BAB
13
Malam itu Abel terbaring
di kamar kecil Hotel plaza. Terjaga. Ia memikirkan seorang pemuda bernama William
yang ayahnya pasti merasa bangga karenanya. Untuk pertama kali ia menyadari apa
yang hendak dicapainya dalam hidupnya. Ia ingin dipandang sebagai setara oleh
para William di dunia.
Abel mengalami perjuangan
berat sesampai di New York. Ia mendiami sebuah kamar yang hanya berisi dua
ranjang. Maka ia harus berbagi ranjang dengan George dan dua orang sepupunya.
Akibatnya Abel hanya tidur bila salah satu ranjang itu kosong. Paman George tak
dapat memberi pekerjaan kepada Abel. Beberapa minggu ia hidup cemas. Dan selama
itu ia menghabiskan kebanyakan uang tabungannya untuk dapat bertahan hidup.
Sementara itu ia mencari-cari kerja dari Brooklyn sampai Queens. Akhirnya ia menemukan
pekerjaan di sebuah toko tukang daging. Ia memperoleh upah 9 dollar untuk masa
kerja 6,5 hari. Dan ia bisa tidur dengan persyaratan seperti di atas. Toko itu
berada di jantung masyarakat polandia yang mandiri di bagain kota sebelah
Timur. Dan dengan cepat Abel tak bersabar lagi terhadap terisolasinya
teman-teman senegaranya. Banyak di antara mereka yang bahkan tak berusaha
belajar bicara Inggris.
Abel masih mengunjungi George
dan teman wanitanya yang berganti-ganti tiap akhir pekan. Tapi ia sendiri
menghabiskan masa-sama bebasnya di sore hari untuk sekolah malam guna
memperbaiki kemampuannya membaca dan menulis Inggris. Ia tidak malu walau
kemajuannya hanya pelan-pelan. Sebab ia sama sekali tak berkesempatan banyak
menulis Inggris sejak usia 8 tahun. Tapi dalam dua tahun ia bisa fasih dalam
bahasa baru itu. Dan tinggal sedikit sisa-sisa logatnya. Kini ia merasa siap ke
luar dari toko daging'
Tapi untuk apa? Dan
bagaimana? Kemudian sementara ia senang menyiapkan kaki anak domba pada suatu
pagi, ia mendengar dari salah seorang langganan besar tokonya yaitu manager
catering Hotel Plaza. Orang itu menggerutu kepada tukang daging bahwa terpaksa
harus memecat pelayan mudanya karena pencurian kecil-kecilan. "Bagaimana
mungkin aku mencari gantinya dalam waktu singkat ini?" Demikian keluh
sang manager. Tukang daging tak bisa memberi pemecahan soal. Abel bisa. Ia
mengenakan satu-satunya setelan. Berjalan 47 blok ke kota. Dan melintas 5 blok
lagi. Serta memperoleh pekerjaan itu.
Setelah ia mapan di Hotel
Plaza, ia mendaftarkan diri mengikuti kursus bahasa Inggris lanjutan di Universitas
Columbia. Setiap malam ia belajar tekun. Sambil memegang kamus di satu tangan
dan tangan yang lain memegang pena untuk corat-coret. Selama pagi hari antara
menyajikan sarapan dan menyiapkan makan siang, ia mengkopi tajuk dari New York Times.
Dan mencari kata-kata yang tak pasti ia ketahui dalam kamus Webster loakan
miliknya.
Selama 3 tahun berikutnya
Abel menyeruak jalannya melalui peringkat-peringkat di Plaza, hingga akhirnya
ia naik pangkat dan menjadi pelayan di Oat Room (Ruang Eik). Seminggu
memperoleh gaji 25 dollar ditambah persenan. Dalam dunianya sendiri kini ia tak
kekurangan suatu apa pun.
Guru Abel sangat terkesan
akan kemajuannya karena ia memang rajin. Ia menganjurkan Abel mendaftarkan diri
kursus malam lebih lanjut, yang merupakan langkah pertamanya menuju ijazah B.
A. Bacaan waktu senggangnya ia pindahkan dari bidang linguisitik ke bidang ekonomi.
Dan ia mulai mengkopi tajuk-tajuk dari The Wall Street Journal. Dan bukan lagi
tajuk-tajuk The Times. Dunia barunya mencaploknya sepenuhnya. Dan kecuali
dengan George ia tidak lagi berhubungan dengan teman-teman Polandia dari masa
permulaan dahulu.
Bila Abel melayani makan
di Plaza ia selalu mengamati tamu-tamu terkenal dengan cermat. Keluarga Baker,
Loeb, Whitney, Morgan dan Phelp. Dan ia mencoba menganalisis mengapa
orang-orang kaya itu berbeda. Ia membaca H. L. Mencken, The American Mercury, Scott
Fitzgerald, Sinclair Lewis, dan Theodore Dreiser dalam usaha tak henti-hentinya
mencari ilmu pengetahuan. Ia mempelajari The New York Times sementara para pelayan
lain membolak-balik Mirror. Dan ia membaca The Wall Street Journal dalam waktu
istirahat. Sedangkan pelayan-pelayan lain baru terkantuk-kantuk. Ia tidak pasti
kemana arah bimbingan ilmu yang baru saja ia peroleh. Tapi ia tidak pernah
meragukan pemeo Baron bahwa pendidikan yang baik itu benar-benar tak ada
gantinya.
Pada suatu hari Kamis di
bulan Agustus 1926, ia sungguh ingat kesempatan itu sebab bertepatan dengan
kematian Rudolph Valentino. Dan banyak wanita yang berbelanja di Fifth Avenue
mengenakan pakaian hitam. Abel, seperti biasa, melayani makan di meja-meja sudut.
Meja-meja sudut itu selalu dikhususkan bagi tokoh-tokoh bisnis teratas yang
hendak makan siang tersendiri tanpa rasa cemas jangan-jangan didengar orang
lain. Abel senang melayani di meja itu. Dan bila nada pembicaraan itu optimis,
dan telah melibatkan perusahaan besar maupun kecil, ia akan menanam modal 100
dollar di dalam perusahaan kecil. Dengan harapan akan menjadi jalur
pengambil-alihan atau perluasan dengan bantuan perusahaan yang lebih besar itu.
Jika tuan rumah memesan cerutu pada akhir jamuan, Abel lalu menambah
investasinya menjadi 200 dollar. Tujuh dalam 10 kasus, nilai saham yang telah
ia pilih dengan cara demikian itu akan berlipat ganda dalam waktu 6 bulan.
Suatu masa yang bisa diterima Abel untuk memegang suatu saham. Dengan sistim
ini ia hanya kehilangan uang tiga kali selama 4 tahun bekerja di Plaza.
Yang membuat istimewanya
pelayanan di meja sudut pada hari itu ialah bahwa para tamu memesan cerutu
sebelum jamuan dimulai. Lebih lama kemudian ada lebih banyak tamu lagi yang
bergabung. Mereka memesan cerutu lebih banyak lagi. Abel mencari nama tuan rumah
di buku tamu pemesan. Woolworth. Abel telah melihat nama itu dalam kolom finansial
baru-baru ini, tapi ia tak bisa langsung menempatkannya di mana. Nama lain
ialah Charles Lester, seorang pengayom Plaza yang sudah tak asing lagi. Seorang
bankir terkemuka di New York sebagaimana diketahui Abel. Sambil melayani
sedapat mungkin ia mendengarkan pembicaraan mereka sebanyak-banyaknya. Para
tamu sama sekali tidak memperhatikan pelayan yang penuh minat itu. Abel tak
dapat menemukan kepentingan khusus yang rinci, namun ia menyimpulkan bahwa ada
perjanjian yang terjalin pada pagi hari itu. Dan akan diumumkan kemudian di
hari itu kepada khalayak ramai yang kiranya sama sekali tidak mengharapkannya.
Kemudian ia ingat. Ia telah melihat namanya di The Wall Street Journal. Woolworth
adalah orang yang ayahnya memulai toko dengan barang-barang lima dan sepuluh
sen-an. Kini putranya mencoba mengumpulkan uang untuk mengadakan perluasan.
Sementara para tamu menikmati hidangan desert (kebanyakan memilih kue keju arbei
sesuai anjuran Abel), ia mengambil kesempatan ke luar dari ruang makan beberapa
saat untuk menilpun pialangnya di Wall Street.
"Woolworth itu
berdagang apa?" tanyanya. Sisi sana berhenti sejenak. "Dua
seperdelapan. Akhir-akhir ini sangat banyak gerak. Tapi aku tak tahu mengapa."
jawabnya.
"Borong saja semampu
rekeningku sampai kau mendengar suatu pengumuman dari perusahaan kemudian hari
ini."
"Apa isi pengumuman
itu?" tanya pialang yang kebingungan. "Saya tak bebas mengemukakan
hal itu." jawab Abel.
Pialang itu cukup
terkesan. Catatan riwayat Abel di masa silam menyarankannya untuk tidak menanyakan
lebih lanjut mengenai sumber informasi klien-nya. Abel berbegas kembali ke
Ruang Jati (Ruang Oak) pada waktunya untuk menyajikan kopi kepada para tamu.
Untuk beberapa lamanya mereka bersantai. Dan Abel kembali ke meja saat mereka
sudah siap-siap akan pergi. Orang yang memungut cek mengucapkan terimakasih
kepada Abel atas pelayanannya yang penuh perhatian. Dan sambil berpaling ia berkata
hingga teman-temannya dapat mendengarnya.
"Anakmuda mau
persen?"
"Terimakasih
Pak" jawab Abel.
"Belilah saham
Woolworth."
Semua tamu tertawa. Abel
juga tertawa. Ia menerima uang 5 dollar uluran orang tersebut. Dan ia berterimakasih
kepadanya. Selama 6 minggu berikutnya ia meraih untung lebih lanjut sebesar
2.472 dollar dari saham Woolworth.
Ketika Abel menerima
kewarganegaraan penuh Amerika Serikat beberapa hari setelah ulang tahunnya yang
ke-21, ia memutuskan kesempatan itu pantas dirayakan. Ia mengundang George dan
Monika, pacar George yang terakhir. Seorang gadis bernama Klara, bekas pacar
George, untuk menonton film Don Juan yang dibintangi John Barrymore. Kemudian
ke Bigo untuk makan malam. George masih merupakan magang di toko roti pamannya
dengan gaji 8 dollar seminggu. Dan walau Abel masih memandangnya sebagai
sahabat paling karib, ia sadar akan perbedaan yang semakin membesar antara
George yang tak berduit dengan dirinya yang kini memiliki 8000 dollar lebih di
bank. Dan kini ia sedang menyelesaikan gelar B. A. ekonomi di Universitas Columbia.
Abel tahu persis mau ke mana. Sedang George sudah berhenti membual kepada setiap
orang bahwa ia akan menjadi walikota New York.
Mereka berempat menikmati
sore itu. Sore yang pantas diingat, sebagian besar hanya karena Abel tahu presis
apa yang dapat diharapkan dari restoran yang baik. Ketiga orang temannya
semuanya terlalu banyak makan. Dan ketika rekening disampaikan, George ternganga
karena jumlah biayanya lebih daripada yang ia terima selama satu bulan. Abel
membayar rekening itu tanpa melihatnya lagi untuk kedua kalinya. Jika harus
membayar rekening, bersikaplah seolah-olah jumlah itu tak ada akibatnya
apa-apa. Bila memang berakibat, jangan pergi ke restoran lagi. Tapi apa pun
yang kaulakukan, jangan beri komentar ataupun nampak kaget. Itu suatu hal lain
yang diajarkan orang-orang kaya kepadanya. Ketika pesta itu usai pada pukul dua
dini hari, George dan Monika kembali ke kota bagian timur. Sementara Abel
merasa telah memperoleh Klara. Ia menyelundupkannya melalui pintu masuk pelayan
ke dalam Plaza menuju lift binatu. Lalu naik ke kamarnya. Klara tak membutuhkan
banyak bujukan ke ranjang. Dan Abel menanganinya agak tergesa-gesa. Ingat bahwa
ia harus tidur sungguh-sungguh sebelum melaporkan tugas menyediakan sarapan. Ia
puas dapat menyelesaikan tugasnya pukul setengah tiga. Dan ia tidur nyenyak
terus-menerus hingga wekker membangunkannya pukul enam pagi. Ini memberinya
cukup waktu untuk "mengerjakan" Klara sekali lagi, sebelum ia
mengenakan pakaian' Klara duduk di ranjangnya. Dan tercenung memandang Abel. Sementara
Abel mengenakan dasi kupu-kupu putihnya. Lalu mencium Klara secara serampangan.
"Kamu harus
meninggalkan tempat ini sebagaimana engkau datang. Bila tidak, engkau akan sangat
menyulitkan diriku. "kata Abel "Kapan kita bertemu lagi?"
"Tidak akan"
kata Klara dingin.
"Mengapa tidak?"
tanya Abel terkejut. "Ada sesuatu yang telah kulakukan?"
"Bukan. Sesuatu yang
tidak kaulakukan " Ia meloncat ke luar ranjang. Dan mulai berpakaian
cepat-cepat.
"Apa yang tidak
kulakukan?" tanya Abel tersinggung. "Engkau kan menghendaki tidur
bersamaku bukan?"
Klara membalik dan
menghadapinya "Kukira memang itu mauku, hingga aku menyadari bahwa kamu sama
dengan Valentino. Kamu berdua telah mati. Kamu mungkin tokoh terbesar milik
Plaza dalam tahun sulit ini. Tapi di ranjang kamu bukan apa-apa. harus tahu itu
"
Kini Klara berpakaian
lengkap. Ia berhenti. Tangan memegangi handel pintu. Memantapkan diri untuk
berpisah. "Coba katakan, apa pernah mengajak seorang gadis tidur bersamamu
lebih dari sekali?"
Tercenung Abel memandangi
pintu yang dibanting tertutup. Dan sepanjang siang hari itu merasa cemas akan
tuduhan Klara. Ia tak kenal siapa pun yang dapat diajak berdiskusi tentang
masalah itu. George hanya tertawa saja kepadanya. Dan semua staf di Plaza mengira ia
tahu segala hal. Dan ia berpendapat bahwa masalah ini seperti masalah-masalah lainnya
yang ia jumpai dalam hidup, ini dapat diatasi dengan pengetahuan atau
pengalaman.
Setelah makan siang, pada
suatu hari setengah hari kerja, ia pergi ke toko buku Scribner di Fifth Avenue.
Di masa silam toko buku itu telah memecahkan semua masalah ekonomi dan
linguistik. Tapi ia tak dapat menemukan apa-apa yang agak nampak mulai membantunya
mengatasi masalah-masalah seksualnya. Buku khusus mereka tentang etiket tidak
ada gunanya. The Moral Dilemma (Dilema Moral) secara fisik ternyata tidak
cocok.
Abel meninggalkan toko
buku tanpa membeli sebuah buku pun. Dan menghabiskan siang hari itu dalam
gedung bioskop kumal di Broadway. Bukannya menonton film melainkan hanya
memikirkan apa yang dikatakan Klara. Film itu sebuah kisah cinta yang
dibintangi Greta Garbo. Dan tidak mencapai tahap cium-ciuman kecuali rol film
terakhir. Maka tak memberinya bantuan melebihi toko buku Scribner.
Ketika Abel meninggalkan
gedung bioskop, diluar telah gelap. Dan angin dingin bertiup atas Broadway.
Abel masih tetap dibuat keheranan bahwa tiap kota dapat begitu ramai dan terang
benderang di malam hari seperti siang. Ia mulai berjalan menuju Fiftyninth
Street, mengharapkan supaya udara segar dapat menjernihkan pikirannya. Ia
berhenti di sudut Fifty-second Street untuk membeli koran petang.
"Cari gadis?"
tanya sebuah suara dari sudut kios surat kabar.
Abel tertegun mendengar
suara itu. Wanita itu sekitar 35 tahun. Berdandan mencolok. Mempergunakan
lipstick menurut mode baru. Baju putih dari sutera. Satu kancing bajunya
terlepas. Dan ia mengenakan gaun panjang hitam, berkaos kaki hitam dan bersepatu
hitam.
"Hanya lima dollar.
Pasti sesuai harga uangnya." katanya sambil menyingkap pinggul dari satu
sudut. Menunjukkan belahan di gaun. Dan terseruaklah pucuk kaos kakinya.
"Di mana?" tanya
Abel.
"Di blok berikutnya.
Aku punya tempat sendiri." Ia memalingkan kepala untuk menunjukkan kepada
Abel arah mana yang dimaksud. Dan untuk pertama kalinya ia dapat melihat wajah
wanita itu dengan jelas disinari penerangan jalan. Wanita itu cukup menarik.
Abel mengangguk setuju. Dan wanita itu memegang lengannya. Mereka mulai
berjalan. "Jika polisi menyetop kita," katanya "kamu adalah sahabat
lama. Dan namaku Joyce." Mereka berjalan ke blok berikut. Masuk ruangan
kecil
dan jorok. Abel terkejut melihat ruangan kumuh yang ditinggali wanita itu. Cuma
ada satu lampu. Satu kursi. Tempat cuci muka. Dan ranjang untuk dua orang yang
sudah kusut. Jelas ranjang itu sudah dipergunakan beberapa kali hari itu.
"Kamu tinggal di
sini?" tanya Abel dengan nada tak percaya.
"Astaga, tidak. Aku
hanya mempergunakan tempat ini untuk praktek."
"Mengapa kau lakukan
ini?" tanya Abel. Dalam diri kini ia bertanya-tanya apa masih akan meneruskan
rencananya itu.
“Aku punya dua orang anak
yang harus kubesarkan. Dan aku tak punya suami. Apa bisa mencari alasan yang
lebih baik lagi? Nah, sekarang kau menghendaki aku atau tidak? "
"Ya, tapi tidak
dengan caramu." kataAbel. Wanita itu memandangnya lesu. "Kamu bukan
salah seorang sinting pengikut Markis de Sade, bukan?,,
"Pasti bukan!"
kata Abel.
"Kamu tidak akan
menyulutku dengan rokok?,,
"Oh tidak. Semacam
itu sama sekali tidak,” kata Abel kaget. "Aku ingin diajari baik-baik. Aku
menginginkan pelajaran."
"Pelajaran? Apa kamu
main-main? Kau kira ini apa? Sekolah sanggama malam?"
"Ya, semacam
itu." kata Abel. Dan ia duduk disudut ranjang menerangkan kepadanya
bagaimana reaksi Klara malam sebelumnya. "Apa kamu bisa menolongku?"
Wanita kupu malam itu
mengamati Abel dengan teliti. Terheran-heran jangan-jangan ini merupakan Aprilmop.
'Tentu! " kata wanita
itu pada akhirnya. "Tapi biayanya 5 dollar setiap kali pelajaran selama 30
menil"
“Lebih mahal daripada B.
A. Columbia" kata Abel "Aku akan membutuhkan berapa pelajaran?"
"Itu tergantung. Kamu
cepat belajar atau tidak. Ya kan?"jawabnya.
"Nah, marilah kita
mulai sekarang juga." Kata Abel, sambil mengambil lembaran 5 dollar dari
saku dalamnya. Ia menyerahkan uang itu kepada Joyce. Joyce menyelipkan uang itu
di bagian atas kaos kaki. Suatu pertanda ia tak pernah melepas stocking itu.
"Lepaskan pakaian,
sayang." katanya, "kapan tak akan belajar banyak bila berpakaian
lengkap." Ketika pakaian sudah lepas, wanita itu mengamatinya menyelidik. "Kamu
memang bukannya Douglas Fairbanks, bukan? Jangan khawatir. Tak penting
tampangmu seperti apa bila lampu telah padam. Yang penting apa yang bisa
kauperbuat."
Abel duduk di tepi
ranjang. Sementara wanita itu mulai bercerita bagaimana merengkuh seorang wanita.
Ia sungguh-sungguh heran bahwa Abel benar-benar tidak menginginkannya. Dan
lebih heran lagi ketika ia tetap muncul setiap hari selama dua minggu berikutnya.
"Kapan aku tahu aku
telah selesai?" tanya Abel.
"Kau akan tahu, sayang
" jawab Joyce. "Jika engkau dapat mendatangkanku, engkau mampu mendatangkan
mumi Mesir." Mula-mula ia mengajarkan kepadanya
bagian-ba-gian tubuh wanita yang sensitif. Kemudian ia dilatih bersabar dalam
bercinta. Dan tanda-tanda yang mengungkapkan kepadanya bahwa apa yang sedang ia
lakukan itu menyenangkan. Bagaimana mempergunakan lidah dan bibirnya di setiap
tempat selain di mulut wanita. Abel mendengarkan dengan cermat semua yang dikatakan
Joyce. Dan ia mengikuti instruksi Joyce dengan taat. Barangkali malah agak
sedikit terlalu mekanis. Walaupun setiap kali Joyce meyakinkan bahwa Abel
bagaimanapun juga semakin membaik. Tapi Abel sama sekali tak punya bayangan
apakah Joyce sungguh mengatakan kebenaran. Hingga kira-kira sekitar 3 minggu
kemudian, dan telah mengeluarkan uang 110 dollar, Joyce tiba-tiba hidup-hidup masuk
ke dalam pelukan Abel untuk pertama kalinya. Hal ini sangat mengejutkan dan
sekaligus menyenangkan Abel. Joyce memegangi kepala Abel rapat-rapat dekat
kepalanya, sementara Abel dengan lembut menjilati putik susu Joyce. Ketika Abel
mengusap Joyce antara kedua kakinya dengan lembut, ia mendapati Joyce basah untuk
pertama kalinya. Dan setelah Abel "memasukinya", Joyce merintih.
Suatu suara yang belum pernah Abel dengar sebelumnya. Sangat menyenangkan
baginya. Joyce mencekam punggung Abel, memintanya supaya jangan berhenti.
Rintihan itu berlangsung terus. Kadang keras. Kadang lembut. Akhirnya Joyce
memekik keras. Dan tangan yang mencekam Abel erat-erat lalu meregang santai. Ketika
Joyce telah mendapatkan napasnya kembali, ia berkata "Sayang, engkau baru
saja diwisuda paling atas di kelasmu."
Abel bahkan belum juga
mencapai puncak. Abel merayakan kedua wisudanya dengan membayar karcis calo untuk
menonton tinju dan mengajak George, Monika, dan Klara yang agak enggan untuk menyaksikan
Gene Tunney melawan Jack Dempsey memperebutkan juara dunia kelas berat. Malam
itu setelah pertandingan tinju, Klara merasa sudah menjadi kewajibannya untuk
tidur bersama Abel' Sebab Abel telah mengeluarkan uang banyak untuknya. Menjelang
pagi Klara memintanya untuk tidak meninggalkannya. Abel tidak pernah
mengajaknya jalan-jalan lagi.
Setelah wisuda di
Columbia, Abel merasa tidak puas dengan kehidupan di hotel Plaza. Tapi tak
dapat membayangkan bagaimana harus mencapai kemajuan sendiri. Walaupun ia
bekerja membantu orang Amerika yang paling kaya dan paling berhasil, ia tak
bisa mendekati salah seorang dari mereka secara langsung. Sebab ia tahu bahwa bila
melakukan hal itu, ia bisa-bisa akan kehilangan pekerjaannya. Bagaimanapun juga,
para langganan tak akan menganggap serius aspirasi seorang pelayan. Abel
memutuskan untuk menjadi kepala pelayan.
Suatu hari Nyonya dan Tuan
Ellsworth Statler makan siang di hotel Plaza, ruang Edward, tempat Abel bertugas
jaga selama seminggu. Ia berfikir kesempatannya telah tiba. Ia melakukan
sepenuh kemampuannya untuk mengesankan pemilik hotel ternama itu. Dan
makanannya memang lezat. Ketika pergi, Statler berterimakasih kepada Abel
dengan hangat. Dan memberinya persen 10 dollar. Tapi itulah akhir kerjasama
mereka. Abel memandanginya menghilang melalui pintu putar Plaza. Terheran-heran
kapan ia akan memperoleh liburan.
Sammy, kepala pelayan,
menepuknya di pundak.
"Apa yang kauterima
dari Tuan Statler?,,
"Tak menerima apa-apa”
kata Abel.
“Apa ia tak memberimu
persen?”, tanya Sammy tak percaya.
'Oh ya, sudah barang
tentu,' kata Abel “Sepuluh dollar". Ia menyerahkan uang itu kepada Sammy.
"Ini lebih baik"
kata Sammy. “Aku tadi mengira engkau sedang berbisnis ganda denganku, Abel. Sepuluh
dollar itu bagus. Bahkan bagi Tuan Statler. Ia pasti terkesan oleh kerjamu.”
“Ah tidak."
"Apa maksudmu?,,
tanya Sammy.
"Ah tak jadi soal”
kata Abel sambil berjalan pergi.
"Tunggu dulu, Abel.
Ada surat untukmu. Tuan yang duduk di meja 17, Tuan Leroy, ingin bicara empat
mata denganmu.”
"Tentang apa, Sammy?”
"Mana saya tahu?
Kemungkinan besar ia menyukai mata birumu."
Abel menengok ke nomor 17.
Hanya bagipenurut dan yang tak terkenal. Sebab meja itu ditata sangat buruk.
Dekat pintu putar masuk dapur. Abel biasanya mencoba menghindari pelayanan meja
di ujung ruangan itu.
"Siapa dia itu?"
tanya Abel "apa maunya?"
"Aku tak tahu."
kata Sammy. Enggan mendongak."Saya tidak berhubungan dengan latar belakang
kehidupan para langganan dengan cara seperti kamu. Berilah mereka makanan
lezat. Pastikan memperoleh persen yang banyak. Dan semoga mereka dating kembali.
Mungkin engkau berpendapat ini filsafat sederhana. Namun pasti sudah cukup
bagiku. Mungkin mereka lupa mengajarkan yang elementer di Columbia. Nah, kini
dapatkan obyekanmu di sana, Abel. Dan bila ada persen, langsung berikan uang
itu kepadaku."
Abel tersenyum kepada
Sammy yang sudah membotak itu. Lalu menuju ke meja nomor 17. Ada dua orang
duduk menghadap meja. Seseorang berpakaian jas kotak-kotak warna-warni, yang
tak disukai Abel. Dan seorang wanita muda berambut pirang keriting. Sesaat
menjerat perhatian Abel. Tanpa pikir panjang Abel mengandaikan bahwa wanita itu
adalah pacar di New York dari pria yang berjas kotak-kotak'
Abel memasang senyum
"mohon maaf'. Bertaruh dollar perak dengan dirinya bahwa orang itu akan mempermasalahkan
pintu putar dan ingin ganti meja supaya mengesankan si pirang yang menarik
perhatian. Tak ada seorang pun senang dekat dengan bau dapur dan pintu putar
buka-tutup. Tapi tak mungkin menghindari pemakaian meja itu bila hotel sedang
penuh penghuni tetap dan banyak penduduk New York yang datang makan di restoran.
Mereka memandang para tamu tak lebih sebagai pengganggu. Mengapa Sammy selalu
menyuruhnya menangani soal-soal tamu sulit seperti itu? Abel
mendekati si jas kotak-kotak dengan hati-hati.
"Anda meminta bicara
dengan saya, pak?,,
"Ya memang,"
jawabnya dengan logat selatan.
"Namaku Davis Leroy
dan ini putriku Melanie.,' Sesaat mata Abel meninggalkan Leroy dan bertemu
dengan sepasang mata hijau yang belum pernah ia lihat.
“Aku telah mengamatimu
Abel, selama 5 hari."
Tuan Leroy mengatakannya
dengan logat selatan yang berpanjang-panjang itu. Bila didesak, Abel harus
mengakui ia tidak begitu memperhatikan Tuan Leroy hingga 5 menit terakhir itu.
"Aku sangat terkesan
oleh apa yang kulihat, Abel. Sebab kamu memang punya mutu. Sungguh bermutu. Dan
aku selalu mencari-carinya. Ellsworth Statler orang gila tidak memilihmu.”
Abel mulai memandang lebih
dekat lagi kepada Tuan Leroy. Pipi ungu, dan janggut berlipat member kesaksian
kepada Abel bahwa ia tak mengikuti ..Larangan"(minuman keras). Dan
piring_piring kosong di mukanya menjadi penyebab perut gendut seperti bola basket.
Tapi baik nama maupun wajah tak mengingatkan suatu apa kepadanya. pada waktu
makan siang biasa Abel tahu latar belakang setiap orang yang duduk di Ruang
Edward menghadap 37 mija dari 39 meja yang ada di sana. pada saat itu meja Tuan
Leroy adalah salah satu dari dua meja yang tak diketahuinya.
Pria dari selatan masih
bercerita terus. “Nah, aku bukannya salah seorang multimilioner yang harus duduk
di meja sudut bila menginap di Plaza."
Abel terkesan. Pelanggan
biasa tak diharapkan bisa menilai segi positif dari berbagai meja.
"Tapi bagi diriku sendiri,
beritaku tak begitu buruk. Nyatanya hotelku terbaik di satu saat akan tumbuh mengesankan
seperti Plaza ini."
"Aku yakin pasti
demikian, Pak." kata Abel mengulur waktu. Leroy,Leroy, Leroy. Nama itu tak
menunjuk apa-apa bagiku.
"Nah, mari berterus
terang, nak. Hotel nomor satu di kelompokku membutuhkan pembantu manajer yang
mengurusi restoran. Bila berminat, datanglah ke kamarku jika telah selesai
tugas.'
Ia menyerahkan kartu nama
lebar bersulam timbul kepadaAbel.
"Terimakasih,
Pak." kata Abel sambil mengamati kartu itu. "Davis Leroy. Kelompok
Hotel Richmond. Dallas." Di bawahnya tertera semboyan "Suatu saat punya
hotel di setiap negara bagian." Nama itu masih juga tak berarti apa-apa
bagi Abel.
"Aku mengharapkan
bertemu kembali" kata orang Texas yang berjas kotak-kotak itu.
"Terimakasih Pak"
kata Abel. Ia tersenyum kepada Melanie, yang matanya dingin-dingin hijau seperti
semula. Lalu kembali ke Sammy. Kepala masih menunduk sambil menghitung-hitung
uang tarikannya.
"Pernah dengar
tentang Kelompok Hotel Richmond Sammy?"
"Ya tentu. Suatu
waktu adikku menjadi pelayan yunior di sana. Pasti sekitar 8 atau 9 hotel.
Semuanva ada di selatan. Dipimpin seorang gila dari Texas. Tapi aku
tak ingat nama orang itu. Mengapa engkau menanyakannya?" tanya Sammy
sambil mendongak curiga.
"Tak ada alasan
khusus" kata Abel.
"Kamu selalu punya
alasan. Apa maunya meja nomor l7?" kata Sammy.
"Menggerutu tentang
suara dari dapur. Aku tak dapat menyalahkannya."
'Ia mengharapkan aku harus
berbuat apa? Apa harus menempatkannya di beranda? Apa mengira dirinya itu John
D. Rockefeller?"
Abel meninggalkan Sammy
menghitung dan menggerutu sendiri. Dan membersihkan mejanya sendiri secepat
mungkin. Lalu ia pergi ke kamarnya. Kemudian mulai meneliti Kelompok Hotel
Richmond. Telepon satu dua kali sudah mencukupi untuk me muaskan keinginan
tahunya. Kelompok itu ternyata sebuah perusahaan swasta. Keseluruhannya ada 11 hotel.
Yang paling mengesankan adalah sebuah gedung lux dengan 342 kamar di Chicago
yaitu Hotel Richmond Continental. Maka Abel memutuskan tak akan kehilangan
apa-apa bila mengunjungi Tuan Leroy dan Melanie. Ia memeriksa nomor kamar Tuan
Leroy: 85. Suatu kamar kecil yang lebih baik. Ia datang sekitar pukul empat.
Dan kecewa karena Melanie tidak ada.
"Saya gembira. Abel
dapat mampir. Duduklah."
Selama 4 tahun lebih ia
bekerja di Plaza. Kini untuk pertama kalinya ia duduk sebagai tamu.
"Kau digaji
berapa?" tanya Tuan Leroy.
Pertanyaan mendadak itu
mengagetkan Abel'
"Aku menerima sekitar
25 dollar seminggu ditambah persen."
"Aku akan mulai
menggaiimu dengan 35 dollar seminggu."
"Di hotel mana
itu?" tanya Abel'
'Aku ini hakim yang
berkarakter, Abel' Engkau selesai bertugas di meja pukul setengah empat' Dan setengah
jam kemudian engkau mampu menemukan hotel yang mana. Benar kan?"
Abel mulai menyukai orang
itu"Hoetl Richmond Continental di Chicago?" Abel mencobanya'
Davis Leroy tertawa.
"Aku tadi benar' Dan memang benar tentang dirimu."
Pikiran Abel bekerja cepat. 'Pembantu manajer itu dibawahkan
berapa orang lagi?"
"Hanya manajer dan
aku. Manajer itu memang lambat tapi lembut. Sudah mendekati pensiun' Dan karena
aku masih harus mengurusi 10 hotel lain, kiraku engkau tak akan mengalami
banyak kesulitan' Walau aku harus mengakui Chicago merupakan kota kesayanganku.
Hotelku yang pertama di utara' Dan dengan Melanie sekolah di sana, aku berada
di Kota Berangin itu lebih larna daripada seharusnya' Jangan pernah berbuat
kesalahan seperti orang-orang New York dengan merendahkan Chicago' Mereka beranggapan
Chicago hanyalah perangko besar di atas amplop sangat besar- Dan mereka itulah
yang jadi amplopnya."
Abel tersenyum.
"Hotel itu kini agak
kurang terawat'" lanjut Tuan Leroy. "Karena
pembantu manajer mendadak pergi. Maka aku membutuhkan seorang yang baik untuk menggantikannya
dan menjajaki sepenuh kemungkinannya. Kini dengarkan, Abel, aku telah mengamatimu
dengan cermat selama 5 hari terakhir ini. Dan aku tahu engkaulah orangnya. Apa
engkau berminat datang ke Chicago?',
"Empat puluh dollar
dan sepuluh persen dari setiap tambahan laba. Dan pekerjaan itu saya terima.,,
"Apa?" kata
Davis Leroy ternganga. “Tak ada manajer saya yang dibayar atas dasarlaba yang
lain-lain akan membuat onar bila mereka mengetahuinya.”
"Aku tak akan
menceritakannya kepada mereka, jika anda tak menceritakannya.” kata Abel.
“Kini aku tahu, aku telah
memilih orang yang tepat. Bahkan bila sedang tawar-menawarpun ia jauh lebih
baik dari seorang yankee dengan 6 orang putri.” Ia menepuk sisi kursi. “Aku
setuju dengan syarat-syarat kerjamu, Abel.”
"Apa anda menghendaki
surat rekomendasi Tuan Leroy?"
"Rekomendasi? Aku
mengetahui latar belakangmu dan riwayatmu sejak engkau meninggalkan Eropa hingga
engkau memperoleh gelar BA ekonomi di Columbia. Kau kira aku mengerjakan apa di
hari-hari belakangan ini? Aku tak akan menempatkan seseorang yang masih
membutuhkan rekomendasi dalam posisi nomor 2 di hotelku yang terbaik. Kapan
bisa mulai?"
"Sebulan lagi.”
"Baiklah. Aku
mengharapkan bertemu denganmu kemudian, Abel." Abel bangkit dari kursi. Ia
merasa lebih enak berdiri. Bersalaman dengan Davis Leroy, pria dari meja 17
yang dikhususkan untuk orang-orang tak dikenal.
Meninggalkan New York dan
Hotel Plaza yang merupakan rumah pertama sejak ditinggalkannya kastil dekat
Slonim, ternyata lebih memilukan daripada yang dapat diantisipasi Abel.
Mengucapkan selamat tinggal kepada George, Monika dan beberapa teman-temannya
di Columbia mendadak terasa sangat berat.
Sammy dan teman-teman
pelayan lain mengadakan pesta perpisahan.
"Kita belum mendengar
yang terakhir tentang dirimu, Abel Rosnovski," demikian kata Sammy. Dan mereka
semua setuju.
Hotel Richmond Continental
di Chicago terletak sangat sesuai di Michigan Avenue. Di jantung salah satu kota
yang berkembang paling cepat di Amerika. Ini menyenangkan Abel yang telah
mengenal pemeo Ellsworth Statler bahwa ada 3 hal yang penting dalam usaha
hotel: letak, letak, letak. Abel cepat menemukan bahwa letak itu memang
satu-satunya hal yang baik dari hotel Richmond. Davis Lerroy telah meremehkan
kasusnya ketika ia berkata bahwa hotel itu kurang dikelola dengan baik. Desmond
Pacey' manajer itu, bukannya lambat dan
tenang seperti kata Davis
Leroy. Ia memang pemalas. Dan tidak membuat dirinya disayang Abel ketika ia
memasukkan pembantu manajer ini ke dalam kamar kecil dalam bangunan staf di
seberang jalan, dan bukan di gedung utama hotel. Setelah pembukuan hotel Richmond
diperiksa, dengan cepat ditemukan bahwa hotel itu hanya ditempati kurang dari
40%. Dan restorannya tak pernah lebih dari separuh penuh. Itu kiranya disebabkan
karena makanannya memuakkan. Di antara mereka anggota staf mempergunakan 3 atau
4 bahasa, tapi nampaknya tak ada yang berbahasa Inggris. Dan mereka pasti tidak
menunjukkan tanda-tanda menyambut baik orang Polandia tolol dari New York.
Tak sulit mengetahui
mengapa pembantu manajer terakhir pergi dengan tergesa-gesa. Jikalau Richmond itu
merupakan hotel kesayangan Leroy, maka Abel mengkhawatirkan keadaan kesepuluh
hotel lainnya dalam kelompok itu. Walau majikan yang baru nampaknya memiliki poci
emas tanpa alas pada akhir pelanginya dari Texas. Berita terbaik yang didengar
Abel selama hari-hari pertama di Chicago ialah bahwa Melanie ternyata anak
tunggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar