Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 06 Februari 2012

Pendekar Buruk Muka - Can ID 40

Sambungan pendekar buruk muka  ... selamat menikmati ...


Jilid 40

Ketika semua orang mendengar Ko Kiok Ciu hendak memunculkan diri, segera terlintas dalam ingatan mereka untuk membekuk perempuan tersebut. Karenanya secara diam diam mereka segera menghimpun tenaga dalamnya dan bersiap sedia untuk menyerang.

Siapa tahu secara mendadak terdengar Kwik Hui Liong menjerit kesakitan dengan suara memilukan hati, tubuhnya roboh terjengkang seketika keatas tanah.

Sebaliknya Ko Kiok Ciu telah balik kembali kedalam hutan dan berseru sambil tertawa cekikikan :“ Manusia tak berguna ini tak ada gunanya dibiarkan hidup terus, apalagi si ikan hiu tua akan segera datang kemari. Lebih baik tunggu saja sampai kehadirannya untuk berurusan dengannya “.

Biarpun cukup banyak perempuan keji yang membunuh suaminya sendiri, namun tindakan dari Ko Kiok Ciu yang melakukan dihadapan umum seperti apa yang dilakukannya sekarang oleh dibilang belum pernah terjadi.


Percuma Giam In Kok disebut sebagai si Bocah Ajaib, ternyata dia sama sekali tak menyangka kalau perempuan jalang tersebut akan melancarkan serangan sekeji ini.

Ia terlambat bertindak. Tahu tahu saja bayangan Ko Kiok Ciu telah menerobos masuk kembali kedalam hutan.

Dengan perasaan kaget, katanya kemudian :“ Apa yang dikatakan perempuan jalang itu memang benar. Kali ini kita benar benar tak bisa membantah lagi “.

Perempuan kejam berhati busuk seperti dia benar benar jarang sekali dijumpai didunia ini “ seru Perempuan Berhati Racun dengan rasa gemas dan benci. “ Bila kita bersua kembali dengannya dikemudian hari, jangan diberi kesempatan lagi kepadanya untuk melarikan diri. Pokoknya kita sikat saja perempuan itu, baik hidup maupun mati ! “.

Sebetulnya Giam In Kok mempunyai rencana untuk menangkap perempuan cabul itu untuk merebut kembali tenaga dalamnya yang hilang. Itulah sebabnya dia mengusulkan untuk menangkap musuhnya dalam keadaan hidup.

Siapa tahu gara gara pikiran tersebut akibatnya selembar nyawa telah hilang percuma. Itulah sebabnya setelah mendengar perkataan dari Siluman Perempuan Berhati Racun ini, tanpa terasa pipinya berubah menjadi merah dan panas sekali.

Perempuan Cantik Berwajah Dingin Kwik Hui Hun menangis tersedu sedu melihat kematian kakaknya. Selang sesaat kemudian satu ingatan mendadak melintas dalam benaknya. Buru buru dia berseru :“ Sudah pasti perempuan cabul itu pulang kerumah untuk mengundang kedatangan ayahku. Lebih baik kalian cepat cepat pergi dari sini ?! “.

Cici, kalau hendak pergi, lebih baik kita pergi bersama ! “ teriak Ho Koan Kim cepat.“ Tidak. Bila aku turut pergi maka semakin terbukti kalau urusan ini merupakan hasil perbuatan kita. Lebih baik biar aku yang melakukan pembelaan didepan ayah. Bila urusan disini telah selesai, aku pasti pergi ke Liong Li untuk mencarimu ! “.

Jadi Cici menyuruh kami pergi ke Liong Li ?” tanya Giam In Kok.

Si Rase Kecil, Enci Tiangsun memang pergi ke Kui Yang dan Liong Li untuk mencari jejakmu. Disamping itu hanya di Liong Li-lah persoalanmu baru bisa diselidiki hingga tuntas “.

Konon Perkampungan Ang Sin Sancung berada disekitar Lu Pan Ceng ? “ seru Ciu Li Ya tercengang.

Enci Ciu, kau tidak tahu. Sesungguhnya Perkampungan Ang Sin Sancung yang dibangun di Lu Pan Ceng cuma sebuah perangkap. Kalian jangan kesana hingga masuk jebakan “.

Ooohhh kiranya begitu. Terima kasih banyak atas petunjukmu….. “.

Aaaii… asal kalian tidak akan melupakan Encimu ini, sudah lebih dari cukup……. “.

Mendadak dari kejauhan berkumandang datangnya suara pekikan yang amat nyaring.

Buru buru Kwik Hui Hun mendesak rekan rekannya untuk segera pergi meninggalkan tempat tersebut.

Giam In Kok tahu. Berada disitu lebih lamapun tidak ada manfaatnya, maka diapun berkata : “ Semoga kau bisa menjaga diri baik baik…. “ .

Kemudian bersama kedua orang gadis tersebut, berangkatlah mereka menuju keselatan. Dari jauh sana terdengar suara isak tangis Kwik Hui Hun yang bergena terbawa angin malam.

Sambil menahan air matanya Ho Koan Kim meninggalkan tempat tersebut, sampai lama kemudian dia baru berkata sambil menghela nafas panjang : “ Aaaiii… aku benar benar seorang manusia yang sial. Gara gara untuk perasaan pribadiku, bukan saja Engkoh In menjadi korban, bahkan harus membuat kita kehilangan Enci Kwik dan selembar jiwa dari Kwik Hui Liong….. “.

Hemmmm….. bagi manusia yang tak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah semacam Kwik Hui Liong itu, apanya yang perlu disayangkan dengan kematiannya ?. Tapi berbicara tentang pribadimu itu, sebenarnya apa yang telah terjadi ?.”

Dengan air mata berlinang Ho Koan Kim segera berkata sedih : “ Setelah kukatakan nanti, aku kuatir Cici menjadi marah “.

Agaknya Giam In Kok-pun merasa takut bila Siluman Perempuan Berhati Racun menjadi tak senang hati. Cepat cepat dia menarik ujung baju sinona dan memintanya agar tidak berbicara.
Sebagai seorang yang cerdik dan berpandangan tajam. Dalam sekilas pandangan saja Siluman Perempuan Berhati Racun telah menyaksikan perbuatan itu. Sambil mendengus dingin serunya : “ Ooo, rupanya kaupun belum menganggap diriku bukan sebagai orang sendiri. Baik. Kalau begitu biar aku pergi dari sini ?! “.
Buru buru Ho Koan Kim berseru :“ Aku telah mengulangi perkataan tersebut dihadapan Enci Kwik. Waktu itu Enci Ciu sedang bertarung sengit dengan perempuan cabul tersebut, itulah sebabnya kau tak turut mendengar “.

Dengan gemas Siluman Perempuan Berhati Racun melotot sekejab kearah Giam In Kok, kemudian serunya :“ Bagus sekali. Rupanya kau tidak lebih penting daripada budak Kwik. Tak heran kalau persoalan tersebut tak boleh ku ketahui “.

Dengan gelisah Giam In Kok berseru :

Ciciku yang baik. Kalau toh kau ingin tahu, biar adik Koan saja yang mengatakan kepadamu ? “.

Tiba tiba saja Siluman Perempuan Berhati Racun Ciu Li Ya teringat kembali suasana saat membaca Kitab Tiong Giok Sam Keng tempo hari. Hatinya menjadi manis, tentu saja ia memasang telinga untuk mendengarkan penuturan mereka dengan seksama.

Tapi setelah mengetahui bahwasanya Ho Koan Kim berniat menjodohkan dia dan Giam In Kok serta memberi kesempatan untuk berbuat intim, dia menjadi malu bercampur gelisah. Segera bentaknya :“ Budak sialan, ternyata kau hendak memperdayaiku ?. Memangnya kau anggap diriku ini sebagai manusia apa ? “.

Sambil tertawa cekikikan sahut Ho Koan Kim :“ Engkoh In seringkali merindukan Cici, lagi pula Koanji mengerti bahwa aku berasal dari keadaan yang tidak normal, aku tak pantas….. “.

Dengan perasaan gelisah Siluman Perempuan Berhati Racun Ciu Li Ya menutup mulutnya dan berseru sambil tertawa :“ Budak cilik, kaupun tak usah berbicara lagi. Peduli kekasih atau bukan, tapi jangan kau sebut begitu sehingga yang mendengarpun merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri, lebih baik ceritakan saja pengalamanmu hingga bisa berkenalan dengannya “.

Giam In Kok merasa kurang leluasa untuk mencampuri urusan ini, maka dia berjalan seorang diri dibelakang kedua gadis tersebut. Dari penuturan Ciu Li Ya inilah Giam In Kok baru mendapat tahu kalau Siluman Perempuan Berhati Racun memang datang ke kota Mao Tay dengan menunggang kuda merah. Tapi dikedai arak itu ia telah dibikin mabuk dengan obat pemabuk dan dikirim kesebuah gedung besar. Untung saja dia segera dibebaskan oleh Perempuan Cantik Berwajah Dingin Kwik Hui Hun sehingga lolos dari cengkeraman bahaya. Bila kesemuanya ini dipikirkan kembali, bisa diduga bahwa sebagian besar merupakan hasil karya Ko Kiok Ciu yang mengatur siasat licin dan lihai itu.

Seandainya dia pribadi tidak sering menjumpai penemuan aneh, andaikata Ho Koan Kim tidak pura pura mabuk dan Kwik Hui Hun tidak mempersembahkan tubuhnya, sekalipun dia tak sampai mati, paling tidak keadaannya pasti akan merasa payah sekali.

Tanpa terasa dia menghela nafas panjang dan mengangkat kepalanya memandang kemuka. Siapa tahu begitu ia mengangkat kepala, yang terlihat hanya kabut tebal yang menyelimuti daerah disekeliling tempat itu.

Dengan ketajaman mata yang dimilikinya paling banter dia hanya bisa melewati kawasan sejauh satu kaki, sedangkan kedua gadis tersebut sudah tidak nampak lagi bayangan tubuhnya.

Dengan perasaan terperanjat ia segera berseru :“ Adik Koan………… “.

Namun selain suara dengusan keras dari pantulan suaranya sendiri, disitu tak terdengar lagi suara jawaban lain. Dia tahu suaranya tak dapat memancar jauh ditengah lapisan kabut tebal tersebut. Sementara saat itu dia sedang menyelusuri sebuah jalan setapak yang amat sempit, tanpa terasa pikirnya :“ Selisih jarak kami paling banter hanya satu panahan, suatu jarak yang tak terlalu jauh. Andaikata mereka melihat hubungan denganku putus mendadak, seharusnya sedih sekali dan balik kemari untuk bergabung denganku. Kenapa hingga sekarang belum nampak juga mereka muncul disini ? “.

Akhirnya sambil berjalan cepat pemuda ini berteriak memanggil nama kedua orang nona itu. Tanpa terasa sampailah ia disebuah persimpangan jalan.

Kali ini bakal celaka….. “ pikirnya dalam hati.

Tanpa terasa dia menghentikan perjalanan dan mencoba mengendus. Tiba tiba tercium bau harum berhembus datang dari sisi sebelah kiri. Dengan wajah berseri segera pikirnya lagi : “ Dengan bau harum tersebut sebagai penuntun, rasanya tak akan sulit untuk menemukan jejak mereka “.

Dengan langkah cepat dia berjalan kedepan. Entah berapa lama sudah dilaluinya. Kabut yang menyelimuti sekeliling tempat itu telah berubah menjadi warna kuning emas. Semestinya bayangan matahari makin tinggi, namun suasana disekeliling tempat itu tetap diliputi kabut yang amat tebal, yang nampak hanyalah bayangan yang lamat lamat sejauh beberapa depa.

Tapi dia tahu jalan tersebut makin lama makin menanjak naik. Yang lebih mengherankan adalah kedua gadis itu, hingga semalaman mereka berpisah, mengapa mereka berdua tak nampak datang mencari diriku, mungkin mereka mengambil jalan pintas yang lain ?. Berpikir demikian diapun mencoba untuk mengendus kembali dengan seksama, ternyata bau harum tersebut masih tercium.

Bahkan jauh lebih tebal baunya dibandingkan semula. Benar benar suatu kejadian yang sangat aneh…. Seandainya tak ada orang yang berjalan dimuka serta meninggalkan bau harum dibalik kabut, kenapa bisa muncul bau harum yang bisa menyebar sampai sejauh beberapa puluh li ? .

Kalau dibilang bau itu berasal dari Ciu Li Ya berdua, mengapa tidak nampak gadis itu balik mencarinya ?. lagipula bau harum tersebut seharusnya makin lama makin tawar, kenapa yang terendus justru makin merangsang ?. Dalam herannya, buru buru Giam In Kok berjongkok untuk memeriksa bekas telapak kaki yang tertinggal diatas tanah.

Dibawah sinar berwarna kuning, tampaklah jalan setapak yang dilaluinya mempunyai lebar empat lima depa, lagipula amat licin, permukaan tanahnya berlekuk lekuk tampaknya bikinan manusia. Namun setelah diteliti sampai jauh, dia belum juga berhasil menemukan bekas kaki manusia. Bahkan bekas kaki binatangpun tidak nampak, yang nampak sekarang hanya bekas telapak kakinya sendiri diatas tanah dengan jelas.

Biarpun Giam In Kok telah kehilangan sebagian tenaga dalamnya, namun kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada kedua gadis tersebut. Dia tak percaya kalau kedua gadis tersebut telah melanjutkan perjalanan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya ditengah liputan kabut tebal begini.

Namun apa sebabnya kudua gadis itu tidak meninggalkan jejak telapak kaki diatas tanah ?. Ia pernah berpikir untuk meneruskan perjalanan setelah kabut hilang, tapi kabut yang menyelimuti daerah pegunungan seringkali tak akan buyar selama tiga hari. Sampai kapankah dia harus menunggu hingga kabut itu hilang ?. Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa dia meneruskan kembali perjalanannya kedepan.

Kurang lebih dua, tiga jam kemudian, tiba tiba jalan setapak itu terputus sama sekali, yang terbentang dihadapannya adalah lautan kabut yang bergulung gulung disertai deru suara yang keras.

Jurangkah disitu ?. Ataukah gua ?. atau tebing curam ?. Pemuda itu tidak berhasil melihat dengan jelas. Mendadak……. Dari balik kabut yang tebal muncul dua rentetan cahaya berwarna biru, disusul pula dengan munculnya segulung tenaga hisapan yang maha besar sehingga membuat badannya meninggalkan permukaan tanah dan tanpa sadar tersedot kearas cahaya biru tersebut.

Aduh Celaka….. “ jeritnya terkejut.

Cepat cepat ia mencabut keluar senjata Cakar Elangnya sambil bersiap siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Ternyata seekor makhluk aneh yang bermata besar berwarna merah bagaikan bara api tahu tahu muncul dihadap mukanya.

Dalam keadaan seperti ini, ia tidak sempat lagi untuk berpikir makhluk apakah itu. Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya dia memutar Cakar Elang saktinya dan langsung dibabatkan ketubuh makhluk aneh tersebut.
Craakkk…. ! “.

Ketiga kuku tajam dari Cakar Elang menyerupai kaitan baja itu sudah menusuk tubuh makhluk itu diam diam. Mendadak makhluk itu menarik diri kebelakang dan daya hisapnya hilang lenyap seketika.

Dengan hilangnya tenaga hisapan tersebut secara otomatis tubuh Giam In Kok terjerumus kebawah. Untung Cakar Elangnya segera menyambar sisi tebing batu dan bergelantungan disitu. Kalau tidak, niscaya tubuhnya akan terjatuh diatas bebatuan dan meremukkan tubuhnya.

Sesudah berhasil menenangkan hatinya, dia mencoba untuk mendongakkan kepalanya dan mengawasi keadaan disekitarnya. Ternyata dia telah tergantung dibawah sebuah tebing batu berwarna putih. Tebing tersebut terasa bergoncang terus dengan hebatnya. Bahkan setiap kali terjadi goncangan, tubuhnya ikut bergetar seperti dilanda gempa bumi hebat.

Mula mula dia masih keheranan, tapi setelah diamati dengan seksama, akhirnya dapat diketahui bahwa tebing yang semula disangka terdiri dari batu cadas itu ternyata adalah dagu seekor ular raksasa. Sedang Cakar Elangnya sekarang berpegangan pada lidah tersebut.

Penemuan yang tidak terduga ini kontan membuat hatinya bergidik dan bulu kuduknya pada bangun berdiri. Diatas menanti mulut ular raksasa, sedang dibawah terbentang jurang. Betapa dalamnya jurang tersebut sulit untuk diketahui karena diselimuti kabut yang tebal. Tapi bila dilihat dari lapisan kabutnya, sudah jelas keadaannya mengerikan sekali.

Baiklah ! “ akhirnya pemuda itu mengambil keputusan. “Siauya akan beradu sabar denganmu. Kita lihat saja siapa yang bisa bertahan sampai akhir nanti…. “.
Dengan mengeluarkan ilmu bobot seribu, tubuh pemuda itu segera bergelantungan kebawah. Akibatnya lidah ular yang digunakan sebagai tempat bergelantungan turut terbetot sampai sepanjang dua depa lebih. Akibat kesakitan ujung lidah yang lain segera menyambar ketubuhnya.

Masih untung saja Cakar Elangnya bergelantungan pada ujung lidah sehingga sambaran ujung lidah yang lain tak sampai menghantam tubuhnya. Jaraknya masih terpaut dua depa. Tapi dengan tindakannya itu, tubuhnya yang bergelantungan
ditengah udara tak bisa dipertahankan lebih jauh. Tenaga bobot seribunya menjadi kendor dan secara otomatis lidah ular itu tertarik
kembali setinggi dua depa.

Agaknya si ular merasa kesakitan setengah mati karena lidahnya tertarik kebawah dan lagi terkait oleh ujung Cakar Elang yang tajam. Beberapa kali dia mencoba menarik kembali lidahnya. Namun rasa sakit yang sukar ditahan membuatnya tidak berhasil menarik lidahnya tersebut kedalam mulutnya.

Beberapa saat telah berlalu. Kabut tebalpun semakin menipis, tetapi sepasang tangan Giam In Kok sudah merasa kaku dan linu. Ketika ia mencoba menengok kebawah. Tampak tulang belulang berserakkan dipermukaan jurang. Jelas sudah tulang belulang itu berasal dari korban yang berhasil ditelan ular raksasa itu. Mendadak terdengar suara pekikan burung bergema dari tengah udara. Giam In Kok mencoba untuk mendongakkan kepalanya.

Tampak seekor burung raksasa sedang terbang mendekat dengan menimbulkan deruan angin yang keras sekali, “ Celaka aku kali ini…… bukankah burung itu adalah burung andalan Ban Keh Seng Hud ? “.

Ternyata yang muncul memang burung elang raksasa yang cakarnya berhasil dibabat sebelah itu. Bahkan saat itu diapun sudah dapat melihat dengan jelas bahwa elang raksasa yang sedang terbang mendekat memang hanya memiliki kaki tunggal. Hal ini membuktikan kalau dugaannya tidak salah.

Agaknya ular raksasa itu tahu kalau musuh tandingannya telah datang. Sambil mengangkat kepalanya ia segera menyemburkan kebut berwarna kuning kearah burung tersebut. Seketika itu juga baru harum semerbak menyebar kemana mana.

Ooohhhhh…. Rupanya binatang ini yang membuat gara gara “.

Giam In Kok menemukan bahwa bau harum dari kabut kuning yang disemburkan ular raksasa itu tak jauh berbeda dengan bau harum yang terendus ditengah jalan dan disangka sebagai bau harum kedua orang gadis rekannya. Dengan cepat dia menjadi paham, rupanya ular tersebut memang sengaja menggunakan bau harumnya untuk memancing kedatangan binatang binatang liar disekitar sana, bahkan ular itupun sering berkeliaran sampai puluhan li dari sekitar sana. Itulah sebabnya permukaan tanah menjadi licin dan dalam jarak puluhan li tak nampak seekor binatangpun.

Sementara itu si ular raksasa tersebut telah mendongakkan kepalanya, dengan sendirinya tubuh ikut tertarik keatas dan membentur bawah dagunya. Sisik yang terdiri dari lempengan kulit keras itu seketika membuat tubuhnya yang tertumbuk menjadi sakit sekali, nyaris pegangannya pada tubuh ular tersebut terlepas.

Agaknya si elang raksasa itu merasa takut sekali dengan semburan kabut berwarna kuning itu, cepat cepat dia memekik dan terbang keatas dengan cepatnya.

Mendadak terdengar seseorang berseru tertahan. Suara itu berasal dari punggung burung raksasa itu.
Hei…. Sudah matikah orang yang bergelantungan pada lidah ular itu…. “.

Begitu mendengar nada suara orang itu, Giam In Kok segera mengenali sebagai suara Ban Keh Seng Hud, tentu saja ia tidak berani bersuara lagi…. Tampak elang raksasa itu berniat hendak membunuh ular raksasa tersebut. Setelah terbang setinggi sepuluh kaki lebih, tiba tiba dia menukik dan menerjang kembali kebawah.

Kali ini dia terbang kebawah sambil melancarkan serangan kilat, Giam In Kok yang tergantung dibawah dagu ular tersebut nyaris terpatuk paruh burung elang raksasa itu. Namun si ular tampaknya lupa kalau dibawah dagunya masih bergelantungan seseorang. Dengan cepat ia menundukkan kepala sambil menyemburkan kembali kabut berwarna kuning.

Untuk kedua kalinya tubuh Giam In Kok terbentur diatas sisik ular tersebut.

Haahhhh….haahhhh…hahhh… rupanya kau sisetan cilik…. “ terdengar Ban Keh Seng Hud berseru.

Giam In Kok tahu pihak lawan bisa mengenali dirinya berdasarkan Cakar elang yang digunakan itu. Pemuda itu memang tidak mau menunjukkan kelemahannya dihadapan musuhnya, dia segera berseru : “ Kalau memang aku lantas bagaimana ? “.

Bagaimana kalau kutolong dirimu dari situ ? “.

Apa syaratnya ? “.

Menjadi muridku “.

Hem, jangan harap permintaanmu itu bisa terkabul selamanya…. ?.

Kalau memang begitu Hud-ya akan membiarkan tubuhmu tergantung terus diatas lidah ular itu “.

Siapa bilang siauya tidak bisa turun kebawah ? “.

Kecuali burungku datang menolongmu. Kalau tidak, kau pasti akan terjatuh kedalam telaga lumpur itu dan mati tenggelam disana “.

Hemmmm, asal siauya bermain ayunan selama beberapa hari, aku yakin ular ini bakal mampus dengan sendirinya “.

Heehhh…. Heehhhh… enak betul kalau bicara. Kau anggap Ular Bunga Dari Kabut ini bisa mati dengan begitu saja ?. Kalau dia gampang dibunuh, orang tidak akan menganggap sebagai makhluk buas dari jaman purba “.

Begitu mendengar nama ular tersebut, Giam In Kok menjadi terkejut bercampur girang. Dia tahu, seandainya empedu ular tersebut bisa diperoleh dan dimakan, maka setelah melalui proses semedi selama delapan puluh hari maka tenaga dalamnya akan pulih kembali seperti sedia kala, bahkan ada harapan untuk berumur panjang dan bertubuh kuat. Disamping itu sepasang mata ular itupun bermanfaat untuk anti kabut. Hitung hitung merupakan mustika yang langka dalam dunia ini, maka tidak heran banyak sekali orang berniat untuk mendapatkannya. Tapi apakah Ban Keh Seng Hud akan membiarkan dia berusaha membunuh ular raksasa tersebut dengan begitu saja tanpa berusaha untuk merebutnya ?.

Sementara itu Ban Keh Seng Hud yang terbang tinggi keangkasa telah berseru kembali :“ Hei setan cilik. Kau merasa takut ?. Bila kau tidak bersedia menerima syarat dari Hudyamu, maka burung elangku segera membuat perhitungan denganmu atas cakarnya yang kau tebas kutung “.

Hemmmm, bila kau berani datang lagi. Lihat saja siauya akan memotong pula kaki sebelahnya “.

Baiklah. Kalau demikian tak ada salahnya kalau kita coba…. “.

Ban Keh Seng Hud segera berpekik nyaring. Burung elang tersebut dengan cepat menukik kebawah dan mematuk si ular.

Dalam waktu singkat terdengar deruan suara keras membelah angkasa. Burung elang itu langsung menyambar kearah Giam In Kok yang bergelantungan pada ujung dagu ular tersebut.

Tampaknya ular raksasa itu menganggap dirinya tak akan lolos dari ancaman bahaya maut. Tiba tiba dia menarik tubuhnya dan menyemburkan kembali kabut kuning yang amat tebal itu. Mendadak dari mulut ular tersebut menyembur kembali sebutir
benda sebesar telur itik yang berwarna merah darah. Butiran bola
daging itu langsung meluncur keluar dan menyambar kelambung
burung elang tersebut.

Ahhhh empedu ular…. “ pekik Giam In Kok.

Dengan sekuat tenaga dia membetot lidah ular tersebut lalu memanfaatkan tenaga pantulannya dia meluncur kedepan dengan sangat cepatnya. Berkat tindakannya yang sangat cepat tadi, dengan cepat empedu tersebut berhasil disambar olehnya dan segera ditelan kedalam perut.

Tapi sebagaimana diketahui bahwa ular raksasa itu sengaja menyemburkan empedunya dengan niat untuk melukai burung raksasa musuh bebuyutannya, karena itu siburungpun segera mengkibaskan sayapnya dengan maksud untuk melepaskan diri dari timpukan.

Tapi dengan gerakan Giam In Kok barusan, maka dengan sendirinya tenaga serangan yang maha dahsyat itupun langsung menghantam tubuh anak muda itu. Padahal tubuhnya waktu itu masih berada diudara, sedang dibawah kakinya terbentang jurang yang dalamnya tidak bertepi.

Apakah tubuhnya tak akan hancur lebur ?. Disaat seperti inilah tampak siburung elang tersebut belum lupa dengan dendam lamanya.. tiba tiba ia pentangkan cakar tunggalnya
dan langsung menghantam keatas kepala Giam In Kok.

Waktu itu Giam In Kok mengira dirinya pasti mati, sekalipun dia beruntung dapat menelan empedu ular raksasa tersebut, tapi apa artinya bila mesti dibayar dengan selembar nyawanya ?. Siapa tahu disaat ia hendak pejamkan mata untuk menunggu datangnya kematian, mendadak terasa desingan angin tajam menyambar keatas kepalanya.

Berada dalam keadaan begini, ia tidak berpikir lebih jauh benda apakah itu. Tubuhnya yang sedang meluncur kebawah itu segera dicoba untuk menahannya dengan menarik nafas panjang, sementara kesepuluh jarinya dipentangkan lebar lebar dan langsung mencengkeram cakar elang tersebut.
Sesungguhnya elang raksasa itu berniat hendak membalas sakit hatinya, siapa tahu kaki tunggalnya malah kena cengkeram musuh. Dalam marahnya burung itu memekik keras dan langsung terbang menuju kearah barat.

Dalam keadaan kritis tadi pada hakekatnya Giam In Kok tidak mengetahui benda apakah yang berhasil terpegang olehnya. Setelah suasana menjadi tenang kembali, dia baru tahu kalau kaki elang raksasa yang telah terpegang dan kini dia sedang dibawa terbang menuju ketengah udara.

Berada dalam keadaan begini Giam In Kok segera membalikkan badannya dan duduk diatas leher elang tersebut dengan punggung menghadap kebelakang, sementara sepasang tangannya memeluk kaki tunggal elang tersebut dengan kencang.

Ban Keh Seng Hud sendiri tidak menyangka kalau elangnya akan terbang tinggi. Semula ia mengira binatang itu bermaksud lain.

Namun setelah melihat arah yang dituju ia baru curiga. Apalagi setelah mendengar pekikan gusar elang tersebut. Ia semakin mengerti apa gerangan apa yang terjadi. Maka sambil tertawa keras, serunya : “ Heeehhhhh…. Heeehhhhh…. Heeehhhhh….setan cilik, rupanya kaupun ikut mendompleng diatas punggung elangku. Hemmmm… dengan begitu Hudyapun tak usah bersusah payah untuk memaksamu memuntahkan kembali empedu ular tadi, kalau kau enggan menyerahkannya. Hemmmm, akan kusuruh kau mampus tanpa liang kubur “.

Giam In Kok tak mau kalah, segera serunya sambil tertawa nyaring : ”Haahhhh….haahhhh…..haahhhh…. empedu tersebut telah masuk keperutku dan telah menjadi kotoran. Bila kau ingin sambil saja kotoranku nanti ! “.

Ban Keh Seng Hud seketika dibuat bungkam. Selang kemudian ia telah berkata lagi sambil tertawa dingin :“ Begini saja. Lebih baik kau mengikat diri diatas kaki burung itu, aku akan mengambilnya sendiri ! “.

Hanya orang bodoh yang akan menuruti permintaanmu itu. Siauya bukan orang bodoh, tak nanti aku akan berbuat demikian gobloknya “.

Hemmmm, bila kau tak menyerahkan empedu ular itu kepadaku. Hudya segera akan menyuruh badanmu hancur lebur tak berwujud lagi “.

Kalau memang menganggap mempunyai kepandaian. Silahkan saja untuk dicoba…. “.

Hemmm, jadi kau anggap Hudya tidak mampu ? “.

Mampu atau tidak, asal dicoba kau bakal tahu ! “.

Giam In Kok mengira dengan duduk dikaki burung elang tersebut maka tubuhnya ibarat terkait sehingga betapapun cepatnya burung itu terbang tak mungkin Ban Keh Seng Hud dapat turun kebawah untuk beradu jiwa dengannya, Siapa tahu baru selesai perkataan itu diutarakan. Mendadak terasa desingan angin tajam menyambar datang dari belakang tubuhnya. Ketika berpaling. Tampak sebatang senjata rahasia sedang mengancam jiwanya tiba.

Cepat cepat dia melepaskan sebuah pukulan untuk merontokkan senjata rahasia tersebut. Kemudian serunya sambil tertawa dingin :“ Heehhh…heehhh….heehhh… namanya saja mentereng, Ban Keh Seng Hud, Budha Suci Dari Selaksa Keluarga. Huhhhh…. Padahal pandainya cuma main bokong ! “.

Ban Keh Seng Hud segera tertawa bergelak, serunya :“ Setan cilik, kau jangan sembarangan bicara. Apa yang barusan kuperbuat hanya merupakan satu peringatan bagimu. Bila aku benar
benar menginginkan kematianmu, semenjak tadi nyawamu sudah melayang meninggalkan ragamu “.

Hemmmmm, paling banter kita berdua sama sama jatuh dari punggung elangmu ini ! “.

Mana mungkin hal ini bisa terjadi ? “.

Kembali Giam In Kok mendengus dingin “ Hemmmm, asal siauya bermain gila sedikit saja nicaya burungmu akan melemparkanmu dari punggungmu “.

Ketika tidak mendengar jawaban dari musuhnya, Ban Keh Seng Hud merasa agak geli. Segera serunya kembali : “ Nah bagaimana ?. Kau sudah mulai takut ?. Saat ini Hudya telah mengikat tubuhku erat erat, aku tak akan takut untuk terlempar jatuh kebawah “.

Haahhh…haahhh….haahhhh kalau begitu begitu biarlah kau mampus bersama sama binatang peliharaanmu ini “.

Belum tentu kau mampu “.

Siauya bisa membuat burung ini bergulingan diudara. Nah disaat dia berguling nanti maka aku akan melepaskan satu tendangan kearahmu. Coba bayangkan sendiri, siapakah yang akhirnya bakal rontok dulu keatas tanah……. ? “.

Ban Keh Seng Hud menjadi terperanjat sekali. Segera bentaknya dengan penuh kegusaran : “ Kau berani ? “.

Haahhh…haahhh…haahhh… mengapa tidak “ jawab Giam In Kok sambil tertawa terkekeh kekeh.

Namun baru selesai perkataaan itu terucap, tiba tiba ia menjumpai munculnya tebaran bubuk berupa kabut dari kedua sisi sayap burung elang tersebut, mengikuti arah angin, kabut tersebut segera menerpa kearah wajahnya.

Bersama dengan tersebarnya bubuk ini maka terendus pula bau harum yang sangat aneh. Giam In Kok tahu pasti musuhnya telah menyebarkan sejenis bubuk harum kearahnya dan bubuk itu merupakan sejenis obat pemabuk yang amat lihai. Buru buru sepasang kakinya dikaitkan kencang kencang pada kaki burung elang itu. Kemudian melepaskan pukulan dengan sepasang tangannya untuk membuyarkan bubuk pemabuk itu.

Ban Keh Seng Hud segera terawa terkekeh kekeh, jengeknya : “ Bocah keparat, akan Hudya saksikan berapa banyak tenaga yang bisa kau gunakan ?. Bubuk itu merupakan bubuk Ban Li Hiang yang sangat memabukkan, lagipula persediaan dalam sakuku cukup banyak “.

Giam In Kok mulai gelisah, tapi ia segera teringat kembali dengan kipas bajanya yang berkasiat untuk menyegarkan udara. Siapa tahu kipas tersebut dapat dipakai untuk membuyarkan dupa pemabuk tersebut ? “.

Berpikir demikian dia segera merogoh kedalam sakunya dan mengeluarkan Kipas Bajanya kemudian digoyangkan beberapa kali. Benar juga, bau harum bubuk pemabuk itu segera membuyar keudara dan lenyap tak berbekas….

Ban Keh Seng Hud tidak tahu kalau lawannya sudah memiliki alat untuk memunahkan serangan racunnya. Sambil tertawa bangga ia masih berceloteh : “ Nah bocah keparat, kau jangan takut. Setelah Hudya membawamu pulang kegunung, tentu banyak kebaikkan yang akan ku berikan kepadamu “.

Keledai bajingan, silahkan saja berkentut terus, siauya tidak sudi menerima belas kasihanmu “ sahut Giam In Kok sambil tertawa.

Demikianlah, kedua orang tersebut dipisahkan oleh tubuh sielang, dimana satu duduk dipunggung dan lainnya duduk dikaki burung elang, dan kedua belah pihak sekali tidak mau mengalah.

Mereka saling mengejek dan mendamprat lawannya. Sementara burung elang itu sudah terbang entah berapa jauhnya. Ketika Ban Keh Seng Hud menyaksikan dupa pemabuknya sama sekali tidak mendatangkan hasil, dia tak tahan lagi, segera membungkukkan badannya dan mengintip kebawah lewat celah sayap.

Menyaksikan hal ini Giam In Kok segera berseru sambil tertawa geli :“ Hei keledai bajingan, aku bilang kau kau benar benar sudah kupecundangi, apalagi yang ingin kau lihat ? “.

Mula mula Ban Keh Seng Hud agak tertegun, kemudian bentaknya dengan keras :“ Darimana kau dapatkan Kipas Emas tersebut ? “.

Giam In Kok terawa terkekeh kekeh :“ Mengapa sih kau nampak begitu panik. Memangnya kipas ini milikmu….. ? “.

Kau bersedia tidak untuk mengaku ? “ kata Ban Keh Seng Hud semakin gusar.

Yu Kim Sui yang menghadiahkan kepadaku. Kenapa ?. Kau pengin berbuat apa ? “.

Dia menghadiahkan kepadamu ? “.

Tentu saja. Malah selembar jiwanyapun ikut diserahkankepadaku ….. “.

Ban Keh Seng Hud segera berpekik sedih. Sepasang tangannya segera diayunkan kebawah. Serentetan cahaya tajampun berhamburan kearah kaki burung itu dengan gencarnya. Giam In Kok tahu pihak lawan pasti telah mengetahui asal usul Kipas Emas tersebut sehingga mengeluarkan senjata rahasia tersebut untuk menghadapinya. Diam diam ia berpekik “

Aduh celaka !? “.

Cepat cepat dia menyusutkan tubuhnya sambil menelusuri kaki burung elang itu kemudian mencengkeram bulu diperut tersebut lalu seluruh badannya menempel dilambungnya.

Srettt….. “.

Segulung desingan angin tajam dengan membawa suara yang memekikkan telingan menyambar kebawah dengan hebatnya. Beratus ratus batang jarum lembut itu seketika mengenai sasaran kosong dan tersebar kemana mana.

Sambil tertawa terkekeh kekeh Giam In Kok mengejek lagi “ Bajingan gundul. Masih berapa banyak yang kau miliki ? “.

Mendadak Ban Keh Seng Hud menggantung tubuhnya kebawah dan merayap kelambung burungnya, kemudian bentaknya dengan keras : “ Lihat serangan ! “.

Serentak sepasang tangannya diayunkan kedepan.

Giam In Kok sama sekali tidak menyangka kalau musuhnya berani turun kebawah untuk bertarung melawannya. Padahal waktu itu tangannya yang sebelah memegangi bulu rambut burung elang itu, sementara tangan yang lain membawa kipas. Dalam gugup dan terdesaknya cepat cepat dia melepaskan satu kebutan dengan senjata kipasnya.

Weeessss….. “.

Diiringi suara benturan keras, kekuatan dari kedua belah pihak telah saling beradu, tubuh Ban Keh Seng Hud segera tergetar balik keatas punggung burungnya.

Elang raksasa itu segera berpekik nyaring. Mendadak Giam In Kok merasakan tangan kanannya kenjadi kendor, tubuhnya segera terperosok kebawah dengan cepatnya.

Aduh celaka….. ! “. Kembali ia terpekik kaget.

Ternyata bulu perut elang yang digenggam olehnya sudah tercomot oleh getaran tenaga pukulan tadi, otomatis badannyapun terjatuh dari tengah udara.

Menyaksikan hal ini, Ban Keh Seng Hud segera tertawa terbahak bahak, serunya :“ Hei setan cilik, bila kau bersedia minta ampun, Hudya-pun bersedia untuk menolong selembar jiwamu ! “.

Giam In Kok mencoba untuk menengok kebawah. Ternyata selisih dengan permukaan tanah mencapai ribuan kaki….. Sekalipun dia tahu dirinya pasti mati, namun dalam keadaan yang kritis dia enggan untuk menyerah kalah. Sambil tertawa nyaring serunya lantang
Keledai gundul, kau jangan sok bangga dulu. Biarpun harus mati, siauya tidak akan menyerah kalah….. “.

Baiklah…. Kalau begitu bagaimana kalau Hudya akan menghantarkanmu agar berangkat lebih cepat dulu ? “.

Sementara pembicaraan masih berlangsung, tubuh Giam In Kok sudah terperosok lagi beberapa puluh kaki kebawah. Namun ia tidak gugup dalam menghadapi ancaman itu. Sambil
mendengus, kembali serunya : “ Hei keledai gundul, bila kau punya kepandaian, ayolah turun
kebawah….. “.

Hemmmm… kematian sudah didepan mata, kau masih berani bicara sombong….. baik, Hudya akan melihat bagaimana kau mampus secara pelan pelan………. “.

Agaknya Ban Keh Seng Hud melihat daya luncur Giam In Kok terlalu besar sehingga kemungkinan untuk mati cepat kemungkinan ada. Karena ia berpekik nyaring dan melemparkan kembali dua pukulan dahsyat. Maksudnya untuk memperlambat daya luncur
pemuda itu sehingga musuhnya bisa mati secara perlahan lahan.

Giam In Kok tertawa dingin, diapun mengerahkan tenaga dalamnya sambil melepaskan pukulan dahsyat.

Blammmmm ! Blammmmmm….. ! “.

Setelah terjadi dua kali benturan keras, bukan saja daya luncur tubuh Giam In Kok menjadi lamban, malah akibat getaran tersebut badannya melambung dua kaki semakin keatas. Ban Keh Seng Hud segera tertawa terbahan bahak : ”Haahhh…haahhh…haahhh… bocah keparat, sudah kau bayangkan bagaimana keadaanmu disaat menjelang ajal nanti ?. Hudya cuma merasa sayang dengan kepandaian silatmu itu. Bagaimana kalau kau menyerah saja dan mempersembahkan empedu ular tadi…. “.

Tahiku mau tidak !? “ tukas Giam In Kok mendongkol.

Tiba tiba…..

Dari atas permukaan tanah terdengar seorang berseru dengan suara merdu :“ Cici, coba lihat suatu kejadian aneh. Ada orang sedang bertarung diatas angkasa !? “.

Setan binal. Kau ada ada saja. Itu kan burung raksasa yang sering kita lihat “.

Huuuuhhh… buat apa kau membohongiku ?. Coba lihat burung itu besar sekali. “.

Yah, bukankah burung itu Cuma berkaki tunggal ? “. Ketika Giam In Kok mendengar nada suara gadis tersebut. Ia segera teringat kembali dengan dinona yang telah menotok jalan darah Ci Kut Hiat ditubuh Nenek Pertapa Nelayan serta merebut kulit serta kepala ular bermata tunggal tempo hari. Diam diam ia menjadi terkejut sekali, pikirnya : “ Andaikata perempuan sialan itu turun tangan bersama, aku….“.

Tapi belum habis ingatan itu melintas, sinona yang berseru pertama kali tadi telah berkata kata seakan akan memahami akan sesuatu :“ Ya benar, burung itu hanya mempunyai kaki sebelah. Aku tahu sekarang. Kau tentu pernah melihatnya ketika mencari kulit ular dulu bukan……. ?.

Tebakanmu tepat sekali. Orang yang duduk dipunggung burung itu adalah si keledai gundul yang mengaku sebagai Budha itu. Hei…. Coba lihat orang yang ada dibawah sana, dia adalah sianak muda tersebut.”

Sekali lagi Giam In Kok merasa terkejut sekali.

Terdengar sinona yang masih muda itu segera berteriak keras :“ Cici, kita harus menolong jiwanya “.

Ban Keh Seng Hud yang ikut mendengarkan pembicaraan tersebut segera membentak keras :
Lebih baik kau jangan ikut campur dalam urusanku ?!! “.

Gadis yang berumur lebih besar itu kontan saja tertawa dingin, jengeknya keras :
Seandainya kau tidak membentak, belum tentu nonamu akan menolongnya. Tapi dengan sikapmu, aku justru akan menolongnya. Akan kulihat apa yang bisa kau perbuat ? “.

Dengan penuh kegusaran Ban Keh Seng Hud berseru : ”Perempuan rendah. Kau murid siapa ?. Berani benar mencampuri urusan Hudya-mu ? “.

Tampak dua sosok bayangan manusia melompat keluar dari balik pepohonan. Si nona yang lebih muda itu segera menuding dengan pedangnya sambil membentak : “ Bajingan tua, kau belum berhak untuk mengetahui nama perguruan kami. Ayoh turun dan rasakan sebuah tusukanu lebih dahulu ? “.

Tapi sinona yang lebih tua itu segera berkata :“ Sumoay, kau pergilah menolong orang itu. Biar aku yang mengusir Hwesio palsu ini ! “.

Aku tak bisa menolongnya ! “.

Hemmmm. Cepat dibopong turun, urusan toh beres dengan cepat….. “.

Huhhh, kau saja yang membopongnya…. “.

Giam In Kok girang sekali mendengar perkataan itu. Buru buru serunya dengan cepat :“ Cici berdua, tak usah menghiraukan diriku, yang penting hajar dulu Hwesio gadungan ini, aku tidak menderita apa apa….. “.

Ban Keh Seng Hud sangat gusar, sambil tertawa dingin serunya :“ Hudya akan menyuruh kau mampus lebih dulu “.

Begitu selesai berkata, ia segera menitahkan burung elangnya menukik kebawah. Belum lagi orangnya tiba, serangan telah dilancarkan terlebih dahulu.

Tampak cahaya emas berkilauan tajam bagaikan selembar jaring raksasa langsung mengurung seluruh tubuhnya. Setelah mengetahui datangnya bantuan dari kedua gadis tersebut. Giam In Kok merasa hatinya senang, segera bentaknya keras : “ Serangan yang hebat ! “.

Kipas ditangan kirinya segera dikibaskan berulang kali, sementara telapak tangan kanannya melancarkan serangkaian pukulan berantai. Deru angin pukulan yang maha dahsyat itu kontan saja memporak porandakan jaring cahaya yang mengurung tubuhnya itu.

Mendadak terdengar sinonan yang berusia agak muda itu berteriak sambil tertawa :“ Cici, coba kau lihat bocah muda itu pandai bersandiwara, bagaimana kalau kita biarkan saja dia sampai jatuh kebawah ? “.

Aneh benar, mengapa kau bocah perempuan berubah pendapat lagi ?. Kukira kau benar benar membopongnya turun untuk dijadikan suami….. “.

Hemmmm dasar mulut anjing, tak mungkin akan keluar dagingnya “.

Giam In Kok cukup tahu akan watak aneh dari sepasang gadis muda itu. Ia mengerti bila sedikit saja ia salah menangani hal tersebut, akibatnya mereka akan memusuhinya. Maka diapun tak ambil perduli dengan ejekan tersebut, sebaliknya ia pusatkan perhatian semua untuk menghadapi sergapan dari Ban Keh Seng Hud.

Dalam pada itu Ban Keh Seng Hud pun segera memikirkan asal usul kedua garis tersebut, untuk sementara waktu dia menjadi lupa untuk melakukan serangan. Tapi keadaan semacam ini sama sekali tidak menguntungkan bagi Giam In Kok, Tubuhnya yang meluncur kebawah bergerak semakin cepat. Ia hanya mendengar suara deru angin yang kencang sekali, pandangan matanya berkunang kunang membuat kepalanya terasa pusing.

Cepat cepat ia membalikkan badannya dengan kaki diatas dan kepala dibawah. Kipasnya dimasukkan kembali kedalam saku sementara sepasang tangannya bersiap sedia menghadapi serangan. Daya luncur tubuhnya saat ini jauh lebih cepat daripada daya luncur burung elang itu, keadaannya benar benar sangat kritis. Ban Keh Seng Hud segera tertawa terbahak bahak, serunya mengejek :“ Bagaimana rasanya bocah keparat ?’ Lebih baik kau menyerah saja………. ? “.

Kemudian sambil berpaling kearah dua gadis yang berada dibawah, kembali teriaknya : “ Hei nona cilik. Lebih baik kalian jangan mencampuri urusanku !“.

Namun kedua gadis itu amat binal dan tidak sudi menuruti perkataannya. Tiba tiba sinona yang masih muda itu mengeluarkan segulung jaring dari sakunya dan segera dibentangkan menjadi sebuah jaring selebar puluhan kaki. Setelah itu ia berseru sambil tertawa terbahak bahak : “ Jaring ular ini baru pertama kali dipergunakan, entah berkasiat atau tidak ? “.

Sebaliknya sinona yang agak besar menggerakkan tangan kananya dan mengeluarkan seutas tali panjang dari balik bajunya. Lalu katanya pula sambil tertawa terkekeh kekeh : “ Akupun tak tahu ilmu pelangi terbangku bisa mengenai sasaran tidak ? “.

Dari sikap kedua gadis itu, Giam In Kok mengerti bahwa mereka berniat untuk menyelamatkan dirinya. Namun diapun takut bila perhitungannya sempat meleset, bila jaring kulit ular tersebut tak mampu menahan daya luncurnya, bukankah dia bakal mati dengan
badan remuk.

Baru saja Giam In Kok hendak menyuruh mereka mengurungkan perbuatannya, tiba tiba terdengar Ban Keh Seng Hud membentak : “ Budak rendah. Kau berani mencampuri uurusanku ? “.

Tampak ia berpekik nyaring, burung elang raksasa itu segera meluncur kebawah dengan kecepatan luar biasa langsung menyerang kedua gadis tersebut.

Gadis yang berusia agak tua itu segera membentak keras :“ Bajingan tua…. “

Dengan cepat ia menggetarkan tangannya dan kulit ular sepanjang beberapa puluh kaki itu segera meluncur kedepan membentuk sebuah jala besar dan mengancam tubuh elang raksasa
itu.

Tampaknya elang itu cukup mengetahui akan kelihaian jaring itu, tiba tiba ia mengurungkan niatnya untuk menukik kebawah dan segera meluncur naik kembali ketengah angkasa. Sementara itu tubuh Giam In Kok sudah tinggal dua puluh kaki dari permukaan tanah. Cepat cepat ia menjerit keras :“ Cici cepat menyingkir ! “.

Tenaga pukulan yang telah dihimpunnya segera dilontarkan kebawah untuk melepaskan sepuluh buah serangan berantai.

Blammmm…. !... Blaaammmmm…… “.

Tenaga pukulan yang membentur permukaan tanah itu segera menimbulkan suara getaran yang luar biasa kerasnya membuat seluruh bumi seakan akan ikut tergoncang.

Gadis yang membentangkan jaringnya itu menjadi terkejut. Segera teriaknya keras keras : “ Hei…. Apa yang hendak kau perbuat !? “.

Tapi sebelum perkataannya tersebut selesai diucapkan, kesepuluh buah pukulan beruntun dari Giam In Kok berhasil memperlambat daya luncur tubuhnya, dengan cepat dia terjatuh
kedalam jaring tadi dengan selamat.

Terima kasih atas bantuanmu nona ?!” Giam In Kok segera berseru sambil menjura.

Dalam perkiraan Ban Keh Seng Hud tadi, Giam In Kok yang terjatuh dari ribuan kaki tingginya pasti akan tewas atau paling tidak akan terluka parah. Siapa tahu dugaannya itu meleset sama sekali.

Maka begitu melihat Giam In Kok telah mendarat dengan selamat, ia menjadi benar benar jengkel dan mendongkol. Sambil membentak keras diapun ikut melompat turun dari punggung elang raksasanya, lalu memburu kesamping jaring.

Si nona yang berusia agak tua segera menggetarkan tangannya dan memutar tali panjangnya untuk menghadang Ban Keh Seng Hud. Serunya sambil tertawa dingin : “ Bajingan tua, kau berani membuat keonaran dibukit Ngo Kui San ? “.

Ban Keh Seng Hud mundur selangkah dengan perasaan terkejut, segera serunya tertahan :“ Tempat ini adalah Ngo Kui San ? “.

Kembali gadis itu mendengus dingin ““ Hem, rupanya kau tak punya biji mata, tak heran kalau
nyalimu begitu besar……. “.

Merah padam wajah Ban Keh Seng Hud setelah mendengar perkataan tersebut. Serunya dengan marah : “ Ban Keh Seng Hud pribadi masih menunjukkan sikap sungkan kepada Say Lo Seng Bo guru kalian “.

Hemmmm, mengingat kau masih dapat mengingat guru kami. Untuk sementara waktu jiwamu bisa kuampuni. Ayo cepat menggelinding pergi dari sini ………….. “,

Sekalipun Say Lo Seng Bo termasyur karena memiliki ilmu silat yang hebat, namun Ban Keh Seng Hud sendiripun terhitung seorang gembong iblis yang termasyur. Tentu saja ia tak mau pergi dari situ karena diusir oleh seorang gadis muda.

Dengan penuh kegusaran dia berpekik nyaring, suaranya keras sekali sampai jarak sepuluh li-pun terdengar jelas. Kemudian dengan sorot mata memancarkan sinar buas serunya dingin : “ Hudya tak ingin menganiaya anak kecil, memangnya kau anggap aku takut denganmu ? “.

Paras muka sinonapun nampak berubah hebat setelah mendengar suara pekikan lawan yang begitu nyaring. Sambil berpaling kearah rekannya, ia segera berseru “ “ Bajingan tua ini berani menjual lagak kepada kita. Bagaimana kalau kita s ikat saja dia…. “.
Mengetahui kedua gadis itu adalah murid Say Lo Seng Bo, Giam In Kok merasa kegirangan, buru buru serunya cepat :

Bersambung Jilid 41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar