Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 13 Februari 2012

Pendekar Buruk Muka - Can ID 41

Sambungan ..... selamat menikmati !!!


Jilid 41

”Tak usah merepotkan Cici untuk bertarung melawan Iblis cabul ini “.

Siapa tahu baru berbicara sampai ditengah jalan, gadis yang muda itu sudah mendampratnya :“ Lelaki busuk. Tempat ini tak ada kesempatan bagimu untuk turut berbicara ! “.

Ketika pertama kali bersua dengan Ciu Li Ya tempo hari, Giam In Kok pernah pula diumpat habis habisan, karena itu dia sama sekali tidak merasa tersinggung.

Sambil melompat turun dari atas jaring, serunya lagi sambil menjura : ”Aku dan Enci Ciu mempunyai hubungan melebihi hubungan tulang dan daging…. “.

“ Apa ?. Kau mengatakan Enci Ciu ?. Siapa dia ? “ tanya gadis itu segera berseru tertahan.

“ Dia adalah saudara seperguruan kalian, Enci Ciu Li Ya ! “.

“ Kau kenal dengannya ? “.

“ Tentu saja. Hubungan kami bagaikan tulang dan daging….. “.

“ Apa maksudmu bagaikan tulang dan daging ? “.

Ban Keh Seng Hud merasa amat mendongkol karena dirinya tidak digubris, sambil tertawa dingin dia segera menyela :“ Maksudnya tulang belulang bocah busuk itu tergabung didalam daging Encimu sehingga tidak bisa dibedakan lagi mana tulang dan mana dagingnya….. “.

Namun sayang gadis itu baru berusia sembilan dua puluh tahunan, tentu saja dia tak mengerti apa maksud perkataan tersebut, serunya kemudian :“ Tapi….. tulang dan daging, toh tidak bisa dipisahkan ? “.

Sebaliknya sinona yang lebih tua usianya segera berubah hebat paras mukanya. Dengan wajah tersipu karena malu, ia berteriak :“ Sumoay, tutup mulutmu ! “.

Setelah itu dia berkata lagi :

“ Menyingkirlah dulu, biar kubunuh bangsat ini ! “.

“ Siapa yang hendak kau bunuh ? “ tanya nona cilik itu terkejut.

“ Kedua duanya harus dibunuh ! “.

“ Kenapa ? “.

“ Karena perkataannya barusan !? “.
Giam In Kok menjadi tercengang, segera serunya :“ Aku toh tidak salah bicara, mengapa kau hendak membunuhku juga….. ? “.

“ Seandainya bukan gara gara anjing busuk ini, Ciu Samcay-ku tak akan menderita malu. Kedua orang itu sekali tiga uang. Sama sama busuknya….. “.

“ Bila Cici bisa menerangkan alasannya aku pasti akan menerimanya dengan senang hati, tapi…… “

“ Hei bocah busuk, nampaknya kau tak sabar untuk hidup terus “ sela Ban keh Seng Hud sambil tertawa. “ Bila kita mau bekerjasama dan melarikan kedua gadis ini kita masing masing bisa mendapatkan manfaatnya. Tapi bila kau tak mau, silahkan saja dibantai oleh kedua gadis itu “.

Waktu itu, meskipun Giam In Kok sama sekali tidak terluka, namun peristiwa yang baru saja dialami cukup banyak menguras tenaga dalamnya, maka dari itu sebisa mungkin dia hendak mengulur waktu untuk mengatur nafasnya.

Karenanya setelah mendengar perkataan ini segera ia tertawa getir sambil berkata :“ Hemmm, kau iblis tua berniat mengadu domba. Siauya tidak akan terperangkap oleh siasatmu itu ? “.

“ Kita sama sama meraih keuntungan. Masa cara kerjasama beginipun disebut masuk perangkap segala ! “.

Hawa amarah menyelumuti wajah Giam In Kok, dia hanya mendengus tanpa menjawab.

Dalam pada itu meskipun sinona kecil tadinya belum bisa mengartikan maksud yang sebenarnya dari tulang dan daging tadi. Namun ia menjadi benci setelah mendengar Ban keh Seng Hud hendak menculiknya. Tanpa ambil perduli sampai dimanakah taraf kepandaian silat yang dimiliki, ia segera membentak keras dan melontarkar jaring mustikanya ketubuh lawan.

Ban keh Seng Hud tertawa terbahak bahak dan menggerakkan tanganya untuk menyambar jaring ular tersebut, kemudian ia membentak : “ Hayo kemari ?! “.

Tampak dia menggetarkan pergelangan tangannya. Tahu tahu sinona kecil itu sudah sempoyongan dan terjatuh. Seandainya ia tidak mengibaskan tangannya dengan cepat niscaya tubuhnya benar benar akan terjatuh kedalam pelukan iblis tua tersebut. Berubah hebat paras muka gadis itu saking terkejutnya, dengan suara bentakan keras ia menyerang : “ Lihat serangan ! “.

Senjata angkinnya digulung kedepan bagaikan pelangi. Sementara pukulan dahsyat yang dilepaskan dengan telapak tangan kirinya langsung membabat kearah dada lawan. Tapi Ban keh Seng Hud telah mengibaskan ujung bajunya sambil merampas jaring kulit ular tadi, kemudian sambil melompat mundur sejauh sepuluh kaki, katanya sambil tertawa : “ Nama besar Say Lo Seng Bo sudah menggemparkan seluruh dunia persilatan, tak nyana begitu geblek murid yang diajarkan olehnya. Hemmmm, murid bodoh seperti kalian ini apa gunanya ?“.

Saking malunya sinona kecil tadi segera menangis tersedu sedu sambil meloloskan pedangnya ia segera berteriak : “ Cici, aku akan beradu jiwa denganmu ! “.

Ibarat naik dipunggung harimau, gadis itu mendadak turut membentak dan maju melanjutkan serangannya pula. Waktu itu walaupun Giam In Kok bermaksud mengatur pernafasannya untuk melebur kasiat dari empedu ular kedalam tubuhnya, namun ditengah suara bentakan yang begitu keras, pikirannya menjadi kalut. Dia kuatir kedua gadis tersebut dipecundangi lawan, takut pula musuh mencari gara gara dengannya. Dalam keadaan seperti ini bagaimana mungkin pikirannya bisa dibikin tenang.

Dengan dasar tenaga dalam yang dimilikinya sekarang, asal memperoleh ketenangan sejenak saja maka dia akan berhasil melebur kasiat empedu ular tersebut. Tapi agaknya situasi seperti mengancam terus, tak sedikit waktupun dapat dipergunakan secara baik.

Ban keh Seng Hud sendiripun jarang menemui musuh tangguh. Tapi sejak menderita kekalahan ditangan Giam In Kok tahun lalu, ia telah melatih diri secara tekun hingga ilmu silatnya memperoleh kemajuan yang amat pesat. Tak heran kalau tak sampai sepuluh gebrakan saja kedua gadis itu sudah terjerumus kedalam bahaya. Menyaksikan peristiwa ini, tahu tahu Giam In Kok berseru keras :“ Harap kalian menunggu sebentar ! “ menyusul seruan itu ia segera melontarkan pukulan kedepan.

“ Blaanggg…. ! “.

Menyusul bentrokan senjata. Tampak Ban keh Seng Hud terhuyung huyung mundur sejauh tiga langkah lebih. Tetapi Giam In Kok sendiripun tergetar mundur sampai lima langkah lebih, bahkan sepasang bahunya turut tergetar.

Melihat peristiwa ini, Ban keh Seng Hud segera tertawa terbahak
bahak, kemudian jengeknya : “ Haahhhh….haaahhh….haaahhh…. Bocah Ajaib Bermuka Seribu…. Ternyata ilmu silat Cing Khu Hu Pit hanya begitu saja….. “.

Ditengah gelak tawanya yang nyaring, sepasang tangannya segera diluruskan kebawah, kemudian diiringi suara gemerutukan nyaring, tampak selapis kabut merah segera menyelimuti telapak tangannya.

Sambil tertawa tinggi Giam In Kok segera berseru :“ Hwesio gadungan, ilmu pukulan berapimu dulu tak membara kini berubah menjadi membara. Nampaknya kau sudah kehabisan kemampuan sehingga akan mengeluarkan ilmu andalan…. “.

Tapi sebelum perkataan ini selesai diucapkan, mendadak terdengar seseorang berbisik didekat telinganya dengan suara yang lembut “ Harap suahiap jangan bertindak gegabah. Tenaga pukulan musuh telah berhasil mencapai ketingkatan yang tidak berwujud lagi“.

Giam In Kok dapat mengenali suara tersebut sebagai suara perempuan. Namun ia tidak melihat bayangan tubuhnya juga tidak tahu berasal dari mana. Ketika melihat lawan dan kedua gadis itu tidak menunjukkan sikap seperti turut mendengar bisik bisik tersebut. Dengan cepat tahulah dia bahwa ada orang yang telah memberi peringatan kepadanya dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara.

Peristiwa ini dengan cepat membuatnya terkejut bercampur girang….

Ia merasa girang karena ada tokoh sakti yang turut menyaksikan kejadian tersebut sehingga tak nanti dia akan kehilangan nyawa, tapi diapun kuatir kemampuannya tidak mampu membendung serangan musuh dengan segenap tenaga, terutama setelah sebagian tenaga dalamnya tercuri oleh Ko Kiok Ciu.

Berbeda dengan kedua gadis itu, mereka tidak mengerti apa bedanya pukulan membara atau tidak, meski Giam In Kok tidak memiliki kekuatan yang cukup besar, namun paling tidak masih
sanggup memukul mundur musuhnya sejauh tiga langkah. Karenanya sambil membentak, serentak mereka menerjang maju kedua sisi arena.

“ Jangan ! “ teriak Giam In Kok dengan perasaan terkejut.

Bersamaan waktunya dia segera menerjang maju. Tapi pada saat itulah Ban keh Seng Hud telah melepaskan pukulannya kearah sepasang gadis tersebut. Sinona berusia berusia agak tua segera mengetahui datangnya ancaman bahaya. Cepat dia menutup diri sambil melompat mundur kebelakang.

Berbeda dengan sinona kecil itu, selain ilmu silatnya masih rendah, gerakan tubuhnyapun lamban, sembil menjerit kaget pakaiannya segera terbakar. Cepat cepat Giam In Kok memburu maju kedepan dan memadamkan kobaran api tersebut dengan sebuah pukulan. Siapa tahu punggung nona itupun ikut terbakar. Dalam keadaan begini terpaksa dia menyambar tubuh gadis tersebut dan diajak bergulingan diatas tanah. Dengan tindakan tersebut api segera dapat dipadamkan.

Namun akibatnya dari peristiwa tersebut separuh pakaian nona kecil itu jadi hancur dan terlepas dari tubuhnya. Dalam keadaan demikian nona kecil itu terduduk diatas tanah sambil menangis tersedu sedu.

Ban keh Seng Hud yang menyaksikan kejadian ini kontan saja tertawa terbahak bahak, serunya : “ Haahhh….haahhh…..haahhh…. bocah busuk, bagus amat nasibmu… enak sekali memeluk gadis mulus itu….. “.

Sesungguhnya Giam In Kok hanya bertujuan menolong orang. Ia sama sekali tidak mempunyai pikiran bercabang. Setelah menurunkan sinona keatas tanah, dia segera memburu maju kedepan melintangkan tangannya didepan dada, serunya kemudian:“ Hemmmm…. Jelek jelek begini kau masih terhitung pentolan dari kaum sesat yang berusia seabad lebih dan mempunyai pamor tinggi. Mengapa perbuatanmu justru cabul dan tidak mengerti sopan santun sama sekali ?! “.

“Haahhh…haahhh…haahhh… kau sibocah busuk ingin menasehati aku “ jengek Ban keh Seng Hud dingin.

“ Mengapa tidak !. Bahkan aku perlu memberi pelajaran kepadamu. Lihat serangan ! “. Dalam gusarnya karena perlakuannya terhadap kedua nona itu, Giam In Kok segera melancarkan serangan dengan ganas dan tanpa mengenal ampun lagi.

Dalam waktu singkat bayangan tangan menyelimuti seluruh angkasa. Angin pukulan menderu deru. Dalam waktu singkat seluruh tubuh lawan telah terbungkus desingan angin tajam tersebut.

Mendadak Ban keh Seng Hud berpekik nyaring, telapak tangannya diputar sangat kencang sehingga menciptakan gulungan bayangan merah yang makin mengembang luas. Dalam waktu singkat sekeliling arena telah diselimuti kabut tersebut. Sinona yang agak tua itu merasa pemuda ini sangat aneh, maka sambil membopong adik seperguruannya yang bugil dan bersembunyi dibalik batang pohon besar, diam diam dia mengikuti jalannya pertarungan itu.

Mula pertama Ban keh Seng Hud menyangka si Bocah Ajaib Bermuka Seribu sedang menggunakan siasat untuk menjebaknya, karena iitu setiap langkahnya dilakukan dengan berhati hati sekali, bahkan mengambil sikap untuk mempertahankan diri.

Tapi lama kelamaan setelah dilihatnya peluh mulai membasahi jidat Giam In Kok, nafasnya mulai memburu dan pukulannyapun makin lama makin pendek. Tak tahan lagi ia segera tertawa terbahak bahak : “ Haahhhh…. Haahhh….haahhhh… rupanya kau sibocah keparat kelewat banyak bermain cinta sehingga banyak kehilangan tenaga dalam. Hemmmm, hari ini jangan harap kau bisa lolos dari tanganku dalam keadaan hidup…. “.

Melihat rahasianya sudah terbongkar. Giam In Kok merasa semakin gelisah, segera bentaknya : “ Iblis tua, lihat saja nanti apakah siauya mampu merenggut nyawamu atau tidak ? “.

Masih mending kalau ia tidak berbicara. Begitu ia selesai mengeluarkan suara, nada suaranya kedengarannya gemetar. Hawa murninyapun ikut pula tersendat sendat.

Ban keh Seng Hud adalah seorang jago kawakan yang sangat berpengalaman, melihat kejadian ini dia segera mengejek dengan wajah berseri seri : “ Bocah keparat, hari ini kau pasti akan mampus. Aku lihat Say Lo Seng Bo telah mampus pula sehingga tidak mingkin ada orang lain yang bisa menolong jiwamu lagi, maka Hudya akan bikin kau kalah dengan hati puas. Silahkan beristirahat dulu sebelum melanjutkan pertarungan “.

Sekalipun Giam In Kok memang membutuhkan waktu untuk beristirahat agar ia bisa melebur empedu ular dan tenaga dalamnya namun diluar dia tetap bersikap tenang. Serunya sambil tertawa dingin.

“ Hemmm, tanpa beristirahatpun siauya masih mampu untuk membunuh kau sisetan tua “. Sambil memburu maju kedepan dia segera melencarkan dua buah serangan beruntun Sebetulnya Ban keh Seng Hud telah menyebarkan hawa murninya yang dihimpun keseluruh tubuhnya.

Tapi jangan dilihat keadaan Giam In Kok sudah lemah, ternyata
tenaga pukulan yang dihasilkan masih memiliki kekuatan seribu kati
keatas.

“ Blaaammmmm, blammmmm ! “.

Gara gara sikapnya yang terlalu gegabah nyaris hawa murni Ban
keh Seng Hud buyar oleh serangan tersebut. Secara beruntun dia
mundur sejauh lima langkah lebih sebelum berdiri tegak kembali.
Kontan saja hawa amarahnya meluap. Dengan wajah merah
padam bentaknya keras :“ Bocah busuk, kau memang tidak tahu diri….. “.

Giam In Kok yang berhasil menempati posisi diatas angin tentu saja tidak menyia nyiakan kesempatan baik itu dengan begitu saja. Tanpa menunggu sampai musuhnya selesai bicara, permainan pukulannya segera berubah. Kali ini dia melepaskan serangkaian pukulan gencar yang datang dari empat arah delapan penjuru.

Sekalipun tenaga dalamnya lama kelamaan makin menyusut lemah, namun ilmu pukulan Cing Khu Ciang Hoat, Giam Tok Liong Ciang, Siau Hun Kou Lian dan aneka macam ilmu pukulan lainnya benar benar ganas luar biasa.
Akibatnya Ban keh Seng Hud keteter hebat. Untuk sesaat diapun tidak ada kesempatan untuk menghimpun kembali tenaga dalamnya. Maka untuk sementara waktu posisinya tetap berimbang.

Biarpun begitu Giam In Kok menyadari posisinya yang berbahaya sekali. Andaikata lawannya sampai mengeluarkan ilmu pukulan kabut merahnya lagi, sudah dapat dipastikan nasibnya akan mengalami akhir yang tragis.

Maka sambil bertarung dia berpikir terus, tiba tiba pemuda itu melompat mundur sejauh beberapa kali, kemudian ujarnya sambil tertawa :“ Hwesio gadungan, kita sudah pernah bertemu sebanyak dua kali. Namun bila pertarungan seperti ini berlangsung terus, bagi dirimu pasti tak akan memperlihatkan kepandaianmu yang sebenarnya. Kalau kita ganti pertarungan dengan cara lain bagaimana ? “.

“ Hemmmm, kau sibocah licik sudah kalap sejak tadi, masa Hudya yang dibilang tak berkepandaian ?. “.

“ Atas dasar apa kau mengatakan aku sudah keok ? “.

“ Tadi kau sudah mundur lima langkah secara beruntun bahkan sepasang bahumu turut bergoncang keras “.

Mendengar ucapan tersebut Giamm In Kok tertawa terbahak bahak, serunya :“ Haaahhhh…..haaahhhh…..haahhhh…. bagi taktik ilmu perang, soal main siasat sudah jamak, apalagi bukankah kau sendiri juga kena kuhajar mundur sebanyak lima langkah, bahkan pertarungan yang barusan berlangsung tadi diakhiri dengan seri “.

“ Baiklah, anggap saja perkataanmu itu betul , lalu siasat busuk apalagi yang hendak kau kemukakan ? “.

Sambil menuding kearah sebuah puncak kecil beberapa puluh kaki dihadapannya itu Giam In Kok berkata lagi : “ Sewaktu berada ditengah udara tadi, aku sudah melihat bahwa disitu terdapat beberapa buah batu hijau. Bagaimana kalau kita duduk saling berhadapan disana dan kita beradu tenaga dalam ?. Siapa yang kalah dan mampus tentu tak mampu berbicara lagi !? “.

Ban keh Seng Hud segera memutar biji matanya berulang kali. Tiba tiba ia berkata sambil tertawa : “ Sebetulnya siasat busuk apakah yang hendak kau siapkan untuk menipuku ?.

“ Atas dasar apa kau menuduh aku sedang menipu dirimu ? “.

“ Hemmmm, sederhana sekali alasannya. Bukankah kau ingin menggunakan kesempatan itu untuk mengatur pernafasan serta mengembalikan hawa murnimu .? “.

“ Haaahhhh….haahhhh….haahhhh…. Hwesio gadungan, tak nyana kau cerdik. Bagimana ?. Memangnya kau merasa takut ? “.

Bagi orang persilatan yang menomer satukan soal nama dan kedudukan, mereka paling pantang bila dikatakan orang lain “takut”. Walaupun tahu kalau dia akan dapat meraih kemenangan bila pertarungan dilanjutkan sekarang juga, tapi diapun tidak mau diremehkan orang sebagai penakut, dia percaya masih memiliki keyakinan untuk meraih kemenangan. Diapun tahu kalau pihak lawan telah kehilangan sebagian tenaga murninya. Sekalipun bocah itu pernah menelan Cairan Mustika dan Buah Thio Ko namun mustahil pemuda tersebut dapat memperoleh kembali kekuatan tubuhnya hanya dalam waktu singkat.

Andaikata dia bisa menghimpun hawa Yang Hong Im Hwe-nya, bukankah sesaat kemudian di Bocah Ajaib Bermuka Seribu bakal mampus ditangannya ?. Ban keh Seng Hud memang memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat, tapi sayang dia tidak tahu kalau setelah kejadian itu

Giam In Kok sempat menelan Pil Api dan Mutiara Giok Li Li Cu sehingga mendatangkan unsur panas dan dingin dalam tubuhnya. Bukan Cuma begitu, tanpa sengaja diapun telah mempelajari ilmu Tiong Giok Sam Ceng sehingga kemampuan untuk memulihkan kembali tenaga dalamnya memiliki suatu cara yang unik.

Maka sambil tertawa terbahak bahak katanya kemudian : “ Hahhhh….haahhhh…haahhhh… bocah busuk, sekalipun kau berniat untuk memanaskah hati, pokoknya Hudya pasti akan membuat kau takluk dengan perasaan puas ! “.

Diam diam Giam In Kok merasa kegelian, pikirnya :“ Hemmmm, kau menganggap dirimu amat pintar, padahal bodohnya setengah mati, coba kalau kau tidak memikirkan soal gengsi dan nama, siauya tidak akan berhasil menjebakmu. Sekarang aku pasti akan mendesak kau mampus gara gara gengsi dan nama ?“.

Tapi diapun tahu apabila rahasia ini sempat terbongkar, pihak musuhnya tentu menyesal dan mengurungkan niatnya, sebab itu katanya kemudian sambil tertawa :“ Siauya mempersilahkan kau berangkat dulu “.

“ Dan kau ingin melarikan diri tanpa sepengetahuanku “.

“ Hemmm. Masa kau tak tahu kalau siauya selalu mengalah tiga jurus kepada siapapun juga ?“.

“ Huh !, omong kosong. Buktinya mengapa kau melancarkan serangan lebih dahulu tadi ? “.

”Aku memang sengaja berbuat demikian untuk memberi pelajaran kepada kau simanusia latah“.

Ban keh Seng Hud menjadi sangat mendongkol, dia tak berbicara lebih jauh hanya serunya dengan gemas : “ Aku tidak kuatir kau bisa terbang kelangit ! “.

Selesai berkata, Ban keh Seng Hud memungut jaring ular dari atas tanah dan siap berlalu dari s itu.

Tiba tiba Giam In Kok berseru dengan suara dingin :“ Kembalikan barang milik orang lain ? “.

“ Kau ingin mengambilnya ? “.

“ Huhhh. Siauya tak akan rakus seperti kau ! “.

Ban keh Seng Hud agak ragu, tapi akhirnya dia meninggalkan jaring kulit ular itu, kemudian dalam beberapa kali lompatan saja ia telah mendaki kepuncak bukit itu.

Giam In Kok tersenyum, dengan menggunakan kesempatan yang amat baik ini dia mengatur pernafasan dan dengan pelan pelan mendaki keatas bukit.

Waktu itu Ban keh Seng Hud sudah menunggu dengan hati tidak sabar. Begitu melihat Giam In Kok telah mencapai puncak ia segera menuding kesebuiah batu hijau lima kaki dihadapannya sambil membentak :“ Bocah busuk, kau duduk disebelah situ. Nah katakan bagaimana cara kita bertanding ? “.

“ Tentu saja aku akan menerangkan “ sahut Giam In Kok tertawa. “ Kalau tadi aku sudah mengajukan satu persoalan, maka sekarang giliranmu untuk mengajukan persoalan kedua “.

“ Hemmmm… ! “ Ban keh Seng Hud mendengus. “ Mengingat tidak gampang bagimu untuk mencapai puncak ini, aku akan memberi seperempat jam kepadamu untuk beristirahat. Kemudian pertandingan baru dimulai….. “.

“ Apakah kau tidak merasa dirugikan ? “.

“ Hehhh…heeehhh…heehhh…” Ban keh Seng Hud segera terawa dingin

“ Kau sibocah busuk, apakah kau anggap dirimu sebagai bocah ajaib. Tahukah kau bahwa Hudya-pun menganggap diriku sebagai Budha hidup ?.”

“ Ah kalau begitu kita sama sama setali tiga uang. Mulai hari ini kita mesti seia sekata ….. “.

“ Hemmmm, seia sekata sih tidak. Kau yang akan berangkat kelangit barat lebih dulu. Hemmmm….. heemmm… kau anggap dengan jalan pelan pelan sambil mengatur pernafasan maka Hudya akan kau kelabui ?. tapi Hudya-pun sudah tiba lebih dulu disini untuk mengatur pernafasan jauh lebih awal daripada dirimu….. “.

Perkataan dari Ban keh Seng Hud memang benar, karena diapun berusaha untuk memanfaatkan setiap kesempatan untuk mengatur pernafasan serta berusaha untuk menggunakan taktik tenang untuk mengawasi gerak.

Giam In Kok tetap tersenyum dikulum, katanya kemudian :”Hwesio gadungan, kau jangan keburu merasa bangga hati, akhirnya kau pasti akan merasa menyesal setengah mati…. “.

Melihat sikap musuhnya yang tenang dan seolah olah acuh tak acuh, tanpa terasa Ban keh Seng Hud berpaling dan mengawasi kearah Giam In Kok sekejap, tapi dengan cepat ia dibuat tercengang.

Ternyata hanya beristirahat sejenak saja keadaan Giam In Kok saat ini sudah berubah sama sekali. Sepasang matanya bersinar tajam dan jauh berbeda daripada keadaan sebelum pertarungan dilangsungkan tadi.

Ban Keh Seng Hud tidak tahu kalau tenaga dalam Giam In Kok tersebut telah pulih kembali tujuh bagian, tentu saja ia merasa terkejut. Sambil mengibaskan ujung bajunya ia segera membentak :“ Tak usah menjual lagak lagi didepan Hudya, ayo cepat mengatur pernafasan dulu sebelum menunggu kematian “.

“ Mengapa kaupun tidak menggunakan kesempatan ini untuk duduk bersemedi lebih dulu, kemudian baru mengajak siauya untuk berbicara ? “.

“ Kenapa ? “.
“ Setiap menghadapi pertarungan, siauya selalu mengalah tiga jurus kepada musuhku, maka sebelum pertarungan tenaga dalam dimulai, akupun akan memberlakukan peraturan yang sama “.

“ Hemmmmm ! “ dengan nada mendongkol Ban keh Seng Hud mendengus berat.

Giam In Kok kembali mengejek : “ Sudah, tak usah bergaya lagi. Coba kalau siauya tidak takut
pukulanku terbakar, tentu saja akan kupersilahkan kau menyerangku dengan ilmu pukulan berapimu, akan kulihat sampai dimana kehebatannya ? “.

“ Haahhh….haahh….haahhh…. jangan lagi bocah busuk seperti kau, dewapun tak akan berani“.

“ Masa iya. Tapi siauya percaya, bila kukatakan bisa, pasti bisa “. Dia menengok sekejab kebawah tebing. Sewaktu melihat kedua gadis itu tidak menyusul keatas, sedang perempuan yang memberi peringatan kepadanya dengan ilmu menyampaikan suarapun tidak diketahui kemana perginya. Maka setelah tertawa katanya lagi

“ Bagaimana kalau kita mencoba kemampuan kita disini saja ? “.

Ketika Ban keh Seng Hud menyaksikan pihak lawan betul betul hendak melepaskan pukulan, tentu saja ia tidak membiarkan pemuda itu berbuat begitu. Segera bentaknya dengn keras :“ Coba sambut dulu sebuah pukulan dari Hudya ! “.

Selesai berkata, sebuah pukulan dahsyat dilontarkan kedepan dengan hebatnya.

Dengan suatu gerakan yang cekatan Giam In Kok melejit kesamping untuk meloloskan dari dari ancaman tersebut. Serunya sambil tertawa :“ Jurus pertama ! “.

“ Apa jurus pertama ? “.

“ Aku telah mengalah satu jurus kepadamu….. ! “ sahut Giam In Kok menerangkan.

Ucapan tersebut seketika membangkitkan kemarahan Ban keh Seng Hud, dia seperti telah melupakan janji untuk beradu tenaga dalam. Sambil mendengus dingin bukan saja sepasang tangannya berubah menjadi merah membara, lagipula secara lamat lamat tersembur keluar asap yang membara. Secara beruntun dia melancarkan serangkaian serangan dahsyat.

Giam In Kok bergerak menghindar dengan gerakan yang enteng dan cekatan. Kemudian serunya sambil tertawa :“ Jurus kedua…… “.

“ Jurus ketiga….. “.

Menurut kebiasaan yang berlaku, begitu ucapan jurus ketiga telah diucapkan, maka dia akan melancarkan serangan balasan. Tapi saat ini tiba tiba saja satu ingatan melintas didalam benaknya, dengan cepat tubuhnya meloncat mundur sejauh sepuluh kaki, kemudian bentaknya dengan keras :“ Tahan !! “.

“ Bocah busuk, permainan apalagi yang hendak kau persiapkan?” seru Ban keh Seng Hud dengan wajah tertegun.

“ Siauya ingin bertanya kepadamu. Sepanjang hidupmu berapa orang murid yang pernah kau terima ? “.

“ Apa kau ingin menjadi muridku ? “ Ban keh Seng Hud balik bertanya.

“ Menjadi muridmu ?. Huhhh …!, mengapa kau tidak bercermin dulu diatas air kencingmu, manusia bertampang apakah kau ini ? “.

Ban keh Seng Hud benar benar sangat gusar, kemudian umpatnya : “ Dasar bocah keparat yang tidak pernah didik orang tua. Tak heran mulutmu kotor dan tidak mengerti sopan santun“.

Perkataan tersebut ibarat menggosok luka hatinya. Paras muka Giam In Kok seketika berubah menjadi dingin bagaikan es, serunya sambil tertawa dingin : “ Heehhhh…heehhh….heehhh…. aku bertanya kepadamu karena siauya menilai tindakanmu meski keji dan banyak sudah yang menjadi korbanmu, itulah sebabnya kau sibinatang busuk telah melanggar pantanganmu. Hemmmm, tak tahunya kau malah mengejekku dengan kata kata seperti itu. Kelihatannya kau memang pengin mampus…. “.

Baru selesai perkataan itu diucapkan mendadak terdengar suara perempuan tadi bergema ditelinganya lagi :
“ Siauhiap, untuk menghadapi musuh yang berada dihadapanmu, kau meski bersikap lebih hati hati dan waspada “.

Hampir pada saat yang bersamaan Ban keh Seng Hud berkata dengan tertawa : “ Bocah busuk, kau ingin menyelidiki keadaan Hudya-mu yang sebenarnya ?. Hemmmm, ini berarti kaupun sudah bosan hidup “.

Tapi Giam In Kok sedang memperhatikan bisikan dari perempuan tersebut dengan penuh seksama, tanpa disadari ia berseru :“ Turut perintah ! “.

Ban keh Seng Hud mengira jawaban tersebut ditujukan kepadanya, maka sambil tertawa segera katanya :“ Asal kau sudah tahu saja, ini lebih baik lagi “.

“ Soal apa ? “ tiba tiba Giam In Kok bertanya dengan wajah tertegun bercampur keheranan.

“ Kau sudah tidak pengin hidup lagi bukan ? “.

“ Aaahhh, tak usah banyak bicara lagi…. “.

“ Kalau memang begitu, sambutlah seranganku ini….. ! “.

Sejak tadi Ban keh Seng Hud telah menghimpun segenap tenaga dalamnya dan bersiap melancarkan serangan, maka begitu selesai berkata, sepasang telapak tangannya segera dilontarkan kedepan.

Kabut berwarna merahpun memancarkan desingan tajam yang memekakkan telinga langsung menggulung kemuka. Giam In Kok tidak diam saja. Tenaga Ceng Goan Hiat Khi-nya telah pulih kembali segera dikerahkan keluar. Dalam waktu sekejap daerah seluas beberapa kaki disekeliling tempat itu sudah diliputi hawa serangan yang menyebar kemana mana.

Ban keh Seng Hud kembali membentak keras, tenaga pukulannya segera dihimpun hingga mencapai delapan bagian.
“ Blammmmm…. ! “.

Serangan ini dengan cepat membelah celah jalan pintas menembusi kabut pelindung badan Giam In Kok, tapi setiap waktu menyentuh tubuhnya tenaga serangan tersebut justru seakan akan menghantam selembar lempengan baja diiringi desingan nyaring, Ban keh Seng Hud justru malah terpental mundur sendiri sejauh satu langkah.

Kabut yang menyebar kembali terhimpun menjadi satu. Keadaan Giam In Kok sekarang ibarat sekuntum bunga yang baru mekar. Betapa terkejutnya Ban keh Seng Hud ketika menyaksikan serangan yang mempunyai kekuatan untuk mencabut sebatang pohon sampai keakar akarnya itu ternyata tidak berhasil merobohkan pertahanan lawan, bahkan sepasang tangannya sendiri
malah terasa kaku.

Apalagi setelah dia mencium bau harum yang sangat aneh dari tubuh pemuda itu hatinya semakin terkesiap.

“ Bocah busuk “ teriaknya kemudian. “ Apakah empedu ular bunga tadi telah berhasil kau lebur dalam tubuhmu ? “.

Giam In Kok terbahak bahak :“ Haahhhh…. Haahhhh…..haahhhh…. terima kasih banyak atas bantuanmu, kalau bisa silahkan kau menambahi dua pukulan lagi untukku…. “.

Ternyata gumpalan kabut tersebut merupakan hawa Ceng Goan Hiat Khi yang memang dihimpun oleh tubuhnya sedangkan hawa lembut berbau harum yang menyelimuti sekeliling badannya justru terbentuk dari gabungan mutiara Giok Li Li Cu serta Empedu Ular Bunga tadi.

Sebagai seorang jago yang berilmu tinggi dan berpengalaman luas, Ban keh Seng Hud segera dapat membedakan kalau dibalik bau harum tadi terselip pula bau harumnya Empedu Ular Bunga. Bertapa terkejutnya dan mendendamnya Ban keh Seng Hud ini begitu mendengar pengakuan dari Giam In Kok. Dengan penuh amarah dan rasa iri hati, segera bentaknya :“ Baiklah, biar Hudya segera mengirimkanmu pulang kerumah nenek ! “.

Tampak sepasang matanya melotot penuh kegusaran. Rambut dan jenggotnya bergetar karena emosi. Sementara hawa merah yang terbentuk dari telapak tangannya secepat kilat dilontarkan kebalik kabut pelindung tubuh lawan. Dia tahu, untuk bisa melebur empedu Ular Bunga kedalam tubuh seseorang tersebut dibutuhkan waktu paling sedikit delapan puluh hari latihan. Ini berarti dia masih punya kesempatan untuk menggempur pusar lawan dengan tenaga sebesar dua belas bagian untuk merebut empedu tersebut dan segera melarikann diri dari sana.

Siapa tahu baru saja ilmu pukulan bara api Lie Hwe Sio Ciang yang dahsyat dan khusus menembusi hawa khikang pelindung tubuh lawan ini baru membakar sebagian dari kabut pelindung tubuh Giam In Kok, tahu tahu pandangan matanya terasa kabur dan ia kehilangan jejak musuh.

Sejak semula Giam In Kok sudah tahu bahwa ilmu pukulan bara api Lie Hwe Sio Ciang dari lawan adalah ilmu yang khusus untuk merusak hawa khikang pelindung badan, apalagi setelah
menyaksikan hawa pukulan berwarna merah itu terhimpun dalam satu garis dan khusus menyerang kesatu tempat. Bagaimana mungkin dia berani mencoba dengan taruhan tubuhnya.

Dengan pulihnya tenaga dalam yang dimilikinya, maka sekalipun belum berhasil melebur empedu ular tersebut kedalam tubuhnya, kepandaian yang dimiliki sudah beberapa tingkat diatas Ban keh Seng Hud.

Itulah sebabnya dia segera mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna untuk menyelinap kebelakang tubuh musuhnya, kemudian jengeknya sambil terkekeh kekeh :“ Haaahhhhh….haahhhh….haahhhh…… sudah susah payah menghimpun seonggok api untuk membakar orang, tak tahunya usaha tersebut sia sia belaka…. “.

Mendengar seruan tersebut Ban Keh Seng Hud mencoba untuk membalikkan badan, namun siapa tahu dia tidak berhasil melepaskan diri dari ulah Giam In Kok yang terus menempel dibelakang punggungnya itu.

Dalam keadaan apa boleh buat dia segera berpekik nyaring, tubuhnya melejit keudara setinggi sepuluh kaki kemudian berjumplitan beberapa kali, sementara telapak tangannya diayunkan kedepan sehingga menciptakan sekuntum cahaya. Cahaya merah yang menyelimuti daerah seluas beberapa kali dan pelan pelan meluncur kebawah.

Setelah merasakan kelihaian musuhnya tadi, terutama setelah pukulan Lie Hwe Sio Ciang berhasil membakar sebagian dari hawa khikang pelindung badannya, Giam In Kok sudah tahu kalau nama besar ilmu pukulan bara api tersebut bukan cuma nama kosong belaka.

Dengan menggunakan kesempatan disaat awan merah itu belum sempat mencopot kepalanya, dia segera melejit kesamping untuk meloloskan diri.

“ Aku telah mengalah tiga jurus kepadamu ? “. Katanya kemudian sambil tertawa. “ Sekarangpun aku sudah mengalah dua gebrakan lagi, bila digabungkan maka aku sudah mengalah tiga jurus dan dua gebrakan kepadamu. Aku lihat lebih baik bara apimu itu disimpan saja untuk membuat obor nanti. Asal kau bersedia untuk bertobat serta tidak melakukan kejahatan lagi, akupun bersedia untuk memberi kesempatan hidup kepadamu. Sebaliknya kalau tidak….heeemmmmm…….jangan salahkan bila siauya akan bertindak keji “.

Ban Keh Seng Hud tidak berhasil menarik kembali tenaga pukulan bara api yang telah dilepaskannya, ketika itu juga beberapa lembar batu hijau diatas puncak bukit itu terbakar habis.

Apalagi setelah mendengar nasehat dari bocah muda itu, amarahnya semakin berkobar, segera teriaknya dengan keras :“ Bocah busuk, mengapa kau tak berani menyambut seranganku? “.

“ Kalau toh kau enggan mengucurkan air mata sebelum melihat peti mati, terpaksa siauya harus memberi pelajaran yang setimpal kepadamu “.

“ Hei sebetulnya kau hendak beradu tenaga dalam ataukah beradu kelincahan jurus serangan ? “.

“ Terserah pilihanmu sendiri ! “.

“ Lebih baik kita beradu tenaga murni saja ! ?.”

Setelah mempertimbangkan untung ruginya tentu saja Ban Keh Seng Hud lebih suka memilih beradu tenaga murni daripada dengan jurus silat.

Giam In Kok segera mengetahui kalau musuhnya berniat untuk mengadu jiwa. Tanpa terasa keningnya berkerut kencang, serunya :“ Menurut pendapatmu, bagaimana kita meski beradu ?“.

“ Masing masing duduk pada batu hijau yang telah ditentukan tadi, lalu masing masing melancarkan sebuah pukulan. Barang siapa yang meninggalkan batu hijau itu terlebih dahulu, maka dialah yang dianggap kalah “.

“ Bagaimana setelah kalah ? “.

“ Terserah pada keputusan lawannya ! “.

“ Baiklah, bila aku she Chin yang kalah, apa keputusanmu untuk menghadapiku ? “.

“ Akan kupaksa dirimu untuk menjadi muridku serta harus mempersembahkan empedu ular itu kepadaku “.

Giam In Kok segera teringat kembali dengan ilmu yang tercatat dalam kitab Tiong Giok Sam Keng, yaitu Gadis Suci Menyerahkan Obat serta Bocah Jejaka mempersembahkan Pil. Dua jenis ilmu yang teramat sesat. Tanpa terasa diapun menghela nafas :“ Empedu ular tersebut telah berada didalam perutku, lalu dengan cara apa kau menyuruh aku mempersembahkan kepadamu? “.

Ban Keh Seng Hud tidak menyangka kalau Giam In Kok akan mengajukan pertanyaan tersebut. Saking kagetnya dia mundur selangkah kebelakang, sementara paras mukanya berubah merah padam. Sambil tertawa paksa katanya kemudian : “ Akan kuhisap darahmu untuk mendapatkan sari empedu tersebut. Bukankah cara ini paling jitu ? “.

Pelan pelan paras muka Giam In Kok pulih kembali, segera serunya sambil tertawa :“ Kau angggap pertandingan ini sudah pasti dimenangkan olehmu ? “.

“ Pokoknya kalau Hudya sampai kalah, terserah kepadamu apa yang hendak kau perbuat padaku “.

“ Tidak usah dibilang seandainya lagi, siauya cuma minta sebuah telingamu untuk kembali kejalan yang benar…… “.

“ Baik. Bila Hudya sampai kalah, telingaku pasti akan kupersembahkan kepadamu “.

Giam In Kok tertawa. Pelan pelan dia naik keatas batu hijau yang telah ditentukan.

Sementara itu Ban Keh Seng Hud-pun telah naik keatas batu hijau yang ditentukan dan duduk bersila disitu.

Saat itu, seandainya ada orang yang tak mengetahui duduk persoalan naik keatas puncak tersebut, mereka pasti akan dibuat tercengang dengan adegan disana. Tampak seorang kakek dan seorang pemuda duduk saling berhadapan diatas batu hijau dengan selisih jarak lima, enam belas kaki, sementara uap panas kelihatan mengepul keluar dari tubuh masing masing.

Suasana terasa amat hening. Namun paras muka kedua orang itu serius sekali. Lambat laun batu yang diduduki kakek tersebut dari atas hingga kebawah segera berubah menjadi merah membara, bahkan uap airpun turut berubah menjadi merah padam.
Ban Keh Seng Hud segera tertawa, tiba tiba sepasang telapak tangannya didorongkan kedepan dengan cepatnya, dan menyambar lewat dari sisi tubuh Giam In Kok lalu meluncur kearah tempat kejauah sana.

Giam In Kok nempak sedikit bergetar, tapi dengan cepat dia telah pulih kembali dalam ketenangan.

Ban Keh Seng Hud segera membuka matanya kembali dan melirik sekejap kearah lawannya, kemudian ia menegur sambil tertawa :“ Hei bocah busuk, kau sudah mampus belum ? “.

Ketika tidak mendengar jawaban, kembali Ban Keh Seng Hud bergumam : “ Aaaii… tidak seharusnya kulepaskan serangan dengan tenaga sakti Sam Wi Gou Hong, akibatnya mustika alampun turut dirusak. Hemmmm…. Sekalipun dia disebut orang sebagai si Bocah Ajaib Bermuka Seribu dan berhasil memiliki kepandaian sakti. Namun setelah badannya berhasil ditembusi oleh hawa sakti Sam Wi Gou Hong-ku bagaimana mungkin badannya tidak terbakar hancur ? “.

Sembari bergumam dia segera melompat turun dari tempat duduknya dan berjalan mendekati sisi pemuda dimana batu tempat duduknya masih mengeluarkan hawa panas. Lalu katanya lagi : “ Sayang, sayang… kau memang tak malu disebut orang sebagai si Bocah Ajaib Bermuka Seribu, tapi nyatanya hawa sakti Sam Wi Gou Hong dari Hudya-mu telah berhasil membuat batupun berasap karena kepanasan. Apalagi tubuhmu yang terdiri dari darah dan daging ?. Sebetulnya Hudya tak berniat menggunakan cahaya api yang terlatih dari hawa murni. Namun tenaga dalammu kelewat sempurna. Untuk berjaga jaga terhadap segala kemungkinan yang tidak diinginkan, terpaksa aku harus melepaskan cahaya api untuk membakar tenaga dalam pelindung tubuhmu. Semula aku hanya ingin membuatmu tahu kelihaianku. Siapa tahu keadaannya sama sekali diluar dugaan. Akhirnya tubuhmu terbakar, aaiii….. “

Sambil berkata tiba tiba saka beberapa air matanya jatuh berlinang membasahi wajahnya. Mendadak terdengar seseorang tertawa terbahak bahak, lalu terasa ada sepasang tangan yang menggenggam tangannya dengan kecepatan bagaikan kilat.

“ Hwesio gadungan kali ini kau sudah kalah…. “ seru Giam In Kok keras.

Dengan perasaan terkejut berniat melompat bangun. Namun tenaga cengkeraman lawan kuat sekali membuat ia tidak mampu berkutik sama sekali.

Dengan perasaan terkejut bercampur gelisah segera serunya : “ Mengapa kau belum mati ? “.

“ Bila siauya sudah mati, siapa yang tahu kalau pertarungan ini berhasil aku menangkan ? “.

“ Tapi Hudya toh belum kalah ?” seru nya cepat.

“ Belum kalah ?. Coba kutanya siapa yang telah meninggalkan tempat duduknya sekarang ?. Dan bagaimana pula dengan syarat pertandingan kita tadi ? “.

Termenung beberapa lamanya. Kemudian dia menghela nafas dengan perasaan kecewa, katanya pelan : “ Yahh…, aku memang kalah. Baik adu kepintaran maupun beradu kepandaian, aku tidak bisa mengunggulimu. Hayo cepat lepas tangan agar bisa kuserahkan telingaku ini kepadamu “.

Mendengar perkataan ini, Giam In Kok segera tertawa :“ Kau cukup mengaku kalah saja. Buat apa aku mendapatkan telingamu itu….. ? “.

“ Lantas apa yang kau inginkan ? “ tanya dengan perasaan tak senang hati.

“ Aku hanya minta kau bertobat serta kembali kejalan yang benar ?! “.

“ Tapi perjanjian kita kan begini, Hudya wajib melaksanakan perjanjian sendiri “.

“ Orang kuno mengatakan, berbuat baik adalah pahala. Asal kau dapat merubah kelakuanmu maka kau benar benar akan menjadi Budha hidup dari Selaksa Keluarga (Ban Keh Seng Hud), apa gunanya mendapatkan telingamu itu ?. Paling banter cuma membuat cacat panca indera saja. Nah pergilah sekarang, maaf kalau aku masih ada urusan lain “.

Ban Keh Seng Hud segera terbungkam seribu bahasa. Ketika ia mendongakkan kepalanya kembali, tampak sepasang matanya telah berkaca kaca, hampir saja air matanya jatuh keluar. Itulah pancaran sinar menyesal, malu dan sedih bercampur aduk menghiasi wajahnya tua tua. Dengan putus asa dia memandang sekejap kearah Giam In Kok lalu ujarnya sedih :“ Mulai saat ini aku berjanji akan melepaskan golok pembunuh untuk tidak mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Bila Siauhiap membutuhkan bantuan tenaga aku tidak akan menampik ! “.

Giam In Kok adalah pemuda yang berhati mulia, dia tidak tega membiarkan kakek yang telah berusia seabad lebih itu berkata demikian memelasnya dihadapannya. Buru buru ia berkata : “Harap Lotiang jangan berpikir yang tidak tidak, aku…. “.

Mendadak dari kejauhan sana terdengar seseorang membentak nyaring :“ Hei jangan kau lepaskan orang itu ! “.

Giam In Kok mengenali suara tersebut sebagai sinona yang berusia agak tua. Sekalipun ilmu silatnya tidak seberapa, namun bila sampai ketanggor dirinya, sudah pasti akan timbul kerepotan baru. Karenanya cepat cepat dia berkata :“ Lotiang cepatlah pergi, biar urusan disini serahkan saja kepadaku untuk diselesaikan “.

Ban Keh Seng Hud mencoba untuk berpaling. Ia saksikan ada lima enam sosok bayangan manusia sedang bergerak mendekati dengan kecepatan tinggi. Ia tak ingin menimbulkan persoalan baru lagi yang dapat merepotkan dirinya, maka setelah menjura ia berkata :“ Kalau begitu merepotkan Suaihiap untuk menyelesaikan persoalan disini… “.

Menyusul kemudiann dia berpekik panjang, burung elang raksasa segera terbang mendekat dengan cepat. Ban Keh Seng Hud segera melompat naik keatas punggung burungnya dan terbanglah elang raksasa tersebut menembus awan.

Saaat itulah beberapa orang gadis cantik telah tiba dibawah puncak, terdengar seorang yang berjalan paling muka membentak keras :“ Pendeta siluman tunggu dulu. ! “.

Tampak tangannya diayunkan kedepan. Serentetan cahaya merah segera menembusi awan dan menyambar ekor burung elang tersebut.

Betapa tajamnya mata Giam In Kok ternyata diapun tak sempat melihat dengan jelas benda apakah yang yang mengeluarkan cahaya merah tersebut. Buru buru ia berteriak :
“ Hati hati Lotiang…… ! “.

Ban Keh Seng Hud mengiyakan, bersamaan waktunya burung elang itu meluncur dengan kecepatan tinggi. Dalam waktu singkat bayangan mereka tinggal setitik bayangan hitam yang menembus awan.

Ketika gagal dengan serangannya, gadis itu menarik kembali cahaya merahnya, kemudian setelah tiba dihadapan Giam In Kok serunya dengan garang :“ Bagaimana sih kau ini ?, Sam Sumoay kusuruh kau menahan orang itu, kenapa kau justru membiarkan dia pergi ? “.

Giam In Kok menyaksikan rombongan gadis itu terdiri dari enam orang. Usia mereka hampir sebaya dan dandananpun hampir sama yaitu berbaju hijau dengan menyoren sebatang pedang dipunggungnya. Ia tahu orang orang ini adalah saudara seperguruan Ciu Li Ya, maka ujarnya kemudian sambil tersenyum :“ Teguran dari Cici ini kelewatan, apalagi tuduhan yang diutarakan kepadaku ? “.

“ Kelewatan ? “ seru sinona yang berusia paling tua sambil mengawasi sekejap pemuda dihadapannya. “ Bukankah kau sempat memberi peringatan kepada keledai gundul gadungan itu agar berhati hati ?. Apakah hal ini tidak membuktikan kalau kau memang sengaja membiarkan pergi ? “.

Sinona yang membawa tali kulit ularpun berseru juga :“ Bocah lelaki busuk ini tentu bukan orang baik baik. Toa Suci tak perlu banyak bicara dengannya, lebih baik dibekuk saja lebih dahulu. Kita dapat mengorek keterangan dari mulutnya tentang alamat keledai gundul tadi “.

“ Atas dasar apa Suci ini menuduhku sebagai orang jahat ? “tanya Gian In Kok sambil tertawa.

“ Bila kau memang orang baik, mengapa melanggar pantangan berzinah…. “

“ Tolong tanya apa yang dimaksud dengan berzinah itu ? “.

“ Si keledai gundul tadi yang berkata demikian, kami semua belum pernah melanggar pantangan berzinah, maka mana tahu apakah berzinah itu ? “.

Diam diam Giam In Kok merasa geli. Dengan wajah serius segera berkata : “ Walaupun Ban Keh Seng Hud gemar membunuh orang, namun akhirnya dia masih bisa membedakan antara lurus dan sesat. Sudah sepantasnya bila kita memberi sebuah jalan hidup kepadanya. Apalagi seorang tokoh sakti yang bersembunyi telah berpesan kepadaku lewat ilmu menyampaikan suara agar aku memberi hukuman yang paling ringan kepadanya. Itulah sebabnya aku membiarkan dia pergi. Apa artinya kita terlalu memojokkan dia ? “

Ketika mendengar ada tokoh sakti yang memberi petunjuk melalui ilmu menyampaikan suara, sinona kelihatan tertegun, tapi kemudian sam mendengus katanya :“ Justru kalian satu komplotan maka kau membiarkan keledai gundul itu minggat dari sini, Huhhh… ada tokoh sakti siapa yang memberi petunjuk melalui ilmu menyampaikann suara ?. Kau tak usah mengigau yang bukan bukan. Seribu li disekeliling bukit Ngo Kui San hanya ada Suhuku seorang tokoh sakti. Sedang Toa Suci hanya terhitung setengah….. “.

Nona yang paling tua usianya itu segera mendesis sambil tertawa:“ Budak ketiga memang makin lama makin ngelantur kalau bicara, masak aku dianggapnya setengah ? “.

Gadis itu segera tertawa, serunya lagi :“ Bulan depan kau dan Lim Suheng…. “.

Tapi sebelum perkataan itu selesai diucapkan, sinona paling tua itu sudah membentak dan siap menamparnya. Dengan ketakutan gadis tersebut cepat cepat mundur beberapa langkah kebelakang.

Menggunakan kesempatan inilah Giam In Kok segera menjura dan berkata :“ Aku masih ada urusan penting yang harus diselesaikan. Harap Cici sekalian memberi jalan kepadaku “.

“ Kau hendak pergi dari sini ? “.

Menyusul suara bentakan itu keenam gadis tersebut serentak mencabut pedangnya dan segera mengurung musuhnya. Giam In Kok merasa tercengang, ia melihat keenam gadis itu salah seorang adalah gadis yang ditolongnya sewaktu terkena pukulan Ban Keh Seng Hud tadi, maka katanya :

Bersambung Jilid 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar