BAB 12
Bulan September 1923
William kembali memulai tahun terakhirnya di St. Paul. Ia dipilih menjadi ketua
kelas tingkat lanjutan atas. Tepat 33 tahun setelah ayahnya menyandang jabatan
itu. William tidak memenangkan pemilihan itu dengan cara biasa, yaitu dengan
menjadi atlit paling baik atau menjadi tokoh paling populer di sekolahan.
Matthew Lester, sahabatnya yang terdekat, pasti akan memenangkan pertandingan
atas dasar kriteria itu semua. Soalnya karena William adalah anak yang paling
mengesankan di sekolahan. Dan dengan alasan itu Matthew Lester tak dapat
dimenangkan bertanding melawan dia. St. Paul mendaftar nama William sebagai
kandidat penerima beasiswa matematika Hamilton Memorial di Harvard.
Dan William berjuang
sendirian mencapai tujuan itu selama triwulan musim gugur ini. Ketika William
kembali ke Rumah Merah untuk merayakan Natal, ia menginginkan waktu panjang tak
terputus-putus guna mendalami Principia Mathematica. Tapi hal itu tak terwujud,
sebab ada beberapa undangan pesta dan dansa yang menunggu kedatangannya.
Kebanyakan undangan-undangan itu dapat ditolaknya dengan sopan dan bijak. Tapi
ada satu yang sama sekali tak dapat ia hindari' Kedua nenek perempuan telah
mengorganisasikan sebuah pesta dansa di Rumah Merah, di Louisburg Square'
William terheran-heran pada usia berapi ia akan mampu mempertahankan rumahnya
melawan invasi kedua orang wanita besar itu. Dan ia memutuskan saatnya belum tiba.
Dan paling sedikit hal itu akan menyibukkan para pelayan. Ia mempunyai beberapa
sahabat dekat Di Boston. Tapi hal ini tak menghalangi kedua nenek itu untuk
menyusun daftar para tamu yang istimewa'
Untuk memperingati
kesempatan itu kedua nenek menghadiahkan jas pesta dengan gaya mutakhir berdada-rangkap.
William menerima hadiah itu dengan gaya pura-pura tak begitu berminat. Tapi
kemudian melenggang mengitari ranjang dengan setelan itu. Kerap berhenti mengaca
di cermin. Hari berikutnya ia menelepon jarak jauh ke New York dan meminta Matthew
Lester bergabung ikut meramaikan pesta dansa tersebut. Adik Matthew juga ingin
datang' Tapi ibunya berpendapat itu tidak "sepantasnya"'
William datang menjemput
Matthew di stasiun.
"Pikirkan hal
ini," kata Matthew ketika diantar sopir menuju Beacon Hill. "Bukankah
sudah waktunya engkau mengalami inisiasi pergaulan William. Pasii ada beberapa
gadis di Boston yang tanpa selera sama sekali."
'Mengapa? Apakah sudah
mendapatkan gadis, Matthew?"
"Sudah. Musim dingin
yang lalu di New York'"
"Aku sedang apa waktu
itu?"
"Kemungkinan besar 'memperindah'
Bertrand Russell"
“Kau tat pernah cerita
tentang hal itu.,”
'Tak banyak yang bisa diceritakan.
bagaimanapun juga kamu lebih terlibat dengan bank ayahku daripada dengan
kehidupan cintaku yang sedang naik daun ini. Semuanva terjadi dalam pesta staff
yang diseIenggarakan ayahku untukmerayakan HUT Washington. Suatu pesta pertama untuk unjuk
gigi. Sebenarnya untuk mengemukakan peristiwa itu dalam perspektifnya sendiri,
aku digaet oleh salah seorang sekretaris direktur. Seorang nona besar bernama Cynthia
dengan payudara lebih besar lagi dan bergoyang bila …”
"Engkau menikmatinya?,,
"Ya. Tapi
kukira.Cynthia tidak. Ia begitu mabok untuk bisa menyadari bahwa aku ada disitu
waktu itu. Namun kamu harus mulai dari suatu tempat tertentu. Dan ia bersedia
membanru pputra sang majikan.”
Gambaran sekretares Alan
Llyod yang rapih dan setengah baya melintas di benak William, “Kesempatanku
berinisiasi dengan sekretaris presiden direkturku tampaknya tak begitu
bagus"'Ia merenung.
"Engkau akan
terheran-heran..” kata Matthew penuh pengertian. “Gadis-gadis yang berkeliaran
dengan kaki merapat kebanyakan malah yang tak sabar menunggu, mengangkangkan
kaki. Kini aku menerima kebanyakan undangan. Baik resmi maupun tak resmi. Dalam
kesempatan demikian itu pakaian tak begitu di perhatikan.”
Pak sopir memarkir mobil
di garasi. Sementarankedua anak muda itu menaiki tangga menuju rumah William.
“Engkau pasti sudah
mengadakan beberapa perubahan sejak aku ke mari kali yang lalu. " kata Matthew
sambil mengagumi perabotan rotan dan hiasan kertas dinding baru berpola
paisley. Hanya kursi berlapis kulit warna merah tua tetap tegak di tempat biasanya.
"Rumah ini butuh
sedikit dibuat ceria,, saran William. "Waktu itu sepertinya masih hidup
dalam Abad Batu. Kecuali itu aku tak mau diingatlan akan . . . Ayohlah, ini
bukan waktunya untuli mengobrol tentang hiasan ruang dalam..”
"Pukul berapa semua
orang diharapkan dating untuk pesta ini?”
"Pesta Dansa,
Matthew. Kedua nenek mendesak menamakan ini pesta Dansa.,"
"Hanya ada satu hal
yang dapat dilukiskan sebagai Pesta Dansa dalam kesempatan ini.,,
"Matthew, satu
seketares direktur tidaklah cukup memberimu hak untuk merasa menjadi otoritas
nasional dalam pendidikan seks.”
"Ah, betapa irinya. Dan ini dari seorang
sahabat paling karib lagi!” Matthew pura-pura mengeluh.
William tertawa. Dan
melihat jamnya. “Tamu pertama akan tiba beberapa jam lagi. Kini saatnya mandi air
mancur. Dan ganti pakaian. Apakah ingat membawa tuxedo?"
"Ya. Tapi bila tidak,
aku selalu dapat memakai pryamaku. Biasanya aku meninggalkan salah satu. Tapi
aku belum pernah bisa lupa kedua-duanya. Nyatanya akan mulai gerakan
keranjingan baru bila aku mulai berdansa dalam piyama!”
"Kedua nenekku pasti
tidak menyukai lelucon itu." kata William.
Para penyelenggara catering
tiba pada pukul enam. Seluruhnya berjumlah 23 orang. Dan nenek berdua datang
pada pukul 7. Anggun seperti ratu.mDalam gaun panjang hitam berenda yang
menyapu lantai. William dan Matthew bergabung dengan mereka-di ruang depan
pukul delapan kurang beberapa menit.
William baru akan
mengambil ceri merah dari atas kue istimewa ketika ia mendengar suara nenek
Kane dari belakang.
"Jangan sentuh
makanan itu William. Itu bukan untukmu." William berpaling” Lalu untuk
siapa?” tanyanya sambil mencium pipi neneknya.
"Jangan terlalu
hangat William. Hanya karena engkau lebih tinggi tidak berarti bahwa aku tak
akan memukulmu di pantat.”
Matthew Lester tertawa.
"Nenek, kenalkan ini
sahabatku paling karib, Matthew Lester.”
Nenek Kane mengamatinya
terlebih dahulu dengan cermat melalui kacamatanya sebelum menyapa "Apa
kabar anak muda?”
"Sungguh suatu
kehormatan dapat berjumpa dengan anda, Nyonya Kane. Kiranya anda", mengenal kakek
saya."
"Mengenal kakekmu?
Caleb Longworth Lester? Pernah ia meminang untuk menikahi ku, 50 tahun yang
lalu. Aku menolak. Aku katakan kepadanya ia terlalu banyak minum. Dan itu akan
menyebabkan kematian dini. Aku benar. Maka kalian berdua janganlah minum.
Ingat. Alkohol itu menumpulkan otak."
"Kami hampir-hampir
tak pernah medapat kesempatan karena adanya Larangan (Prohibition).”
'Itu akan segera berakhir,
kiranya " kata nenek Kane sambil berselesma. "Presiden Coolidge lupa pendidikannya.
Ia tak akan jadi presiden seandainya Harding si gila itu tidak meninggal secara
konyol.”
William tertawa. 'Sungguh
nenek, ingatan anda kini menjadi selektif. Tak terdengar sepatah kata pun melawannya
selama pemogokan polisi."
Nyonya Kane tidak berkenan
memberi jawaban.
Para tamu mulai muncul.
Banyak di antara mereka yang sama sekali asing bagi tuan rumah. Tuan rumah sangat
senang melihat Alan Llyod termasuk pendatang awal.
"Kau nampak sehat,
nak" kata Alan. Untuk pertama kalinya dalam hidup Alan kini harus
mendongak menatapWilliam.
“Anda juga. Sungguh baik
hati berkenan datang.”
"Baik hati? Apakah
kamu tahu bahwa undangan datang dari kedua nenekmu? Mungkin aku berani menolak
salah seorang di antara mereka, tapi kedua-duanya - "
“Engkau juga, Alan?"
William tertawa "Ada waktu sedikit untuk bicara secara pribadi?" ia
memandu tamunya menuju sudut yang tenang. "Aku ingin mengubah sedikit
rencana investasi. Dan mulai membeli saham bank Lester bilamana dijual di
bursa. Menjelang berusia 21 tahun aku ingin memegang 5 persen saham
mereka."
"Tak semudah
itu." kata Alan. "Saham Lester tak begitu sering dijual di bursa.
Sebab semuanya berada di tangan swasta. Tapi akan kuusahakan apa yang dapat
dilaksanakan. Apa yang terlintas dalam pikiranmu William?"
"Nah, tujuanku yang
sebenarnya ialah . . ."
'William" nenek Cabot
cepat-cepat memusatkan perhatian pada mereka
"Di sini engkau malah
bersekongkol di sudut dengan Tuan Llyod. Dan aku belum melihatmu berdansa
dengan salah seorang nona muda. Kaukira kita menyelenggarakan pesta dansa ini
untuk apa?"
"Memang benar,"
kata Alan Llyod sambil bangkit.
"Datang dan duduklah
di sebelahku Nyonya Cabot. Dan aku akan menendang anak ini memasuki dunia. Kita
dapat istirahat. Melihatnya berdansa. Dan mendengarkan musik."
"Musik? Itu bukan
musik Alan. Tak lebih dari suara berkoar-koar keras tanpa ada melodi."
"Nenek
tersayang," kata William "Ini adalah Yes, we have no Bananas hit mutakhir."
"Kalau begitu, sudah
tiba saatnya aku meninggalkan dunia ini." kata nenek Cabot sambil
berkedip.
"Tidak pernah."
tanggap Alan dengan galant.
William berdansa dengan
beberapa gadis. Ia hanya samar-samar ingat mereka. Tapi ia harus diingatkan nama-nama
mereka. Dan ketika ia melihat Matthew duduk di sudut, ia senang dapat minta
dimaafkan lolos dari lantai dansa. Ia tak melihat gadis yang duduk di sebelah
Matthew hingga ia tepat berada di mukanya.
Ketika gadis itu mendongak
menatap mata William, William merasakan lututnya terasa loyo.
"Apa kenal Abby
Blount?" tanya Matthew sambil lalu.
"Tidak" kata William
tanpa menyembunyikan dirinya memperlurus letak dasi.
"Inilah tuan rumah,
Tuan William Lowell Kane."
Nona muda itu menundukkan
matanya sopan ketika William duduk berhadapan dengannya. Matthew melihat
pandang William pada Abby. Lalu pergi mencari minuman.
"Bagaimana mungkin.
Seumur hidup aku tinggal di Boston dan kita belum pernah bertemu?" kata
William.
"Kita pernah bertemu
sekali sebelum ini. Waklu itu engkau mendorongku masuk paya di tegal' Kita berdua
berusia 3 tahun saat itu. Aku butuh waktu 14 tahun untuk pulih kembali."
"Maaf” kata William
setelah berhenti sejenak. Dimana ia mencari jawaban tepat yang lebih berbicara.
Tapi sia-sia.
"Rumahmu sungguh
bagus, William."
Hening lagi. Tapi sibuk
mencari-cari' "Terima-kasih" jawab William begitu saja. Ia melirik
Abby. Mencoba nampak seolah-olah ia tidak sedang mengamatinya. Abby langsing.
Ah, begitu langsing. Dengan mata coklat besar-besar. Bulu mata panjang. Sebuah
profil yang menawan William. Abby telah memotong pendek rambut pirangnya. Dalam
tata-rias yang dibenci William hingga saat itu.
"Matthew bercerita
engkau akan ke Harvard tahun depan," Abby mencoba lagi.
"Ya, memang.
Maksudku, mau dansa?”
"Terimakasih,"
jawab Abby.
Langkah-langkah yang
datang dengan mudah beberapa menit sebelumnya kini agaknya meninggalkan William.
Ia menginjak ibu jari Abby dan terus-menerus menyerahkannya kepada pedansa
lain. Ia minta maaf. Dan Abby tersenyum. Ia memegangnya lebih erat sedikit. Dan
mereka terus berdansa.
"Apakah kita kenal
nona muda yang memonopoli William selama jam terakhir ini?" tanya Nenek
Cabot curiga.
Nenek Kane memasang kacamata
cepit hidung. Dan mengamati gadis yang menemani Wiiiam ketika berjalan melewati
jendela terbuka menuju ke rumputan.
'Abby Blount"
demikian penjelasan Nenek Kane.
“Cucu Laksamana Blount?”
tanya Nenek Cabot.
“YA”
Nenek Cabot mengangguk
setuju.
William membimbing Abby
Blount menuju ujung kebun. Dan berhenti di bawah pohon kastanye besar yang
selama ini hanya ia manfaatkan untuk memanjat.
"Apakah engkau selalu
mencoba mencium gadis pertama kali engkau berjumpa dengannya?” Tanya Abby.
"Terus terang” kata
William “selama ini aku belum pernah mencium gadis.”
Abby tertawa. “Rayuan yang
menyenangkan.”
Pertama-tama Abby
menyerahkan pipi merah jambunya. Kemudian bibir semerah mawar dalam posisi mencucup.
Lalu mengajak masuk ke rumah kembali.
Kedua nenek lega melihat
mereka cepat masuk lagi.
Kelak di kamar tidur
William, kedua pemuda membicarakan pesta malam itu.
"Pesta cukup
meriah" kata Matthew. "Boleh dibilang sudah sewajarnya kita berdua
melancong dari New York ke daerah. Walau engkau mencuri gadis-ku.”
"Kau kira ia akan
membantuku menghilangkan keperawananku?" tanya William. Tak menggubris dakwaan
Matthew yang hanya pura-pura.
'Nah, masih ada 3 minggu
untuk membuktikannya. Hanya aku takut jangan-jangan engkau menemukannya masih perawan."
kata Matthew. "Itulah pengalaman keahlianku dalam hal ini. Aku berani bertaruh
denganmu 5 dollar. Ia tidak akan takluk sekalipun terhadap rayuan seorang
William Lowell Kane."
William merencanakan
strategi cermat. Keperawanan adalah satu soal. Tapi kehilangan 5 dollar kepada Matthew
adalah soal lain.
Hampir setiap hari setelah
pesta itu William menjenguk Abby Blount. Memanfaatkan rumah dan mobil sendiri
pada usia 17 tahun. Ia mulai merasa ia akan lebih berhasil tanpa kehadiran
orang-tua Abby yang sangat santun tapi cukup ketat. Mereka nampaknya selalu
berada dalam batas jarak tengah. Dan ia tak nampak lebih dekat dengan tujuannya
ketika hari terakhir liburan itu sudah di ambang pintu.
Dengan keyakinan akan
memenangkan 5 dollar, pada hari itu pagi-pagi benar William
mengirim serangkai mawar kepada Abby. Mengajaknya makan malam di rumah makan
Joseph. Dan akhirnya berhasil memandunya kembali ke kamar depan rumahnya.
"Bagaimana dapat
kauperoleh sebotol wiski? Itu kan larangan?"
"Ah, tak begitu
sulit." bual William.
Kenyataannya ia
menyembunyikan sebotol anggur Bourbon milik Henry Osborne di dalam kamar tidurnya,
begitu Osborne pergi. Dan ia kini gembira tak menumpahkan nya di selokan
seperti niatnya semula.
William menuang minuman
yang membuatnya megap-megap. Dan membuat Abby berlinang air-mata.
Ia duduk di sebelah Abby.
Dan merangkul pundaknya. Abby menyesuaikan duduk hingga merasa mapan.
"Abby, kau memang
sangat cantik.”, gumamnya membuat pendahuluan terhadap rambut yang keriting pirang.
Abby memandangnya serius.
Mata coklat terbuka lebar-lebar. "Oh, William" dengusnya. .,Engkau sungguh
hebat."
Wajah Abby yang mirip
boneka itu memang memikat. Ia membiarkan dicium. Karena menjadi berani, William
mencoba menyelipkan tangan dari pergelangan pindah ke payudara. Dan berhenti di
situ. Seperti polisi lalu-lintas menyetop arus mobil yang sedang bergerak maju.
Abby memerah. Tersinggung. Dan mendorong tangan William turun supaya lalu-lintas
dapat jalan terus.
"William, jangan
lakukan itu."
“Mengapa tidak?" tanya
William yang sia-sia berjuang memperoleh kembali pegangannya atas Abby.
'Sebab tak akan diketahui
akan berakhir di mana."
"Pikiranku cukup wajar'
Sebelum ia dapat memulai
kembali pendekatannya, Abby menolaknya dan cepat-cepat bangkit. Merapikan
pakaiannya.
“Aku harus pulang
sekarang, William"
"Tapi kamu baru saja
tiba"
'Ibu ingin mengetahui apa
saja yang telah kulakukan."
"Kamu bisa
mengatakan: tak melakukan apa-apa."
“Sebaiknya tetap begini
saja." tambah Abby.
"Tapi aku akan
kembali besok." Ia menghindari mengatakan'Ke sekolah"
"Kalau begitu, engkau
bisa menyurati aku, William."
Bukan seperti Valentino,
William tahu bila ia kalah. Ia bangkit. Meluruskan dasinya. Membimbing Abby.
Dan mengantarkannya pulang dengan mobil. Hari berikutnya ketika kembali di
sekolah, Matthew menerima 5 dollar uang taruhan yang diulurkan kepadanya. Ia
mengernyitkan alis pura-pura keheranan.
"Nah, coba bilang
satu kata saja Matthew, kamu akan kukejar dengan tongkat baseball mengitari St.Paul."
"Aku tak dapat
memikirkan sepatah kata pun yang bisa mengungkapkan rasa simpatiku yang sangat
sangat dalam."
"Matthew, ayo kukejar
mengitari St. paul.”
William mulai menyadari
istri tuan rumahnya selama 6 bulan terakhir di St. paul. Nyonya ini wanita cantik.
Perut dan pinggulnya agak menjorok. Tapi menampilkan payudara yang montok
dengan baik. Dan rambutnya yang hitam lebat itu tersasak di atas kepala. Hanya
baru saja mulai diselai rambut kelabu.Pada suatu hari Sabtu ketika William
terkilir pergelangannya di lapangan hoki, nyonya Raglan memerbannya dengan
kompres dingin. Nyonya Raglar berdiri lebih dekat lagi dari seperlunya. Memberi
kesempatan kepada William menggesekkan tangan pada payudaranya. William
menyukai perasaan itu. Kemudian pada kesempatan lain ketika William panas dan harus
tunggu di kamar sakit beberapa hari lamanya, Nyonya Raglan menyajikan makanan
William ke kamar. Lalu duduk di ranjangnya. Tubuhnya menyentuh kaki William
selama ia makan, hanya diselai seprei tipis. Ia juga menyukainya.
Nyonya ini didesas-desuskan
menjadi isteri kedua Grumpy Raglan. Tak ada seorang pun di rumah yang dapat
membayangkan Grumpy dapat memperoleh seorang isteri pun. Dan kadang-kadang
nyonya Raglan dengan mengeluh dan sambil diam menunjukkan bahwa ia berbagi
ketidakpercayaan mereka atas nasibnya.
Sebagai bagian dari
kewajibannya selaku kapten rumah William harus melapor kepada Grumpy Raglan
pada pukul setengah sebelas tiap malam. Bila ia sudah selesai keliling malam
setelah lampu padam, dan hendak pergi tidur sendiri. Pada suatu Senin malam
ketika ia mengetuk pintu Grumpy seperti biasa, ia terkejut mendengar suara
Nyonya Raglan mempersilakannya
masuk. Nyonya Raglan berbaring di kursi malas, berpakaian gaun panjang dari
sutera sedikit mirip buatan Jepang.
William memegang tombol
pintu erat-erat. 'Semua lampu telah padam. Dan aku telah mengunci pintu depan,
Nyonya Raglan. Selamat malam."
Nyonya Raglan meletakkan
kakinya di lantai' Paha putih mulus sesaat tersingkap dari bawah sutera yang
dikenakannya.
“William, kamu selalu buru-buru.
Engkau pasti tak dapat menunggu saat memulai hidupmu." Nyonya Raglan
menuju ke meja di sisi. "Mengapa tak tinggal sebentar minum coklat panas?
Aku telah membuat coklat cukup untuk dua orang. Aku lupa bahwa Pak Raglan baru
pulang hari Sabtu."
Kata “Sabtu" terdengar
sangat ditekankan' Ia menyajikan secangkir coklat panas kepada William' Dan menatapnya
untuk mengetahui apakah arti ucapannya mengesan dalam diri William. Ia puas.
Maka ia menyerahkan cangkir itu kepadanya sambil membiarkan tangan William menyentuh
tangannya. William mengaduk coklat panas sepenuh perhatian.
"Gerald pergi menghadiri
konperensi." lanjut nyonya itu memberi penjelasan. Baru pertama kali itu William
mendengar nama pertama Grumpy Raglan'
"Tutuplah pintunya,
William. Kemarilah dan silakan duduk."
William ragu. Ia menutup
pintu. Tapi ia tak mau duduk di kursi Grumpy' Iapun tak mau duduk di sebelah
nyonya Raglan. Ia memutuskan duduk di kursi Grumpy kurang bermaksiat
daripada duduk di sebelah Nyonya Raglan. Maka ia menuju ke kursi itu.
“Jangan. Jangan"
katanya sambil menepuk-nepuk kursi di sebelahnya. William beringsut. Dan dengan
gugup duduk di sebelah Nyonya Raglan. Memandangi cangkirnya. Mencari ilham.
Ketika tak menemukan ilham, ia menenggak seluruh coklat isi cangkir itu. Walau
lidahnya terbakar. Ia lega melihat nyonya Raglan bangkit. Nyonya Raglan
memenuhi cangkirnya kembali. Tak mempedulikan gumam penolakan William. Dengan
diam ia melintasi kamar. Memutar Victrola dan memasang jarum di atas piringan
hitam. William masih tetap memandangi lantai ketika nyonya Raglan kembali ke
tempat.
"William, engkau
pasti tidak tega membiarkan seorang wanita berdansa sendirian, yakan?”
William mendongak. Nyonya
Raglan sedikit bergoyang tepat dengan irama musik. William berdiri dan
merangkulnya dengan gaya resmi. Grumpy dengan mudah dapat diselipkan di anlara
mereka berdua. Setelah beberapa birama nyonya Raglan mendekati William. Dan
William menatap tegap di atas pundak nyonya Raglan. Untuk menunjukkan bahwa ia
tidak memperhatikan tangan kiri nyonya Raglan telah berpindah dari pundak
menyusup ke belakang punggungnya. Ketika piringan hitam berhenti, William
mengira ia akan memperoleh kesempatan kembali menikmati coklat panas. Tapi nyonya
Raglan membalik piringan hitam, dan kembali dalam pelukannya sebelum William
dapat bergerak.
"Nyonya Raglan,
kiranya aku harus . . .”
"santai sedikit
William."
Akhirnya William berani
memandang mata Nyonya Raglan. William mencoba menanggapinya. Tapi ia tak bisa
bicara. Tangan nyonya Raglan kini menjelajahi punggung William. Dan ia merasa
paha nyonya Raglan dengan lembut mendekati selangkang. William merapatkan
pelukan di pinggang nyonya Raglan'
"Nah, ini lebih
baik." kata nyonya Raglan.
Mereka pelan-pelan
mengitari ruangan. Terjalin dengan rapat. Makin lama makin lambat. Seirama dengan
musik sementara piringan hitam mendekati akhirnya. Ketika nyonya Raglan
menyelinap pergi dan mematikan lampu, William menginginkannya cepat-cepat
kembali. Ia berdiri dalam kegelapan' Tak bergerak. Mendengar keriut sutera. Dan
hanya bisa melihat bayangan sedang melepas pakaian. Penyanyi telah menyelesaikan
lagunya. Dan jarum menggores akhir piringan hitam. Sementara itu nyonya Raglan
membantu William melepas pakaian dan membimbingnya menuju kursi malas. Dalam
kegelapan ia menggerayangi nyonya Raglan. Dan jari-jarinya yang malu-malu masih
"perawan" itu menemukan berbagai bagian tubuh yang tak terasakan
sebagaimana ia bayangkan. Cepat-cepat William menarik tangannya untuk kembali
meraba daerah yang relative telah dikenalnya di sekitar payudara' Jari-jarinya
tidak merasakan keengganan. Dan ia mulai mengalami perasaan yang belum pernah
ia mimpikan. Ia hendak mengerang keras-keras. Tapi segera menahan diri. Takut
kalau-kalau bersuara terlalu tolol. Tangan nyonya Raglan memegangi punggungnya.
Dan lembut mendorongnya untuk menindihnya. William bergerak berputar-putar. Ia
bertanya-tanya bagaimana dapat “memasuki,, nyonya Raglan tanpa menunjukkan
bahwa ia tak berpengalaman sama sekali. Tak semudah yang ia harapkan semula. Dan
detik demi detik ia makin putus asa. Kemudian sekali lagi jari-jari nyonya
Raglan menggerayangi perut William dan membimbingnya penuh keahlian. Dengan
bantuannya ia memasukinya dengan mudah. Dan langsung mencapai orgasme.
“Maafl” kata William. Tak
pasti apa yang hendak dilakukannya kemudian. Ia tetap menindihnya dengan diam
beberapa lamanya. Kemudian nyonya Raglan berkata "Esok akan lebih baik
lagi. Suara jarum menggores piringan hitam.terdengar telinganya lagi.
Esok harinya seharian
suntuk nyonya Raglan memenuhi benak William. Seolah-olah hari itu tak ada akhirnya.
Malam itu nyonya Raglan mendesah. Pada hari Rabu ia terengah. Hari Kamis ia
mengerang. Pada hari Jumat ia memekik. Hari Sabtu Grumpy Raglan kembali dari
konperensi. Sementara itu pendidikan William telah selesai.
Pada akhir liburan Paskah,
tepatnya pada hari Kenaikan Isa Almasih, Abby Blount akhirnya takluk terhadap
rayuan William. Matthew kehilangan lima dollar. Dan Abby kehilangan
keperawanan. Setelah Nyonya Raglan, Abby Blount seolah-olah merupakan antiklimaks.
Itulah satu-satunya peristiwa yang pantas dicatat dalam seluruh liburan itu,
sebab Abby pergi ke Palm Beach bersama orang-tuanya. Dan William menghabiskan kebanyakan
waktunya dengan buku-bukunya terkurung dalam rumah. Di rumah hanya bergaul
dengan kedua neneknya dan dengan Alan Llyod. Ujian akhirnya tinggal beberapa
minggu lagi'
Dan karena Grumpy Raglan
tidak lagi pergi menghadiri konperensi, maka William tak mempunyai kegiatan-kegiatan
lain di luar rumah. Selama triwulan terakhir mereka, William dan Matthew
berjam-jam belajar di ruang studi mereka di St. Paul. Tak pernah berbicara
kecuali bila Matthew menjumpai soal matematika yang tak bisa ia pecahkan.
Ketika ujian-ujian yang dinanti-nanti akhirnya tiba, ternyata hanya berlangsung
selama seminggu'
Keras. Saat ujian itu
usai, kedua anak itu optimis tentang hasilnya. Tetapi selama mereka menanti, dari
hari ke hari, kepercayaan diri mereka mulai berkurang. Beasiswa matematika
Hamilton Memorial di Harvard hanya diberikan atas dasar persaingan. Dan terbuka
bagi setiap anak sekolah di Amerika. William sama sekali tak bisa menentukan
betapa ketat perlawanan mereka. Ketika waktu semakin lama berlalu, sedang ia
belum juga mendengar apa-apa, William mulai mengandaikan yang paling buruk. Ketika
telegram tiba, diserahkan oleh seseorang anak kelas dua, William sedang di
lapangan main baseball bersama anak-anak kelas 3 SMA. Mereka menghabiskan
hari-hari terakhir triwulan itu, sebelum meninggalkan sekolahan. Hari-hari
gerah musim panas di mana anak laki-laki banyak yang dikeluarkan karena
mabok-mabokan, menjebol jendela, atau mencoba meniduri salah seorang putri para
guru atau bahkan isteri mereka.
William sedang mengumumkan
keras-keras kepada siapa saja yang mau mendengarkan, bahwa ia segera melakukan
pukulan home run yang pertama. "Inilah Babe Ruth dari St. Paul" seru
Matthew. Klaim yang berlebihan itu disambut banyak tertawa. Ketika telegram
diserahkan kepadanya, seluruh soal ..homerun" itu tiba-tiba terlupakan. Ia
melempar tongkat pemukul dan merobek amplop kuning kecil. Pelempar bola
menunggu. Tak sabar lagi. Begitu pula para penjaga lapangan. Sementara William
mimbaca berita dengan pelan.
"Mereka mau membuatmu
jadi professional,, teriak seseorang dari bidai pertama. Memang, kedatangan
sebuah telegram adalah kejadian yang tidak biasa dalam suatu permainan
baseball. Matthew masuk dari luar untuk bergabung dengan William. Sambil
mencoba menyimpulkan berita baik atau buruk dari raut muka sahabatnya. Tanpa
mengubah ungkapan raut muka, William meneruskan telegram itu kepada Matthew.
Matthew membacanya. Lalu melompat tinggi di udara dengan senangnya. Kemudian menjatuhkan
secarik kertas itu di tanah. Menemani William lari mengelilingi bidai, walau
tak ada seorang pun yang memukul bola. Pelempar bola menghampiri telegram. Memungutnya.
Membacanya. Dan dengan penuh semangat melempar bola ke tempat_tempat duduk
terbaik di stadion. Secarik kertas iiu lalu dengan getolnya diteruskan dari
satu pemain ke pemain lainnya. Yang terakhir harus membacanya ialah anak kelas
dua itu. Ia telah menyebabkan banyak kesenangan, tetapi tak menerima ucapan
terimakasih sepatah pun. Maka ia berpendapat paling sedikit ia berhak
mengetahui sebab-musabab kegembiraan yang sedemikian besar.
Telegram itu dialamatkan
kepada Tuan William Lowell Kane. Dan anak itu mengandaikan bahwa orangnya ialah
pemukul bola yang tak becus itu. Telegram itu berbunyi: “Selamat menerima
beasiswa matematika Hamilton Memorial ke Harvard. Keterangan rinci menyusul.
Abbot Lawrence Lowell, Presiden." William tak pernah menyelesaikan home
run. Dan ia dijadikan bulan-bulanan para penangkap dan pengembali bola sebelum
mencapai home.
Matthew melihat dengan
gembira sukses sahabatnya yang paling karib. Tapi ia sedih bila memikirkan bahwa
itu dapat berarti kini mereka mungkin berpisah. Williarn juga merasakan hal
itu. Tapi ia tak berkata apa-apa. Kedua anak itu harus menunggu 9 hari lagi
untuk mengetahui bahwa Matthew juga diterima di Harvard.
Telegram lain tiba,
menyusuli berita tersebut diatas. Telegram ini berasal dari Charles Lester memberi
selamat putranya dan mengundang kedua anak muda minum teh di Hotel Plaza di New
York. Kedua nenek mengirimkan ucapan selamat kepada William.
Tetapi sebagaimana nenek
Kane memberi informasi kepada Alan Llyod sebagai kesaksian "Anak itu hanya
melakukan apa yang diharapkan daripadanya. Dan itu tak lebih dari apa yang
telah dilakukan oleh ayahnya sebelum ini."
Kedua anak muda itu
berjalan-jalan di Fifth Avenue pada hari yang telah ditentukan dengan rasa
bangga. Mata gadis-gadis tertarik pada kedua anak muda tampan itu. Keduanya berpura
-pura tidak mengetahuinya. Mereka membuka topi jerami mereka ketika memasuki
pintu depan Plaza pada pukul empat kurang semenit. Berjalan dengan sembrono ke
Kebun Palem'
Di mana mereka melihat
keluarga mereka telah menunggu. Di sana duduk tegak di kursi empuk kedua nenek
Kane dan Cabot, mengapit seorang wanita tua lain, yang menurut asumsi William,
adalah padanan nenek Kane dalam keluarga Lester. Tuan dan Nyonya Lester, putri
mereka, Susan, (yang matanya tak pernah lepas memandangi William) dan Alan
Llyod membuat lengkapnya lingkaran itu. Jadi masih tersedia dua kursi kosong
untuk William dan Matthew.
Nenek Kane memanggil
pelayan terdekat dengan alisnya penuh wibawa.
"Sediakan poci teh yang
baru dan tambah kuenya."
Pelayan bergegas ke dapur.
"Satu poci teh dan kue krem Nyonya," katanya ketika kembali.
"Ayahmu pasti bangga
akan dirimu hari ini, William." kata orang tua itu kepada yang lebih besar
diantara kedua pemuda itu.
Pelayan bertanya-tanya apa
yang akan dilakukan anak muda tampan itu hingga memperoleh komentar sedemikian
itu.
William kiranya tidak akan
melihat pelayan itu sekejap pun bila tidak mengenakan gelang perak yang melingkar
di pergelangannya. Gelang itu bisa saja berasal dari toko Tiffany' Ada sesuatu
yang tidak cocok yang memusingkannya'
“William” kata Nenek Kane'
“Dua kue sudah cukup. Ini bukan makan terakhir kali sebelum kamu masuk Harvard."
Ia memandang nyonya itu
penuh kasih sayang'
Dan ia lupa akan gelang
Perak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar