Jilid
40
Ketika
semua orang mendengar Ko Kiok Ciu hendak memunculkan diri, segera
terlintas dalam ingatan mereka untuk membekuk perempuan tersebut.
Karenanya secara diam diam mereka segera menghimpun tenaga dalamnya
dan bersiap sedia untuk menyerang.
Siapa
tahu secara mendadak terdengar Kwik Hui Liong menjerit kesakitan
dengan suara memilukan hati, tubuhnya roboh terjengkang seketika
keatas tanah.
Sebaliknya
Ko Kiok Ciu telah balik kembali kedalam hutan dan berseru sambil
tertawa cekikikan :“ Manusia tak berguna ini tak ada gunanya
dibiarkan hidup terus, apalagi si ikan hiu tua akan segera datang
kemari. Lebih baik tunggu saja sampai kehadirannya untuk berurusan
dengannya “.
Biarpun
cukup banyak perempuan keji yang membunuh suaminya sendiri, namun
tindakan dari Ko Kiok Ciu yang melakukan dihadapan umum seperti apa
yang dilakukannya sekarang oleh dibilang belum pernah terjadi.
Percuma
Giam In Kok disebut sebagai si Bocah Ajaib, ternyata dia sama sekali
tak menyangka kalau perempuan jalang tersebut akan melancarkan
serangan sekeji ini.
Ia
terlambat bertindak. Tahu tahu saja bayangan Ko Kiok Ciu telah
menerobos masuk kembali kedalam hutan.
Dengan
perasaan kaget, katanya kemudian :“ Apa yang dikatakan perempuan
jalang itu memang benar. Kali ini kita benar benar tak bisa membantah
lagi “.
“ Perempuan
kejam berhati busuk seperti dia benar benar jarang sekali dijumpai
didunia ini “ seru Perempuan Berhati Racun dengan rasa gemas dan
benci. “ Bila kita bersua kembali dengannya dikemudian hari, jangan
diberi kesempatan lagi kepadanya untuk melarikan diri. Pokoknya kita
sikat saja perempuan itu, baik hidup maupun mati ! “.
Sebetulnya
Giam In Kok mempunyai rencana untuk menangkap perempuan cabul itu
untuk merebut kembali tenaga dalamnya yang hilang. Itulah sebabnya
dia mengusulkan untuk menangkap musuhnya dalam keadaan hidup.
Siapa
tahu gara gara pikiran tersebut akibatnya selembar nyawa telah hilang
percuma. Itulah sebabnya setelah mendengar perkataan dari Siluman
Perempuan Berhati Racun ini, tanpa terasa pipinya berubah menjadi
merah dan panas sekali.
Perempuan
Cantik Berwajah Dingin Kwik Hui Hun menangis tersedu sedu melihat
kematian kakaknya. Selang sesaat kemudian satu ingatan mendadak
melintas dalam benaknya. Buru buru dia berseru :“ Sudah pasti
perempuan cabul itu pulang kerumah untuk mengundang kedatangan
ayahku. Lebih baik kalian cepat cepat pergi dari sini ?! “.
“ Cici,
kalau hendak pergi, lebih baik kita pergi bersama ! “ teriak Ho
Koan Kim cepat.“ Tidak. Bila aku turut pergi maka semakin terbukti
kalau urusan ini merupakan hasil perbuatan kita. Lebih baik biar aku
yang melakukan pembelaan didepan ayah. Bila urusan disini telah
selesai, aku pasti pergi ke Liong Li untuk mencarimu ! “.
“ Jadi
Cici menyuruh kami pergi ke Liong Li ?” tanya Giam In Kok.
“ Si
Rase Kecil, Enci Tiangsun memang pergi ke Kui Yang dan Liong Li untuk
mencari jejakmu. Disamping itu hanya di Liong Li-lah persoalanmu baru
bisa diselidiki hingga tuntas “.
“ Konon
Perkampungan Ang Sin Sancung berada disekitar Lu Pan Ceng ? “ seru
Ciu Li Ya tercengang.
“ Enci
Ciu, kau tidak tahu. Sesungguhnya Perkampungan Ang Sin Sancung yang
dibangun di Lu Pan Ceng cuma sebuah perangkap. Kalian jangan kesana
hingga masuk jebakan “.
“ Ooohhh
kiranya begitu. Terima kasih banyak atas petunjukmu….. “.
“ Aaaii…
asal kalian tidak akan melupakan Encimu ini, sudah lebih dari
cukup……. “.
Mendadak
dari kejauhan berkumandang datangnya suara pekikan yang amat nyaring.
Buru
buru Kwik Hui Hun mendesak rekan rekannya untuk segera pergi
meninggalkan tempat tersebut.
Giam
In Kok tahu. Berada disitu lebih lamapun tidak ada manfaatnya, maka
diapun berkata : “ Semoga kau bisa menjaga diri baik baik…. “ .
Kemudian
bersama kedua orang gadis tersebut, berangkatlah mereka menuju
keselatan. Dari jauh sana terdengar suara isak tangis Kwik Hui Hun
yang bergena terbawa angin malam.
Sambil
menahan air matanya Ho Koan Kim meninggalkan tempat tersebut, sampai
lama kemudian dia baru berkata sambil menghela nafas panjang : “
Aaaiii… aku benar benar seorang manusia yang sial. Gara gara untuk
perasaan pribadiku, bukan saja Engkoh In menjadi korban, bahkan harus
membuat kita kehilangan Enci Kwik dan selembar jiwa dari Kwik Hui
Liong….. “.
“ Hemmmm…..
bagi manusia yang tak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang
salah semacam Kwik Hui Liong itu, apanya yang perlu disayangkan
dengan kematiannya ?. Tapi berbicara tentang pribadimu itu,
sebenarnya apa yang telah terjadi ?.”
Dengan
air mata berlinang Ho Koan Kim segera berkata sedih : “ Setelah
kukatakan nanti, aku kuatir Cici menjadi marah “.
Agaknya
Giam In Kok-pun merasa takut bila Siluman Perempuan Berhati Racun
menjadi tak senang hati. Cepat cepat dia menarik ujung baju sinona
dan memintanya agar tidak berbicara.
Sebagai
seorang yang cerdik dan berpandangan tajam. Dalam sekilas pandangan
saja Siluman Perempuan Berhati Racun telah menyaksikan perbuatan itu.
Sambil mendengus dingin serunya : “ Ooo, rupanya kaupun belum
menganggap diriku bukan sebagai orang sendiri. Baik. Kalau begitu
biar aku pergi dari sini ?! “.
Buru
buru Ho Koan Kim berseru :“ Aku telah mengulangi perkataan tersebut
dihadapan Enci Kwik. Waktu itu Enci Ciu sedang bertarung sengit
dengan perempuan cabul tersebut, itulah sebabnya kau tak turut
mendengar “.
Dengan
gemas Siluman Perempuan Berhati Racun melotot sekejab kearah Giam In
Kok, kemudian serunya :“ Bagus sekali. Rupanya kau tidak lebih
penting daripada budak Kwik. Tak heran kalau persoalan tersebut tak
boleh ku ketahui “.
Dengan
gelisah Giam In Kok berseru :
“ Ciciku
yang baik. Kalau toh kau ingin tahu, biar adik Koan saja yang
mengatakan kepadamu ? “.
Tiba
tiba saja Siluman Perempuan Berhati Racun Ciu Li Ya teringat kembali
suasana saat membaca Kitab Tiong Giok Sam Keng tempo hari. Hatinya
menjadi manis, tentu saja ia memasang telinga untuk mendengarkan
penuturan mereka dengan seksama.
Tapi
setelah mengetahui bahwasanya Ho Koan Kim berniat menjodohkan dia dan
Giam In Kok serta memberi kesempatan untuk berbuat intim, dia menjadi
malu bercampur gelisah. Segera bentaknya :“ Budak sialan, ternyata
kau hendak memperdayaiku ?. Memangnya kau anggap diriku ini sebagai
manusia apa ? “.
Sambil
tertawa cekikikan sahut Ho Koan Kim :“ Engkoh In seringkali
merindukan Cici, lagi pula Koanji mengerti bahwa aku berasal dari
keadaan yang tidak normal, aku tak pantas….. “.
Dengan
perasaan gelisah Siluman Perempuan Berhati Racun Ciu Li Ya menutup
mulutnya dan berseru sambil tertawa :“ Budak cilik, kaupun tak usah
berbicara lagi. Peduli kekasih atau bukan, tapi jangan kau sebut
begitu sehingga yang mendengarpun merasakan bulu kuduknya pada bangun
berdiri, lebih baik ceritakan saja pengalamanmu hingga bisa
berkenalan dengannya “.
Giam
In Kok merasa kurang leluasa untuk mencampuri urusan ini, maka dia
berjalan seorang diri dibelakang kedua gadis tersebut. Dari penuturan
Ciu Li Ya inilah Giam In Kok baru mendapat tahu kalau Siluman
Perempuan Berhati Racun memang datang ke kota Mao Tay dengan
menunggang kuda merah. Tapi dikedai arak itu ia telah dibikin mabuk
dengan obat pemabuk dan dikirim kesebuah gedung besar. Untung saja
dia segera dibebaskan oleh Perempuan Cantik Berwajah Dingin Kwik Hui
Hun sehingga lolos dari cengkeraman bahaya. Bila kesemuanya ini
dipikirkan kembali, bisa diduga bahwa sebagian besar merupakan hasil
karya Ko Kiok Ciu yang mengatur siasat licin dan lihai itu.
Seandainya
dia pribadi tidak sering menjumpai penemuan aneh, andaikata Ho Koan
Kim tidak pura pura mabuk dan Kwik Hui Hun tidak mempersembahkan
tubuhnya, sekalipun dia tak sampai mati, paling tidak keadaannya
pasti akan merasa payah sekali.
Tanpa
terasa dia menghela nafas panjang dan mengangkat kepalanya memandang
kemuka. Siapa tahu begitu ia mengangkat kepala, yang terlihat hanya
kabut tebal yang menyelimuti daerah disekeliling tempat itu.
Dengan
ketajaman mata yang dimilikinya paling banter dia hanya bisa melewati
kawasan sejauh satu kaki, sedangkan kedua gadis tersebut sudah tidak
nampak lagi bayangan tubuhnya.
Dengan
perasaan terperanjat ia segera berseru :“ Adik Koan………… “.
Namun
selain suara dengusan keras dari pantulan suaranya sendiri, disitu
tak terdengar lagi suara jawaban lain. Dia tahu suaranya tak dapat
memancar jauh ditengah lapisan kabut tebal tersebut. Sementara saat
itu dia sedang menyelusuri sebuah jalan setapak yang amat sempit,
tanpa terasa pikirnya :“ Selisih jarak kami paling banter hanya
satu panahan, suatu jarak yang tak terlalu jauh. Andaikata mereka
melihat hubungan denganku putus mendadak, seharusnya sedih sekali dan
balik kemari untuk bergabung denganku. Kenapa hingga sekarang belum
nampak juga mereka muncul disini ? “.
Akhirnya
sambil berjalan cepat pemuda ini berteriak memanggil nama kedua orang
nona itu. Tanpa terasa sampailah ia disebuah persimpangan jalan.
“ Kali
ini bakal celaka….. “ pikirnya dalam hati.
Tanpa
terasa dia menghentikan perjalanan dan mencoba mengendus. Tiba tiba
tercium bau harum berhembus datang dari sisi sebelah kiri. Dengan
wajah berseri segera pikirnya lagi : “ Dengan bau harum tersebut
sebagai penuntun, rasanya tak akan sulit untuk menemukan jejak mereka
“.
Dengan
langkah cepat dia berjalan kedepan. Entah berapa lama sudah
dilaluinya. Kabut yang menyelimuti sekeliling tempat itu telah
berubah menjadi warna kuning emas. Semestinya bayangan matahari makin
tinggi, namun suasana disekeliling tempat itu tetap diliputi kabut
yang amat tebal, yang nampak hanyalah bayangan yang lamat lamat
sejauh beberapa depa.
Tapi
dia tahu jalan tersebut makin lama makin menanjak naik. Yang lebih
mengherankan adalah kedua gadis itu, hingga semalaman mereka
berpisah, mengapa mereka berdua tak nampak datang mencari diriku,
mungkin mereka mengambil jalan pintas yang lain ?. Berpikir demikian
diapun mencoba untuk mengendus kembali dengan seksama, ternyata bau
harum tersebut masih tercium.
Bahkan
jauh lebih tebal baunya dibandingkan semula. Benar benar suatu
kejadian yang sangat aneh…. Seandainya tak ada orang yang berjalan
dimuka serta meninggalkan bau harum dibalik kabut, kenapa bisa muncul
bau harum yang bisa menyebar sampai sejauh beberapa puluh li ? .
Kalau
dibilang bau itu berasal dari Ciu Li Ya berdua, mengapa tidak nampak
gadis itu balik mencarinya ?. lagipula bau harum tersebut seharusnya
makin lama makin tawar, kenapa yang terendus justru makin merangsang
?. Dalam herannya, buru buru Giam In Kok berjongkok untuk memeriksa
bekas telapak kaki yang tertinggal diatas tanah.
Dibawah
sinar berwarna kuning, tampaklah jalan setapak yang dilaluinya
mempunyai lebar empat lima depa, lagipula amat licin, permukaan
tanahnya berlekuk lekuk tampaknya bikinan manusia. Namun setelah
diteliti sampai jauh, dia belum juga berhasil menemukan bekas kaki
manusia. Bahkan bekas kaki binatangpun tidak nampak, yang nampak
sekarang hanya bekas telapak kakinya sendiri diatas tanah dengan
jelas.
Biarpun
Giam In Kok telah kehilangan sebagian tenaga dalamnya, namun
kepandaiannya masih jauh lebih tinggi daripada kedua gadis tersebut.
Dia tak percaya kalau kedua gadis tersebut telah melanjutkan
perjalanan dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya ditengah
liputan kabut tebal begini.
Namun
apa sebabnya kudua gadis itu tidak meninggalkan jejak telapak kaki
diatas tanah ?. Ia pernah berpikir untuk meneruskan perjalanan
setelah kabut hilang, tapi kabut yang menyelimuti daerah pegunungan
seringkali tak akan buyar selama tiga hari. Sampai kapankah dia harus
menunggu hingga kabut itu hilang ?. Dengan perasaan apa boleh buat,
terpaksa dia meneruskan kembali perjalanannya kedepan.
Kurang
lebih dua, tiga jam kemudian, tiba tiba jalan setapak itu terputus
sama sekali, yang terbentang dihadapannya adalah lautan kabut yang
bergulung gulung disertai deru suara yang keras.
Jurangkah
disitu ?. Ataukah gua ?. atau tebing curam ?. Pemuda itu tidak
berhasil melihat dengan jelas. Mendadak……. Dari balik kabut yang
tebal muncul dua rentetan cahaya berwarna biru, disusul pula dengan
munculnya segulung tenaga hisapan yang maha besar sehingga membuat
badannya meninggalkan permukaan tanah dan tanpa sadar tersedot kearas
cahaya biru tersebut.
“ Aduh
Celaka….. “ jeritnya terkejut.
Cepat
cepat ia mencabut keluar senjata Cakar Elangnya sambil bersiap siap
menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan. Ternyata seekor
makhluk aneh yang bermata besar berwarna merah bagaikan bara api tahu
tahu muncul dihadap mukanya.
Dalam
keadaan seperti ini, ia tidak sempat lagi untuk berpikir makhluk
apakah itu. Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya dia
memutar Cakar Elang saktinya dan langsung dibabatkan ketubuh makhluk
aneh tersebut.
“ Craakkk….
! “.
Ketiga
kuku tajam dari Cakar Elang menyerupai kaitan baja itu sudah menusuk
tubuh makhluk itu diam diam. Mendadak makhluk itu menarik diri
kebelakang dan daya hisapnya hilang lenyap seketika.
Dengan
hilangnya tenaga hisapan tersebut secara otomatis tubuh Giam In Kok
terjerumus kebawah. Untung Cakar Elangnya segera menyambar sisi
tebing batu dan bergelantungan disitu. Kalau tidak, niscaya tubuhnya
akan terjatuh diatas bebatuan dan meremukkan tubuhnya.
Sesudah
berhasil menenangkan hatinya, dia mencoba untuk mendongakkan
kepalanya dan mengawasi keadaan disekitarnya. Ternyata dia telah
tergantung dibawah sebuah tebing batu berwarna putih. Tebing tersebut
terasa bergoncang terus dengan hebatnya. Bahkan setiap kali terjadi
goncangan, tubuhnya ikut bergetar seperti dilanda gempa bumi hebat.
Mula
mula dia masih keheranan, tapi setelah diamati dengan seksama,
akhirnya dapat diketahui bahwa tebing yang semula disangka terdiri
dari batu cadas itu ternyata adalah dagu seekor ular raksasa. Sedang
Cakar Elangnya sekarang berpegangan pada lidah tersebut.
Penemuan
yang tidak terduga ini kontan membuat hatinya bergidik dan bulu
kuduknya pada bangun berdiri. Diatas menanti mulut ular raksasa,
sedang dibawah terbentang jurang. Betapa dalamnya jurang tersebut
sulit untuk diketahui karena diselimuti kabut yang tebal. Tapi bila
dilihat dari lapisan kabutnya, sudah jelas keadaannya mengerikan
sekali.
“ Baiklah
! “ akhirnya pemuda itu mengambil keputusan. “Siauya akan beradu
sabar denganmu. Kita lihat saja siapa yang bisa bertahan sampai akhir
nanti…. “.
Dengan
mengeluarkan ilmu bobot seribu, tubuh pemuda itu segera
bergelantungan kebawah. Akibatnya lidah ular yang digunakan sebagai
tempat bergelantungan turut terbetot sampai sepanjang dua depa lebih.
Akibat kesakitan ujung lidah yang lain segera menyambar ketubuhnya.
Masih
untung saja Cakar Elangnya bergelantungan pada ujung lidah sehingga
sambaran ujung lidah yang lain tak sampai menghantam tubuhnya.
Jaraknya masih terpaut dua depa. Tapi dengan tindakannya itu,
tubuhnya yang bergelantungan
ditengah
udara tak bisa dipertahankan lebih jauh. Tenaga bobot seribunya
menjadi kendor dan secara otomatis lidah ular itu tertarik
kembali
setinggi dua depa.
Agaknya
si ular merasa kesakitan setengah mati karena lidahnya tertarik
kebawah dan lagi terkait oleh ujung Cakar Elang yang tajam. Beberapa
kali dia mencoba menarik kembali lidahnya. Namun rasa sakit yang
sukar ditahan membuatnya tidak berhasil menarik lidahnya tersebut
kedalam mulutnya.
Beberapa
saat telah berlalu. Kabut tebalpun semakin menipis, tetapi sepasang
tangan Giam In Kok sudah merasa kaku dan linu. Ketika ia mencoba
menengok kebawah. Tampak tulang belulang berserakkan dipermukaan
jurang. Jelas sudah tulang belulang itu berasal dari korban yang
berhasil ditelan ular raksasa itu. Mendadak terdengar suara pekikan
burung bergema dari tengah udara. Giam In Kok mencoba untuk
mendongakkan kepalanya.
Tampak
seekor burung raksasa sedang terbang mendekat dengan menimbulkan
deruan angin yang keras sekali, “ Celaka aku kali ini……
bukankah burung itu adalah burung andalan Ban Keh Seng Hud ? “.
Ternyata
yang muncul memang burung elang raksasa yang cakarnya berhasil
dibabat sebelah itu. Bahkan saat itu diapun sudah dapat melihat
dengan jelas bahwa elang raksasa yang sedang terbang mendekat memang
hanya memiliki kaki tunggal. Hal ini membuktikan kalau dugaannya
tidak salah.
Agaknya
ular raksasa itu tahu kalau musuh tandingannya telah datang. Sambil
mengangkat kepalanya ia segera menyemburkan kebut berwarna kuning
kearah burung tersebut. Seketika itu juga baru harum semerbak
menyebar kemana mana.
“ Ooohhhhh….
Rupanya binatang ini yang membuat gara gara “.
Giam
In Kok menemukan bahwa bau harum dari kabut kuning yang disemburkan
ular raksasa itu tak jauh berbeda dengan bau harum yang terendus
ditengah jalan dan disangka sebagai bau harum kedua orang gadis
rekannya. Dengan cepat dia menjadi paham, rupanya ular tersebut
memang sengaja menggunakan bau harumnya untuk memancing kedatangan
binatang binatang liar disekitar sana, bahkan ular itupun sering
berkeliaran sampai puluhan li dari sekitar sana. Itulah sebabnya
permukaan tanah menjadi licin dan dalam jarak puluhan li tak nampak
seekor binatangpun.
Sementara
itu si ular raksasa tersebut telah mendongakkan kepalanya, dengan
sendirinya tubuh ikut tertarik keatas dan membentur bawah dagunya.
Sisik yang terdiri dari lempengan kulit keras itu seketika membuat
tubuhnya yang tertumbuk menjadi sakit sekali, nyaris pegangannya pada
tubuh ular tersebut terlepas.
Agaknya
si elang raksasa itu merasa takut sekali dengan semburan kabut
berwarna kuning itu, cepat cepat dia memekik dan terbang keatas
dengan cepatnya.
Mendadak
terdengar seseorang berseru tertahan. Suara itu berasal dari punggung
burung raksasa itu.
“ Hei….
Sudah matikah orang yang bergelantungan pada lidah ular itu…. “.
Begitu
mendengar nada suara orang itu, Giam In Kok segera mengenali sebagai
suara Ban Keh Seng Hud, tentu saja ia tidak berani bersuara lagi….
Tampak elang raksasa itu berniat hendak membunuh ular raksasa
tersebut. Setelah terbang setinggi sepuluh kaki lebih, tiba tiba dia
menukik dan menerjang kembali kebawah.
Kali
ini dia terbang kebawah sambil melancarkan serangan kilat, Giam In
Kok yang tergantung dibawah dagu ular tersebut nyaris terpatuk paruh
burung elang raksasa itu. Namun si ular tampaknya lupa kalau dibawah
dagunya masih bergelantungan seseorang. Dengan cepat ia menundukkan
kepala sambil menyemburkan kembali kabut berwarna kuning.
Untuk
kedua kalinya tubuh Giam In Kok terbentur diatas sisik ular tersebut.
“
Haahhhh….haahhhh…hahhh…
rupanya kau sisetan cilik…. “ terdengar Ban Keh Seng Hud berseru.
Giam
In Kok tahu pihak lawan bisa mengenali dirinya berdasarkan Cakar
elang yang digunakan itu. Pemuda itu memang tidak mau menunjukkan
kelemahannya dihadapan musuhnya, dia segera berseru : “ Kalau
memang aku lantas bagaimana ? “.
“ Bagaimana
kalau kutolong dirimu dari situ ? “.
“ Apa
syaratnya ? “.
“ Menjadi
muridku “.
“ Hem,
jangan harap permintaanmu itu bisa terkabul selamanya…. ?.
“ Kalau
memang begitu Hud-ya akan membiarkan tubuhmu tergantung terus diatas
lidah ular itu “.
“ Siapa
bilang siauya tidak bisa turun kebawah ? “.
“ Kecuali
burungku datang menolongmu. Kalau tidak, kau pasti akan terjatuh
kedalam telaga lumpur itu dan mati tenggelam disana “.
“ Hemmmm,
asal siauya bermain ayunan selama beberapa hari, aku yakin ular ini
bakal mampus dengan sendirinya “.
“ Heehhh….
Heehhhh… enak betul kalau bicara. Kau anggap Ular Bunga Dari Kabut
ini bisa mati dengan begitu saja ?. Kalau dia gampang dibunuh, orang
tidak akan menganggap sebagai makhluk buas dari jaman purba “.
Begitu
mendengar nama ular tersebut, Giam In Kok menjadi terkejut bercampur
girang. Dia tahu, seandainya empedu ular tersebut bisa diperoleh dan
dimakan, maka setelah melalui proses semedi selama delapan puluh hari
maka tenaga dalamnya akan pulih kembali seperti sedia kala, bahkan
ada harapan untuk berumur panjang dan bertubuh kuat. Disamping itu
sepasang mata ular itupun bermanfaat untuk anti kabut. Hitung hitung
merupakan mustika yang langka dalam dunia ini, maka tidak heran
banyak sekali orang berniat untuk mendapatkannya. Tapi apakah Ban Keh
Seng Hud akan membiarkan dia berusaha membunuh ular raksasa tersebut
dengan begitu saja tanpa berusaha untuk merebutnya ?.
Sementara
itu Ban Keh Seng Hud yang terbang tinggi keangkasa telah berseru
kembali :“ Hei setan cilik. Kau merasa takut ?. Bila kau tidak
bersedia menerima syarat dari Hudyamu, maka burung elangku segera
membuat perhitungan denganmu atas cakarnya yang kau tebas kutung “.
“ Hemmmm,
bila kau berani datang lagi. Lihat saja siauya akan memotong pula
kaki sebelahnya “.
“ Baiklah.
Kalau demikian tak ada salahnya kalau kita coba…. “.
Ban
Keh Seng Hud segera berpekik nyaring. Burung elang tersebut dengan
cepat menukik kebawah dan mematuk si ular.
Dalam
waktu singkat terdengar deruan suara keras membelah angkasa. Burung
elang itu langsung menyambar kearah Giam In Kok yang bergelantungan
pada ujung dagu ular tersebut.
Tampaknya
ular raksasa itu menganggap dirinya tak akan lolos dari ancaman
bahaya maut. Tiba tiba dia menarik tubuhnya dan menyemburkan kembali
kabut kuning yang amat tebal itu. Mendadak dari mulut ular tersebut
menyembur kembali sebutir
benda
sebesar telur itik yang berwarna merah darah. Butiran bola
daging
itu langsung meluncur keluar dan menyambar kelambung
burung
elang tersebut.
“ Ahhhh
empedu ular…. “ pekik Giam In Kok.
Dengan
sekuat tenaga dia membetot lidah ular tersebut lalu memanfaatkan
tenaga pantulannya dia meluncur kedepan dengan sangat cepatnya.
Berkat tindakannya yang sangat cepat tadi, dengan cepat empedu
tersebut berhasil disambar olehnya dan segera ditelan kedalam perut.
Tapi
sebagaimana diketahui bahwa ular raksasa itu sengaja menyemburkan
empedunya dengan niat untuk melukai burung raksasa musuh
bebuyutannya, karena itu siburungpun segera mengkibaskan sayapnya
dengan maksud untuk melepaskan diri dari timpukan.
Tapi
dengan gerakan Giam In Kok barusan, maka dengan sendirinya tenaga
serangan yang maha dahsyat itupun langsung menghantam tubuh anak muda
itu. Padahal tubuhnya waktu itu masih berada diudara, sedang dibawah
kakinya terbentang jurang yang dalamnya tidak bertepi.
Apakah
tubuhnya tak akan hancur lebur ?. Disaat seperti inilah tampak
siburung elang tersebut belum lupa dengan dendam lamanya.. tiba tiba
ia pentangkan cakar tunggalnya
dan
langsung menghantam keatas kepala Giam In Kok.
Waktu
itu Giam In Kok mengira dirinya pasti mati, sekalipun dia beruntung
dapat menelan empedu ular raksasa tersebut, tapi apa artinya bila
mesti dibayar dengan selembar nyawanya ?. Siapa tahu disaat ia hendak
pejamkan mata untuk menunggu datangnya kematian, mendadak terasa
desingan angin tajam menyambar keatas kepalanya.
Berada
dalam keadaan begini, ia tidak berpikir lebih jauh benda apakah itu.
Tubuhnya yang sedang meluncur kebawah itu segera dicoba untuk
menahannya dengan menarik nafas panjang, sementara kesepuluh jarinya
dipentangkan lebar lebar dan langsung mencengkeram cakar elang
tersebut.
Sesungguhnya
elang raksasa itu berniat hendak membalas sakit hatinya, siapa tahu
kaki tunggalnya malah kena cengkeram musuh. Dalam marahnya burung itu
memekik keras dan langsung terbang menuju kearah barat.
Dalam
keadaan kritis tadi pada hakekatnya Giam In Kok tidak mengetahui
benda apakah yang berhasil terpegang olehnya. Setelah suasana menjadi
tenang kembali, dia baru tahu kalau kaki elang raksasa yang telah
terpegang dan kini dia sedang dibawa terbang menuju ketengah udara.
Berada
dalam keadaan begini Giam In Kok segera membalikkan badannya dan
duduk diatas leher elang tersebut dengan punggung menghadap
kebelakang, sementara sepasang tangannya memeluk kaki tunggal elang
tersebut dengan kencang.
Ban
Keh Seng Hud sendiri tidak menyangka kalau elangnya akan terbang
tinggi. Semula ia mengira binatang itu bermaksud lain.
Namun
setelah melihat arah yang dituju ia baru curiga. Apalagi setelah
mendengar pekikan gusar elang tersebut. Ia semakin mengerti apa
gerangan apa yang terjadi. Maka sambil tertawa keras, serunya : “
Heeehhhhh…. Heeehhhhh…. Heeehhhhh….setan cilik, rupanya kaupun
ikut mendompleng diatas punggung elangku. Hemmmm… dengan begitu
Hudyapun tak usah bersusah payah untuk memaksamu memuntahkan kembali
empedu ular tadi, kalau kau enggan menyerahkannya. Hemmmm, akan
kusuruh kau mampus tanpa liang kubur “.
Giam
In Kok tak mau kalah, segera serunya sambil tertawa nyaring :
”Haahhhh….haahhhh…..haahhhh…. empedu tersebut telah masuk
keperutku dan telah menjadi kotoran. Bila kau ingin sambil saja
kotoranku nanti ! “.
Ban
Keh Seng Hud seketika dibuat bungkam. Selang kemudian ia telah
berkata lagi sambil tertawa dingin :“ Begini saja. Lebih baik kau
mengikat diri diatas kaki burung itu, aku akan mengambilnya sendiri !
“.
“ Hanya
orang bodoh yang akan menuruti permintaanmu itu. Siauya bukan orang
bodoh, tak nanti aku akan berbuat demikian gobloknya “.
“ Hemmmm,
bila kau tak menyerahkan empedu ular itu kepadaku. Hudya segera akan
menyuruh badanmu hancur lebur tak berwujud lagi “.
“ Kalau
memang menganggap mempunyai kepandaian. Silahkan saja untuk dicoba….
“.
“ Hemmm,
jadi kau anggap Hudya tidak mampu ? “.
“ Mampu
atau tidak, asal dicoba kau bakal tahu ! “.
Giam
In Kok mengira dengan duduk dikaki burung elang tersebut maka
tubuhnya ibarat terkait sehingga betapapun cepatnya burung itu
terbang tak mungkin Ban Keh Seng Hud dapat turun kebawah untuk beradu
jiwa dengannya, Siapa tahu baru selesai perkataan itu diutarakan.
Mendadak terasa desingan angin tajam menyambar datang dari belakang
tubuhnya. Ketika berpaling. Tampak sebatang senjata rahasia sedang
mengancam jiwanya tiba.
Cepat
cepat dia melepaskan sebuah pukulan untuk merontokkan senjata rahasia
tersebut. Kemudian serunya sambil tertawa dingin :“
Heehhh…heehhh….heehhh… namanya saja mentereng, Ban Keh Seng
Hud, Budha Suci Dari Selaksa Keluarga. Huhhhh…. Padahal pandainya
cuma main bokong ! “.
Ban
Keh Seng Hud segera tertawa bergelak, serunya :“ Setan cilik, kau
jangan sembarangan bicara. Apa yang barusan kuperbuat hanya merupakan
satu peringatan bagimu. Bila aku benar
benar
menginginkan kematianmu, semenjak tadi nyawamu sudah melayang
meninggalkan ragamu “.
“ Hemmmmm,
paling banter kita berdua sama sama jatuh dari punggung elangmu ini !
“.
“ Mana
mungkin hal ini bisa terjadi ? “.
Kembali
Giam In Kok mendengus dingin “ Hemmmm, asal siauya bermain gila
sedikit saja nicaya burungmu akan melemparkanmu dari punggungmu “.
Ketika
tidak mendengar jawaban dari musuhnya, Ban Keh Seng Hud merasa agak
geli. Segera serunya kembali : “ Nah bagaimana ?. Kau sudah mulai
takut ?. Saat ini Hudya telah mengikat tubuhku erat erat, aku tak
akan takut untuk terlempar jatuh kebawah “.
“
Haahhh…haahhh….haahhhh
kalau begitu begitu biarlah kau mampus bersama sama binatang
peliharaanmu ini “.
“ Belum
tentu kau mampu “.
“ Siauya
bisa membuat burung ini bergulingan diudara. Nah disaat dia berguling
nanti maka aku akan melepaskan satu tendangan kearahmu. Coba
bayangkan sendiri, siapakah yang akhirnya bakal rontok dulu keatas
tanah……. ? “.
Ban
Keh Seng Hud menjadi terperanjat sekali. Segera bentaknya dengan
penuh kegusaran : “ Kau berani ? “.
“ Haahhh…haahhh…haahhh…
mengapa tidak “ jawab Giam In Kok sambil tertawa terkekeh kekeh.
Namun
baru selesai perkataaan itu terucap, tiba tiba ia menjumpai munculnya
tebaran bubuk berupa kabut dari kedua sisi sayap burung elang
tersebut, mengikuti arah angin, kabut tersebut segera menerpa kearah
wajahnya.
Bersama
dengan tersebarnya bubuk ini maka terendus pula bau harum yang sangat
aneh. Giam In Kok tahu pasti musuhnya telah menyebarkan sejenis bubuk
harum kearahnya dan bubuk itu merupakan sejenis obat pemabuk yang
amat lihai. Buru buru sepasang kakinya dikaitkan kencang kencang pada
kaki burung elang itu. Kemudian melepaskan pukulan dengan sepasang
tangannya untuk membuyarkan bubuk pemabuk itu.
Ban
Keh Seng Hud segera terawa terkekeh kekeh, jengeknya : “ Bocah
keparat, akan Hudya saksikan berapa banyak tenaga yang bisa kau
gunakan ?. Bubuk itu merupakan bubuk Ban Li Hiang yang sangat
memabukkan, lagipula persediaan dalam sakuku cukup banyak “.
Giam
In Kok mulai gelisah, tapi ia segera teringat kembali dengan kipas
bajanya yang berkasiat untuk menyegarkan udara. Siapa tahu kipas
tersebut dapat dipakai untuk membuyarkan dupa pemabuk tersebut ? “.
Berpikir
demikian dia segera merogoh kedalam sakunya dan mengeluarkan Kipas
Bajanya kemudian digoyangkan beberapa kali. Benar juga, bau harum
bubuk pemabuk itu segera membuyar keudara dan lenyap tak berbekas….
Ban
Keh Seng Hud tidak tahu kalau lawannya sudah memiliki alat untuk
memunahkan serangan racunnya. Sambil tertawa bangga ia masih
berceloteh : “ Nah bocah keparat, kau jangan takut. Setelah Hudya
membawamu pulang kegunung, tentu banyak kebaikkan yang akan ku
berikan kepadamu “.
“ Keledai
bajingan, silahkan saja berkentut terus, siauya tidak sudi menerima
belas kasihanmu “ sahut Giam In Kok sambil tertawa.
Demikianlah,
kedua orang tersebut dipisahkan oleh tubuh sielang, dimana satu duduk
dipunggung dan lainnya duduk dikaki burung elang, dan kedua belah
pihak sekali tidak mau mengalah.
Mereka
saling mengejek dan mendamprat lawannya. Sementara burung elang itu
sudah terbang entah berapa jauhnya. Ketika Ban Keh Seng Hud
menyaksikan dupa pemabuknya sama sekali tidak mendatangkan hasil, dia
tak tahan lagi, segera membungkukkan badannya dan mengintip kebawah
lewat celah sayap.
Menyaksikan
hal ini Giam In Kok segera berseru sambil tertawa geli :“ Hei
keledai bajingan, aku bilang kau kau benar benar sudah kupecundangi,
apalagi yang ingin kau lihat ? “.
Mula
mula Ban Keh Seng Hud agak tertegun, kemudian bentaknya dengan keras
:“ Darimana kau dapatkan Kipas Emas tersebut ? “.
Giam
In Kok terawa terkekeh kekeh :“ Mengapa sih kau nampak begitu
panik. Memangnya kipas ini milikmu….. ? “.
“ Kau
bersedia tidak untuk mengaku ? “ kata Ban Keh Seng Hud semakin
gusar.
” Yu
Kim Sui yang menghadiahkan kepadaku. Kenapa ?. Kau pengin berbuat apa
? “.
“ Dia
menghadiahkan kepadamu ? “.
“ Tentu
saja. Malah selembar jiwanyapun ikut diserahkankepadaku ….. “.
Ban
Keh Seng Hud segera berpekik sedih. Sepasang tangannya segera
diayunkan kebawah. Serentetan cahaya tajampun berhamburan kearah kaki
burung itu dengan gencarnya. Giam In Kok tahu pihak lawan pasti telah
mengetahui asal usul Kipas Emas tersebut sehingga mengeluarkan
senjata rahasia tersebut untuk menghadapinya. Diam diam ia berpekik “
“ Aduh
celaka !? “.
Cepat
cepat dia menyusutkan tubuhnya sambil menelusuri kaki burung elang
itu kemudian mencengkeram bulu diperut tersebut lalu seluruh badannya
menempel dilambungnya.
“ Srettt…..
“.
Segulung
desingan angin tajam dengan membawa suara yang memekikkan telingan
menyambar kebawah dengan hebatnya. Beratus ratus batang jarum lembut
itu seketika mengenai sasaran kosong dan tersebar kemana mana.
Sambil
tertawa terkekeh kekeh Giam In Kok mengejek lagi “ Bajingan gundul.
Masih berapa banyak yang kau miliki ? “.
Mendadak
Ban Keh Seng Hud menggantung tubuhnya kebawah dan merayap kelambung
burungnya, kemudian bentaknya dengan keras : “ Lihat serangan ! “.
Serentak
sepasang tangannya diayunkan kedepan.
Giam
In Kok sama sekali tidak menyangka kalau musuhnya berani turun
kebawah untuk bertarung melawannya. Padahal waktu itu tangannya yang
sebelah memegangi bulu rambut burung elang itu, sementara tangan yang
lain membawa kipas. Dalam gugup dan terdesaknya cepat cepat dia
melepaskan satu kebutan dengan senjata kipasnya.
“ Weeessss…..
“.
Diiringi
suara benturan keras, kekuatan dari kedua belah pihak telah saling
beradu, tubuh Ban Keh Seng Hud segera tergetar balik keatas punggung
burungnya.
Elang
raksasa itu segera berpekik nyaring. Mendadak Giam In Kok merasakan
tangan kanannya kenjadi kendor, tubuhnya segera terperosok kebawah
dengan cepatnya.
“ Aduh
celaka….. ! “. Kembali ia terpekik kaget.
Ternyata
bulu perut elang yang digenggam olehnya sudah tercomot oleh getaran
tenaga pukulan tadi, otomatis badannyapun terjatuh dari tengah udara.
Menyaksikan
hal ini, Ban Keh Seng Hud segera tertawa terbahak bahak, serunya :“
Hei setan cilik, bila kau bersedia minta ampun, Hudya-pun bersedia
untuk menolong selembar jiwamu ! “.
Giam
In Kok mencoba untuk menengok kebawah. Ternyata selisih dengan
permukaan tanah mencapai ribuan kaki….. Sekalipun dia tahu dirinya
pasti mati, namun dalam keadaan yang kritis dia enggan untuk menyerah
kalah. Sambil tertawa nyaring serunya lantang
“ Keledai
gundul, kau jangan sok bangga dulu. Biarpun harus mati, siauya tidak
akan menyerah kalah….. “.
“ Baiklah….
Kalau begitu bagaimana kalau Hudya akan menghantarkanmu agar
berangkat lebih cepat dulu ? “.
Sementara
pembicaraan masih berlangsung, tubuh Giam In Kok sudah terperosok
lagi beberapa puluh kaki kebawah. Namun ia tidak gugup dalam
menghadapi ancaman itu. Sambil
mendengus,
kembali serunya : “ Hei keledai gundul, bila kau punya kepandaian,
ayolah turun
kebawah…..
“.
“ Hemmmm…
kematian sudah didepan mata, kau masih berani bicara sombong…..
baik, Hudya akan melihat bagaimana kau mampus secara pelan pelan……….
“.
Agaknya
Ban Keh Seng Hud melihat daya luncur Giam In Kok terlalu besar
sehingga kemungkinan untuk mati cepat kemungkinan ada. Karena ia
berpekik nyaring dan melemparkan kembali dua pukulan dahsyat.
Maksudnya untuk memperlambat daya luncur
pemuda
itu sehingga musuhnya bisa mati secara perlahan lahan.
Giam
In Kok tertawa dingin, diapun mengerahkan tenaga dalamnya sambil
melepaskan pukulan dahsyat.
“ Blammmmm
! Blammmmmm….. ! “.
Setelah
terjadi dua kali benturan keras, bukan saja daya luncur tubuh Giam In
Kok menjadi lamban, malah akibat getaran tersebut badannya melambung
dua kaki semakin keatas. Ban Keh Seng Hud segera tertawa terbahan
bahak : ”Haahhh…haahhh…haahhh… bocah keparat, sudah kau
bayangkan bagaimana keadaanmu disaat menjelang ajal nanti ?. Hudya
cuma merasa sayang dengan kepandaian silatmu itu. Bagaimana kalau kau
menyerah saja dan mempersembahkan empedu ular tadi…. “.
“ Tahiku
mau tidak !? “ tukas Giam In Kok mendongkol.
Tiba
tiba…..
Dari
atas permukaan tanah terdengar seorang berseru dengan suara merdu :“
Cici, coba lihat suatu kejadian aneh. Ada orang sedang bertarung
diatas angkasa !? “.
“ Setan
binal. Kau ada ada saja. Itu kan burung raksasa yang sering kita
lihat “.
“ Huuuuhhh…
buat apa kau membohongiku ?. Coba lihat burung itu besar sekali. “.
“ Yah,
bukankah burung itu Cuma berkaki tunggal ? “. Ketika Giam In Kok
mendengar nada suara gadis tersebut. Ia segera teringat kembali
dengan dinona yang telah menotok jalan darah Ci Kut Hiat ditubuh
Nenek Pertapa Nelayan serta merebut kulit serta kepala ular bermata
tunggal tempo hari. Diam diam ia menjadi terkejut sekali, pikirnya :
“ Andaikata perempuan sialan itu turun tangan bersama, aku….“.
Tapi
belum habis ingatan itu melintas, sinona yang berseru pertama kali
tadi telah berkata kata seakan akan memahami akan sesuatu :“ Ya
benar, burung itu hanya mempunyai kaki sebelah. Aku tahu sekarang.
Kau tentu pernah melihatnya ketika mencari kulit ular dulu bukan…….
?.
“ Tebakanmu
tepat sekali. Orang yang duduk dipunggung burung itu adalah si
keledai gundul yang mengaku sebagai Budha itu. Hei…. Coba lihat
orang yang ada dibawah sana, dia adalah sianak muda tersebut.”
Sekali
lagi Giam In Kok merasa terkejut sekali.
Terdengar
sinona yang masih muda itu segera berteriak keras :“ Cici, kita
harus menolong jiwanya “.
Ban
Keh Seng Hud yang ikut mendengarkan pembicaraan tersebut segera
membentak keras :
“ Lebih
baik kau jangan ikut campur dalam urusanku ?!! “.
Gadis
yang berumur lebih besar itu kontan saja tertawa dingin, jengeknya
keras :
”Seandainya
kau tidak membentak, belum tentu nonamu akan menolongnya. Tapi dengan
sikapmu, aku justru akan menolongnya. Akan kulihat apa yang bisa kau
perbuat ? “.
Dengan
penuh kegusaran Ban Keh Seng Hud berseru : ”Perempuan rendah. Kau
murid siapa ?. Berani benar mencampuri urusan Hudya-mu ? “.
Tampak
dua sosok bayangan manusia melompat keluar dari balik pepohonan. Si
nona yang lebih muda itu segera menuding dengan pedangnya sambil
membentak : “ Bajingan tua, kau belum berhak untuk mengetahui nama
perguruan kami. Ayoh turun dan rasakan sebuah tusukanu lebih dahulu ?
“.
Tapi
sinona yang lebih tua itu segera berkata :“ Sumoay, kau pergilah
menolong orang itu. Biar aku yang mengusir Hwesio palsu ini ! “.
“ Aku
tak bisa menolongnya ! “.
“ Hemmmm.
Cepat dibopong turun, urusan toh beres dengan cepat….. “.
“ Huhhh,
kau saja yang membopongnya…. “.
Giam
In Kok girang sekali mendengar perkataan itu. Buru buru serunya
dengan cepat :“ Cici berdua, tak usah menghiraukan diriku, yang
penting hajar dulu Hwesio gadungan ini, aku tidak menderita apa
apa….. “.
Ban
Keh Seng Hud sangat gusar, sambil tertawa dingin serunya :“ Hudya
akan menyuruh kau mampus lebih dulu “.
Begitu
selesai berkata, ia segera menitahkan burung elangnya menukik
kebawah. Belum lagi orangnya tiba, serangan telah dilancarkan
terlebih dahulu.
Tampak
cahaya emas berkilauan tajam bagaikan selembar jaring raksasa
langsung mengurung seluruh tubuhnya. Setelah mengetahui datangnya
bantuan dari kedua gadis tersebut. Giam In Kok merasa hatinya senang,
segera bentaknya keras : “ Serangan yang hebat ! “.
Kipas
ditangan kirinya segera dikibaskan berulang kali, sementara telapak
tangan kanannya melancarkan serangkaian pukulan berantai. Deru angin
pukulan yang maha dahsyat itu kontan saja memporak porandakan jaring
cahaya yang mengurung tubuhnya itu.
Mendadak
terdengar sinonan yang berusia agak muda itu berteriak sambil tertawa
:“ Cici, coba kau lihat bocah muda itu pandai bersandiwara,
bagaimana kalau kita biarkan saja dia sampai jatuh kebawah ? “.
“ Aneh
benar, mengapa kau bocah perempuan berubah pendapat lagi ?. Kukira
kau benar benar membopongnya turun untuk dijadikan suami….. “.
“ Hemmmm
dasar mulut anjing, tak mungkin akan keluar dagingnya “.
Giam
In Kok cukup tahu akan watak aneh dari sepasang gadis muda itu. Ia
mengerti bila sedikit saja ia salah menangani hal tersebut, akibatnya
mereka akan memusuhinya. Maka diapun tak ambil perduli dengan ejekan
tersebut, sebaliknya ia pusatkan perhatian semua untuk menghadapi
sergapan dari Ban Keh Seng Hud.
Dalam
pada itu Ban Keh Seng Hud pun segera memikirkan asal usul kedua garis
tersebut, untuk sementara waktu dia menjadi lupa untuk melakukan
serangan. Tapi keadaan semacam ini sama sekali tidak menguntungkan
bagi Giam In Kok, Tubuhnya yang meluncur kebawah bergerak semakin
cepat. Ia hanya mendengar suara deru angin yang kencang sekali,
pandangan matanya berkunang kunang membuat kepalanya terasa pusing.
Cepat
cepat ia membalikkan badannya dengan kaki diatas dan kepala dibawah.
Kipasnya dimasukkan kembali kedalam saku sementara sepasang tangannya
bersiap sedia menghadapi serangan. Daya luncur tubuhnya saat ini jauh
lebih cepat daripada daya luncur burung elang itu, keadaannya benar
benar sangat kritis. Ban Keh Seng Hud segera tertawa terbahak bahak,
serunya mengejek :“ Bagaimana rasanya bocah keparat ?’ Lebih baik
kau menyerah saja………. ? “.
Kemudian
sambil berpaling kearah dua gadis yang berada dibawah, kembali
teriaknya : “ Hei nona cilik. Lebih baik kalian jangan mencampuri
urusanku !“.
Namun
kedua gadis itu amat binal dan tidak sudi menuruti perkataannya. Tiba
tiba sinona yang masih muda itu mengeluarkan segulung jaring dari
sakunya dan segera dibentangkan menjadi sebuah jaring selebar puluhan
kaki. Setelah itu ia berseru sambil tertawa terbahak bahak : “
Jaring ular ini baru pertama kali dipergunakan, entah berkasiat atau
tidak ? “.
Sebaliknya
sinona yang agak besar menggerakkan tangan kananya dan mengeluarkan
seutas tali panjang dari balik bajunya. Lalu katanya pula sambil
tertawa terkekeh kekeh : “ Akupun tak tahu ilmu pelangi terbangku
bisa mengenai sasaran tidak ? “.
Dari
sikap kedua gadis itu, Giam In Kok mengerti bahwa mereka berniat
untuk menyelamatkan dirinya. Namun diapun takut bila perhitungannya
sempat meleset, bila jaring kulit ular tersebut tak mampu menahan
daya luncurnya, bukankah dia bakal mati dengan
badan
remuk.
Baru
saja Giam In Kok hendak menyuruh mereka mengurungkan perbuatannya,
tiba tiba terdengar Ban Keh Seng Hud membentak : “ Budak rendah.
Kau berani mencampuri uurusanku ? “.
Tampak
ia berpekik nyaring, burung elang raksasa itu segera meluncur kebawah
dengan kecepatan luar biasa langsung menyerang kedua gadis tersebut.
Gadis
yang berusia agak tua itu segera membentak keras :“ Bajingan tua….
“
Dengan
cepat ia menggetarkan tangannya dan kulit ular sepanjang beberapa
puluh kaki itu segera meluncur kedepan membentuk sebuah jala besar
dan mengancam tubuh elang raksasa
itu.
Tampaknya
elang itu cukup mengetahui akan kelihaian jaring itu, tiba tiba ia
mengurungkan niatnya untuk menukik kebawah dan segera meluncur naik
kembali ketengah angkasa. Sementara itu tubuh Giam In Kok sudah
tinggal dua puluh kaki dari permukaan tanah. Cepat cepat ia menjerit
keras :“ Cici cepat menyingkir ! “.
Tenaga
pukulan yang telah dihimpunnya segera dilontarkan kebawah untuk
melepaskan sepuluh buah serangan berantai.
“ Blammmm….
!... Blaaammmmm…… “.
Tenaga
pukulan yang membentur permukaan tanah itu segera menimbulkan suara
getaran yang luar biasa kerasnya membuat seluruh bumi seakan akan
ikut tergoncang.
Gadis
yang membentangkan jaringnya itu menjadi terkejut. Segera teriaknya
keras keras : “ Hei…. Apa yang hendak kau perbuat !? “.
Tapi
sebelum perkataannya tersebut selesai diucapkan, kesepuluh buah
pukulan beruntun dari Giam In Kok berhasil memperlambat daya luncur
tubuhnya, dengan cepat dia terjatuh
kedalam
jaring tadi dengan selamat.
”Terima
kasih atas bantuanmu nona ?!” Giam In Kok segera berseru sambil
menjura.
Dalam
perkiraan Ban Keh Seng Hud tadi, Giam In Kok yang terjatuh dari
ribuan kaki tingginya pasti akan tewas atau paling tidak akan terluka
parah. Siapa tahu dugaannya itu meleset sama sekali.
Maka
begitu melihat Giam In Kok telah mendarat dengan selamat, ia menjadi
benar benar jengkel dan mendongkol. Sambil membentak keras diapun
ikut melompat turun dari punggung elang raksasanya, lalu memburu
kesamping jaring.
Si
nona yang berusia agak tua segera menggetarkan tangannya dan memutar
tali panjangnya untuk menghadang Ban Keh Seng Hud. Serunya sambil
tertawa dingin : “ Bajingan tua, kau berani membuat keonaran
dibukit Ngo Kui San ? “.
Ban
Keh Seng Hud mundur selangkah dengan perasaan terkejut, segera
serunya tertahan :“ Tempat ini adalah Ngo Kui San ? “.
Kembali
gadis itu mendengus dingin ““ Hem, rupanya kau tak punya biji
mata, tak heran kalau
nyalimu
begitu besar……. “.
Merah
padam wajah Ban Keh Seng Hud setelah mendengar perkataan tersebut.
Serunya dengan marah : “ Ban Keh Seng Hud pribadi masih menunjukkan
sikap sungkan kepada Say Lo Seng Bo guru kalian “.
“ Hemmmm,
mengingat kau masih dapat mengingat guru kami. Untuk sementara waktu
jiwamu bisa kuampuni. Ayo cepat menggelinding pergi dari sini …………..
“,
Sekalipun
Say Lo Seng Bo termasyur karena memiliki ilmu silat yang hebat, namun
Ban Keh Seng Hud sendiripun terhitung seorang gembong iblis yang
termasyur. Tentu saja ia tak mau pergi dari situ karena diusir oleh
seorang gadis muda.
Dengan
penuh kegusaran dia berpekik nyaring, suaranya keras sekali sampai
jarak sepuluh li-pun terdengar jelas. Kemudian dengan sorot mata
memancarkan sinar buas serunya dingin : “ Hudya tak ingin
menganiaya anak kecil, memangnya kau anggap aku takut denganmu ? “.
Paras
muka sinonapun nampak berubah hebat setelah mendengar suara pekikan
lawan yang begitu nyaring. Sambil berpaling kearah rekannya, ia
segera berseru “ “ Bajingan tua ini berani menjual lagak kepada
kita. Bagaimana kalau kita s ikat saja dia…. “.
Mengetahui
kedua gadis itu adalah murid Say Lo Seng Bo, Giam In Kok merasa
kegirangan, buru buru serunya cepat :
Bersambung
Jilid 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar