Jilid 41
”Tak usah merepotkan
Cici untuk bertarung melawan Iblis cabul ini “.
Siapa tahu baru berbicara
sampai ditengah jalan, gadis yang muda itu sudah mendampratnya :“
Lelaki busuk. Tempat ini tak ada kesempatan bagimu untuk turut
berbicara ! “.
Ketika pertama kali
bersua dengan Ciu Li Ya tempo hari, Giam In Kok pernah pula diumpat
habis habisan, karena itu dia sama sekali tidak merasa tersinggung.
Sambil melompat turun
dari atas jaring, serunya lagi sambil menjura : ”Aku dan Enci Ciu
mempunyai hubungan melebihi hubungan tulang dan daging…. “.
“ Apa ?. Kau mengatakan
Enci Ciu ?. Siapa dia ? “ tanya gadis itu segera berseru tertahan.
“ Dia adalah saudara
seperguruan kalian, Enci Ciu Li Ya ! “.
“ Kau kenal dengannya ?
“.
“ Tentu saja. Hubungan
kami bagaikan tulang dan daging….. “.
“ Apa maksudmu bagaikan
tulang dan daging ? “.
Ban Keh Seng Hud merasa
amat mendongkol karena dirinya tidak digubris, sambil tertawa dingin
dia segera menyela :“ Maksudnya tulang belulang bocah busuk itu
tergabung didalam daging Encimu sehingga tidak bisa dibedakan lagi
mana tulang dan mana dagingnya….. “.
Namun sayang gadis itu
baru berusia sembilan dua puluh tahunan, tentu saja dia tak mengerti
apa maksud perkataan tersebut, serunya kemudian :“ Tapi….. tulang
dan daging, toh tidak bisa dipisahkan ? “.
Sebaliknya sinona yang
lebih tua usianya segera berubah hebat paras mukanya. Dengan wajah
tersipu karena malu, ia berteriak :“ Sumoay, tutup mulutmu ! “.
Setelah itu dia berkata
lagi :
“ Menyingkirlah dulu,
biar kubunuh bangsat ini ! “.
“ Siapa yang hendak kau
bunuh ? “ tanya nona cilik itu terkejut.
“ Kedua duanya harus
dibunuh ! “.
“ Kenapa ? “.
“ Karena perkataannya
barusan !? “.
Giam In Kok menjadi
tercengang, segera serunya :“ Aku toh tidak salah bicara, mengapa
kau hendak membunuhku juga….. ? “.
“ Seandainya bukan gara
gara anjing busuk ini, Ciu Samcay-ku tak akan menderita malu. Kedua
orang itu sekali tiga uang. Sama sama busuknya….. “.
“ Bila Cici bisa
menerangkan alasannya aku pasti akan menerimanya dengan senang hati,
tapi…… “
“ Hei bocah busuk,
nampaknya kau tak sabar untuk hidup terus “ sela Ban keh Seng Hud
sambil tertawa. “ Bila kita mau bekerjasama dan melarikan kedua
gadis ini kita masing masing bisa mendapatkan manfaatnya. Tapi bila
kau tak mau, silahkan saja dibantai oleh kedua gadis itu “.
Waktu itu, meskipun Giam
In Kok sama sekali tidak terluka, namun peristiwa yang baru saja
dialami cukup banyak menguras tenaga dalamnya, maka dari itu sebisa
mungkin dia hendak mengulur waktu untuk mengatur nafasnya.
Karenanya setelah
mendengar perkataan ini segera ia tertawa getir sambil berkata :“
Hemmm, kau iblis tua berniat mengadu domba. Siauya tidak akan
terperangkap oleh siasatmu itu ? “.
“ Kita sama sama meraih
keuntungan. Masa cara kerjasama beginipun disebut masuk perangkap
segala ! “.
Hawa amarah menyelumuti
wajah Giam In Kok, dia hanya mendengus tanpa menjawab.
Dalam pada itu meskipun
sinona kecil tadinya belum bisa mengartikan maksud yang sebenarnya
dari tulang dan daging tadi. Namun ia menjadi benci setelah mendengar
Ban keh Seng Hud hendak menculiknya. Tanpa ambil perduli sampai
dimanakah taraf kepandaian silat yang dimiliki, ia segera membentak
keras dan melontarkar jaring mustikanya ketubuh lawan.
Ban keh Seng Hud tertawa
terbahak bahak dan menggerakkan tanganya untuk menyambar jaring ular
tersebut, kemudian ia membentak : “ Hayo kemari ?! “.
Tampak dia menggetarkan
pergelangan tangannya. Tahu tahu sinona kecil itu sudah sempoyongan
dan terjatuh. Seandainya ia tidak mengibaskan tangannya dengan cepat
niscaya tubuhnya benar benar akan terjatuh kedalam pelukan iblis tua
tersebut. Berubah hebat paras muka gadis itu saking terkejutnya,
dengan suara bentakan keras ia menyerang : “ Lihat serangan ! “.
Senjata angkinnya
digulung kedepan bagaikan pelangi. Sementara pukulan dahsyat yang
dilepaskan dengan telapak tangan kirinya langsung membabat kearah
dada lawan. Tapi Ban keh Seng Hud telah mengibaskan ujung bajunya
sambil merampas jaring kulit ular tadi, kemudian sambil melompat
mundur sejauh sepuluh kaki, katanya sambil tertawa : “ Nama besar
Say Lo Seng Bo sudah menggemparkan seluruh dunia persilatan, tak
nyana begitu geblek murid yang diajarkan olehnya. Hemmmm, murid bodoh
seperti kalian ini apa gunanya ?“.
Saking malunya sinona
kecil tadi segera menangis tersedu sedu sambil meloloskan pedangnya
ia segera berteriak : “ Cici, aku akan beradu jiwa denganmu ! “.
Ibarat naik dipunggung
harimau, gadis itu mendadak turut membentak dan maju melanjutkan
serangannya pula. Waktu itu walaupun Giam In Kok bermaksud mengatur
pernafasannya untuk melebur kasiat dari empedu ular kedalam tubuhnya,
namun ditengah suara bentakan yang begitu keras, pikirannya menjadi
kalut. Dia kuatir kedua gadis tersebut dipecundangi lawan, takut pula
musuh mencari gara gara dengannya. Dalam keadaan seperti ini
bagaimana mungkin pikirannya bisa dibikin tenang.
Dengan dasar tenaga dalam
yang dimilikinya sekarang, asal memperoleh ketenangan sejenak saja
maka dia akan berhasil melebur kasiat empedu ular tersebut. Tapi
agaknya situasi seperti mengancam terus, tak sedikit waktupun dapat
dipergunakan secara baik.
Ban keh Seng Hud
sendiripun jarang menemui musuh tangguh. Tapi sejak menderita
kekalahan ditangan Giam In Kok tahun lalu, ia telah melatih diri
secara tekun hingga ilmu silatnya memperoleh kemajuan yang amat
pesat. Tak heran kalau tak sampai sepuluh gebrakan saja kedua gadis
itu sudah terjerumus kedalam bahaya. Menyaksikan peristiwa ini, tahu
tahu Giam In Kok berseru keras :“ Harap kalian menunggu sebentar !
“ menyusul seruan itu ia segera melontarkan pukulan kedepan.
“ Blaanggg…. ! “.
Menyusul bentrokan
senjata. Tampak Ban keh Seng Hud terhuyung huyung mundur sejauh tiga
langkah lebih. Tetapi Giam In Kok sendiripun tergetar mundur sampai
lima langkah lebih, bahkan sepasang bahunya turut tergetar.
Melihat peristiwa ini,
Ban keh Seng Hud segera tertawa terbahak
bahak, kemudian jengeknya
: “ Haahhhh….haaahhh….haaahhh…. Bocah Ajaib Bermuka Seribu….
Ternyata ilmu silat Cing Khu Hu Pit hanya begitu saja….. “.
Ditengah gelak tawanya
yang nyaring, sepasang tangannya segera diluruskan kebawah, kemudian
diiringi suara gemerutukan nyaring, tampak selapis kabut merah segera
menyelimuti telapak tangannya.
Sambil tertawa tinggi
Giam In Kok segera berseru :“ Hwesio gadungan, ilmu pukulan
berapimu dulu tak membara kini berubah menjadi membara. Nampaknya kau
sudah kehabisan kemampuan sehingga akan mengeluarkan ilmu andalan….
“.
Tapi sebelum perkataan
ini selesai diucapkan, mendadak terdengar seseorang berbisik didekat
telinganya dengan suara yang lembut “ Harap suahiap jangan
bertindak gegabah. Tenaga pukulan musuh telah berhasil mencapai
ketingkatan yang tidak berwujud lagi“.
Giam In Kok dapat
mengenali suara tersebut sebagai suara perempuan. Namun ia tidak
melihat bayangan tubuhnya juga tidak tahu berasal dari mana. Ketika
melihat lawan dan kedua gadis itu tidak menunjukkan sikap seperti
turut mendengar bisik bisik tersebut. Dengan cepat tahulah dia bahwa
ada orang yang telah memberi peringatan kepadanya dengan menggunakan
ilmu menyampaikan suara.
Peristiwa ini dengan
cepat membuatnya terkejut bercampur girang….
Ia merasa girang karena
ada tokoh sakti yang turut menyaksikan kejadian tersebut sehingga tak
nanti dia akan kehilangan nyawa, tapi diapun kuatir kemampuannya
tidak mampu membendung serangan musuh dengan segenap tenaga, terutama
setelah sebagian tenaga dalamnya tercuri oleh Ko Kiok Ciu.
Berbeda dengan kedua
gadis itu, mereka tidak mengerti apa bedanya pukulan membara atau
tidak, meski Giam In Kok tidak memiliki kekuatan yang cukup besar,
namun paling tidak masih
sanggup memukul mundur
musuhnya sejauh tiga langkah. Karenanya sambil membentak, serentak
mereka menerjang maju kedua sisi arena.
“ Jangan ! “ teriak
Giam In Kok dengan perasaan terkejut.
Bersamaan waktunya dia
segera menerjang maju. Tapi pada saat itulah Ban keh Seng Hud telah
melepaskan pukulannya kearah sepasang gadis tersebut. Sinona berusia
berusia agak tua segera mengetahui datangnya ancaman bahaya. Cepat
dia menutup diri sambil melompat mundur kebelakang.
Berbeda dengan sinona
kecil itu, selain ilmu silatnya masih rendah, gerakan tubuhnyapun
lamban, sembil menjerit kaget pakaiannya segera terbakar. Cepat cepat
Giam In Kok memburu maju kedepan dan memadamkan kobaran api tersebut
dengan sebuah pukulan. Siapa tahu punggung nona itupun ikut terbakar.
Dalam keadaan begini terpaksa dia menyambar tubuh gadis tersebut dan
diajak bergulingan diatas tanah. Dengan tindakan tersebut api segera
dapat dipadamkan.
Namun akibatnya dari
peristiwa tersebut separuh pakaian nona kecil itu jadi hancur dan
terlepas dari tubuhnya. Dalam keadaan demikian nona kecil itu
terduduk diatas tanah sambil menangis tersedu sedu.
Ban keh Seng Hud yang
menyaksikan kejadian ini kontan saja tertawa terbahak bahak, serunya
: “ Haahhh….haahhh…..haahhh…. bocah busuk, bagus amat
nasibmu… enak sekali memeluk gadis mulus itu….. “.
Sesungguhnya Giam In Kok
hanya bertujuan menolong orang. Ia sama sekali tidak mempunyai
pikiran bercabang. Setelah menurunkan sinona keatas tanah, dia segera
memburu maju kedepan melintangkan tangannya didepan dada, serunya
kemudian:“ Hemmmm…. Jelek jelek begini kau masih terhitung
pentolan dari kaum sesat yang berusia seabad lebih dan mempunyai
pamor tinggi. Mengapa perbuatanmu justru cabul dan tidak mengerti
sopan santun sama sekali ?! “.
“Haahhh…haahhh…haahhh…
kau sibocah busuk ingin menasehati aku “ jengek Ban keh Seng Hud
dingin.
“ Mengapa tidak !.
Bahkan aku perlu memberi pelajaran kepadamu. Lihat serangan ! “.
Dalam gusarnya karena perlakuannya terhadap kedua nona itu, Giam In
Kok segera melancarkan serangan dengan ganas dan tanpa mengenal ampun
lagi.
Dalam waktu singkat
bayangan tangan menyelimuti seluruh angkasa. Angin pukulan menderu
deru. Dalam waktu singkat seluruh tubuh lawan telah terbungkus
desingan angin tajam tersebut.
Mendadak Ban keh Seng Hud
berpekik nyaring, telapak tangannya diputar sangat kencang sehingga
menciptakan gulungan bayangan merah yang makin mengembang luas. Dalam
waktu singkat sekeliling arena telah diselimuti kabut tersebut.
Sinona yang agak tua itu merasa pemuda ini sangat aneh, maka sambil
membopong adik seperguruannya yang bugil dan bersembunyi dibalik
batang pohon besar, diam diam dia mengikuti jalannya pertarungan itu.
Mula pertama Ban keh Seng
Hud menyangka si Bocah Ajaib Bermuka Seribu sedang menggunakan siasat
untuk menjebaknya, karena iitu setiap langkahnya dilakukan dengan
berhati hati sekali, bahkan mengambil sikap untuk mempertahankan
diri.
Tapi lama kelamaan
setelah dilihatnya peluh mulai membasahi jidat Giam In Kok, nafasnya
mulai memburu dan pukulannyapun makin lama makin pendek. Tak tahan
lagi ia segera tertawa terbahak bahak : “ Haahhhh….
Haahhh….haahhhh… rupanya kau sibocah keparat kelewat banyak
bermain cinta sehingga banyak kehilangan tenaga dalam. Hemmmm, hari
ini jangan harap kau bisa lolos dari tanganku dalam keadaan hidup….
“.
Melihat rahasianya sudah
terbongkar. Giam In Kok merasa semakin gelisah, segera bentaknya : “
Iblis tua, lihat saja nanti apakah siauya mampu merenggut nyawamu
atau tidak ? “.
Masih mending kalau ia
tidak berbicara. Begitu ia selesai mengeluarkan suara, nada suaranya
kedengarannya gemetar. Hawa murninyapun ikut pula tersendat sendat.
Ban keh Seng Hud adalah
seorang jago kawakan yang sangat berpengalaman, melihat kejadian ini
dia segera mengejek dengan wajah berseri seri : “ Bocah keparat,
hari ini kau pasti akan mampus. Aku lihat Say Lo Seng Bo telah mampus
pula sehingga tidak mingkin ada orang lain yang bisa menolong jiwamu
lagi, maka Hudya akan bikin kau kalah dengan hati puas. Silahkan
beristirahat dulu sebelum melanjutkan pertarungan “.
Sekalipun Giam In Kok
memang membutuhkan waktu untuk beristirahat agar ia bisa melebur
empedu ular dan tenaga dalamnya namun diluar dia tetap bersikap
tenang. Serunya sambil tertawa dingin.
“ Hemmm, tanpa
beristirahatpun siauya masih mampu untuk membunuh kau sisetan tua “.
Sambil memburu maju kedepan dia segera melencarkan dua buah serangan
beruntun Sebetulnya Ban keh Seng Hud telah menyebarkan hawa murninya
yang dihimpun keseluruh tubuhnya.
Tapi jangan dilihat
keadaan Giam In Kok sudah lemah, ternyata
tenaga pukulan yang
dihasilkan masih memiliki kekuatan seribu kati
keatas.
“ Blaaammmmm, blammmmm
! “.
Gara gara sikapnya yang
terlalu gegabah nyaris hawa murni Ban
keh Seng Hud buyar oleh
serangan tersebut. Secara beruntun dia
mundur sejauh lima
langkah lebih sebelum berdiri tegak kembali.
Kontan saja hawa
amarahnya meluap. Dengan wajah merah
padam bentaknya keras :“
Bocah busuk, kau memang tidak tahu diri….. “.
Giam In Kok yang berhasil
menempati posisi diatas angin tentu saja tidak menyia nyiakan
kesempatan baik itu dengan begitu saja. Tanpa menunggu sampai
musuhnya selesai bicara, permainan pukulannya segera berubah. Kali
ini dia melepaskan serangkaian pukulan gencar yang datang dari empat
arah delapan penjuru.
Sekalipun tenaga dalamnya
lama kelamaan makin menyusut lemah, namun ilmu pukulan Cing Khu Ciang
Hoat, Giam Tok Liong Ciang, Siau Hun Kou Lian dan aneka macam ilmu
pukulan lainnya benar benar ganas luar biasa.
Akibatnya Ban keh Seng
Hud keteter hebat. Untuk sesaat diapun tidak ada kesempatan untuk
menghimpun kembali tenaga dalamnya. Maka untuk sementara waktu
posisinya tetap berimbang.
Biarpun begitu Giam In
Kok menyadari posisinya yang berbahaya sekali. Andaikata lawannya
sampai mengeluarkan ilmu pukulan kabut merahnya lagi, sudah dapat
dipastikan nasibnya akan mengalami akhir yang tragis.
Maka sambil bertarung dia
berpikir terus, tiba tiba pemuda itu melompat mundur sejauh beberapa
kali, kemudian ujarnya sambil tertawa :“ Hwesio gadungan, kita
sudah pernah bertemu sebanyak dua kali. Namun bila pertarungan
seperti ini berlangsung terus, bagi dirimu pasti tak akan
memperlihatkan kepandaianmu yang sebenarnya. Kalau kita ganti
pertarungan dengan cara lain bagaimana ? “.
“ Hemmmm, kau sibocah
licik sudah kalap sejak tadi, masa Hudya yang dibilang tak
berkepandaian ?. “.
“ Atas dasar apa kau
mengatakan aku sudah keok ? “.
“ Tadi kau sudah mundur
lima langkah secara beruntun bahkan sepasang bahumu turut bergoncang
keras “.
Mendengar ucapan tersebut
Giamm In Kok tertawa terbahak bahak, serunya :“
Haaahhhh…..haaahhhh…..haahhhh…. bagi taktik ilmu perang, soal
main siasat sudah jamak, apalagi bukankah kau sendiri juga kena
kuhajar mundur sebanyak lima langkah, bahkan pertarungan yang barusan
berlangsung tadi diakhiri dengan seri “.
“ Baiklah, anggap saja
perkataanmu itu betul , lalu siasat busuk apalagi yang hendak kau
kemukakan ? “.
Sambil menuding kearah
sebuah puncak kecil beberapa puluh kaki dihadapannya itu Giam In Kok
berkata lagi : “ Sewaktu berada ditengah udara tadi, aku sudah
melihat bahwa disitu terdapat beberapa buah batu hijau. Bagaimana
kalau kita duduk saling berhadapan disana dan kita beradu tenaga
dalam ?. Siapa yang kalah dan mampus tentu tak mampu berbicara lagi
!? “.
Ban keh Seng Hud segera
memutar biji matanya berulang kali. Tiba tiba ia berkata sambil
tertawa : “ Sebetulnya siasat busuk apakah yang hendak kau siapkan
untuk menipuku ?.
“ Atas dasar apa kau
menuduh aku sedang menipu dirimu ? “.
“ Hemmmm, sederhana
sekali alasannya. Bukankah kau ingin menggunakan kesempatan itu untuk
mengatur pernafasan serta mengembalikan hawa murnimu .? “.
“
Haaahhhh….haahhhh….haahhhh…. Hwesio gadungan, tak nyana kau
cerdik. Bagimana ?. Memangnya kau merasa takut ? “.
Bagi orang persilatan
yang menomer satukan soal nama dan kedudukan, mereka paling pantang
bila dikatakan orang lain “takut”. Walaupun tahu kalau dia akan
dapat meraih kemenangan bila pertarungan dilanjutkan sekarang juga,
tapi diapun tidak mau diremehkan orang sebagai penakut, dia percaya
masih memiliki keyakinan untuk meraih kemenangan. Diapun tahu kalau
pihak lawan telah kehilangan sebagian tenaga murninya. Sekalipun
bocah itu pernah menelan Cairan Mustika dan Buah Thio Ko namun
mustahil pemuda tersebut dapat memperoleh kembali kekuatan tubuhnya
hanya dalam waktu singkat.
Andaikata dia bisa
menghimpun hawa Yang Hong Im Hwe-nya, bukankah sesaat kemudian di
Bocah Ajaib Bermuka Seribu bakal mampus ditangannya ?. Ban keh Seng
Hud memang memperhitungkan segala sesuatunya dengan cermat, tapi
sayang dia tidak tahu kalau setelah kejadian itu
Giam In Kok sempat
menelan Pil Api dan Mutiara Giok Li Li Cu sehingga mendatangkan unsur
panas dan dingin dalam tubuhnya. Bukan Cuma begitu, tanpa sengaja
diapun telah mempelajari ilmu Tiong Giok Sam Ceng sehingga kemampuan
untuk memulihkan kembali tenaga dalamnya memiliki suatu cara yang
unik.
Maka sambil tertawa
terbahak bahak katanya kemudian : “ Hahhhh….haahhhh…haahhhh…
bocah busuk, sekalipun kau berniat untuk memanaskah hati, pokoknya
Hudya pasti akan membuat kau takluk dengan perasaan puas ! “.
Diam diam Giam In Kok
merasa kegelian, pikirnya :“ Hemmmm, kau menganggap dirimu amat
pintar, padahal bodohnya setengah mati, coba kalau kau tidak
memikirkan soal gengsi dan nama, siauya tidak akan berhasil
menjebakmu. Sekarang aku pasti akan mendesak kau mampus gara gara
gengsi dan nama ?“.
Tapi diapun tahu apabila
rahasia ini sempat terbongkar, pihak musuhnya tentu menyesal dan
mengurungkan niatnya, sebab itu katanya kemudian sambil tertawa :“
Siauya mempersilahkan kau berangkat dulu “.
“ Dan kau ingin
melarikan diri tanpa sepengetahuanku “.
“ Hemmm. Masa kau tak
tahu kalau siauya selalu mengalah tiga jurus kepada siapapun juga ?“.
“ Huh !, omong kosong.
Buktinya mengapa kau melancarkan serangan lebih dahulu tadi ? “.
”Aku memang sengaja
berbuat demikian untuk memberi pelajaran kepada kau simanusia latah“.
Ban keh Seng Hud menjadi
sangat mendongkol, dia tak berbicara lebih jauh hanya serunya dengan
gemas : “ Aku tidak kuatir kau bisa terbang kelangit ! “.
Selesai berkata, Ban keh
Seng Hud memungut jaring ular dari atas tanah dan siap berlalu dari s
itu.
Tiba tiba Giam In Kok
berseru dengan suara dingin :“ Kembalikan barang milik orang lain ?
“.
“ Kau ingin
mengambilnya ? “.
“ Huhhh. Siauya tak
akan rakus seperti kau ! “.
Ban keh Seng Hud agak
ragu, tapi akhirnya dia meninggalkan jaring kulit ular itu, kemudian
dalam beberapa kali lompatan saja ia telah mendaki kepuncak bukit
itu.
Giam In Kok tersenyum,
dengan menggunakan kesempatan yang amat baik ini dia mengatur
pernafasan dan dengan pelan pelan mendaki keatas bukit.
Waktu itu Ban keh Seng
Hud sudah menunggu dengan hati tidak sabar. Begitu melihat Giam In
Kok telah mencapai puncak ia segera menuding kesebuiah batu hijau
lima kaki dihadapannya sambil membentak :“ Bocah busuk, kau duduk
disebelah situ. Nah katakan bagaimana cara kita bertanding ? “.
“ Tentu saja aku akan
menerangkan “ sahut Giam In Kok tertawa. “ Kalau tadi aku sudah
mengajukan satu persoalan, maka sekarang giliranmu untuk mengajukan
persoalan kedua “.
“ Hemmmm… ! “ Ban
keh Seng Hud mendengus. “ Mengingat tidak gampang bagimu untuk
mencapai puncak ini, aku akan memberi seperempat jam kepadamu untuk
beristirahat. Kemudian pertandingan baru dimulai….. “.
“ Apakah kau tidak
merasa dirugikan ? “.
“
Hehhh…heeehhh…heehhh…” Ban keh Seng Hud segera terawa dingin
“ Kau sibocah busuk,
apakah kau anggap dirimu sebagai bocah ajaib. Tahukah kau bahwa
Hudya-pun menganggap diriku sebagai Budha hidup ?.”
“ Ah kalau begitu kita
sama sama setali tiga uang. Mulai hari ini kita mesti seia sekata …..
“.
“ Hemmmm, seia sekata
sih tidak. Kau yang akan berangkat kelangit barat lebih dulu.
Hemmmm….. heemmm… kau anggap dengan jalan pelan pelan sambil
mengatur pernafasan maka Hudya akan kau kelabui ?. tapi Hudya-pun
sudah tiba lebih dulu disini untuk mengatur pernafasan jauh lebih
awal daripada dirimu….. “.
Perkataan dari Ban keh
Seng Hud memang benar, karena diapun berusaha untuk memanfaatkan
setiap kesempatan untuk mengatur pernafasan serta berusaha untuk
menggunakan taktik tenang untuk mengawasi gerak.
Giam In Kok tetap
tersenyum dikulum, katanya kemudian :”Hwesio gadungan, kau jangan
keburu merasa bangga hati, akhirnya kau pasti akan merasa menyesal
setengah mati…. “.
Melihat sikap musuhnya
yang tenang dan seolah olah acuh tak acuh, tanpa terasa Ban keh Seng
Hud berpaling dan mengawasi kearah Giam In Kok sekejap, tapi dengan
cepat ia dibuat tercengang.
Ternyata hanya
beristirahat sejenak saja keadaan Giam In Kok saat ini sudah berubah
sama sekali. Sepasang matanya bersinar tajam dan jauh berbeda
daripada keadaan sebelum pertarungan dilangsungkan tadi.
Ban Keh Seng Hud tidak
tahu kalau tenaga dalam Giam In Kok tersebut telah pulih kembali
tujuh bagian, tentu saja ia merasa terkejut. Sambil mengibaskan ujung
bajunya ia segera membentak :“ Tak usah menjual lagak lagi didepan
Hudya, ayo cepat mengatur pernafasan dulu sebelum menunggu kematian
“.
“ Mengapa kaupun tidak
menggunakan kesempatan ini untuk duduk bersemedi lebih dulu, kemudian
baru mengajak siauya untuk berbicara ? “.
“ Kenapa ? “.
“ Setiap menghadapi
pertarungan, siauya selalu mengalah tiga jurus kepada musuhku, maka
sebelum pertarungan tenaga dalam dimulai, akupun akan memberlakukan
peraturan yang sama “.
“ Hemmmmm ! “ dengan
nada mendongkol Ban keh Seng Hud mendengus berat.
Giam In Kok kembali
mengejek : “ Sudah, tak usah bergaya lagi. Coba kalau siauya tidak
takut
pukulanku terbakar, tentu
saja akan kupersilahkan kau menyerangku dengan ilmu pukulan berapimu,
akan kulihat sampai dimana kehebatannya ? “.
“
Haahhh….haahh….haahhh…. jangan lagi bocah busuk seperti kau,
dewapun tak akan berani“.
“ Masa iya. Tapi siauya
percaya, bila kukatakan bisa, pasti bisa “. Dia menengok sekejab
kebawah tebing. Sewaktu melihat kedua gadis itu tidak menyusul
keatas, sedang perempuan yang memberi peringatan kepadanya dengan
ilmu menyampaikan suarapun tidak diketahui kemana perginya. Maka
setelah tertawa katanya lagi
“ Bagaimana kalau kita
mencoba kemampuan kita disini saja ? “.
Ketika Ban keh Seng Hud
menyaksikan pihak lawan betul betul hendak melepaskan pukulan, tentu
saja ia tidak membiarkan pemuda itu berbuat begitu. Segera bentaknya
dengn keras :“ Coba sambut dulu sebuah pukulan dari Hudya ! “.
Selesai berkata, sebuah
pukulan dahsyat dilontarkan kedepan dengan hebatnya.
Dengan suatu gerakan yang
cekatan Giam In Kok melejit kesamping untuk meloloskan dari dari
ancaman tersebut. Serunya sambil tertawa :“ Jurus pertama ! “.
“ Apa jurus pertama ?
“.
“ Aku telah mengalah
satu jurus kepadamu….. ! “ sahut Giam In Kok menerangkan.
Ucapan tersebut seketika
membangkitkan kemarahan Ban keh Seng Hud, dia seperti telah melupakan
janji untuk beradu tenaga dalam. Sambil mendengus dingin bukan saja
sepasang tangannya berubah menjadi merah membara, lagipula secara
lamat lamat tersembur keluar asap yang membara. Secara beruntun dia
melancarkan serangkaian serangan dahsyat.
Giam In Kok bergerak
menghindar dengan gerakan yang enteng dan cekatan. Kemudian serunya
sambil tertawa :“ Jurus kedua…… “.
“ Jurus ketiga….. “.
Menurut kebiasaan yang
berlaku, begitu ucapan jurus ketiga telah diucapkan, maka dia akan
melancarkan serangan balasan. Tapi saat ini tiba tiba saja satu
ingatan melintas didalam benaknya, dengan cepat tubuhnya meloncat
mundur sejauh sepuluh kaki, kemudian bentaknya dengan keras :“
Tahan !! “.
“ Bocah busuk,
permainan apalagi yang hendak kau persiapkan?” seru Ban keh Seng
Hud dengan wajah tertegun.
“ Siauya ingin bertanya
kepadamu. Sepanjang hidupmu berapa orang murid yang pernah kau terima
? “.
“ Apa kau ingin menjadi
muridku ? “ Ban keh Seng Hud balik bertanya.
“ Menjadi muridmu ?.
Huhhh …!, mengapa kau tidak bercermin dulu diatas air kencingmu,
manusia bertampang apakah kau ini ? “.
Ban keh Seng Hud benar
benar sangat gusar, kemudian umpatnya : “ Dasar bocah keparat yang
tidak pernah didik orang tua. Tak heran mulutmu kotor dan tidak
mengerti sopan santun“.
Perkataan tersebut ibarat
menggosok luka hatinya. Paras muka Giam In Kok seketika berubah
menjadi dingin bagaikan es, serunya sambil tertawa dingin : “
Heehhhh…heehhh….heehhh…. aku bertanya kepadamu karena siauya
menilai tindakanmu meski keji dan banyak sudah yang menjadi korbanmu,
itulah sebabnya kau sibinatang busuk telah melanggar pantanganmu.
Hemmmm, tak tahunya kau malah mengejekku dengan kata kata seperti
itu. Kelihatannya kau memang pengin mampus…. “.
Baru selesai perkataan
itu diucapkan mendadak terdengar suara perempuan tadi bergema
ditelinganya lagi :
“ Siauhiap, untuk
menghadapi musuh yang berada dihadapanmu, kau meski bersikap lebih
hati hati dan waspada “.
Hampir pada saat yang
bersamaan Ban keh Seng Hud berkata dengan tertawa : “ Bocah busuk,
kau ingin menyelidiki keadaan Hudya-mu yang sebenarnya ?. Hemmmm, ini
berarti kaupun sudah bosan hidup “.
Tapi Giam In Kok sedang
memperhatikan bisikan dari perempuan tersebut dengan penuh seksama,
tanpa disadari ia berseru :“ Turut perintah ! “.
Ban keh Seng Hud mengira
jawaban tersebut ditujukan kepadanya, maka sambil tertawa segera
katanya :“ Asal kau sudah tahu saja, ini lebih baik lagi “.
“ Soal apa ? “ tiba
tiba Giam In Kok bertanya dengan wajah tertegun bercampur keheranan.
“ Kau sudah tidak
pengin hidup lagi bukan ? “.
“ Aaahhh, tak usah
banyak bicara lagi…. “.
“ Kalau memang begitu,
sambutlah seranganku ini….. ! “.
Sejak tadi Ban keh Seng
Hud telah menghimpun segenap tenaga dalamnya dan bersiap melancarkan
serangan, maka begitu selesai berkata, sepasang telapak tangannya
segera dilontarkan kedepan.
Kabut berwarna merahpun
memancarkan desingan tajam yang memekakkan telinga langsung
menggulung kemuka. Giam In Kok tidak diam saja. Tenaga Ceng Goan Hiat
Khi-nya telah pulih kembali segera dikerahkan keluar. Dalam waktu
sekejap daerah seluas beberapa kaki disekeliling tempat itu sudah
diliputi hawa serangan yang menyebar kemana mana.
Ban keh Seng Hud kembali
membentak keras, tenaga pukulannya segera dihimpun hingga mencapai
delapan bagian.
“ Blammmmm…. ! “.
Serangan ini dengan cepat
membelah celah jalan pintas menembusi kabut pelindung badan Giam In
Kok, tapi setiap waktu menyentuh tubuhnya tenaga serangan tersebut
justru seakan akan menghantam selembar lempengan baja diiringi
desingan nyaring, Ban keh Seng Hud justru malah terpental mundur
sendiri sejauh satu langkah.
Kabut yang menyebar
kembali terhimpun menjadi satu. Keadaan Giam In Kok sekarang ibarat
sekuntum bunga yang baru mekar. Betapa terkejutnya Ban keh Seng Hud
ketika menyaksikan serangan yang mempunyai kekuatan untuk mencabut
sebatang pohon sampai keakar akarnya itu ternyata tidak berhasil
merobohkan pertahanan lawan, bahkan sepasang tangannya sendiri
malah terasa kaku.
Apalagi setelah dia
mencium bau harum yang sangat aneh dari tubuh pemuda itu hatinya
semakin terkesiap.
“ Bocah busuk “
teriaknya kemudian. “ Apakah empedu ular bunga tadi telah berhasil
kau lebur dalam tubuhmu ? “.
Giam In Kok terbahak
bahak :“ Haahhhh…. Haahhhh…..haahhhh…. terima kasih banyak
atas bantuanmu, kalau bisa silahkan kau menambahi dua pukulan lagi
untukku…. “.
Ternyata gumpalan kabut
tersebut merupakan hawa Ceng Goan Hiat Khi yang memang dihimpun oleh
tubuhnya sedangkan hawa lembut berbau harum yang menyelimuti
sekeliling badannya justru terbentuk dari gabungan mutiara Giok Li Li
Cu serta Empedu Ular Bunga tadi.
Sebagai seorang jago yang
berilmu tinggi dan berpengalaman luas, Ban keh Seng Hud segera dapat
membedakan kalau dibalik bau harum tadi terselip pula bau harumnya
Empedu Ular Bunga. Bertapa terkejutnya dan mendendamnya Ban keh Seng
Hud ini begitu mendengar pengakuan dari Giam In Kok. Dengan penuh
amarah dan rasa iri hati, segera bentaknya :“ Baiklah, biar Hudya
segera mengirimkanmu pulang kerumah nenek ! “.
Tampak sepasang matanya
melotot penuh kegusaran. Rambut dan jenggotnya bergetar karena emosi.
Sementara hawa merah yang terbentuk dari telapak tangannya secepat
kilat dilontarkan kebalik kabut pelindung tubuh lawan. Dia tahu,
untuk bisa melebur empedu Ular Bunga kedalam tubuh seseorang tersebut
dibutuhkan waktu paling sedikit delapan puluh hari latihan. Ini
berarti dia masih punya kesempatan untuk menggempur pusar lawan
dengan tenaga sebesar dua belas bagian untuk merebut empedu tersebut
dan segera melarikann diri dari sana.
Siapa tahu baru saja ilmu
pukulan bara api Lie Hwe Sio Ciang yang dahsyat dan khusus menembusi
hawa khikang pelindung tubuh lawan ini baru membakar sebagian dari
kabut pelindung tubuh Giam In Kok, tahu tahu pandangan matanya terasa
kabur dan ia kehilangan jejak musuh.
Sejak semula Giam In Kok
sudah tahu bahwa ilmu pukulan bara api Lie Hwe Sio Ciang dari lawan
adalah ilmu yang khusus untuk merusak hawa khikang pelindung badan,
apalagi setelah
menyaksikan hawa pukulan
berwarna merah itu terhimpun dalam satu garis dan khusus menyerang
kesatu tempat. Bagaimana mungkin dia berani mencoba dengan taruhan
tubuhnya.
Dengan pulihnya tenaga
dalam yang dimilikinya, maka sekalipun belum berhasil melebur empedu
ular tersebut kedalam tubuhnya, kepandaian yang dimiliki sudah
beberapa tingkat diatas Ban keh Seng Hud.
Itulah sebabnya dia
segera mengeluarkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna untuk
menyelinap kebelakang tubuh musuhnya, kemudian jengeknya sambil
terkekeh kekeh :“ Haaahhhhh….haahhhh….haahhhh…… sudah susah
payah menghimpun seonggok api untuk membakar orang, tak tahunya usaha
tersebut sia sia belaka…. “.
Mendengar seruan tersebut
Ban Keh Seng Hud mencoba untuk membalikkan badan, namun siapa tahu
dia tidak berhasil melepaskan diri dari ulah Giam In Kok yang terus
menempel dibelakang punggungnya itu.
Dalam keadaan apa boleh
buat dia segera berpekik nyaring, tubuhnya melejit keudara setinggi
sepuluh kaki kemudian berjumplitan beberapa kali, sementara telapak
tangannya diayunkan kedepan sehingga menciptakan sekuntum cahaya.
Cahaya merah yang menyelimuti daerah seluas beberapa kali dan pelan
pelan meluncur kebawah.
Setelah merasakan
kelihaian musuhnya tadi, terutama setelah pukulan Lie Hwe Sio Ciang
berhasil membakar sebagian dari hawa khikang pelindung badannya, Giam
In Kok sudah tahu kalau nama besar ilmu pukulan bara api tersebut
bukan cuma nama kosong belaka.
Dengan menggunakan
kesempatan disaat awan merah itu belum sempat mencopot kepalanya, dia
segera melejit kesamping untuk meloloskan diri.
“ Aku telah mengalah
tiga jurus kepadamu ? “. Katanya kemudian sambil tertawa. “
Sekarangpun aku sudah mengalah dua gebrakan lagi, bila digabungkan
maka aku sudah mengalah tiga jurus dan dua gebrakan kepadamu. Aku
lihat lebih baik bara apimu itu disimpan saja untuk membuat obor
nanti. Asal kau bersedia untuk bertobat serta tidak melakukan
kejahatan lagi, akupun bersedia untuk memberi kesempatan hidup
kepadamu. Sebaliknya kalau tidak….heeemmmmm…….jangan salahkan
bila siauya akan bertindak keji “.
Ban Keh Seng Hud tidak
berhasil menarik kembali tenaga pukulan bara api yang telah
dilepaskannya, ketika itu juga beberapa lembar batu hijau diatas
puncak bukit itu terbakar habis.
Apalagi setelah mendengar
nasehat dari bocah muda itu, amarahnya semakin berkobar, segera
teriaknya dengan keras :“ Bocah busuk, mengapa kau tak berani
menyambut seranganku? “.
“ Kalau toh kau enggan
mengucurkan air mata sebelum melihat peti mati, terpaksa siauya harus
memberi pelajaran yang setimpal kepadamu “.
“ Hei sebetulnya kau
hendak beradu tenaga dalam ataukah beradu kelincahan jurus serangan ?
“.
“ Terserah pilihanmu
sendiri ! “.
“ Lebih baik kita
beradu tenaga murni saja ! ?.”
Setelah mempertimbangkan
untung ruginya tentu saja Ban Keh Seng Hud lebih suka memilih beradu
tenaga murni daripada dengan jurus silat.
Giam In Kok segera
mengetahui kalau musuhnya berniat untuk mengadu jiwa. Tanpa terasa
keningnya berkerut kencang, serunya :“ Menurut pendapatmu,
bagaimana kita meski beradu ?“.
“ Masing masing duduk
pada batu hijau yang telah ditentukan tadi, lalu masing masing
melancarkan sebuah pukulan. Barang siapa yang meninggalkan batu hijau
itu terlebih dahulu, maka dialah yang dianggap kalah “.
“ Bagaimana setelah
kalah ? “.
“ Terserah pada
keputusan lawannya ! “.
“ Baiklah, bila aku she
Chin yang kalah, apa keputusanmu untuk menghadapiku ? “.
“ Akan kupaksa dirimu
untuk menjadi muridku serta harus mempersembahkan empedu ular itu
kepadaku “.
Giam In Kok segera
teringat kembali dengan ilmu yang tercatat dalam kitab Tiong Giok Sam
Keng, yaitu Gadis Suci Menyerahkan Obat serta Bocah Jejaka
mempersembahkan Pil. Dua jenis ilmu yang teramat sesat. Tanpa terasa
diapun menghela nafas :“ Empedu ular tersebut telah berada didalam
perutku, lalu dengan cara apa kau menyuruh aku mempersembahkan
kepadamu? “.
Ban Keh Seng Hud tidak
menyangka kalau Giam In Kok akan mengajukan pertanyaan tersebut.
Saking kagetnya dia mundur selangkah kebelakang, sementara paras
mukanya berubah merah padam. Sambil tertawa paksa katanya kemudian :
“ Akan kuhisap darahmu untuk mendapatkan sari empedu tersebut.
Bukankah cara ini paling jitu ? “.
Pelan pelan paras muka
Giam In Kok pulih kembali, segera serunya sambil tertawa :“ Kau
angggap pertandingan ini sudah pasti dimenangkan olehmu ? “.
“ Pokoknya kalau Hudya
sampai kalah, terserah kepadamu apa yang hendak kau perbuat padaku “.
“ Tidak usah dibilang
seandainya lagi, siauya cuma minta sebuah telingamu untuk kembali
kejalan yang benar…… “.
“ Baik. Bila Hudya
sampai kalah, telingaku pasti akan kupersembahkan kepadamu “.
Giam In Kok tertawa.
Pelan pelan dia naik keatas batu hijau yang telah ditentukan.
Sementara itu Ban Keh
Seng Hud-pun telah naik keatas batu hijau yang ditentukan dan duduk
bersila disitu.
Saat itu, seandainya ada
orang yang tak mengetahui duduk persoalan naik keatas puncak
tersebut, mereka pasti akan dibuat tercengang dengan adegan disana.
Tampak seorang kakek dan seorang pemuda duduk saling berhadapan
diatas batu hijau dengan selisih jarak lima, enam belas kaki,
sementara uap panas kelihatan mengepul keluar dari tubuh masing
masing.
Suasana terasa amat
hening. Namun paras muka kedua orang itu serius sekali. Lambat laun
batu yang diduduki kakek tersebut dari atas hingga kebawah segera
berubah menjadi merah membara, bahkan uap airpun turut berubah
menjadi merah padam.
Ban Keh Seng Hud segera
tertawa, tiba tiba sepasang telapak tangannya didorongkan kedepan
dengan cepatnya, dan menyambar lewat dari sisi tubuh Giam In Kok lalu
meluncur kearah tempat kejauah sana.
Giam In Kok nempak
sedikit bergetar, tapi dengan cepat dia telah pulih kembali dalam
ketenangan.
Ban Keh Seng Hud segera
membuka matanya kembali dan melirik sekejap kearah lawannya, kemudian
ia menegur sambil tertawa :“ Hei bocah busuk, kau sudah mampus
belum ? “.
Ketika tidak mendengar
jawaban, kembali Ban Keh Seng Hud bergumam : “ Aaaii… tidak
seharusnya kulepaskan serangan dengan tenaga sakti Sam Wi Gou Hong,
akibatnya mustika alampun turut dirusak. Hemmmm…. Sekalipun dia
disebut orang sebagai si Bocah Ajaib Bermuka Seribu dan berhasil
memiliki kepandaian sakti. Namun setelah badannya berhasil ditembusi
oleh hawa sakti Sam Wi Gou Hong-ku bagaimana mungkin badannya tidak
terbakar hancur ? “.
Sembari bergumam dia
segera melompat turun dari tempat duduknya dan berjalan mendekati
sisi pemuda dimana batu tempat duduknya masih mengeluarkan hawa
panas. Lalu katanya lagi : “ Sayang, sayang… kau memang tak malu
disebut orang sebagai si Bocah Ajaib Bermuka Seribu, tapi nyatanya
hawa sakti Sam Wi Gou Hong dari Hudya-mu telah berhasil membuat
batupun berasap karena kepanasan. Apalagi tubuhmu yang terdiri dari
darah dan daging ?. Sebetulnya Hudya tak berniat menggunakan cahaya
api yang terlatih dari hawa murni. Namun tenaga dalammu kelewat
sempurna. Untuk berjaga jaga terhadap segala kemungkinan yang tidak
diinginkan, terpaksa aku harus melepaskan cahaya api untuk membakar
tenaga dalam pelindung tubuhmu. Semula aku hanya ingin membuatmu tahu
kelihaianku. Siapa tahu keadaannya sama sekali diluar dugaan.
Akhirnya tubuhmu terbakar, aaiii….. “
Sambil berkata tiba tiba
saka beberapa air matanya jatuh berlinang membasahi wajahnya.
Mendadak terdengar seseorang tertawa terbahak bahak, lalu terasa ada
sepasang tangan yang menggenggam tangannya dengan kecepatan bagaikan
kilat.
“ Hwesio gadungan kali
ini kau sudah kalah…. “ seru Giam In Kok keras.
Dengan perasaan terkejut
berniat melompat bangun. Namun tenaga cengkeraman lawan kuat sekali
membuat ia tidak mampu berkutik sama sekali.
Dengan perasaan terkejut
bercampur gelisah segera serunya : “ Mengapa kau belum mati ? “.
“ Bila siauya sudah
mati, siapa yang tahu kalau pertarungan ini berhasil aku menangkan ?
“.
“ Tapi Hudya toh belum
kalah ?” seru nya cepat.
“ Belum kalah ?. Coba
kutanya siapa yang telah meninggalkan tempat duduknya sekarang ?. Dan
bagaimana pula dengan syarat pertandingan kita tadi ? “.
Termenung beberapa
lamanya. Kemudian dia menghela nafas dengan perasaan kecewa, katanya
pelan : “ Yahh…, aku memang kalah. Baik adu kepintaran maupun
beradu kepandaian, aku tidak bisa mengunggulimu. Hayo cepat lepas
tangan agar bisa kuserahkan telingaku ini kepadamu “.
Mendengar perkataan ini,
Giam In Kok segera tertawa :“ Kau cukup mengaku kalah saja. Buat
apa aku mendapatkan telingamu itu….. ? “.
“ Lantas apa yang kau
inginkan ? “ tanya dengan perasaan tak senang hati.
“ Aku hanya minta kau
bertobat serta kembali kejalan yang benar ?! “.
“ Tapi perjanjian kita
kan begini, Hudya wajib melaksanakan perjanjian sendiri “.
“ Orang kuno
mengatakan, berbuat baik adalah pahala. Asal kau dapat merubah
kelakuanmu maka kau benar benar akan menjadi Budha hidup dari Selaksa
Keluarga (Ban Keh Seng Hud), apa gunanya mendapatkan telingamu itu ?.
Paling banter cuma membuat cacat panca indera saja. Nah pergilah
sekarang, maaf kalau aku masih ada urusan lain “.
Ban Keh Seng Hud segera
terbungkam seribu bahasa. Ketika ia mendongakkan kepalanya kembali,
tampak sepasang matanya telah berkaca kaca, hampir saja air matanya
jatuh keluar. Itulah pancaran sinar menyesal, malu dan sedih
bercampur aduk menghiasi wajahnya tua tua. Dengan putus asa dia
memandang sekejap kearah Giam In Kok lalu ujarnya sedih :“ Mulai
saat ini aku berjanji akan melepaskan golok pembunuh untuk tidak
mencampuri urusan dunia persilatan lagi. Bila Siauhiap membutuhkan
bantuan tenaga aku tidak akan menampik ! “.
Giam In Kok adalah pemuda
yang berhati mulia, dia tidak tega membiarkan kakek yang telah
berusia seabad lebih itu berkata demikian memelasnya dihadapannya.
Buru buru ia berkata : “Harap Lotiang jangan berpikir yang tidak
tidak, aku…. “.
Mendadak dari kejauhan
sana terdengar seseorang membentak nyaring :“ Hei jangan kau
lepaskan orang itu ! “.
Giam In Kok mengenali
suara tersebut sebagai sinona yang berusia agak tua. Sekalipun ilmu
silatnya tidak seberapa, namun bila sampai ketanggor dirinya, sudah
pasti akan timbul kerepotan baru. Karenanya cepat cepat dia berkata
:“ Lotiang cepatlah pergi, biar urusan disini serahkan saja
kepadaku untuk diselesaikan “.
Ban Keh Seng Hud mencoba
untuk berpaling. Ia saksikan ada lima enam sosok bayangan manusia
sedang bergerak mendekati dengan kecepatan tinggi. Ia tak ingin
menimbulkan persoalan baru lagi yang dapat merepotkan dirinya, maka
setelah menjura ia berkata :“ Kalau begitu merepotkan Suaihiap
untuk menyelesaikan persoalan disini… “.
Menyusul kemudiann dia
berpekik panjang, burung elang raksasa segera terbang mendekat dengan
cepat. Ban Keh Seng Hud segera melompat naik keatas punggung
burungnya dan terbanglah elang raksasa tersebut menembus awan.
Saaat itulah beberapa
orang gadis cantik telah tiba dibawah puncak, terdengar seorang yang
berjalan paling muka membentak keras :“ Pendeta siluman tunggu
dulu. ! “.
Tampak tangannya
diayunkan kedepan. Serentetan cahaya merah segera menembusi awan dan
menyambar ekor burung elang tersebut.
Betapa tajamnya mata Giam
In Kok ternyata diapun tak sempat melihat dengan jelas benda apakah
yang yang mengeluarkan cahaya merah tersebut. Buru buru ia berteriak
:
“ Hati hati Lotiang……
! “.
Ban Keh Seng Hud
mengiyakan, bersamaan waktunya burung elang itu meluncur dengan
kecepatan tinggi. Dalam waktu singkat bayangan mereka tinggal setitik
bayangan hitam yang menembus awan.
Ketika gagal dengan
serangannya, gadis itu menarik kembali cahaya merahnya, kemudian
setelah tiba dihadapan Giam In Kok serunya dengan garang :“
Bagaimana sih kau ini ?, Sam Sumoay kusuruh kau menahan orang itu,
kenapa kau justru membiarkan dia pergi ? “.
Giam In Kok menyaksikan
rombongan gadis itu terdiri dari enam orang. Usia mereka hampir
sebaya dan dandananpun hampir sama yaitu berbaju hijau dengan
menyoren sebatang pedang dipunggungnya. Ia tahu orang orang ini
adalah saudara seperguruan Ciu Li Ya, maka ujarnya kemudian sambil
tersenyum :“ Teguran dari Cici ini kelewatan, apalagi tuduhan yang
diutarakan kepadaku ? “.
“ Kelewatan ? “ seru
sinona yang berusia paling tua sambil mengawasi sekejap pemuda
dihadapannya. “ Bukankah kau sempat memberi peringatan kepada
keledai gundul gadungan itu agar berhati hati ?. Apakah hal ini tidak
membuktikan kalau kau memang sengaja membiarkan pergi ? “.
Sinona yang membawa tali
kulit ularpun berseru juga :“ Bocah lelaki busuk ini tentu bukan
orang baik baik. Toa Suci tak perlu banyak bicara dengannya, lebih
baik dibekuk saja lebih dahulu. Kita dapat mengorek keterangan dari
mulutnya tentang alamat keledai gundul tadi “.
“ Atas dasar apa Suci
ini menuduhku sebagai orang jahat ? “tanya Gian In Kok sambil
tertawa.
“ Bila kau memang orang
baik, mengapa melanggar pantangan berzinah…. “
“ Tolong tanya apa yang
dimaksud dengan berzinah itu ? “.
“ Si keledai gundul
tadi yang berkata demikian, kami semua belum pernah melanggar
pantangan berzinah, maka mana tahu apakah berzinah itu ? “.
Diam diam Giam In Kok
merasa geli. Dengan wajah serius segera berkata : “ Walaupun Ban
Keh Seng Hud gemar membunuh orang, namun akhirnya dia masih bisa
membedakan antara lurus dan sesat. Sudah sepantasnya bila kita
memberi sebuah jalan hidup kepadanya. Apalagi seorang tokoh sakti
yang bersembunyi telah berpesan kepadaku lewat ilmu menyampaikan
suara agar aku memberi hukuman yang paling ringan kepadanya. Itulah
sebabnya aku membiarkan dia pergi. Apa artinya kita terlalu
memojokkan dia ? “
Ketika mendengar ada
tokoh sakti yang memberi petunjuk melalui ilmu menyampaikan suara,
sinona kelihatan tertegun, tapi kemudian sam mendengus katanya :“
Justru kalian satu komplotan maka kau membiarkan keledai gundul itu
minggat dari sini, Huhhh… ada tokoh sakti siapa yang memberi
petunjuk melalui ilmu menyampaikann suara ?. Kau tak usah mengigau
yang bukan bukan. Seribu li disekeliling bukit Ngo Kui San hanya ada
Suhuku seorang tokoh sakti. Sedang Toa Suci hanya terhitung
setengah….. “.
Nona yang paling tua
usianya itu segera mendesis sambil tertawa:“ Budak ketiga memang
makin lama makin ngelantur kalau bicara, masak aku dianggapnya
setengah ? “.
Gadis itu segera tertawa,
serunya lagi :“ Bulan depan kau dan Lim Suheng…. “.
Tapi sebelum perkataan
itu selesai diucapkan, sinona paling tua itu sudah membentak dan siap
menamparnya. Dengan ketakutan gadis tersebut cepat cepat mundur
beberapa langkah kebelakang.
Menggunakan kesempatan
inilah Giam In Kok segera menjura dan berkata :“ Aku masih ada
urusan penting yang harus diselesaikan. Harap Cici sekalian memberi
jalan kepadaku “.
“ Kau hendak pergi dari
sini ? “.
Menyusul suara bentakan
itu keenam gadis tersebut serentak mencabut pedangnya dan segera
mengurung musuhnya. Giam In Kok merasa tercengang, ia melihat keenam
gadis itu salah seorang adalah gadis yang ditolongnya sewaktu terkena
pukulan Ban Keh Seng Hud tadi, maka katanya :
Bersambung Jilid 42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar