh tertotok oleh Wai Sauw Pu yang telah melompat dan segera menawannya.
“Cuwi, tangkaplah aku akan tetapi jangan
kalian mengganggu kedua orang muda itu!” Yousuf masih sempat berteriak sebelum
Wai Sauw Pu membawanya lari! Lin Lin terkejut sekali dan hendak mengejar, akan
tetapi para pengeroyoknya tidak memberi kesempatan kepadanya. Juga Cin Hai tak
dapat meninggalkan Lin Lin seorang diri, maka kedua orang muda itu merasa
gelisah sekali.
Dan pada saat itu, terdengar suara ketawa yang
nyaring sekali, lalu disusul berkelebatnya bayangan yang gesit sekali ke arah
Wai Sauw Pu yang sedang lari sambil mengempit tubuh Yousuf. Sekali bayangan itu
bergerak, Wai Sauw Pu roboh terpelanting dan Yousuf telah dipulihkan kembali
dari totokan!
Yousuf dengan lemah lalu merayap ke pinggir
dan tiba-tiba terdengar bisikan orang,
“Paman Yousuf, mari ikut aku!”
Yousuf memandang dan ternyata seorang Turki
keluar dari tempat gelap. Ketika ia memperhatikan, orang itu bukan lain adalah
keponakannya sendiri yang segera menggendongnya dan membawanya lari ke dalam
gelap!
Sementara itu, penolong yang datang dengan
tiba-tiba itu tertawa lagi dan berkata, “Kalian ini semut-semut kecil hendak
berlagak ganas, melarikan orang dan berani mengeroyok seorang nona manis? Ha,
ha, itu namanya tidak memandang mukaku. Sungguh terlalu, terlalu sekali!” Setelah
berkata demikian, orang itu lalu menyerbu dan gerakan kaki tangannya ringan dan
cepat sekali!
Bukan main herannya hati Cin Hai ketika
mengenal bahwa orang ini adalah laki-laki pesolek yang tampan dan yang pernah
menaklukkan burung bangau secara lihai sekali itu! Dan bukan main terkejutnya
ketika ia melihat betapa laki-laki itu lalu bersilat dengan ilmu silat yang
hampir sama dengan Pek-in-hoatsut!
Menghadapi Cin Hai dan Lin Lin saja, semua
pengeroyok sudah merasa sukar untuk menjatuhkannya, apalagi ditambah dengan
seorang yang demikian lihainya. Mereka lalu melompat mundur dan hanya dapat
bertahan saja. Beberapa kali Si Pesolek itu tertawa bergelak sambil bersilat di
dekat Lin Lin dan ketika pengeroyok mulai mengendur kurungan mereka, tiba-tiba
saja laki-laki itu lalu mengulur tangan dan menotok iga kiri Lin Lin! Serangan
ini adalah sebuah tipu dalam limu Silat Kong-ciak Sin-na yang dilakukan dengan
baik sekali hingga Lin Lin yang sama sekali tak pernah menduga bahwa penolong
itu akan menyerang dirinya, tak sempat mengelak dan tiba-tiba tubuhnya menjadi
lemas. Secepat sambaran burung walet, laki-laki itu sambil tertawa lalu
mengempit tubuh Lin Lin dan melompat cepat melarikan diri!
Bukan main terkejutnya hati Cin Hai melihat
hal ini.
“Orang rendah, kau hendak lari ke mana?” Ia
lalu mengejar dengan cepat pula ke arah mana bayangan orang tadi menghilang.
Rombongan orang Turki yang tiba-tiba melihat
ketiga lawan mereka menghilang dan juga Yousuf tak nampak bayangannya, lalu
menolong kawan-kawan yang terluka dan cepat meninggalkan tempat itu dengan
penasaran dan kecewa. Mereka juga bingung dan menduga-duga melihat sepak
terjang orang aneh yang tadinya menolong akan tetapi akhirnya bahkan menculik
gadis itu!
Ternyata bahwa laki-laki yang melarikan Lin
Lin itu memiliki ilmu lari cepat yang hebat sekali hingga biarpun Cin Hai telah
mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, ia hanya dapat mengikutinya saja
tanpa dapat merobah jarak antara dia dan orang yang dikejarnya. Sebaliknya,
orang itu pun merasa terheran-heran karena pemuda yang mengejarnya itu ternyata
tak pernah tertinggal jauh, biarpun ia telah mengeluarkan ilmu Lari Cepat
Jauw-sang-hwe (Terbang di Atas Rumput)! Demikianlah, mereka berkejar-kejaran
setengah malam penuh sampai fajar menyingsing, dan tetap mereka berlari melalui
hutan-hutan dan melompati jurang-jurang! Tak seorang pun di antara mereka mau
mengalah!
Sementara itu, ketika pada keesokan harinya
pagi-pagi sekali, burung bangau Ang-siang-kiam beterbangan di atas hutan itu
berputar-putar mencari Cin Hai, Ia mendengar keluh kesakitan dari Merak Sakti
yang berada di atas sebuah pohon tinggi dan berdiri di atas cabang dengan
sebelah kaki tertancap pisau. Burung bangau lalu terbang menyambar turun dan
ketika melihat Sin-kong-ciak, ia lalu terbang dan hinggap di depannya. Kedua
hurung ini telah mendapat didikan dan bisa membedakan kawan atau lawan. Burung
bangau melihat betapa burung merak terluka, lalu mengeluarkan suara mengeluh,
dan ia lalu menggunakan sepasang paruhnya yang panjang dan tajam untuk menjepit
pisau itu dan mencabutnya. Memang ia telah mendapat latihan-latihan untuk
melakukan pertolongan hingga dengan mudah ia dapat mengeluarkan pisau itu.
Melihat perbuatan yang menolongnya ini,
Sin-kong-ciak tahu bahwa burung bangau ini bermaksud baik, maka ia maklum bahwa
Ang-siang-kiam adalah seorang kawan. Setelah pisau yang menancap di kakinya
telah tercabut keduanya lalu terbang tinggi di udara, merupakan kawan baik dan
sama-sama terbang berputar-putar mencari jejak majikan mereka!
Ang I Niocu, Kwee An dan Ma Hoe melanjutkan
perjalanan mereka menuju ke barat untuk mencari Lin Lin dan Yousuf. Pada suatu
hari ketika mereka tiba di sebuah hutan, mereka melihat seorang kakek sedang
dikeroyok oleh rombongan perampok yang terdiri dari belasan orang bersenjata
golok. Kakek ini gagah sekali, bertempur sambil tertawa bergelak dan
memutar-mutar sebatang dayung dengan hebatnya. Tiga orang pengeroyoknya telah
roboh dengan tulang patah dan kulit matang biru, sedangkan sisa
pengeroyok-pengeroyok terdesak hebat.
“Nelayan Cengeng!” seru Ang I Niocu dan ketiga
orang muda itu segera menerjang kawanan perampok itu yang segera melarikan diri
karena baru menghadapi seorang kakek saja mereka sudah terdesak, apalagi kini
datang tiga orang muda membantu kakek itu!
Nelayan Cengeng ketika melihat kedatangan Ang
I Niocu, Ma Hoa dan Kwee An, tertawa gembira sekali. Ia mengusap-usap rambut Ma
Hoa ketika gadis itu berlutut di depan suhunya, mulutnya tiada hentinya
tertawa, akan tetapi kedua matanya mengalirkan air mata!
“Ma Hoa, alangkah senangnya hatiku dapat
bertemu dengan kau di sini. Kau sekarang telah berubah banyak, muridku! Dengan
rambutmu terurai seperti ini, kalau tidak ada Kwee An dan Ang I Niocu, mungkin
akan pangling!”
Ternyata bahwa Nelayan Cengeng telah menyusul
muridnya di lereng bukit di utara itu, akan tetapi hanya mendapatkan tumpukan
puing belaka hingga ia pun menyusul dan mengejar ke barat. Ketika tiba di dalam
hutan itu, ia dikeroyok oleh perampok-perampok yang merupakan makanan lunak bagi
dayungnya hingga ia mempermainkan mereka dengan gembira, tak menyangka sama
sekali bahwa di situ ia akan dapat bertemu dengan murid yang dicari-carinya
itu.
“Ketika aku mencarimu di utara, aku mendengar
tentang Lin Lin dan Yo Se Pu dikejar kejar oleh orang Turki. Di manakah mereka
itu sekarang? Dan di mana pula adanya Cin Hai? Sungguh tak kusangka tadinya
bahwa kalian semua akan terpisah-pisah seperti ini. Dan Ang I Niocu seakan-akan
baru kembali dari lubang kubur! Ketahuilah, Niocu, bahwa tak seorang pun pernah
menyangka bahwa kau masih hidup! Syukurlah, semuanya berada dalam selamat, ini
menambahkan keyakinan bahwa kalian adalah orang-orang baik yang berada dalam
lindungan Thian!”
Dengan singkat Ang I Niocu menceritakan
pengalamannya bagaimana ia sampai dapat tertolong dari pulau yang meledak itu,
akan tetapi sama sekali ia tidak menyebut nama Lie Kong Sian. Sedangkan Ma Hoa
lalu menuturkan pengalamannya ketika ia dan Kwee An terjerumus ke dalam jurang
dan betapa ia mendapat pelajaran dari seorang pertapa bernama Hok Peng Taisu,
kakek botak yang mengajarkan Ilmu Silat Bambu Kuning kepadanya.
“Hebat, hebat! Kau beruntung sekali, Ma Hoa!
Ketahuilah bahwa Hok Peng Taisu adalah seorang tokoh besar dan dulu ketika aku
masih muda, pernah aku mendapat pertolongan dari Si Botak itu hingga sampai
sekarang gurumu ini masih dapat hidup! Dulu aku pernah dikepung oleh imam-imam
dari perkumpulan Agama Ngo-bwe-kauw dan ketika aku terdesak hebat dan terancam
bahaya maut, datanglah Si Botak itu yang menolongku.
Dan sekarang, kembali ia menolong jiwamu dan
bahkan memberi pelajaran ilmu silat yang tinggi kepadamu! Bagus, bagus, sebelum
aku mati, aku harus menemui Si Botak itu untuk berlutut menghaturkan terima
kasih kepadanya. Sekarang kauperlihatkanlah kepandaianmu yang baru itu!”
Ma Hoa menganggap Nelayan Cengeng seperti ayah
sendiri, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu mengeluarkan sepasang bambu
runcingnya dan bersilat dengan cepat. Melihat betapa gadis itu dengan rambut
berkibar melambai-lambai menggerakkan kedua batang bambu runcing hingga dua
batang bambu yang berwarna kuning itu merupakah sinar panjang berbelit-belit
bagaikan ratusan ekor ular kuning sedang saling belit dan bergerak-gerak dengan
ruwet dan aneh, tidak saja Kwee An memandang dengan kagum dan rasa kasih
sayangnya bertambah, juga Ang I Niocu dan Nelayan Cengeng merasa kagum sekali.
Setelah Ma Hoa selesai bersilat, gurunya tertawa lagi dengan gembira dan air
matanya mengucur makin deras!
“Adik Ma Hoa, ilmu silatmu sekarang telah maju
hebat, sungguh membuat aku merasa kagum sekali,” kata Ang I Niocu dengan
sejujurnya.
“Aah, Enci Im Giok, jangan kau terlalu memuji.
Aku masih banyak mengharapkan petunjukmu,” kata Ma Hoa sambil menyimpan kembali
kedua batang bambu runcingnya.
Kembali Ang I Niocu mengusulkan untuk mencari
Lin Lin dan Cin Hai dengan terpisah agar lebih banyak harapan dan lebih cepat
bertemu dengan kedua anak muda itu.
“Biariah Kong Hwat Lojin mengawani kalian
berdua, dan aku akan mencari sendiri,” kata Ang I Niocu yang memang lebih suka
melakukan perjalanan seorang diri. Biarpun Ma Hoa merasa agak sayang untuk
berpisah lagi dengan wanita pandekar yang disayanginya itu, namun ia anggap
usul ini betul juga.
“Akan tetapi kita harus menentukan tempat
berkumpul kembali agar kita tidak saling mencari tanpa mengetahui di mana kita
harus saling mengadakan pertemuan,” kata Nelayan Cengeng. Lalu mereka
mengadakan permufakatan untuk bertemu di rumah Kwee An. Semua orang setuju dan
pada saat mereka hendak melanjutkan perjalanan dengan terpisah, tiba-tiba
mereka mendengar dengan sayup-sayup suara orang bertempur. Mereka saling
pandang dengan heran dan keempatnya lalu lari menuju ke arah dari mana suara
itu datang.
Pada waktu itu, hari telah mulai menjadi
gelap, akan tetapi di udara banyak bintang hingga keadaan tidak terlalu gelap.
Suara beradunya senjata dan teriakan-teriakan itu datang dari tengah hutan dan
ketika mereka tiba, di suatu tempat terbuka, mereka melihat dua orang laki-laki
sedang bertempur dengan hebatnya!
Seorang di antara mereka adalah seorang
laki-laki gagah perkasa yang barusia kira-kira empat puluh tahun lebih. Ia
bersenjata sebuah alat tetabuhan yang bertali empat, gerakannya hebat dan angin
gerakannya membuat daun-daun pohon bergoyang-goyang! Lawannya juga seorang yang
lihai sekali, yaitu seorang pendeta bertubuh pendek gemuk, berjubah merah dan
memegang sebuah gendewa sebagai senjata. Gerakannya juga lihai sekali dan tiap
kali ujung gendewanya beradu dengan senjata lawannya, bunga api memercik
tinggi, tanda bahwa selain kedua senjata itu terbuat dari logam yang keras,
juga bahwa tenaga mereka besar dan seimbang!
Mereka berempat, bahkan Nelayan Cengeng
sendiri tidak tahu siapa adanya dua orang yang berilmu tinggi itu. Sebenarnya,
orang yang bersenjata alat musik itu bukan lain ialah Sie Ban Leng atau paman
Cin Hai yang dulu telah mengkhianati ayah Cin Hai hingga terbinasa
sekeluarganya! Sedangkan pendeta jubah merah itu adalah Sian Kek Losu, seorang
pendeta Sakya Buddha, atau sute dari Thai Kek Losu yang lihai dan yang menjadi
jago nomor dua dari semua tangan kanan Yagali Khan, Raja Muda Mongol itu!
Bertambah banyaknya orang-orang Turki yang
mendatangi Tiongkok bagian barat, membuat kaisar menaruh curiga, maka kemudian
kaisar lalu memerintahkan panglimanya untuk mengirim seorang utusan atau
penyelidik. Kam Hong Sin atau Kam-ciangkun yang kini menjadi panglima tertinggi
kerajaan adalah seorang yang amat lihai dalam melakukan tugasnya. Ia maklum
bahwa tugas seorang penyelidik di barat bukanlah tugas yang ringan dan yang
dapat dilakukan oleh sembarang orang saja, maka ia lalu minta pertolongan kawan
baiknya dengan memberi hadiah dan upah besar. Kawan baiknya ini bukan lain
ialah Sie Ban Leng!
Juga Yagali Khan menyebar orang-orangnya untuk
melihat gerak-gerik orang Turki yang menjadi musuhnya. Di antara orang-orangnya
ini, juga Sian Kek Losu ikut pula melakukan perjalanan ke barat untuk melihat
keadaan. Maka bertemulah Sian Kek Losu dengan Sie Ban Leng di tempat ini hingga
setelah mengetahui bahwa mereka datang dari pihak yang bermusuhan, bertempurlah
mereka dengan hebatnya.
Gerakan serangan Sie Ban Leng benar-benar
hebat luar biasa. Senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar dan tak pernah
berhenti menyerang karena tiap kali serangannya dapat dielak, senjatanya itu
membuat gerakan melengkung dan terus membabat dan memukul lagi, hingga serangan
itu dilakukan tanpa pernah tertunda, merupakan serangan bertubi-tubi hingga
membuat pendeta Sakya Buddha itu tersedak hebat. Tiba-tiba pendeta Sakya Buddha
itu melompat mundur dan gerakan tubuhnya yang pendek itu amat gesitnya hingga
sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari lima
tombak. Ketika Sie Ban Leng melompat untuk menerjang lagi, Sian Kek Losu telah
mengeluarkan anak panah yang dipasangnya pada gendewanya dan begitu terdengar
suara tali gendewa menjepret, tujuh batang anak panah sekaligus melayang ke
arah tubuh Sie Ban Leng di beberapa bagian!
Terkejutlah Nelayan Cengeng dan kawan-kawannya
melihat kehebatan dan bahaya besar yang mengancam orang Han itu. Betapapun
juga, dan biarpun mereka tidak kenal siapa adanya dua orang itu dan mengapa
pula mereka bertempur, akan tetapi sebagai orang-orang Han, sedikit banyak
mereka memihak bangsa sendiri. Ini adalah watak manusia pada umumnya, maka
melihat bahaya yang mengancam Sie Ban Leng, tak terasa pula Nelayan Cengeng
mengeluarkan seruan tertahan.
Akan tetapi kalau kepandaian memanah dari Sian
Kek Losu hebat, maka kegesitan Sie Ban Leng lebih hebat lagi. Ia berseru kerasa
dan untuk mengelak sambaran tujuh batang anak panah yang dilepas dari dekat dan
yang melayang dengan kecepatan luar biasa itu memang sudah tak mungkin, maka
tiba-tiba ia mengenjot kakinya dan kaki itu melayang ke atas dengan kepala di
bawah. Dengan demikian, maka tubuh bagian bawah yang terancam akan panah telah
terhindar dari bahaya dan untuk menjaga kepalanya ia memutar-mutar senjatanya
sedemikian rupa hingga dua batang anak panah yang tadinya mengarah mata dan
tenggorokannya, dengan suara keras beradu dengan senjatanya. Sebatang anak
panah dapat dipukul jatuh akan tetapi yang sebatang pula menancap pada perut
alat musik itu. Anak panah yang terpukul itu melayang dengan masih cepatnya ke
arah Ang I Niocu yang berdiri terdepan. Dengan tenang Ang I Niocu lalu memegang
ujung ikat pinggangnya yang melambai di bawah dan sekali ia menggerakkan
tangan, ikat pinggangnya meluncur dan ujungnya dapat menangkis anak panah yang
menuju kepadanya hingga jatuhlah anak panah itu di atas tanah.
“Kau berani merusak alat musikku!” teriak Sie
Ban Leng dengan marah dan ia melompat lalu mengirim serangan berupa pukulan
hebat ke arah kepala pendeta pendek itu. Kalau pukulan itu mengenai sasaran,
pasti kepala Sian Kek Losu akan menjadi remuk. Akan tetapi Sian Kek Losu sudah
siap sedia. Biarpun ia tadi merasa terkejut sekali melihat betapa lawannya
dapat menghindarkan diri dari semua anak panahnya, akan tetapi ketika lawannya
menyerbu dengan pukulan senjata, ia lalu maju dan menggempur senjata lawan itu
dengan gendewanya. Akan tetapi, kali ini Sie Ban Leng benar-benar mengerahkan
seluruh tenaganya hingga ketika gendewa itu beradu dengan senjatanya, Sian Kek
Losu terdorong ke belakang dengan keras!
Sie Ban Leng tidak mau memberi hati dan
mendesak terus, akan tetapi pada saat itu, dari dalam gerumbulan pohon
keluarlah tujuh orang pahlawan Mongol, di antaranya nampak Balaki yang lihai.
Segera mereka menyerbu dan mengeroyok Sie Ban Leng yang tertawa bergelak dan
berkata,
“Majulah! Majulah kalian tikus-tikus Mongol!”
dan ia memutar-mutar senjatanya dengan hebat.
Tadi ketika Sian Kek Losu bertempur dengan Sie
Ban Leng, Kwee An mengusulkan untuk membantu, akan tetapi ia dicegah oleh Ang I
Niocu yang menyatakan bahwa orang Han itu takkan kalah.
Akan tetapi kini setelah melihat betapa banyak
orang Mongol yang berilmu silat tinggi dan lihai membantu dan mengeroyok orang
Han itu, tanpa mendapat komando lagi Nelayan Cengeng lalu menyerbu sambil
memutar-mutar dayungnya dengan hebat dan berteriak, “Pengecut, pengecut!
Mengapa terjadi pengeroyokan??”
Ang I Niocu, Kwee An dan Ma Hoa juga lalu
menerjang maju hingga sebentar saja pihak Mongol menjadi kacau balau karena
biarpun mereka itu lihai, namun empat orang yang membantu Sie Ban Leng ini
adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi dari mereka,
sedangkan pihak mereka yang dapat mengimbangi kepandaian Nelayan Cengeng dan
kawan-kawannya hanyalah Sian Kek Losu dan Balaki. Maka atas aba-aba yang
dikeluarkan oleh Balaki, mereka lalu melompat mundur dan menghilang di dalam
gelap.
“Ha, ha, ha! Hanya begitu saja kelihaian
orang-orang Mongol!” Sie Ban Leng berseru dengan suara menyatakan
kebanggaannya. Mendengar ucapan dan melihat lagak Sie Ban Leng, diam-diam
Nelayan Cengeng merasa tidak suka, apalagi ketika orang itu memandang ke arah
Ang I Niocu dengan mata terbelalak kagum dan bibir tersenyum dibuat-buat.
Pandangan ini dapat pula ditangkap oleh Ang I Niocu dan tahulah ia bahwa batin
laki-laki ini tidak bersih.
“Cuwi gagah perkasa sekali dan kalau Cuwi
tidak keburu datang, tentu akan makan waktu lama sebelum aku dapat merobohkan
mereka seorang demi seorang” kata Sie Ban Leng sambil mengerling kepada Ang I
Niocu. Kwee An dan Ma Hoa merasa mendongkol mendengar ucapan sombong ini! Kalau
mereka tahu bahwa orang yang dibantunya ini demikian sombongnya, belum tentu
mereka mau turun tangan.
“Ha, ha, pendeta pendek tadi adalah jago ke
dua dari Yagali Khan yang bernama Sian Kek Losu, tak tahu hanya sebegitu saja
kepandaiannya. Kalau tidak keburu kawan-kawannya datang mengeroyok, pasti
kepalanya yang licin itu akan remuk oleh senjataku!” Kembali Sie Ban Leng
menyombong. “Kalau terjadi demikian barulah mereka tahu bahwa aku Sie Ban Leng
Si Tubuh Baja bukanlah orang yang boleh dibuat permainan!”
Biarpun ucapan ini seakan-akan ucapan yang
ditujukan kepada diri sendiri, namun jelas bahwa maksudnya ialah memperkenalkan
diri berikut nama julukannya Si Tubuh Baja! Ang I Niocu yang merasa sebal
karena beberapa kali dilirik, lalu berkata kepada Nelayan Cengeng,
“Lo-enghiong, marilah kita keluar dari tempat
yang gelap dan kotor ini dan melanjutkan perjalanan kita!”
Juga Kwee An dan Ma Hoa lalu membalikkan tubuh
dan meninggalkan tempat itu. Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak hingga
keluarlah air matanya ketika ia bertindak pergi meningalkan Sie Ban Leng sambil
berkata, “Sobat, kau cukup gagah perkasa, akan ketapi kalau kau berdiri di
tempat terlampau tinggi, ada bahayanya kau akan tergelincir jatuh!”
Sie Ban Leng merasa penasaran sekali oleh
karena keempat orang itu, terutama Dara Baju Merah yang cantik bagaikan
bidadari itu belum memperkenalkan diri. Akan tetapi oleh karena mereka telah
pergi, ia tidak dapat menahan mereka. Diam-diam ia mengikuti mereka dari jauh
dan ketika tiba di luar hutan, melihat bahwa Ang I Niocu memisahkan diri dan
berpisah dari tiga orang yang lain. Hatinya girang bukan main dan diam-diam ia
lalu mengejar Ang I Niocu!
Adapun Kwee An, Ma Hoa dan Nelayan Cengeng,
lalu melanjutkan perjalanan mereka ke Kansu. Di sepanjang jalan mereka
membicarakan pertemuan mereka dengan Sie Ban Leng yang sombong itu.
“Dulu aku pernah mendengar nama Si Tubuh Baja
itu, kalau tidak keliru, beberapa tahun yang lalu ia menjagoi di kota raja dan
mempunyai hubungan erat dengan para Perwira Sayap Garuda akan tetapi kemudian
ia lalu menjelajah ke barat. Mungkin dia inilah orangnya!” Ma Hoa sendiri
biarpun menjadi putera seorang Perwira Sayap Garuda, akan tetapi oleh karena
semenjak kecil sering kali berada bersama Nelayan Cengeng mempelajari ilmu-ilmu
silat, maka ia belum pernah bertemu dengan Sie Ban Leng atau mendengar namanya.
Ketiga orang ini lalu melanjutkan perjalanan
menuju ke Propinsi Kansu, dan baru saja mereka mulai memasuki Propinsi ini,
mereka telah bertemu dengan banyak orang yang terdiri dari berbagai suku
bangsa, akan tetapi yang terbanyak ialah suku bangsa Hui. Mereka melanjutkan
perjalanan menuju ke ibu kota Kan-su, yaitu Lan-couw yang besar dan ramai. Di
sinilah terdapat banyak sekali perantau-perantau dari Turki yang menjadi
saudagar dan membeli banyak kulit dan bulu onta yang panjang dan tinggi mutunya
dari daerah ini.
Cin Hai terus mengejar orang pesolek yang
melarikan Lin Lin sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya berlari cepat. Ia
merasa heran sekali karena biarpun ilmu ginkangnya sudah mencapai tingkat yang
tinggi, namun orang itu masih saja belum dapat tersusul olehnya, padahal orang
itu berlari sambil mengempit tubuh Lin Lin yang tidak berdaya karena telah
tertotok secara lihai sekali!
Akan tetapi ia tidak mau kalah dan andaikata
orang itu membawa lari Lin Lin menuju ke lautan api sekalipun, ia akan tetap
mengejar! Fajar telah menyingsing dan matahari telah mulai timbul ketika mereka
masih saja berkejaran hingga mereka tiba di tanah datar yang kering dan luas.
Akhirnya, orang pesolek itu melarikan diri naik ke sebuah bukit kecil di
sebelah kiri, terus dikejar oleh Cin Hai. Melihat betapa pengejarnya tidak mau
mengalah, akhirnya pesolek itu lalu berhenti dan sambil mengempit tubuh Lin Lin
dalam pelukan lengan kirinya, ia menanti dengan mulut tersenyum akan tetapi
sepasang matanya memancarkan sinar mengancam hebat!
Cin Hai berlari dan melompat ke hadapannya
sambil memaki, “Bangsat berjiwa rendah! Kau masih tidak hendak melepaskan gadis
itu?”
“Eh, bocah kurang ajar kau ini siapakah maka
berani berlaku kurang ajar di depanku? Apakah kau tidak tahu bahwa kau sedang
berhadapan dengan Kwi-eng-cu (Bayangan Setan) yang berarti akan mendatangkan
maut bagimu apabila kau menentangnya! Dan apakah hubunganmu dengan gadis ini?
Kuperingatkan padamu agar segera pergi dan jangan ikut mencampuri urusanku!”
“Orang rendah! Ternyata yang kauhias hanya
mukamu saja hingga biarpun di luar kau nampak cakap dan bersih, akan tetapi
sebetulnya di sebelah dalam dari tubuhmu bersembunyi batin yang rendah, buruk
dan kotor! Kuakui bahwa kepandaianmu memang tinggi, akan tetapi jangan kaukira
bahwa aku takut kepadamu! Aku Pendekar Bodoh, tidak takut menghadapi seorang
penjahat, betapapun gagahnya dia! Lepaskan gadis itu kalau kau sayang jiwamu
sendiri!”
“Ha, ha, ha! Masih baik kalau kau mengaku
bodoh, karena memang kau bodoh dan tolol! Mungkin kau memang pendekar, karena
kepandaianmu berlari cepat tidak rendah, dan kau memang bodoh karena tidak tahu
akan kehendak seorang laki-laki seperti aku! Gadis ini cantik jelita dan manis,
sedangkan aku seorang laki-laki yang gagah dan tampan, sekarang aku menawannya
dengan maksud apakah? Tentu saja, kau akan mengerti sendiri kalau saja kau
tidak demikian bodoh! Aku hendak mengambil dara ini sebegai isteriku, isteri
yang tercinta, karena gadis seperti inilah yang semenjak dulu kucari-cari untuk
menjadi jodohku! Nah, sekarang kau sudah mendengar maksudku membawa gadis ini,
maka kau pulanglah ke rumah ibumu dan jangan mencari penyakit dengan mencampuri
urusan pribadi orang lain!”
“Bangsat cabul!” Cin Hai memaki marah sekali.
“Bukalah telingamu baik-baik! Gadis ini adalah tunanganku! Siapa sudi
mencampuri urusanmu yang kotor? Kaulepaskan tunanganku ini dan baru aku mau
mengampuni jiwamu yang rendah!”
Berdirilah kedua alis orang itu mendengar
ucapan ini. Hidungnya yang mancung itu berkembang-kempis, dan sungguhpun
mulutnya masih tersenyum, namun Cin Hai melihat betapa sinar matanya
bernyala-nyala bercahaya.
“Bagus, kalau begitu mampuslah kau!” tiba-tiba
orang itu membentak dan sekali saja tubuhnya berkelebat, ia menyerang Cin Hai
dengan tangan kanannya! Serangan ini hebat sekali dan dari lengan tangan orang
itu mengepul uap putih. Melihat betapa orang ini mempergunakan Ilmu Silat
Pek-in-hoat-sut, kembali Cin Hai terheran dan ia lalu melawan dengan
Pek-in-hoatsut juga! Orang itu terkejut sekali melihat gerakan Cin Hai ini dan
cepat merobah ilmu silatnya dengan Kong-ciak Sinna, akan tetapi kembali ia
terheran sampai mengeluarkan suara tertahan ketika Cin Hai juga melawannya
dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sinna yang sama pula!
Kembali orang itu merobah ilmu silatnya dengan
bermacam-macam pukulan yang lihai dan permainan silat pilihan yang tinggi,
namun dengan mempergunakan pengertiannya dalam hal segala macam gerakan tangan
dan kaki, Cin Hai melayaninya dengan gerakan yang sama pula.
“Eh, eh tahan dulu!” kata orang itu sambil
melompat ke belakang.
“Apa kehendakmu?” tanya Cin Hai sambil berdiri
tenang dan memandang tajam.
“Kau yang mengerti Pek-in-hoatsut dan
Kong-ciak Sinna serta yang paham akan dasar persilatan, siapakah kau dan siapa
pula Gurumu?”
“Aku pun sedang terheran-heran melihat betapa
seorang yang pandai Ilmu Silat Pek-in-hoatsut dan Kong-ciak Sinna sampai
terjerumus ke dalam lembah kehinaan seperti kau! Sebelum aku bertanya, kau
telah mengajukan pertanyaan lebih dulu, maka dengarlah baik-baik! Aku bernama
Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dan suhuku ialah Bu Pun Su!”
Untuk sesaat wajah pesolek itu menjadi pucat
dan ia memandang seakan-akan melihat setan dan dari sinar matanya mengandung
ketidak percayaan.
“Maukah kau bersumpah bahwa kau benar-benar
murid Bu Pun Su?” tanyanya.
“Bukan hanya aku, bukalah lebar-lebar kedua
matamu, karena gadis yang kautawan itu pun seorang murid Suhu Bu Pun Su pula”
kata Cin Hai.
Tiba-tiba berubahlah wajah orang itu. Ia
tersenyum dan tiba-tiba ia mengangkat tangan dengan girang. “Kalau begitu, kau
adalah Suteku dan gadis ini adalah Sumoiku! Lebih baik lagi! Sute, dengarlah
bahwa Bu Pun Su adalah Supekku (Uwa Guru) karena aku adalah murid dari Guruku
Han Le!”
Cin Hai merasa terkejut sekali dan mengertilah
dia mengapa orang ini demikian lihainya dan mengerti Ilmu Silat Pek-in-hoat-sut
dan Kong-ciak Sinna dengan baiknya.
“Hm, hm, kalau begitu kau benar adalah
Suhengku sendiri. Mengapa Suhu tak pernah menceritakan tentang kau. Siapakah
namamu?”
Sambil tertawa orang itu berkata “Namaku
adalah Song Kun dan ketika aku mempelajari ilmu silat dari Suhu di atas Pulau
Kim-san-to, Supek sering kali datang dan bahkan beliau telah memberi pelajaran
beberapa ilmu kepadaku dan sekarang aku perintahkan agar supaya kautinggalkan
aku dan Sumoi!”
“Apakah yang hendak kauperbuat kepada
tunanganku ini?” tanya Cin Hai dengan suara gemas.
“Sute, dengarlah baik-baik, Kau sebagai
seorang saudara muda yang baik dan berbakti, harus mengalah kepadaku. Sumoiku
ini hendak kubawa pulang dan hendak kuambil menjadi isteriku. Terus terang
saja, semenjak aku melihatnya, timbul cintaku yang besar kepadanya.”
“Tapi dia adalah tunanganku!” kata Cin Hai
penasaran.
“Sute, sudah selayaknya seorang saudara muda
mengalah terhadap kakaknya. Suhengnya belum kawin, mana sutenya boleh
bertunangan? Kau mengalahlah kepadaku kali ini, Sute. Biar lain kali aku
mencarikan jodoh yang manis dan jelita untukmu!”
“Aku tidak mempunyai seorang Suheng seperti
macammu!” teriak Cin Hai dengan amat marahnya. “Kalau kau tidak mau melepaskan
Lin Lin, biar kita mengadu jiwa di tempat ini!”
Kedua mata Song Kun berkilat. “Apakah
benar-benar kau sudah bosan hidup? Dengarlah kau, bocah sombong! Jangankan baru
kau, biar Suhu hidup kembali atau Supek datang membantumu, jangan harap kau
akan bisa menangkan Kwie-eng-cu!”
“Jangan banyak cakap dan kaucobalah saja!”
Seru Cin Hai sambil melangkah maju. Bukan main marahnya Kwie-eng-cu melihat
sikap Cin Hai yang menantang ini. Tangan kanannya bergerak dan tahu-tahu
sebatang pedang telah berada di tangan itu. Cin Hai tiba-tiba terkejut melihat
pedang ini karena pedang itu mengeluarkan cahaya yang menyilaukan dan sinar
merah yang keluar dari pedang itu mendatangkan hawa panas! Inilah pedang
Ang-ho-sian-kiam yang luar biasa dan yang ratusan tahun yang lalu telah menjadi
pedang pusaka yang keramat di istana kaisar. Ketika pedang ini terjatuh ke
dalam tangan Song Kun, maka menjadi seakan-akan seekor naga yang tumbuh sayap!
Cin Hai juga mencabut keluar Liong-coan-kiam
dari dalam bajunya dan ketika Song Kun melompat dan menerjangnya, ia lalu
mengeluarkan ilmu pedangnya Daun Bambu yang lihai! Song Kun terkejut sekali
melihat gerakan ilmu pedang ini oleh karena biarpun ia telah mewarisi hampir
seluruh kepandaian Han Le, belum pernah ia melihat gerakan ilmu pedang yang
sedemikian aneh dan lucunya, akan tetapi berbareng juga lihai sekali.
Dan oleh karena tangan kirinya masih mengempit
tubuh Lin Lin maka gerakannya kurang leluasa sekali. Apalagi ketika Cin Hai
selain menggerakkan pedang untuk menyerang, juga menggunakan tangan kiri untuk
mengirim pukulan-pukulan ke arah jalan darahnya! Song Kun memutar-mutar
pedangnya dengan ganas dan mencoba untuk mengadu pedangnya itu dengan pedang
Cin Hai, akan tetapi Cin Hai cukup maklum bahwa pedang lawannya ini berbahaya
sekali maka ia selalu menghindarkan beradunya kedua senjata, dan bahkan
memperhebat serangan tangan kirinya. Pada suatu kesempatan, tangan kiri Cin Hai
mendorong dengan tenaga penuh ke arah pelipis lawannya dan dalam keadaan terdesak,
Song Kun terpaksa melemparkan tubuh Lin Lin untuk mengangkat tangan kirinya
menangkis. Tubuh Lin Lin terlempar ke kiri dan terus masuk ke dalam sebuah
jurang yang curam!
Cin Hai menjerit ngeri melihat betapa tubuh
kekasihnya terlempar ke dalam jurang dan saat itu digunakan oleh Song Kun yang
sudah menjadi marah sekali itu untuk mengirim tusukan ke arah dadanya,
dibarengi dengan pukulan tangan yang dimiringkan ke arah lambung Cin Hai. Cin
Hai merasa terkejut sekali, ia lalu mempergunakan gerakan Awan Putih Mengusir
Mendung dengan tangan kiri, sedangkan pedangnya diangkat untuk menangkis. Dua
batang pedang beradu keras dan terpentallah pedang Liong-coan-kiam dari tangan
Cin Hai dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan tubuh Cin Hai
terhuyung-huyung ke belakang! Ketika ia diserang tadi, semangatnya sedang
melayang mengikuti tubuh Lin Lin dan hatinya berdebar kuatir, maka ia menjadi
kurban serangan berbahaya dari Song Kun Yang lihai itu.
Song Kun tertawa girang dan penuh ejekan
kemudian ia terus menyerang dengan hebat hingga terpaksa Cin Hai mempergunakan
ginkangnya untuk mengelak dan mengeluarkan Ilmu Pukulan Kong-ciak Sinna untuk
menghadapi lawannya yang lihai dengan tangan kosong.
Pada saat itu dari jurang di mana tadi Lin Lin
jatuh, melayang keluar seorang kakek sambil menggendong tubuh Lin Lin dan
ternyata bahwa kakek ini bukan lain ialah Bu Pun Su! Kakek ini melompat ke
tempat pertempuran dan sekali ia mengebutkan lengan bajunya yang panjang,
pedang di tangan Song Kun kena tertangkis hingga tangan Song Kun menjadi
tergetar dan ia melompat ke belakang dengan kaget sekali.
“Suhu...!” kata Cin Hai dengan girang sekali
karena melihat betapa suhunya telah berhasil menolong Lin Lin. Saking
girangnya, pemuda ini sampai menitikkan dua butir air mata.
“Ah, kiranya Supek yang datang!” kata Song Kun
dengan pedang dilintangkan di dada dan ia tidak mau memberi hormat sama sekali
terhadap supeknya itu. “Song Kun kau terjerumus ke dalam lembah kesesatan,
tidak insyafkah kau?” kata Bu Pun Su dengan suara keren.
Song Kun tersenyum dengan penuh ejekan dan
kesombongan.
“Teecu tidak tahu akan maksud ucapan Supek
ini,” jawabnya.
“Orang tersesat! Baiknya Suhumu telah
meninggal, kalau tidak, dia tentu akan berduka sekali melihat betapa muridnya
yang terkasih menjadi seorang yang berbudi rendah! Song Kun, perbuatanmu yang
rendah masih nampak di depan mata, apakah kau masih saja belum mau mengakuinya?
Kau menculik seorang gadis dan biarpun kau sudah mengetahui bahwa dia ini
adalah seorang Sumoimu sendiri kau masih tetap akan melanjutkan kesesatanmu.”
“Teecu mencinta dia, apakah salahnya itu?
Apakah Supek akan merintangi orang muda yang mencinta seorang wanita dan hendak
mengambilnya menjadi isteri? Supek, ini adalah urusan orang-orang muda orang
tua tidak berhak mencampurinya!”
Ucapan ini benar-benar kurang ajar sekali
hingga Cin Hai merasa betapa kedua tangannya gatal-gatal hendak turun tangan
menyerang suheng yang jahat itu.
“Setelah Suhu meninggal, yang berhak mengajar
teecu hanyalah suhengku, Lie Kong Sian seorang! Akan tetapi, kalau Supek hendak
merendahkan dan menurunkan tangan kejam kepada teecu, silakan, teecu sedikit
pun tidak merasa takut!”
Kalau kiranya bukan Bu Pun Su yang menerima
tantangan ini, tentu ia akan menjadi marah dan tak bersabar lagi, akan tetapi
kakek jembel ini memiliki kesabaran yang luar biasa dan lagi ia merasa tidak
tega untuk menurunkan tangan besi kepada seorang murid sutenya.
“Song Kun, Suhumu dulu lebih keliru memilih
murid. Aku tidak sudi untuk mengotori tanganku pada tubuhmu. Akan tetapi, kalau
kauhendak memaksa dan melanjutkan maksudmu menculik muridku perempuan ini, kau
majulah dan boleh kaucoba-coba kepandaian Supekmu!” Sambil berkata demikian, Bu
Pun Su melangkah maju dan menghadapi Song Kun dengan dada terangkat.
Kalau Song Kun mengangkat tangan dan menusuk
dengan pedangnya, maka dada kakek itu akan tercapai oleh ujung pedang, akan
tetapi Song Kun bukanlah demikian bodoh untuk melakukan hal ini. Ia maklum
bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su amat tinggi dan bahwa saat itu Bu Pun Su sedang
memancing-mancing agar ia turun tangan terlebih dulu hingga kakek ini mempunyai
alasan untuk menghajarnya! Kalau tadi ia mengeluarkan ucapan menantang, itu
hanya karena ia merasa yakin bahwa Bu Pun Su takkan mau turun tangan
terhadapnya. Maka, sambil tertawa mengejek ia berkata dan memasukkan pedangnya
kembali.
“Supek, dunia bukanlah sebesar telapak tangan.
Di mana-mana banyak terdapat wanita cantik maka untuk apakah teecu harus
berebut seorang wanita dengan Supekku sendiri? Ha, ha, ini amat menggelikan dan
akan menjadi buah tutur orang-orang saja! Supek, teecu tidak mau nekat merebut
perempuan ini, biarlah kalau Supek menghendakinya, dia boleh ambil! Akan
tetapi,” katanya sambil menuding kepada Cin Hai dengan pandangan mata
mengancam, “kau telah berani turun tangan kepada aku yang menjadi Suhengmu,
maka awaslah kau! Lain kali kita bertemu, jangan harap aku akan dapat
mengampuni jiwamu lagi!” Setelah berkata demikian, Song Kun menjura di depan Bu
Pun Su sambil tersenyum menyindir, kemudian tubuhnya berkelebat dan lari turun
dari bukit itu!
Bu Pun Su menghela napas. “Kasihan sekali
bahwa Han Le harus pula menerima nama busuk sesudah mati oleh karena perbuatan
muridnya itu! Ah, begitulah kalau salah menerima murid. Tidak heran bahwa
jarang ada orang-orang cerdik pandai yang mau mengambil murid. Cin Hai, kau
telah menyaksikan sendiri betapa tinggi ilmu silat Song Kun dan betapa hebat
pedang Ang-ho-sian-kiam itu hingga Liong-coan-kiam sendiri sampai terputus
olehnya! Melihat mukanya, orang seperti dia itu tentu akan membuktikan
ancamannya maka mulai sekarang kau harus berlaku hati-hati sekali. Juga Lin Lin
berada dalam bahaya, maka baiknya biarlah dia ikut padaku untuk memperdalam
ilmu silatnya hingga cukup kuat apabila kelak bertemu dengan Song Kun.”
Kakek itu lalu membebaskan totokan yang
mempengaruhi tubuh Lin Lin hingga gadis itu dapat bergerak kembali dan berlutut
di depannya.
“Lin Lin, kalian telah menanam bibit
permusuhan dengan Song Kun yang merupakan lawan tangguh sekali. Jangankan kau,
bahkan Cin Hai sendiri kalau tidak memiliki pedang yang dapat melawan
Ang-ho-sian-kiam agaknya akan sukar untuk dapat merobohkannya. Maka, sekarang
kau ikutlah aku untuk memperdalam ilmu pedangmu yang masih mentah. Dan kau, Cin
Hai, kau pergilah ke Kansu. Di antara ratusan buah gua yang terdapat di Kansu,
yaitu gua-gua Tun-huang, di situ terdapat sebuah gua yang menyimpan sepasang
pedang mustika, yaitu Liong-cu-siang-kiam atau Sepasang Pedang Mustika Naga.
Hanya pedang itulah agaknya yang sanggup dihadapkan Ang-ho-sian-kiam (Pedang
Dewa Api Merah) dari Song Kun tadi! Kelak, kau boleh menyusul Lin Lin ke Gua
Tengkorak.”
Cin Hai lalu berlutut dan menyatakan bahwa ia
hendak mentaati perintah suhunya itu. Kemudian Bu Pun Su meninggalkan tempat
itu bersama Lin Lin setelah kedua orang muda itu saling lirik dengan pandangan
mata yang mesra. Cin Hai lalu bangun dan berdiri memandang sampai bayangan dua
orang itu terlenyap di sebuah tikungan. Hatinya merasa lega dan gembira, Lin
Lin telah tertolong dan selamat dan kini ia tidak perlu merasa kuatir lagi oleh
karena di dalam tangan Bu Pun Su, gadis itu akan aman sentausa melebihi
daripada dalam pelukan ibu sendiri!
Ia lalu memikirkan keadaan Yousuf yang lenyap
dan menguatirkan keadaan orang Turki yang budiman itu. Akan tetapi, kebetulan
sekali ia mendapat tugas mencari pedang di Propinsi Kansu dan ia mengambil
keputusan untuk sekalian mencari jejak Yousuf dan apa bila perlu menolong orang
Turki itu. Ia hanya menyayangkan bahwa dalam berlari mengejar Song Kun, ia telah
meninggalkan hutan di mana Yousuf tinggal itu jauh sekali hingga ia pun tidak
tahu di mana adanya burung bangau yang ditinggalkannya di dalam hutan.
Cin Hai tidak tahu bahwa Lin Lin yang
menceritakan pengalamannya kepada Bu Pun Su di tengah jalan, lalu minta kepada
kakek itu untuk mampir di hutan itu. Mereka mencari jejak Yousuf dan mendengar
dari seorang Turki bahwa Yousuf telah dilarikan oleh keponakannya sendiri dan
kini entah berada di mana. Dan di dalam hutan itu juga, Lin Lin mendapatkan
kembali meraknya, bahkan selain Sin-kong-ciak, di situ terdapat pula
Ang-siang-kiam si Burung Bangau Besar itu hingga kedua burung sakti itu lalu
dibawa oleh Bu Pun Su ke Gua Tengkorak.
Cin Hai melanjutkan perjalanannya masuk
Propinsi Kansu. Propinsi ini adalah daerah pegunungan yang tinggi dan terjal
letaknya di sebelah utara Propinsi Se-cuan. Di sebelah baratnya adalah Propinsi
Cing-hai dan sebelah utaranya terletak Propinsi Ning-sia dan kemudian
perbatasan Mongolia. Tembok besar yang terkenal di Tiongkok itu dimulai dari
Propinsi Kan-su ini, terus memanjang menuju ke timur, bahkan Sungai Kuning
(Huang-ho) juga melalui propinsi ini dan di sepanjang Sungai Kuning terdapat
tanah pertanian yang subur. Iklim di daerah ini istimewa keringnya, hingga
dengan adanya sungai Kuning yang lewat di daerah itu maka hal ini merupakan
berkah yang besar bagi rakyat yang tinggal di Kan-su. Propinsi Kan-su memiliki
banyak kekayaan alam dan pemandangan yang cukup indah. Di ibu kota terdapat
Bukit Pagoda Putih, Pegunungan Cilian yang penuh dengan hutan-hutan yang kaya
akan berbagai binatang. Selain pertanian yang hidup subur di sepanjang lembah
Sungai Kuning, juga usaha peternakan amat besar dikerjakan orang di tempat ini.
Bulu onta dan daging lembu keluaran daerah ini terkenal sekali karena tinggi
mutunya. Di selatan terdapat padang-padang pengembalaan alam yang luas dan
baik, rumputnya subur dan airnya jernih. Gua-gua Tun-huang yang beratus-ratus,
bahkan mungkin seribu lebih banyaknya itu, merupakan pemandangan indah
peninggalan kesenian kuna. Gua-gua ini penuh dengan patung-patung dan
lukisan-lukisan dinding Agama Budha yang dibuat kira-kira pada abad ke empat.
Tidak heran apabila daerah ini menarik
perhatian orang-orang dari luar negeri, dan yang terbanyak adalah orang-orang
Turki yang datang mengembara dan mencari penghasilan di daerah yang kaya ini.
Juga di sini terdapat banyak sekali suku-suku bangsa dari barat dan utara.
Pada suatu hari Cin Hai tiba di kota Ling-sia.
Kota ini berada di sebelah utara tepi Sungai Huangho. Dengan hati gembira Cin
Hai memasuki kota itu, berjalan perlahan di sepanjang jalan raya yang penuh
dengan bangunan-bangunan besar di kanan kiri. Tiba-tiba ia mendengar suara
suling berbunyi aneh, maka ia segera menghampiri arah datangnya suara itu.
Ternyata bahwa yang menyuling itu adalah seorang Turki yang bermain sulap di
sebuah lapangan terbuka. Banyak orang menonton dan mengelilinginya. Orang Turki
itu sudah tua dan ia duduk bersila di depan sebuah keranjang bambu yang besar
sambil meniup sulingnya. Suling yang ditiupnya berbentuk ular dan ketika ia
meniup sulingnya makin keras, tiba-tiba tutup keranjang itu terbuka
perlahan-lahan dari dalam dan tersembullah seekor kepala ular yang besar! Ular
itu mendengar suara suling lalu merayap keluar, melingkar di atas tanah dan
lehernya terangkat ke atas. Ternyata ular itu besar sekali dan di bawah
kepalanya melar merupakan sendok yang besar. Itulah semacam ular kobra atau
ular sendok yang berbahaya, akan tetapi terhadap suara suling itu ia
terpengaruh hebat sekali hingga ia mulai menari-nari menggeleng-gelengkan
kepalanya dan lehernya bergerak-gerak menari mengikuti irama suara suling!
Orang-orang yang menonton menjadi gembira dan mendengar suara kagum di
sana-sini, ada juga suara orang yang menyatakan ngeri dan takut! Cin Hai tidak
tertarik hatinya melihat ular itu, akan tetapi amat tertarik mendengar suara
suling dan diam-diam ia mengingat lagu suling ini di dalam hatinya.
Ketika ia meninggalkan tempat itu tiba-tiba di
lain bagian lapangan itu ia mendengar suara gembreng dan tambur, dibarengi
suara orang berkata-kata dan gelak suara para penonton. Ternyata di bagian itu
juga terdapat orang yang sedang memperlihatkan kepandaiannya dan ketika ia
mendekati, alangkah herannya melihat bahwa yang menjual kepandaian di situ adalah
seorang hwesio dan seorang tosu. Mudah saja baginya mengenal wajah hwesio yang
selalu tertawa dengan muka dan perut yang gemuk itu, dan mengenal wajah tosu
yang selalu mewek mau menangis! Hwesio itu sedang membadut, perutnya yang
gendut dan tidak tertutup pakaian itu sebentar mengempis dan sebentar pula
mengembang sampai besar dan gendut! Pemandangan ini bagi orang-orang biasa
merupakan hal yang lucu sekali, akan tetapi bagi orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian, menimbulkan kekaguman. Oleh karena perbuatan Si Gendut itu
menunjukkan bahwa ia memiliki khikang yang tinggi hingga perut yang demikian
besarnya dapat ditarik ke dalam hingga kempis sama sekali!
“Cuwi sekalian,” kata Si Gendut sambil tak
pernah mengubah tarikan muka yang selalu tersenyum bagaikan sebuah patung
Jai-lai-hud yang peramah. “Kepandaian mengempiskan perutku yang kecil ini
banyak sekali gunanya. Di Tiongkok banyak terdapat daerah-daerah yang
kekurangan makan, sedangkan pinceng adalah seorang perantau. Pada waktu pinceng
berada di daerah kering, kalau tidak ada makanan yang boleh dimasukkan perut,
pinceng lalu menarik perut ke dalam hingga menjadi kempis dan kecil, hingga
diberi minum air semangka pun sudah kenyang! Sebaiknya, kalau pinceng berada di
tempat yang subur seperti Kan-su ini pinceng dapat melembungkan perut
sebesar-besarnya agar dapat menikmati segala macan makanan. Bahkan daging unta
pun bisa masuk ke dalam perutku!” Sambil berkata demikian, ia
mengembang-kempiskan perutnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya yang bulat
seperti bal. Kembali orang-orang tertawa geli dan Cin Hai juga ikut tertawa.
Biarpun dulu kedua orang ini telah membawa lari perahunya, akan tetapi terhadap
Si Gendut ini yang selalu tertawa, tak mungkin orang dapat marah kepadanya!
“Akan tetapi,” kata pula hwesio itu,
“Saudaraku yang kurus seperti cecak mati ini memiliki kepandaian yang lebih
hebat lagi.” Sambil berkata demikian ia menuding ke arah Ceng To Tosu yang
duduk berjongkok dengan muka seperti mau menangis. Tak perlu disertai kata-kata
lucu, baru melihat mukanya saja sudah menimbulkan rasa geli di dalam hati
hingga kembali orang-orang tertawa bergelak. “Jangan Cuwi mentertawakan
Suhengku ini,” kata pula hwesio gendut tadi, “banyak orang lihai dan
berkepandaian di dunia ini, bahkan banyak pula orang yang memiliki kekebalan
hingga segala macam senjata tajam tidak dapat melukai kulitnya! Akan tetapi,
saudaraku ini lebih hebat lagi. Dia tidak bisa mati oleh karena dia ini tidak
mempunyai darah!”
Terdengar seruan-seruan tidak percaya. “Kalau
orang tidak mempunyai darah, ia akan mati,” terdengar suara seorang penonton
mencela.
“Memang kata-kata itu benar,” kata Ceng Tek
Hosiang, “akan tetapi saudaraku itu adalah seorang sakti. Kalau Cuwi tidak
percaya sekarang hendak kubuktikan!” Sambil berkata demikian, Si Gendut
mengeluarkan sebuah pisau belati yang bergagang panjang. Pisau itu putih
mengkilap, nampaknya tajam dan baru.
“Nah, lihatlah baik-baik. Pisau ini akah
kutusukkan kepadanya dan akan kutusuk tubuhnya sampai seluruh mata pisau ini
terbenam ke dalam dagingnya!” Setelah berkata demikian, ia menghampiri Ceng To
Tosu yang masih saja duduk dengan mewek. Benar saja, hwesio itu menusuk leher
tosu itu hingga banyak orang memekik karena cemas. Bahkan Cin Hai merasa
terkejut sekali melihat betapa pisau belati itu menancap di leher Ceng To Tosu
sampai ke gagangnya! Ketika Ceng Tek Hosiang mencabut pisaunya, benar saja
tidak nampak darah sedikitpun pada leher itu, bahkan luka sedikit pun tidak!
Semua orang memandang dengan mata terbelalak,
bahkan Cin Hai sendiri hampir tak percaya kepada kedua matanya sendiri.
Bagaimana tosu ini dapat memiliki ilmu kepandaian yang demikian anehnya? Ilmu
kekebalan untuk menolak ujung senjata yang menusuk kulit, bukanlah hal yang
aneh baginya, akan tetapi kulit dan daging yang sudah tertusuk pisau sekian
dalamnya akan tetapi tidak terluka dan tidak mengeluarkan darah sama sekali,
adalah hal yang tak mungkin terjadi. Ilmu sihirkah yang dipergunakan oleh kedua
orang ini?
Ceng To Tosu lalu membuka bajunya dan tiga
kali ia ditusuk dadanya yang kurus seperti kerangka hidup itu, lalu lambungnya,
dan bahkan pipinya mendapat tusukan pula. Dan semua tusukan itu walaupun
dilakukan dengan kuat hingga pisau sampai menancap habis, namun setelah dicabut
kembali, tosu itu sama sekali tidak terluka sedikit pun. Kemudian hwesio gendut
itu lalu melempar pisau itu ke arah sebatang pohon dan pisau itu menancap
dengan keras sampai ke gagangnya.
“Nah, Cuwi lihat, bahkan batang pohon itu pun
tertancap dengan mudah, menunjukkan bahwa pisau pinceng ini benar-benar tajam
dan tidak palsu, namun menghadapi ilmu kepandaian Suhengku ini, pinceng tidak
berdaya.”
“Lihai sekali...” semua orang berseru.
Hwesio gendut itu lalu menjura dan berkata,
“Pertunjukkan kami selesai sampai di sini saja, kalau ada jodoh kita saling
bertemu lagi!” Maka semua penonton lalu bubaran dan tiada hentinya mereka
membicarakan kelihaian tosu yang kurus kering itu.
Cin Hai yang menyaksikan itu semua, dari rasa
heran menjadi rasa penasaran hebat. Ia pernah menyaksikan kepandaian kedua
pertapa ini dan ternyata bahwa kepandaian mereka biarpun lihai, namun tidak
melebihi kepandaiannya sendiri. Akan tetapi ilmu kepandaian yang baru
diperlihatkan oleh Ceng To Tosu itu, benar-benar membuat kagum dan tidak
mengerti. Maka setelah semua orang bubaran, ia lalu bertindak menghampiri dan
menjura.
“Jiwi-suhu apakah baik-baik saja?”
Ketika hwesio dan tosu itu melihat Cin Hai,
keduanya merasa terkejut, akan tetapi Ceng Tek Hosiang tetap tertawa dan Ceng
To Tosu tetap mewek.
“Ah, ah, kiranya Sie-taihiap Si Pendekar
Bodoh!” kata Ceng To Tosu. “Bagaimana bisa sampai di sini, Taihiap?”
Sementara itu sambil tertawa-tawa, Ceng Tek
Hosiang mendahului Cin Hai. “Dulu ketika kau dan Ang I Niocu melompat ke atas
kapal, kami berdua menjadi ketakutan dan terpaksa pergi lebih dulu.”
Cin Hai terseyum. “Tidak apa, hal yang sudah
lalu tak perlu digali lagi. Akan tetapi, dulu aku menemukan perahu kalian
terbalik di atas laut, bagaimana kalian bisa selamat dan sampai di sini?”
“Thian melindungi orang-orang baik,” kata
hwesio gendut itu, “maka kami terdampar ombak besar dan dilempar ke tepi laut
dengan selamat.”
“Dan sekarang jiwi-suhu berada di darat ini
sedang apakah?”
“Taihiap sudah menyaksikan sendiri bahwa kami
menjual kepandaian sambil merantau,” jawab Ceng To Tosu.
Cin Hai mengangguk-angguk dan keterangan ini
memang masuk di akal. “Kepandaianmu tadi benar-benar lihai sekali, Ceng To
Totiang,” katanya memuji akan tetapi dengan tertawa ha-ha hi-hi Ceng Tek
Hosiang lalu mengeluarkan pisau belati itu dan berkata, “Dengan pisau yang
sengaja kami buat khusus untuk keperluan ini, apakah yang lihai?”
Cin Hai memegang pisau belati itu dan berkata,
“Pisau ini pisau biasa dan tadipun dapat menancap di pohon, apanya yang aneh?
Mungkin kalian telah mempergunakan ilmu sihir!”
Tiba-tiba Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak
sedangkan Ceng To Tosu yang sebetulnya hendak tertawa, akan tetapi mulutnya
bahkan makin mewek dan makin menyedihkan! “Ah, ah, kami benar-benar merasa
puas, puas, dan bangga! Pujian semua orang-orang itu bagi kami tidak ada
artinya, akan tetapi keheranan pada muka Taihiap sungguh-sungguh membikin kami
merasa puas dan bangga!”
Ceng To Tosu juga berkata, “Sie-taihiap, pisau
kami itu ada rahasianya! Kaulihat besi kecil hitam pada gagangnya itu? Kalau
besi kecil itu tidak ditekan, maka, pisau ini adalah pisau biasa yang akan
melukai orang.Akan tetapi, coba kautekan besi kecil itu, dan kau akan melihat
keanehannya!” Cin Hai melihat besi hitam yang kecil pada ujung gagangnya dan
ketika ia menekan, ternyata pisau itu apabila ditekan pada sesuatu lalu masuk
ke dalam gagangnya yang panjang hingga tidak kelihatan lagi ujungnya! Demikian
akal yang digunakan oleh kedua pertapa itu. Ketika Si Hwesio menusukkan
pisaunya pada tubuh tosu itu, ia menekan besi hitam tadi hingga memang
kelihatannya pisau itu menancap pada tubuhnya sampai ke gagang, padahal pisau
itu ketika menekan kulitnya, lalu masuk ke dalam gagang dan tidak kelihatan
lagi, seakan-akan semuanya masuk ke dalam tubuh orang yang ditusuk!
Hampir saja Cin Hai tertawa bergelak karena
geli. Ia mengangguk-angguk kagum dan hatinya merasa senang bertemu dengan kedua
orang tua ini, karena dari pembukaan rahasia pisau ini saja dapat membuktikan
bahwa mereka menaruh kepercayaan kepadanya.
“Taihiap, sesungguhnya kami berdua sedang
melakukan tugas!” kemudian Ceng Tek Hosiang berbisik.
“Tugas? Tugas apa dan dari siapa?”
“Dari siapa lagi kalau bukan dari pemerintah
kita. Kami berdua kini telah membantu kerajaan. Panglima besar yang sekarang,
Kam-ciangkun, adalah seorang gagah yang budiman, maka kami berdua membantunya
dan kini kami diutus datang ke propinsi ini untuk semacam tugas!”
Cin Hai mengangguk. “Aku telah mendengar
tentang berita menggirangkan itu. Syukurlah kalau memang demikian halnya, memang
sudah waktunya bagi pemerintah kerajaan untuk mengganti panglima-panglima
dengan orang-orang yang benar-benar gagah dan budiman.”
“Memang kata-katamu ini benar sekali Taihiap,
apalagi oleh karena sekarang keadaan negara sedang dalam bahaya besar.”
Cin Hai terkejut. “Apa maksudmu?”
Dengan suara berbisik Ceng To Tosu berkata,
“Terlihat gejala-gejala bahwa orang-orang Turki hendak mengadakan serangan ke
daerah Tiongkok sesudah terjadinya perebutan Pulau Kim-san-to dulu itu. Dan
sikap orang-orang Mongol juga amat mencurigakan hingga kita seakan-akan
terancam dari dua pihak. Oleh karena inilah maka Kam-ciangkun lalu mengadakan
penyelidikan, sebagian ke daerah utara dan sebagian pula ke daerah barat. Kami
mendapat tugas untuk menyelidiki keadaan mereka di Propinsi Kan-su dan selain
kami berdua, masih banyak pula perwira-perwira yang menyamar dan menjadi
penyelidik, bahkan kabarnya Kam-ciangkun sendiri pun hendak datang ke daerah
ini oleh karena agaknya pergerakan musuh yang terbesar berada di daerah ini.”
Cin Hai mengangguk-angguk maklum dan berkata,
“Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku, Totiang, akan tetapi harap kau
berdua suka berhati-hati dan jangan sembarangan bicara dengan orang lain
mengenai hal ini.”
Ceng Tek Hosiang tertawa bergelak. “Tentu
saja, Taihiap, kepadamu kami tak perlu menyimpan rahasia.”
Kedua orang pendeta aneh itu lalu berpamit dan
mereka lalu berpisah dari Cin Hai.
Setelah berpisah dengan Ceng Tek Hosiang, dan
Ceng To Tosu, Cin Hai lalu berjalan-jalan di luar kota dan pergi ke tepi Sungai
Huangho yang airnya kuning. Keadaan di situ sunyi, penuh dengan sawah ladang
dan rumput di sepanjang tepi sungai amat subur kehijau-hijauan. Keadaan ini
membuat Cin Hai merasa girang sekali. Memang, semenjak pertemuannya dengan Lin
Lin, ia merasa amat gembira dan kini setelah gadis itu pergi dengan Bu Pun Su
untuk mempelajari ilmu silat, hatinya merasa tenteram dan aman. Sedikit
ganjalan hati yang terbit oleh karena peristiwa yang menimpa diri Ma Hoa dan
Kwee An, ia hibur dengan dugaan bahwa kedua orang itu pasti masih hidup oleh
karena mayat mereka tak dapat diketemukan, juga pertemuannya dengan kakek gagu
di gua yang berada di bawah tebing di mana Kwee An dan Ma Hoa terjatuh, juga
surat yang dikirim oleh seorang sakti dan yang dikirim melalui kaki Merak Sakti
dulu itu, mempertebal keyakinannya bahwa kedua orang kawannya itu pasti masih
hidup.
Cin Hai duduk di tepi sungai dan ia teringat
akan kakek bangsa Turki yang menyuling dan bermain-main dengan ularnya tadi. Ia
mengingat-ingat lagu yang ditiup oleh suling kakek itu, kemudian tanpa terasa
ia lalu mencabut keluar sulingnya terus ditiup meniru lagu kakek tadi! Dia
memang pandai sekali meniup suling dan ingatannya kuat hingga biarpun kurang
sempurna namun ia dapat menyulingkan lagu yang didengarnya tadi dengan baik!
Makin ditiup makin terasalah kenikmatan irama lagu yang asing itu, maka
sebentar saja Cin Hai telah tenggelam dalam permainan sulingnya.
Tak disangka sama sekali, bahwa suara
sulingnya itu telah menarik perhatian sepasang ular sendok yang tinggal dalam
sebuah lubang di tepi sungai itu. Tadinya Cin Hai tidak tahu akan kedatangan
kedua ekor ular itu yang datang berlenggak-lenggok tanpa menerbitkan suara.
Tahu-tahu dua ular itu telah berada di depannya dengan kepala terangkat tinggi-tinggi
dan lidahnya yang merah menjilat-jilat keluar sambil lehernya yang menggembung
itu bergerak-gerak ke kanan kiri!
Bukan main terkejut dan ngerinya rasa hati Cin
Hai melihat betapa tiba-tiba saja, muncul dua ekor ular sendok besar dan
panjang di depannya. Karena merasa terkejut dan jijik, ia menghentikan tiupan
sulingnya dengan tiba-tiba. Kedua ekor ular itu nampak marah dan bingung, lalu
dari mulut mereka keluarlah suara mendesis yang keras dan tiba-tiba mereka
menyerang Cin Hai yang sedang duduk di atas rumput itu dengan cepat sekali!
Cin Hai berseru keras dan menangkis dengan
sulingnya. Tangkisannya itu dapat membuat seekor ular terpental ke samping,
akan tetapi yang seekor lagi cepat mengelak dan terus menyerangnya dengan mulut
terbuka lebar-lebar! Terpaksa Cin Hai menjatuhkan diri ke belakang lalu
bergulingan sampai jauh dari tempat itu. Ternyata bahwa ular itu pun mengejar
dengan cepat! Cin Hai lalu melompat berdiri dan ia mulai menjadi marah. Ia
melihat betapa ular yang terpental tadi pun kini telah merayap maju dengan
kepala berdiri dan agaknya marah sekali kepadanya. Ia tak usah takut menghadapi
dua ekor ular itu dan sebetulnya kalau pada saat itu ia lari pergi, kedua
binatang itu pun takkan berdaya dan takkan dapat mengejarnya. Akan tetapi Cin
Hai telah marah karena tadi benar-benar ia dikejutkan oleh kedua binatang itu.
Ia tidak mau mengotorkan sulingnya, maka ia lalu menyimpan suling itu dan
mencabut sebatang rumput alang-alang yang besar dan yang banyak tumbuh di dekat
situ. Ketika ular yang pertama telah datang dekat dan menyambar kakinya, Cin
Hai memukul dengan rumput alang-alang itu ke arah kepala ular sambil
mengerahkan tenaga lweekangnya. Akan tetapi ular itu benar-benar gesit karena
dengan merendahkan kepala secara tiba-tiba, ia dapat mengelak dari sabatan Cin
Hai! Pemuda itu menjadi kagum dan ia mulai merasa gembira menghadapi dua ekor
binatang yang gesit ini! Ketika ia hendak menyabat kembali tiba-tiba terdengar
seruan orang,
“Jangan bunuh mereka!”
Cin Hai cepat melompat ke belakang dan ketika
ia menengok, ternyata seorang Turki yang berkulit hitam dan berambut putih
karena sudah tua berlari mendatangi dengan cepat. Melihat gerakannya yang gesit
dan larinya yang cepat, Cin Hai dapat menduga bahwa orang itu tentu memiliki ilmu
kepandaian lumayan juga.
“Menawan ular bukan seharusnya dipukul dengan
senjata,” katanya pula, lalu ia menghampiri kedua ular itu dengan merangkak di
atas kedua pasang kaki tangannya! Ular-ular itu memandang tajam dan marah, lalu
ular yang jantan menyambar ke arah lehernya untuk digigit! Kakek Turki itu lalu
mengangkat tangannya dengan gerakan tangan seperti seekor ular juga,dan ketika
kepala ular itu sudah datang dekat, tiba-tiba jari-jari tangan kanannya dibuka
seperti mulut ular sedang menyerang dan ia menerkam leher ular itu, dipegangnya
dengan tepat dan erat-erat! Ular itu membelit-belit lengannya dan meronta-ronta
akan tetapi dengan cepat sekali tangan kiri orang itu menangkap tubuh ular itu
dan dibetot atau diurutnya ke belakang dengan kuat.
Aneh sekali, setelah tubuhnya diurut ke
belakang sampai pada ekornya, ular itu menjadi lumpuh dan ketika kakek itu
melepaskan punggungnya, ular itu menjadi lemas dan jatuh di atas tanah tanpa
berdaya lagi. Ular betina menjadi marah sekali melihat kawannya dikalahkan,
maka ia lalu mendesis-desis dan menyerang hebat. Akan tetapi, kakek Turki yang
gesit dan gagah itu kembali mengulangi perbuatannya dan ular betina ini pun
dapat tertangkap dan kini kedua ekor ular itu berkelojotan di atas tanah dengan
lumpuh. Setelah itu barulah kakek Turki itu berpaling kepada Cin Hai sambil
tersenyum.
“Sepasang ular sendok jantan betina yang
keluar bersama bukanlah hal yang mudah dijumpai. Hal ini menandakan bahwa ular
betina ini tentu sedang bertelur dan telur-telur muda yang masih berada di
dalam perutnya merupakan obat-obat yang luar biasa dan sukar didapat. Sungguh
aku merasa beruntung sekali bertemu dengan kau dan dua ekor ular ini. Kalau
tadi kau membunuh ular-ular itu, maka khasiat telur di dalam perutnya akan
lenyap tak berguna lagi.”
Cin Hai memandang kagum. “Kau hebat sekali,
Lopek,” katanya karena selain ia merasa kagum akan kelihaian kakek ini, juga ia
merasa heran mengapa orang Turki ini fasih sekali bicara dalam bahasa Han,
bahkan tidak kalah fasihnya daripada Yousuf sendiri. “Kau tentu seorang ahli
penangkap ular.”
Kakek Turki itu menggeleng-gelengken
kepalanya. “Bukan, aku bukan penangkap ular, akan tetapi aku hanyalah seorang
ahli pengobatan bangsa Turki yag sederhana pula.”
“Akan tetapi ilmu kepandaianmu hebat sekali!”
“Tidak ada sepersepuluh bagian dari pada
kepandaianmu, anak muda. Pada saat dunia sedang kacau balau dan banyak
kejahatan merajalela di mana-mana kalau kita tidak memiliki sedikit tenaga,
pasti sukar untuk hidup terus.”
Cin Hai terkejut. Orang ini tentu bukan orang
sembarangan, pikirnya. Ia teringat akan cerita kedua pendeta yang membantu
kerajaan. Apakah kakek ini seorang yang penting dalam rombongan orang Turki
yang hendak menyerang Tiongkok? Ia lebih terkejut lagi ketika tiba-tiba kakek itu
berkata,
“Anak muda, harap kau jangan menduga yang
bukan-bukan! Kau tentulah Si Pendekar Bodoh, bukan? Aku bukanlah anggauta
orang-orang Turki yang menyerang negerimu!” Hampir saja Cin Hai melompat tinggi
karena kaget dan herannya.
“Eh, Lopek, kau... bagaimana kau bisa tahu
namaku dan bagaimana pula kau bisa membaca apa yang sedang kupikirkan?”
Kakek itu tersenyum, lalu membungkuk dan
menangkap leher ular yang masih bergerak-gerak, lalu dengan cekatan sekali ia
menggulung tubuh ular itu bagaikan seorang menggulung sehelai tambang. Lalu ia
mencabut rumput alang-alang dan mengikat gulungan tubuh ular itu dengan
eratnya. Ular ke dua pun diperlakukan demikian hingga tak lama kemudian kedua
ular itu telah merupakan dua buah gulungan yang tak bergerak, hanya lidah
mereka saja masih seringkali menjulur-julur keluar. Kemudian ia duduk di atas
rumput yang tebal dan memberi isyarat agar supaya Cin Hai duduk pula di
sampingnya. Dengan penuh keheranan, Cin Hai lalu duduk di sampingnya.
“Taihiap, aku dapat menduga bahwa kau tentu
Sie Cin Hai taihiap, karena selain gerakanmu yang lihai ketika kau diserang
ular sendok tadi, juga siapakah orangnya yang pandai bermain suling seperti kau
itu? Kau tentu kenal kepada Yousuf, bukan?”
Cin Hai mengangguk cepat. “Di mana dia?
Bagaimana keadaannya?” tanyanya.
“Dia telah diselamatkan dan sekarang berangsur
sembuh. Dari dialah maka aku dapat mengenalmu, karena ia telah menceritakan
segala pengalamannya dan menyebut-nyebut namamu, juga nama lain-lain sahabat
baiknya. Berhari-hari ia mengigau dan menyebut-nyebut nama anak angkatnya Lin
Lin, bagaimanakah keadaan anak itu?”
Cin Hai merasa girang dapat bertemu dengan
orang yang agaknya menjadi sahabat baik Yousuf. “Lin Lin telah tertolong dan
kini berada dengan suhunya memperdalam ilmu silatnya,”katanya dan kemudian
disambungnya, “Siapakah Lopek yang terhormat dan masih ada hubungan apakah
dengan Yo-pekhu?”
“Yousuf adalah muridku, dan namaku Ibrahim.”
Cin Hai terkejut sekali mendengar bahwa kakek
ini adalah guru Yousuf, maka ia cepat berdiri dan menjura dengan hormat sekali.
“Ah, tidak tahu bahwa aku berhadapan dengan seorang berilmu tinggi. Maafkan
kelancanganku Locianpwe.”
Ibrahim melambai-lambaikan tangannya. “Jangan
terlalu banyak sungkan anak muda, aku lebih menyukai kesederhanaan, karena
hidup ini sudah terlalu kacau dan menjadi suram karena tertutup oleh kepalsuan
segala peradatan dan kesopanan pura-pura!”
Mendengar ucapan ini, Cin Hai teringat akan
suhunya, Bu Pun Su, yang agaknya mempunyai banyak persamaan dengan kakek ini.
Juga Bu Pun Su tidak menyukai segala penghormatan dan kesopanan, dan hidup
dengan sederhana sekali. Maka ia makin menaruh hormat kepada kakek ini yang
dapat diduga tentu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena baru muridnya saja,
yaitu Yousuf, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat. “Locianpwe, aku
mendengar desas-desus tentang pergerakan orang-orang Turki, apakah betul berita
yang kudengar itu?”
Kakek berambut putih itu menarik napas
panjang. “Memang betul, dan inilah yang menggelisahkan hatiku. Ketahuilah anak
muda yang gagah, bahwa pada bangsa Turki terjadi perpecahan, yaitu di antara
para pengikut pangeran muda yang mempunyai kehendak untuk memerangi Tiongkok,
dan antara pengikut pangeran tua yang tidak menyetujui kehendak ini. Yousuf dan
kawan-kawan kami termasuk golongan pengikut pangeran tua, maka kami dimusuhi
oleh pengikut-pengikut pangeran muda yang terdiri dari banyak orang gagah di
negeri kami, bahkan mereka itu telah berhasil membeli tenaga orang-orang
kang-ouw dari bangsa Han sendiri! Bagiku sendiri, aku sudah merasa bosan dengan
segala kekacauan dunia dan aku tidak mau ikut-ikut, kecuali kalau melihat
kejahatan terjadi di depan mata barulah terpaksa aku harus turun tangan!”
Kemudian Ibrahim menuturkan betapa Yousuf
telah ditolong oleh seorang keponakannya sendiri dan sekarang berada dalam
perawatannya dan tinggal di kota Lan-cou, ibu kota Kansu. Ketika Cin Hai
bertanya tentang pergerakan orang-orang Mongol, kakek itu berkata,
“Memang semenjak dahulu, orang-orang Mongol
memiliki adat yang tinggi dan memandang rendah bangsa lain. Mereka ini agaknya
merasa sakit hati dan marah sekali karena wilayah mereka dilanggar oleh barisan
Turki ketika orang-orang Turki mengadakan ekpedisi ke Kim-san-to untuk mencari
emas, hingga kini jago-jago mereka di bawah perintah Yagali Khan hendak
mengadakan pembalasan oleh karena mereka tahu bahwa di daerah ini banyak
terdapat orang-orang Turki. Ah, memang dunia ini banyak sekali terjadi
permusuhan yang semata-mata ditimbulkan oleh sifat ingin menang dan kesombongan
kosong! Sie-taihiap, kalau kau berada di kota Lan-couw, harap kau suka mampir
untuk berjumpa dengan Yousuf. Kami tinggal di luar kota sebelah barat dan
apabila kau keluar dari tembok kota dan bertanya kepada orang-orang di situ,
kiranya tidak ada yang tidak kenal namaku.”
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu
memegang leher kedua ular sendok itu di kedua tangan, menjura kepeda Cin Hai
dan sekali melompat ia telah berada di tempat yang jauhnya tidak kurang dari
sepuluh kaki dan berlari cepat sekali meninggalkan tepi Sungai Huangho! Cin Hai
diam-diam merasa kagum sekali dan pertemuan dengan Ibrahim ini menggirangkan
hatinya, oleh karena selain mendengar bahwa Yousuf telah tertolong dan selamat,
juga ia kini makin terbuka matanya dan dapat mengerti keadaan-keadaan yang
terjadi pada masa itu di daerah Kan-su. Diam-diam berdebar tegang hatinya kalau
mengingat betapa pada saat itu, di daerah Kan-su terdapat empat rombongan yang
berpaham lain dan yang mungkin akan bertemu dan merupakan permusuhan hebat,
yaitu golongan pertama ialah golongan penyelidik Kerajaan Tiongkok, golongan ke
dua adalah golongan orang-orang Mongol, sedangkan golongan ke tiga dan ke empat
ialah para pengikut pangeran tua dan pangeran muda dari Turki!
Cin Hai duduk lagi di atas rumput sambil
melihat mengalirnya air sungai Huangho. Ia melihat perahu-perahu nelayan pulang
dengan perahu-perahu ikan dan para nelayan duduk di kepala perahu sambil
bernyanyi. Lagu yang mereka nyanyikan adalah lagu daerah yang sederhana akan
tetapi oleh karena enam buah perahu itu semua ditumpangi oleh orang-orang yang
bernyanyi gembira, maka suasana menjadi gembira sekali dan suara nyanyian itu
terdengar merdu! Bunyi riak air di bawah kaki Cin Hai seakan-akan ikut
berdentang hingga hati pemuda itu menjadi gembira sekali. Ia mencabut sulingnya
dan bersuling lagi, meniru lagu yang dinyanyikan oleh para nelayan itu!
Mendengar bunyi suling yang merdu, para
nelayan memandang ke arahnya dan suara nyanyian mereka terdengar makin
bersemangat dan mereka melambai-lambaikan tangan ketika perahu mereka lewat di
depan Cin Hai. Ketika perahu itu telah lalu jauh dan suara nyanyian mereka
telah terdengar sayup sampai, tiba-tiba Cin Hai yang masih meniup sulignya itu
mendengar suara tetabuhan yang mengikuti lagu yang ditiup! Ketika ia memandang,
ternyata suara itu keluar dari sebuah perahu yang ditumpangi oleh seorang
laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun dan orang itu sedang memetik
semacam alat tetabuhan seperti gitar yang nyaring dan merdu sekali suaranya!
Laki-laki itu ternyata hanya duduk di dalam perahu yang dijalankan oleh tukang
perahu, agaknya ia seorang pelancong yang menikmati keindahan suasana dan
pemandangan di situ. Setelah lagu yang dimainkan habis, orang itu tertawa dan
melambai kepada Cin Hai sambil berkata, “Anak muda, suara tiupan sulingmu bagus
sekali!”
“Masih lebih bagus suara rebabmu itu!” kata
Cin Hai sambil tertawa juga, wajah orang yang tampan itu mendatangkan rasa suka
di dalam hatinya. “Saudara yang baik, kalau kau sudi, naiklah ke sini dan mari
kita main bersama,” kata Cin Hai lagi.
“Anak muda, aku hanya menyukai suara sulingmu,
akan tetapi mukamu membuat mataku tak sedap melihatnya!” jawab orang tua itu
yang membuat Cin Hai memandang dengan penuh keheranan. Mengapa orang ini
tiba-tiba menyatakan tidak suka kepadanya? Ia menjadi penasaran sekali karena
jawaban itu benar-benar menyakiti hatinya.
“Ah, sayang, adatmu tidak sebaik suara
rebabmu!” jawabnya.
Tiba-tiba orang itu pun berdiri di kepala
perahu dan sekali ia gerakkan tubuhnya, ia telah melompat dari perahu dan
dengan rebabnya ia menyambar dan memukul kepala Cin Hai yang masih berdiri di
tepi sungai! Cin Hai terkejut bukan main melihat hebatnya gerakan ini, maka ia
segera mengangkat sulingnya menangkis. Tangkisan ini membuat orang itu merasa
betapa telapak tangannya tergetar, maka sambil berseru keras ia melompat jauh
dan pergi dari situ tanpa menoleh lagi!
Cin Hai menghela napas. Banyak sekali terdapat
orang-orang aneh yang berkepandaian tinggi di daerah ini. Ia melihat bahwa
orang tadi adalah seorang Han dan dari logat bicaranya, dapat diketahui bahwa
orang itu datang dari Tiongkok Selatan. Yang mengherankan hatinya ialah mengapa
orang yang berwajah tampan dan menyenangkan hatinya itu ternyata mempunyai adat
yang buruk dan hati yang kejam. Kalau saja bukan dia yang diserang secara
demikian, tentu orang yang diserang itu akan remuk kepalanya! Dari tangkisannya
tadi ia maklum bahwa orang itu memiliki tenaga yang besar dan ilmu kepandaian
yang tinggi. Tentu ia tak pernah menduga bahwa orang itu bukan lain ialah Sie
Ban Leng, atau pamannya sendiri yang dulu mengkhianati dan mencelakakan orang
tuanya! Dan ia tidak tahu pula bahwa Sie Ban Leng sedang mengikuti Ang I Niocu
yang kebetulan sekali juga berada di kota Ling-sia. Melihat betapa Ang I Niocu
bermalam dalam sebuah rumah penginapan di dalam kota, Sie Ban Leng lalu
melancong ke luar kota dan menyewa perahu hingga tanpa sengaja ia bertemu
dengan Cin Hai yang mengejutkan hatinya dan yang membuatnya jerih dengan
tangkisan hebat itu!
Cin Hai lalu kembali ke rumah penginapan dan
malam itu ia tidak keluar dari kamar. Ia tidak tahu bahwa tidak jauh dari rumah
penginapannya itu, dalam sebuah penginapan lain, bermalam Ang I Niocu yang
telah hampir dilupakannya itu karena disangkanya telah mati!
Ang I Niocu sendiri tidak tahu bahwa semenjak
berpisah dari Kwee An, Ma Hoa, dan Nelayan Cengeng, ia diikuti oleh Sie Ban
Leng yang tergila-gila kepadanya. Dara Baju Merah ini melanjutkan perjalanan
dan ketika tiba di kota Ling-sia, ia bermalam dalam sebuah hotel tanpa keluar
lagi dari situ. Pada keesokan harinya pagi-pagi benar ia telah keluar dari
hotel dan melanjutkan perjalanannya menuju ke Lan-cou untuk mencari Lin Lin dan
Yousuf, serta kalau mungkin, mencari Cin Hai juga.
Dia telah mengambil jalan sebelah selatan
hingga tidak dapat bertemu dengan Cin Hai, sedangkan Kwee An, Ma Hoa dan
Nelayan Cengeng mengambil jalan di sebelah utara, maka Cin Hai yang mengambil
jalan di tengah-tengah antara keduanya itu tak dapat bertemu pula dengan
rombongan ini.
Jalan yang ditempuh oleh Ang I Niocu dan Cin
Hai, bertemu di kota Ling-sia, akan tetapi mereka mendiami dua buah hotel yang
berlainan dan tak dapat bertemu pula! Ketika Ang I Niocu melanjutkan perjalanan
pada pagi hari itu, Cin Hai masih berada di dalam kamarnya! Hanya seorang yang
memperhatikan keberangkatan Ang I Niocu bahkan orang segera mengikuti dengan
diam-diam, yaitu Sie Ban Leng yang selalu mengikuti Dara Baju Merah itu dan
mencari kesempatan yang baik untuk menghubunginya.
Ang I Niocu yang melakukan perjalanan dengan
cepat, tidak tahu sama sekali bahwa diam-diam ada orang yang mengikutinya.
Ketika ia tiba di sebuah jalan yang sunyi dan di kanan-kirinya tampak tanah
yang penuh rumput hingga merupakan padang rumput yang luas, hari telah menjadi
senja. Para penggembala sedang menghalau ternak mereka untuk pulang ke kandang,
hingga di tempat itu ramai suara lembu menguak dan domba mengembik.
Tiba-tiba, dari jalan simpang sebelah kiri,
muncul dua orang pendeta yang ketika dekat segera menghadang di tengah jalan
sambil memandang kepada Ang I Niocu dengan tajam. Pendeta-pendeta itu bukan
lain ialah Sian Kek Losu dan Thai Kek Losu, jago nomor satu dan nomor dua dari
Mongol! Ang I Niocu mengenal Sian Kek Losu sebagai pendeta yang pernah bertempur
melawan orang sombong di dalam hutan itu, maka diam-diam ia menjadi terkejut.
Ia tidak mempedulikan mereka dan hendak berjaIan terus, akan tetapi Sian Kek
Losu lalu berkata kepada suhengnya,
“Inilah seorang di antara mereka.” kemudian
sambil menuding ke arah Ang I Niocu dan sengaja menghadang jalan gadis itu, ia
membentak,
“Mata-mata kerajaan, kau hendak lari ke mana?”
Sambil berkata demikian pendeta pendek ini lalu mengeluarkan gendewanya dan
tiba-tiba tiga batang anak panah menyambar ke arah tubuh Ang I Niocu di bagian
leher, dada dan lambung!
Ang I Niocu telah menyaksikan kelihaian anak
panah pendeta pendek ini, maka dengan cepat ia lalu mengenjot tubuhnya ke atas
hingga tiga batang anak panah itu lewat di bawah kakinya dengan cepat sekali!
Sebatang di antara tiga buah anak panah itu meluncur cepat dan tepat sekali
menancap di punggung seekor lembu hingga binatang itu menguak kesakitan dan
berlari menubruk sana-sini mengacaukan lembu-lembu dan domba-domba lain yang
segera berlari cerai berai! Para penggembala menjadi terkejut sekali, mereka
mengayun cambuk mereka yang panjang hingga terdengar suara cambuk riuh rendah,
dibarengi teriakan-teriakan mereka dalam usaha menenangkan ternaknya dan
mengumpulkan sekalian binatang yang berlari-larian itu!
Ang I Niocu menjadi marah sekali. “Pendeta
pengecut! Kaukira aku takut kepadamu? Rasakan pembalasan Ang I Niocu!” Secepat
kilat Ang I Niocu lalu mencabut pedangnya Cian-hong-kiam pemberian tunangannya
dan maju menerjang pendeta pendek itu! Sian Kek Losu lalu mengangkat gendewanya
dan mereka segera bertempur dengan seru! Sebagai jago nomor dua dari Mongol,
tentu saja Sian Kek Losu memiliki ilmu silat yang telah berada di tingkat yang
tinggi hingga Ang I Niocu mengerahkan kepandaiannya. Ia mainkan Ilmu Pedang
Ngo-lian-hoan-kiamhwat, dibarengi dengan gerakan-gerakan Sianli-utauw yang
lihai dan indah.
“Bagus, bagus sekali!' Thai Kek Losu memuji
oleh karena pendeta tua ini merasa kagum melihat ilmu pedang yang amat indah
gerakannya itu. Ia maklum bahwa gadis baju merah ini merupakan lawan yang
tangguh, apa lagi setelah ia mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Ang I
Niocu yang telah tersohor namanya sebagai seorang pendekar wanita yang lihai.
Maka sambil berseru keras ia lalu maju menerjang dan membantu sutenya.
Terkejutiah hati Ang I Niocu melihat betapa
angin pukulan yang dilakukan dengan kebutan ujung lengan baju Thai Kek Losu
luar biasa sekali. Diam-diam ia mengeluh oleh karena untuk menjatuhkan Sian Kek
Losu saja ia harus mengerahkan seluruh kepandaiannya, apa lagi sekarang ada
seorang pendeta tua yang luar biasa dan yang ia tahu memiliki ilmu kepandaian
lebih tinggi dari pada pendeta pendek itu. Ia menggigit bibirnya dan mainkan
ilmu pedangnya dengan sekuat tenaga. Pedang Cian-hong-kiam berkelebat cepat
merupakan segulung sinar berkilauan hingga seluruh tubuhnya terkurung rapat.
Namun, serangan kedua orang pendeta Sakya Buddha yang berjubah merah itu
benar-benar luar biasa, terutama serangan ujung lengan baju Thai Kek Losu berat
sekali menekannya hingga beberapa kali pedangnya kena disampok hingga lengannya
terasa kesemutan.
Pada saat itu terdengar bentakan orang,
“Pendeta-pendeta jahat jangan kalian berani mengganggu kawan baikku!” Dan
ketika seorang laki-laki melompat dan menggunakan senjatanya yang berupa rebab,
tahulah Ang I Niocu bahwa orang ini bukan lain ialah Sie Ban Leng yang berjuluk
Si Tubuh Baja itu. Betapapun tidak sukanya melihat kesombongan orang ini, namun
bantuannya yang datang secara tiba-tiba membuat Ang I Niocu merasa berterima
kasih dan bernapas lega. Ia lalu memutar pedangnya dan menghadapi Thai Kek Losu
yang lihai, sedangkan Sie Bang Leng lalu menyerang Sian Kek Losu hingga kedua
orang ini bertempur lagi dengan seru.
Para penggembala yang melihat pertempuran ini
menjadi ketakutan dan sebentar saja tempat itu menjadi sunyi karena semua
ternak telah dihalau dengar buru-buru oleh para penggembala hingga kini yang
terdengar hanyalah suara rebab Sie Ban Leng beradu dengan gendewa Sian Kek
Losu. Memang kedua orang ini memiliki ilmu kepandaian yang setingkat tingginya
hingga pertempuran mereka merupakan pertempuran yang ramai.
Sementara itu, menghadapi kelincahan Ang I
Niocu yang luar biasa, Thai Kek Losu merasa kewalahan juga dan tiba-tiba ia
berseru keras dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan,
yaitu sebuah tengkorak anak kecil yang terikat dengan rantai. Begitu senjata
itu menyambar, Ang I Niocu telah merasa bergidik bulu tengkuknya dan gerakan
pedangnya menjadi kacau. Tidak saja dari tengkorak itu mengeluarkan bau yang
membuatnya menjadi muak dan pusing, akan tetapi juga tengkorak yang meringis
dan seakan-akan muka anak kecil tengah menangis itu membuat hatinya lemah dan
ngeri. Sebentar saja permainan pedangnya menjadi kalut dan Thai Kek Losu
mendesaknya dengan hebat. Keadaan Ang I Niocu berbahaya sekali, dan hal inipun
mempengaruhi Sie Ban Leng karena ketika ia melihat betapa gadis yang
menggiurkan hatinya itu terancam bahaya, perhatiannya terpecah dan kesempatan
ini dipergunakan oleh Sian Kek Losu untuk mendesaknya dengan gendewanya yang
digerakkan secara luar biasa.
Seperti halnya Cin Hai ketika mengadapi Thai
Kek Losu, maka tengkorak yang seperti muka seorang anak-anak sedang menangis
itu membuat Ang I Niocu menjadi lemah dan ia tidak berani menggunakan pedangnya
untuk menangkis atau membacok tengkorak itu, karena hal ini seakan-akan seperti
ia membacok kepala seorang kanak-kanak. Hatinya tidak tega dan berbareng merasa
ngeri oleh karena selama hidupnya belum pernah ia menghadapi sebuah senjata
sehebat ini. Seorang yang sedang mainkan senjata, apalagi di waktu bertempur
menghadapi seorang lawan tangguh, yang terutama harus berhati tabah, tenang dan
perhatian harus dicurahkan seluruhnya terhadap pertempuran itu. Dengan
demikian, barulah ia akan dapat berkelahi dengan baik dan sempurna. Maka,
setelah perhatiannya sebagian besar dikacaukan oleh senjata lawan yang
mengerikan itu, maka ilmu pedang Ang I Niocu menjadi kacau balau dan ia banyak
membuat kesalahan-kesalahan. Sementara itu, desakan-desakan Thai Kek Losu makin
hebat saja! Hanya berkat ketangkasan kaki tangannya yang diperoleh dari banyak
pengalaman berkelahi saja yang membuat Ang I Niocu masih dapat bertahan selama
itu!
Pada saat keadaan Ang I Niocu amat berbahaya
dan juga Sie Ban Leng ikut pula terancam, tiba-tiba terdengar suara orang
ketawa dan dua bayangan tubuh orang berkelebat mendatangi lalu tanpa banyak
cakap kedua orang ini lalu menyerbu dan membantu Ang I Niocu dan Sie Ban Leng!
Ketika melihat bahwa yang datang membantu ini adalah seorang tosu yang mulutnya
mewek mau menangis dan seorang hwesio yang mulutnya menyeringai kegirangan,
bukan main herannya hati Ang Niocu. Tak terasa pula ia berseru, “Ceng Tek
Hosiang dan Ceng To Tosu! Bagaimana kalian bisa sampai ke sini? Dari mana Jiwi
tiba-tiba datang?” Akan tetapi sambil berseru demikian, Ang I Niocu tetap
mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dari serangan Thai Kek Losu.
“Ha, ha, ha, Ang I Niocu! Tak nyana kita dapat
bertemu di sini!” Ceng Tek Hosiang menjawab. “Tentu saja pinceng datang dari
alam kosong!”
Setelah menjawab dengan kelakar ini, Ceng Tek
Hosiang lalu membantu Sie Ban Leng menghadapi Sian Kek Losu, sedangkan Ceng To
Tosu membantu Ang I Niocu menghadapi Thai Kek Losu!
Biarpun ia dapat mendesak Ang I Niocu akan
tetapi Thai Kek Losu maklum bahwa ia tidak dapat cepat-cepat menjatuhkan Ang I
Niocu yang benar-benar gagah itu, sedangkan Sian Kek Losu hanya dapat melawan
Sie Ban Leng dalam keadaan berimbang saja, maka kini melihat datangnya seorang
hwesio dan seorang tosu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi juga diam-diam
Thai Kek Losu menjadi gentar.
Sambil tertawa bergelak, Ceng Tek Hosiang
berkata “Eh, dua orang pendeta merah, bukalah matamu lebar-lebar! Kalian ini
anak-anak kemarin sore berani mengganggu kawan-kawan pinceng? Belum kenalkah
kalian akan kesaktianku? Lihat ini!” Sambil berkata demikian, hwesio gendut
yang selalu tertawa itu mengeluarkan pisau belatinya yang mengkilap.
Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu siap sedia
melihat hwesio itu mengeluarkan pisau belati oleh karena mereka menyangka bahwa
pisau itu tentu akan dilontarkan ke arah mereka dan menduga bahwa hwesio itu
tentulah seorang ahli hui-to (golok terbang). Akan tetapi alangkah heran mereka
ketika melihat betapa pisau itu diayun, kemudian ditusukkan ke arah perut yang
gendut itu hingga pisau itu menancap sampai ke gagangnya! Akan tetapi segera
keheranan mereka berubah menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa setelah
pisau itu dicabut, perut yang gendut itu sedikit pun tidak terluka!
Berkali-kali Ceng Tek Hosiang menancapkan “Pisau wasiatnya” ke dalam perut
hingga kedua pendeta Sakya Buddha itu benar-benar merasa heran dan terkejut!
Hanya Buddha sendiri yang dapat memiliki ilmu kesaktian seperti itu!
“Cobalah kautiru perbuatanku tadi, kalau kau
sanggup, biarlah pinceng mengalah tanpa berkelahi!” kata Ceng Tek Hwesio sambil
melontarkan pisau itu ke arah dada Thai Kek Losu. Dengan mudah Thai Kek Losu
menjepit pisau itu dengan dua jarinya dan karena ia merasa penasaran, ia lalu
memeriksa pisau itu seperti apa yang diperbuat oleh Cin Hai ketika ia bertemu
dengan hwesio ini. Ketika ia melihat bahwa pisau itu benar-benar pisau tulen
dan tidak palsu, maka buru-buru ia menjura sambil berkata,
“Kami yang bodoh telah bertemu dengan seorang
sakti. Maafkan kami!” Maka ia lalu melempar pisau itu dengan perlahan ke arah
Ceng Tek Hwesio yang ketika menyambut gagang pisau itu merasa betapa tangannya
menjadi tergetar, akan tetapi pada saat itu Thai Kek Losu dan Sian Kek Losu
yang merasa gentar menghadapi hwesio gendut yang mukanya seperti Jai-lai-hud
dan yang kesaktiannya dapat dibandingkan dengan Sang Buddha sendiri itu telah
pergi dengan cepat sekali!
Ang I Niocu sendiri berdiri bagaikan patung
karena heran dan terkejutnya melihat pertunjukan ini, akan tetapi Sie Ban Leng
yang sudah tahu, hanya tertawa saja. Sebenarnya, kedua orang pendeta ini masih
berada di bawah kekuasaan Sie Ban Leng, oleh karena ketika Kam-ciangkun memberi
perintah kepada mereka dan perwira-perwira lain, Sie Ban Leng ditunjuk sebagai
pemimpin tertinggi dan wakilnya! Diam-diam Sie Ban Leng memberi isyarat dengan
kedua matanya, hingga kedua orang pendeta itu segera menghampiri Ang I Niocu
sambil menjura.
“Apakah Niocu selama ini baik-baik saja?” kata
Ceng To Tosu sambil mewek. “Terima kasih, dan atas pertolongan Jiwi, aku tak
lupa menyatakan bersyukur dan terima kasih pula.” Sambil berkata demikian, Ang
I Niocu masih saja memandang kepada Ceng Tek Hosiang dengan kagum dan heran.
Kepandaian seperti yang didemonstrasikan oleh hwesio gendut, biarpun Bu Pun Su
sendiri belum tentu akan sanggup melakukannya!
Setelah menjura lagi kepada Ang I Niocu dan
Sie Ban Leng, kedua pertapa yang sudah mendapat perintah untuk pergi dengan
isyarat mata dari Sie Ban Leng tadi, lalu meninggalkan mereka tanpa banyak
cakap lagi.
“Mereka itu orang-orang aneh,” kata Ang I
Niocu.
“Memang, orang-orang sakti memang bersikap
aneh,” kata Sie Ban Leng sambil maju mendekati Ang I Niocu dengan senyum yang
memikat.
Sebenarnya yang mengherankan hati Ang I Niocu
dan yang membuat ia menganggap mereka aneh itu adalah demonstrasi dengan pisau
tadi. Dulu ia pernah bertempur dengan Ceng Tek Hosiang dan tahu sampai di mana
kepandaiannya, mengapa sekarang hwesio gendut itu dapat memiliki ilmu kesaktian
sehebat itu? Kemudian Dara Baju Merah ini teringat bahwa ia telah ditolong oteh
Sie Ban Leng, maka cepat ia menjura sambil berkata,
“Sie-enghiong telah menolongku, banyak-banyak
terima kasih!”
Sie Ban Leng membalas penghormatan ini dan
berkata sambil tersenyum, “Ah, Niocu terlalu merendah dan sungkan. Di antara
kita sendiri perlu apa harus berlaku sungkan-sungkan? Kalau kita tidak saling
membantu, apakah patut kita disebut orang-orang gagah? Sebetulnya, kalau aku
boleh bertanya, Niocu hendak pergi ke manakah?”
“Aku hendak pergi ke Lan-couw,” jawab Ang I
Niocu sejujurnya.
“Kebetulan sekali, aku pun hendak ke ibu kota
itu. Kalau tidak menjadi halangan dan kalau kau sudi, marilah kita jalan
bersama-sama agar setiap waktu kalau bertemu dengan orang-orang jahat, kita
dapat saling membantu. Di daerah ini memang banyak sekali terdapat orang-orang
Mongol yang jahat, dan ada pula orang-orang Turki yang suka mengganggu bangsa
kita.”
Ang I Nocu merasa serba salah. Ia merasa
sungkan untuk jalan bersama orang ini, akan tetapi, Ban Leng telah menolongnya
dan mereka memang setujuan, bagaimana ia dapat mengeluarkan kata-kata menolak
atau menyatakan keberatan?
“Aku tidak takut segala macarn penjahat, biar
bangsa apapun juga!” jawabnya sambil memandang tajam. “Akan tetapi kalau tujuan
perjalanan kita sama, tiada salahnya kita jalan bersama.”
Bukan main girang hati Ban Leng oleh karena
kesempatan yang dinanti-nanti itu kini telah tiba. Ia tidak perlu lagi
mengikuti Dara Baju Merah yang telah menawan hatinya itu! Dan oleh karena Ban
Leng memang pandai membawa diri dan cukup cerdik untuk tidak bersikap sombong
dan kurang ajar, bahkan ia selalu memperlihatkan sikap sopan dan menghormat
terhadap Ang I Niocu maka gadis itu pun mulai percaya kepadanya dan
menganggapnya sebagai seorang kawan baik.
Ketika Ang I Niocu secara sambil lalu bertanya
kepada Ban Leng tentang keperluannya mengembara di barat dan pergi ke Kan-su,
Ban Leng menarik napas panjang dan menjawab,
“Lihiap, sebetulnya hal ini merupakan rahasia
besar dan belum pernah kuceritakan kepada orang lain.” Semenjak Ang I Niocu
menyatakan tidak suka disebut “Niocu” maka Ban Leng lalu mengubah sebutan
menjadi “Lihiap”.
“Ah, kalau memang rahasia, tak perlu pula
diceritakan kepadaku,” jawab Ang I Niocu.
“Kepadamu aku tidak mempunyai rahasia sesuatu,
Lihiap. Terus terang saja kuberitahukan kepadamu bahwa aku bekerja untuk kaisar
dan kedatanganku di daerah ini pun atas perintah kerajaan.”
Ang I Niocu tercengang. “Ah, kalau begitu kau
adalah seorang perwira yang menyamar?”
“Bukan, aku bukan seorang perwira akan tetapi
aku hanya diminta membantu saja, mewakili pekerjaan Kam-ciangin yang kini
menjadi pemimpin perwira kerajaan menggantikan kedudukan Beng Kong Hosiang yang
telah tewas. Oleh karena banyak terjadi hal-hal yang mencurigakan di daerah Kan-su
ini, dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol, maka aku mendapat tugas untuk
menyelidiki keadaan mereka. Bahkan kedua orang yang dulu menolong kita, Ceng
Tek Hosiang dan Ceng To Tosu, juga menjadi pembantu-pembantuku. Kami bekerja
dengan diam-diam dan sebelum mendapat bukti-bukti, kami tidak mau turun tangan,
sesuai dengan perintah Kam-ciangkun.”
Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum.
“Sebetulnya, apakah yang dilakukan oleh orang-orang Turki dan Mongol itu di
daerah ini?”
“Inilah yang sedang kami selidiki, dan menurut
laporan-laporan para pembantuku, memang ada hal yang amat menarik hati di
samping maksud-maksud serombongen orang Turki yang hendak menyerbu negeri kita.
Menurut hasil penyelidikan di daerah Kan-su selain menjadi sumber penghasilan
bagi perantau-perantau itu, juga di ibu kota terdapat harta terpendam yang luar
biasa besar nilainya. Harta terpendam inilah agaknya yang menarik hati
jago-jago dari Mongol dan Turki mendatangi tempat ini dalam usaha mereka untuk
mencari dan mendapatkannya.”
Ang I Niocu merasa tertarik sekali, tetapi ia
tidak banyak cakap dan diam-diam ia mengambil keputusan untuk menyelidiki
sendiri keadaan ini. Dalam perjalanan bersama ini, makin lama makin nampak
jelas sikap Ban Leng yang seringkali memandang dengan mata mengandung perasaan
hatinya secara terbuka, bahkan dalam sikapnya juga mudah saja diterka bahwa
laki-laki ini “jatuh hati” kepadanya. Hal ini tidak dipedulikan oleh Ang I
Niocu walaupun ada juga sedikit perasaan iba di dalam hatinya. Entah bagaimana,
dalam penglihatannya, kedua mata Ban Leng mengingatkan dia akan Cin Hai. Sama
benar mata Ban Leng ini dengan mata Cin Hai, sama lebar dan sama tajam, hanya
sedikit bedanya kalau Cin Hai menggerakkan bola matanya dengan tenang hingga
nampak seperti orang bodoh, adalah Ban Leng menggerakkannya dengan lincah,
tanda bahwa otaknya kerja cepat dan wataknya cerdik.
Sementara itu, Cin Hai tertinggal dua hari
oleh Ang I Niocu karena pemuda melakukan perjalanan dengan seenaknya dan tidak
tergesa-gesa. Tiap kali melalui bukit, ia menikmati tamasya alam di daerah itu
dan tiap kali melalui dusun atau kota, ia tentu berhenti sebentar, bahkan
kadang-kadang bermalam untuk mengenal tempat itu lebih baik. Penghidupan di
daerah itu menarik hatinya, terutama melihat banyaknya macam suku-suku bangsa
yang berdiam di tempat itu secara berkelompok-kelompok.
Pada suatu hari Cin Hai melihat serombongan
orang Turki terdiri dari lima orang berjalan masuk ke dalam sebuah dusun.
Ketika melihat bahwa Wai Sauw Pu, kakek bersorban itu berada di dalam rombongan
tadi, timbul keinginan hati Cin Hai untuk mengikuti mereka. Kelima orang itu
masuk ke dalam sebuah pondok dan karena hari itu sudah mulai gelap, dengan
berani dan cekatan Cin Hai melompat ke atas genteng dan bersembunyi di atas sambil
mengikuti. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika mendengar pembicaraan mereka
dilakukan dalam bahasa Turki yang ia tidak mengerti. Ia hendak meninggalkan
tempat itu akan tetapi ketika ia mendengar Wai Suaw Pu menyebut-nyebut nama
Yousuf, ia membatalkan niatnya itu dan terus mengintai.
Tak lama kemudian, kelima orang itu yang
agaknya menanti sampai malam tiba, lalu meninggalkan pondok dan menuju ke
sebuah pondok yang terpencil dan berada di sebelah utara di ujung dusun itu.
Wai Sauw Pu mengetuk pintunya dan ketika pintu dibuka oleh seorang Turki yang
sudah tua, kelima orang itu tanpa permisi lalu melangkah masuk. Cin Hai melihat
betapa kedua mata kakek Turki itu terbelalak ketakutan, maka ia lalu melompat
naik ke atas genteng dan membuka sebuah genteng melakukan pengintaian.
Cin Hai melihat betapa kelima orang itu
melakukan pertanyaan-pertanyaan dengan wajah bengis, sedangkan kakek itu
menjawab dengan takut-takut seakan-akan kelima orang itu sedang mendesak untuk
mengakui sesuatu yang disangkal oleh kakek itu, ternyata bahwa berkali-kali ia
menggeleng-geleng kepala dan menggoyang-goyangkan tangan. Kemudian agaknya Wai
Sauw Pu menjadi marah sekali karena dengan tangan kiri ia memegang leher baju
orang tua itu sambil membentak-bentaknya. Kemudian tangan kanannya menampar
hingga tubuh kakek itu terlempar dan menubruk dinding. Tamparan tangan Wai Sauw
Pu keras sekali hingga kakek itu mengeluh dengan suara perlahan dan tak dapat
bangun pula. Wai Sauw Pu melangkah maju, hendak menampar pula agaknya, akan
tetapi pada saat itu, sebuah benda melayang dari atas dan hampir saja mengenai
tangannya kalau saja ia tidak cepat mengelak. Sambaran benda yang ternyata
sepotong genteng itu, disusul oleh melayangnya tubuh Cin Hai dalam pondok,
sambil membentak,
“Orang-orang kejam jangan menyiksa orang tua
yang lemah!”
Bukan main terkejutnya hati Wai Sauw Pu ketika
melihat bahwa yang melayang turun itu adalah pemuda yang dulu membela Yousuf
dan Lin Lin di dalam hutan. Ia telah merasai kelihaian pemuda ini, maka hatinya
menjadi gentar. Tidak demikian dengan keempat orang kawannya yang belum
mengenal Cin Hai, maka dengan golok di tangan mereka maju menerjang pemuda
asing ini. Cin Hai menggerakkan kedua tangannya dan oleh karena kawan-kawann
Wai Siauw Pu itu ternyata memiliki ilmu silat biasa saja, sekali tubuhnya
bergerak, dua batang golok telah dapat dirampas dan pemilik-pemilik golok
terpelanting roboh! Dua batang golok yang kini berada di tangan Cin Hai itu
tiba-tiba dilontarkan ke arah Wai Siauw Pu yang segera melompat ke samping dan
kakek bersorban ini terus melompat melalui jendela dan lari! Kawan-kawannya
juga segera melarikan diri keluar dari pintu, sedangkan dua orang yang tadi
terpelanting jatuh, merayap-rayap dan kemudian lari pula ke luar. Ternyata
bahwa Wai Siauw Pu tidak berani menghadapi Cin Hai seorang diri saja oleh
karena kawan-kawannya adalah orang biasa yang tak dapat diandalkan tenaganya.
Cin Hai tidak mau mengejar, hanya menghampiri kakek yang masih rebah di atas
lantai sambil merintih-rintih itu.
“In-kong (Tuan Penolong)... terima kasih...
terima kasih...” katanya dalam bahasa Han yang kaku sambil terengah-engah.
Ketika Cin Hai mengangkat tubuh kakek itu untuk dibaringkan di atas dipan, ia
menjadi terkejut sekali oleh karena melihat betapa kepala kakek itu yang tadi
terbentur tembok telah mendapat luka yang besar dan berbahaya sekali.
“Lopek, mengapa mereka itu memusuhimu?”
“Mereka adalah pengikut-pengikut…Pangeran
muda... kejam dan ganas...” akan tetapi tiba-tiba wajah yang menyeringai
kesakitan itu lalu tersenyum, “akan tetapi jangan harap akan dapat merampas
ini... biar mereka membunuhku sekalipun...” Ia lalu mengeluarkan sebuah
bungkusan dari dalam bajunya.” In kong... aku sudah tua, lukaku berat, tiada
gunanya kautolong aku... kalau kau memang seorang gagah yang berhati mulia...
tolonglah saja benda ini, jangan sampai terjatuh ke dalam tangannya...”
Cin Hai menerima bungkusan itu dengan perasaan
kasihan dan terheran. Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan bertanya, “Lopek,
apakah kau seorang pengikut Pangeran tua dan kenalkah kau kepada Ibrahim dan
Yousuf?”
Mata yang sudah layu itu bercahaya kembali.
“Tentu saja... Yousuf adalah kemenakanku... kau...kaujagalah benda ini
baik-baik... mereka menghendaki benda ini... bangsa-bangsa itu, agaknya berani
mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan benda ini... In-kong, kau boleh
pergunakan benda ini dan... dan selain Yousuf atau Ibrahim sendiri, jangan
berikan benda ini kepada orang lain!”
“Baiklah, Lopek. Kau tidak memilih keliru,
karena terus terang saja, aku ialah seorang sahabat baik dari Yousuf.” Wajah
kakek itu berseri, akan tetapi segera berkata, “Pergilah, lekas pergi!”
Ketika melihat wajah Cin Hai yang ragu-ragu
dan tidak tega meninggalkannya dalam keadaan demikian, kakek itu berkata lagi,
“Pergilah lekas dan jangan kuatirkan aku... aku dapat merawat diri sendiri...!”
Terpaksa Cin Hai lalu melompat pergi dari
tempat itu dengan benda terbungkus itu di dalam saku bajunya. Ia tidak tahu
bahwa belum lama ia pergi, beberapa bayangan orang Turki masuk ke dalam pondok
itu dan kemudian setelah mereka meninggalkan pondok, kakek itu telah tak
bernyawa pula dengan dada tertusuk pisau!
Sambil melanjutkan perjalanannya, Cin Hai
mencoba untuk melihat apa gerangan isi bungkusan yang demikian dikehendaki oleh
Wai Sauw Pu dan kawan-kawannya. Benda itu terbungkus dengan kain kuning dan
ketika ia membuka bungkusan itu, ternyata bahwa isinya hanyalah sebuah tutup
cawan terbuat daripada perak! Cin Hai hampir tak dapat menahan gelak tawanya
melihat benda ini. Hanya tutup cawan dari perak yang harganya tidak beberapa
banyak! Ia membolak-balik benda itu di atas telapak tangannya dan memandangnya
dengan heran. Tutup cawan itu kecil saja, terbuat daripada perak bakar dan pada
mukanya terdapat ukiran-ukiran berupa bunga-bunga yang tak dapat disebut indah.
Selain ukiran ini, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan pada tutup
cawan ini. Kalau saja tidak teringat akan permintaan kakek itu, tentu Cin Hai
sudah melemparkan benda itu jauh-jauh, karena menurut pendapatnya, apakah harganya
sebuah tutup cawan? Akan tetapi Cin Hai memiliki watak yang setia dan sifat
yang gagah, maka sekali berjanji, betapapun juga tentu akan memegang teguh
janjinya itu. Maka sambil tersenyum ia lalu membungkus kembali tutup cawan itu
dan memasukkannya kembali ke dalam saku.
Ketika ia melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba
dari belakang terdengar derap kaki kuda dan ketika enam orang peunggang kuda
telah datang dekat, ternyata bahwa mereka itu adalah Wai Sauw Pu dan
kawan-kawannya! Wai Sauw Pu melompat turun dari kudanya dan menjura kepada Cin
Hai yang memandangnya dengan terheran tanpa membalas penghormatan itu.
“Sicu, kami harap kau suka mengembalikan tutup
cawan itu kepada kami.”
“Apa maktudmu?” Cin Hai membentak marah. “Aku
tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan kalian dan selama hidupku belum pernah
aku meminjam atau menerima sebuah tutup cawan dari kalian!”
Wai Sauw Pu tersenyum akan tetapi matanya
memandang tajam. “Sicu, harap kaumaafkan kalau beberapa kali kita bertemu dalam
keadaan yang kurang enak. Sebetulnya kami tidak mempunyai permusuhan sesuatu
dengan Sicu atau dengan kawan-kawan Sicu. Akan tetapi tutup cawan itu adalah
barang pusaka kami yang tercuri oleh kakek tua itu, maka tentu saja Sicu takkan
sudi untuk menyimpannya lebih jauh oleh karena kami tahu bahwa maling tua itu
telah memberikannya kepadamu.”
“Memang barang itu ada padaku akan tetapi aku
telah berjanji kepada kakek tua itu untuk menyimpannya dan tak boleh
memberikannya kepadamu!”
“Jadi Sicu lebih percaya kepada maling tua yang
jahat itu?”
“Maling tua itu, kalau benar-benar ia maling,
tidak lebih jahat dari pada kau dan kaki tanganmu!” bentak Cin Hai yang marah
ketika teringat betapa kakek bersorban yang tinggi besar ini telah memukul
kakek itu dengan kejam.
Mendengar ini, Wai Sauw Pu menjadi marah
sekali dan cepat ia mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu segulung tasbeh
dari gading. Juga kawan-kawannya telah mengeluarkan senjata masing-masing.
Ketika Cin Hai memandang, ia melihat bahwa di antara semua kawanan itu, terdapat
juga Lok Kun Tojin, tosu yang bersenjata sepasang roda pakai tali itu! Ia
maklum bahwa kali ini ia menghadapi lawan yang tangguh. Apalagi sekarang ia
tidak mempunyai pedang dan terpaksa harus melawan mereka dengan tangan kosong,
paling banyak dengan sulingnya!
“Sicu, sekali lagi dengarlah kata-kataku. Kau
masih muda dan gagah, sedangkan di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu.
Tutup cawan dari perak itu, apakah harganya bagimu? Kalau kau suka, kami
sanggup mengganti atau menukarnya dengan tutup cawan dari emas tulen!” kata
pula Wai Sauw Pu membujuk.
“Eh, sebenarnya, apakah kehendak kalian dengan
tutup cawan itu?” tanya Cin Hai. “Aku mengukuhi benda itu bukan karena ingin
memilikinya, akan tetapi hanya karena aku sudah berjanji untuk melindunginya.
Ini tidak aneh, akan tetapi kalian ini benar-benar aneh! Mengapa untuk sebuah
tutup cawan dari perak kalian hendak menggantinya dengan sebuah dari emas?”
“Sicu, ini adalah urusan dan kepentingan
pribadi, kepentingan bangsa kami. Sudah kukatakan tadi bahwa benda itu adalah
barang pusaka kerajaan kami, maka harap Sicu suka memaklumi hal ini dan
mengembalikan barang itu,” kata pula Wai Sauw Pu, bahkan kawan-kawannya pun
memandangnya dengan heran.
“Malaikat tasbeh! Kau jangan membohongi aku,
karena biarpun aku disebut Pendekar Bodoh, akan tetapi aku bukanlah seorang
anak kecil yang tidak tahu apa-apa! Kau tadi menyebut Kerajaan Turki sebagai
kerajaan kalian sedangkan aku tahu bahwa kau adalah serang dari Sin-kiang!
Bahkan beberapa orang kawanmu ini pun bukan seorang bangsa Turki. Apakah kau
ini seorang belian dari Turki, ataukah sekarang Sin-kiang sudah menjadi tanah
jajahan Turki? Ha, ha, ha! Wai Sauw Pu, peribahasa kuno menyatakan bahwa anak
yang melawan orang tuanya adalah seorang durhaka, akan tetapi seorang yang
mengkhianati negara sendiri adalah orang yang berbatin rendah sekali! Dan kau
tentu tidak suka kalau disebut seorang pengkhianat negara?”
“Bangsat bermulut lancang!” Wai Sauw
menggerakkan tasbehnya dengan marah. “Jangan banyak cakap, pendeknya kau
kembalikan benda itu atau tidak?”
”Tidak ada persoalan menerima dan
mengembalikan,” jawab Cin Hai dengan tenang, “Aku tak pernah menerimanya darimu
dan takkan mau pula mengembalikan. Ucapan dan janji seorang gagah lebih
berharga daripada jiwa, tahukah kau?”
“Keparat!” Wai Sauw Pu lalu menggerakkan
tasbehnya dan manyerang ke arah Cin Hai! Pemuda ini dengan sigapnya mengelak,
akan tetapi kawan-kawan Wai Sauw Pu telah melompat turun dan menggerakkan
senjata masing-masing mengeroyok Cin Hai yang bertangan kosong! Cin Hai
terpaksa mencabut keluar sulingnya karena menghadapi sekian orang lihai dengan
bertangan kosong adalah amat berbahaya. Walaupun sulingnya hanya terbuat
daripada bambu tipis, akan tetapi oleh karena ia mainkan suling itu dalam Ilmu Pedang
Daun Bambu, maka ujung sulingnya mengancam jalan darah semua lawannya hingga
mereka tidak berani mengurung terlalu dekat!
Akan tetapi, tasbeh dari Wai Sauw Pu dan
senjata roda Lok Kun Tojin benar-benar berbahaya dan tiap kali sulingnya yang
ringan itu akan terbentur oleh kedua senjata itu, sulingnya terpaksa ia
gerakkan untuk menghindari benturan ini karena takut kalau-kalau sulingnya
pecah dan rusak!
Sebetulnya kalau Cin Hai tidak menguatirkan
kerusakan sulingnya, ia tak usah merasa gentar, oleh karena yang terlihai di
antara semua pengeroyoknya hanyalah Wai Sauw Pu dan Lok Kun Tojin, sedangkan
empat orang yang lainnya adalah orang-orang yang memiliki tenaga besar belaka,
akan tetapi ilmu silat mereka masih jauh di bawah tingkatnya. Akan tetapi ia pikir
bahwa sesungguhnya ia tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan mereka, maka
tidak ada perlunya untuk menewaskan mereka atau melayani mereka lebih lama
lagi. Ia segera memutar-mutar sulingnya dan memainkan tangan kirinya dengan
pukulan-pukulan Pek-in-hoatsut hingga dua orang pengeroyok dapat ia robohkan
tanpa menderita luka hebat, kemudian ia lalu lompat keluar dari kurungan mereka
berlari secepatnya meninggalkan tempat itu!
Lawan-lawannya segera mengejar sambil
menunggang kuda, akan tetapi mereka tak dapat mengejar Cin Hai yang
mempergunakan Ilmu Lari Cepat Jouw-sang-hui, hingga sebentar saja ia telah
meninggalkan mereka jauh-jauh!
Akan tetapi musuh-musuhnya itu tidak mau
membiarkan dia pergi dengan aman dan semenjak saat itu, Cin Hai selalu merasa
bahwa ia diikuti orang! Ke mana juga ia pergi, bahkan ketika ia bermalam di
hotel-hotel ia merasa pasti bahwa dirinya sedang diintai dan diikuti orang
secara diam-diam. Ia menjadi jengkel sekali dan mulai merasa betapa tugas yang
ditimpakan oleh kakek Turki itu ke atas pundaknya, bukanlah tugas yang ringan.
Ia maklum bahwa pada suatu saat, orang-orang Turki pengikut pangeran muda itu
pasti akan muncul dan mengeroyoknya dengan tenaga sepenuhnya. Maka ia menjadi
gelisah juga, karena sedikitnya, walaupun ia tak pernah merasa takut, hal ini
mengganggu tidurnya dan ia tidak dapat menikmati perjalanannya, karena ia
selalu harus berlaku waspada dan hati-hati.
Dua hari kemudian, sampailah ia di Lan-couw,
ibu kota Kan-su. Ketika ia tiba di luar tembok kota, ia melihat sebuah rumah
terpencil di pinggir jalan. Tadinya ia hendak melewatinya saja, akan tetapi,
tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa orang Turki berkelebat di rumah itu,
maka ia menjadi tertarik dan segera melompat pula menghampiri pondok itu.
Ketika ia tiba di dekat jendela pondok yang terbuka, ia mendengar suara orang
bicara. Pada saat itu ia mengalami dua macam hal yang amat mengejutkan hatinya,
bahkan membuat wajahnya menjadi pucat. Yang pertama ialah suara yang keluar
dari dalam pondok itu! Jelas terdengar olehnya dua orang, seorang laki-laki dan
seorang wanita, sedang bicara dan suara wanita itu mengingatkan ia kepada Ang I
Niocu! Hal kedua yang mengejutkan hatinya ialah ketika mendapat kenyataan bahwa
umah itu berikut dirinya, telah terkurung dari segenap penjuru oleh orang-orang
Turki yang dikepalai oleh Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin, bahkan Si Nenek Bongkok
Siok Kwat Moli juga kelihatan bayangannya!
Akan tetapi hal ke dua ini tidak ia pedulikan,
yang lebih menarik hatinya adalah suara wanita itu. Ia mendekatkan telinganya
pada jendela dan mendengar suara wanita itu berkata dengan suara yang tandas
dan nyaring, akan tetapi merdu, “Jangan kau ulangi lagi ucapanmu tadi!”
“Lihiap... tidak kasihankah kau kepadaku?
Biarlah kau boleh menjadi marah dan boleh pula membunuhku, akan tetapi aku
harus selalu mengulangi pernyataanku tadi. Aku cinta kepadamu, Lihiap! Apa
dayaku? Aku adalah seorang berdosa besar yang tadinya hendak mengasingkan diri
dan menyucikan diri untuk menebus dosaku, akan tetapi, semenjak aku melihat
wajahmu, timbul kegembiraan hidupku. Lihiap, mungkin di dunia ini ada orang
yang mencintaimu seperti aku!” terdengar suara seorang laki-laki berkata.
“Cukup tutup mulutmu! Untuk ucapan ini saja
kalau aku tidak ingat bahwa kau pernah menolongku, dan tidak ingat bahwa kau
mengingatkan daku akan seorang yang amat kuhargai, tentu sekarang juga sudah
kucabut pedangku untuk menabas batang lehermu!”
“Lihiap, kalau aku melawan, belum tentu kau
akan dapat menang, akan tetapi, aku tak sampai hati mengangkat tangan
melawanmu. Kau boleh perlakukan aku sesuka hatimu, akan tetapi kasihanilah aku
dan janganlah kausia-siakan cinta kasihku!”
Cin Hai tak dapat menahan lagi gelora hatinya
oleh karena ia tak ragu-ragu lagi bahwa itu adalah suara Ang I Niocu! Ia cepat
membuka daun jendela dan memandang ke dalam. Benar saja, yang berada di dalam
pondok itu adalah Ang I Niocu dan seorang laki-laki. Ang I Niocu berdiri tegak
dengan tangan kanan di gagang pedangnya sedangkan laki-laki itu berlutut di
depannya!
“Niocu...!” Cin Hai berteriak dengan wajah
pucat dan bibir menggigil karena masih belum percaya bahwa dara yang baju merah
itu benar-benar Ang I Niocu!
Dara Baju Merah itu berpaling cepat dan
mulutnya tersenyum girang ketika ia melihat Cin Hai. “Hai-Ji...” serunya dengan
suara menggetar, lalu tubuhnya melompat keluar jendela. Mereka berdiri
berhadapan, sedangkan Cin Hai memandang dengan mata terbelalak.
“Niocu... Niocu... benar-benarkah kau ini...
apakah aku tidak sedang bermimpi...” Sambil berkata demikian, air mata mengalir
ke atas kedua pipi Cin Hai.
Ang I Niocu memegang kedua tangan Cin Hai.
“Hai-ji... tidak, kau tidak sedang dalam mimpi. Aku betul Kiang Im Giok yang
telah terlepas dari bencana di Pulau Kim-bun-to.”
Saking girangnya, ingin Cin Hai memeluk dara
ini, akan tetapi sebaliknya lalu menjatuhkan diri berlutut. Ang Niocu
mengangkat bangun padanya lalu sambil menaruh kedua tangan pada pundak pemuda
itu, dan air mata berlinang di bulu matanya, Ang I Niocu berkata sambil
tersenyum penuh keharuan hati dan kegirangan, “Hai-ji, kau benar-benar telah
dewasa sekarang. Bahkan kau telah nampak masak. Di mana Lin Lin?”
“Dia ikut belajar silat dengan Suhu.”
Ang I Niocu mengangguk girang, dan sebelum ia
melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba dari jendela itu berkelebat bayangan Ban
Leng yang segera mengayun rebabnya ke atas kepala Cin Hai. Cin Hai berkelit
cepat dan sekarang barulah ia mengenal laki-laki ini sebagai orang yang dulu
pernah pula menyerangnya di tepi Sungai Huangho.
”Eh, eh, tunggu dulu, kawan!” teriaknya dengan
marah dan heran, sedangkan Ang I Niocu membentak pula,
“Saudara Sie Ban Leng, jangan kau sembarangan
turun tangan!”
Bukan main terkejut hati Cin Hai mendengar
nama ini hingga ia tertegun bagaikan patung dan memandang ke arah pamannya itu
dengan mata terbelalak dan mulut celangap. Jadi inilah paman Sie Ban Leng yang
dulu mengkhianati ayah bundanya?
Akan tetapi, sebelum ia sempat membuka mulut,
tiba-tiba orang-orang Turki yang tadi ia lihat, telah mendatangi dengan cepat
dan mengurung rumah itu! Sie Ban Leng terkejut sekali dan tiba-tiba ia bersuit
keras memberi tanda kepada kawan-kawannya, lalu ia sendiri tanpa banyak cakap
lalu memutar-mutar rebabnya menyerang Wai Sauw Pu. Wai Sauw Pu menggerakkan
tasbehnya dan berkata dengan marah,
“Tangkap tiga tikus ini!” Maka majulah semua
orang Turki mengeroyok, hingga Ang I Niocu lalu mencabut pedangnya dan Cin Hai
juga menggerakkan sulingnya, bertempur menghadapi sekian banyaknya pengeroyok
di dekat Ang I Niocu.
Tak lama kemudian, datanglah kawan-kawan Sie
Ban Leng, yaitu perwira-perwira yang menyamar, bahkan Ceng Tek Hosiang dan Ceng
To Tosu muncul pula hingga sebentar saja terjadi pertempuran hebat antara
orang-orang kaisar melawan orang-orang Turki.
“Niocu, sebenarnya mereka ini datang untuk
menangkap aku!” kata Cin Hai sambil menangkis serangan lawan yang kini tidak
begitu rapat lagi karena datangnya bala bantuan.
“Mengapa?” tanya Ang I Niocu sambil mengirim
tendangan kepada seorang pengeroyok hingga orang yang tertendang itu terguling
dan tak dapat bangun pula.
“Karena aku membawa sebuah tutup cawan perak
yang tidak berharga!” jawab Cin Hai sambil tertawa. Akan tetapi mendengar
jawaban ini, tiba-tiba Ang I Niocu memandangnya dengan mata terbelalak.
“Tutup cawan perak yang berukir di atasnya?”
tanyanya.
“Betul,” jawab Cin Hai sambil memandang heran.
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Hai-ji, cepat! Mari kita keluar dari kepungan
ini! Saat yang baik kita pergunakan. Selagi mereka bertempur, kita boleh
bekerja cepat!”
Biarpun tidak mengerti akan maksud gadis itu,
namun Cin Hai lalu memutar sulingnya dan dengan cepat lalu mengikuti Ang I
Niocu yang telah melompat keluar dari kalangan pertempuran, lalu keduanya lari
cepat memasuki kota Lan-couw.
Ternyata Ang I Niocu membawanya menuju ke Gua
Tun-huang yang beratus-ratus banyaknya itu.
“Coba kaukeluarkan tutup cawan itu, Hai-ji,”
kata Ang I Niocu dan ketika Cin Hai membuka bungkusan tutup cawan dan
memberikannya kepada gadis itu, Ang I Niocu juga mengeluarkan sebuah cawan dan
ternyata bahwa tutup itu memang pas betul. Ketika tutup cawan itu dipasang di
atas cawan, Ang I Niocu memperhatikan gambar ukirannya dengan seksama.
Tiba-tiba wajahnya berseri-seri, dan ia berkata,
“Gua ke tiga puluh enam dari kiri! Hayo Cin
Hai, jangan membuang waktu!”
Sambil berlari-lari mencari gua ke tiga puluh
enam dari kiri Cin Hai tak tahan lagi untuk tidak bertanya tentang rahasia
cawan dan tutupnya.
“Ketahuilah bahwa sepasang cawan dan tutupnya
ini merupakan peta yang menunjukkan kita ke arah tempat penyimpanan harta
pusaka terpendam yang berada di dalam gua-gua ini.”
Cin Hai makin terheran dan ia segera berkata,
“Niocu, aku pun mendapat tugas dari Suhu untuk mencari sepasang pedang, yaitu
Liong-cu-kiam yang katanya berada di dalam gua-gua di Tun-huang ini.”
“Nah, itulah,” kata Ang I Niocu girang. “Dan
selain sepasang pedang itu, masih terdapat harta yang luar biasa banyaknya!”
Cin Hai hendak bertanya lagi, akan tetapi
mereka telah tiba di gua ke tiga puluh enam itu dan segera mereka masuk ke dalam
gua yang besar itu. “Mari kita memeriksa kalau-kalau ada terowongan atau pintu
tembusan!” kata Ang I Niocu. Keduanya lalu memeriksa seluruh lantai dan dinding
gua yang penuh dengan ukiran dan batu-batu berupa patung-patung Buddha, akan
tetapi tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan. Mereka mendorong-dorong
dinding, membersihkan lantai, memeriksa dengan amat teliti, akan tetapi
hasilnya nihil. Cin Hai lalu tidak sabar dan ia lalu duduk mengaso dan berkata
kepada Ang I Niocu yang masih mencari-cari.
“Niocu, untuk apakah tergesa-gesa? Marilah
kita duduk bercakap-cakap dulu dan kauceritakan pengalamanmu semua. Aku ingin
sekali mendengar dan juga kau tentu ingin mendengar pengalamanku semenjak
berpisah.”
“Nanti saja, Hai-ji, orang-orang Mongol dan
Turki serta orang-orang kaisar juga mencari harta pusaka ini. Kalau mereka tahu
kita berada di sini tentu mereka akan datang menyerbu,” kata Ang I Niocu sambil
masih memeriksa kanan kiri. “Tentang pengalamanmu, sebagian banyak aku sudah
mendengar dari Kwee An dan Ma Hoa.”
“Apa??” Cin Hai melompat memegang lengannya.
Kau telah bertemu dengan mereka? Masih hidupkah mereka?”
Ang I Niocu tersenyum manis sambil
memandangnya. “Kalau mereka sudah meninggal, bagaimana aku dapat bertemu dengan
mereka?”
Bukan main girang hati Cin Hai mendengar warta
ini. “Aduh, alangkah mulia dan besarnya hari ini!” ia berkata memandang ke atas
seakan-akan berdoa dan memuji nama Thian Yang Agung. “Melihat Niocu masih
hidup, mendengar Ma Hoa dan Kwee An selamat” tiba-tiba ia melompat bangun dan
berkata,
“Niocu kita sudah memeriksa lantai dan
dinding, mengapa kita lupakan di atas?”
“Apa maksudmu?” tanya Ang I Niocu heran.
“Langit-langit itu,” kata Cin Hai sambil
menuding ke atas, “Siapa tahu kalau-kalau di situ letak rahasia yang kita
cari?”
Ang I Niocu berseri dan pada wajahnya yang
cantik timbul harapan baru. Mereka lalu memeriksa lagi dengan teliti dan
akhirnya mereka harus memeriksa cawan itu lagi dengan segala ukiran. Setelah
memeriksa sampai mata mereka terasa pedas, akhirnya mereka mendapatkan sebuah
lukisan pada tutup cawan itu yaitu lukisan patung Buddha yang duduk bersila.
“Ah, aku tadi pernah melihat lukisan ini!”
kata Cin Hai dan ia bersama Ang I Niocu mulai mencari-cari lagi dan memeriksa
seluruh ukiran yang berada di dinding dan di langit-langit.
“Itulah dia!” kata Ang I Niocu sambil menunjuk
ke atas. Benar saja, di ujung kiri dari langit-langit gua ini, terdapat sebuah
lukisan yang serupa benar dengan ukiran pada kepala cawan itu, yaitu sebuah
patung Buddha yang duduk bersila. Mereka lalu meneliti cawan itu lagi, oleh
karena masih belum tahu apa maksud persamaan ukiran ini. Dan tahulah mereka
kini. Biarpun ukiran itu campur aduk, akan tetapi apabila diteliti melihatnya,
ternyata setangkai bunga yang menghubungkan Patung Buddha itu ke bawah. Mereka
lalu mencari tangkai bunga ini di dinding gua dan akhirnya mereka dapat
menemukannya. Dari ukiran di atas itu terdapat ukiran bunga yang terus menuju
ke bawah dan berakhir pada punggung sebuah batu yang berdiri di dekat dinding.
“Jangan-jangan inilah rahasianya!” kata Cin
Hai sambil memutar-mutar patung itu, ternyata biarpun tidak berapa besar, akan
tetapi patung itu berat sekali.
“Niocu, mari kita pindahkan patung yang berat
ini, siapa tahu kalau-kalau di bawahnya terdapat pintu rahasia!” Ang I Niocu
lalu membantu dan dengan persatuan tenaga mereka, terangkatlah patung itu.
“Awas!!” tiba-tiba Ang I Niocu berseru. Mereka
segera menurunkan kembali patung itu dan cepat melompat mundur karena dari atas
tiba-tiba terbuka sebuah lubang di atas itu! Ternyata bahwa patung ini,
dipasangi tali baja yang menghubungkan patung itu dengan sebuah pintu di
langit-langit gua. Tali baja ini tidak dapat dilihat oleh karena dipasang di
dalam dinding batu yang sengaja dibuat oleh orang-orang kuna untuk menutupi
rahasia ini.
Ang I Niocu dan Cin Hai merasa terkejut sekali
akan tetapi juga girang. Mereka berdua saling pandang sambil tersenyum dan
biarpun hati mereka sangat ingin membuka peti itu, akan tetapi mereka masih
berdebar-debar dan untuk beberapa lama mereka hanya berdiri saja.
“Niocu, hayo kita buka peti itu. Siapa tahu di
dalamnya penuh dengan emas permata!”
“Jangan-jangan terisi binatang beracun.
Bagaimana kalau ada ular berbisa di dalamnya?” kata Ang I Niocu sambil tertawa.
Keduanya lalu maju dan bersama-sama membuka tutup peti itu dan mereka
tercengang sekali. Ketika tutup peti itu dibuka, nampaklah sinar cahaya yang
berkilauan gemilang keluar dari peti itu dan ketika mereka telah membiasakan
mata mereka yang tadinya menjadi kesilauan, mereka melihat bahwa peti kecil itu
terisi dua batang pedang yang indah sekali dan yang mengeluarkan cahaya
berkilauan!
“Ah, inilah Liong-cu-kiam!” kata Cin Hai dan
Ang I Niocu mengangguk.
“Agaknya benar juga, inilah pedang yang
dimaksudkan oleh Susiok-couw Bu Pun Su itu!”
Otomatis mereka lalu mengulurkan tangan dan
tanpa disengaja mereka telah mengambil pedang yang sesuai dengan mereka. Cin
Hai mengambil pedang yang lebih panjang dan yang pada gagangnya selain tertulis
nama pedang itu, yaitu Liong-cu-kiam, juga terdapat huruf “jantan”, sedangkan
pedang yang terambil oleh Ang I Niocu terdapat huruf “betina”!
“Bagaimana Niocu? Harus kita apakan pedang
ini?”
“Eh, anak bodoh!” kata Ang I Niocu dan wajah
Cin Hai menjadi merah berseri karena sudah lama ia rindu akan sebutan ini yang
keluar dari mulut Ang I Niocu. “Tentu saja pedang ini kita serahkan kepada
Susiok-couw! Akan tetapi sementara ini biarlah kita membawa pedang ini seorang
satu.”
“Niocu, lubang di atas itu besar dan gelap,
mungkin di situlah tersimpannya harta yang kau sebutkan itu.” Keduanya lalu
berdiri dan memandang ka atas akan tetapi karena lubang itu benar-benar gelap
menghitam, mereka tidak melihat sesuatu.
“Marilah kita periksa ke atas, biarkan aku
memasukinya,” kata Cin Hai akan tetapi pada saat itu di luar terdengar banyak
suara kaki orang.
“Hai-ji, lekas kita kembalikan patung itu!”
Keduanya lalu mengangkat kembali patung tadi ke tempat semula dan aneh! Lubang
itu tertutup dengan sendirinya dari atas!
Cin Hai hendak berlari keluar, akan tetapi
tiba-tiba tangan Ang I Niocu memegang lengannya, “Jangan keluar dulu, mungkin
kalau terlihat oleh mereka, akan menimbulkan kecurigaan!”
Keduanya lalu bersembunyi sambil mengintai
dari dalam gua dan setelah rombongan orang yang terdengar bunyi kakinya itu
lewat, Ang I Niocu dan Cin Hai lalu melompat keluar dari dalam gua dengan
pedang Liong-cu-kiam di tangan. Setelah tiba di luar gua, keduanya memandang
kepada pedang masing-masing dengan amat kagum oleh karena setelah berada di tempat
terang kedua pedang ini mengeluarkan cahaya yang amat indahnya. Sinar matahari
yang menimpa mata pedang, terpantul kembali menimbulkan berbagai warna pada
sinar pedang itu hingga keduanya selain merasa kagum, juga merasa girang
sekali. “Lebih baik kita simpan pedang ini, kalau terlihat orang akan
menimbulkan keheranan,” kata Ang I Niocu dan keduanya lalu menyimpan pedang itu
di dalam baju masing-masing.
“Sekarang tiba waktunya bagimu untuk
menceritakan segala pengalamanmu, Niocu. Aku sudah amat ingin mendengarkannya,”
kata Cin Hai sambil duduk di atas sebuah batu yang besar. Ang I Niocu duduk di
dekatnya dan mulailah bercerita tentang segala hal yang dialaminya. Akan tetapi
ia masih merasa malu untuk menceritakan tentang pertunangannya dengan Lie Kong
Sian. Ketika ia menceritakan pertemuannya dengan Sie Ban Leng, Cin Hai berkata,
“Dia itu adalah pamanku sendiri yang telah
mengkhianati Ayah Bundaku.”
Terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar ucapan
ini. “Ah, pantas saja ada persamaan pada mukanya dan mukamu. Hayo, kau sekarang
ceritakan pengalamanmu!”
Cin Hai juga menceritakan semua pengalamannya,
dan ketika pemuda itu bercerita tentang pertandingannya melawan Song Kun, Ang I
Niocu tanpa terasa ia berseru,
“Ah, Song Kun itu adalah Sutemu yang jahat!”
“Sute siapa?” tanya Cin Hai terheran.
Tiba-tiba wajah Ang I Niocu menjadi merah.
“Sute dia… eh, penolongku itu, Lie Kong Sian.
Mereka berdua adalah murid-murid dari Han Le Sianjin, adik seperguruan
Susiok-couw!”
Akhirnya, mengertilah Cin Hai dan ia berkata,
“Menurut Suhu Bu Pun Su pedang yang dapat
menghadapi pedang Song Kun yang jahat itu hanyalah pedang Liong-cu-kiam ini.
Sekarang pedang ini telah kupegang, maka aku tidak takut lagi menghadapi dia!”
“Jangan kuatir, Hai-ji, aku pun bersedia membantumu
untuk merobohkan dia itu, biarpun kepandaianku jauh berada di bawah tingkat
kepandaianmu!”
“Ah, jangan kau terlampau merendahkan diri,
Niocu.”
Kemudian, Ang I Niocu lalu minta kepada Cin
Hai agar supaya pemuda ini memperlihatkan ilmu pedang yang dulu diciptakan atas
bantuannya. Dengan suka hati, Cin Hai lalu mengeluarkan pedang Liong-cu-kiam
dan mulai bersilat hingga Ang I Niocu menjadi kagum sekali.
“Ah, kepandaianmu makin maju saja,” katanya.
”Sungguh aku merasa gembira melihat kawan-kawan mendapat kemajuan hebat.
Terutama sekali yang sekarang menerima ilmu silat luar biasa adalah Ma Hoa. Ia
sungguh lihai sekali dan permainannya bambu runcing benar-benar mengagumkan,”
“Tak disangka bahwa Ma Hoa yang tadinya
terjerumus ke dalam tebing yang demikian tinggi, tidak saja selamat, bahkan
menerima pelajaran ilmu silat tinggi sungguh nasib orang tidak tentu. Akan
tetapi, selain Ma Hoa, Lin Lin juga bernasib baik oleh karena kini ia mendapat
gemblengan dari Suhu.” Ketika membicarakan hal kekasihnya ini, wajah Cin Hai
berseri dan matanya bersinar.
“Hai-ji demikian besar kasih sayangmu kepada
Lin Lin,” kata Ang I Niocu sambil tersenyum, “dan aku percaya bahwa cinta kasih
gadis itu kepadamu tidak kalah besarnya. Aku girang sekali melihat kau bahagia,
Hai-ji.”
Cin Hai merasa terharu sekali karena teringat
akan pengorbanan Ang I Niocu di Pulau Kim-san-to demi kebahagiaannya dan Lin
Lin.
Dengan mesra dan suara penuh harapan, Cin Hai
memandang Ang I Niocu dan berkata,
“Niocu, memang kau mulia sekali. Kudoakan
sepenuh hatiku semoga kau pun akan dikurniai kebahagiaan oleh Tuhan Yang Maha
Kuasa dan mendapatkan seorang jodoh yang baik, sebagaimana diharapkan pula oleh
Suhu.”
Merahlah seluruh muka Ang I Niocu sampai ke
telinganya mendengar ucapan pemuda itu. Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau Nona
Baju Merah itu marah mendengar kata-katanya yang lancang itu, maka ia buru-buru
melanjutkan bicaranya. “Maaf, Niocu, aku tak bermaksud menyinggung
perasaanmu...”
Ang I Niocu mengerling kepadanya dan tersenyum
manis. “Mengapa minta maaf? Aku tidak marah dan ucapanmu itu memang berharga
untuk dipertimbangkan. Mari kita kembali ke gua itu. Mereka telah pergi dan
sekarang kita ada kesempatan untuk mencari harta terpendam yang menurut
keterangan harus ada di tempat itu.”
Cin Hai merasa girang sekali mendengar ucapan
Ang I Niocu dan diam-diam ia mengharapkan perubahan perasaan Ang I Niocu
terhadap Kang Ek Sian, pemuda yang amat mencinta Dara Baju Merah itu. Mendengar
ajakan Ang I Niocu untuk mencari harta terpendam, sungguhpun ia sendiri tidak
ingin mendapatkan harta itu, namun tanpa membantah lagi ia lalu bangun berdiri
dan mengikuti nona itu kembali ke dalam gua di mana mereka tadi mendapatkan
Liong-cu-kiam.
“Niocu, lubang di atas itu kecil dan takkan
dapat dimasuki oleh dua orang, biarlah nanti aku saja yang masuk dan kau
menjaga di luar gua, takut kalau-kalau ada orang yang akan melihat kita dan
mengetahui rahasia tempat ini.”
“Baik, akan tetapi kau berhati-hatilah karena
bukan tak mungkin bahwa dalam tempat yang aneh terdapat hal-hal yang aneh dan
berbahaya pula, dan kabarnya pendeta-pendeta yang dulu menyimpan benda-benda
ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi.”
Cin Hai menjadi tertarik sekali.
“Niocu, sebelum kita bertindak lebih jauh,
terlebih dulu harap kau suka ceritakan padaku tentang riwayat harta terpendam
itu karena tak enak mengerjakan sesuatu yang belum diketahui baik keadaannya.”
Ang I Niocu dapat mengerti perasaan dan
pendapat Cin Hai ini, maka ia lalu duduk di atas sebuah batu dalam gua itu dan
berkata, “Memang seharusnya kau tahu akan hal itu, akan tetapi aku sendiri pun
hanya mendengar dari lain orang dan ceritanya hanya samar-samar saja,” Nona
Baju Merah itu lalu menceritakan riwayat harta terpendam di dalam gua itu
sebagaimana yang ia dengar dari lain orang.
Menurut pendengarannya, diceritakan orang
bahwa ratusan tahun yang lalu, ketika pendeta-pendeta Buddha mulai memperluas
perkembangan agamanya ke daerah timur, mereka mendapat tantangan keras dari
orang-orang yang tidak menyetujui pelajaran agama mereka hingga tidak jarang
terjadi pertempuran hebat yang mengorbankan banyak jiwa orang. Pada masa itu,
di dekat perbatasan Tiongkok sebelah barat laut terdapat suku bangsa Kazak yang
tangguh dan kuat, akan tetapi dipimpin oleh seorang jahat. Orang-orang Kazak
ini tidak hentinya menyerang ke pedalaman dan melakukan perampokan-perampokan
yang ganas, mengumpulkan barang-barang berharga hingga mereka memiliki banyak
sekali emas dan permata hasil perampokan itu.
Hal ini membuat kaisar menjadi marah dan
karena keadaan mereka memang kuat sekali, akhirnya kaisar membaiki para pendeta
Buddha dan dapat mempergunakan tenaga mereka untuk menyerbu dan menghancurkan
bangsa Kazak yang suka merampok itu. Akan tetapi, setelah para pendeta Buddha
itu berhasil membasmi para perampok dan merampas kembali barang-barang
berharga, kaisar berlaku curang dan bahkan mengerahkan tentara untuk mengusir
pendeta-pendeta itu dan merampas barang-barang berharga itu. Para pendeta itu
karena tidak pernah menyangka-nyangka, dapat terpukul hingga cerai-berai dan
sebagian di antara mereka segera melarikan diri ke gua-gua Tun-huang dan
menyimpan harta benda itu di tempat rahasia. Akan tetapi, mereka itu dapat
dikejar dan ditewaskan hingga tak seorang pun tahu di mana tempat harta pusaka
itu disimpan. Hanya seorang di antara mereka yang dapat meloloskan diri dan
kemudian membuat peta pada cawan dan tutupnya.
“Nah, hanya sekianlah yang kudengar dari
keterangan orang-orang, benar tidaknya entahlah,” kata Ang I Niocu kepada Cin Hai
yang mendengarkan dengan hati tertarik.
“Kalau begitu, seandainya kita mendapatkan
kembali harta itu, kita pergunakan untuk apakah?” tanyanya dengan muka
memandang bodoh.
Ang I Nicu tersenyum. “Hai-ji, kau benar-benar
linglung! Baru kau saja orangnya yang tidak tahu harus mempergunakan harta
benda untuk apa! Biarlah kita mencarinya dulu dan kalau sudah berhasil, kita
bertanya kepada Susiok-couw yang tentu akan tahu apa yang harus kaulakukan.”
“Tapi, kau sendiri, Niocu? Untuk apakah harta
benda itu bagimu?”
“Anak bodoh! Aku sih hanya membantu kau saja.
Aku sendiri tidak membutuhkan barang-barang itu!”
“Aku pun tidak membutuhkan! Kalau begini
halnya, mengapa kita berdua harus bersusah payah mencarinya?”
“Hai-ji, ketahuilah. Selain kita, masih banyak
pihak yang mencari harta itu dan apabila harta benda yang besar itu terjatuh ke
tangan orang jahat, tentu akan menimbulkan malapetaka belaka!”
Cin Hai mengangguk-angguk dan berkata, “Benar,
benar, sekarang aku teringat akan bunyi ujar-ujar yang menyatakan bahwa harta
benda di tangan orang budiman akan merupakan alat hidup yang berguna dan mulia,
akan tetapi sebaliknya apabila harta benda terjatuh di tangan orang rendah budi
akan menjadi alat hidup yang jahat dan merusak. Kau benar, Niocu!” Ang I Niocu
tertawa “Ah, kau dan ujar-ujarmu! Hayo kita bekerja dan jangan mencoba menjadi
guru sastera di dalam gua ini!” Cin Hai Juga tertawa, kemudian mereka lalu
bekerja sama untuk menggerakkan patung yang menjadi kunci pembuka pintu di atas
guha. Setelah lubang di langit-langit gua itu terbuka, Cin Hai lalu melompat ke
atas dan mempergunakan tangan kanan untuk menyambar pinggiran lubang dan
bergantungan di situ, kemudian ia mengayun kakinya dan masuk merayap ke dalam
lubang kecil itu. “Ah, gelap sekali, Niocu!” katanya. “Biasakan dulu matamu di
tempat yang gelap itu, aku akan membuat api unggun di dalam gua ini agar
cahayanya akan masuk ke situ dan menerangi dalam lubang,” kata Ang I Niocu yang
segera mengumpulkan kayu-kayu kering di luar gua. Tiba-tiba ketika ia sedang
mengumpulkan kayu bakar itu, ia melihat dari jauh mendatangi seorang perwira.
Cepat ia masuk ke dalam gua dan berkata kepada Cin Hai, “Hai-ji kau cepatlah
bekerja, di luar sana ada orang, biar aku pancing dia pergi ke tempat lain!”
Setelah menyalakan api unggun, Ang I Niocu lalu meninggalkan Cin Hai dan
berlari ke luar dari gua. Ia mengintai dan melihat betapa perwira itu berjalan
dengan langkah lebar menuju ke situ! Ang I Niocu segera melompat jauh dan
memapaki orang itu dan setelah dekat hingga perwira itu melihatnya, ia lalu
membelok ke kanan dan memperlihatkan muka takut-takut. Perwira itu merasa
curiga melihat seorang wanita di tempat yang sunyi itu yang memperlihatkan
sikap takut-takut dan bersembunyi ketika melihatnya. Maka ia segera mengejar
dan berseru, “Nona, tunggu dulu!” Akan tetapi, Ang I Niocu berlari terus
menjauhkan diri dari gua di mana Cin Hai sedang mencari harta pusaka dan
setelah tiba di tempat yang cukup jauh, ia berhenti berlari dan berdiri sambil
bertolak pinggang. Perwira itu cepat sekali larinya dan setelah berhadapan
muka, ia memandang kepada Ang I Niocu dengan heran dan kagum. Tadinya ia
mengira bahwa wanita itu adalah seorang penduduk situ, seorang perempuan suku
bangsa Hui, akan tetapi alangkah herannya ketika sekarang melihat bahwa wanita
yang dikejarnya adalah seorang perempuan yang cantik jelita bagaikan seorang
bidadari! Ia memandang dengan mata terbelalak dan lupa untuk menegur karena
kagumnya. Sementara itu, Ang I Niocu juga tercengang ketika menyaksikan betapa
perwira itu tadi telah mempergunakan ilmu lari cepat yang cukup mengagumkan,
dan tahulah ia bahwa perwira ini bukanlah orang sembarang. Ia lalu memandang
penuh perhatian. Perwira itu memakai topi pahlawan yang indah dan dihias
bulu-bulu, sedangkan rambutnya yang panjang dan hitam itu dikuncir dan
tergantung pada punggungnya. Usianya masih muda, paling banyak tiga puluh lima
tahun, tubuhnya sedang dan nampak kuat, sedangkan pada pinggangnya tergantung
sebatang pedang. Sikapnya gagah dan sepasang matanya bersinar tajam
berpengaruh. Ang I Niocu tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan panglima
tertinggi di seluruh kerajaan pada waktu itu, yaitu Kam Hong Sin, yang menjadi
panglima nomor satu di kerajaan! Ia datang menyusul anak buahnya karena
menganggap bahwa keadaan di barat amat genting hingga perlu turun tangan
sendiri. Karena berhak bekerja secara diam-diam, maka perwira ini meninggalkan
kudanya dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. “Perwira gadungan!” Ang I
Niocu sengaja memaki untuk mencari perkara agar perwira itu tidak melanjutkan
perjalanannya dan melihat Cin Hai, “Mengapa kau mengejarku?”
Dimaki demikian itu, Kam Hong Sin hanya
tersenyum dan menjawab, “Nona yang cantik, mengapa pula kau melarikan diri
dariku? Kau adalah seorang Han, apa kerjamu di daerah ini?”
“Kau peduli apa? Pergi!” Ang I Niocu yang
segera mengulur tangan kanan mendorong agar perwira itu roboh dan lari
ketakutan. Dorongannya ini bukanlah gerakan sembarangan saja, karena ia
mempergunakan pukulan dari Ilmu Silat Pek-in-hoatsut yang kelihaiannya luar
biasa dan tak mungkin ditangkis oteh orang sembarangan saja. Akan tetapi bukan
main terkejutnya ketika tubuh perwira itu tiba-tiba berkelebat dan berhasil
mengelak dengan gerakan cepat sekali! Juga perwira itu terkejut melihat serangan
yang demikian hebat dan mendatangkan angin yang terasa panas ketika menyerempet
ujung jari tangannya itu!
“Eh, eh, siapakah kau yang lihai ini?”
teriaknya, akan tetapi Ang I Niocu menyerang lagi dengan penasaran sambil
membentak,
“Peduli apakah kau siapa adanya aku?”
Kini perwira tertinggi di kerajaan itu tidak
berani main-main lagi dan ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya untuk
menghadapi serangan-serangan Ang I Niocu yang tak boleh dibuat gegabah. Ang I
Niocu merasa kagum dan terheran-heran melihat seorang perwira kerajaan yang
dapat menghadapi ilmu silatnya Pek-in-hoatsut dan bahkan dapat membalas dengan
serangan-serangan yang tak kurang hebatnya! Ilmu ginkang dari perwira muda itu
benar-benar membuat Ang I Niocu tertegun karena gerakannya demikian ringan
hingga tubuhnya berkelebat bagaikan seekor burung saja hingga setiap serangan
dari Pek-in-hoatsut dapat dihindarkannya dengan cepat, bahkan lweekang dari
perwira itu pun tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri.
Ang I Niocu merasa penasaran sekali melihat
betapa serangan-serangannya tak mendatangkan hasil, maka sambil membentak marah
ia mencabut Liong-cu-kiam yang tersembunyi di dalam jubahnya.
“Perwira gadungan, rasakan kelihaian Ang I
Niocu!”
Bukan main terkejutnya Kam Hong Sin mendengar
bahwa wanita baju merah ini adalah Ang I Niocu yang tersohor dan yang sudah
lama ingin sekali dijumpainya. Ia melompat ke belakang lalu mengangkat kedua
lengan sebagai penghormatan.
“Ah, ah, tidak tahunya siauwte berhadapan
dengan Ang I Niocu yang telah menggemparkan dunia kang-ouw. Maaf, maaf siauwte
tidak tahu maka berani berlaku kurang ajar kepada Lihiap.”
“Ciangkun siapakah?” tanya Ang I Niocu heran.
“Siauwte adalah Kam Hong Sin.”
Kini Ang I Niocu yang terkejut karena tidak
pernah disangkanya bahwa perwira muda itu adalah panglima tertinggi di
kerajaan. Pantas saja kepandaiannya demikian hebat.
“Ah, kiranya Kam-ciangkun yang gagah perkasa.
Mengapa Ciangkun meninggalkan kota raja dan berada di tempat asing dan sunyi
ini?”
Akan tetapi pada saat itu, kedua mata Kam Hong
Sin yang tajam itu sedang memandang dengan penuh perhatian kepada pedang Ang I
Niocu hingga ia tidak menjawab pertanyaan gadis itu, bahkan membalas dengan
sebuah pertanyaan pula,
“Lihiap, bukankah pedang di tanganmu itu
pedang Liong-cu-kiam?”
“Ciangkun, di dunia kang-ouw terdapat
peraturan yang tidak membenarkan orang bertanya tentang pedang lain orang.”
Kam Hong Sin tersenyum, lalu berkata dengan
suara tenang, “Siauwte tahu akan peraturan itu. Akan tetapi harap diingat bahwa
pada saat ini siauwte bukan berhadapan dengan Lihiap sebagai seorang yang
menaruh perhatian dan kagum. Kalau kiranya Lihiap merasa keberatan untuk
menjawab, siauwte masih akan mengulangi pertanyaan itu dengan mengingat
kedudukan siauwte sebagai seorang perwira yang bertugas mencari pedang pusaka
kerajaan yang hilang pada ratusan tahun yang lalu. Benarkah pedang di tanganmu
itu pedang Liong-cu-kiam?”
Terpaksa Ang I Niocu yang tak mau membohong
menganggukkan kepala.
“Dari manakah kau dapatkan Liongcu-kiam ini,
Lihiap?”
“Hal ini tak perlu kuberitahukan kepada
siapapun juga,” jawab Ang I Niocu setengah marah.
Kam Hong Sin tertawa dan berkata, “Biarpun kau
tak memberitahukan, aku tahu bahwa pedang ini tentu kaudapatkan di sebuah di
antara gua-gua Tun-huang ini. Lihiap, pedang ini adalah pedang pusaka kerajaan
dan yang berhak mempunyai dan menyimpannya adalah kaisar sendiri. Maka, kuminta
kau dengan hormat sukalah kau mengembalikan pedang itu kepadaku agar dapat
kuserahkan kepada kaisar.”
Ang I Niocu tersenyum sindir. “Enak saja kau
bicara, Ciangkun. Aku yang mendapatkan pedang ini dan akulah yang berhak!
Selain aku, orang-orang Turki dan Mongol juga mencarinya dan kalau pedang ini
terjatuh ke dalam tangan mereka, apakah mereka mau mengembalikan kepadamu?”
Kam Hong Sin memandang tajam, “Lihiap, sudah
lama aku mengagumi namamu sebagai seorang pendekar besar, dan aku merasa segan
sekali untuk melawanmu, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa aku merasa
takut. Akan tetapi, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang itu, sebagai seorang
panglima yang setia terpaksa aku harus menggunakan kekerasan!”
Sepasang mata Ang I Niocu yang indah itu
bercahaya marah. “Bagus, hendak kulihat bagaimana caramu menggunakan
kekerasan!”
“Sudah kukatakan bahwa aku mengagumi padamu,
akan tetapi bukan berarti takut!” kata Kam Hong Sin dengan suara masih tenang
akan tetapi tiba-tiba ia mencabut pedangnya yang pada gagangnya tergantung
sehelai tali hitam panjang. Ia membelitkan tali itu pada pergelangan tangannya
dan berkata, “Lihiap, kalau kau tidak mau menyerahkan pedang kerajaan itu
dengan jalan damai dan tak mau memberitahukan di mana pula tempat harta pusaka
itu, terpaksa aku menggunakan jalan kekerasan dengan pedang di tangan!”
“Siapa takut padamu?” bentak Ang I Niocu
dengan marah sambil menyerang dengan pedang Liong-cu-kiam. Kam Hong Sin lalu
berseru keras dan menangkis dengan pedangnya yang juga bukan pedang
sembarangan, lalu balas menyerang dengan hebat. Ilmu pedang perwira ini luar
biasa sekali karena selain gerakannya cepat dan kuat, juga mengandalkan
ginkangnya yang luar biasa membuat tubuhnya berkelebat bagaikan halilintar
menyambar.
Akan tetapi Ang I Niocu telah memiliki ilmu
pedang yang mencapai tingkat tinggi hingga ia melakukan desakan-desakan hebat
dan tubuhnya berputar cepat menggerakkan Liong-cu-kiam yang bercahaya
berkilauan itu. Dengan gerakannya yang indah dan cepat, Ang I Niocu mendesak
terus hingga Kam Hong Sin benar-benar merasa kagum dan terkejut. Sudah lama ia
mendengar bahwa ilmu pedang Ang I Niocu telah menggemparkan dunia persilatan
dan sudah lama ia ingin bertemu dan kalau mungkin mencoba kepandaian pendekar
wanita itu. Kini keinginannya terkabul karena bukan saja ia berkesempatan
mencoba ilmu pedang gadis itu, bahkan mereka bertempur dengan mati-matian.
Terpaksa ia mengandalkan ginkangnya untuk menghindarkan diri dari rangsekan
gadis itu.
Ang I Niocu merasa penasaran karena belum juga
ia dapat merobohkan lawan yang tangguh dan gesit ini, maka lalu maju menyerang
dan merobah ilmu pedangnya, meniru gerakan Cin Hai dengan serangan Ilmu Pedang
Daun Bambu yang lihai. Biarpun ia tidak mempelajari ilmu pedang ini, namun
ketika menciptakan ilmu pedang ini Cin Hai mendapat bantuan darinya, maka
sedikitnya ada beberapa jurus terlihai yang masih teringat olehnya dan kini ia
mendesak sambil mengeluarkan ilmu silat itu.
Melihat hebatnya Liong-cu-kiam yang digerakkan
menyambar pinggangnya dari arah kiri ke kanan, Kam Hong Sin merasa terkejut
sekali dan sambil bersuara keras ia mengenjot tubuhnya ke atas sambil berputar.
Ginkangnya benar-benar hebat dan mengagumkan sekali. Dengan gerakan itu, ia
melompat tinggi dengan tubuh berputar beberapa kali hingga terhindar dari
serangan maut yang dilancarkan oleh Ang I Niocu. Kemudian, dari atas Kam Hong
Sin membalas serangan Ang I Niocu dengan meluncurkan pedangnya ke arah kepala
Ang I Niocu dan aneh! Pedangnya itu terlepas dari tangannya dan melayang ke
arah kepala Ang I Niocu bagaikan sebatang tombak yang diluncurkan! Ang I Niocu
cepat mengelak dan ketika pedang itu meluncur hendak menyentuh tanah, tiba-tiba
pedang itu dapat bergerak kembali ke tangan Kam Hong Sin yang sudah melompat
turun!
Bukan main terkejutnya Ang I Niocu melihat
ilmu pedang yang aneh dan lihai ini dan baru ia tahu bahwa tali hitam panjang
yang mengikat gagang pedang dan yang dibelitkan di pergelangan tangan perwira
itu bukan tidak ada gunanya. Dengan tali panjang itu, maka pedang dapat
disambitkan dan dapat menyerang lawan dari jarak jauh tanpa kuatir pedang itu
akan lenyap karena dapat dibetot kembali pada saat pedang itu tidak mengenai
sasaran! Hal ini tidak begitu mengherankan, akan tetapi yang mengagumkan adalah
cara Kam Hong Sin menggerakkan pedangnya di waktu menyambit. Agaknya ia telah
mempelajari ilmu pedang yang aneh ini sampai mendalam betul hingga pedang itu
dapat dilepas dan ditarik sesuka hatinya.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh dan lihai
ini, Ang I Niocu berlaku hati-hati sekali dan mengeluarkan ilmu pedangnya yang
paling hebat. Mereka bertempur lagi dengan seru dan kali ini karena
mengandalkan pedangnya yang seringkali diluncurkan untuk menyerang dari jauh,
Kam Hong Sin dapat mengimbangi permainan pedang Ang I Niocu yang kini menjadi
terdesak oleh serangan-serangan aneh dan berbahaya itu. Ia merasa seakan-akan
Kam Hong Sin memiliki ilmu kepandaian kiam-sut yang disebut hui-kiam atau
pedang terbang yang sering ia dengar dari dongeng-dongeng yang belum pernah
disaksikan. Kini mengertilah Ang I Niocu bahwa yang disebut hui-kiam atau
pedang terbang itu tentulah ilmu pedang seperti yang dimiliki oleh Kam Hong Sin
ini, yaitu pada gagang pedang diikat dengan sehelai tali panjang yang dapat
mulur hingga pedang dapat disambitkan, dilayangkan dengan betotan pada talinya.
Namun, biarpun Ang I Niocu terdesak oleh
perwira yang tangguh dan ilmu kepandaiannya benar-benar tinggi itu, ia sama
sekali tidak menjadi gentar karena bagi Ang I Niocu, tak pernah ada rasa takut
menghadapi lawan di dalam hatinya. Ia melawan dengan gerakan-gerakan tenang dan
cukup kuat hingga sukarlah agaknya bagi Kam Hong Sin untuk merobohkan lawan
luar biasa ini. Diam-diam perwira itu mengeluh karena kalau saja ia bisa
menarik gadis lihai ini menjadi kawan di pihaknya, maka ia tentu akan lebih
yakin akan berhasilnya tugas yang dijalankannya.
Pada saat pertempuran masih berjalan seru,
tiba-tiba terdengar suitan tiga kali dari jauh. Kam Hong Sin memperlihatkan
muka girang dan membalas bersuit keras tiga kali pula. Tak lama kemudian,
muncullah Sie Ban Leng dan dua orang pertapa yang bukan lain ialah Ceng To Tosu
dan Ceng Tek Hosiang! Melihat betapa Kam Hong Sin bertempur dengan Ang I Niocu,
Sie Ban Leng teringat akan sakit hatinya terhadap Dara Baju Merah yang telah
menolak cintanya itu, maka ia lalu melompat menghampiri dan berkata,
“Ang I Niocu! Mengapa kau memusuhi Kam-ciangkun
pula?”
Melihat datangnya tiga orang ini, Ang I Niocu
dan Kam Hong Sin menunda senjata masing-masing dan melompat mundur.
“Ang I Niocu!” seru pula Ceng To Tosu sambil
mewek hampir menangis “Mengapa Lihiap bertempur melawan Kam-ciangkun?”
Sementara itu, Ceng Tek Hosiang berpaling
kepada Kam Hong Sin dan berkata, “Kam-ciangkun, Nona ini adalah Ang I Niocu
seorang pendekar gagah, bukan musuh kita!”
Kam Hong Sin tersenyum. “Aku pun segan melawan
dia. Akan tetapi, ia telah mendapatkan tempat itu, dan tidak mau memberitahukan
kepadaku.”
“Apa...?” Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hosiang
berseru keras sambil membelalakkan mata penuh ketidakpercayaan.
“Lihat saja, ia telah mendapatkan pedang
Liong-cu-kiam, dan juga ia tidak mau mengembalikan pedang itu kepadaku.”
Tiba-tiba Sie Ban Leng mendapat kesempatan
baik untuk membalas dendam.
“Ha-ha-ha, Ang I Niocu, tidak tahunya
kedatanganmu di sini karena kau juga mengingini harta pusaka dan pedang itu!
Kembalikanlah pedang Liong-cu-kiam kepada kami, kalau kau membangkang berarti
kau akan mendapat bencana.”
“Aku tidak hendak menyerahkan pedang ini,
habis kalian mau apa?” bentak Ang I Niocu dengan garang.
“Memang kau tidak tahu budi! Kau pernah
kutolong, akan tetapi kau bahkan menghinaku dan menolak maksud baikku, sekarang
kau mencuri pedang kerajaan pula,” cela Sie Ban Leng dengan gemas.
Tiba-tiba Ang I Niocu menudingkan pedangnya ke
arah muka Sie Ban Leng dan memaki. “Sie Ban Leng, manusia tak berbudi! Kau
pandai memutar lidah dan kau tidak mau melihat mukamu sendiri! Seorang yang
telah mengkhianati kakaknya, yang telah membuat kakaknya sekeluarga habis
binasa, masih mau bicara tentang budi? Tak tahu malu!!”
Ang I Niocu teringat akan cerita Cin Hai
tentang kejahatan Sie Ban Leng yang telah menjadi biang keladi kebinasaan
seluruh keluarga pemuda itu, maka hatinya menjadi panas dan kalau mungkin pada
saat itu juga ia hendak memenggal batang leher Sie Ban Leng.
Sie Ban Leng merasa terkejut sekali hingga
wajahnya menjadi pucat.
“Bangsat wanita, jangan kau bicara yang
bukan-bukan!” katanya sambil mengayunkan senjatanya yang hebat, yaitu sebuah
rebab yang mengeluarkan suara mengiung ketika ia gerakkan menyambar kepala Ang
I Niocu.
“Akan kubalaskan sakit hati mendiang Sie Gwat
Leng, kakakmu itu!” teriak Ang I Niocu sambil mengelak dan menyerang dengan
hebat. Pedang Liong-cu-kiam yang tajam luar biasa itu menyambar dan beradu
dengan rebab di tangan Sie Ban Leng. Terdengar suara keras dan ternyata
beberapa helai tali senar rebab yang terbuat daripada kawat baja itu putus.
Sie Ban Leng merasa terkejut dan marah sekali,
maka ia lalu menyerang kalang-kabut. Sementara itu, Ceng To Tosu dan Ceng Tek
Hosiang hanya berdiri memandang dengan bengong, akan tetapi ketika Kam Hong Sin
memberi aba-aba supaya mereka membantu, mereka terpaksa mengeluarkan senjata
dan mengeroyok Ang I Niocu! Juga Kam Hong Sin berseru sambil menerjang.
“Ang I Niocu, lepaskan pedang Liong-cu-kiam
itu!”
Akan tetapi, jangankan baru dikeroyok empat,
biarpun ia dikepung oleh ratusan orang, Ang I Niocu takkan merasa gentar
sungguhpun kepandaian empat orang pengeroyoknya itu bukan main hebatnya hingga
sebentar saja ia telah terkurung dan terdesak hebat! Ia mainkan ilmu pedangnya
Ngo-lian-hoan kiam-hwat yang cepat dan tubuhnya lenyap terbungkus sinar pedang
Liong-cu-kiam, melindungi tubuhnya dari senjata-senjata lawan yang datang
bagaikan air hujan itu! Ia hanya dapat bertahan dan melindungi diri saja, tanpa
dapat membalas sedikitpun juga.
Sementara itu, Cin Hai yang ditinggal seorang
diri di lubang kecil pada langit-langit gua, setelah membiasakan matanya di
tempat gelap dan mendapat sedikit penerangan dari api unggun yang dibuat oleh
Ang I Niocu, lalu merangkak maju ke dalam lubang yang ternyata merupakan jalan
terowongan kecil itu. Jalan itu besarnya hanya tiba pas saja dengan tubuhnya,
maka ia merangkak maju lagi sambil meraba-raba. Tiba-tiba ia melihat dua benda
yang mencorong di sebelah depan, seperti sepasang mata harimau atau binatang
buas lain! Ia terkejut sekali dan cepat mempersiapkan pedangnya di tangan,
karena jalan mundur tak dapat ditempuhnya cepat-cepat. Dalam tempat yang
merupakan lubang sempit itu, tak mungkin membalikkan tubuh dan jalan keluar
baginya hanyalah merangkak mundur! Kalau dua benda yang bersinar itu ternyata
mata binatang buas, ular besar umpamanya, maka terpaksa harus menghadapinya
dalam keadaan merangkak!
Berbahaya sekali keadaan demikian melawan
seekor binatang buas, apalagi kalau binatang itu berbisa! Akan tetapi, yang
aneh sekali, dua benda seperti mata yang mencorong itu, tidak bergerak-gerak
dari tempatnya sungguhpun sinarnya yang mencorong itu tertimpa cahaya api
unggun nampak berkeredepan bagaikan mata binatang hidup. Apakah gerangan benda
itu? Cin Hai untuk beberapa lama mendekam tanpa bergerak, takut kalau-kalau
binatang itu terkejut dan menyerang maju. Akan tetapi kemudian ia menduga bahwa
boleh jadi binatang itu telah mati dengan mata terbuka, karena kalau binatang
itu masih hidup, mengapa sama sekali tak pernah bergerak? Namun ia masih
ragu-ragu karena memang ada binatang yang sanggup berdiam lama sekali tanpa
bergerak bagaikan mati, seperti halnya seekor ular. Setelah lama menanti,
timbul pula keberaniannya dan dengan hati-hati sekali ia bergerak maju lagi
dengan pedang siap disodorkan ke depan!
Setelah maju kurang lebih lima kaki jauhnya,
ia telah berada dekat sekali dengan dua buah benda yang mencorong itu, lalu
benda itu disentuhnya dengan ujung pedangnya. “Ting!” Ujung pedangnya berbunyi
dan benda itu bergerak menggelinding. Ternyata benda-benda itu adalah dua
potong batu yang ketika dipegangnya hanya sebesar telur burung! Akan tetapi
batu itu bercahaya dan ketika ia pandang penuh perhatian ternyata olehnya bahwa
batu-batu itu bercahaya indah sekali. Hatinya berdebar keras. Inilah sebagian
daripada harta pusaka itu. Ia maju terus, dan makin banyak batu-batu bercahaya
seperti itu, bahkan kini ia melihat banyak potongan emas dan perak. Yang hebat
adalah batu-batu permata itu, karena bertumpuk amat banyaknya di suatu tempat,
membuat terowongan kecil itu buntu, tertutup oleh benda-benda berharga itu.
Cin Hai merasa girang sekali. Tak salah lagi,
inilah harta pusaka yang dicari-cari. Ia membawa dua buah batu permata yang
terbesar, tak kurang dari sebutir telur ayam besarnya, lalu ia merayap keluar
lagi. Ketika ia tiba di mulut terowongan, ia tidak melihat Ang I Niocu dan lalu
melompat turun. Ia mengeluarkan dua buah batu itu dari sakunya dan hampir saja
ia berseru keras saking kagumnya. Dua buah batu itu adalah mutiara-mutiara yang
besar dan cahayanya amat indah. Dua butir mutiara besar ini saja sudah tak
ternilai harganya, apalagi yang bertumpuk di terowongan itu! Cin Hai cepat
memutar patung batu itu sekuat tenaga ke tempat asal hingga lubang di
langit-langit itu tertutup kembali, kemudian setelah menyimpan dua butir
mutiara itu, ia lalu berlari keluar mencari Ang I Niocu.
Di luar sunyi saja, maka ia lalu melompat ke
atas gua dan berdiri di tempat tinggi. Maka terlihatlah olehnya betapa di
tempat yang agak jauh dari situ, Ang I Niocu sedang dikeroyok oleh empat orang
dan berada dalam keadaan terdesak sekali. Dengan marah dan cemas Cin Hai lalu
melompat turun dan berlari cepat ke tempat itu. Kalau saja ia tidak merasa
kuatir akan keselamatan Ang I Niocu dan tidak demikian tergesa-gesa, tentu ia
akan melihat bayangan seorang pendeta Mongol berkelebat dan mengintai ketika ia
keluar dari gua itu!
Ketika tiba di tempat pertempuran, Cin Hai
berseru, “Niocu, jangan kuatir, aku membantumu!” Dan pedang Liong-cu-kiam di
tangannya berkelebat secara luar biasa sekali hingga Kam Hong Sin merasa bukan
main terkejutnya. Siapakah pemuda yang gagah perkasa dan yang memiliki ilmu
pedang sehebat itu.
“Hai-ji, mereka hendak merampas pedang kita!”
teriak Ang I Niocu dengan girang melihat datangnya pemuda itu.
Ketika Cin Hai melihat Sie Ban Leng, ia merasa
gemas sekali lalu membentak, “Ah, inikah macamnya orang yang telah mengkhianati
Ayahku?” Pedangnya menyerang hebat dan dengan suara keras, rebab itu terbelah
dua! Sie Ban Leng terkejut sekali, bukan hanya karena rusaknya senjatanya, akan
tetapi juga karena kata-kata Cin Hai.
“Siapakah kau?” bentaknya.
“Kau masih ingat kepada Sie Gwat Leng? Nah,
dialah Ayahku!”
Pucatlah wajah Sie Ban Leng mendengar ucapan
ini hingga tubuhnya menggigil. Pada pandangan matanya, wajah Cin Hai tiba-tiba
berubah menjadi wajah kakaknya yang dulu telah dikhianatinya itu! Dan sebelum
ia sempat mengeluarkan kata-kata, pedang Liong-cu-kiam di tangan Cin Hai telah
menyambar cepat dan robohlah Sie Ban Leng dengan dada kiri tertembus pedang dan
tewas pada saat itu juga!
Melihat betapa dengan beberapa gebrakan saja
pemuda itu telah berhasil menjatuhkan Sie Ban Leng, bukan main kagetnya hati
Kam Hong Sin. Ia bersuit keras sekali dan memutar pedangnya dengan hebat untuk
menahan serbuan Ang I Niocu dan Cin Hai. Maka datanglah berturut-turut beberapa
orang perwira kerajaan yang berkepandaian tinggi sehingga kini yang mengeroyok
kedua orang muda itu tak kurang dari sepuluh orang! Akan tetapi, Ang I Niocu
dan Cin Hai mainkan pedang dengan seenaknya saja, karena mereka ini hanya
membela diri saja dan tidak berniat menjatuhkan para perwira itu. Terutama
sekali mereka tidak tega melukai Ceng Tek Hosiang yang bertempur sambil
tersenyum dan Ceng To Tosu yang mewek dengan sedihnya itu.
Pada saat pertempuran masih berjalan seru,
tiba-tiba terdengar teriakan riuh dan muncullah serombongan orang Mongol yang
dikepalai oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!
“Pendekar Bodoh, hayo kauserahkan tutup cawan
itu kepada kami!” teriak Thai Kek Losu sambil menerjang dan menyerang Cin Hai.
Melihat datangnya rombongan yang terdiri dari
belasan orang pendeta Mongol jubah merah itu, Cin Hai lalu memberi tanda kepada
Ang I Niocu untuk melarikan diri. Sedangkan para perwira kerajaan ketika
melihat pendeta-pendeta Mongol ini pun segera menyerangnya, sehingga terjadilah
pertempuran antara perwira-perwira kerajaan dengan pendeta-pendeta Mongol.
Sebenarnya hal ini tidak dikehendaki oleh Kam Hong Sin maupun oleh Thai Kek
Losu, akan tetapi Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu yang mendahului menyerang
para pendeta Mongol itu, karena diam-diam mereka berdua ini suka kepada Cin Hai
dan Ang I Niocu hingga ketika para orang Mongol datang menyerang, mereka berdua
lalu membantu Cin Hai dan menyerang para pendeta Mongol itu! Memang diantara
kedua golongan ini telah ada rasa benci membenci hingga mudah saja membakar api
diantara mereka. Serangan Ceng Tek Hosiang dan Ceng To Tosu cukup membuat yang
lain lain lalu menyerbu dan saling gempur dengan sengitnya!
Sementara itu, Ang I Niocu dan Cin Hai telah
melarikan diri secepatnya meninggalkan tempat pertempuran itu.
“Niocu, harta pusaka itu benar-benar berada di
terowongan kecil itu!” kata Cin Hai kepada Ang I Niocu dan secara singkat ia
menuturkan betapa banyaknya harta itu bertumpuk di dalam terowongan kecil. Ia
memperlihatkan bukti dua butir mutiara itu kepada Ang I Niocu yang memandangnya
dengan kagum.
“Kalau kau suka, ambillah, Niocu,” kata Cin
Hai sambil memberikan dua butir mutiara besar itu. Ang I Niocu menerimanya,
akan tetapi lalu ia kembalikan sebutir sambil berkata,
“Simpanlah yang sebutir ini untuk diberikan
kepada Lin Lin kelak.”
“Sekarang bagaimana baiknya, Niocu? Fihak
Kaisar dan Mongol juga menghendaki harta benda itu, bahkan fihak Turki juga
tidak mau ketinggalan. Bagaimana kita harus mengambil harta itu tanpa mereka
ketahui dan kalau sudah kita ambil, lalu untuk apa?”
Setelah mendengar banyaknya harta yang
terdapat di situ, Ang I Niocu sendiri pun menjadi bingung dan tidak tahu harus
menjawab bagaimana.
“Lebih baik kita membuat laporan kepada
Susiok-couw saja, Hai-ji. Kaubawalah sepasang pedang Liong-cu-kiam ini dan
berikan kepada Susiok-couw, sekalian kauceritakan tentang harta pusaka itu dan
tentang keadaan di sini.”
“Kenapa hanya aku yang harus menceritakan?
Bukankah kita pergi ke sana berdua?” tanya Cin Hai.
“Tidak, kau pergilah sendiri. Aku harus
tinggal di sini mengamat-amati gua itu, jangan sampai didapatkan oleh lain
orang. Kalau kita berdua pergi dan harta itu diambil orang lain, kita takkan
dapat berbuat sesuatu.”
Cin Hai mengangguk-angguk, dan bertanya lagi,
“Kalau kedua pedang kubawa, habis kau bagaimana, Niocu? Kau perlu memiliki
pedang yang cukup baik untuk menghadapi bahaya. Tempat ini penuh dengan
orang-orang pandai dan jahat.”
Ang I Niocu tersenyum, lalu menyerahkan pedang
Liong-cu-kiam kepada Cin Hai, kemudian mencabut pedang Cian-hong-kiam pemberian
Lie Kong
“Pedang ini cukup baik dan kuat. Kaulihatlah!”
Ang I Niocu mengayun pedangnya membacok sebuah batu karang hitam di pinggir
jalan dan batu terbelah dengan mudah. Cin Hai mengangguk-angguk dan memuji.
“Po-kiam (pedang pusaka) yang bagus!”
Kemudian ia lalu berangkat menuju ke tempat
pertapaan suhunya, yaitu di Gua Tengkorak di mana dulu ia mempelajari ilmu
silat dari Bu Pun Su. Sedangkan Ang I Niocu tinggat di Lan-couw untuk menjaga
dan mengamat-amati gua rahasia di mana tersimpan harta pusaka yang besar itu.
Cin Hai melakukan perjalanan dengan cepat
menuju ke timur. Jarang ia berhenti kalau tidak hendak makan dan beristirahat,
karena ia hendak cepat-cepat tiba di tempat itu, seakan-akan ada besi sembrani
yang menariknya, yaitu Lin Lin. Pemuda itu baru saja berpisah beberapa lama,
sudah merasa rindu sekali dan kini ia tergesa-gesa bukan lain ialah karena
ingin bertemu dengan kekasihnya itu.
Pada suatu hari ia tiba di sebuah dusun dan
tertariklah hatinya melihat betapa penduduk dusun itu seakan-akan sedang
mengadakan semacam pesta keramaian. Tadinya ia hendak lewat terus saja, akan
tetapi ketika melihat beberapa orang dusun memikul sebuah orang-orangan dari
kertas yang besar dan rupanya seperti Hai Kong Hosiang, ia menjadi terheran
sekali dan menunda perjalanannya. Ia menduga bahwa persamaan wajah
orang-orangan itu dengan Hai Kong Hosiang tentulah merupakan hal yang kebetulan
saja, akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia bertanya gambar siapakah yang
mereka gotong itu, ia mendapat jawaban,
“Gambar si keparat Hai Kong.”
Cin Hai tertarik sekali dan ingin melihat
apakah yang hendak dilakukan oleh orang-orang kampung itu dan mengapa mereka
menggotong gambar Hai Kong Hosiang yang mereka maki-maki keparat. Rombongan itu
menuju ke sebuah rumah kecil yang sudah penuh orang dan di depan pintu rumah
itu terdapat sebuah meja sembahyang.
Setelah orang-orangan itu digotong ke situ,
semua orang berdiri dan memaki-maki, “Hai Kong keparat! Hai Kong Hwesio
bangsat!” dan lain-lain makian lagi menyatakan kemarahan mereka. Kemudian
beramai-ramai semua orang mengeroyok orang-orangan itu dan menghujani pukulan
dengan senjata tajam sehingga orang-orangan dari kertas itu robek-robek dan
hancur, kemudian sisa-sisanya dibakar dibawah sorak-sorai yang riuh!
Cin Hai makin terheran-heran dan menonton
saja. Kemudian orang-orang dusun itu lalu bersembahyang dan semuanya berlutut
di depan meja sembahyang itu dengan muka berduka, bahkan ada pula beberapa
orang wanita yang menangis! Cin Hai tak dapat menahan keheranannya lagi, maka
ia lalu bertanya kepada seorang laki-laki tua yang berada di belakang dan juga
ikut bertutut,
“Lopek, mengapa kalian demikian membenci Hai
Kong Hosiang dan meja sembahyang siapa ini?”
Kakek itu memandang kepada Cin Hai dengan
tajam dan setelah mengetahui bahwe pemuda itu adalah orang dari luar dusun, ia
lalu menjawab,
“Siangkong, ketahuilah. Dulu di dusun kami ini
datang seorang hwesio jahat bernama Hai Kong Hosiang yang mengganggu kami,
bahkan hampir membunuh seorang anak kecil di dusun ini. Kemudian datanglah dua
orang pendekar wanita yang membela kami dan bertempur melawan Hai Kong Hosiang
si keparat itu, akan tetapi dua orang pendekar wanita itu tewas dalam tangan Si
Bangsat Gundul. Oleh karena kami berterima kasih sekali kepada kedua orang
pendekar wanita yang telah mengorbankan nyawa demi pertolongannya kepada kami
maka sekarang kami mengadakan peringatan untuk menghormati jasanya itu.”
Cin Hai merasa tertarik sekali mendengar ini.
“Lopek, siapakah namanya dua orang pendekar wanita yang gagah dan mulia itu?”
“Entahlah, kami juga tidak tahu dan tidak
mendapat kesempatan untuk mengetahui hal itu. Akan tetapi senjata kedua pendekar
itu masih kami simpan dan sekarang pun kami memuja senjata-senjata mereka itu
yang ditaruh di atas meja sembahyang.”
Karena tertarik, Cin Hai lalu menghampiri meja
itu, diikuti oleh pandang mata semua orang kampung yang merasa heran dan
curiga. Cin Hai mendekati meja dan memandang. Alangkah terkejutnya ketika ia
melihat sebuah hud-tim (kebutan pertapa) warna merah dan sebatang pedang. Ia
melangkah maju untuk memandang lebih teliti lagi dan menjadi pucat ketika ia
mengenal senjata-senjata itu. Kebutan meitu adalah senjata Biauw Suthai dan
pedang itu adalah pedang Pek I Toanio, guru dan suci dari Lin Lin!
Lemaslah tubuh Cin Hai dan kedua kakinya
gemetar. Ia segera berlutut dan ikut bersembahyang bersama semua orang kampung
yang kini lenyap kecurigaan mereka melihat pemuda itupun memberi hormat!
Selesai bersembahyang, Cin Hai lalu minta keterangan penjelasan dari kakek tadi
dan setelah ia mendengar cerita tentang dua orang pendekar wanita itu, bahwa
yang seorang adalah seorang pendeta wanita tua dan yang kedua adalah seorang
wanita berpakaian putih yang cantik, ia tidak ragu-ragu lagi. Biauw Suthai dan
Pek I Toanio telah tewas dalam tangan Si jahat Hai Kong! Kalau saja ia tidak
melihat bahwa Hai Kong Hosiang sudah menggelinding ke dalam jurang, tentu ia
makin merasa dendam dan sakit hati kepada hwesio jahat itu!
Cin Hai tak pernah bermimpi bahwa Hai Kong
Hosiang yang disangkanya telah mati itu sebetulnya masih hidup dan sebentar
lagi akan bertemu dengannya!
Ia lalu melanjutkan perjalanannya dan berpikir-pikir
bagaimana ia harus menyampaikan berita sedih ini kepada Lin Lin. Ia maklum
bahwa Lin Lin pasti akan berduka sekali mendengar tentang matinya gurunya dan
sucinya yang amat dikasihinya itu.
Pada keesokan harinya, ia telah tiba dekat Gua
Tengkorak, hanya tinggal perjalanan beberapa belas li saja. Ketika ia masuk ke
dalam sebuah hutan, tiba-tiba ia melihat serombongan orang berjalan cepat dari
depan. Melihat gerakan mereka yang cepat, Cin Hai menjadi heran dan segera ia
bersembunyi di balik sebatang pohon besar dan mengintai.
Ketika rombongan itu telah datang dekat,
tiba-tiba ia membelalakkan kedua matanya dan menggosok-gosok mata itu
seakan-akan ia tidak percaya kepada kedua matanya sendiri. Tak salah lagi, yang
berjalan di depan adalah Hai Kong Hosiang! Bentuk badan dan pakaian hwesio itu
masih sama dengan dulu, hanya bedanya sekarang matanya tinggal sebelah, yang
kanan tertutup dan buta, sedangkan yang kiri terdapat cacat bekas terobek dan
menjadi lebih lebar dari biasa! Muka hwesio itu kelihatan buruk dan menyeramkan
sekali.
Dan yang lebih mengherankan hati Cin Hai
adalah ketika ia melihat Bu Pun Su berjalan di tengah-tengah rombongan itu.
Anehnya, gurunya ini nampak sedih dan putus asa, berjalan sambil menundukkan
kepala, sebagai seorang tawanan! Aneh sekali! Siapakah orangnya yang dapat
menawan dan menundukkan suhunya? Tak mungkin Hai Kong Hosiang! Cin Hai
memandang rombongan itu dan selain Hai Kong Hosiang, ia melihat pula Balaki,
perwira Mongol yang dulu pernah dikalahkannya itu, seorang perwira Mongol lain,
seorang pendeta Mongol jubah merah, dan seorang wanita tua berbaju putih
bercelana hitam dan tak bersepatu! Wanita ini nampak aneh karena walaupun
nampak tua, akan tetapi rambutnya masih hitam dan biarpun pakaiannya amat
sederhana bahkan ia tidak bersepatu, akan tetapi sabuk yang mengikat
pinggangnya terbuat dari pada sutera merah yang panjang dan indah, sabuk yang
biasa dipakai oleh nona-nona muda!
Pada jidat wanita tua itu nampak garis palang
hitam, tepat di tengah-tengah alis agak di atas. Nenek aneh ini berjalan di
sebelah kiri Bu Pun Su. Cin Hai menjadi bengong dan terheran-heran. Mungkinkah
orang-orang ini dapat mengalahkan dan menawan suhunya yang demikian sakti?
Hampir ia tidak percaya, akan tetapi pemandangan yang oleh kedua matanya
bukanlah terlihat di alam mimpi! Dari perasaan heran Cin Hai menjadi marah
sekali terhadap rombongan itu. Ia mencabut sepasang pedang Liong-cu-kiam,
memegangnya erat-erat di tangan kanan kiri, lalu melompat keluar sambil
berseru, “Hai Kong keparat! Kau berani menghina Suhuku?” bentaknya dan kemudian
ia menerjang mereka. Semua orang terkejut melihat berkelebatnya bayangan Cin
Hai yang memegang sepasang pedang yang bercahaya dan menggerakkannya secara
hebat sekali! Balaki dan pendeta Mongol berjubah merah menyambut serangannya
dengan senjata mereka, akan tetapi sekali bentrokan saja senjata kedua orang
itu terpental jauh, terlepas dari pegangan! Cin Hai hendak menyerang Hai Kong
dan nenek tua itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suhunya berseru keras, “Cin
Hai, tahan pedangmu!!” Suara ini menyiram api yang membakar di dada Cin Hai dan
ia berdiri memandang kepada suhunya dengan heran dan cemas. “Suhu...” katanya
menahan napas, “mereka ini... mau apakah?” “Jangan sembarangan turun tangan!”
kata pula Bu Pun Su dengan suaranya yang amat berpengaruh. “Kau pergilah saja
ke Gua Tengkorak dan kautolong Lin Lin.” “Lin Lin... kenapa dia, Suhu...?”
tanya Cin Hai dengan wajah pucat. Dan aneh sekali, Bu Pun Su menarik napas
panjang dengan wajah berduka. Baru kali ini Cin Hai melihat suhunya berduka!
“Pergilah dan kau akan mendapat penjelasan dari Lin Lin.” Cin Hai mendengar
suara ketawa bergelak dan ia cepat berpaling memandang kepada Hai Kong Hosiang
yang masih tertawa sehingga menimbulkan rasa bencinya. Ingin ia menggerakkan
pedangnya menusuk dada hwesio yang jahat itu. “Akan tetapi, Suhu...” ia mencoba
membantah. “Diam! Dan jangan banyak cakap lagi. Pergilah!” seru Bu Pun Su
marah. Dengan kepala tunduk dan beberapa kali menengok, Cin Hai lalu bertindak
pergi. “Ha-ha-ha! Pendekar Bodoh, kau benar-benar tolol dan bodoh. Bu Pun Su
lebih pintar dari padamu! Nyawa Lin Lin kekasihmu itu berada di dalam tanganku
dan tergantung kepada Suhumu apakah ia menghendaki kekasihmu itu hidup atau
mati. Awas, jungan kau berani main-main dengan kami kalau menghendaki Suhumu
dan kekasihmu itu dapat hidup! Ha-ha-ha!” Hai Kong Hosiang tertawa
bergelak-gelak sehingga menggema di dalam hutan itu. Suara tertawanya saja
membuktikan bahwa kini ilmu lweekang hwesio itu telah naik berlipat ganda hingga
diam-diam Cin Hai merasa tertegun. Akan tetapi, kepandaian itu masih jauh
daripada cukup mengalahkan suhunya! Ia tidak berani membantah perintah suhunya.
Apalagi mendengar ancaman Hai Kong Hosiang tadi, membuat ia merasa gelisah dan
cemas memikirkan nasib Lin Lin. Maka ia segera berlari cepat menuju ke Gua
Tengkorak diikuti oleh gema suara tertawa Hai Kong Hosiang. Cin Hai berlari
cepat, mengerahkan seluruh kepandaiannya karena benar-benar merasa gelisah
sekali. Kalau saja Lin Lin kalian ganggu, pikirnya dengan gemas, awaslah
kalian! Ketika tiba di depan Gua Tengkorak hatinya merasa berdebar. Ia tidak
mendengar sesuatu, keadaan sunyi sekali, membuat hatinya berdebar cemas dan
hampir saja ia tidak berani masuk karena merasa takut melihat hal-hal mengerikan
yang terjadi pada diri kekasihnya. Setelah menetapkan hatinya, ia lalu melompat
masuk ke dalam ruang besar di mana tengkorak-tengkorak raksasa masih berdiri
dengan megahnya. Bertahun-tahun ia tinggal di tempat ini mempelajari ilmu
silat, maka pemandangan ini tidak menimbulkan keseraman di hatinya lagi. Ia
segera memandang dengan kedua matanya mencari-cari, dan karena tidak melihat
Lin Lin di ruang itu, ia lalu berlari masuk ke dalam kamar tempat menaruh
hio-louw (tempat hio). Dan di situ ia melihat Lin Lin rebah telentang, pucat
tak bergerak bagaikan mayat.
Cin Hai berdiri terpaku di atas lantai, tak
kuasa bergerak, wajahnya pucat dan kepalanya terasa pening. Hampir saja ia
jatuh pingsan kalau ia tidak menekan perasaannya dan menguatkan hatinya.
“Lin Lin...” akhirnya ia dapat berseru dan
menggerakkan kakinya, menubruk maju dan memeriksa keadaan kekasihnya. Ternyata
bahwa Lin Lin hanya pingsan saja dan pernapasannya masih berjalan, sungguhpun
amat lemah. Tidak ada tanda-tanda luka hebat di tubuh Lin Lin, kecuali bintik
hijau yang terdapat pada lehernya, dan ketika Cin Hai meraba bintik itu, terasa
panas menyerang jari tangannya. Ia merasa terkejut sekali dan dapat menduga
bahwa kekasihnya tentu terkena senjata jarum yang mengandung racun hebat. Bukan
main marahnya. Mengapa suhunya mendiamkannya saja, bahkan menyerah menjadi
tawanan musuh? Cin Hai lalu memondong tubuh Lin Lin dan melompat keluar. Ia
tidak mau menerimanya begitu saja. Ia harus mengejar mereka itu dan memaksa
mereka memberi obat pemunah bagi kekasihnya, atau kalau mereka tak sanggup
menyembuhkan Lin Lin, ia hendak mengamuk dan membunuh mereka semua dengan
taruhan jiwa. Biarpun andaikata suhunya akan melawan, ia akan nekat dan tidak
menurut perintah suhunya. Cintanya kepada Lin Lin jauh lebih besar daripada
ketaatannya kepada gurunya. Kecemasan telah menggelapkan jalan pikiran Cin Hai
dan sambil memondong tubuh Lin Lin yang lemas tak berdaya dan yang meramkan
kedua matanya itu, Cin Hai mempergunakan ilmu berlari cepat, melompati jurang
dan mengejar secepatnya. Akan tetapi, ketika ia tiba di sebuah hutan yang
sunyi, tiba-tiba tubuh Lin Lin bergerak-gerak. Ketika ia memandang, ternyata
kekasihnya telah membuka matanya. Cin Hai berhenti berlari dan mendekap kepala
Lin Lin sambil berbisik, “Lin-moi... Lin-moi... kau kenapakah...?” Untuk
sejenak Lin Lin tidak menjawab, hanya memandang kepada wajah Cin Hai
seakan-akan baru sadar dari mimpi, lalu tangannya merangkul leher Cin Hai dan
ia menangis terisak-isak di dada pemuda itu. Cin Hai mendiamkannya saja dan
setelah tangis Lin Lin mereda, ia lalu menurunkan tubuh kekasihnya itu,
didudukkan di atas rumput dan ia sendiri duduk di sebelahnya. Ia merasa heran
melihat betapa tubuh Lin Lin kini pulih seperti bisia kembali, hanya wajahnya
masih nampak pucat. Cin Hai memegang tangan Lin Lin dan bertanya lagi dengan
wajah kuatir,
“Lin-moi, kau kenapakah?” “Hai-ko, sukur
sekali kau keburu datang. Telah terjadi malapetaka hebat menimpa Suhu dan
diriku.” Cin Hai mengangguk. “Aku tahu bahwa Suhu telah ditawan oleh keparat
itu. Anehnya, ketika aku hendak menolongnya, Suhu bahkan melarangku dan pergi
dengan suka rela menjadi tawanan mereka!” “Kau tidak tahu, Hai-ko. Suhu sengaja
mengalah dan menurut menerima hinaan mereka hanya untuk menolong jiwaku.”
Terkejutlah Cin Hai mendengar ini dan teringatlah ia akan kata-kata Hai Kong
Hosiang yang mengejek ketika ia hendak pergi meninggalkan mereka. “Apa... apa
maksudmu, Moi-moi...?” Lin Lin menarik napas panjang lalu bercerita seperti
berikut. Semenjak ikut pergi dengan Bu Pun Su, Lin Lin memperdalam ilmu
pedangnya di bawah pimpinan kakek jembel yang sakti itu. Mereka berdua lebih
dulu singgah di dalam hutan dan membawa serta burung Merak Sakti dan Bangau
Sakti, hingga kini di Gua Tengkorak itu terdapat tiga burung sakti, yaitu
Sin-kong-ciak si Merak Sakti, Sin-kim-tiauw si Rajawali Emas dan Ang-siang-kiam
si Bangau Sakti. Gadis ini melatih diri dengan giat sekali dan sebentar saja ia
telah mencapai kemajuan yang luar biasa sehingga kalau ia mainkan pedang
Han-le-kiam dengan ilmu pedang yang diciptakan oleh Cin Hai untuknya maka
gerakannya menjadi luar biasa hebatnya! Bu Pun Su telah memperbaiki
gerakan-gerakannya itu dengan gerakan yang sesuai dan tepat, disesuaikan dengan
pedang yang pendek itu. Pada suatu pagi, selagi Lin Lin berlatih seorang diri
di luar gua karena gadis yang rajin ini setiap hari bangun pagi-pagi sekali dan
berlatih seorang diri, datanglah rombongan Hai Kong Hosiang itu. Seperti juga
Cin Hai, Lin Lin merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa pendeta jahat
itu masih hidup. Ia melihat empat orang lain datang bersama Hai Kong Hosiang,
yaitu dua orang perwira Mongol, seorang pendeta Sakya Buddha dan seorang nenek
tua yang aneh. “Hai Kong si Jahat! Kau belum mampus?” teriak Lin Lin dengan
terheran-heran. Hai Kong Hosiang tertawa bergelak-gelak mendengar ucapan ini
hingga sebelah matanya yang kiri itu melotot dan mengeluarkan air mata! “Kwee
Lin, anak jahat! Kau dan Pendekar Bodoh yang membuat aku menjadi begini, akan
tetapi, Sang Buddha adalah adil dan bijaksana! Kau memaki aku jahat, akan
tetapi sebetulnya kaulah yang jahat. Buktinya, biarpun aku telah menggelundung
ke dalam jurang, akan tetapi ternyata Sang Buddha masih melindungiku dan
cabang-cabang pohon menangkap dan menolong nyawaku ketika aku tergelincir jatuh
ke dalam jurang! Sekarang aku telah datang kembali dan aku harus mencokel
sebelah matamu sebelum kubunuh mampus kau dan Cin Hai untuk membalas dendamku.
Ha-ha-ha!” “Gundul keparat, jangan sombong!” Lin Lin dengan garang memaki. Lin
Lin sekarang bukanlah Lin Lin dulu, karena sekarang ia telah memiliki ilmu
kepandaian yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan dulu. Setelah
membentak, ia segera menyerang dengan pedang Han-le-kiam di tangannya. Hai Kong
memandang rendah dan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, maksudnya
hendak dengan satu dua jurus saja menggulingkan gadis itu, akan tetapi
kesombongannya ini hampir saja membuat nyawanya melayang! Ketika Lin Lin
menyerang dengan gerakan limu Pedang Han-le-kiam yang diberi nama Ang-i-to-hwa
atau Ang I Niocu Memetik Kembang, pedang pendeknya membacok ke arah jidat yang
licin dari hwesio itu dengan cepat sekali. Hai Kong Hosiang tersenyum sindir
dan membentak keras lalu mempergunakan tangan kiri menyambar dari samping ke
arah pergelangan tangan Lin Lin untuk merampas pedang dan tangan kanan
mengeluarkan jari telunjuk, ditotolkan ke arah mata kiri Lin Lin untuk mencokel
keluar mata itu. Tidak tahunya, Lin Lin tidak melanjutkan serangannya dan
secepat kilat ujung Han-le-kiam telah dibalikkan dan dari gerakan membacok
jidat berubah menjadi tusukan ke bawah mengancam tenggorokan hwesio itu dengan
gerakan Cin Hai Membacok Kayu! Sedangkan menghadapi tusukan jari tangan Hai
Kong ke arah matanya, Lin Lin mengelak sambil merendahkan tubuh dan tangan kirinya
tidak mau tinggal diam akan tetapi membarengi gerakan pedangnya mengirim
pukulan ke arah dada kiri Hai Kong Hosiang dengan ilmu Pukulan Pek-in-hoatsut
yang dilakukan dengan sepenuh tenaga! Bukan main terkejutnya hati Hai Kong
Hosiang melihat perubahan yang tak pernah disangka-sangkanya ini. Kalau saja ia
tidak memandang rendah dan berlaku hati-hati tentu takkan mudah dibikin
terkejut oleh serangan ini, sungguhpun serangan Lin Lin ini benar-benar
merupakan gerakan silat yang tinggi tingkatnya. Akan tetapi karena tadinya
memandang rendah dan tidak menyangka, Hai Kong Hosiang hanya dapat mengelak
dari serangan pedang ke arah tenggorokannya saja, yaitu dengan jalan miringkan
tubuh ke kiri. Akan tetapi menghadapi pukulan Pek-in-hoatsut itu, ia tidak
keburu berkelit lagi hanya dapat memutar dada dan menerima pukulan itu yang
kini tak mengenai dada kiri, akan tetapi mengenai dada kanannya! Hai Kong
Hosiang berseru kaget lagi dan untung ia telah merasai hebatnya angin pukulan
yang panas sehingga telah mengerahkan lweekangnya ke arah dada kanan, kalau
tidak pasti akan pecahlah dadanya! Tubuhnya terpental ke belakang, dan biarpun
ia masih dapat mencegah tubuhnya terhuyung dan jatuh, namun dada kanannya masih
terasa panas dan ketika ia melihat, ternyata kulit dadanya telah menjadi biru!
Ia mengeluarkan keringat dingin, karena kalau tadi pukulan itu mengenai dada
kiri, pasti jantungnya akan terluka! Ia merasa bergidik memikirkan bagaimana
gadis ini sekarang telah memiliki ilmu kepandaian sehebat itu, sedangkan Lin
Lin yang melihat betapa pukulan dari Ilmu Pek-in-hoatsut yang ampuh itu tidak
merobohkan Hai Kong Hosiang, juga menjadi terkejut dan maklum bahwa ilmu
kepandaian hwesio ini telah mencapai tingkat tinggi yang sukar diukur lagi! Ia
menjadi nekat dan maju lagi menyerang dengan keras, sedangkan Hai Kong Hosiang
yang merasa marah lalu mencabut senjatanya yang masih seperti dulu, yaitu
tongkat dari tubuh ular kering, akan tetapi ular ini sekarang berwarna hijau
dan mengerikan sekali. Sambil membentak marah Hai Kong Hosiang menyambut
terjangan Lin Lin dan bertempurlah mereka dengan seru. Pendeta Sakya Buddha
kawan Hai Kong Hosiang yang melihat betapa gagah gadis itu sehingga dapat
mempertahankan diri dari serangan Hai Kong Hosiang dengan baiknya, menjadi
habis sabar dan maju mengeroyok sambil mainkan pedangnya yang juga lihai. Pada
saat Lin Lin bertempur dikeroyok dua dengan serunya, terdengar suara dari dalam
gua, “Siancai... siancai…” dan muncullah tubuh Bu Pun Su dengan langkah tenang
dan perlahan. “Aha, Hai Kong... kaukah yang kembali datang mengacau? Mundurlah
dan jangan bermuka tebal mengeroyok seorang gadis muda!” Sambil berkata, Bu Pun
Su membuat gerakan mendorong dengan tangan kanannya ke arah Hai Kong Hosiang
dan pendeta baju merah itu, dan terkejutlah Hai Kong Hosiang dan kawannya
karena dorongan ini benar-benar merupakan angin puyuh yang membuat mereka
terhuyung mundur. Lin Lin juga menahan pedangnya dan berdiri sambil memandang
suhunya, karena pada saat itu terjadi hal yang aneh. Bu Pun Su setelah
mendorong Hai Kong dan pendeta Sakya Buddha tadi kini berdiri dengan mata
terbelalak memandang kepada nenek yang tak bersepatu itu, dan berseru perlahan,
“Wi Wi... kau datang juga...?” Nenek itu tersenyum menyindir, lalu berkata
dengan suaranya yang terdengar merdu dan halus bagaikan suara seorang nyonya
bangsawan terpelajar, “Lu Kwan Cu, dimanakah ada perceraian yang kekal?” “Wi
Wi, tak kusangka bahwa kau masih hidup...” “Kau sendiri masih betah tinggal di
dunia, mengapa aku tidak?” Melihat sikap Bu Pun Su yang agaknya takut-takut
terhadap nenek itu dan mendengar percakapan mereka yang aneh ini, Lin Lin
berdiri bengong dan seluruh perhatiannya tertuju kepada suhunya dan nenek itu,
hingga ia tidak menduga datangnya bencana dari fihak Hai Kong Hosiang. Ketika
melihat gadis yang gagah itu berdiri bengong, pendeta Sakya Buddha lalu
mengayun tangannya dan belasan batang jarum hitam menyambar ke arah dada dan
leher gadis itu. Lin Lin telah mempunyai perasaan dan pendengaran yang amat
halus dan tajam, maka kedatangan belasan batang jarum yang menyambar ke arahnya
itu biarpun tidak dilihatnya, dapat ditangkap oleh telinganya, maka ia menjadi
terkejut sekali. Tak ada lain jalan baginya selain menggulingkan tubuh ke atas
tanah dan dengan demikian sambaran jarum-jarum itu mengenai tempat kosong dan
ia dapat menghindarkan diri. Akan tetapi ia tidak menduga bahwa ketika itu, Hai
Kong Hosiang menunjuk dengan tongkat ularnya yang ketika ditekannya lalu
memuntahkan jarum-jarum hijau ke arah tubuh Lin Lin yang masih bergulingan! Lin
Lin mencoba berkelit, akan tetapi datangnya jarum-jarum yang lihai dan cepat
itu sukar sekali dikelit atau ditangkis, maka biarpun gerakan Lin Lin cukup
cepat, sebatang jarum hijau masih berhasil mengenai leher! Lin Lin sudah
mengerahkan lweekangnya untuk membuat kulit dan dagingnya mengeras hingga jarum
halus itu tidak sampai menancap seluruhnya dan ia segera melompat dan mencabut
jarum itu, lalu dengan marahnya hendak menyerang Hai Kong Hosiang, akah tetapi,
tiba-tiba ia merasa pening dan menjerit keras terus roboh tak berdaya. Tubuhnya
terasa panas dan lumpuh, sedangkan kepalanya pening sekali. Ia masih melihat
betapa Bu Pun Su menjadi kaget dan marah. Tadi kalau kakek itu tidak sedang
terheran-heran dan seluruh perhatiannya tertarik dan hatinya tergoncang karena
perjumpaannya dengan nenek itu, pasti ia dapat menggunakan kepandaiannya untuk
menolong Lin Lin. Akan tetapi, keadaan kakek jembel itu tadi seperti seorang
yang kena hikmat dan tidak ingat apa-apa bahkan ketika Lin Lin diserang oleh
Hai Kong dan pendeta baju merah, ia tidak tahu atau mendengar sama sekali.
Setelah Lin Lin menjerit dan roboh, barulah ia sadar dan cepat memandang. “Hai
Kong, pengecut berbatin rendah!” ia berteriak marah dan menggerakkan kedua
tangannya. Kalau dua tangan Bu Pun Su itu jadi diangkat dan digerakkan ke arah
Hai Kong Hosiang, entah nasib apakah yang akan dialami pendeta gundul itu, akan
tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nenek itu dengan halus akan tetapi nyaring.
“Lu Kwan Cu, jangan bergerak!” Bu Pun Su memandang dan melangkah mundur dengan
muka pucat. Nenek itu memegang sebatang tusuk konde terbuat daripada perak yang
berbentuk naga indah sekali dan bermata intan, diangkatnya tusuk konde itu
tinggi-tinggi sambil matanya memandang ke arah Bu Pun Su dengan tajam. Lemaslah
tubuh kakek itu dan ia menurunkan kembali kedua tangannya. “Wi Wi, kau hendak
mempergunakan itu untuk membela kejahatan?” bisiknya. “Kwan Cu, apakah kau yang
sudah tua bangka ini hendak melanggar sumpahmu?” Bu Pun Su menggelengkan
kepala. “Tidak, aku tidak akan melanggar sumpahku biarpun tubuhku akan hancur
lebur. Apakah yang kau kehendaki, Wi Wi?” “Kehendakku yang harus kauturut
ialah, kau tidak boleh mengganggu kawan-kawan ini selama mereka berada di
sampingku!” Bu Pun Su menarik napas panjang dan mengangguk-anggukkan kepalanya,
“Baik, baik, aku takkan mengganggu mereka selama mereka berada di sampingmu!”
ia berjanji. Nenek itu tersenyum dan menyimpan kembali tusuk kondenya yang
demikian berpengaruh terhadap Bu Pun Su itu. Sedangkan kakek jembel itu dengan
muka penuh kecemasan lalu menghampiri Lin Lin yang masih rebah miring dan
memandang semua peristiwa itu dengan mata terbelalak heran. Bu Pun Su memeriksa
luka di leher Lin Lin dan ketika ia meraba luka bintik warna hijau itu, ia
menjadi terkejut sekali. “Hai Kong, kau kejam sekali!” katanya sambil memandang
kepada hwesio gundul yang berdiri sambil tersenyum penuh kepuasan. “Bu Pun Su,
jembel tua! Tahukah kau racun apa yang mengancam jiwa gadis ini?” tanya Hai
Kong Hosiang dengan senyum sindir. “Kau telah menggunakan racun Ular Hijau yang
hidup di Mongolia. Alangkah kejamnya hatimu!” kata Bu Pun Su. “Ha-ha-ha. Matamu
masih cukup awas!” Hai Kong Hosiang menyindir. “Tahukah kau cara bekerjanya
racun itu? Ha-ha-ha! Racun Ular Hijau bekerja lambat akan tetapi pasti. Dan
tidak ada obat di dunia yang dapat menyembuhkan orang yang terkena racun itu.
Gadis ini hanya akan hidup selama seratus hari lagi. Keadaannya akan biasa
saja, tidak merasa sakit apa-apa asalkan ia jangan merasa kuatir. Kalau ia
merasa kuatir, racun itu akan lebih hebat kerjanya dan akan menyerang
jantungnya hingga ia akan jatuh pingsan! Akan tetapi hal itu pun tidak
berbahaya, dan pendeknya, ia akan hidup sampai seratus hari lagi. Ha, ha, ha!”
“Hai Kong, demi Ketuhanan dan Perikemanusiaan, jangan kau sekejam itu. Aku tahu
bahwa untuk racun ini ada semacam obat di Mongolia dan kau yang bermain-main
dengan racun ini tentu mempunyai pula obat penyembuhnya. Berikanlah obat itu
untuk menolong nyawa muridku ini!” “Ha, ha, ha! Enak saja kau bicara, pengemis
tua!” Hai Kong menjadi berani karena ia maklum bahwa kakek jembel itu berada di
dalam kekuasaannya. “Aku tidak begitu bodoh untuk membawa-bawa obat itu
bersamaku. Obat itu berada di suatu empat yang aman!” “Hai Kong, aku minta
kepadamu, serahkan obat itu untuk menolong dia! Aku sudah tua dan takkan lama
lagi hidup di dunia. Aku tidak takut akan kematian, akan tetapi dia ini masih
muda, dan masih berhak untuk hidup lebih lama lagi. Berikan obat itu dan aku
berjanji hendak melakukan apa saja yang kaupinta, asal bukan kejahatan yang
harus kulakukan!” kata lagi Bu Pun Su dengan suara mengandung permohonan.
Melihat dan mendengar semua ini, Lin Lin
segera bangkit duduk dan pada saat itu, agaknya serangan racun di tubuhnya
sudah banyak mengurang.
“Suhu, teecu tidak takut mati. Biarlah teecu
diancam bahaya maut, tidak apa. Akan tetapi perkenankan teecu mengadu jiwa
dengan pendeta rendah budi itu!”
Bu Pun Su menggelengkan kepalanya. “Jangan,
muridku. Bukan saatnya, jangan menggunakan kekerasan...” kemudian ia memandang
kepada Wi Wi Toanio, nenek yang aneh itu. “Wi Wi, sekarang apakah kehendakmu
lagi?”
“Kau harus ikut dengan kami dan membantu kami
mendapatkan harta pusaka terpendam di gua Tun-huang.”
“Hanya itukah?”
“Ya, hanya itu dan setelah berhasil mendapatkan
harta itu, kau boleh bebas. Akan tetapi ketahuilah bahwa pihak Turki dan juga
Kaisar mencari-cari pula harta itu dan kau harus melindungi kami melawan dan
mengundurkan mereka!”
“Aku menurut, Wi Wi, akan tetapi hanya dengan
satu syarat, tanpa dipenuhinya syarat itu, aku takkan menurut, biarpun dengan
berbuat demikian berarti aku melanggar sumpah! Marilah kita masuk ke dalam
guaku dan di sana kita bicarakan hal ini lebih mendalam pula.”
Sambil menuntun tangan Lin Lin, Bu Pun Su
mendahului rombongan itu memasuki Gua Tengkorak.
“Lin Lin kau beristirahatiah di dalam kamar
hio-louw itu dan bersamadhilah dengan tenang, membersihkan pernapasanmu agar
racun yang menyerangmu itu tidak begitu keras jalannya,” katanya kepada Lin Lin
dan tidak mempedulikan suara ketawa Hai Kong Hosiang yang mengejeknya. Lin Lin
melontarkan pandang mata membenci ke arah pendeta gundul itu, lalu ia mentaati
perintah suhunya dan masuk ke dalam kamar hiolouw lalu bersila dan mengatur
napas. Akan tetapi, ia memasang telinganya dan mendengarkan semua percakapan
mereka.
Akhirnya diputuskan oleh Bu Pun Su, Hai Kong
Hosiang, dan Wi Wi Toanio, bahwa Bu Pun Su harus membantu mereka mendapatkan
harta pusaka itu, kemudian kalau harta pusaka itu telah terjatuh ke dalam
tangan mereka, barulah Hai Kong Hosiang akan memberi obat penyembuh racun yang
menguasai Lin Lin.
Mendengar percakapan itu, Lin Lin merasa
terhina sekali dan ia merasa penasaran mengapa Bu Pun Su menjadi demikian lemah
dan tidak berdaya terhadap nenek itu? Apakah nenek itu lebih lihai daripada Bu
Pun Su? Andaikata lebih juga, mungkinkah suhunya bersikap demikian pengecut dan
takluk tanpa mengadakan perlawanan terlebih dulu? Ia menjadi gelisah dan
duduknya tidak bisa diam.
Tiba-tiba terdengar Bu Pun Su berkata, “Lin
Lin, aku tahu mengapa kau merasa gelisah dan penasaran.” Kemudian, kakek yang
lihai ini lalu berkata kepada Wi Wi Toanio, “Wi Wi, jangan kau membuat aku
dipandang rendah oleh muridku sendiri. Kalau kau tidak mau menceritakan riwayat
kita berdua hingga terdengar muridku dengan jelas, jangan harap kau akan dapat
membawaku ke barat untuk mencari harta pusaka itu.”
“Apa?” nenek itu berseru heran. “Kau tidak
takut rahasia kita itu kubongkar?”
“Apakah yang kutakuti lagi? Nama buruk?
Biarlah, aku sudah tak bernama lagi,” jawab Bu Pun Su.
“Tidak akan merasa malukah kau?”
“Di mana letaknya malu? Perbuatan yang telah
dilakukan tak perlu disimpan-simpan! Telah puluhan tahu kita menyimpan rahasia
itu, lebih baik sekarang dibuka sebelum kita mati.”
“Tapi... tapi mengapa kaumasih tunduk kepadaku
kalau kau tidak takut rahasia itu terbongkar?” nenek itu suaranya mengandung
gelora penuh keheranan dan kejutan.
Bu Pun Su tersenyum. “Itulah rahasiaku
sendiri, Wi Wi. Sekarang ceritakanlah semuanya dengan jelas sebelum kita berangkat.”
Dengan suara gemetar, berceritalah nenek yang
aneh itu.
Dulu ketika muda dan masih berusia dua puluh
lima tahun, Bu Pun Su bernama Lu Kwan Cu, muda, tampan, dan gagah. Ilmu
kepandaiannya amat tinggi hingga pada masa itu ia menjagoi di seluruh daerah
dan merupakan pendekar yang ditakuti para penjahat. Karena kakeknya, Perdana
Menteri Lu Pin, menderita karena pemberontakan An Lu San, maka Lu Kwan Cu
membenci semua orang Tartar dan mencari mereka untuk dibunuhnya sebagai
pembalasan dendamnya. Yang terutama dicarinya adalah keturunan An Lu San yang
bernama An Kai Seng dan yang sudah menjadi orang Han semenjak kawin dengan
seorang gadis Han yang cantik. An Kai Seng sendiri biarpun berkepandaian
tinggi, namun merasa takut sekali kepada Lu Kwan Cu yang mencari-carinya,
hingga diam-diam ia melatih diri bersama isterinya, yaitu yang bernama Wi Wi,
seorang gadis Han yang masih berdarah Tartar juga dan yang juga memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Akhirnya Lu Kwan Cu berhasil menjumpai mereka
dan biarpun dikeroyok oleh banyak kawan-kawan An Kai Seng namun tak seorang pun
dapat menghadapinya. An Kai Seng menjadi gelisah dan takut sekali dan tiba-tiba
muncullah isterinya, yaitu Wi Wi Toanio yang cantik. Melihat suaminya berada
dalam bahaya, Wi Wi Toanio lalu mempergunakan kecantikannya untuk menggoda hati
Lu Kwan Cu dan sengaja memancingnya dan menantangnya untuk mengadu jiwa di
dalam sebuah hutan antara pendekar itu dan Ang Kai Seng suami isteri. Tantangan
ini tentu saja diterima oleh Lu Kwan Cu dengan baik, dan ketika pendekar muda
ini pergi ke hutan itu pada saat yang telah ditetapkan, ia hanya menjumpai Wi
Wi seorang diri.
Wi Wi mempergunakan segala kecantikannya untuk
memikat dan menjatuhkan hati Lu Kwan Cu dengan cara yang tak patut dituturkan
di sini. Lu Kwan Cu adalah seorang pemuda yang masih hijau dalam hubungan
dengan wanita dan darah mudanya menggelora ketika ia menghadapi Wi Wi yang
cantik dan pandai menggairahkan hatinya itu. Keteguhan imannya runtuh dan
bagaikan tak sadar ia menuruti kehendak wanita itu bagaikan seekor ikan bodoh
yang tidak tahu akan bahaya umpan pancing!
Semenjak saat itu, ia jatuh bertekuk lutut di
depan Wi Wi yang cantik dan menjadi tergila-gila. Seringkali mereka mengadakan
pertemuan rahasia, dan Lu Kwan Cu sama sekali tak sadar bahwa ia telah
melakukan perbuatan terkutuk dan melanggar kesusilaan dengan isteri orang lain,
bahkan isteri musuh besarnya yang tadinya akan dibunuhnya! Semenjak saat itu,
jangankan bercita-cita membunuhnya, bahkan segala permintaan Wi Wi diturutinya belaka.
Ini masih belum hebat, yang celaka sekali ialah ketika ia memberi sebatang
tusuk konde kepada wanita itu pada saat ia mengucapkan sumpahnya bahwa selama
hidupnya, ia akan menurut segala perkataan wanita yang juga bersumpah
“mencintanya” itu, dan tusuk konde itu menjadi saksi. Lu Kwan Cu benar-benar
mabok asmara dan tergila-gila. Ia percaya sepenuh hatinya bahwa Wi Wi
benar-benar mencintainya dengan setulus hati.
Akhirnya, ketika pada suatu hari ia mengadakan
pertemuan dengan Wi Wi di hutan, ia mendengar gerakan orang. Cepat ia melompat
dan menangkap orang itu yang ternyata bukan lain ialah Ang Kai Seng sendiri
yang mengintai. Ia hendak memukulnya, akan tetapi tiba-tiba Wi Wi mengeluarkan
tusuk konde itu dan minta ia melepaskan suaminya! Bukan main terkejut dan
herannya hati Lu Kwan Cu melihat hal ini. Ternyatalah kini bahwa tak
terduga-duga sekali, An Kai Seng telah mengetahui akan perhubungan itu, dan
bahkan dengan berani sekali Wi Wi mengeluarkan tusuk konde pemberiannya di
depan suaminya untuk menolong suami itu. Terbukalah matanya bahwa agaknya An
Kai Seng dengan sengaja merencanakan hal itu bersama isterinya, yaitu
mempergunakan isterinya yang cantik sebagai umpan untuk menjebaknya! Dalam
takutnya, An Kai Seng beserta isterinya telah menjalankan siasat keji dan
rendah itu untuk menyelamatkan jiwa mereka.
Hancurlah hati Lu Kwan Cu melihat kenyataan
ini, akan tetapi ia adalah seorang gagah yang menetapi janji. Oleh karena ia
sudah berjanji kepada Wi Wi terpaksa ia lalu meninggalkan tempat itu. Semenjak
itu, ia lalu menjauhkan diri dari Wi Wi yang merupakan bahaya besar baginya
itu. Ia takut kalau-kalau Wi Wi mempergunakan tusuk konde yang mempunyai
kekuasaan besar itu untuk memerasnya dan memaksanya membantu wanita itu
melakukan hal-hal yang jahat! Maka ia melarikan diri dan merantau jauh
meninggalkan tempat itu, bahkan lalu beralih nama menjadi Bu Pun Su dan bertapa
di pulau kosong, yaitu Pulau Kim-san-to! Ia menyangka bahwa wanita itu tentu
telah mati. Tidak tahunya, setelah menjadi tua, tiba-tiba saja wanita iblis itu
muncul lagi membuat gara-gara hingga terpaksa ia memegang teguh sumpah dan
janjinya dulu dan membiarkan Lin Lin terluka dan terancam bahaya maut.
Setelah Wi Wi Toanio menceritakan semua ini
yang tidak saja didengarkan oleh Hai Kong Hosiang dan kawan-kawanya, akan
tetapi juga oleh Lin Lin, terdengar Bu Pun Su menarik napas panjang dan
berkata,
“Tepat sekali ujar-ujar Nabi Khong Cu yang
berbunyi, Pok-hian-houw-in, Bok-hian-houw-bi, Koh-kuncu-sin-ki-tok-ha! (Tidak
ada yang lebih jelas dari pada yang tersembunyi, dan tak ada yang lebih tegas
dari pada yang paling lembut. Maka seorang budiman selalu berhati-hati terhadap
hal yang tersembunyi). Ujar-ujar ini jelas memperingatkan manusia akan
bahayanya musuh yang bersembunyi di dalam hati dan pikiran sendiri. Segala hal
yang diperbuat oleh lahir, selalu datangnya dari dalam, bagaikan munculnya
tunas yang mekar terdorong oleh suatu tenaga yang keluar dari dalam cabang! Hm,
usia muda memang penuh bahaya!”
Setelah berkata demikian, Bu Pun Su lalu
berkata kepada Lin Lin,
“Muridku, kau telah mendengar hal itu semua,
dan kau tentu mengerti mengapa aku tidak dapat melanggar sumpah sendiri. Kau
tenanglah dan tunggu saja di sini dengan baik-baik bersama tiga burung kita,
tunggulah sampai aku kembali membawa obat penawar lukamu!”
Setelah berkata demikian, pergilah mereka
meninggalkan Gua Tengkorak meninggalkan Lin Lin seorang diri di kamar hio-louw
itu. Dan di dalam hatinya, ia merasa berkuatir sekali, bukan kuatir terhadap
diri sendiri, karena Lin Lin berhati tabah dan tidak takut mati, akan tetapi ia
menguatirkan keadaan suhunya. Ia lupa bahwa ia tidak boleh mempunyai perasaan
kuatir, maka begitu penasaran itu mendesak jantungnya, ia menjerit keras lalu
jatuh pingsan!
Dan kemudian datanglah Cin Hai menemukannya
dalam keadaan masih pingsan!
Cin Hai mendengarkan penuturan itu dengan amat
tertarik, gelisah dan terharu. Jarang terdapat orang seperti suhunya. Gagah
perkasa, memegang teguh sumpahnya, sungguhpun sumpah terhadap seorang jahat,
akan tetapi rela mengorbankan dirinya demi keselamatan muridnya!
“Kalau demikian halnya, kau harus menenangkan
hatimu, Lin-moi. Seratus hari adalah waktu yang cukup banyak bagi kita untuk
berusaha mencari obat bagimu. Biarpun aku percaya penuh kepada Suhu bahwa ia
tentu akan berhasil membawa obat penyembuh itu, akan tetapi, terlebih baik pula
kalau kita tidak tinggal diam dan marilah kita pergi ke Kan-su untuk menyusul
mereka. Jangan kau kuatir, Adikku, aku telah berada di sampingmu dan demi Tuhan
Yang Maha Agung, kau pasti akan tertolong.”
Pada saat itu, di udara nampak tiga titik
hitam yang melayang turun dan tak lama kemudian, tiga burung yang menjadi kawan
Lin Lin, yaitu Merak Sakti, Rajawali Emas, dan Bangau Sakti, menyambar turun
dan berdiri dekat mereka sambil mengeluarkan suara riuh rendah, seakan-akan
menegur mereka mengapa meninggalkan begitu saja.
“Marilah kalian ikut kami pergi ke barat,”
kata Lin Lin.
Cin Hai lalu melanjutkan perjalanan bersama
Lin Lin menuju ke barat, diikuti oleh tiga burung sakti yang terbang tinggi di
atas udara. Mengingat akan keadaan Lin Lin, Cin Hai diam-diam merasa berduka
dan gelisah sedangkan Lin Lin yang mengetahui keadaan kekasihnya itu,
menghiburnya dengan berlaku riang gembira dan jenaka hingga Cin Hai merasa terhibur
juga. Melihat sikap Lin Lin, seakan-akan ia tidak menderita sakit apa-apa dan
memang betul ucapan Hai Kong Hosiang bahwa racun Ular Hijau itu amat halus
kerjanya hingga orang yang terkena seakan-akan tidak merasa apa-apa padahal
orang itu makin hari makin mendekati maut!
Dalam usahanya menghibur Cin Hai, Lin Lin
bahkan mempergiat latihan pedangnya. Cin Hai bukanlah seorang pemuda yang
berhati lemah dan bersemangat kecil, maka ia pun segera dapat melupakan
kekuatirannya dan sikap Lin Lin yang gembira ini banyak menolongnya, bahkan ia
lalu sadar bahwa seharusnya dialah yang seharusnya memperlihatkan sikap gembira
agar kekasihnya itu tidak memikirkan keadaan dirinya dan tidak timbul
kekuatiran, perasaan yang menjadi pantangan bagi Lin Lin itu. Maka dengan
gembira ia pun lalu membantu dan memberi petunjuk-petunjuk hingga ilmu pedang
Lin Lin kini menjadi makin maju saja.
Cin Hai tidak mau menceritakan kepada Lin Lin
tentang tewasnya Biauw Suthai dan Pek Toanio karena ia maklum bahwa hal ini
membahayakan kesehatannya. Bahkan ia sengaja mengambil jalan memutar dan tidak
melalui dusun di mana kedua pendekar wanita itu tewas.
Kita mengikuti keadaan Ang I Niocu yang
ditinggal seorang diri oleh Cin Hai yang pergi memberi laporan kepada Bu Pun
Su. Dara Baju Merah itu menanti kembalinya Cin Hai sambil menjaga gua rahasia
tempat harta pusaka itu, juga sambil menunggu datangnya rombongan Kwee An, Ma
Hoa, dan Nelayan Cengeng yang juga menuju ke Kan-su mengambil jalan lain.
Pada suatu hari, karena merasa kesal tidak ada
kawan dan tidak ada sesuatu yang dikerjakan, Ang I Niocu keluar dan pergi
berjalan-jalan di sekeliling ibu kota Lan-couw yang ramai. Daerah Kan-su adalah
daerah barat daratan Tiongkok dan di situ banyak terdapat suku-suku bangsa,
bahkan banyak pula orang-orang asing yang berdagang di situ. Oleh karena ini,
maka banyak sekali nampak pemandangan-pemandangan yang ganjil, yaitu
jalan-jalan penuh orang-orang yang mengenakan pakaian bermacam ragam dan warna.
Banyak pula wanita-wanita suku Hui dan lain-lain yang berwajah manis dengan
pakaian mereka yang berbeda dengan pakaian orang-orang Han.
Akan tetapi, ketika Ang I Niocu berjalan-jalan
dengan pakaiannya yang serba merah, langkahnya yang gagah, tubuhnya yang
ramping dan wajahnya yang cantik jelita itu, ia merupakan pemandangan yang amat
mencolok mata dan yang jarang terlihat oleh orang-orang di situ. Oleh karenanya
hampir semua mata memandang Dara Baju Merah itu dengan penuh kekaguman. Akan
tetapi Ang I Niocu sudah biasa dengan pandangan-pandangan mata seperti ini,
maka ia tidak mengacuhkannya sama sekali, seakan-akan mereka itu hanyalah
patung-patung batu yang memandangnya tanpa berkedip.
Ketika lewat depan sebuah toko yang menjual
barang-barang kuno, Ang I Niocu teringat akan cawan tertutup yang menjadi penunjuk
jalan baginya dan Cin Hai untuk menemukan rahasia gua rahasia itu. Ia teringat
betapa anehnya ia mendapatkan cawan berukir itu, yaitu dari seorang gila!
Ketika itu ia sedang berjalan menuju ke Kan-su, yaitu sebelum bertemu dengan
Cin Hai. Tiba-tiba ia melihat seorang yang berpakaian tidak karuan dan hampir
telanjang duduk di tepi jalan, tertawa-tawa seorang diri. Orang itu adalah
seorang Turki sudah tua, dan yang amat aneh ialah biarpun pakaiannya
compang-camping tidak karuan dan keadaannya menunjukkan kemiskinan yang amat
besar, namun ia memegang sebuah cawan perak yang indah!
Ketika Ang I Niocu sedang memandang dengan
terheran-heran, datanglah tiga orang bangsa Hui yang mendekati orang gila itu
dengan mata melirik ke sana ke mari. Melihat bahwa tempat itu sunyi dan hanya
ada seorang gadis baju merah berdiri di tempat yang agak jauh, ketiga orang itu
lalu maju dan hendak merampas cawan perak itu.
Si Gila lalu berteriak-teriak, berdiri dan
menendang-nendang, mencakar-cakar melakukan perlawanan, sambil mulutnya
mengomel, “Pergi, pergi! Kalian tidak berhak mendapatkan harta pusaka ini!
Pergi!”
Seorang di antara tiga orang yang hendak
merampas cawan itu lalu mengubah siasat dan sambil tersenyum ia berkata,
“Kakek sinting, biarlah kami tukar dengan uang
untuk membeli nasi!” orang itu lalu mengeluarkan uang perak beberapa potong,
akan tetapi orang gila itu mendekap cawan itu erat-erat sambil memaki.
“Perampok-perampok, pergi! Aku tidak butuh
uang! Harta pusaka ini milikku!”
Tiga orang itu menubruk dan merampas cawan,
tiba-tiba mereka roboh sambil merintih-rintih. Ternyata Ang I Niocu telah
bertindak karena kasihan kepada orang gila itu.
Tiga orang laki-laki bangsa Hui itu bangkit
lagi dan hendak menyerang, akan tetapi kembali tubuh Ang I Niocu bergerak cepat
dan sebelum mereka tahu apakah yang terjadi dan menimpa diri mereka, tahu-tahu
ketiga orang itu telah terlempar lagi dengan tubuh sakit-sakit! Mereka
memandang dengan mata terbelalak ketakutan seakan-akan melihat setan di tengah
hari, lalu berlari pergi secepat kaki mereka dapat bergerak!
Orang gila itu menghampiri Ang I Niocu dan
karena orang itu bertubuh tinggi sekali, maka ketika ia mengulurkan kedua
tangannya yang kotor ke atas kepala Ang I Niocu, kedua tangan itu menumpang di
atas kepala gadis itu, seakan-akan seorang pendeta memberi berkah.
“Kau gagah, ha, ha, mereka lari
pontang-panting, ha-ha-ha! Kau patut menjadi ratu, patut memiliki harta pusaka
itu. Ini, kauterima harta pusaka yang tak ternilai harganya!” Ia memberikan
cawan perak itu kepada Ang I Niocu yang menerimanya dengan heran.
“Untuk apa cawan ini?” tanyanya.
Orang gila itu memandangnya dengan marah.
“Untuk apa katamu? Itu bukan cawan. Bodoh, menyebut harta pusaka sebagai cawan
biasa!” Si Gila itu lalu pergi dengan langkah lebar dan terdengar ia bernyanyi
dalam bahasa Turki yang tidak karuan. Ang I Niocu mengamat-amati cawan itu dan
melihat ukir-ukiran yang indah, hingga timbul sayangnya. Ia lalu masukkan cawan
itu ke dalam saku dan tidak tahu maksud ucapan orang gila itu sampai ia bertemu
dengan Cin Hai yang membawa tutup cawannya.
Demikianlah, sambil mengenangkan peristiwa
semua ini, Ang I Niocu tak sengaja berhenti depan toko barang antik itu sambil
melamun. Tiba-tiba ia melihat dua orang Turki berkelebat masuk ke dalam toko
dan ketika seorang di antara mereka memandang keluar toko, maka nampak wajahnya
yang dibayangi ketakutan hebat! Ang I Niocu menjadi tertarik dan curiga, maka
ia segera melompat ke pinggir rumah dan terus mengintai dari atas genteng.
Ia melihat dua orang itu bicara dengan seorang
Turki lainnya dan agaknya mereka membicarakan hal-hal yang mengandung rahasia.
Akan tetapi sebuah perkataan saja yang dimengerti oleh Ang I Niocu karena
mereka bicara dalam bahasa Turki, yaitu kata-kata mereka “Yousuf”! Kata-kata
ini cukup untuk membuat ia memperhatikan mereka baik-baik dan ketika ketiga
orang itu keluar dari luar rumah melalui pintu belakang lalu berlari-lari
cepat, ia lalu mengikuti mereka dengan diam-diam.
Dengan mudah ia dapat mengikuti ketiga orang
itu tanpa mereka mengetahuinya. Untuk beberapa lama ketiga orang itu masuk
keluar hutan dan kemudian tiba di sebuah perkampungan kecil di mana banyak
terdapat rumah-rumah model Turki. Tiga orang Turki itu masuk ke dalam rumah
yang terbesar. Ang I Niocu segera melompat naik ke atas genteng dari bagian
belakang dan menuju ke wuwungan di sebelah tengah. Ia membuka genteng dan
mengintai ke dalam dengan hati-hati. Dilihatnya ketiga orang tadi masuk ke
dalam sebuah ruangan yang kebetulan berada di bawahnya. Di dalam ruangan yang
lebar nampak duduk dua orang Turki. Seorang di antara mereka telah tua sekali,
dan yang seorang lagi setengah tua, sikapnya gagah. Juga kakek yang sudah tua
dan rambutnya sudah putih semua sehingga menimbulkan kontras yang mencolok dengan
kulitnya yang hitam, nampak lemah lembut akan tetapi sepasang matanya bersinar
tajam berpengaruh.
Tiga orang Turki itu setelah melihat mereka,
lalu maju dan memberi hormat dengan membungkukkan tubuh dalam-dalam dan kedua
tangan di depan. Mereka bertiga lalu bicara seakan-akan membuat laporan kepada
dua orang itu. Tak lama kemudian, orang setengah tua tadi menjawab dengan
beberapa perkataan yang agaknya memberi perintah, karena setelah mendengar
ucapan itu, tiga orang pendatang tadi lalu pergi lagi.
Tiba-tiba, orang setengah tua itu tertawa dan
sambil menengok ke atas ke arah genteng yang dipijak oleh kaki Ang I Niocu ia
berkata dalam bahasa Han yang lancar, “Sahabat yang berada di atas genteng,
harap kau suka turun saja apabila ada perlu dengan kami.”
Ang I Niocu terkejut sekali. Tak pernah
disangkanya bahwa orang itu dapat melihat atau mendengarkannya, dan selagi ia
merasa ragu-ragu, tiba-tiba kakek rambut putih itu juga berkata,
“Nona berbaju merah agaknya Ang I Niocu! Kalau
benar, kami persilakan turun karena kita masih kawan sendiri!”
Makin terkejutlah hati Ang I Niocu mendengar
ini. Kalau laki-laki setengah tua itu hanya dapat mengetahui bahwa di atas
genteng terdapat orang mengintai, adalah kakek berambut putih itu bahkan tahu
bahwa yang mengintai adalah seorang gadis baju merah, bahkan dapat menduga
namanya dengan tepat! Ang I Niocu masih merasa ragu-ragu untuk turun, maka ia
teringat sesuatu dan bertanya,
“Apakah seorang diantara Jiwi ada yang bernama
Yousuf?”
Mendengar pertanyaan ini, laki-laki setengah
tua itu berseri wajahnya dan sambil berdiri ia menjawab girang. “Akulah yang
bernama Yousuf! Kalau begitu Nona tentu benar-benar Ang I Niocu adanya! Lihiap,
silakan turun!”
Kini Ang I Niocu tidak merasa ragu-ragu lagi.
Ia membuka beberapa potong genteng dan melayang turun sambil berkata, “Mohon
dimaafkan sebanyaknya atas kelancanganku!”
Yousuf memandang kepada Nona Baju Merah itu
dengan mata kagum, kemudian ia menjura sambil berkata girang, “Betul, betul!
Kau tentu Ang I Niocu. Aku telah lama mengenalmu dari penuturan anakku Lin
Lin!”
Ang I Niocu menjadi girang sekali. “Dan aku
pun telah lama mengenal nama Yo-lopek dari kawan-kawan.”
Mendengar bahwa tanpa ragu-ragu lagi Ang I
Niocu menyebutnya lo-pek (uwa) seperti Cin Hai, Kwee An dan yang lain-lain.
Yousuf merasa girang sekali.
“Ang I Niocu, kedatanganmu ini bagiku laksana
jatuhnya sebuah bintang dari langit! Kau disangka telah tewas di atas Pulau
Kim-san-to hingga melihat kesedihan kawan-kawan kita, aku sendiri merasa amat
berduka. Dan sekarang, tiba-tiba saja kau muncul dalam keadaan yang kebetulan
sekali!”
Ang I Niocu memandang ke arah kakek berambut
putih yang lihai tadi dan bertanya, “Siapakah Locianpwe yang terhormat ini?”
Kakek itu tertawa bergelak dan menjawab, “Ang
I Niocu, kau tentu belum pernah mendengar namaku, sungguhpun telah seringkali
aku mendengar namamu dari muridku ini.”
“Ah, kalau begitu Locianpwe tentu yang bernama
Ibrahim!” kata Ang I Niocu.
Baik Ibrahim maupun Yousuf menjadi tercengang.
“Bagaimana kau bisa tahu, Lihiap?” tanya Yousuf heran.
Ang I Niocu lalu menceritakan pengalamannya,
dan bahwa Cin Hai pernah bercerita tentang pertemuannya dengan guru Yousuf itu
ketika Ibrahim menangkap ular.
Bukan main girangnya hati Yousuf ketika
mendengar bahwa Ma Hoa dan Kwee An berada dalam keadaan selamat, bahkan kini
sedang menuju ke Lan-couw sehingga banyak kemungkinan ia akan bertemu dengan
mereka. Kalau tadinya ia masih agak muram wajahnya, kini ia menjadi riang
gembira dan berkata,
“Lihiap, tadi kukatakan bahwa kedatanganmu ini
seperti bintang jatuh dari langit, akan tetapi sekarang ternyata bahwa kau
bukan merupakan bintang saja, bahkan seakan-akan bulan sendiri jatuh di
pangkuanku! Kau tidak saja memperkuat fihakku, bahkan kau membawa berita yang
amat menggirangkan hatiku. Patut aku mengucap syukur dan terima kasih kepada
Tuhan Yang Maha Tunggal.” Sambil berkata demikian, orang Turki itu mengangkat
kedua tangan ke atas sebagai puji syukur kepada Tuhan.
“Sebenarnya, apakah yang sedang terjadi,
Yo-lopek? Tadi aku melihat tiga orang itu dan aku merasa curiga. Ketika
mendengar namamu disebut-sebut, aku lalu mengikuti mereka ke sini dan agaknya
mereka membuat laporan. Ada apakah?” tanya Ang I Niocu yang sama sekali tidak
mengerti karena selama ini semua pembicaraan dilakukan dalam bahasa Turki.
Yousuf menarik napas panjang. “Sebetulnya hal
yang sedang terjadi dan akan terjadi ini adalah urusan pribadi Turki sendiri.
Akan tetapi, oleh karena di sini terkandung juga soal-soal kejahatan, maka kami
percaya bahwa kau tentu akan suka membantu kami. Orang-orang Turki yang berada
di daerah ini terpecah menjadi dua rombongan, yaitu pengikut-pengikut Pangeran
Tua yang pada waktu ini masih menjadi raja di Turki, dan sebagian pula
pengikut-pengikut Pangeran Muda yang selalu menimbulkan kekacauan. Kami adalah
pengikut-pengikut Pangeran Tua, kami selalu mengambil sikap baik dan bersahabat
terhadap negerimu, akan tetapi politiknya yang bersahabat itu dikacau dan
dirusak oleh Pangeran Muda yang selalu mencari perkara. Kini pengikut-pengikut
Pangeran Muda itu bahkan mempunyai maksud menyerbu ke pedalaman Tiongkok, dan
mereka datang hendak mencari harta pusaka yang bukan menjadi hak orang Turki.
Nah, kami para pengikut Pangeran Tua mendapat tugas untuk menghalangi maksud
jahat ini, karena kalau maksud mereka itu dilanjutkan, yang akan menderita rugi
adalah bangsa kami sendiri, karena tentu dianggap jahat oleh bangsamu. Kami
bertugas menghalangi maksud mereka mencuri harta pusaka itu, dan mencegah
mereka melanjutkan usaha menyerbu ke pedalaman Tiongkok!”
Ang I Niocu mengangguk-angguk maklum. “Kalau
begitu, kau dan kawan-kawanmu memang orang-orang gagah yang mulia, Yo-lopek.
Aku pun pernah mendengar sedikit-sedikit tentang maksud orang-orang Turki itu,
akan tetapi tak pernah menyangka bahwa ada dua rombongan yang bertentangan. Di
fihak siapakah orang-orang seperti Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin
dan yang lain-lain itu berdiri?”
Tiba-tiba Ibrahim berdiri dari tempat duduknya
dan berkata dengan gemas,
“Nah, itulah yang amat menyebalkan hati kami.
Para pengikut Pangeran Muda itu telah mempergunakan cahaya emas untuk
menggunakan orang-orang jahat seperti mereka itu dalam usaha mereka yang
rendah. Yang menyebalkan hati, bagaimana orang-orang Han sendiri sudi membantu
usaha pengikut-pengikut Pangeran Muda, yang mempunyai maksud buruk terhadap
negeri mereka sendiri?” Ibrahim menarik napas panjang.
Ang I Niocu tersenyum. “Tidak sangat aneh,
Locianpwe. Iman yang lemah dikuasai hati, hati yang kotor dikuasai pikiran dan
pikiran yang picik dikuasai oleh mata. Kalau mata mereka sudah silau dan buta
karena cahaya harta benda, kejahatan apakah lagi yang pantang bagi mereka?”
Ibrahim mengangguk-angguk. “Kau benar, kau
benar...” lalu kakek rambut putih itu duduk melamun tidak mempedulikan lagi
keadaan di sekelilingnya.
“Ang I Niocu,” kata Yousuf, “sekarang kami
menghadapi puncak pertentangan antara kami dan mereka. Tadi kawan-kawan
melaporkan bahwa pengikut-pengikut Pangeran Muda agaknya telah mendapatkan
kunci yang membawa mereka kepada tempat harta pusaka itu! Kabarnya bahwa mereka
telah berhasil mendapatkan cawan yang berukirkan peta yang menunjukkan di mana
tempat harta itu, yang dirampasnya dari seorang gila. Kalau hal ini betul, kami
harus menghalangi mereka!”
Ang I Niocu tersenyum. “Tak usah, Yo-lopek.
Harta pusaka itu telah diketemukan dan yang mendapatkannya bukan lain ialah aku
sendiri dan Cin Hai.”
Yousuf memandangnya dengan bengong sehingga
Ang I Niocu segera menceritakan pengalamannya. Yousuf menjadi girang sekali sehingga
ia segera berpaling kepada gurunya dan menuturkan semua cerita Ang I Niocu
dengan cepat kepada gurunya dalam bahasa Turki, karena tadi ketika Ang I Niocu
bercerita, agaknya kakek itu masih melamun dan tidak mendengar apa-apa! Ibrahim
juga merasa girang dan tertawa senang.
“Akan tetapi, Lihiap, sekarang mereka sedang
menuju ke sini untuk menyerbu kami, demikian menurut laporan kawan-kawan. Kami
telah siap sedia menghadapi serbuan mereka dan kalau perlu, kami bersedia untuk
bertempur pula.”
“Jangan kuatir, Yo-lopek. Aku telah berada di
sini dan aku pasti akan membantu kalian.”
Pada saat itu, dari luar masuk seorang penjaga
dan memberi laporan singkat kepada Yousuf yang segera dijawabnya dengan
perintah singkat pula. Orang itu pergi lagi dan Yousuf talu berkata kepada Ang
I Niocu,
“Mereka telah datang dan kuminta
pemimpin-pemimpin mereka datang ke sini untuk mengadakan pembicaraan.”
“Kalau begitu aku harus mengundurkan diri,”
kata Ang I Niocu, yang menganggap bahwa tidak sepantasnya ia ikut bicara
tentang urusan negara orang lain, apalagi kalau mereka bicara dalam bahasa
mereka yang tidak dimengertinya sama sekali itu.
Akan tetapi Yousuf mengangkat tangan. “Tak
usah Li-hiap. Kau duduklah saja di sini, mengawani kami berdua. Mereka yang
datang ini pun hanya wakil-wakil dan utusan-utusan saja dan pembicaraan akan
dilakukan dalam bahasa Han, karena mereka itu sebagian besar juga orang-orang
Han yang telah kaukenal tadi.”
Rombongan tamu yang datang itu adalah tujuh
orang yang terdiri dari seorang Turki tua yang bersorban merah, diiringkan oleh
Siok Kwat Moli, Wai Sauw Pu, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam Sam-lojn, yaitu
Giok Im Cu, Giok Yang Cu dan Giok Keng Cu.
Yousuf menyambut mereka dengan dingin dan
angkuh, karena sebagai pemimpin pengikut Pangeran Tua itu merasa lebih tinggi
derajatnya, sedangkan Ibrahim hanya duduk saja tak mempedulikan mereka sama
sekali dan Ang I Niocu duduk dengan tegak dan gagah.
Rombongan itu merasa heran juga ketika melihat
bahwa penyambut mereka hanya tiga orang saja, akan tetapi ketika mereka melihat
bahwa Ang I Niocu berada di situ, mereka menjadi terkejut.
“Hm, agaknya kau juga sudah mendapat bantuan
seorang Han, Saudara Yousuf yang baik!” Kata pemimpin Turki sambil tersenyum
sindir. Seperti keterangan Yousuf tadi, orang Turki ini menggunakan bahasa Han
oleh karena para pembelanya menghendaki demikian.
“Nona yang berdiri di pihakku adalah seorang
pendekar wanita yang membela persahabatan dan keadilan, tidak seperti
pembantu-pembantumu yang hanya membela uang dan emas yang kausodorkan kepada
mereka, mana mereka bisa dipersamakan?” jawab Yousuf menyindir hingga wajah
enam orang itu menjadi merah karena marah dan malu.
Yousuf lalu berkata lagi kepada pemimpin orang
Turki itu, “Sahabat, apakah maksud kedatanganmu membawa sekalian tukang-tukang
pukulmu ini?”
Sahimba tertawa, kemudian berkata dengan sikap
angkuh, “Yousuf, di negeri kami kau boleh berlaku sebagai seorang kepercayaan
raja dan kami harus tunduk terhadapmu. Akan tetapi sekarang kita berada di
negeri orang lain dan kau tak berhak untuk mencampuri urusan kami! Kami
melakukan usaha kami sendiri mencari keuntungan di tempat ini, mengapa kau dan
orang-orangmu begitu tidak tahu malu untuk menghalangi kami menimbulkan
permusuhan di antara bangsa sendiri?”
“Sahimba, kalau usahamu itu baik dan jujur,
siapa yang akan sudi mencampuri urusanmu? Akan tetapi, kau menurut perintah dan
nafsu jahat dari Pangeran Muda, hendak mengacau negeri lain orang, bahkan
hendak mencuri hak lain bangsa. Hal ini tentu saja akan memalukan bangsa kita,
dan sebagai seorang patriot, tentu saja kami takkan membiarkannya saja! Dengan
perbuatanmu yang memalukan bangsa sendiri, kau boleh dianggap sebagai seorang
pengkhianat yang merusak nama negara dan bangsa, apakah ini harus didiamkan saja?”
“Yousuf kau manusia sombong! Kau mengandalkan
apakah maka berani berkata demikian? Orang yang mencampuri urusan lain orang
dan yang ingin tahu usaha orang lain adalah orang yang rendah! Kuperingatkan
kepadamu sekali lagi sebagai orang-orang sebangsa, lebih baik kaulepaskan
tangan dan jangan ikut-ikut urusan kami, agar kami tak usah merepotkan tangan
membasmi kau dan kawan-kawanmu!”
Yousuf menjadi marah sekali, akan tetapi ia
tetap tersenyum ketika menjawab, “Sahimba, kau bicara tanpa mempergunakan pikiran
sehat! Aku adalah hamba dari Pangeran Tua yang menjadi raja di negeri kita,
sedangkan kau adalah pengikut seorang pangeran yang selalu membuat kacau, ada
apakah lagi yang dapat dirundingkan antara kita? Jangan kauanggap kami merasa
takut akan ancaman-ancamanmu yang hanya merupakan raung anjing di waktu malam
terang bulan!”
“Kalau begitu, kita harus putuskan hal ini
dengan senjata!” kata Sahimba dengan marah, dan ia bersama keenam
orang-orangnya itu meraba gagang senjata!
“Terserah kepadamu, Sahimba!” kata Yousuf
sambil menepuk tangan tiga kali dan dari segala lubang pintu muncullah puluhan
orang dengan senjata lengkap! “Kami sudah bersiap sedia!”
Sahimba dan kawan-kawannya memandang ke
sekeliling dan ternyata bahwa kawan-kawan Yousuf yaitu pengikut Pangeran Tua
telah mengurung rumah itu dan menjaga dengan kuat!
“Kau hendak menggunakan orang banyak
mengeroyok kami?” kata Sahimba dengan senyum sindir untuk menyembunyikan
kegelisahannya.
“Hanya orang-orang macam kaulah yang suka
mengeroyok dan mengandalkan banyak kawan!” Jawab Yousuf. “Kawan-kawanku siap
sedia bukan untuk mengeroyok, akan tetapi untuk menjaga kalau-kalau kau yang
berkawan banyak ini berani berlagak!”
“Yousuf!” terdengar si Nenek Bongkok Siok Kwat
Mo-li berseru. “Jangan kau sesombong itu! Kalau kau memang laki-laki, marilah
kita adu kepandaian, seorang lawan seorang, jangan main keroyok.”
Ibrahim mengeluarkan suara batuk-batuk dan
sikapnya masih tenang ketika dia berkata, “Aduh, galak benar! Yousuf, kalau
tamu-tamu kita menghendakinya, kita sebagai tuan rumah seharusnya menerima
untuk membuktikan keramahan terhadap tamu-tamu yang datang tanpa diundang!”
Yousuf lalu menghadapi Sahimba. “Kau telah
mendengar sendiri ucapan Guruku dan kalau kau menghendaki, boleh kita
mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian!”
“Boleh-boleh! Inilah kesempatan baik untuk
membikin mampus kalian dalam sebuah pertandingan yang jujur.” jawab Sahimba.
Yousuf lalu memberi aba-aba dan beberapa orang
penjaga lalu masuk untuk membersihkan ruangan yang lebar itu. Meja kursi
disingkirkan dan kini ruangan itu menjadi sebuah tempat yang cukul luas di mana
orang boleh bertempur sesuka hatinya.
Yousuf berkata lagi, “Karena pihakku hanya ada
tiga orang jago, sedangkan kulihat bahwa kau membawa enam orang tukang pukul,
maka kau boleh majukan tiga orang tukang pukulmu.”
“Orang sombong, kauanggap kami tukang pukul?
Jaga lidahmu baik-baik!” kata Giok Yang Cu, orang ke dua Kang-lam Sam-lojin
yang bertubuh tinggi besar. Yousuf tersenyum dan memandangnya dengan mengejek,
“Aku adalah tuan rumah, mengapa harus menjaga lidah? Kaulah yang harus menjaga
lagakmu baik-baik. Apakah kau merupakan orang pertama yang maju mewakili
pihakmu?”
Sebelum Giok Yang Cu menjawab, terdengar suara
tertawa bergelak dari luar rumah dan terdengarlah suara orang, “Sahabatku Yo Se
Pu, jangan kauborong semua babi-babi itu, berilah kesempatan kepadaku untuk
menikmati dagingnya juga!” Dan dari luar berkelebatlah tiga bayangan orang
memasuki rumah itu. Mereka ini bukan lain adalah Nelayan Cengeng yang
mengeluarkan kata-kata tadi, diikuti oleh Kwee An dan Ma Hoa!
Bukan main girangnya hati Yousuf melihat Kwee
An dan Ma Hoa hingga ia melompat maju dan memeluk mereka berdua seakan-akan
seorang ayah bertemu dengan dua orang anaknya yang telah disangka mati. Kedua
mata orang Turki ini basah dengan air mata. Ia pun lalu memegang tangan Nelayan
Cengeng dengan girang dan berkata kepada Sahimba,
“Dasar kau yang sedang berbintang gelap!
Dengan datangnya ketiga orang ini, keadaan kita menjadi berimbang jumlahnya!”
Kemudian, tanpa mempedulikan Sahimba dan kawan-kawannya, Yousuf lalu
memperkenalkan Ibrahim kepada Nelayan Cengeng, Ma Hoa, dan Kwee An hingga
mereka bertiga lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh
Ibrahim.
“Nama kalian telah kukenal lama sekali dan
setelah melihat orang-orangnya, aku makin merasa kagum saja!” kata kakek itu.
Sementara itu, Giok Yang Cu yang sudah maju ke
depan akan tetapi tidak mendapat pelayanan dari tuan rumah yang sebaliknya
sibuk bercakap-cakap dengan pendatang-pendatang baru itu, menjadi mendongkol
sekali.
“Yousuf apakah tidak ada orang yang berani
melawanku?” tegurnya marah.
Melihat laku Giok Yang Cu, Nelayan Cangeng
tertawa lagi bergelak-gelak dan berkata kepada Yousuf, “Saudara Yo, mengapa kau
tidak segera memberi sepotong tulang busuk kepada anjing itu agar ia tidak
melolong-lolong lagi?” kemudian ia tertawa lagi dengan geli hati hingga keluar
air mata bercucuran dari kedua matanya!
“Orang gila jangan kau menghinaku!” seru Giok
Yang Cu yang segera mencabut pedangnya. Akan tetapi sebelum ia maju menyerang
Nelayan Cengeng, Yousuf telah melompat di depannya dan berkata,
“Sebagai tuan rumah, biarlah aku turun tangan
lebih dulu!” Orang Turki ini lalu mencabut pedangnya pula dan kedua orang ini
segera bertempur hebat, disaksikan oleh semua orang yang berada di situ.
Ilmu Pedang Liong-san Kiam-hwat telah banyak
mengalami perubahan dan kemajuan hingga ilmu kepandaian Giok Yang Cu jauh lebih
lihai daripada dulu, sedangkan pertapa tinggi besar ini terkenal sebagai ahli
gwakang yang memiliki tenaga sebesar gajah, maka ketika ia mainkan pedangnya,
pedang itu mendatangkan angin dan mengeluarkan suara.
Akan tetapi Yousuf selain tinggi ilmu
kepandaiannya juga telah banyak sekali pengalamannya bertempur menghadapi
orang-orang pandai, maka ia dapat bergerak dengan tenang menghadapi
gempuran-gempuran dahsyat dari lawannya itu. Juga, semenjak dekat dengan
Nelayan Cengeng, Lin Lin dan yang lain-lain, Yousuf telah banyak memahamkan
rahasia-rahasia ilmu silat Tiongkok hingga pengertiannya menjadi luas dan
kepandaiannya banyak maju.
Giok Yang Cu tadinya merasa girang melihat
bahwa yang maju menghadapinya adalah orang Turki itu, karena betapapun juga, ia
anggap bahwa kepandaian orang itu tentu tak seberapa tinggi. Akan tetapi
setelah bertempur dua puluh jurus lebih ia menjadi terkejut dan diam-diam
mengeluh, karena dalam hal kecepatan dan tenaga, orang Turki itu tidak kalah
bahkan lawannya itu hebat sekali gerakan pedangnya dan tingkat ginkangnya lebih
tinggi dari kepandaiannya sendiri! Akan tetapi ia tidak mau memperlihatkan
kejerihannya dan maju mendesak makin hebat dengan serangan-serangan yang
ditujukan ke bagian-bagian yang berbahaya.
Yousuf tidak menjadi gugup sungguhpun desakan
lawannya yang menggunakan gerakan terlihai dari Liong-sam-hwat yang disebut
Naga Liong-san. Mengamuk itu hebat sekali. Dengan ketenangannya yang diperkuat
oteh kekuatan batinnya, Yousuf menghadapi serbuan sambil mainkan pedangnya
dengan cepat hingga tubuhnya tertutup oleh gulungan sinar pedangnya. Tiba-tiba
terdengar pekik kesakitan Giok Yang Cu dan Si Tinggi Besar itu roboh dengan
dada terluka oleh pedang Yousuf. Walaupun luka itu tidak membahayakan nyawanya,
akan tetapi cukup membuat ia pada waktu itu tidak berdaya lagi dan harus
mengundurkan diri sambil dibantu oleh adiknya yaitu Giok Keng Cu. Yousuf juga
melangkah mundur dan berkata kepada Sahimba,
“Seorang tukang pukulmu telah kalah, Sahimba!”
Terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Giok Im
Cu, saudara tertua dari Kang-lam Sam-lojin telah melompat maju dengan gesit
sekali dan di tangannya memegang sebatang bambu panjang. Giok Im Cu hendak
menebus kekalahan sutenya, maka tanpa bertanya lagi kepada Sahimba ia telah
melompat ke tengah lapangan bersilat.
“Biar pinto menerima pengajaran dari tuan
rumah!” katanya.
“Pek-hu, biarkan aku main-main dengan Tosu
ini,” kata Ma Hoa yang mendahului Ang I Niocu, karena ia merasa tertarik
melihat bahwa tosu itu pun bersenjata sebatang tongkat.
“Kau?” Yousuf memandang ragu-ragu, akan tetapi
Nelayan Cengeng segera berkata,
“Saudara Yo, keponakan Ma Hoa ini telah
mempelajari cara memukul anjing, biarkan dia maju!”
Yousuf selamanya tak pernah meragukan ucapan
Nelayan Cengeng apa lagi dalam hal ini tentu saja Nelayan Cengeng takkan membiarkan
muridnya yang terkasih itu menghadapi bencana, maka ia lalu menganggukkan
kepala sambil berkata kepada Ma Hoa,
“Baiklah, akan tetapi kau berhati-hatilah!”
Ma Hoa tersenyum dan segera melangkah maju
menghadapi Giok Im Cu yang merasa tidak enak sekali. Ia merasa sungkan dan
dipandang rendah. Masa ia seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw harus
menghadapi seorang gadis muda yang cantik dan bertangan kosong ini?
“Nona, dengan senjata apakah kau hendak
memberi pengajaran kepada pinto?”
Ma Hoa tersenyum dan mencabut keluar sepasang
bambu runcingnya yang berwarna kuning dan bentuknya pendek itu. “Dengan ini!”
jawabnya singkat.
Terbelalak mata Giok Yang Cu memandang senjata
yang aneh itu, akan tetapi berbareng pada saat itu juga ia merasa berdebar karena
teringat akan seorang sakti yang menjadi ahli dalam permainan sepasang bambu
runcing yang pendek. Segera ia menggerak-gerakkan senjatanya dan berkata,
“Mari, mari, majulah!”
Ma Hoa tidak berlaku sungkan lagi dan segera
menyerang dengan kedua bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa. Yousuf
yang belum pernah melihat Ma Hoa bermain bambu runcing itu merasa
terheran-heran hingga tak terasa lagi terjatuh ke dalam kursinya, duduk sambil
memandang bengong. Gerakan gadis ini benar-benar lihai dan indah dipandang.
Rambutnya yang terurai bergerak-gerak di sekeliling kepalanya sedangkan bambu
runcing itu ketika digerakkan untuk menyerang, demikian cepat gerakannya hingga
seolah-olah berubah menjadi puluhan batang!
Giok Im Cu tercengang melihat ini dan ia harus
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi serangan yang amat aneh ini.
Makin keras dugaannya ketika melihat permainan ini karena selama ia hidup, baru
sekali ia pernah menyaksikan permainan sepasang tongkat yang luar biasa, yaitu
yang dimainkan oleh Hok Peng Taisu, seorang pertapa sakti yang lihai.
Ia mengigit bibir dan sebagai seorang ahli
lweekang ia lalu mengerahkan lweekangnya hingga tiap sambaran tongkatnya
membawa tenaga besar yang ganas. Ia hendak mengandalkan tenaga lweekangnya
untuk mengalahkan gadis yang pandai bermain bambu runcing itu. Akan tetapi
kembali ia tercengang karena gadis itu dengan pandainya tak mau mengadu tenaga,
hanya mengandalkan kelincahannya untuk berkelebat di antara sambaran tongkat
lawannya, dan mengirim serangan-serangan berupa totokan dan tusukan ke arah
jalan darah lawan!
Ramai sekali mereka bertempur, dan kini Yousuf
tak dapat menguasai kegembiraannya lagi. Berkali-kali ia berseru dengan girang
sambil mengeluarkan pujian-pujian. Lima puluh jurus telah lewat dan Giok Im Cu
mulai terkurung oleh pukulan batang bambu runcing yang seakan-akan bergerak
berbareng mengurung dirinya itu. Ia mencoba untuk mengirim pukulan maut, akan
tetapi, tiba-tiba ia merasa sebelah tubuhnya bagian kanan menjadi lumpuh dan mati
hingga tak terasa lagi tongkatnya terlepas dari pegangan dan jatuh ke atas
lantai. Ternyata jalan darah Ta-sen-hiat telah tertotok oleh ujung bambu
runcing Ma Hoa. Gadis itu pun menahan sepasang senjatanya dan memandang sambil
mengeluarkan senyuman.
Wai Sauw Pu pendeta bersorban itu melompat dan
seketika ia mengeluarkan tangan menepuk pundak dan mengurut punggung Giok Im
Cu, tosu itu pulih kembali jalan darahnya. Giok Im Cu menjura kepada Ma Hoa dan
bertanya,
“Nona, apakah hubunganmu dengan Hok Peng
Taisu?”
“Ada perlu apakah kau menanyakan Suhuku?”
“Oh... jadi kau murid Hok Peng Taisu?
Pantas... pantas.” dengan kecewa sekali Giok Im Cu mengundurkan diri. Ia tadi
merasa penasaran dan malu sekali karena dikalahkan sedemikian macam oleh
seorang gadis muda yang tidak terkenal. Bagi seorang jagoan, jauh lebih baik
dikalahkan sampai tewas dalam pertandingan daripada dikalahkan secara demikian,
yaitu tertotok sampai tak berdaya yang hampir sama dengan penghinaan namanya.
Akan tetapi setelah ia mendengar bahwa gadis itu adalah murid Hok Peng Taisu,
rasa penasarannya sebagian besar lenyap. Ia telah menyaksikan kepandaian Hok
Peng Taisu dan maklum bahwa ilmu kepandaian mainkan bambu runcing itu adalah
semacam ilmu yang takkan dapat dilawannya, biarpun ia akan melatih diri sepuluh
tahun lagi!
Dengan girang sekali, juga disertai kebanggaan
hati, Yousuf lalu menghampiri Ma Hoa dan berkata, “Anak nakal, kelak kau harus
menceritakan padaku darimana kau mendapatkan ilmu silat yang luar biasa itu!”
Melihat betapa dua kali fihaknya mengalami
kekalahan, Sahimba gelisah sekali dan hendak minta kepada Siok Kwat Mo-li yang
dianggap paling lihai di antara semua pembantunya untuk menebus kekalahan. Akan
tetapi, Wai Sauw Pu yang merasa penasaran dan marah, telah mendahului dan kini
pendeta bersorban yang tinggi besar itu telah berdiri sambil bersedakap dan
menantang.
“Dia yang mempunyai kepandaian boleh maju!”
Pendeta dari Sin-kiang ini selain bertubuh
tinggi besar, juga sepasang matanya tajam berpengaruh sekali. Ia memang telah
mempelajari banyak ilmu kepandaian yang tinggi, diantaranya ia mempelajari pula
hoat-sut (ilmu sihir) yang datang dari barat. Pernah ia menghadapi Ang I Niocu
dan tahu bahwa dalam hal ilmu silat, belum tentu ia akan dapat menangkan
rombongan lawan yang biarpun masih muda-muda akan tetapi memiliki ilmu silat
tinggi, maka kini ia mengambil keputusan untuk melawannya dengan ilmu silat
yang dipengaruhi sihir! Oleh karena itu, ia memasang kuda-kuda dengan berpangku
tangan seperti orang hendak bertapa berdiri!
Ketika Ang I Niocu hendak maju, tiba-tiba
Ibrahim berseru, “Ang I Niocu, tahan dulu, yang besar ini adalah bagianku!”
Dengan langkah yang sembarangan bagaikan orang
lelah atau malas, Ibrahim menghampiri Wai Sauw Pu dan memandangnya dengan muka
memperlihatkan kegelian hatinya. Si Pendeta Tinggi Besar itu tertawa ketika ia
berkata,
“Aku tadi mendengar bahwa kau diperkenalkan
sebagai guru dari Yousuf, apakah kau orang tua yang sudah tinggal menanti saat
terakhir ini juga hendak meniru kedunguan muridmu dan mencampuri urusan orang
lain?”
“Wai Sauw Pu, sebagai seorang yang mempelajari
kebatinan, agaknya kau lupa akan dua perkara. Pertama, bahwa jalan yang
ditunjuk Tuhan bagi manusia adalah jalan kebenaran yang berdasarkan amal
kebaikan dan bahwa mereka yang berjalan di atas ini saja akan mendapat berkah
abadi. Ke dua, bahwa akhir kehidupan tidak tergantung daripada usia tua,
bilamana saja Tuhan menghendaki, setiap manusia, tua maupun muda, akan berakhir
hidupnya! Akan tetapi kau telah melanggar syarat pertama dan tidak berjalan di
atas jalan kebenaran, bahkan membiarkan hatimu ditunggangi oleh nafsu keduniaan
dan menjadi silau oleh bersinarnya emas yang sebetulnya tiada bedanya dengan
tanah lempung biasa! Pula, kau telah mengingkari kekuasaan Tuhan yang berkuasa
atas nyawa setiap manusia dengan mengatakan bahwa saat terakhir bagiku sudah
dekat, karena menurut pandanganku yang bodoh kalau kau tidak lekas-lekas
mengubah dan menginsyafi kesesatanmu, agaknya kaulah yang akan mendahului aku
masuk ke dalam neraka!”
Tadinya Wai Sauw Pu sengaja mengucapkan
omongan menghina untuk memancing kemarahan dalam hati kakek tua itu, akan
tetapi tidak tahunya sekarang dia sendiri yang menjadi marah mendengar petuah
ini! Ia hendak membikin lawan yang akan dihadapinya marah karena ia maklum
bahwa kemarahan akan melemahkan batin orang agar mudah dipengaruhi oleh ilmu
sihirnya. Ia tidak tahu bahwa ia berhadapan dengan Ibrahim, tokoh tua yang
dihormati orang di I Turki oleh karena selain pandai ilmu silat dan pengobatan,
kakek ini terkenal sebagai seorang ahli kebatinan berilmu tinggi!
“Kalau begitu, hendak kita lihat bersama saja,
siapa yang akan mampus terlebih dahulu!” teriak Wai Sauw Pu sambil mengeluarkan
senjatanya yang luar biasa, yaitu seikat tasbeh dari gading. Ang I Niocu, Ma
Hoa dan Kwee An pernah merasai kelihaian Wai Sauw Pu ini maka mereka memandang
dengan penuh kekuatiran. Dapatkah kakek rambut putih yang kelihatannya lemah
itu menghadapi pendeta tinggi besar itu? Hanya Yousuf seorang yang masih tenang
karena ia percaya penuh akan kelihaian gurunya.
Gerakan tasbeh gading di tangan Wai Sauw Pu
kali ini berbeda dengan gerakan biasanya, karena kini ia bersilat dengan ilmu
sihir sehingga dari sambaran gadingnya itu seakan-akan keluar hawa yang membuat
hati menjadi gentar dan berpengaruh melemahkan semangat lawan. Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar suara halus dari Ibrahim dan kakek rambut putih ini pun
lalu menarik keluar seikat tasbeh kecil yang terbuat daripada batu-batu kemala
putih! Tasbeh ini kecil saja dan digerakkan dengan lambat dan perlahan, akan
tetapi aneh, tiap kali tasbeh gading dari Wai Sauw Pu menyambar dan bertemu
dengan tasbeh kecil itu, senjata pendeta bersorban itu terpukul dan membalik
menyambar ke arah muka atau tubuh pemegangnya sendiri! Wai Sauw Pu terkejut
sekali karena ia baru maklum bahwa kakek itu ternyata memiliki ilmu batin yang
kuat sehingga ilmu sihir yang ia kerahkan dalam serangan tasbehnya ternyata
telah dikembalikan dan membahayakan dirinya sendiri! Ia cepat menghentikan ilmu
sihirnya dan kini menyerang dengan menggunakan seluruh tenaga dan kepandaian
silatnya!
Ia bertindak benar. Kalau saja ia melanjutkan
serangannya mengandalkan ilmu sihir, dia pasti akan menderita celaka karena
dalam hal ilmu sihir, gurunya sendiri belum tentu akan dapat mengatasi kekuatan
Ibrahim! Akan tetapi dalam hal ilmu silat, ternyata bahwa keadaan mereka
seimbang. Ibrahim yang sudah tua itupun harus mengerahkan kepandaiannya untuk
menghadapi lawan yang benar-benar tangguh ini! Kalau saja dia mau, Ibrahim
dengan mudah dapat menggunakan kekuatan batinnya untuk merobohkan Wai Sauw Pu
tanpa mengeluarkan tenaga tubuh, akan tetapi ia tidak mau melakukan hal ini.
Kalau lawannya mempergunakan ilmu hitam barulah ia akan menjaga diri dan
mengembalikan segala serangan itu, akan tetapi oleh karena Wai Sauw Pu kini
hanya mengandalkan kepandaian silatnya, Ibrahim yang tidak mau bermain curang
itu pun lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk melawan.
Biarpun ilmu silat mereka seimbang, akan
tetapi Ibrahim kalah tenaga dan kalah ganas, biarpun ia menang dalam hal
ketenangan dan pengalaman. Oleh karena itu, kedua orang itu bertempur dengan
ramai sekali, sukar diduga siapa yang akan mendapat kemenangan terakhir. Ang I
Niocu, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng menjadi gelisah juga dan merasa
kasihan melihat betapa Ibrahim yang sudah tua sekali itu terpaksa bertempur
mati-matian menghadapi Wai Sauw Pu yang mempunyai gerakan ganas dan kuat.
Akhirnya Nelayan Cengeng tak dapat menahan hatinya lagi dan dengan keras ia berkata,
“Ha-ha-ha! Alangkah lucunya! Seorang tinggi besar dan kuat seperti itu tidak
berdaya menghadapi seorang kakek tua renta. Sedangkan tasbehnya saja gede-gede,
segede obrolan dan kesombongannya. Ha-ha-ha. Lihat, lihat, aku berani bertaruh
apa saja, dalam sepuluh jurus lagi ia tentu akan roboh bertekuk lutut!”
Bukan main marahnya Wai gauw Pu mendengar
ejekan ini, karena ia pun tadi telah merasa penasaran dan panas perut karena
kakek rambut putih itu ternyata sukar sekali dijatuhkan, kini ditambah dengan sindiran
Nelayan Cengeng, ia tidak dapat menahan marahnya lagi dan sekali ia berseru,
tangan kirinya telah mengayun senjata rahasianya yang lihai yaitu golok-golok
kecil yang disebut Hui-to (Golok Terbang) dan yang jumlahnya tiga buah itu
meluncur cepat ke arah Ibrahim. Hui-to ini selain harus menggunakan tenaga
lweekang untuk menyambitkannya, juga disertai ilmu sihir sehingga golok itu
seakan-akan hidup dan menyambar bagaikan digerakkan oleh tangan-tangan yang
tidak kelihatan.
Ibrahim tertawa bergelak dan berkata, “Wai
Sauw Pu, mengapa kau menyerang dirimu sendiri dengan hui-to?”
Dan aneh, sehabis kakek itu mengeluarkan
ucapan ini disertai gerakan tangan kirinya, tiga batang golok yang meluncur ke
arahnya itu tiba-tiba membelok dan membuat gerakan kembali serta menyerang ke
arah Wai Sauw Pu sendiri.
Bukan main terkejutnya pendeta bersorban itu
ketika melihat betapa tiga batang hui-tonya menyerang dia dan tak dapat
dikendalikan oleh kekuatan sihirnya lagi, maka cepat-cepat ia mengebut dengan
tasbehnya ke arah tiga batang golok itu sambil membentak.
“Runtuh!!”
Benar saja, tiga batang golok itu runtuh ke
bawah, akan tetapi yang sebatang masih menghantam kakinya sehingga terlukalah
kakinya oleh ujung golok.
Pada saat itu, di luar terdengar sorak sorai
hebat dan Sahimba dengan senyum menyeringai lalu berseru,
“Yousuf, tibalah saatnya kalian binasa di
ujung senjata!” Sambil berkata demikian, Sahimba lalu mencabut pedang dan
menyerang Yousuf, diikuti oleh Siok Kwat Mo-li yang mencabut sabuk kuning emas dan
mainkan sabuk itu dengan hebat. Lok Kun Tojin lalu mengeluarkan senjatanya yang
lihai, yaitu sepasang roda yang diikat dengan tali. Juga ketiga orang tosu
Kang-lam Sam-lojin lalu menarik keluar senjata masing-masing dan maju menyerbu
kepada Yousuf dan kawan-kawannya.
“Manusia-manusia curang!” seru Nelayan Cengeng
sambil memutar-mutar dayungnya yang hebat bagaikan seekor naga sungai mengamuk.
Ang I Niocu juga lalu mencabut pedang Cian-hong-kiam, Kwee An mencabut
pedangnya Oei-hong-kiam yang bercahaya kuning, sedangkan Ma Hoa lalu
menggerak-gerakkan sepasang bambu runcingnya!
Pertempuran dalam ruangan itu makin menghebat,
dan kini mereka bertempur bukan untuk mengadu kepandaian, akan tetapi mengadu
jiwa! Ternyata bahwa sorakan tadi datang dari kawan-kawan Sahimba yang memang
telah direncanakan untuk maju menyerbu dan jumlah mereka amat besar sehingga
orang-orang kampung pengikut Pangeran Tua yang dikepalai oleh Yousuf terdesak.
Para penyerbu itu telah tiba di depan pintu Yousuf dan sebentar lagi mereka menyerbu
ke dalam, membantu Sahimba dan kawan-kawannya!
Siok Kwat Mo-li dilawan oleh Ang I Niocu, Lok
Kun Tojin dilawan oleh Nelayan Cengeng sedangkan Kang-lam Sam-lojin bertempur
melawan Ma Hoa dan Kwee An. Kepandaian mereka berimbang dan pertempuran pasti
akan berjalan seru dan lama apabila fihak Sahimba tidak menggunakan kecurangan.
Terdengar seruan Siok Kwat Mo-li dan iblis wanita ini lalu menyebar
jarum-jarumnya yang berbahaya, sedangkan Wai Sauw Pu kembali mengeluarkan
hui-to-hui-to yang tak kurang berbahayanya pula.
Tak lama kemudian, selagi Yousuf dan
kawan-kawannya terdesak karena fihak lawan menyebar senjata-senjata rahasia
yang lihai itu, dari luar masuklah para penyerbu yang telah berhasil memecahkan
pertahanan para anak buah Yousuf. Pengikut-pengikut Pangeran Muda lebih ganas
dan lebih banyak jumlahnya, sehingga banyak sekali anggota pengikut Pangeran
Tua kena dilukai atau dibinasakan.
Melihat itu, Ibrahim segera berseru nyaring
bagaikan seorang berdoa,
“Ampunkan hamba, Tuhan! Bukan maksud hamba
hendak mengotorkan tangan membunuh, akan tetapi demi keselamatan semua kawan
ini!” ia lalu mengerahkan kesaktiannya dan tiba-tiba ia mementang kedua
lengannya ke depan dengan mata memandang penuh kekuatan batin.
“Sahimba... Dan enam orang kawanmu...
dengarlah... aku perintahkan kalian berlutut... berlutut... berlutut...!”
Hal yang aneh terjadi. Sahimba dan
kawan-kawannya tiba-tiba merasa kepala mereka pening dan tak dapat menguasai
diri sendiri lagi. Akhirnya, seorang demi seorang menjatuhkan diri berlutut dan
melempar senjata! Hanya Wai Sauw Pu yang juga memiliki ilmu sihir itu masih
kuat mempertahankan diri.
“Ha-ha-ha... tua bangka... kau harus
mampus...” Dan secepat kilat ia mengayun enam batang hui-to ke arah Ibrahim
yang masih berdiri diam dengan tangan terpentang bagaikan patung. Enam batang
hui-to itu menancap dengan jitu ke sasarannya dan tubuh Ibrahim
terhuyung-huyung lalu roboh. Wai Sauw Pu tertawa bergelak-gelak, akan tetapi
pada saat itu sebatang dayung di tangan Nelayan Cengeng menghantamnya dan
biarpun ia masih mencoba mengelak, akan tetapi dayung itu masih menghantam
dadanya sehingga beberapa tulang iganya patah-patah dan ia roboh di dekat mayat
Ibrahim dalam keadaan tidak bernyawa pula!
Sementara itu, karena tewasnya Ibrahim maka
pengaruh sihirnya pun lenyap dan Sahimba beserta kawan-kawannya menjadi sadar
kembali. Akan tetapi, sebelum mereka sempat mengambil kembali senjata mereka,
Yousuf yang marah sekali telah maju menyerang Sahimba hingga tembuslah punggung
Sahimba oleh pedang Yousuf. Juga Ang I Niocu dan kawan-kawannya lalu menyerang
lawan-lawannya yang kini melakukan perlawanan dengan tangan kosong. Akan
tetapi, para penyerbu yang terdiri dari anak buah Sahimba, telah masuk dan
mengeroyok, sehingga Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga Kang-lam
Sam-lojin telah mendapat kesempatan untuk mengambil senjata mereka kembali.
Pertempuran hebat berlangsung terus dan kini
Yousuf dan kawan-kawannya mengamuk seperti harimau-harimau berebut daging.
Terutama sekali Nelayan Cengeng yang sambil tertawa bergelak dan mata
mengalirkan air mata, memutar-mutar dayungnya dengan dahsyat sehingga tidak
saja para penyerbu menjadi gentar, akan tetapi juga Siok Kwat Moli dan
kawan-kawannya menjadi jerih juga.
Dalam perkelahian itu, Siok Kwat Mo-li
mendapatkan luka oleh tusukan pedang Ang I Niocu di pundaknya, sedangkan sebuah
roda dari Lok Kun Tojin telah terampas oleh bambu runcing Ma Hoa. Oleh karena
ini, mereka makin cemas dan lenyaplah nafsu perlawanan mereka, apalagi karena
kini Sahimba yang mereka bantu telah tewas dan anak buahnya mulai melarikan
diri pula.
Dengan teriakan keras, Siok Kwat Mo-li lalu
mengajak kawan-kawannya untuk kabur. Yousuf tidak mengejar mereka, bahkan
mencegah kawan-kawannya yang hendak mengejar,
“Biarlah, sudah terlalu banyak orang binasa
dalam perang saudara yang terkutuk ini!”
Yousuf lalu mengumpulkan anak buahnya yang
masih ada dan mereka lalu merawat semua orang baik kawan maupun lawan yang
terluka dalam pertempuran itu, serta mengurus yang telah tewas.
Ang I Niocu, Nelayan Cengeng, Kwee An dan Ma
Hoa tidak mau mengganggu Yousuf yang sedang berduka dan sedang sibuk mengurus
semua itu, maka mereka lalu beristirahat dalam sebuah rumah di dalam kampung
itu yang disediakan untuk mereka.
Setelah mereka berempat ramai membicarakan
peristiwa yang baru terjadi dan mengambil keputusan untuk membantu Yousuf
selama para pengacau dari Turki itu masih mengganggunya, tiba-tiba Ma Hoa lalu
berkata kepada Kwee An.
“An-ko, mengapa kita lupa untuk memberi
selamat kepada Enci Im Giok?” gadis ini bicara sambil tersenyum gembira
sehingga Ang I Niocu menjadi terheran. Apalagi ketika ia melihat Kwee An
memandangnya dengan tersenyum pula.
Selagi ia hendak bertanya, tiba-tiba Nelayan
Cengeng tertawa girang dan berkata, “Tadi kita tidak ada kesempatan. Sekarang
akulah orang pertama yang harus memberi selamat kepadanya!” Kemudian ia
menghadapi Ang I Niocu lalu mengangkat kedua lengan memberi selamat sambil
berkata keras-keras,
“Ang I Niocu, kionghi... kionghi… (selamat,
selamat)!”
Ucapan ini diturut oleh Kwee An dan Ma Hoa
yang juga berdiri memberi selamat.
Ang I Niocu memandang berganti-ganti kepada
mereka bertiga lalu katanya gagap,
“Nanti dulu...! Memberi selamat sih mudah,
akan tetapi terangkanlah dulu untuk apakah kalian memberi selamat...?”
“Ha, masih berpura-pura lagi! Kura-kura dalam
perahu, pura-pura tidak tahu!” Ma Hoa menggodanya sambil memegang lengan Ang I
Niocu. “Enci Im Giok, kau memang tidak ingat kepada kawan. Mengapa urusan itu
kau rahasiakan saja?”
“Adik Hoa, kalau kau tidak mau lekas
menceritakan padaku apa maksud kalian ini, tentu akan kucubit bibirmu!” kata
Ang I Niocu dengan gemas sambil memandang kepada Ma Hoa dengan mata
dipelototkan.
“Ha-ha-ha!” Nelayan Cengeng tertawa bergelak.
“Urusan pertunangan dan jodoh adalah hal biasa saja, mengapa harus dirahasiakan
terhadap kawan-kawan?”
“Pertunangan...? Jodoh... ?” Ang I Niocu
memandang heran.
“Enci Im Giok, janganlah kau berpura-pura
lagi. Kami tanpa disengaja telah mengetahui rahasiamu!” kata Ma Hoa, sedangkan
Kwee An hanya tersenyum saja karena ia merasa malu dan tidak berani menggoda
Ang I Niocu.
“Nanti dulu, Adik Hoa, aku masih belum
mengerti. Urusan pertunangan yang manakah kaumaksudkan?”
“Aduh, pandainya bermain sandiwara!” Ma Hoa
menggunakan telunjuknya yang runcing menuding ke arah muka Ang I Niocu. “Siapa
lagi kalau bukan urusan pertunanganmu? Jangan kau menyangkal bahwa kau telah
bertunangan, Enci Im Giok! Buktinya nampak di depan mata!”
“Apa buktinya?”
Ma Hoa menuding ke arah pedang yang tergantung
di pinggang Dara Baju Merah itu. “Bukankah pedang yang kau pakai itu adalah
Cian-hong-kiam pemberian tunanganmu?”
Mulai berdebar dada Ang I Niocu.
“Darimana kau dapat mengetahui hal ini?”
tanyanya.
“Dari siapa lagi kalau bukan dari
Lie-taihiap!”
Ang I Niocu bangkit berdiri dari tempat
duduknya. “Di... di mana dia...?”
Ma Hoa bertepuk tangan. “Nah, nah... sekarang
kau mencari-carinya. Kau mencari dia... siapakah, Enci...?”
Dengan gemas Ang I Niocu mengulurkan tangan
hendak mencubit pipi Ma Hoa. “Jangan main-main, Adik Hoa. Benar-benarkah kau
bertemu dengan dia?”
“Eh... dia siapakah...? Jelaskan namanya,
ah...” Ma Hoa menggoda lagi, akan tetapi Kwee An merasa kasihan kepada Ang I
Niocu maka ia berkata,
“Kami memang telah bertemu dengan taihiap Lie
Kong Sian.”
“Di mana? Bagaimana kalian bisa bertemu dengan
dia?” tanya Ang I Niocu dengan heran.
“Sabar, Enci Im Giok. Sabar dan tenang.
Kaududuklah baik-baik dan dengarlah ceritaku bagaimana kami bertemu dengan...
calon suamimu yang gagah perkasa itu!”
Dengan muka merah karena jengah dan malu, Ang
I Niocu yang “mati kutunya” terhadap godaan Ma Hoa itu, lalu duduk dan
mendengarkan penuturan Ma Hoa.
Setelah berpisah dari Ang I Niocu di dalam
hutan, Ma Hoa, Kwee An, dan Nelayan Cengeng lalu melanjutkan perjalanan mereka
menuju ke barat. Tujuan mereka ialah Propinsi Kan-su dan ibu kotanya, yaitu
Lan-couw. Mereka bertiga kini lebih bergembira melanjutkan perjalanan, oleh
karena kenyataan bahwa Ang I Niocu masih hidup benar-benar membuat mereka
merasa gembira sekali, lebih-lebih Ma Hoa yang merasa suka sekali kepada Dara
Baju Merah yang lihai itu.
Gadis ini merasa betapa beruntungnya hidup
ini. Ia dan kekasihnya selamat, bahkan mendapat guru baru yang lihai, dan kini
mendapat kenyataan bahwa Ang I Niocu juga selamat pula. Dan ia merasa yakin
bahwa Lin Lin dan Yousuf tentu akan terhindar dari bahaya pula. Alangkah akan
senangnya kalau ia dapat bertemu dengan Lin Lin lagi.
Kegembiraannya membuat ia merasa seakan-akan
seekor burung yang terbang bebas di udara, sehingga seringkali ia mendahului
Kwee An dan Nelayan Cengeng, berlari-lari di depan. Kwee An dan Nelayan Cengeng
hanya tertawa saja melihat kegembiraan gadis itu. Mereka berdua dalam hati dan
cara masing-masing mengagumi Ma Hoa dan memandang rambut gadis yang terurai dan
berkibar-kibar di belakang leher itu. Kwee An merasa terharu melihat kesetiaan
Ma Hoa yang untuk menyenangkan hatinya, benar saja menepati janjinya dan selalu
membiarkan rambutnya terurai indah.
Ketika Ma Hoa sedang berlari-lari seorang diri
di depan dan Kwee An Nelayan Cengeng berjalan di belakang seenaknya, tiba-tiba
gadis itu mendengar teguran suara halus,
“Aduh, alangkah indah dan jelitanya bidadari
berambut panjang.”
Ketika ia memandang, ia melihat seorang pemuda
yang tampan dan yang berpakaian indah mewah sedang duduk di atas cabang pohon
di atasnya sambil memandang dengan kagum dan tersenyum kepadanya.
“Laki-laki ceriwis! Tutup mulutmu yang
lancang!” kata Ma Hoa dan ia tidak mau terganggu kegembiraannya, karena di
dalam hatinya ia merasa bangga dan girang mendapat pujian itu. Wanita manakah
yang tidak suka menerima pujian tentang kecantikannya, apa lagi kalau yang
memuji itu seorang pemuda tampan? Ma Hoa melanjutkan perjalanannya, akan tetapi
ia menahan tindakan kakinya karena pemuda, itu berkata lagi sambil tertawa.
“Bidadari manis! Hatimu gembira menerima
pujianku, mengapa kau tidak membentangkan sayapmu dan terbang melayang ke sini,
duduk di atas cabang yang enak ini di sampingku, menikmati angin yang bersilir
di pohon?”
Kini marahlah Ma Hoa. “Bangsat bermulut
lancang! Apakah kau sudah ingin mampus?”
“Eh, eh, makin manis saja kalau marah-marah.
Jarang aku melihat seorang gadis semanis kau! Sayang sekali rambut itu terlalu
liar dan seharusnya diikat dengan pita merah ini!” Sambil berkata demikian,
pemuda itu lalu mengeluarkan sehelai pita merah dan sekali ia mengayun
tangannya, pita merah itu meluncur ke bawah dan menyambar kepala Ma Hoa! Ma Hoa
mengelak dan miringkan kepalanya, akan tetapi agaknya pemuda itu memang telah
memperhitungkan hal ini, maka ia menyambit ke arah belakang kepala, karena
ketika Ma Hoa miringkan kepala, rambutnya terbawa angin gerakan ini dan terurai
di belakangnya sehingga dengan tepat pita merah itu mengenai rambutnya dan
secara aneh sekali pita merah itu betul-betul membelit rambutnya, seakan-akan
dipasang oleh tangan seorang ahli!
Ma Hoa marah sekali. Ia merenggutkan pita
merah itu, membantingnya ke atas tanah dan menginjak-injaknya!
“Bangsat liar! Kau betul-betul sudah bosan
hidup!” teriaknya sambil meloloskan sepasang bambu runcingnya dan dengan
gerakan kilat ia melompat ke atas sambil menyerang!
Pemuda itu terkejut juga karena sama sekali
tak pernah disangkanya bahwa gadis yang digodanya itu pandai ilmu silat yang
luar biasa ini, maka ia lalu menggerakkan tubuh dan mengelak sambil melayang
turun, lalu berdiri dan bertolak pinggang.
“Ah, ah, tidak tahunya bidadari rambut panjang
ini lihai juga! Mari, kau majulah untuk main-main denganku sebentar!”
Ma Hoa tidak dapat mengeluarkan kata-kata lagi
saking marahnya. Ia lalu menyerang dengan gesit dan sengit hingga pemuda tampan
itu terpaksa harus berlaku waspada. Akan tetapi, begitu ia bergerak, Ma Hoa
merasa kaget. Sambaran angin yang keluar dari kebutan tangan pemuda itu telah
berhasil membuat serangan bambu runcingnya jadi miring! Alangkah hebatnya
tenaga ini. Maka ia lalu menyerang lagi bertubi-tubi dengan ganas dan
penasaran.
Pada saat itu, datanglah Kwee An dan Nelayan
Cengeng. Melihat betapa Ma Hoa sedang menggunakan sepasang bambu runcing
menyerang seorang laki-laki yang hebat sekali gerakannya, mereka lalu berlari
cepat menghampiri.
“Tahan...!” kata Nelayan Cengeng hingga Ma Hoa
meloncat mundur dengan taat.
Pemuda tampan itu memandang kepada Nelayan
Cengeng dan Kwee An, lalu mengernyitkan hidungnya dengan pandang menghina dan
bertanya.
“Tuan besarmu sedang bermain-main dengan gadis
cantik, mengapa kalian ini budak-budak hina berani mengganggu?”
Merahlah wajah Kwee An mendengar ini, maka ia
segera mencabut pedang dan membentak, “Darimana datangnya bajingan yang kurang
ajar?”
Sementara itu, Nelayan Cengeng yang menerima
hinaan ini balas mengejek,
“Eh, eh! Ma Hoa, Kwee An, kalian lihatlah
baik-baik. Manusia ini bukan seorang laki-laki aseli, juga bukan seorang
wanita.”
Kwee An tidak tahu bahwa kakek ini sedang
berolok-olok, maka dengan heran ia bertanya, “Kalau bukan laki-laki juga bukan
wanita, habis apa?”
“Banci…! Ia seorang banci...! Ha-ha-ha!” dan
Nelayan Cengeng tertawa bergelak-gelak sehingga bercucuranlah air matanya. Juga
Ma Hoa dan Kwee An ikut pula tertawa.
Akan tetapi, laki-laki tampan itu dengan masih
bertolak pinggang, lalu bertanya, “Kakek gila, dengan alasan apakah kau
menyebutku banci?”
“Tidak ada laki-laki yang membedaki mukanya
dan tidak ada perempuan yang berlagak seperti ini, akan tetapi kau tidak hanya
membedaki mukamu, bahkan kulihat memakai yancu dan pemerah bibir! Ha-ha-ha!”
Memang laki-laki itu pesolek benar sehingga
mukanya sampai dibedaki dan diberi merah-merah. Akan tetapi ketika mendengar
kata-kata ini ia menjadi marah dan berkata,
“Kakek gila, kau belum tahu siapa adanya orang
yang kauhina ini, maka kau berani membuka mulut secara sembrono. Ketahuilah,
aku Song Kun yang berjuluk Kwie-eng-cu Si Bayangan Iblis, tidak biasa memberi
ampun kepada orang yang telah menghinaku!”
Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba
pemuda itu lalu menggerakkan tangannya dan memukul kepada Nelayan Cengeng.
Melihat pukulan ini, terkejutlah Nelayan Cengeng karena pukulan itu luar biasa
sekali dan dari tangan yang melakukan pukulan mengepul uap putih! Inilah
Pek-in-hoatsut yang pernah ia mendengarnya dan yang dimiliki oleh Cin Hai! Ia
cepat melompat jauh untuk menghindarkan diri dari serangan itu dan karena
maklum bahwa pemuda ini tangguh sekali, sambil melompat ia lalu mengayun
dayungnya, memukul dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, pemuda itu memang pantas
diberi gelar Si Bayangan Iblis, oleh karena gerakan tubuhnya luar biasa
cepatnya dan hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata!
Melihat kelihaian pemuda ini, Kwee An tidak
mau tinggal diam dan lalu menyerang dengan pedangnya, juga Ma Hoa maju pula
mengerjakan sepasang bambu runcingnya.
Pemuda itu memang benar Song Kun adanya, murid
dari Han Le Sianjin yang lihai. Inilah sute dari Lie Kong Sian yang menjalani
kesesatan dan yang telah bertemu dan bertempur dengan Cin Hai! Tadinya Song Kun
memandang rendah lawan-lawannya, akan tetapi setelah menyaksikan gerakan pedang
Kwee An dan gerakan dayung di tangan Nelayan Cengeng, diam-diam ia terperanjat
dan mengeluh bahwa ia ternyata telah “salah tangan” dan mencari perkara dengan
orang-orang yang berilmu tinggi!
Akan tetapi, ilmu silatnya memang hebat dan
setelah beberapa lama ia menghadapi mereka dengan tangan kosong, akhirnya ia
mencabut pedang Ang-ho-sian-kiam yang mengeluarkan cahaya merah berapi-api dan
berhawa panas itu!
Nelayan Cengeng terkejut sekali melihat pedang
itu dan ia berseru kepada Ma Hoa dan Kwee An, “Hati-hati terhadap pedangnya!”
Song Kun tertawa mengejek dan ia lalu memutar-mutar pedangnya dengan gerakan
luar biasa cepat dan hebatnya sehingga sibuklah ketiga orang itu mengeroyok
dari kanan kiri! Biarpun tidak berani mengadu pedangnya, namun Kwee An yang
mempergunakan ilmu silat yang diwarisinya dari Hek Mo-ko, cukup hebat dan
berbahaya. Sementara itu, Ma Hoa juga merupakan pengeroyok yang berbahaya oleh
karena gadis ini selain memiliki Ilmu Silat Bambu Runcing yang aneh, juga tidak
takut mengadu senjata, oleh karena bambu lemas kecil itu tidak takut terkena
pedang tajam. Di samping dua orang anak muda yang tangguh ini, masih ada lagi
Nelayan Cengeng yang memiliki ilmu silat tinggi dan tenaganya luar biasa
sehingga Song Kun sendiri merasa ragu-ragu untuk mengadu pedangnya dengan
dayung yang besar dan berat itu, takut kalau-kalau pedangnya akan menjadi
rusak! Oleh karena ini, maka pertempuran berjalan seru dan ramai, akan tetapi
mereka lebih banyak bertempur dari jarak jauh dan berlaku hati-hati hingga
dapat diduga bahwa pertempuran itu akan berjalan lama sekali.
Song Kun memaklumi hal ini dan karena itu ia
lalu mendesak maju. Ketika dayung Nelayan Cengeng menyambar, ia memapaki dengan
pedangnya yang disabetkan dan putuslah ujung dayung itu! Nelayan Cengeng
terkejut dan hampir saja ia menjadi korban sabetan pedang pada pinggangnya
kalau tidak Ma Hoa yang menjadi nekat telah melakukan serangan kilat dari
belakang, menotok ke arah kedua iga lawan itu! Song Kun menarik kembali
pedangnya dan kalau ia mau, ia akan dapat menjatuhkan Ma Hoa dengan serangan
pedang, akan tetapi Song Kun memang mempunyai kelemahan terhadap wanita cantik.
Ia tidak tega melukai Ma Hoa, maka ia hanya menahan kedua bambu runcing itu
dengan pedangnya di tangan kanan, sedangkan tangan kirinya ia ulur ke depan
untuk mengusap pipi Ma Hoa! Gerakannya ini adalah pecahan dari limu Silat
Kong-ciak-sin-na, dan kecepatannya luar biasa hingga colekan itu berhasil! Ma
Hoa yang merasa betapa pipinya diusap oleh tangan Song Kun, menjerit marah dan
menyerang lebih seru!
Namun dengan ilmu pedangnya yang luar biasa,
Song Kun dapat menjaga diri dan kini bahkan melancarkan serangan-serangan
mematikan ke arah Nelayan Cengeng dan Kwee An! Ia mengambil keputusan untuk
membunuh dua orang laki-laki itu untuk dapat melarikan gadis muda berambut
panjang ini!
Pada saat itu, terdengarlah bentakan keras.
“Song Kun...! Janganlah kau terjerumus ke
jurang makin dalam saja!”
Mendengar suara ini, Song Kun terkejut sekali
dan melompat jauh ke belakang.
“Suheng...!” katanya.
Nelayan Cengeng, Kwee An, dan Ma Hoa
memandang. Ternyata yang datang adalah seorang laki-laki yang berusia tiga
puluh lebih, bermuka bundar dan gagah, bersikap tenang dan kumis kecil menghias
di atas bibirnya. Tubuhnya tegap dan bidang, sedangkan sepasang matanya
bercahaya tajam dan berpengaruh. “Song Kun, setelah berpisah bertahun-tahun,
setiap hari aku mengharapkan dan berdoa supaya kau dapat insyaf akan
kesesatanmu. Tidak kusangka bahwa kau makin dalam terjerumus ke dalam jurang
kejahatan!” kata orang itu yang bukan lain Lie Kong Sian adanya, dengan suara
mengandung penuh penyesalan.
Song Kun mengeluarkan suara ketawa mengandung
ejekan. “Lie Kong Sian! Tadi aku menyebut Suheng kepadamu karena kukira kau
hendak berbaik, tidak tahunya datang-datang kau memaki orang! Apakah kau masih
merasa penasaran karena dulu kalah olehku. Jangan kaukira aku takut karena
kedatanganmu ini, dan segala perbuatanku adalah aku sendiri yang melakukan dan
aku sendiri pula yang menanggungjawabnya! Kau peduli apakah?”
“Dasar batinmu yang rendah! Kalau begitu,
terpaksa sekali lagi aku harus memenuhi perintah mendiang Suhu dan menghajarmu
dengan kekerasan.”
“Ha-ha, majulah! Hendak kulihat sampai di mana
kemajuanmu!” Ucapan ini bagi seorang sute terhadap suhengnya memang amat kurang
ajar, maka Lie Kong Sian lalu menerjang sambil mencabut pedangnya. Song Kun
mengelak dan balas menyerang dan sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat.
Tingkat pelajaran mereka memang berimbang, dan dulu ketika mereka bertempur,
Lie Kong Sian dapat dikalahkan oleh sutenya yang memang memiliki bakat yang luar
biasa sekali. Kini, sungguhpun Lie Kong Sian telah melatih diri dengan keras
dan ilmu kepandaiannya telah meningkat tinggi, namun di lain fihak Song Kun
telah memiliki pedang Ang-ho-sian-kiam yang luar biasa sehingga Lie Kong Sian
tidak berani mengadu pedangnya karena takut kalau-kalau pedang pemberian Ang I
Niocu itu akan putus. Oleh karena ini, untuk kedua kalinya, ia terdesak hebat
oleh serangan adik seperguruannya yang menyerang sambil tertawa mengejek,
sungguhpun diam-diam ia mengakui kelihaian suhengnya dan maklum bahwa biarpun
suhengnya tak berani beradu pedang, namun agaknya takkan mudah baginya untuk
menjatuhkan suheng itu.
Sementara itu, Nelayan Cengeng, Kwee An, dan
Ma Hoa menyaksikan pertandingan itu dengan penuh kekaguman. Tadi mereka telah
merasa terkejut, heran dan kagum sekali menyaksikan kepandaian Song Kun yang
dapat mendesak mereka, dan kini mereka melihat seorang pemuda lain yang
seimbang kepandaiannya dengan pemuda pesolek yang lihai itu. Sesudah Cin Hai
dan Bu Pun Su, belum pernah mereka menyaksikan ilmu kepandaian orang-orang muda
selihai itu.
Melihat bahwa Lie Kong Sian datang dan membela
mereka, maka mereka bertiga tentu saja tidak mau, tinggal diam dan dengan
seruan keras, Nelayan Cengeng lalu mengerjakan dayungnya diikuti oleh Ma Hoa
dan Kwee An. Kini sibuklah Song Kun, karena menghadapi keroyokan empat orang
yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi itu tentu saja ia merasa kewalahan
sekali. Setelah bertahan sampai puluhan jurus, terpaksa ia lalu melompat jauh
dan berkata,
“Lie Kong Sian! Lain kali kalau kita bertemu
berdua dan kau tidak mengandalkan keroyokan, tentu aku akan menabas batang
lehermu!” Kemudian kepada Ma Hoa ia menyeringai dan berkata. “Sayang, bidadari
rambut panjang, kita belum berjodoh!”
Keempat orang itu marah sekali, akan tetapi
dengan sekali berkelebat saja Song Kun telah lari jauh dan meninggalkan tempat
itu.
“Lihai sekali!” kata Nelayan Cengeng dengan
kagum.
“Memang Suteku itu lihai sekali dan jahat,”
kata Lie Kong Sian menarik napas panjang. “Lo-enghiong, melihat dayungmu yang
hebat itu, kalau tidak salah dugaanku tentu kau adalah Kong Hwat Lojin si
Nelayan Cengeng. Betulkah?”
Nelayan Cengeng menjura dan menjawab, “Benar,
Taihiap. Darimana kau tahu namaku?”
Lie Kong Sian tersenyum. “Dan kalau tidak
salah, Saudara yang gagah ini tentulah Kwee An dan Nona ini Ma Hoa.”
Ketiga orang itu memandangnya dengan heran.
“Lie-taihiap, darimana kau bisa tahu?” tanya Kwee An, sedangkan Ma Hoa
tiba-tiba berkata sambil menuding kepada pedang yang dipegang oleh Lie Kong
Sian.
“Eh, bukankah pedang itu pedang Ang I Niocu??”
Kini Lie Kong Sian tersenyum dan mengangguk,
“Memang ini pedang Kiang Im Giok, dan aku adalah tunangan Ang I Niocu!”
Kemudian Lie Kong Sian yang jujur lalu mengaku
dan menceritakan pengalamannya betapa ia menolong Ang I Niocu dan akhirnya
menjadi calon jodohnya. Lie Kong Sian suka sekali melihat sikap tiga orang yang
telah lama dikenal dari penuturan Ang I Niocu itu dan yang dipuji oleh
kekasihnya, maka ia lalu mengaku terus terang tentang pertunangannya itu dan
demikianlah maka mereka tahu akan pertunangan Ang I Niocu dengan Lie Kong Sian
yang gagah perkasa. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan terpisah,
karena Lie Kong Stan hendak mengejar dan menyusul sutenya untuk memenuhi syarat
Ang I Niocu, yaitu merobohkan sutenya yang ternyata bukan insyaf, bahkan makin
jahat itu.
Setelah Ma Hoa menceritakan semua pengalaman
kepada Ang I Niocu, tahulah Nona Baju Merah itu bagaimana mereka dapat
mengetahui hal pertunangannya sehingga mereka menggodanya. Terutama Ma Hoa
menggodanya sehingga Ang I Niocu menjadi semerah bajunya. Ia tak dapat marah
karena maklum bahwa Ma Hoa menggoda karena rasa girangnya.
“Ma Hoa, sudahlah jangan kau menggodaku lebih
lanjut. Kalau menggoda terus, aku takkan menceritakan kepadamu perihal Lin
Lin.”
Ma Hoa memegang lengan tangan I Niocu dan
bertanya, “Lin Lin? Apakah kau sudah bertemu dengan dia, Cici yang baik?
Bagaimana keadaannya? Selamatkah ia dan bagaimana dengan Cin Hai?” Dihujani
pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan sengaja berlaku lambat-lambatan
sehingga tidak saja Ma Hoa menjadi tidak sabar, bahkan Kwee An dan Nelayan
Cengeng juga mendesaknya untuk segera menceritakan hal Lin Lin.
“Maka jangan suka menggoda orang,” kata Ang I
Niocu. “Baikiah, aku akan menceritakan pengalamanku.” Kemudian tiba giliran Ang
I Niocu untuk menuturkan semua pengalamannya, betapa ia bertemu dengan Cin Hai
dan mendapatkan sepasang pedang Liong-cu-kiam dan harta pusaka di dalam Gua
Tung-huang dan pengalaman-pengalaman lainnya. Dan juga ia menceritakan betapa
Lin Lin telah dibawa oleh Bu Pun Su untuk diberi pelajaran silat sebagaimana
yang ia dengar dari Cin Hai.
Mendengar penuturan ini, bertitik air mata
dari kedua mata Ma Hoa karena terharu dan girangnya. Sekarang pengharapannya
terkabul semua. Seluruh kawan-kawannya telah selamat dan terlepas dari bahaya.
Demikian pun Kwee An dan Nelayan Cengeng. Mereka berempat itu sama sekali tidak
tahu bahwa telah terjadi peristiwa hebat di Gua Tengkorak yang membuat Lin Lin
terluka dan terancam jiwanya!
“Kini tugas kita cari-mencari ini telah
selesai karena orang-orang yang dicari telah ditemukan,” kata Nelayan Cengeng.
“Akan tetapi kita harus melindungi Yo Se Pu dari bahaya dan juga, karena
menurut penuturan Ang I Niocu tadi bahwa Cin Hai akan kembali ke sini dan Ang I
Niocu sendiri ditugaskan menjaga gua tempat harta pusaka, kita semua lebih baik
untuk sementara waktu tinggal di sini, menanti datangnya Cin Hai untuk kemudian
bersama-sama kembali ke timur.”
Semua orang menyetujui usul ini dan setelah
Yousuf selesai mengurus semua kawan dan lawan yang terluka dan tewas, ia pun
lalu datang dan saling menceritakan pengalaman masing-masing. Nelayan Cengeng
dan yang lain-lain mencoba seberapa dapat untuk menghibur hati Yousuf yang masih
berduka karena kematian gurunya dan banyak kawan-kawannya.
“Sesungguhnya, tentang kematian tak kusedihkan
benar karena soal itu bukanlah soal yang aneh dan harus disesalkan. Yang
membuat hatiku berduka ialah adanya perpecahan dan permusuhan diantara bangsa
sendiri. Baiknya kalian membawa berita bahwa anakku Lin Lin sudah diselamatkan
dan bahkan kini memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan Bu Pun Su, kalau
tidak, tentu aku akan makin gelisah dan cemas saja.”
Demikianlah, mereka bertempat tinggal di
kampung Yousuf dan kawan-kawannya itu sehingga pengikut Pangeran Muda tidak
berani datang untuk bermain gila lagi. Hampir tiga atau empat kali sehari Ang I
Niocu menyelidiki keadaan gua itu, menjaga dan memeriksa kalau-kalau ada orang
yang mengetahui tempat itu. Kadang-kadang ia pergi seorang diri, tidak jarang
ditemani oleh Ma Hoa, bahkan beberapa kali Kwee An dan Nelayan Cengeng juga
ikut.
Sementara itu, Cin Hai dan Lin Lin masih
melakukan perjalanan menuju ke barat, menyusul Bu Pun Su yang menjadi “tawanan”
Wi Wi Toanio dan kawan-kawannya. Ternyata bahwa Balaki semenjak dikalahkan oleh
Cin Hai, lalu melarikan diri dari Yagali Khan dan kemudian ia bergabung dengan
Hai Kong Hosiang dan seorang pendeta Sakya Buddha. Ia maklum akan kelihaian Hai
Kong Hosiang maka ia lalu menceritakan tentang harta pusaka di daerah Kan-su
itu dan mengusulkan untuk pergi mencari bersama. Hai Kong Hosiang yang cerdik
itu telah mendapat tahu tentang riwayat Bu Pun Su ketika mudanya, maka mereka
lalu mencari dan menjumpai Wi Wi Toanio yang telah menjadi janda. Melihat bahwa
Wi Wi Toanio ternyata juga lihat sekali ilmu kepandaiannya, maka mereka lalu
membujuk nyonya tua itu untuk ikut pula mencari harta pusaka dan kemudian atas
rencana dan siasat Hai Kong Hosiang yang licin, mereka berhasil menundukkan Bu
Pun Su untuk dipergunakan kepandaiannya mencari harta itu!
Cin Hai tidak berani melakukan perjalanan
terlalu cepat hingga ia dan Lin Lin tidak bisa mengejar rombongan yang menawan
Bu Pun Su. Beberapa hari kemudian, setelah mereka mendekati batas Propinsi
Kan-su, dan beristirahat di dalam sebuah hutan menikmati hawa yang nyaman dan
buah-buahan yang lezat, tiba-tiba dari jauh mendatangi seorang laki-laki dan
ketika orang itu datang dekat, Cin Hai merasa terkejut sekali hingga tak terasa
lagi ia memegang tangan Lin Lin. Ia mengenal baik muka laki-laki yang datang
itu, laki-laki muda pesolek yang tampan.
“Song Kun...” katanya dengan dada berdebar
karena ia maklum bahwa pertemuan ini tentu akan menjadi pertempuran hebat!
Sementara itu, Song Kun sudah melihat mereka
pula. Mula-mula wajahnya yang tampan melihat dengan terheran-heran karena ia
sendiri tidak pernah menyangka akan bertemu dengan gadis yang membuatnya
tergila-gila itu bersama Cin Hai, pemuda yang dibencinya dan yang hendak
dibunuhnya! Ia memandang ke kanan kiri, kuatir kalau-kalau Bu Pun Su supeknya
itu berada pula di situ, akan tetapi ketika melihat bahwa tidak ada orang lain
di situ, bibirnya tersenyum girang dan ia segera menghampiri.
“Ha, ha! Pendekar Bodoh, Pendekar Tolol dan
goblok! Suteku yang baik budi, kekasih Supek Bu Pun Su! Agaknya kau berdua saja
dengan bidadari yang telah lama kurindukan ini. Atau, membawa juga anjing
penjagamu yang tua itu?”
Cin Hai dapat menduga bahwa yang dimaki
“anjing penjaga tua” itu adalah Bu Pun Su suhunya, maka bukan kepalang marahnya
hingga debar hatinya yang tadi agak kuatir itu lenyap, terganti dengar debar
marah.
“Song Kun! Siapakah yang kaumaki itu?”
“Siapa lagi kalau bukan Suhumu yang tua dan
lebih goblok dari padamu itu?”
“Kurang ajar! Kaukira aku takut kepadamu?”
“Cin Hai, kau telah merasai kelihaianku,
apakah kau belum kapok? Dengarlah, bocah sombong. Aku mempunyai hati yang lemah
dan suka menaruh kasihan kepada anak-anak kecil. Aku masih ingat bahwa kau
adalah Suteku sendiri, maka aku akan memberi ampun kepadamu. Pergilah kau
dengan aman, dan tinggalkan kekasih hatiku ini. Aku akan menjaganya dan
mencintanya dengan baik, lebih baik daripada kalau kau menjaganya. Kelak kalau
kau ingin menikah katakan saia kepada Suhengmu ini gadis mana yang kausukai,
tentu aku membantumu sehingga kau berhasil mendapatkannya!” Ucapan ini
dikeluarkan dengan muka sungguh-sungguh sehingga ia hanya dapat memandang
dengan melongo dan tak dapat mengeluarkan kata-kata!
Akan tetapi, sementara itu Lin Lin sudah tak
dapat menahan marahnya lagi. Gadis ini sampai menjadi pucat karena marahnya dan
ia memandang kepada Song Kun seakan-akan ia hendak meremukkan kepala pemuda
pesolek itu dengan pandangan matanya kalau mungkin.
“Bangsat rendah, keparat jahanam! Aku
bersumpah hendak membunuh kau!” Sambil berkata demikian, Lin Lin lalu melompat
dan mencabut pedang Han-le-kiam, terus menyerang dengan hebatnya!
Song Kun mengelak dengan mudah sambil berkata,
“Sayang, janganlah kau marah-marah, karena dengan setulus hati aku mencintaimu.
Salahkah hatiku kalau tertarik dan runtuh melihat kecantikanmu? Lin Lin, ah,
namamu indah sekali. Janganlah kau menurunkan tangan kejam kepadaku, sayang!”
Bukan main marahnya Lin Lin mendengar
kata-kata ini sehingga ia menjerit dan menyerang makin hebat sambil mengucurkan
air mata karena marah dan mendongkol tak dapat membikin mampus orang itu dengan
sekali tusuk! Cin Hai merasa khawatir sekali melihat keadaan Lin Lin, karena ia
maklum bahwa kemarahan dan perkelahian akan membuat keadaan Lin Lin makin buruk
saja.
“Lin-moi, mundurlah. Tak perlu kau mengotorkan
tanganmu dengan bedebah itu. Biarkan aku yang mengadu jiwa dengan bajingan
ini!”
Sambil berkata demikian, Cin Hai lalu mencabut
sebatang daripada sepasang pedang Liong-cu-kiam yang panjang lalu melompat dan
menyerang dengan hebat! Sementara itu, dengan hati membakar panas Lin Lin
terpaksa melompat mundur dan berdiri dengan mata berapi.
Song Kun terkejut melihat bahwa pedang di
tangan Cin Hai mengeluarkan sinar gemilang, maka tanpa membuang waktu lagi ia
segera mencabut keluar pedang pusakanya Ang-ho-sian-kiam yang mengeluarkan
cahaya merah seperti api itu! Ketika Cin Hai menyerang hebat, Song Kun lalu
menyabet dengan pedangnya dengan maksud hendak membuat pedang Cin Hai terbabat
putus sekaligus! “Trangg!!” Kedua pedang beradu dan berpancaranlah bunga-bunga
api yang menyilaukan mata. Cin Hai merasa betapa telapak tangannya tergetar
maka menarik pulang pedang cepat-cepat dan memeriksanya. Ia merasa lega karena
pedang Liong-cu-kiam tidak menjadi rusak karena peraduan itu. Sementara itu,
Song Kun yang juga merasa tergetar telapak tangannya, merasa kaget sekali
karena pedangnya ternyata tidak dapat memutuskan pedang Cin Hai. Ia memandang
dengan mata terbelalak marah dan kemudian ia menjadi marah sekali.
“Bangsat! Agaknya kau telah dapat mencuri
pedang pusaka! Baik, jangan kira pedang yang baik saja akan dapat melindungi
jiwamu! Hari ini tentu kau akan mampus dalam tanganku!!”
Setelah berkata demikian, Song Kun tiba-tiba
menggerakkan pedangnya secara hebat dan ganas sekali sehingga lenyaplah
bayangan tubuhnya, menjadi satu dengan sinar pedangnya yang bercahaya merah api
bagaikan segulung api yang dahsyat menyambar-nyambar ke arah tubuh Cin Hai
dengan gerakan yang cepat dan luar biasa sekali! Cin Hai maklum bahwa baru kali
ini ia menghadapi lawan yang betul-betul tangguh dan yang ilmu kepandaiannya
tidak berada di sebelah tingkat kepandaiannya sendiri! Bahkan dasar pelajaran
mereka datang dari satu sumber. Ia kalah pengalaman, kalah lama berlatih dan
dalam hal ginkang, mungkin ia masih kalah cepat oleh Song Kun yang benar-benar
memiliki kecepatan yang membuat bayangannya tepat disebut Bayangan Iblis itu!
Akan tetapi Cin Hai tidak menjadi gentar.
Betapapun juga, intisari kepandaian silat belum pernah diturunkan kepada siapa
juga oleh Bu Pun Su dan kepandaian itu hanyalah dimiliki oleh Bu Pun Su
sendiri, bahkan sute dari Bu Pun Su yaitu Han Le Sianjin yang menjadi guru Song
Kun, juga tidak mempunyai pengetahuan ajaib ini. Maka, pengetahuan tentang
dasar-dasar dan pokok-pokok pergerakan ilmu silat inilah yang membuat Cin Hai
berhati tenang dan tetap, karena pengetahuan ini dapat menutup kekurangan dan
kekalahannya dalam hal ginkang dan pengalaman tadi.
Song Kun merasa penasaran dan marah melihat
betapa Cin Hai dapat menahan semua penyerangannya, maka sambil berseru gemas ia
menggerakkan pedangnya bagaikan halilintar menyambat-nyambar, dan tangan
kirinya juga tidak tinggal diam, akan tetapi mengirim serangan-serangan maut dengan
Ilmu Silat Pek-in-hoatsut dan lain-lain ilmu pukulan yang mengarah jiwa
lawannya. Akan tetapi Cin Hai tetap berlaku tenang dan mengembalikan setiap
pukulan lawannya dengan hati-hati. Ia cukup maklum akan berbahayanya Song Kun
dan maklum pula bahwa sekali saja serangan lawan ini mengenai tubuhnya, maka
nyawanya berada dalam bahaya besar. Oleh karena itu, ia berlaku hati-hati
sekali dan selain mempertahankan diri, ia juga mengirim serangan balasan yang
cukup membuat Song Kun berlaku hati-hati.
Demikianlah, kedua orang muda itu saling
serang dan saling gempur bagaikan dua ekor naga sakti saling menyerang dengan
mati-matian. Tubuh mereka tak tampak lagi, dan hanya cahaya pedang mereka yang
saling gulung dan saling desak dengan hebatnya. Song Kun memang amat lincah dan
cepat, akan tetapi menghadapi Cin Hai yang tenang dan kuat serta yang telah
tahu akan semua gerakannya, ia merasa tak berdaya, sungguhpun untuk mengalahkan
Song Kun, bagi Cin Hai bukanlah merupakan hal yang mudah. Baik Song Kun maupun
Cin Hai merasa betapa baru sekali itu selama hidup mereka menghadapi lawan yang
behar-benar tangguh dan berimbang baik tenaga maupun kepandaian.
Lin Lin memandang pertempuran itu dengan kagum
sekali. Bagi matanya yang telah terlatih dan menjadi tajam sekali penglihatannya,
ia masih dapat melihat gerakan-gerakan kedua orang itu dan diam-diam ia harus
mengakui bahwa gerakan Song Kun masih lebih lincah dan cepat, sungguhpun Cin
Hai tidak menjadi terdesak karenanya.
Song Kun yang merasa amat penasaran karena setelah
bertempur puluhan jurus belum juga dapat mendesak Cin Hai, lalu berseru keras
dan tangan kirinya bergerak. Sebuah cahaya merah meluncur dari tangannya itu
dan Cin Hai melihat betapa sehelai sabuk merah bergerak bagaikan hidup
menyambar ke arah lehernya. Cin Hai cepat mengelak ke kiri, akan tetapi sabuk
merah itu dengan lihainya bergerak juga ke kiri seakan-akan bernyawa dan kini
mengebut ke arah matanya.
Inilah semacam ilmu kepandaian yang istimewa
dari Han Le Sianjin, dan yang telah diturunkan kepada muridnya itu. Cin Hai
belum pernah mempelajari, dan juga karena pergerakan sabuk ini bukan
mengandalkan gerakan lengan, akan tetapi mengandalkan pergerakan pergelangan
tangan, maka sukarlah bagi Cin Hai untuk dapat melihat dan mengikuti gerakan
lawannya ini. Setiap pukulan selalu berpusat kepada pundak yang menjadi pangkal
lengan, akan tetapi sabuk ini digerakkan oleh Song Kun dengan menggerakkan
pergelangan tangannya tanpa mempengaruhi lengan, hingga Cin Hai kali ini
benar-benar tak dapat menduga lebih dulu ke mana sabuk lawan itu akan meluncur!
Song Kun maklum pula bahwa Cin Hai tentu telah mewarisi ilmu kepandaian Bu Pun
Su yang sakti, yaitu ilmu kepandaian mengenal dan mengetahui segala pokok-pokok
dan dasar pergerakan ilmu pukulan, maka ia sengaja mengeluarkan sabuknya itu
untuk mencapai kemenangan. Dulu suhunya, Han Le Sianjin pernah berkata
kepadanya bahwa ilmu kepandaian Bu Pun Su tak ada lawannya di dunia ini oleh
karena Bu Pun Su telah memiliki pengetahuan tentang pokok dan dasar ilmu silat,
akan tetapi apabila Bu Pun Su menghadapi senjata yang digerakkan dengan
pergelangan tangan seperti senjata sabuk yang lihai itu, tentu Bu Pun Su
sendiri takkan dapat menduga sebelumnya ke mana sabuk itu ikan diserangkan!
Benar-benar Cin Hai terkejut ketika tahu-tahu
sabuk itu telah mengejarnya dan mengancam matanya. Ia tidak mau mengelak lagi,
akan tetapi segera mengerjakan Liong-cu-kiam di tangannya untuk membuat putus
sabuk yang berbahaya itu. Akan tetapi tiba-tiba ia berseru terkejut karena
bukan saja pedangnya tidak mampu membabat putus sabuk itu, bahkan sabuk merah
itu lalu membelit pedangnya sehingga tak dapat digerakkan lagi!
Lin Lin melihat pula hal ini dengan jelas,
maka bukan main rasa kuatirnya melihat keselamatan kekasihnya terancam bahaya.
Ia menjerit keras dan roboh pingsan! Dalam keadaan seperti itu, Lin Lin lupa
akan pantangannya dan menjadi kuatir sehingga racun di dalam tubuhnya menyerang
jantung dengah hebat yang membuatnya roboh pingsan.
Sementara itu, ketika sabuk merahnya telah
berhasil membelit pedang Cin Hai, Song Kun sambil tertawa mengejek lalu
menyerang dengan pedang Ang-ho-sian-kiam di tangan kanannya ke arah dada Cin
Hai!
Sebetulnya bukan karena pedang Liong-cu-kiam
kurang tajam maka tak dapat membabat putus sabuk itu, akan tetapi oleh karena
sabuk itu terbuat dari sutera lemas dan ulet sekali hingga tentu saja kalau
berada di tangan seorang ahli yang tinggi ilmu lweekangnya, pedang yang
bagaimana tajam pun akan kehilangan dayanya dan takkan dapat membabatnya putus,
biarpun pedang Liong-cu-kiam itu akan membabat putus segala macam senjata besi
atau baja.
Biarpun berada dalam keadaan yang amat
berbahaya, namun murid Bu Pun Su ini tidak menjadi bingung atau gentar. Secepat
kilat ia mencabut pedang Liong-cu-kiam pendek yang masih terselip di
punggungnya dan dengan pedang ini di tangan kiri ia menangkis tusukan pedang
Song Kun pada dadanya, kemudian ia menggunakan pantulan pedang untuk membabat
sabuk yang masih melibat pedang di tangan kanan. Sekali sabet saja, sabuk itu
terputus menjadi dua potong! Ini dapat terjadi oleh karena setelah melibat
pedang maka sabuk itu menjadi tertarik dan tertahan oleh pedang yang dilibatnya
dan tangan Song Kun yang memegangnya, maka dalam keadaan merentang ini tentu
saja dengan mudah sabuk itu dapat dibabat putus!
Song Kun terkejut sekali, akan tetapi, pada
saat itu terdengar jerit Lin Lin yang roboh pingsan, Cin Hai cepat melompat dan
setelah melihat kekasihnya roboh pingsan, ia lalu menyimpan pedangnya dan
menubruk kekasihnya itu dengan bingung dan cemas.
“Lin Lin... Lin-moi... ah, mengapa kau
berkuatir...?”
Melihat betapa Cin Hai dengan wajah pucat
memeluk Lin Lin dan melihat pula muka gadis itu yang menjadi pucat bagaikan
mayat, Song Kun merasa heran dan juga kaget. Ia tadi merasa terkejut sekali
melihat betapa dalam keadaan sesulit itu Cin Hai masih dapat menyelamatkan diri
bahkan berhasil pula membabat putus pedangnya, maka diam-diam ia merasa amat
kagum dan juga sedikit jerih. Kini melihat Lin Lin roboh pingsan bagaikan telah
mati, ia merasa kasihan dan berkuatir. Memang di dalam hatinya, ia amat
mencinta gadis itu.
“Dia kenapakah...?” tanyanya terheran.
Tanpa menengok, Cin Hai lalu menjawab, “Dia
telah terkena racun jahat dari Hai Kong Hosiang, dan dalam seratus hari dia
akan mati.”
“Apa...?? Dia tidak boleh mati. Apakah tidak
ada obatnya?” tanya Song Kun dengan hati berdebar cemas.
Cin Hai mengangguk. “Hanya ada satu macam obat
dan obat itu berada di tangan Hai Kong Hosiang. Untuk itulah maka kami berdua
menuju ke barat.”
“Racun apakah itu?”
“Racun Ular Hijau yang jahat dari yang hanya
terdapat di daerah Mongol, maka obatnya pun harus dari sana.”
“Tidak, dia tidak boleh mati! Dia harus
menjadi isteriku, karenanya dia tidak boleh mati! Cin Hai, biar aku titipkan
dulu dia kepadamu dan karena itulah maka kau tidak kubunuh sekarang dan kuberi
ampun. Aku hendak mencari obat untuknya dan setelah dapat, akan datang
menjemput calon isteriku ini!”
Song Kun lalu menyimpan pedangnya dan melompat
pergi lalu lari cepat sekali. Cin Hai tidak mempedulikannya, bahkan menengoknya
pun tidak oleh karena ia merasa gelisah sekali melihat betapa wajah Lin Lin
menjadi agak kebiru-biruan.
Akan tetapi ternyata bahwa serangan racun itu
hanya berlangsung sebentar saja dan tak lama kemudian Lin Lin telah siuman
kembali. Cahaya merah kembali ke mukanya dan ia membuka matanya. Ketika ia
melihat bahwa ia berada dalam pelukan Cin Hai, ia lalu merangkul leher pemuda
itu dan terisak menangis.
“Lin-moi, mengapa kau melanggar pantanganmu?”
“Hai-ko, aku tidak ingat akan hal itu, aku
terlalu kuatir melihat kau terancam bahaya sehingga aku terlupa bahwa aku tidak
boleh berkuatir.”
Cin Hai tersenyum. “Jangan kuatir, Moi-moi.
Biarpun harus kuakui bahwa Song Kun memang lihai, akan tetapi aku takkan kalah
terhadapnya. Lihat sajalah kalau lain kali ia berani mengganggu kita lagi akan
kuhabiskan nyawanya!”
“Dia di mana, Koko?”
Cin Hai hendak menceritakan apa yang telah
terjadi, akan tetapi ia takut kalau-kalau Lin Lin akan merasa berkuatir
mendengar betapa pemuda pesolek itu hendak mencari obat baginya dan hendak
kembali menjemputnya kelak! Maka ia lalu menjawab, “Setelah aku berhasil
membabat putus sabuk merahnya, agaknya ia menjadi jerih dan lalu melarikan
diri.”
Lin Lin menarik napas lega dan mereka lalu
melanjutkan perjalanan mereka menuju ke barat dengan perlahan dan tidak
tergesa-gesa.
Pada suatu hari, seperti biasa, Ang I Niocu
berjalan-jalan di depan gua-gua Tung-huang untuk memeriksa keadaan gua tempat
harta pusaka itu tersembunyi, dan kali ini ia dikawani oleh Ma Hoa.
Tiba-tiba ia merasa terkejut sekali ketika
melihat beberapa orang Mongol berkerumun di depan gua itu! Ia berseru,
“Ma Hoa, celaka, agaknya mereka telah
menemukan tempat itu.”
Maka berlari-larilah Ang I Niocu dan Ma Hoa ke
tempat itu dan ketika mereka tiba di situ, ternyata bahwa orang-orang itu
dipimpin oleh Thai Kek Losu, Sian Kek Losu, Bo Lang Hwesio, dan lain-lain
perwira Mongol!
Melihat fihak lawan yang berat dan cukup
banyak ini, Ang I Niocu tidak mau berlaku sembrono, karena ia menduga bahwa
biarpun gua itu telah mereka temukan, akan tetapi belum tentu mereka dapat
mencari tahu tentang rahasia pembuka lubang tempat penyimpanan harta pusaka. Ia
lalu menarik tangan Ma Hoa dan diajaknya bersembunyi di balik sebuah gunung
karang yang kecil dan mengintai dari situ.
Tak lama kemudian, dari jurusan lain datanglah
serombongan orang yang bukan lain ialah rombongan perwira kerajaan yang
dipimpin oleh Kam Hong Sin! Selain panglima yang lihai ini, tampak juga Ceng
Tek Hosiang, Ceng To Tosu dan banyak perwira-perwira tinggi lainnya yang
jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang.
Pihak Mongol yang melihat kedatangan para
perwira kerajaan itu, lalu maju menyerbu dan terjadilah pertempuran hebat di
depan gua rahasia, Ang I Niocu dan Ma Hoa memandang dengan penuh kekuatiran,
karena dengan adanya dua fihak sama-sama menghendaki harta pusaka itu, maka
keadaan lawan makin bertambah berat saja.
“Biar...” bisik Ang I Niocu sambil menggenggam
tangan Ma Hoa, “biar mereka saling gempur hingga binasa seluruhnya!”
Pertempuran berjalan ramai sekali, karena
kedua fihak sama kuat. Kam Hong Sin yang tangguh itu mendapat lawan berat,
yaitu Thai Kek Losu, sedangkan Ceng To Tosu melawan Sian Kek Losu, dan Ceng Tek
Hwesio melawan Bo Lang Hwesio! Sesungguhnya, di antara ketiga pasangan ini,
fihak Mongol lebih kuat, akan tetapi oleh karena di fihak tentara kerajaan
masih terdapat beberapa orang perwira yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan
mengeroyoknya, maka keadaan mereka menjadi seimbang.
Pada saat Ang I Niocu dan Ma Hoa sedang
menonton dengan hati tegang, tiba-tiba datang rombongan lain dan ketika mereka
memandang, mereka menjadi girang sekali, karena di dalam rombongan orang itu
terdapat Bu Pun Su!
Akan tetapi, kegirangan mereka segera berubah
menjadi keheranan dan kekuatiran karena ternyata bahwa yang datang bersama Bu
Pun Su adalah seorang nenek bertelanjang kaki, seorang pendeta Mongol, seorang
perwira Mongol, dan juga Hai Kong Hosiang! Melihat Hai Kong Hosiang yang jahat
dan yang mereka benci ini berjalan bersama Bu Pun Su, sungguh membuat kedua
orang gadis itu berdiri bengong saking herannya!
Melihat pertempuran hebat itu, Bu Pun Su lalu
menghampiri mereka dan berseru keras, “Tahan pertempuran ini!”
Suaranya amat nyaring dan berpengaruh hingga
Ang I Niocu dan Ma Hoa sendiri yang berdiri di tempat agak jauh juga terkena
getaran suara dan terpengaruh oleh gema suara itu. Apalagi mereka yang sedang
bertempur, mendengar suara ini mereka tak terasa lagi segera melompat mundur
dan menahan senjata masing-masing. Mereka memandang kepada kakek itu dengan
terheran-heran.
Thai Kek Losu dan kawan-kawannya yang melihat
Balaki datang bersama kakek itu menjadi terkejut, akan tetapi sebelum mereka
bertanya, Bu Pun Su telah mendahuluinya dengan ucapan yang halus,
“Kalian ini bertempur bukanlah memperebutkan
harta pusaka yang tersimpan di dalam gua ini? Bodoh amat! Untuk apa bertempur
mengadu jiwa hanya untuk setumpuk harta yang tidak berharga dan yang hanya
mendatangkan kekacauan belaka?”
Biarpun sikap Bu Pun Su lemah lembut dan
kelihatannya seperti seorang lemah, namun menyaksikan pengaruh yang keluar dari
bentakannya tadi, baik pihak Mongol maupun pihak perwira kerajaan dapat menduga
bahwa kakek ini tentulah seorang berilmu tinggi.
“Kami yang mendapatkan tempat ini, akan tetapi
perwira-perwira kerajaan hendak merampasnya dari kami!” kata Thai Kek Losu
sebagai pembelaan diri.
“Tempat ini termasuk wilayah kerajaan, tak
boleh orang lain memiliki harta pusaka itu selain Kaisar!” kata Kam Hong Sin
dengan suara garang.
Bu Pun Su tersenyum dan menjawab, “Semua
salah! Yang mendapatkan tempat ini bukan orang-orang Mongol dan yang berhak
memiliki harta ini bukanlah Kaisar, karena harta ini berasal dari milik rakyat
yang dirampok! Daripada bersitegang dan mencari kebenaran sendiri dengan
berperang mengorbankan nyawa dengan sia-sia, lebih baik diatur begini saja.
Kita mengajukan jago-jago untuk mengadu kepandaian dan siapa yang paling
pandai, dialah yang berhak memiliki tempat ini!”
“Boleh, bolehl” kata Thai Kek Losu yang merasa
bahwa pihaknya lebih banyak mempunyai orang-orang lihai. “Kita majukan tiga
jago masing-masing, dan dari pihak kami, aku majukan tiga orang, yaitu aku
sendiri, Sian Kek Losu, dan Bo Lang Hwesio.” Sambil berkata demikian, Thai Kek
Losu menunjuk kepada Sian Kek Losu dan kepada Bo Lang Hwesio, akan tetapi ia
merasa heran sekali melihat betapa Bo Lang Hwesio sedang memandang kepada Bu
Pun Su dengan wajah pucat!
“Ia... ia adalah Bu Pun Su yang lihai...!”
kata Bo Lang Hwesio dengan berbisik hingga Thai Kek Losu yang pernah mendengar
nama ini pun menjadi gentar sekali.
“Kam Hong Sin, kau boleh majukan tiga orang
jago-jagomu!” Thai Kek Losu menantang kepada perwira itu, akan tetapi Kam Hong
Sin membentak marah.
“Aku tidak mau mentaati perintah siapa juga
selain perintah dari Kaisar! Betapapun juga, tak boleh orang-orang menggunakan
aturan sendiri seakan-akan di negara ini tidak ada pemerintah!”
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak dan
Hai Kong Hosiang maju ke depan. “Tidak turut pun tidak apa! Pendeknya
masing-masing fihak harus mengajukan paling banyak tiga orang jagonya. Fihakku
hanya cukup mengajukan seorang jago saja! Ha-ha-ha! Yang tidak merasa gembira
untuk ikut dalam pertandingan ini boleh mundur dan jangan mengganggu orang lain!”
Thai Kek Losu memberi isyarat dengan tangan
kepada Balaki dan memanggil perwira Mongol itu untuk datang mendekat, akan
tetapi Balaki tertawa mengejek saja tanpa mempedulikannya.
“Balaki, kau tidak menurut perintahku'?”
teriak Thai Kek Losu dengan marah dan heran.
Balaki tertawa. “Siapa sudi menurut
perintahmu? Aku tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi denganmu!”
Thai Kek Losu dan kawan-kawannya tercengang
mendengar ini. “Balaki, kau hendak menjadi pemberontak?”
“Tutup mulutmu!” bentak Hai Kong Hosiang
dengan marah.
Pada saat itu, kembali muncul serombongan
orang dan ternyata yang kini muncul adalah rombongan orang-orang Turki pengikut
Pangeran Muda dan yang dikepalai oleh Siok Kwat Mo-li, Lok Kun Tojin dan ketiga
saudara Kang-lam Sam-lojin, diikuti pula oleh beberapa orang perwira lain.
Ternyata bahwa Siok Kwat Mo-li dan kawan-kawannya masih penasaran dan
melanjutkan usaha mereka mencari harta pusaka itu sambil mengerahkan
orang-orang Turki dan membohongi mereka dengan janji bahwa setelah harta pusaka
bisa didapatkan, harta pusaka itu akan diberikan kepada mereka dan dibagi-bagi.
Padahal di dalam hatinya, Siok Kwat Mo-li dan juga kawan-kawannya itu sama
sekali tidak mempunyai niat untuk membagi harta pusaka itu kepada orang-orang
Turki.
Melihat kedatangan mereka, Hai Kong Hosiang
berkata sambil tertawa,
“Nah, sekarang lebih ramai lagi! Siok Kwat
Mo-li, kau datang bersama orang-orang Turki ini hendak melakukan apakah?”
“Suheng, aku dan Lok Kun Tojin, juga kawan Wai
Sauw Pu tadinya sengaja datang memenuhi undanganmu hendak membantu, akan tetapi
oleh karena kami tidak dapat bertemu dengan kau, maka terpaksa kami mengambil
jalan kami sendiri, dan dalam usaha kami itu ternyata bahwa kawan Wai Sauw Pu
telah terbinasa dalam tangan pengikut Pangeran Tua dari Turki dan
kawan-kawannya.”
“Dan sekarang, kau membawa orang-orang Turki
ini dengan maksud apakah? Apa kalian juga hendak mencari harta pusaka itu?
Kalau memang demikian kehendakmu, lebih baik kau pulang saja dan bawa
kawan-kawanmu itu pergi dari sini, karena harta itu adalah bagianku dan
kawan-kawanku, dan kau tidak boleh mengganggu!”
Mendengar ucapan suhengnya itu, Siok Kwat
Mo-li merasa penasaran sekali karena dulu suhengnya minta pertolongan dan
bantuannya untuk menghadapi lawan-lawannya dan juga untuk mencari harta pusaka
itu dengan janji hendak dibagi-bagi, akan tetapi tidak tahunya sekarang
suhengnya itu telah memilih kawan-kawan lain. Akan tetapi, oleh karena maklum
akan kelihaian Hai Kong Hosiang, ia diam saja tidak berani membantah. Hanya Lok
Kun Tojin yang merasa penasaran dan tentu saja ia tidak mau menerima dengan
demikian saja. Ia lalu melompat maju menghadapi Hai Kong Hosiang dan membentak
keras,
“Hai Kong! Aku mengingat akan persahabatan di
kalangan kang-ouw telah ikut turun gunung dengan Sumoimu ini karena hendak
membantumu dan sama-sama mencari pusaka berharga. Akan tetapi sekarang
kedatangan kami tidak kauhargai, bahkan kau hendak mengusir kami. Kauanggap
kami ini orang macam apakah? Apakah tanpa kau kami tak dapat mencari sendiri
dan menggunakan kepandaian kami?”
“Ha-ha-ha! Lok Kun Tojin, jangan kau
menyombong di depanku! Kalau kau hendak mencari harta pusaka itu, siapakah yang
sudi melarangmu? Bahkan kuanjurkan agar supaya kalian ikut pula dalam
pertandingan memperebutkan harta itu. Lihatlah, semua telah berkumpul dan kita
semua telah bermufakat untuk mengajukan masing-masing tiga orang jago. Pihak
Mongol telah mengajukan jago-jago mereka, yaitu Thai Kek Losu, Sian Kek Losu,
dan Bo Lang Hwesio. Fihak kami mengajukan seorang jago, yaitu kakek jembel
ini!” Ia menuding ke arah Bu Pun Su yang berdiri sambil menundukkan kepalanya.
“Akan tetapi sayangnya fihak perwira kerajaan agaknya tidak berani mengajukan
jago-jago mereka. Ha-ha-ha!”
“Hai Kong, jangan kau sombong'“ teriak Kam Hong
Sin dengan muka merah karena marahnya. “Hendak kulihat kalian ini
pemberontak-pemberontak rendah hendak berbuat kurang ajar sampai seberapa
jauhnya. Aku tidak sudi mengadakan segala macam perjanjian dengan kalian, dan
hendak kulihat saja siapa yang akan berkeras mengambil harta pusaka itu, pasti
akan kuhadapi dengan taruhan jiwaku sebagai seorang petugas setia dari Kaisar!”
Hai Kong Hosiang tertawa bergelak dan berkata,
“Kam Hong Sin, baru menjadi panglima besar Kaisar saja kau telah berkepala
batu! Kalau saja aku tidak mengingat bahwa semua orang telah menyetujui untuk
mengajukan jago-jago masing-masing, tentu akan kuhadapi sendiri orang macam
kau! Akan tetapi biarlah aku bersabar dulu, dan kalau tidak mau ikut dalam
pertandingan ini, biarlah kau menjadi penonton dan boleh kami anggap sebagai
saksi! Ha-ha-ha!”
Sementara itu, Lok Kun Tojin dan Siok Kwat
Mo-li berbisik-bisik mengadakan perundingan, akhirnya Lok Kun Tojin barkata,
“Baik, kami ikut dalam pertandingan ini dan kami mengajukan tiga jago kami,
yaitu Siok Kwat Mo-li, aku sendiri, dan Sahali.” Sambil berkata demikian ia
menunjuk ke arah Siok Kwat Mo-li dan seorang Perwira Turki yang bertubuh pendek
kecil dan berkulit hitam.
“Bagus, bagus! Sekarang akan menjadi ramai!”
kata Hai Kong Hosiang sambil tertawa terbahak-bahak.
Sementara itu Bu Pun Su berpikir bahwa
gara-gara Hai Kong Hosiang, maka kalau dilanjutkan, tentu akan terjadi
pertandingan hebat dan hal ini tidak ia kehendaki, oleh karena tentu akan
banyak terjatuh korban yang terluka hebat atau bahkan binasa. Maka ia segera
berkata kepada semua orang dengan suara sembarangan,
“Aku tua bangka jembel hendak bicara dan
kalian semua kalau akan menganggap bicaraku sebagai suatu kesombongan, apa
boleh buat. Dengarlah baik-baik. Untuk menyingkat waktu, kupersilakan semua
fihak maju seorang demi seorang dan menghadapi aku orang tua. Kalau sampai aku
dirobohkan terluka maupun binasa, maka kuanggap bahwa pihakku kalah, dan tidak
berhak lagi untuk mendapatkan harta benda itu!”
Tentu saja ucapan ini dianggap sombong sekali
dan semua mata memandangnya dengan penasaran dan marah, kecuali Bo Lang Hwesio
yang sudah cukup maklum akan kelihaian Bu Pun Su.
“Kakek tua! Alangkah sombongmu! Kau seorang
diri hendak menghadapi jago-jago Mongol dan Turki sebanyak enam orang. Biarpun
kau tangguh dan lihai, patutkah bagi seorang yang berkepandalan tinggi untuk
bersikap sesombong ini?”
Juga Siok Kwat Mo-li yang marah sekali
membentak, “Kakek yang mau mampus! Belum pernah selama hidupku mendengar bual
seorang sesombong kau! Kau tidak memandang mata kepada kami sekalian!”
Memang, menurut kebiasaan di kalangan
kang-ouw, orang-orang yang sudah tinggi kepandaiannya, biasanya merendahkan
diri, karena mereka selalu berhati-hati menjaga kalau-kalau ia kena dijatuhkan
orang lain hingga kesombongannya itu hanya akan menjatuhkan namanya belaka.
Makin tinggi kepandaian seseorang, makin pendiam dan makin merendahkan dia.
Oleh karena ini, ucapan Pun Su tadi tentu saja dianggap keterlaluan sekali dan
merasa penasaran dan marah. Akan tetapi, mereka belum mengenal adat Bu Pun Su
yang kukoai (ganjil), atau yang sudah pernah mengenalnya juga tidak mengetahui
betul adatnya itu. Bu Pun Su tidak biasa menyombongkan kepandaiannya, baru nama
yang dipilihnya saja, yaitu Bu Pun Su yang berarti Tiada Berkepandaian, sudah
menunjukkan bahwa dia tidak suka akan segala macam nama kosong belaka. Kalau
kali ini ia mengucapkan tantangan yang bersifat sombong, bukanlah semata timbul
dari watak sombong, akan tetapi karena ia mengandung semacam maksud, yaitu
hendak mencegah terjadinya pertumpahan darah hanya karena memperebutkan harta
pusaka belaka!
Melihat kemarahan orang-orang itu, diam-diam
Bu Pun Su menjadi gembira karena bahwa maksudnya berhasil baik, maka untuk
menambah “minyak” agar api yang mulai membakar hati mereka itu menjadi makin
berkobar dan agar persoalan itu cepat selesai, ia lalu menambahkan ucapannya
tadi sambil tersenyum,
“Kalau kalian menganggap aku sombong, biarlah,
kuakui bahwa aku memang sombong. Kesombonganku barusan itu masih belum seberapa
hebat apabila dibandingkan dengan usulku yang berikut ini. Oleh karena dari
pihak kami hanya maju seorang jago dan dari pihak Mongol maupun pihak Turki
diajukan tiga orang jago, maka aku tantang kalian untuk maju berbareng, yaitu
tiga orang sekaligus!”
Benar saja, ucapan ini membuat semua orang
menjadi bengong dan untuk sejenak mereka tak dapat mengeluarkan sepatah kata
pun. Akhirnya Thai Kei Losu, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio maju berbareng
dengan marah dan mereka ini memandang kepada Bu Pun Su dengan muka merah.
“Bu Pun Su! Aku mendengar namamu dari Bo Lang
Hwesio dan sudah lama aku mendengar bahwa Bu Pun Su adalah seorang berilmu
tinggi yang sakti dan yang patut disebut Lo-cianpwe (Orang Tua Gagah). Akan
tetapi, tidak tahunya Bu Pun Su hanyalah seorang tua bangka yang sudah pikun
dan yang menjadi gila dan sombong sekali! Baiklah, kau sendiri yang menantang
untuk dikeroyok tiga, dan kalau kau tewas di tangan kami, janganlah merasa
penasaran karena kau sendiri yang minta mati!”
Dimaki sehebat itu, Bu Pun Su hanya memandang
dengan senyum simpul dan ia lalu menjawab,
“Baiklah, Robot. Kalau sampai aku Si Tua
Bangka ini terbunuh mati di tangan kalian, tak usah kalian memasang meja
sembahyang!”
Thai Kek Losu marah sekali dan sekali tangannya
bergerak, maka ia telah mengeluarkan senjatanya yang mengerikan, yaitu
tengkorak anak-anak yang dipasang tali. Tengkorak itu diputar-putar hingga
dalam pandangan banyak orang seperti kepala seorang anak kecil yang meringis
dan suara angin yang masuk dan keluar dari lubang-lubang tengkorak itu
terdengar seperti suara tangis. Semua orang bergidik dan merasa ngeri melihat
kehebatan senjata ini, akan tetapi Bu Pun Su tersenyum dan berkata,
“Losu, mengapa bukan kepalamu sendiri yang
kauikat itu?”
Sementara itu, Sian Kek Losu juga mengeluarkan
senjatanya yang tak kalah lihainya, yaitu sebuah gendewa bertali, senjata yang
jarang sekali dapat dimainkan oleh ahli silat, oleh karena memang amat sukar
untuk mainkan senjata ini. Akan tetapi apabila orang telah dapat memainkan,
senjata itu merupakan senjata yang amat sukar dilawan karena lihainya.
Juga Bo Lang Hwesio menarik keluar senjatanya
yaitu sepasang poan-koan-pit yang berbentuk pensil bulu kecil saja, akan tetapi
sepasang senjata ini merupakan penyambung tangan untuk melakukan serangan
tiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) kepada lawan dan kelihatan sepasang
poan-koan-pit ini memang sudah amat ditakuti orang. Memang biasanya Bo Lang
Hwesio jarang mempergunakan senjata dalam perkelahian, cukup dengan kedua
tangannya ditambah ujung lengan bajunya saja, karena dengan ilmu pukulan tangan
kosong saja memang sudah amat sukar mengalahkan dia. Akan tetapi sekarang ia
maklum bahwa biarpun mengeroyok tiga, ia menghadapi seorang sakti yang tingkat
kepandaiannya masih jauh lebih tinggi, maka ia sengaja mengeluarkan senjatanya
itu.
“Sudah siap?” tanya Bu Pun Su dengan tenang.
“Nah, mari kita mulai!”
“Keluarkan senjatamu!” bentak Thai Kek Losu
yang sebagai orang berilmu tinggi merasa segan untuk menyerang seorang yang
bertangan kosong.
“Eh, Thai Kek Losu, bukalah matamu baik-baik.
Bukankah aku sudah siap dengan empat buah senjataku ini?” sambil berkata
demikian ia menggerak-gerakkan dua tangan dan dua kakinya. “Thian telah memberi
senjata-senjata yang tiada bandingannya di dunia ini kepada kita, akan tetapi
kalian masih saja menanyakan senjata, bukankah itu kurang berterima kasih
kepada Thian namanya?” Bukan main mendongkolnya hati Thai Kek Losu mendengar
ini. Ia anggap kakek jembel ini menghina sekali.
“Kau mencari mampus sendiri!” teriaknya dan
tengkorak kecil di tangannya itu tiba-tiba menyambar ke arah muka Bu Pun Su
dengan cepatnya. Akan tetapi baru saja tengkorak itu bergerak, tubuh Bu Pun Su
sudah lebih dulu menyingkir sehingga serangannya mengenai angin saja. Sian Kek
Losu dan Bo Lang Hwesio juga maju menyerbu dan sebentar saja Bu Pun Su dihujani
serangan-serangan kilat yang amat berbahaya dari tiga orang ahli dan tokoh
besar itu.
Bu Pun Su maklum bahwa ketiga orang lawannya
ini adalah orang-orang yang sudah tinggi tingkat kepandaiannya dan tidak boleh
dilawan dengan sembrono, maka ia lalu mengerahkan ilmu kepandaiannya yang luar
biasa dan menghadapi mereka dengan Ilmu Silat Pek-in-hoatsut yang dimainkan
secara luar biasa sekali. Kalau Cin Hai yang mainkan ilmu silat ini, maka hanya
pada dua lengan tangannya saja mengebulkan uap putih, akan tetapi ketika Bu Pun
Su yang mengerahkan tenaga dalamnya mainkan ilmu silat itu tidak hanya kedua
lengannya bahkan seluruh tubuhnya mengebulkan uap putih yang melindungi
tubuhnya hingga tiap kali senjata lawan mendekati tubuhnya dalam serangan yang
dilakukan oleh lawan itu, maka senjatanya seakan-akan tertahan oleh semacam
tenaga yang luar biasa kuatnya!
Ketiga orang pengeroyok itu menjadi terkejut
dan kagum sekali karena selama hidup belum pernah mereka menghadapi seorang
lawan yang demikian tangguhnya, yang dengan bertangan kosong sanggup menghadapi
mereka bertiga dan kini ternyata dapat melawan senjata-senjata mereka dengan
baiknya. Jangankan menghadapi, bahkan menyaksikan kepandaian yang seperti ini
pun baru sekali ini mereka alami. Namun, sebagai tokoh-tokoh besar yang berilmu
tinggi, mereka merasa malu apabila memperlihatkan ketakutan, maka mereka
memperhebat serangan dan mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaga lweekang
mereka juga sudah sampai di tingkat yang tinggi, maka biarpun beberapa kali
senjata mereka kena terbentur dan terpental oleh hawa yang keluar dari gerakan
kedua tangan Bu Pun Su, namun ada beberapa kali senjata mereka berhasil
memecahkan pertahanan itu dan hanya berkat kelincahan dan ginkangnya yang luar
biasa saja maka Bu Pun Su dapat terhindar daripada bahaya maut!
Kalau ia menghendaki, dengan sekali pukulan
tangannya yang ampuh, Bu Pun Su akan sanggup menghancurkan tengkorak itu, akan
tetapi oleh karena kakek yang sudah banyak pengalaman ini tahu bahwa di dalam
tengkorak itu tersimpan senjata-senjata rahasia yang mengandung racun berbahaya
hingga kalau tengkorak terpecah, biarpun ia tidak kuatir akan keselamatan
dirinya sendiri akan tetapi takut kalau-kalau senjata rahasia itu akan
menewaskan orang-orang lain di sekitar tempat itu, maka ia tidak berani
memukulnya. Keraguan ini membuat Thai Kek Losu mendapat hati dan menyangka
bahwa kakek jembel itu benar-benar merasa gentar terhadap senjatanya, maka ia
memutar-mutar senjata lihai itu makin cepat mengarah bagian-bagian berbahaya
dari tubuh Bu Pun Su!
Sedangkan senjata gendewa di tangan Sian Kek
Losu menyambar-nyambar dari atas bagaikan seekor burung garuda yang menyerang
kepala dan tubuh bagian atas. Gendewa itu berat dan menyambar dengan dorongan
tenaga yang bukan main besarnya hingga biarpun Bu Pun Su sudah sangat lihai
namun sekali saja terkena pukulan gendewa itu pada kepalanya, tentu ia akan
mengalami celaka! Bo Lang Hwesio juga tidak kurang berbahaya. Sepasang
poan-koan-pit di tangannya adalah senjata kecil yang dapat digerakkan cepat
sekali mengarah jalan-jalan darah yang paling berbahaya dari tubuh kakek jembel
itu. Melihat kelihaian ketiga orang lawannya, Bu Pun Su mengambil keputusan untuk
bertindak cepat dan menyingkirkan lawan-lawan ini agar ia tidak membuang waktu
terlalu banyak. Tiba-tiba ia berseru keras hingga ketiga orang lawannya itu
menjadi terkejut karena jantung mereka tergetar oleh gema suara yang hebat ini.
Pada saat itu, tengkorak di tangan Thai Kek Losu sedang melayang dan mengarah
kepala Bu Pun Su, senjata gendewa Sian Kek Losu dengan gerakan yang hebat
sekali menusuk ke arah ulu hatinya, sedangkan sepasang poan-koan-pit di tangan
Bo Lang Hwesio menotok ke arah iganya! Akan tetapi, karena kekagetan tadi
membuat mereka agak tercengang hingga gerakan mereka menjadi lambat, Bu Pun Su
lalu memperlihatkan kelihaiannya yang benar-benar hebat dan sukar untuk
dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya! Kakek jembel itu tidak mengelak dari
sambaran tengkorak ke arah kepalanya, bahkan ia lalu mengulur tangan kanan dan
menggunakan jari telunjuk dan jari tengah untuk menjepit dan menggunting tali
pengikat tengkorak itu hingga dengan mengeluarkan suara nyaring tali itu putus
dan tengkorak itu telah berpindah ke dalam tangannya!
Pada saat itu, sepasang poan-koan-pit telah
mencapai sasarannya dan tepat menotok bagian iga Bu Pun Su. Akan tetapi,
alangkah terkejut dan herannya hati Bo Lang Hwesio ketika ia merasa betapa
kedua poan-koan-pitnya itu mengenai tempat yang lunak, seakan-akan ia telah
menusuk air saja! Ia cepat menarik kembali poan-koan-pit itu dan dengan mata
terbelalak ia melihat betapa sepasang poan-koan-pitnya telah patah dua!
Gendewa di tangan Sian Kek Losu yang lebih
berat itu paling akhir datangnya dan dengan kekuatan luar biasa menyambar ke
arah ulu hati Bu Pun Su! Kakek jembel ini sudah tidak ada kesempatan lagi untuk
mengelak, dan agaknya ulu hatinya pasti akan tertembus oleh ujung gendewa yang
keras dan kuat itu! Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu meniup ke arah muka Sian
Kek Losu dan ketika angin tiupan yang dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
khikang hebat sekali itu menyambar mukanya, Sian Kek Losu merasa betapa kulit
mukanya menjadi perih dan matanya tak dapat dibuka lagi ! Terpaksa ia
memejamkan matanya dan karena terkejut dan sakit, gerakan tusukannya mengendur.
Kesempatan ini digunakan oleh Bu Pun Su untuk menjatuhkan diri ke belakang dan
berjungkir balik dengan kaki di atas dan kepala di bawah lalu berdiri lagi dan terlepaslah
ia dari ancaman senjata gendewa itu. Sebelum Sian Kek Losu dapat membuka mata,
Bu Pun Su melompat maju dan sekali ia mengebutkan tangan ke arah tengah-tengah
gendewa itu patahlah gendewa di tangan Sian Kek Losu!
Bu Pun Su tidak berhenti sampai di situ saja
dan sekali tubuhnya berkelebat ke arah tiga orang lawannya, mereka merasa
tenaga yang besar menyambar ke arah dada, maka mereka terpaksa mengangkat
tangan menangkis. Akan tetapi, dengan heran mereka melihat Bu Pun Su melompat
mundur lagi sambil tertawa girang, sedangkan mereka tidak merasa mendapat
pukulan.
Selagi tiga orang itu memandang heran,
tiba-tiba Hai Kong Hosiang yang tadi berdiri bengong dan bergidik melihat
demonstrasi kepandaian yang hebat itu, tertawa bergelak-gelak.
“Ha-ha-ha! Dengan mudah jago kami menjatuhkan
ketiga jago dari Mongol! Thai Kek Losu, kau dan kawan-kawanmu telah kalah, maka
kalian harus mundur dan memberi kesempatan kepada jago-jago lain untuk mencoba
kepandaian mereka!”
Thai Kek Losu memandang dengan marah, “Kami
memang telah kehilangan senjata, akan tetepi itu bukan berarti bahwa kami telah
kalah, karena kami belum dirobohkan!”
Hai Kong Hosiang kembali tertawa bergelak.
“Manusia goblok dan tidak tahu kebodohan sendiri! Kalian telah mendapat ampun
dari jago kami, akan tetapi masih belum mengakui kebodohan sendiri? Lihatlah
dadamu, Thai Kek Losu dan kalian juga, Sian Kek Losu dan Bo Lang Hwesio!”
Ketiga orang pendeta itu melihat ke arah
dadanya, dan terkejutlah mereka oleh karena baju mereka pada bagian dada
sebelah kiri ternyata telah berlubang! Mereka menjadi pucat dan bergidik oleh
karena ternyata bahwa setelah membalas dengan satu kali serangan saja, kakek
jembel itu telah berhasil membuat baju mereka berlubang dan kalau saja kakek
itu menghendaki, maka untuk membunuh mereka bagi kakek itu sama mudahnya dengan
membalikkan telapak tangan sendiri!
“Hebat, hebat!” Thai Kek Losu menarik napas
panjang. “Bu Pun Su, kepandaianmu membuat aku merasa takluk dan aku mengaku
kalah.” Setelah berkata demikian, Thai Kek Losu lalu memberi perintah kepada
semua anak buahnya untuk mundur dan ia bersama kawan-kawannya lalu pergi dari
situ.
“Thai Kek Losu, bawalah senjatamu ini dan
jangan pergunakan lagi senjata itu karena akhirnya tentu akan mencelakakan
dirimu sendiri!” teriak Bu Pun Su sambil melempar tengkorak itu ke arah Thai
Kek Losu.
Thai Kek Losu mengulurkan tangan menyambut
tengkorak kecil itu dan berkata sambil tersenyum, “Biarpun aku sudah kalah
olehmu, namun kau tak berhak melarang aku mempergunakan senjata buatanku
sendiri!” Setelah berkata demikian, dengan hati penuh dendam, Thai Kek Losu
lalu pergi dengan cepat meninggalkan tempat itu. Ia telah merasa putus harapan
oleh karena menghadapi kakek jembel itu ia tak berdaya dan percuma saja kalau
ia hendak melanjutkan usaha mencari harta pusaka, maka ia lalu memimpin anak
buahnya untuk kembali kepada Yagali Khan membuat laporan.
“Sekarang dipersilakan jago-jago Turki untuk
memperlihatkan kepandaian,” kata Hai Kong Hosiang yang merasa girang sekali
karena sebagaimana telah ia duga, dengan adanya Bu Pun Su di pihaknya, maka
dengan amat mudah mereka mengalahkan pihak lawan yang hendak memperebutkan
harta pusaka itu. Memang, biarpun tidak ada bantuan dari Bu Pun Su, belum tentu
ia dan kawan-kawannya yang cukup lihai akan dapat dikalahkan oleh pihak lawan,
akan tetapi hal itu merupakan hal yang belum pasti dan juga amat berbahaya.
Siok Kwat Mo-li, Lo Kun Tojin, dan Perwira
Turki yang bernama Sahali itu, ikut merasa terkejut melihat kehebatan sepak
terjang Bu Pun Su tadi, akan tetapi sebagai orang-orang berilmu tinggi, tentu
saja mereka pun tidak sudi menyerah sebelum mencoba. Kini mendengar ucapan
suhengnya yang telah menipunya, Siok Kwat Mo-li lalu mencabut keluar senjatanya
yang lihai, yaitu sebatang tongkat hitam, diikuti oleh Lok Kun Tojin yang
mengeluarkan sepasang rodanya dan Perwira Turki itu mengeluarkan sepasang golok
(siang-to) yang tajam mengkilap.
“Bu Pun Su, jagalah serangan kami!” seru Siok
Kwat Moli dengan keras sambil memutar-mutarkan tongkat hitamnya. “Majulah,
majulah!” jawab Bu Pun Su tenang.
Sementara itu, Ang I Niocu dan Ma Hoa yang
tadi bersembunyi dan mengintai, ketika menyaksikan pertandingan antara Bu Pun
Su dan tiga orang jago tadi, saking tertariknya mereka telah keluar dari tempat
persembunyian dan memandang penuh kekaguman, akan juga dengan keheranan besar
mengapa Bu Pun Su bekerja sama, bahkan membela Hai Kong Hosiang yang jahat! Hal
ini sungguh-sungguh membuat Ang I Niocu heran dan juga penasaran, akan tetapi
ia memang sudah maklum akan adat aneh dari susiok-couwnya itu, maka ia hanya
menonton dan tidak berani mengganggunya.
Sebetulnya, kalau mau dibuat pertandingan
tentang ilmu kepandaian maka tingkat ilmu kepandaian jago-jago yang berdiri di
pihak Turki ini dengan jago-jago Mongol yang telah dikalahkan tadi, mungkin
masih lebih tinggi kepandaian jago-jago Turki ini karena di situ terdapat Siok
Kwat Mo-li yang amat lihai sedangkan senjata Lok Kun Tojin yang merupakan
sepasang roda itu amat berbahaya sekali. Juga Sahali bukanlah seorang lemah
karena dia adalah jago yang sudah amat disegani di Turki dan merupakan tangan
kanan Pangeran Muda. Maka mengingat akan kepandaian sendiri, ketiga orang ini
tidak menjadi gentar bahkan mempunyai harapan untuk merobohkan Bu Pun Su dan
mendapatkan harta pusaka yang belum pernah mereka lihat itu. Hasil penyelidikan
mata-mata mereka membuat mereka tahu bahwa gua tempat harta pusaka
disembunyikan itu telah didapatkan oleh orang-orang Mongol, maka mereka lalu
menyerbu ke situ hingga secara kebetulan semua pihak dapat bertemu di depan gua
di mana tersembunyi harta pusaka yang diperebutkan.
Bu Pun Su menghadapi ketiga orang lawannya
yang baru ini dengan ketenangan yang amat mengagumkan. Dari gerakan-gerakan
senjata ketiga lawannya yang mewakili pihak Turki ini, ia dapat memaklumi bahwa
ilmu silat mereka ini tak kalah lihainya dari kepandaian ketiga lawan yang
telah dikalahkan tadi, maka dia berlaku amat hati-hati.
Siok Kwat Mo-li adalah sumoi dari Hai Kong
Hosiang yang jahat dan lihai, maka tongkat hitam di tangannya pun berbahaya
sekali. Ketika ia membuat gerakan menyerang maka tongkat itu seakan-akan
berubah menjadi banyak seperti ular-ular hidup berlenggak-lenggok menyambar ke
arah tubuh Bu Pun Su. Ternyata bahwa seperti halnya Hai Kong Hosiang, ilmu tongkatnya
berdasarkan ilmu tongkat Jeng-coa-tung-hwat atau Ilmu Tongkat Seribu Ular yang
mempunyai gerakan-gerakan luar biasa cepatnya.
Lok Kun Tojin mempunyai sepasang senjata roda
bertali yang jarang dapat dimainkan orang karena memang amat sukar untuk memainkan
senjata macam itu, akan tetapi di tangan pendeta itu sepasang roda bertali
merupakan senjata yang amat ampuh dan berbahaya, yang menyambar-nyambar
bagaikan mustika-mustika naga bermain-main di udara.
Perwira Turki bernama Sahali itu adalah tangan
kanan Pangeran Muda dan ilmu golok sepasang yang dimainkannya ini hebat dan
berbahaya. Ia mempunyai cara bertempur yang, aneh dan ilmu silatnya pasti akan
membingungkan lawannya karena di Tiongkok tidak terdapat ilmu golok seperti
itu, akan tetapi kini ia menghadapi Bu Pun Su yang mengenal ilmu silat bukan
berdasarkan permainannya, akan tetapi berdasarkan gerakan kaki tangan yang
bagaimanapun juga mempunyai dasar-dasar yang sama.
Sebagaimana diketahui, rombongan ini tadinya
dibantu oleh Wai Sauw Pu yang lihai dan juga Kang-lam Sam-lojin. Akan tetapi
Wai Sauw Pu telah tewas dalam tangan Ibrahim, sedangkan Kam-lam Sam-lojin yang
merasa gentar menghadapi lawan-lawannya, telah melarikan diri dan kembali ke
timur, lenyap nafsu mereka untuk ikut mencari harta pusaka itu karena maklum
bahwa mereka akan menghadapi lawan-lawannya yang luar biasa tangguhnya. Akan
tetapi, Siok Kwat Mo-li dan Lok Kun Tojin yang berilmu tinggi, tidak putus
harapan biarpun ditinggalkan oleh kawan-kawannya ini apalagi ketika dari pihak
Turki yang mereka bantu itu datang pula Sahali yang lihai.
Tadi ketika Bu Pun Su dikeroyok tiga oleh Thai
Kek Losu dan kawan-kawannya, Siok Kwat Mo-li telah melihat dengan penuh
perhatian. Permainan silat Pek-in-hoat-sut yang hebat itu terlihat amat kuat menghadapi
lawan dari depan maupun dari belakang, karena pergerakan kaki tangan secara
otomatis berpindah-pindah dan tubuh kakek itu dengan mudah membalik ke
belakang, tiap kali bahaya datang dari belakang. Dalam permainannya,
seakan-akan kakek itu mempunyai empat mata, di depan dan di belakang! Dan Thai
Kek Losu serta kawan-kawannya yang mengeroyok dari depan dan belakang menjadi
tidak berdaya! Siok Kwat Mo-li yang cerdik itu dapat melihat hal ini dan kini
ia telah mendapat cara untuk mengeroyok kakek jembel itu maka ia berbisik
kepada dua kawannya, “Kalian menyerang dari kanan dan kirinya, sedangkan aku
akan menghadapinya dari depan!”
Kini Bu Pun Su dikeroyok oleh lawan yang
mempergunakan bentuk segitiga yaitu dari depan, kanan dan kiri, tidak menyerang
dari belakang! Serangan yang dilakukan dari tiga jurusan ini jauh lebih
berbahaya dari pada serangan yang dilakukan dari depan dan belakang, karena
hanya datang dari dua jurusan, maka diam-diam ia merasa kagum dan memuji
kecerdikan nenek bongkok itu. Memang benar, ketika dikeroyok dengan cara
demikian, ia akan menderita lelah sekali karena kini ia harus membuat lebih
banyak gerakan untuk menghadapi ketiga orang lawan itu.
Bu Pun Su adalah seorang sakti yang pada masa
itu sukar dicari bandingannya, maka tentu saja tipu muslihat ini tak membuatnya
menjadi bingung. Tiba-tiba ia berseru,
“Siok Kwat Mo-li, kau benar-benar cerdik. Akan
tetapi aku Si Tua Bangka ini tidak mempunyai banyak waktu dan tenaga untuk
melayani kalian bermain-main!” Setelah berkata demikian, Bu Pun Su mengambil
sepotong gendewa yang telah patah dari Sian Kek Losu tadi yang kini panjangnya
hanya tinggal satu kaki lebih. Biarpun benda itu hanya merupakan sepotong baja
bengkok, akan tetapi setelah berada di tangan Bu Pun Su, merupakan sebuah
senjata yang luar biasa ampuhnya. Kakek jembel ini berseru keras dan baja
bengkok itu lalu menyambar hebat, merupakan gulungan sinar yang panjang dan
dahsyat.
“Lepaskan senjata!” terdengar teriakan Bu Pun
Su dari dalam gulungan sinar itu, sedangkan tubuh kakek itu sendiri lenyap
ditelan gulungan sinar senjatanya yang diputar secara luar biasa itu. Terdengar
suara logam beradu keras sekali dan segera disusul pekik kesakitan dan terkejut
oleh tiga buah mulut pengeroyoknya. Sepasang golok di tangan Sahali terpental
dan melayang ke atas sedangkan dua buah roda dari Lok Kun Tojin juga melayang
ke kanan kiri karena talinya telah putus. Adapun Siok Kwat Moli yang memiliki
lweekang lebih tinggi daripada kedua orang kawannya itu, masih dapat
mempertahankan senjatanya hingga tidak terlepas dari tangannya walaupun kulit
telapak tangannya serasa akan pecah. Namun ternyata bahwa tongkatnya tidak
sekuat tangannya hingga ketika ia memandang, ternyata bahwa tongkatnya itu
telah putus di tengah-tengah dan kini hanya merupakan sebatang tongkat yang
amat pendek saja.
Ternyata bahwa tadi Bu Pun Su telah
mengeluarkan ilmu silat simpanannya yang dahsyat, yang disebutnya Gerakan
Halilintar Menyambar Bumi. Kehebatan gerakan ini memang luar biasa hingga
jangankan baru ada tiga orang lawap yang bersenjata, biarpun ada puluhan lawan
agaknya takkan ada yang dapat mempertahankan sambarannya ini yang dilakukan
dengan tenaga lweekang sepenuhnya!
Siok Kwat Mo-li dan dua orang kawannya berdiri
bengung karena mereka sendiri tidak tahu bagaimana cara kakek itu membuat
senjata mereka terpental dan patah-patah. Akan tetapi, nenek bongkok itu
menjadi marah sekali dan melihat Bu Pun Su berdiri di depannya dengan tenang,
akan tetapi nyata bahwa kakek itu sedang mengatur kembali pernapasannya yang
agak tersengal karena tadi ia telah mempergunakan tenaga sepenuhnya sedangkan
usianya telah amat tua, maka sambil memekik keras Siok Kwat Mo-li lalu mengayun
tangannya dan berhamburanlah jarum-jarum hitam ke tubuh Bu Pun Su!
Ang I Niocu dan Ma Hoa terkejut sekali melihat
hal ini. Sebagai orang-orang yang telah mempelajari ilmu silat tinggi, mereka
maklum bahwa pada saat itu Bu Pun Su sedang mengatur napas dan karenanya
dilarang membuat gerakan-gerakan besar karena hal ini akan membahayakan
keselamatannya. Ma Hoa dan Ang Niocu memang amat tertarik melihat pertandingan
ke dua yang lebih hebat itu, maka tak terasa pula mereka telah mendekat, dan
bahkan Ma Hoa telah berdiri dekat Bu Pun Su, sedangkan Ang I Niocu yang masih
merasa takut-takut kepada Bu Pun Su, berdiri agak jauh.
Ma Hoa melihat keadaan Bu Pun Su yang
berbahaya itu, lalu melompat dengan sepasang bambu runcingnya di tangan. Ia
melompat di depan Bu Pun Su dan cepat sekali ia memutar-mutar dua batang bambu
runcing itu menangkis jarum-jarum hitam hingga semua jarum dapat dipukul runtuh
ke atas tanah.
“Eh, anak lancang, lekas kau mundur, Im Giok!
Jangan perbolehkan kawanmu ini maju!” kata Bu Pun Su dengan suara perlahan,
akan tetapi berpengaruh hingga Ma Hoa menjadi terkejut dan segera melompat kembali
ke dekat Ang I Niocu.
Bu Pun Su memandang kepada Siok Kwat Mo-li dan
tersenyum. “Kalau kau masih merasa penasaran, kau boleh menyerang lagi dengan
jarum-jarummu!”
Akan tetapi, Siok Kwat Mo-li yang melihat
betapa Ma Hoa dan Ang I Niocu yang telah ia kenal kelihaiannya itu berdiri di
situ dan agaknya akan membantu pula kepada Bu Pun Su, merasa bahwa perlawanan
dari pihaknya takkan ada gunanya, maka ia memandang dengan mata penuh
mengandung kebencian ke arah Ma Hoa, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu
membalikkan tubuhnya dan berlari pergi, diikuti oleh kawan-kawannya dan semua
anak buah Turki.
Makin sunyilah keadaan di situ sekarang dan
hanya tinggal Kam Hong Sin seorang bersama anak buahnya yang masih berdiri di
tempat semula. Kam Hong Sin menyaksikan semua pertandingan itu dan diam-diam ia
pun amat kagum terhadap Bu Pun Su. Ia maklum bahwa kepandaiannya sendiri belum
ada sepersepuluh bagian kepandaian kakek itu, akan tetapi Kam Hong Sin terkenal
sebagai seorang panglima gagah yang pantang mundur dalam melakukan tugasnya.
Sebelum ia dikalahkan, betapapun juga ia tilak mau mengalah begitu saja. Maka
ia segera melangkah maju dan menjura kepada Bu Pun Su.
“Locianpwe, sungguh hebat kepandaianmu dan
selama hidupku baru kali ini aku melihat kesaktian sedemikian hebatnya. Akan
tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar yang berkuasa, aku melarangmu mengambil
harta pusaka yang menjadi hak milik kerajaan itu!”
Bu Pun Su tersenyum dan dalam hatinya ia
mengagumi dan memuji sikap yang gagah berani dari perwira ini.
“Dan bagaimana kalau aku tetap hendak
mengambil harta pusaka itu?” tanyanya dengan tenang.
“Terpaksa aku harus menangkap dan menawanmu
untuk dibawa ke kota raja!” Terdengar suara tertawa riuh rendah dan ternyata
bahwa yang tertawa itu adalah Hai Kong Hosiang, Wi Wi Toanio, dan perwira serta
pendeta Mongol yang menjadi kawan-kawannya. Hai Kong Hosiang berkata kepada
Balaki, perwira Mongol yang kini menjadi kawannya itu.
“Balaki, kaulihat bagaimana sombongnya perwira
yang masih kanak-kanak itu, ha, ha, ha!”
Tiba-tiba Bu Pun Su berpaling kepada mereka
dan membentak, “Diam! Perwira ini lebih gagah dan jantan daripada kalian semua,
mengapa mentertawakannya?”
Hai Kong Hosiang dan kawan-kawannya tercengang
mendengar bentakan ini karena mereka benar-benar tak menyangka bahwa Bu Pun Su
akan menjadi demikian marah. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya dalam hatinya
Bu Pun Su merasa segan untuk melawan perwira yang gagah perkasa dan yang setia
akan tugasnya ini.
“Kam-ciangkun,” kata kakek itu kemudian,
“lebih baik Ciangkun kali ini mengalah saja dan kembali ke Kota Raja. Biariah
lain kali kalau ada ketika, aku orang tua akan datang menyatakan maaf.”
“Tak mungkin, Locianpwe. Tugas kewajiban harus
dilaksanakan, biarpun aku mempertaruhkan jiwaku. Kalau Locianpwe hendak
melanjutkan usaha mengambil harta pusaka itu, betapapun juga terpaksa aku harus
turun tangan dan menangkapmu.”
“Hm, kalau begitu, silakan kau maju dan
menangkapku kalau kau sanggup, Ciangkun, dan bukalah matamu baik-baik agar kau
tidak melewatkan kesempatan baik ini dengan sia-sia!”
Kam Hong Sin tak mengerti akan maksud ucapan
ini, akan tetapi ia tidak merasa gentar dan ketika Bu Pun Su menantangnya untuk
menangkap, ia lalu mempergunakan ilmu tangkapan tangan yang dulu ia pernah
pelajari dari seorang perantau dari seberang laut timur. Perantau itu datang
dari seberang timur dan dalam perantauannya ke daratan Tiongkok, ia telah
bertemu dengan Kam Hong Sin dan memberinya pelajaran silat yang sifatnya
seperti Sin-na-hwat. Oleh karena itu, ia memiliki kepandaian yang luar biasa
dan sekali ia dapat menangkap kedua lengan orang, maka sukarlah bagi orang itu
untuk melepaskan dirinya lagi!
Ketika Kam Hong Sin melangkah maju hendak
menangkapnya, Bu Pun Su hanya berdiri tersenyum dan bahkan mengulurkan kedua
lengannya untuk ditangkap! Kam Hong Sin merasa heran dan segera ia menyambar
kedua lengan itu untuk terus diputar ke belakang tubuh Bu Pun Su dalam pegangan
yang kuat sekali! Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu kedua lengan
tangan kakek itu telah ditekuk ke belakang punggung dan ikatan belenggu besi
pun takkan lebih kuat dan meyakinkan daripada pegangan ini.
“Ciangkun, perhatikan baik-baik!” kata Bu Pun
Su.
Kam Hong Sin maklum bahwa tentu kakek itu akan
mempergunakan ilmunya untuk melepaskan diri, maka cepat-cepat ia lalu
mempererat pegangannya dan menekuk kedua lengan kakek itu makin tinggi di atas
punggungnya! Bu Pun Su mengangkat sebelah kakinya ditendangkan ke belakang
dengan perlahan hingga Kam Hong Sin yang berdiri di belakangnya itu tentu saja
harus mengelak dari tendangan yang mengarah ke bagian berbahaya dari tubuhnya.
Ia miringkan tubuh dan mengganti kedudukan kakinya dan saat inilah yang
digunakan oleh Bu Pun Su untuk melepaskan diri. Ketika Kam Hong Sin mengangkat
kaki untuk membuat perobahan posisi kakinya, tiba-tiba Bu Pun Su membungkuk dan
sekali Bu Pun Su berseru keras maka tubuh Kam Hong Sin itu terpelanting
melewati kepala Bu Pun Su hingga jatuh tunggang langgang!
Sampai tiga kali Kam Hong Sin mencoba
menangkap Bu Pun Su dengan mengeluarkan berbagai ilmu menangkap, akan tetapi
selalu akibatnya terpelanting dan terbanting jatuh di depan kakek itu. Dan
anehnya, ketika terbanting itu, Kam Hong Sin tidak merasa sakit karena tidak
terbanting keras dan tiap kali melakukan gerakan untuk melepaskan diri dari
tangkapan, Bu Pun Su sengaja berlaku lambat hingga Kam Hong Sin dapat mengikuti
gerakannya dan dapat memahami ilmu gerakan itu hingga seakan-akan mereka bukan
sedang bertanding sungguh-sungguh, akan tetapi hanya merupakan latihan saja,
yaitu Kam Hong Sin mendapat latihan tiga macam ilmu gerakan yang hebat dari Bu
Pun Su!
“Terima kasih atas pengajaran Locianpwe. Saya
mengaku kalah dan biarlah kekalahan ini kulaporkan ke Kota Raja” Setelah
berkata demikian, Kam Hong Sin lalu memimpin anak buahnya untuk kembali ke
timur, memberi laporan tentang gagalnya tugas yang dijalankannya! Walaupun ia
merasa penasaran dan kecewa, namun diam-diam ia merasa girang karena menerima
pelajaran tipu gerakan yang lihai dari kakek sakti itu!
Hai Kong Hosiang tertawa dan sambil menuding
ke arah Ang I Niocu dan Ma Hoa, ia berkata keras, “Kalian apakah hendak merebut
harta pusaka pula? Kalau demikian halnya, boleh kalian maju melawan jago kami.
Ha, ha, ha,”
Biarpun merasa gemas dan marah, akan tetapi
Ang I Niocu dan Ma Hoa tidak berani berlaku sembrono di depan Bu Pun Su. Mereka
hanya berdiri bingung dan memandang ke arah kakek itu. Ketika Bu Pun Su
berpaling kepada mereka, Ang I Niocu segera menjatuhkan diri berlutut. Akan
tetapi, Bu Pun Su dengan mengerutkan keningnya, membuat gerakan dengan tangan
mengusir mereka dan berkata, “Pergilah, pergilah...”
Ang I Niocu dan Ma Hoa tak berani membantah
dan terpaksa mereka pergi dari situ tanpa berani bertanya apa-apa lagi. Mereka
cepat pulang ke rumah Yousuf untuk menceritakan peristiwa mengherankan ini
kepada Nelayan Cengeng dan Yousuf.
Sementara itu, setelah berhasil mengusir semua
pihak yang hendak mencari harta pusaka itu, Bu Pun Su lalu membawa
kawan-kawannya masuk ke dalam gua itu.
“Inilah gua penyimpanan harta-pusaka itu.”
katanya.
“Bu Pun Su, kau berjanji untuk mendapatkan
harta pusaka itu, bukan hanya guanya,” kata Hai Kong Hosiang dengan senyum
menyeringai.
“Kita harus mencari rahasianya,” keluh kakek
jembel itu yang segera mencari-cari. Ia adalah seorang yang sudah mempunyai
pengalaman luas, maka biarpun tanpa bantuan peta, ia dapat menduga bahwa patung
yang berdiri di dekat dinding itu tentu bukan sengaja dipasang di situ, karena
biasanya patung Buddha itu selalu dipasang ditengah dan di tempat yang khusus
untuk menjadi pujaan. Maka ia lalu menggerak-gerakkan patung itu dan benar
saja, terdengar bunyi di bagian atas dan tampaklah lubang tempat persembunyian
harta itu. Bu Pun Su lalu menggerakkan tubuhnya dan memasuki lubang kecil itu sebagaimana
dilakukan oleh Cin Hai dahulu. Tak lama kemudian, ia turun kembali dan berkata
kepada Hai Kong Hosiang dan Wi Wi Toanio,
“Harta ada di dalam sana, kalian boleh
mengambilnya dan sekarang keluarkanlah obat untuk muridku itu!”
“Obat itu tidak ada padaku,” jawab Hai Kong
Hosiang.
Bu Pun Su memandang dengan mata bersinar-sinar
hingga Hai Kong Hosiang menjadi takut dan mundur dua langkah.
“Aku tidak membohongimu, Bu Pun Su. Obat itu
memang ada, yaitu dalam tangan dukun tua dari Mongol yang juga sudah kami ajak
ke tempat ini dan kami sembunyikan di dalam sebuah tempat rahasia di dalam
hutan.”
“Bawa dulu aku ke sana untuk mengambil obat,
setelah itu kauserahkan kepadaku, barulah kalian boleh mengambil harta ini!”
Sambil berkata demikian, Bu Pun Su lalu menggerakkan kembali patung itu hingga
lubang tadi tetutup kembali.
“Benarkah harta itu berada di tempat itu?”
tanya Wi Wi Toanio kepada Bu Pun Su.
“Wi Wi, aku adalah seorang laki-laki sejati.
Pernahkah aku membohong?” Bu Pun Su mendongkol sekali dan ia kembali
menggerakkan patung untuk membuka “Lihatlah sendiri, perempuan curang!”
Wi Wi Toanio tertawa menjemukan lalu melompat
ke atas dan memasuki lubang itu. Sampai lama ia tidak keluar hingga Hai Kong
Hosiang terpaksa berseru memanggilnya. Akhirnya kepala perempuan itu muncul
kembali dan sepasang matanya bersinar-sinar bagaikan seorang yang merasa girang
sekali.
“Aduh, bukan main hebatnya!” katanya hingga
ucapan yang pendek itu cukup menyakinkan hati Hai Kong Hosiang, Balaki dan
kawan-kawannya.
Bu Pun Su menutup kembali lubang itu dan
berkata, “Hayo cepat antar aku ke dukun itu untuk mengambil obatnya!”
Mereka lalu membawa Bu Pun Su ke dalam sebuah
hutan di luar kota, di mana terdapat sebuah pondok yang terjaga oleh beberapa
orang Mongol kawan-kawan Balaki, dan ketika mereka datang para penjaga lalu
menyambut mereka dengan muka pucat.
“Celaka, baru saja ada seorang muda yang
mengacau di sini. Kami semua tidak berdaya terhadapnya, karena ia lihai
sekali!”
Hai kong Hosiang dan kawan-kawannya, juga Bu
Pun Su menjadi terkejut sekali dan mereka segera memburu ke dalam pondok. Dukun
tua yang kurus itu duduk di atas bangku sambil menundukkan kepala seperti orang
yang mengantuk.
“Muhambi, apakah yang terjadi?” teriak Hai
Kong Hosiang dengan kuatir.
“Tidak ada apa-apa, hanya seorang pemuda yang
memaksaku menyerahkan obat penolak racun dari kembang semut merah itu.”
Hai Kong Hosiang menjadi pucat. “Celaka!
Justru obat itulah yang kami butuhkan! Siapa orangnya yang berani merampasnya?”
“Entahlah,” jawab Mahambi, dukun itu. “Seorang
pemuda tampan yang mengaku bernama Song Kun!”
Mendengar ini, Bu Pun Su menjadi pucat dan ia
segera berkata, “Wi Wi, dan kau Hai Kong! Aku memenuhi janjiku mengusir semua
lawan dan mendapatkan tempat disimpannya harta pusaka, akan tetapi ternyata
kalian tidak dapat memenuhi janjimu!”
“Sabar dulu, Bu Pun Su,” kata Hai Kong Hosiang
yang segera ia memegang pundak dukun itu sambil mengancam, “Buatkan lagi obat
itu untuk kami!”
Mahambi menggeleng-gelengkan kepalanya yang
sudah penuh uban. “Harus menanti berkembangnya kembang semut merah itu
kira-kira setengah tahun lagi.”
“Aku pergi!” kata Bu Pun Su. “Jangan harap
kalian akan dapat membawa harta pusaka itu!” Setelah berkata demikian, kakek
itu melompat keluar pondok dan lenyap.
Cin Hai dan Lin Lin yang melakukan perjalanan
dengan perlahan dan seenaknya, akhirnya sampai pula di luar batas kota Lan-couw
dan mereka lalu berhenti dan beristirahat dalam sebuah gua di luar hutan.
“Mudah-mudahan Suhu akan berhasil mendapatkan
obat itu secepatnya agar hatiku tidak menjadi gelisah sekali,” kata Cin Hai.
“Hai-ko, jangan kau gelisah. Suhu pasti akan
bisa mendapatkan obat itu dan andaikata Suhu gagal, aku pun masih tetap percaya
bahwa akhirnya kau akan berhasil menolongku,” kata Lin Lin dengan mata
memandang mesra dan penuh kepercayaan.
Tiga ekor burung sakti, Yaitu Sin-kong-ciak,
Kim-tiauw dan Ang-siang-kiam Si burung bangau, melihat kedua orang itu berhenti
di dalam gua, lalu melayang turun dan mengeluarkan suara seakan-akan mereka
merasa kecewa, karena tempat itu memang kurang menyenangkan bagi mereka. Tempat
itu merupakan tanah tak berumput, penuh gunung batu karang dan banyak pula
gua-gua besar di situ, dengan batu-batu karang bergantungan dari atas merupakan
pedang tajam dan di dalam gua pun lantainya dari batu karang yang menyakitkan
kaki bila menginjaknya.
Akan tetapi oleh karena panas terik matahari
membakar tempat yang gundul tak berpohon itu, maka gua di mana mereka berteduh
merupakan tempat yang enak dan melindungi mereka dari serangan matahari yang
panas.
“Lin-moi,” kata Cin Hai sambil membelai kepala
Sin-kong-ciak yang mendekatinya, “Kalau kita sudah beristirahat dan
menghilangkan lelah, kita harus melanjutkan perjalanan memasuki kota Lan-couw.
Betapapun juga, aku merasa amat gelisah mengingat akan nasib Suhu yang berada
dalam pengaruh dan kekuasaan orang-orang jahat seperti Hai Kong Hosiang dan
kawan-kawannya.”
“Tenangkanlah hatimu, Hai-ko. Suhu bukan
sembarangan orang yang akan mudah dicelakai oleh orang-orang macam Hai Kong
itu. Aku yakin sepenuh hatiku bahwa Suhu pasti akan tiba dengan segera membawa
obat itu.”
Tiba-tiba Sin-kong-ciak dan kedua burung yang
lain itu berteriak keras dan ketiga-tiganya lalu terbang keluar gua sambil
memekik-mekik marah. Cin Hai melompat keluar, diikuti oleh Lin Lin.
Mereka terkejut sekali karena melihat bahwa
yang datang itu adalah Song Kun! Ketiga burung itu telah mengenal Song Kun dan
telah mengetahui kelihaiannya, maka mereka hanya terbang rendah sambil
mengeluarkan suara teriakan seakan-akan memberi tanda kepada Cin Hai dan Lin
Lin agar supaya bersiap menghadapi lawan.
“Obat sudah didapatkan!” teriak Song Kun
dengan wajah berseri. “Cin Hai, adikku yang baik. Sekarang akulah yang berhak
membawa gadis ini, karena jiwanya berada dalam tangan tanganku. Aku telah
mendapatkan obat itu dan akulah pula yang berhak mendapatkannya karena hanya
aku yang dapat menyembuhkannya!”
Cin Hai menjadi pucat dan ia memandang penuh
ketidakpercayaan.
“Kau tidak percaya?” kata Song Kun sambil
tersenyum dan melirik ke arah Lin Lin. “Inilah obat itu!” Ia mengeluarkan
sebotol obat warna merah dari saku bajunya dan mengangkat tinggi-tinggi.
“Song Kun! Betulkah bicaramu itu?” tanya Cin
Hai dengan hati berdebar.
“Kauanggap aku ini orang apakah maka bicaraku
harus diragukan lagi? Dengar, Sute. Obat untuk menyembuhkan Lin Lin hanyalah
sebotol ini yang berada di tangan dukun Mongol. Obat inilah yang seharusnya
diberikan kepada orang yang berhasil mendapatkan harta pusaka untuk rombongan
yang dikepalai Hai Kong Hosiang, demikian menurut dukun Mongol itu. Akan tetapi
dengan berkeras, aku berhasil merampas botol ini, dan segera aku mencari kalian
untuk mengobati Lin Lin. Akan tetapi, aku baru memberi obat ini kepada Lin Lin
kalau ia mau berjanji untuk menjadi isteriku yang tercinta.” Song Kun berkata
demikian sambil mempermain-mainkan botol itu di tangannya dan mengerling ke
arah Lin Lin yang menjadi merah mukanya.
“Suheng!” teriak Cin Hai yang merasa girang
dan juga kaget. Girang karana ada harapan bagi Lin Lin untuk sembuh kembali
akan tetapi, kaget mendengar permintaan dan syarat Song Kun itu.
“Kautolonglah Lin Lin dan berikan obat itu
kepadanya. Kesembuhannya merupakan hal yang terpenting bagiku dan biarpun kau
menghendaki jiwaku, akan kuberikan dengan rela asalkan kau suka menyembuhkan
Lin Lin. Akan tetapi, jangan kau memaksanya menjadi isterimu kalau ia tidak
suka.”
Song Kun tertawa bergelak, “Sute, kau
membolak-balik omonganmu sendiri. Kau tidak ingin melihat tunanganmu itu
meninggal dan juga tidak ingin melihat ia menjadi isteri orang lain! Cin Hai,
apakah kau benar-benar mencinta kepadanya?”
“Tak perlu kau bertanya lagi. Aku rela
mengorbankan nyawa untuknya.”
“Kalau benar cintamu itu murni, kau tentu
tidak keberatan untuk mengalah padaku. Pilih saja, membiarkan ia sembuh sama
sekali dan menjadi isteriku, atau obat ini akan kubuang dan membiarkan ia
mati.” Sambil berkata demikian, Song Kun membuat gerakan seolah-olah ia
benar-benar hendak melempar botol itu ke dalam jurang batu karang! Cin Hai
menjadi bingung karena ia maklum bahwa seorang macam Song Kun itu bukan hanya
pandai menggertak saja, akan tetapi dapat melakukan segala perbuatan yang keji.
"Jangan buang botol itu, Suheng! Tentu
saja aku lebih suka melihat Lin Lin sembuh kembali!”
“Dan menjadi isteriku?” tanya Song Kun.
“Soal itu.terserah kepadanya,” jawab Cin Hai
tanpa berani memandang muka kekasihnya.
Lin Lin semenjak tadi mendengarkan percakapan
mereka itu dengan hati panas, akhirnya tak dapat menahan kemarahan hatinya
lagi. Ia melompat berdiri dan mencabut pedang pendeknya.
“Song Kun manusia berbatin rendah! Aku lebih
baik seribu kali mati dari pada menjadi isterimu. Buanglah botol itu! Kaukira
aku takut mati?” Sambil berkata demikian, dengan kemarahan besar gadis itu lalu
menerjang Song Kun dengan pedang pendeknya dalam serangan yang hebat. Song Kun
cepat menyimpan botol itu kembali ke dalam saku bajunya dan segera mencabut
pedangnya Ang-ho-sian-kiam untuk menghadapi serangan Lin Lin yang tak boleh
dipandang ringan itu.
Melihat betapa kekasihnya menjadi nekat, Cin
Hai lalu mencabut keluar pedang Liong-cu-kiam dan menerjang sambil berseru,
“Song Kun, jangan kaulawan dia yang masih
lemah. Akulah lawanmu!” Dengan tikaman hebat ia menyerang yang segera ditangkis
oleh Song Kun. Lin Lin tetap menyerang dan membantu kekasihnya, akan tetapi Cin
Hai yang berkuatir melihat kelemahan Lin Lin segera berkata kepadanya,
“Lin-moi mundurlah dan biarkan aku menghadapi
iblis ini! Aku telah yakin akan perasaan hatimu dan jangan kau kuatir. Kalau
perlu, kita akan mati bersama!”
Lin Lin melompat mundur dan membiarkan
kekasihnya menghadapi lawan yang terlampau tangguh baginya itu, apa lagi karena
ia memang merasa pening dan lemah. Ia berdiri saja memandang dan menyaksikan
pertempuran yang berjalan hebat itu. Sekali lagi kedua orang muda yang lihai
itu mengadu kepandaian di antara batu-batu karang yang menjulang tinggi,
disaksikan oleh Lin Lin dan tiga ekor burung sakti yang hanya beterbangan di
atas dan kadang-kadang saja menyambar turun untuk membantu. Akan tetapi, sinar
pedang Ang-ho-sian-kiam yang hebat dan mengeluarkan hawa panas itu membuat
mereka tidak tahan mendekati Song Kun dan terpaksa hanya beterbangan di atas
mereka yang sedang bertempur sambil mengeluarkan pekikan-pekikan nyaring.
Karena hatinya telah bulat untuk merobohkan
Song Kun yang dibencinya ini, Cin Hai mengeluarkan seluruh kepandaian dan
mengerahkan seluruh tenaganya, hingga ia dapat mendesak Song Kun setelah mereka
bertempur selama puluhan jurus dengan hebat. Diam-diam Song Kun merasa terkejut
sekali karena kini ia mendapat kenyataan bahwa betul-betul pengertian tentang
dasar-dasar ilmu silat membuat Cin Hai menjadi lihai sekali dan dapat
mengembalikan setiap serangannya bagaimana lihai pun. Juga pedang Liong-cu-kiam
di tangan Cin Hai merupakan senjata ampuh yang dapat mengimbangi kehebatan
Ang-ho-sian-kiam yang tadinya merupakan pedang tunggal yang jarang menemukan
tandingannya.
Song Kun adalah seorang yang tidak saja pandai
dan tinggi ilmu silatnya, akan tetapi ia juga cerdik dan memiliki sifat curang.
Melihat kehebatan sepak terjang Cin Hai, tiba-tiba ia menarik keluar botol obat
itu dan membuat gerakan seakan-akan hendak melempar obat itu ke jurang. Gerakan
ini tentu saja membuat Cin Hai menjadi pucat, karena betapapun juga, ia tidak
ingin melihat obat tunggal itu dibuang hingga jiwa Lin Lin takkan tertolong
lagi. Ia menggigil kalau memikirkan bahwa kekasihnya itu akan mati karena racun
tanpa dapat ditolong lagi. Botol obat di tangan Song Kun itu nampak olehnya
seakan-akan nyawa Lin Lin, maka gerakan Song Kun itu tak dapat tiada membuat ia
memekik tanpa terasa lagi,
“Jangan lempar botol itu!”
Tentu saja pikiran yang bingung itu membuat
gerakan pedangnya menjadi kacau dan pada saat yang tepat, pedang Ang-ho-sian-kiam
di tangan Song Kun menyerang seperti kilat dan menusuk ke arah matanya! Cin Hai
cepat menundukkan kepala, akan tetapi gerakan itu terlalu cepat cepat hingga
ujung pedang masih menggores kulit jidatnya! Darah mengucur dari kulit itu,
terus mengalir turun di sepanjang hidung dan pipinya. Cin Hai menggunakan
lengan baju tangan kiri mengusap mukanya dan pada saat itu kembali pedang Song
Kun meluncur dalam serangan yang dahsyat, yaitu dengan bacokan ke arah
lehernya!
Serangan ini datangnya tak tersangka-sangka,
karena rasa perih pada jidatnya membuat Cin Hai kurang dapat memperhatikan
pergerakan lawan, maka cepat ia lalu menjatuhkan diri ke belakang untuk
berjungkir balik dan menghindarkan diri dari serangan itu, akan tetapi kembali
ujung pedang Song Kun masih berhasil melukai kulit pundak kirinya! Darah
mengucur lagi dan kini lebih banyak karena sedikit daging di bahunya ikut
terpapas oleh pedang yang tajam itu!
Melihat hal ini, tak tertahan pula Lin Lin
menjerit dan roboh pingsan karena kembali kekuatiran telah membuat jantungnya
terserang racun di tubuhnya!
Melihat keadaan kekasihnya, timbullah
kemarahan besar di hati Cin Hai. Ia menjadi nekat dan maklum bahwa menghadapi
seorang yang tangguh dan kejam semacam Song Kun, ia tidak boleh merasa kuatir
karena betapapun juga, tentu Song Kun takkan mau memberikan obat itu kepadanya.
Maka ia lalu menggigit bibirnya dan mempererat pegangan tangan pada pedangnya
lalu membentak,
“Song Kun, kalau bukan kau, tentu aku yang
akan menggeletak tak bernyawa di tempat ini!”
Setelah berkata demikian, Cin Hai lalu
mengirim serangan-serangan balasan kilat yang luar biasa hebatnya, karena ia
telah mengerahkan seluruh kepandaian dan kecepatannya dan menyerang dengan
maksud merobohkan dan membunuh lawannya ini. Memang gerakan serangan Cin Hai
ini terjadi dengan otomatis. Dalam keadaan sabar, gerakannya menjadi tenang dan
kuat, dan dalam keadaan marah dan menggelora, maka kini gerakan pedangnya
menjadi berubah ganas seakan-akan seorang iblis mengamuk! Setiap gerakan pedang
merupakan tusukan, tikaman, atau sabetan yang dapat membawa maut!
Song Kun terkejut sekali. Ia berseru sambil
menangkis serangan Cin Hai, “Mundur, kalau tidak, benar-benar obat ini hendak
kulempar ke jurang,”
Akan tetapi, Cin Hai telah menjadi gelap mata
dan tidak mau memikirkan lain hal kecuali merobohkan lawan yang dibencinya ini.
Ia tidak menjawab, bahkan memperhebat desakannya. Song Kun terpaksa melayani
dengan sungguh hati, karena benar berbahaya baginya.
“Benar-benar kulemparkan botol ini!” teriaknya
mencoba sekali lagi, akan tetapi kini Cin Hai tak dapat digertak lagi. Song Kun
menjadi gemas dan ia melompat ke belakang, agak jauh dari Cin Hai. Dengan napas
memburu karena menahan marahnya Cin Hai mengejar, akan tetapi ia melihat Song
Kun benar-benar melemparkan botol itu ke dalam jurang!
Melihat hal ini, mau tidak mau Cin Hai merasa
betapa hatinya menjadi perih seakan-akan melihat Lin Lin meninggal dunia pada
saat itu! Ia memekik keras dan ngeri sambil melihat arah botol itu dilemparkan.
Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam jurang
itu, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bu Pun Su telah berdiri di situ
dengan botol tadi diangkat tinggi-tinggi.
“Ha, akhirnya obat ini terdapat juga olehku!”
katanya girang.
Bukan main girangnya hati Cin Hai melihat ini
sehingga tak terasa pula air matanya mengalir turun, bercampuran dengan
darahnya yang tadi mengucur keluar dari luka di jidatnya.
Sementara itu, Song Kun menjadi marah sekali.
“Tua bangka!” ia memaki supeknya. “Kau selalu
memusuhi aku dan membela muridmu! Majulah dan mari kita mengadu jiwa di sini!”
Bu Pun Su hanya tersenyum dengan tenang. “Aku
tidak sudi mengotorkan tanganku. Cin Hai, kaulawanlah dia!”
Cin Hai yang merasa beruntung sekali
seakan-akan melihat Lin Lin bangkit kembali dari alam baka itu, segera memutar
pedangnya dan berkata,
“Suhu, teecu mohon ijin dan restu untuk
mengakhiri hidup manusia iblis ini!”
“Memang kejahatan harus dibalas dengan
keadilan, dan orang macam dia ini sudah pantas kalau dibasmi. Laksanakanlah
tugasmu menjadi wakil mendiang Susiokmu dan juga wakilku!” kata Bu Pun Su yang
berdiri dengan tegak dan wajahnya nampak bersungguh-sungguh.
Cin Hai lalu maju menyerang dan terjadilah
pertempuran yang lebih hebat dari tadi. Kini keduanya berusaha keras untuk
menjatuhkan lawan, semua serangan dimaksudkan untuk menewaskan lawan itu.
Pedang Ang-ho-sian-kiam berubah menjadi gulungan sinar merah, sedangkan pedang
Liong-cu-kiam ketika dimainkan, berubah menjadi sinar putih yang terang sekali.
Sinar pedang kedua pihak bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan kalau
yang menyaksikan pertandingan ini hanya orang-orang biasa, mereka akan merasa
heran sekali melihat sinar putih dan merah bergulung-gulung tanpa melihat
bayangan orang atau pedang, dan tentu mereka menyangka bahwa dongeng-dongeng
tentang para kiam-hiap (pendekar pedang) yang dapat menerbangkan pedangnya yang
disebut hui-kiam (pedang terbang) itu memang benar-benar ada!
Akan tetapi, mata Bu Pun Su dapat melihat
dengan nyata betapa Cin Hai berhasil mendesak Song Kun yang kini hanya dapat
menangkis saja. Biarpun Song Kun menang gesit dan menang pengalaman serta
keuletan, akan tetapi karena pemuda itu selalu menjalankan penghidupan sebagai
seorang pemogoran yang terlalu banyak pelesir, maka kesehatannya tidak
sedemikian sempurna dan setelah terdesak oleh Cin Hai dalam sebuah pertempuran
yang memakan waktu lama dan mereka telah berkelahi seratus jurus lebih,
akhirnya ia menjadi lelah dan daya tahannya sudah banyak berkurang. Sebaliknya,
Cin Hai yang mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya, walaupun banyak
darah keluar dari dua lukanya, masih tetap segar dan bahkan mendesak makin
hebat!
Akhirnya Song Kun terdesak sampai ke pinggir
jurang dan ketika kaki kirinya menginjak tempat kosong sehingga tubuhnya
terjengkang, Cin Hai secepat kilat menusuk ke arah dadanya. Ia masih berusaha
miringkan tubuh, akan tetapi kurang cepat dan pedang Liong-cu-kiam telah masuk
ke dalam dada kanannya dan tubuhnya lalu terguling masuk ke dalam jurang!
Cin Hai memandang ke dalam jurang dalam itu
dan melihat betapa tubuh Song Kun itu terguling-guling dan makin lama makin
kecil sehingga akhirnya lenyap dari pandangan matanya!
“Bagus, Cin Hai, kepandaianmu sudah banyak
maju!”
Cin Hai bagaikan baru sadar dari lamunan dan ia
segera berlutut di depan gurunya tanpa dapat mengeluarkan sepatah pun kata.
Mereka lalu menghampiri Lin Lin yang masih
pingsan dan Bu Pun Su segera menuangkan isi botol itu ke dalam mulut Lin Lin
yang dibuka oleh Cin Hai.
Pemuda itu lalu memondong tubuh Lin Lin,
dibawa masuk ke dalam gua agar jangan terserang panas matahari. Bu Pun Su
mengikuti dari belakang. Setelah dengan hati-hati sekali dan penuh kasih sayang
Cin Hai meletakkan tubuh kekasihnya di atas batu karang, ia dan suhunya lalu
duduk tanpa bergerak maupun mengeluarkan suara. Seluruh perhatian mereka menuju
kepada keadaan Lin Lin, dengan hati penuh harap dan cemas!
Makin lama, wajah Lin Lin yang tadinya nampak
pucat itu, makin menjadi merah, bahkan terlalu merah bagaikan orang yang sedang
marah! Kemudian Lin Lin membuka kedua matanya dan melihat Bu Pun Su, ia lalu
melompat dan bangun berdiri. Kedua matanya yang indah itu memandang marah
kepada Bu Pun Su dan tiba-tiba ia mencabut Han-le-kiam, terus menyerang kakek
itu!
Tentu saja kejadian ini membuat Bu Pun Su dan
Cin Hai terkejut dan heran sekali. Bu Pun Su mengelak dan Cin Hai cepat memburu
dan berseru,
“Lin-moi, mengapa kau menyerang Suhu?”
“Siapa yang menjadi Suhu? Dia orang jahat! Dia
harus dibunuh... lekas kaubantu aku, Hai-ko kekasihku!” Sambil berkata
demikian, kembali Lin Lin menyerang Bu Pun Su.
Cin Hai makin terkejut oleh karena selain
gadis ini tidak mengenal pula kepada Bu Pun Su gurunya sendiri, juga di depan
orang lain gadis ini menyebutnya “kekasihku” satu hal yang belum pernah
terjadi! Dengan hati berdebar kuatir, timbul persangkaan dalam hatinya bahwa
kekasihnya ini telah terganggu ingatannya! Maka ia lalu menubruk dari belakang,
memeluk pinggang kekasihnya itu dan merampas pedangnya.
“Lin Lin... dia adalah Suhu kita...!” Dalam
pelukan Cin Hai yang kuat, Lin Lin tidak berdaya, akan tetapi, ia masih
memandang ke arah Bu Pun Su dengan mata melotot.
“Lin Lin, aku adalah Bu Pun Su!” kata kakek
jembel itu dengan suara mengharukan karena ia merasa bersedih melihat keadaan
muridnya yang terkasih itu.
“Tidak, tidak! Kau laki-laki kurang ajar yang
hendak membunuh kekasihku. Pergi... pergi... Kalau tidak, kau akan kubunuh!”
Setelah memaki-maki lagi, akhirnya tubuh Lin
Lin menjadi lemas dan ia jatuh pulas dalam pelukan Cin Hai!
Bu Pun Su dan Cin Hai menjadi cemas sekali dan
ketika Cin Hai membaringkan tubuh kekasihnya di atas lantai gua, ternyata bahwa
jalan pernapasan gadis itu normal dan tidak nampak tanda-tanda bahwa
kesehatannya terganggu, bahkan ketika ia memeluk Lin Lin yang mengamuk tadi,
Cin Hai merasa betapa tenaga gadis itu telah pulih kembali!
“Bagaimana baiknya, Suhu…?” tanya Cin Hai
dengan bingung.
“Sabar dan tunggulah saja perkembangannya
terlebih jauh. Mungkin sekali mereka sengaja memberi obat yang bukan
semestinya!”
Tak lama kemudian, Lin Lin terbangun dari
tidurnya dan ia memandang sekeliling bagaikan seorang yang baru saja sadar dari
mimpi buruk. Ketika melihat Bu Pun Su, ia lalu maju berlutut dan berseru,
“Suhu...!”
Bu Pun Su dan Cin Hai saling pandang dengan
mata terbelalak.
“Lin Lin, mengapa tadi kau mengamuk dan
menyerang Suhu?” tanya Cin Hai. Lin Lin memandangnya dengan heran dan menjawab,
“Hai-ko, apakah arti pertanyaanmu itu? Aku
menyerang Suhu dan mengamuk? Ah, kau mengimpi barangkali!”
Ternyata bahwa Lin Lin tidak ingat sama
sekali, bahwa tadi ia telah menyerang suhunya sendiri dan mengamuk bagaikan
orang kemasukan setan! Ketika Bu Pun Su memeriksa nadi tangannya, kakek ini
mengangguk puas dan untuk melenyapkan rasa penasaran, ia minta gadis itu
mainkan ilmu silat dengan pedangnya. Lin Lin lalu mencabut keluar Han-le-kiam
dan bersilat di depan guru dan kekasihnya. Mereka berdua merasa kagum karena
ternyata gadis ini telah sembuh benar, tenaga dan kegesitannya kembali sedia
kala. Akan tetapi kalau mereka mengingat hal tadi, mereka menjadi gelisah juga.
“Cin Hai, marilah kita datangi mereka itu
untuk bertanya kepada dukun Mongol mengapa setelah minum obat itu, Lin Lin
menjadi terganggu pikirannya. Lin Lin, kau menantilah saja di sini, dengan
kembalinya tenaga dan kepandaianmu kami tidak perlu kuatir meninggalkanmu
seorang diri di sini. Apa lagi kau dikawani oleh tiga burung sakti itu.” kata
Bu Pun Su yang segera bersuit nyaring memanggil Merak Sakti dan kawan-kawannya.
Tiga ekor burung besar melayang turun dan masuk ke dalam gua itu. “Kalian
bertiga jagalah baik-baik pada Lin Lin!” kata Bu Pun Su kepada tiga burung itu,
kemudian ia bersama Cin Hai lalu berjalan cepat meninggalkan tempat itu untuk
mencari keterangan kepada dukun Mongol.
Setelah menceritakan pengalamannya yang aneh,
yaitu tentang pertempuran antara fihak Mongol dan Turki serta kerajaan yang
melawan Bu Pun Su hingga membuat Nelayan Cengeng dan Yousuf terheran-heran, Ang
I Niocu lalu berkata,
“Di balik peristiwa itu tentu ada sesuatu yang
hebat, karena kalau tidak demikian, tak mungkin Susiok-couw sampai membantu Hai
Kong Hosiang dan kawan-kawannya yang jahat itu. Hal ini perlu sekali
diselidiki.”
“Memang hal itu aneh sekali,” kata Kwee An.
“Hai Kong terkenal jahat dan banyak tipu muslihatnya hingga maut pun
seakan-akan jerih mencabut nyawanya. Ia telah menjadi buta dan terguling ke
dalam jurang akan tetapi kini tiba-tiba ia muncul dan sebelah matanya masih
dapat digunakan, bahkan ia telah berhasil menarik Bu Pun Su Lo-cianpwe
membantunya, tentu ia menggunakan akat muslihat yang keji. Mari kita
menyelidiki mereka!”
“Cin Hai tentu tahu akan hal ini karena ia
sedang pergi mencari Suhu itu, maka sudah pasti ia akan segera kembali ke sini.
Baiknya aku dan Ma Hoa menyusulnya sehingga dapat bertemu di jalan, sedangkan
kalian orang-orang lelaki mencari tahu akan rahasia peristiwa yang aneh itu,
sekalian melihat apakah harta pusaka itu telah diambil,” kata Ang I Niocu.
Semua orang setuju dan demikianlah, Ang I
Niocu bersama Ma Hoa lalu keluar dari Lan-couw untuk menyusul atau mencegat
kembalinya Cin Hai.
Ketika mereka tiba di luar kota Lan-couw,
tiba-tiba mereka melihat bayangan tiga ekor burung besar sedang terbang
berputaran di atas bukit-bukit batu karang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar