Jilid
38
Mendengar
perkataan itu, Ho Koam Im menjadi malu sekali hingga menangis tersedu
sedu, teriaknya cepat : “ Koko In, aku tak mau diperiksa dihadapan
umum….. “.
Padahal
teriakan itupun sama sekali tidak ada gunanya, sebab selain Giam In
Kok serta orang tuanya, siapakah yang berhak untuk melakukan
pemeriksaan semacam itu “.
Andaikata
disuruh kaum wanita yang melakukan pemeriksaan tidak mengapa,
andaikata dia seorang lelaki bagaimana jadinya ?. Mimpipun Giam In
Kok tidak menyangka kalau Malaikat Cinta Cukat Seng yang sudah
berusia hampir seabad dan merupakan seorang tokoh terkenal dari dunia
persilatan ini berani memungkiri keadaan serta mengajukan pertanyaan
serumit ini.
Setelah
berkerut kening beberapa saat lamanya, diapun berkata dengan rasa
gemas :“ Bagi kau si siluman tua, bila jubahmu kau disingkap maka
akan diketahui dengan segera adakah medali dalam sakumu. Sebaliknya
bila ingin memeriksa istriku ini, siapa pula yang hendak turun tangan
? “.
Mendadak
dari kejauhan sana terdengar seseorang tertawa cabul, sahutnya
lantang : “ Biar aku yang melakukan pemeriksaan tersebut ? “.
Dengan
wajah tertegun semua orang segera berpaling kearah mana datangnya
seruan tersebut.
Dibawah
sinar rembulan, tampak sesosok bayangan tajam berkelebat lewat dan
meluncur kearah mereka.
Cepat
cepat Giam In Kok berbisik : “ Adik Koan, seandainya aku bertarung
melawan orang itu nanti, bila ada orang hendak turun tangan kepadamu.
Ingat baik baik dengan ketujuh jurus serangan ajaranku itu ? “.
“ Koanji
mengerti. Tapi siapakah orang itu ? “.
“ Orang
itu adalah….. “.
Belum
selesai perkataan tersebut diucapkan. Diatas puncak bukit telah
bertambah dengan seorang lelaki berusia dua tiga puluh tahunan yang
bertubuh tegap dan bermuka lancip. Ketika melayang turun diarena,
terlihat bahwa dibalik jubahnya ternyata orang itu menggunakan celana
perempuan.
Sambil
mendengus dingin Giam In Kok segera menegur : “ Hei Tikus dari
Pecomberan, tak kusangka kau belum juga mampus ! “.
Begitu
Giam In Kok berteriak. Selain Ho Koan Kim yang masih tetap berdiri
disamping kekasihnya, para jago yang lain serentak mengundurkan diri
kebelakang.
Dengan
wajah yang angkuh orang itu melirik sekejab kearah Giam In Kok, lalu
tegurnya dengan suara dingin : “ Siapa kau ?. Mengapa memanggil aku
Song Seng Tong sebagai tikus dari pecomberan ?. Apakah kau hendak
menyuruh aku Song tua untuk memeriksa juga dirimu sebagai lelaki atau
perempuan ? “.
Giam
In Kok tertawa dingin :“ Song Seng Tong. Kau tak usah menjual lagak
dihadapan siauyamu, seandainya tidak ditolong oleh Tiong Giok s
iluman tua itu mungkin tanah gundukan dibukit Siong San akan
kelihatan lebih subur “.
“ Ooooo….rupanya
kau sibocah keparat. Suhuku menitahkan kepadaku untuk membangun
kembali Liong Yang Wan dan akan mengundang dirimu sebagai Wancunya “.
Begitu
nama tersebut disebut para hadirin segera berseru tertahan, terutama
sekali si Perempuan Berwajah Dingin serta Ensonya. Mata mereka berapi
api. Diawasi wajah pemuda tersebut tanpa berkedip.
Ketika
sudah mengetahui siapakah pemuda yang berada dihadapannya ini,
mencorong sinar buas dari mata si Tikus dari Pecomberan. Dengan muka
membenci serunya sambil tertawa seram :“ Baik, mau bertarung secara
halus atau bertarung secara kasar, terserah pada pilhanmu sendiri,
marilah….. “.
“ Bagaimana
kalau bertarung secara halus dan bagaimana pula kalau bertarung
secara kasar ?“.
“ Bertarung
secara halus berarti kita bertarung mengandalkan jurus silat.
Sebaliknya kalau bertarung secara kasar berarti mengandalkan hawa
murni “.
Mendengar
perkataan tersebut, diam diam Giam In Kok berpikir :“ Tenaga
dalammu memang kurang becus, memangnya siauya takut kepadamu…. “.
Tapi…..tiba
tiba ia teringat kembali bahwa hawa murninya yang telah disalurkan
ketubuh Ho Koan Kim hingga merubahnya menjadi seorang jago yang
lihai. Andaikata si Tikus dari Pecomberanpun mendapat bantuan tenaga
dalam dari Tiong Giok Kisu setelah ditolong olehnya, bukankah tenaga
dalam yang dimilikinya akan setingkat lebih hebat ?.
Dalam
waktu singkat itulah berbagai ingatan melintas dalam benaknya. Cepat
cepat dia menyebut : “ Mari kita bertarung dulu secara halus
kemudian baru kasar, siauya tetap akan mengalah tiga jurus untukmu “.
“
Haaahhh….haaahhh…haaahhh…bagus
sekali ! “.
Menyusul
seruan tersebut si Tikus dari Pecomberan segera menerjang maju kemuka
dan mencengkeram baju Giam In Kok.
Cepat
cepat Giam In Kok berkelit kesamping sejauh beberapa kaki dari posisi
semula.
Siapa
tahu si Tikus dari Pecomberan sama sekali tidak merubah serangannya.
Secara langsung dia menerjang kearah Ho Koan Kim yang berada beberapa
kaki dihadapan sana.
Walaupun
Ho Koan Kim telah mempelajari tujuh jurus ilmu menyelamatkan diri,
akan tetapi ia sama sekali tak menyangka kalau si Tikus dari
Pecomberan bakal cari gara gara kepadanya.
Maka
disaat pandangan matanya terasa kabur, buru buru dia menjejakkan
kakinya berniat kabur keatas pohon, segulung desingan angin tajam
telah menyambar lewat dan menghajar badannya.
Ia
segera menjerit kaget, tubuhnya langsung roboh terjengkang diatas
tanah.
Ketika
itu Giam In Kok merasa kalau dirinya tertipu. Buru buru ia melejit
ketengah udara sambil mengayunkan telapak tangannya.
“ Blammmmm….
“.
Segelung
tenaga pukulan yang sangat kuat dengan cepat menyelimuti kawasan
seluas lima kaki dan menerjang ketubuh lawan. Tikus dari Pecomberan
tertawa melengking, serta merta tubuhnya melejit setinggi lima kaki.
Begitu terhindar dari serangan dan melayang turun kembali diatas
tanah. Jengeknya sambil tertawa: “ Mengapa tidak jadi mengalah ? “.
Setelah
berhasil mendesak mundur si Tikus dari Pecomberan Giam In Kok segera
menebos kesisi Ho Koan Kim serta memeriksa keadaannya.
Paras
muka nona itu telah berubah menjadi pucat pias, sementara
kesadarannya hilang.
Dengan
perasaan sedih dan sayang segera bentaknya :
“ Hemmmm,
kau si Tikus dari Pecomberan yang mencari kematian buat diri sendiri,
jangan salahkan bila siauya bertindak keji ! “.
Tikus
dari Pecomberan tertawa licik, ujarnya :
“ Kau
benar benar tak menghargai niat baik orang lain, walaupun bocah itu
sudah kau rubah menjadi setengah wanita, sayang jalan yang kau tempuh
keliru. Itulah sebabnya aku beriba hati dengan menyelamatkan dirinya
dengan menggunakan ilmu Tiong Giok Khikang. Sekarang kau bukannya
berterima kasih kepadaku masa malah menyalahkan diriku. Benar benar
kurang ajar ! “.
Diantara
hadirin yang berada dalam arena, tiga diantaranya adalah wanita,
takkala mendengar ucapan dari si Tikus dari Pecomberan itu kontan
saja paras muka mereka berubah menjadi merah padam karena jengah.
Buru
buru Giam In Kok berjongkok sambil memeriksa denyut nadi Ho Koan Kim.
Begitu diperiksa segera diketahui bahwa denyut nadinya memang normal
kembali.
Tanpa
terasa diapun berpikir dihati :“ Ternyata ilmu sesatpun masih ada
gunanya juga “.
Dengan
menggunakan kesempatan tersebut dia segera menyalurkan tenaga
dalamnya untuk melancarkan kembali peredaran darah Ho Koan Kim.
Tak
selang beberapa saat kemudian, “gadis” tersebut telah siuman
kembali. Segera serunya : “ Ohhh Koko In, lagi lagi kau yang
menolongku ! “.
“ Nah,
begitulah suami isteri memang harus saling bermesraan. Kalian harus
berterima kasih kepada bantuanku “ sorak Tikus dari Pecomberan
sambil bertepuk tangan.
“ Benar
“ sambil menggandeng tangan Ho Koan Kim dan melompat bangun, Giam
In Kok membentak “ Itulah sebabnya siauya hendak memberi suatu
kepuasan kepadamu. Silahkan menyerang ! “.
“ Yang
seharusnya kusambut adalah kesediaanmu untuk menjabat sebagai Wancu
gedung kami !? “.
“ Siluman
tua. Sebetulnya kau bersedia untuk bertarung atau tidak ? “.
“ Aaahhhh,
aku toh hanya ingin mengundangmu menjadi Wancu dari gedung Liong Yang
Wan ? “.
“ Bangsat.
Tak usah banyak berbicara lagi. Lihat serangan ! “. Dalam gusarnya
Giam In Kok sama sekali tidak memberi kesempatan kepada siluman tua
itu untuk banyak bicara.
Serangannya
begitu dilancarkan, tubuhnya segera berputar bagaikan hembusan angin,
telapak tangan kanannya yang memancarkan cahaya merah dan telapak
tangan kirinya yang memancarkan sinar hijau serentak dipergunakan
bersama sama untuk mengurung tubuh siluman tua tersebut.
“ Nampaknya
sebelum ada yang mampus kau tak ingin mengakhiri pertarungan ini ? “
bentak Tikus dari Pencomberan. Telapak tangannya diayunkan pula
memancarkan kabut kuning dan kabut hitam secara bersamaan.
Dalam
waktu singkat angin pukulan menderu deru. Seluruh suasana dalam arena
seolah olah telah terjadi perubahan. Kawanan jago yang mengikuti
jalannya pertarungan itu dari sisi arena hanya bisa melihat kabut
tebal yang makin lama makin membumbung tinggi, disusul bergemanya
suara gemuruh keras, namun bayangan tubuh mereka sama sekali tak
nampak.
Ho
Koan Kim sangat menguatirkan keselamatan kekasihnya, sepasang mata
yang mengawasi lapisan kabut tersebut nyaris menongol keluar.
Ditengah suasana tegang dan gelisah, tiba tiba ia merasa bahunya
ditepuk orang, lalu terdengar seseorang memanggil.
“ Adik……..
“.
Tepukan
tersebut datang secara mendadak dan sama sekali diluar dugaan. Saking
kagetnya hampir saja ia menjerit tertahan.
Ketika
berpaling dengan cepat ternyata Perempuan Cantik Berwajah Dingin
telah berada dibelakangnya. Tampak nona itu menggoyangkan tangannya
berulang kali sambil berbisik lirih : “ Aku tidak berniat
mencelakaimu. Andaikata kekasihmu kalah, akupun akan berusaha
menolongmu !? “.
“ Tidak
! “ tampik sinona cepat. “ Kalau ia mati biar aku turut mati
bersamanya “.
”Kau
tak ingin berjumpa dengan cicimu ? “ tanya si Perempuan Cantik
Berwajah Dingin.
Ho
Koan Kim termenung sejenak, kemudian sahutnya sambil tertawa : “
Aku rasa Engko In tak bakal menderita kalah ! “.
“ Atas
dasar apa kau berkata begitu ? “.
“ Coba
kau lihat, bukankah ketiga macam kabut berwarna yang menyelimuti
arena pertarungan makin lama semakin tebal ? “.
Bagi
Ho Koan Kim ucapan tersebut diutarakan dengan amat ringan. Tentu saja
dia tidak menyangka kalau Giam In Kok yang sedang terlibat dalam
pertempuran justru makin bertempur makin terkejut hatinya.
Dalam
waktu singkat kedua belah pihak telah saling bertarung ratusan jurus
lebih. Masing masing pihak sama sama mempunyai ambisi untuk membunuh
lawannya, kalau bisa dalam satu gebrakan saja. Mimpipun Giam In Kok
tak mengira kalau hanya terpisah beberapa hari saja tenaga dalam yang
dimiliki si Tikus dari Pecomberan itu bukan Cuma bertambah satu kali
lipat, bahkan dalam jurus seranganpun mendapat kemajuan yang luar
biasa.
Tanpa
terasa pikirnya dengan cemas :“ Jangan jangan Iblis tua ini saling
menghisap sari kekuatan dengan Suhunya serta para adik
seperguruannya. Kalau tidak darimana datangnya tenaga kekuatan
sedemikian hebatnya ? “.
Ia
cukup yakin dengan kemampuan yang dimilikinya, dan yakin pula kalau
kemampuannya masih berada diatas kemampuan ketiga ahli waris Tiong
Giok Kisu. Namun seandainya pihak lawan telah menggunakan cara aliran
sesatnya untuk menanamkan bibit kekuatan dalam tubuh rekannya dan
kekuatan tersebut bisa dipakai setiap saat. Maka dia akan menjumpai
kesulitan untuk menghadapi.
Betul
juga, biarpun serangkaian lima pukulan Cing Khu Ciang Hoat telah
habis dipakai, namun ia belum berhasil juga meraih sedikit keuntungan
apapun. Padahal pihak lawan masih ada beberapa orang rekannya belum
muncul. Andaikata mereka tiba pada saatnya nanti, bukankah dia bakal
mengalami kesulitan untuk menghadapinya ?.
Dalam
gelisahnya tiba tiba melintas satu ingatan cerdik didalam benaknya.
Mendadak pemuda itu tertawa nyaring. Permainan ilmu pukulannya
berubah. Kali ini dia mengeluarkan ilmu pukulan Penggaet Sukma
Pengunci Nyawa yang berhasil dipelajari dari si setan tua Sie It
Hong…
Dalam
waktu singkat bayangan tangan berlapis lapis bagaikan awan, angin
pukulan menderu deru setajam golok yang secara beruntun dia telah
melepaskan lima buah serangan berantai. Si Tikus dari Pecomberan
merasa amat terkejut, cepat cepat dia melompat mundur sejauh beberapa
kaki dari posisinya semula dan berteriak keras : “ Kalau ini mah
bukan ilmu pukulan Cing Khu Ciang Hoat ! “.
“ Hemmmm,
memangnya tak boleh kugunakan ? “ jengek Giam In Kok sambil tertawa
dingin.
Tubuhnya
menerjang kemuka bersamaan dengan tibanya angin serangan, hawa murni
Cong Goan Hiat Khi nya kembali membiaskan berlapis lapis cahaya
menyilaukan mata. Dalam waktu singkat seluruh badan si Tikus dari
Pecomberan telah terbungkus dibalik serangan tersebut.
Tikus
dari Pecomberan menjadi terkejut bercampur gelisah. Mendadak
terdengar desingan tajam membelah angkasa disusul berkelebatnya sinar
tajam. Terdengar ia berseru lagi sambil tertawa dingin : “ Bangsat
cilik kau kenal dengan benda ini ? “.
Giam
In Kok menyaksikan benda yang dicabut keluar lawannya adalah senjata
Giok Ji Gi yang berbentuk bagaikan pena tapi seperti juga seruling
yang membiaskan cahaya tajam. Dia tahu benda tersebut pastilah
senjata andalan siluman tua ini.
Karenanya
tidak menunggu sampai lawannya selesai bicara, ia telah membentak :“
Lihat serangan ! “.
Menyusul
bentakan itu, berlapis lapis bayangan tangan yang amat tebal
menggulung kedepan dan menyelimuti seluruh tubuh si Tikus dari
Pecomberan. Mendadak segulung cahaya tajam menyembur keluar dari
ujung senjata Giok Ji Gi dari Tikus dari Pecomberan, dalam lintasan
kilat, selapis kabut tebalpun menyelimuti tubuhnya.
Tiba
tiba terdengar suara ledakan keras yang memekakkan telinga. Begitu
kerasnya getaran tersebut membuat cahaya tajam tadi lenyap dan kabut
tebalpun membuyar.
Kawanan
jago silat yang menonton jalannya pertarungan itu segera merasakan
pandangan matanya menjadi kabur. Tahu tahu si Tikus dari Pecomberan
telah berdiri pada jarak lima kaki dihadpan Giam In Kok. Sementara
senjata Gio Ji Gi-nya disilangkan didepan dada.
“ Hei
bocah keparat, mengapa kau tidak meloloskan senjata andalanmu
“terdengar ia menegur sambil tertawa dingin.
Giam
In Kok sendiripun sama sekali tidak meyangka kalau tenaga dalam yang
telah digunakan hingga mencapai tujuh bagian ternyata cuma berhasil
mendesak musuhnya sejauh lima kaki. Meski demikian sambil tertawa
dingin katanya pula : “ Aku rasa dengan andalkan sepasang telapan
tangan, siauya masih cukup mampu untuk mengusirmu dari sini ! “.
Seraya
berkata sepasang telapak tangannya kembali disilangkan didepan dada,
sementara dari balik telapak tangannya yang dihadapkan keluar
tersembur keluar gulungan cahaya kabut yang berlapis lapis.
Tikus
dari Pecomberan terpekik nyaring. Sambil menerjang kedepan tiba tiba
dia mengayunkan senjatanya mengancam tubuh Ho Koan Kim.
Giam
In Kok tidak menyangka kalau secara tiba tiba Tikus dari Pecomberan
akan mengalihkan sasarannya ketubuh Ho Koan Kim. Saking kagetnya dia
segera membentak gusar. Dengan sekali lejitan dia memburu kearah
Tikus dari Pecomberan, sementara cahaya kabut yang menyelimuti
angkasapun berkembang makin luas dan menyelimuti badan lawan.
Agaknya
si Tikus dari Pecomberan telah mengerahkan segenap tenaga dalam yang
dimilikinya. Senjata Gio Ji Gi-nya disodok keatas dengan membiaskan
cahaya tajam, sementara telapak tangan kirinya membabat dada Ho Koan
Kim keras keras.
“ Blammmmm……
“.
Benturan
keras bergema diiringi jerit kesakitan seseorang. Tubuh Giam In Kok
yang melambung diangkasa termakan oleh getaran serangan si Tikus Dari
Pecomberan yang kuat itu hingga mencelat setinggi tiga kaki lebih.
Sebaliknya tubuh Ho Koan Kim terguling beberapa kaki dan terpental
hingga sejauh sepuluh kaki. Sambil tertawa terbahak bahak di Tikus
dari Pecomberan segera berseru :
“
Haaahh…haaahh…haaahh….
Wancu baru kami, sekarang kau sudah mengetahui akan kelihaianku bukan
? “.
Biarpun
tubuh Giam In Kok terpental tinggi keangkasa, namun dengan bekerjanya
hawa khikang Hiat Khi Sinkang yang melindungi badannya, ia sama
sekali tidak menderita luka apapun.
Ketika
melihat tubuh Ho Koan Kim terpental bagaikan layang layang yang putus
talinya tubuhnya segera berjumplitan beberapa kali diudara, kemudian
sambil mengerahkan hawa murninya dia sambar tubuh si “nona” dan
membawanya melayang turun keatas tanah.
Dalam
keadaan begini dia tak sempat lagi untuk mengurusi ejekan musuhnya.
Kepada Ho Koan Kim segera bertanya : “ Adik Koan, bagaimana
keadaanmu “.
Sejak
hidup didunia ini belum pernah Ho Koan Kim menjumpai sergapan yang
begitu menakutkan. Ia menjadi terperanjat setengah mati hingga
wajahnya berubah menjadi pucat pasi dan nafasnya tersengal sengal.
Sambil bersandar dalam rangkulan Giam In Kok bisiknya dengan gemetar
: “ Koanji sama sekali tidak terluka, tapi orang itu menakutkan
sekali, kau harus memberi pelajaran kepadanya ! “.
Menggunakan
kesempatan sewaktu berbicara tadi Giam In Kok memeriksa denyut
nadinya. Ketika tidak menemukan gejala yang aneh diapun menjawab
dengan lembut : “ Adik Koan tak usah kuatir ?! “.
Akan
tetapi disaat dia mendongakkan kepalanya, tampak di Tikus dari
Pecomberan telah berada puluhan kaki jauhnya dari situ dan sedang
melarikan diri terbirit birit. Bukan saja menang kalah belum
diketahui bahkan disaksikan pula orang luar, kenapa si Tikus dari
Pecomberan yang menempati posisi diatas angin justru melarikan diri
terbirit birit.
Baru
saja Giam In Kok hendak melakukan pengejaran, tiga Malaikat dari
Perguruan Pelajar Rudin yang berdiri disisinya telah melangkah maju
kedepan. Pemuda itu jadi kuatir bila mereka menganiaya Ho Koan Kim,
karenanya sambil menuding kearah Malaikat Cinta sepera umpatnya : “
Siluman tua Cukat mengapa kau tidak segera tampil untuk menerima
kematian ? “
Malaikat
Cinta Cukat Seng tertawa dingin :“ Mengapa kau tidak memberikan
dulu bocah tersebut dihadapan umum ? “.
Paras
muka Giam In Kok segera berubah menjadi dingin bagaikan es, ujarnya
ketus :“ Siluman tua, nampaknya kau sudah pengin mampus, tahukan
kau siapa orang tadi ? “.
“ Dia
adaah Im Yang Sian Ang, Kakek Dewa Im dan Yang ! “.
“ Huahh,
Kakek Dewa apaan ?!. Dia tak lebih Cuma Tikus dari Pecomberan. Nah
siauya ingin bertanya kepadamu sekarang. Bagaimanakah dirimu kalau
dibandingkan dengan si tikus tua tadi?“.
“ Aku
tidak memahami maksudmu ? “.
“ Bila
kau merasa tidak memiliki kepandaian yang lebih hebat daripada si
tikus tua tersebut lebih baik ungkapkan semua keadaan Perkumpulan
Pelajar Rudin yang sebenarnya…… “.
“ Perkumpulan
Pelajar Rudin kami sama sekali tidak mempunyai rahasia apa apa, atas
dasar apa kau memojokkan posisiku sedemikian rupa ? “.
Giam
In Kok tertawa dingin, serunya :
“ Kau
memang benar benar seorang manusia busuk yang berotak licik….. “.
“ Kau
sendiri yang busuk dan tak tahu diri….. “.
Tapi
sebelum perkataan dari Malaikat Cinta Cukat Seng menyelesaikan kata
katanya, Giam In Kok telah meluncur datang dengan kecepatan luar
biasa, telapak tangan kanannya diayunkan kedepan. Selapis kabut
berwarna warni segera menyelimuti seluruh wajahnya.
Serangan
tersebut dilancarkan dengan kecepatan bagaikan petir. Sedemikian
cepatnya sampai Malaikat Pedang Buyung Siau dan Malaikat Pena Bunjin
Tat yang berdiri disisinyapun tidak sempat memberi pertolongan.
Mendadak
terdengar Malaikat Cinta Cukat Seng menjerit kaget. Cepat cepat dia
membuang tubuhnya kesamping dan melompat sejauh sepuluh kaki dari
posisi semula. Tapi Giam In Kok sama sekali tidak bermaksud mencabut
nyawanya dengan serangan itu.
Pada
sat itulah telapak tangan kanannya meluncur kebawah dengan cepat
sekali.
“ Sreettt……
“.
Desingan
tajam berkelebat lewat. Tahu tahu tali celana si Malaikat Cinta Cukat
Seng telah terpapas kutung oleh babatan tangannya. Akibat dari
serangan itu aliran tenaga seranganpun menggulung kearah bawah
membuat celana yang dipakainya terlepas dan melorot kebawah.
Giam
In Kok tertawa nyaring, dari atas tanah dia memungut sebuah medali
berwarna emas lau setelah dilihat sekejap, pemuda itu balik kembali
ketengah arena sambil katanya :“ Buyung Lohiap, ternyata orang ini
termasuk dalam pemegang medali emas dari huruf “ Sui “…. “.
Belum
selesai perkataan itu diucapkan, tahu tahu Cukat Seng telah
membalikkan badan dan melarikan diri terbirit birit.
Menyaksikan
hal ini, Giam In Kok segera membentak keras : “ Kemana kau hendak
kabur ! “.
Sambil
menjejakkan kakinya keatas tanah dia melejit keudara dan melemparkan
medali emas tadi kedepan Malaikat Pedang.
“ Siauhuap
tunggu dulu ! “ Malaikat Pedang daan Malaikat Pena segera berteriak
bersama.
Tampak
dua sosok tubuh melejit bersama, kemudian pedang dan sepasang pena
yang menciptakan lapisan jaring cahaya segera menghadang jalan
perginya. Menyaksikan hal ini Giam In Kok tertegun. Ia segera menarik
kembali tubuhnya dan menegur dengan nada tak senang : “ Apakah
Lohiap berdua ingin membantu kaum jahanam untuk melakukan kejahatan ?
“.
Buru
buru si Malaikat Pedang Buyung Siau menjura seraya menjawab dengan
lembut :“ Harap Siauhiap jangan salah paham. Tak ada salahnya bila
kita periksa dulu barang bukti itu. Seandainya Cukat Seng benar benar
telah melakukan penyelewengan, maka bukan cuma Siauhiap seorang yang
tak akan melepaskan dirinya, bahkan aku serta saudara Bunjin-pun akan
membersihkan Perguruan kami dari unsur unsur yang tidak benar “.
“ Baiklah,
kalau memang Lohiap bermaksud demikian, akupun akan menghemat waktu
dan tenaga “.
Berbicara
sampai disini dia segera mengundurkan diri kesisi Ho Koan Kim. Ketika
dilihatnya “nona” itu sedang berbicara dengan Perempuan Cantik
Berwajah Dingin Kwik Hui Hun, terpaksa katanya sambil tersenyum paksa
:
“ Kwik
Lihiap rupanya kaupun datang kemari ? “.
Merah
padam selembar wajah Perempuan Cantik Berwajah Dingin Kwik Hui Hun.
Dia menundukkan kepalanya sambil mengiyakan, seakan akan pertanyaan
dari Giam In Kok tersebut mendatangkan perasaan malu yang luar biasa.
Sebaliknya
Ho Koan Kim segera berkata sambil tertawa : “ Cici Kwik bukan orang
jahat, dia bilang tingkah laku maupun perbuatan dari Tongcunya sama
sekali tidak diketahui oleh Pangcunya. Maka seandainya apa yang
dilaporkan memang benar. Diapun akan pulang dan melaporkan peristiwa
ini kepada Ketuanya agar membersihkan Perkumpulan dari manusia
manusia tak bertanggung jawab “.
Giam
In Kok yang mendengar ucapan tersebut menjadi kegirangan setengah
mati, segera serunya :“ Enci Kwik, apabila kau bersedia untuk
berbuat demikian, inilah rejeki bagi umat persilatan. Tapi bolehkan
siaute bertanya tentang suatu persoalan ? “.
Panggilan
Cici yang berulang ulang seketika membuat paras muka di Perempuan
Cantik Berwajah Dingin Kwik Hui Hun berubah menjadi merah padam dan
hatinya berdebar debar keras. Sambil menunduk katanya :“ Apa yang
ingin kau tanyakan ? “.
“ Sewaktu
berada dalam perjamuan di gedung Kim Kok Wan tadi, apakah Giam In Si
bajingan keparat itu sempat menjelaskan tempat tinggal dari Giam Ong
Hui bajingan tua itu ? “.
“ Konon
dia berada disekitar Holam ! “.
“ Apakah
tidak dijelaskan alamat yang pasti ? “.
“ Sebenarnya
dia ingin mengundang Lau Lo Enghiong untuk berangkat bersama, tapi
berhubung Lau Lo Enghiong masih ada urusan lain maka diapun berjanji
kepada Lau Lo Enghiong agar berangkat langsung Ke Holam. Disana pasti
ada orang yang akan menyambut kedatangannya “.
“ Kalau
begitu aneh sekali “ seru Giam In Kok tercengang. “ Aku pernah
berjumpa dengan anak buah bajingan tua itu. Mereka sering berkelompok
dengan Tongcu dari perkumpulan anda, para Tianglo serta Kho Yong yang
menyamar sebagai Setan Tua Berwajah Seratus. Malah tak lama berselang
aku sempat melihat bajingan tua itu berada disekitar Tebing Sam Kiam
Hong. Mengapa dalam waktu singkat mereka telah pindah ke Holam ? “.
Berkilat
sepasang mata Ho Koan Kim setelah mendengar perkataan tersebut.
Katanya sambil tertawa : “ Jangan jangan bajingan cilik itu sengaja
sedang mengatur siasat untuk menjebakmu ? “.
Giam
In Kok menggelengkan kepalanya berulang kali. Belum sempat dia
menjawab, tiba tiba tampak bayangan manusia berkelebat lewat. Tahu
tahu Ensonya di Perempuan Cantik Berwajah Dingin telah muncul
dihadapan mata. Sambil tertawa terkekeh kekeh perempuan muda itu
menegur : “ Apa sih yang sedang kalian bicarakan ?. Bolehkah aku Cu
Ing turut mendengarkan ? “.
Perempuan
Cantik Berwajah Dingin mengerling sekejap kearahnya, lalu berkata
hambar : “ Siapa sih yang membicarakan sesuatu ? “
“ Aduuhhh….
Nonaku….. “ seru Cu Ing sambil tertawa. “ Kalau tidak berkata
apa apa kenapa begitu lama ?. Baik, baik aku si Ensopun tidak berniat
mencampuri urusan kalian, terserah apa mau mu….. “.
Sementara
berbicara sepasang biji matanya yang jeli sempat mengerling sekejap
kewajah Giam In Kok dengan nafas membara. Giam In Kok segera melengos
kearah lain dengan perasaan muak, tapi perempuan muda itu tertawa
cekikikan dan segera berlalu dari situ.
Sepeninggal
perempuan bernama Cu Ing itu, Perempuan Cantik Berwajah Dingin Kwik
Hui Hun baru berkata :“ Orang ini benar benar memuakkan. Siamoy
kuatir dia pulang untuk mencari gara gara, maka siaumoy berangkat
dahulu. Tentang urusan adik Ho, aku pasti akan memperhatikan bagimu,
begitu bertemu dengan Cicimu atau Gurunya, aku pasti akan
menyampaikan peranmu kepada mereka, akan kusuruh dia melepaskan diri
dari Perkumpulan dan mencari kalian berdua didunia persilatan :.
“ Tapi
lebih baik kita tetapkan tempatnya saja “ buru buru Giam In Kok
berseru. “ Dengan begitu waktu serta tempat pertemuannya jadi pasti
dan tak usah dirubah lagi “.
“ Kalau
begitu bagaimana kalau kita bersua lagi di Kim Kok Wan tiga bulan
lagi ? “.
“ Terlalu
cepat “ kembali sang pemuda berseru. “ Aku harus berangkat
keselatan untuk melacak jejak kawanan siluman dari Perkumpulan Ang
Sin Sancung. Mungkin dalam tiga bulan tak mungkin bisa balik kemari
“.
“ Kalau
begitu bagaimana kalau setahun kemudian ? “.
“ Nah
begitu baru cocok “.
Belum
lama Perempuan Cantik Berwajah Dingin beserta Langkah Sakti Tanpa
Bayangan sekalian berangkat meninggalkan tempat itu, Malaikat Pedang
Buyung Siau serta Malaikat Pena Bunjin Tat telah berkata sembari
menjura dalam dalam “ Tampaknya selama ini kami telah dikelabui
habis habisan. Kalau begitu musuh paling jahat yang harus kami hadapi
adalah saudara sendiri. Terima kasih banyak atas petunjuk anda,
semoga kita dapat bersua kembali dilain waktu…….. “.
Buru
buru Giam In Kok balas memberi hormat bahkan ujarnya : “ Harap
Lotiang jangan kelewat menyalahkan diri sendiri tapi Malaikat Cinta
Cukat Seng pribadi, seandainya dia tak mau diperalat oleh Ting Giok
Kisu itu tak mungkin urusan akan berkembang menjadi begini. Semoga
saja Lotiang berdua bisa menegakkan kembali kewibawaan Perkumpulan
serta membersihkan diri dari unsur unsur sesat “.
Selesai
berbicara kedua orang Malaikat itupun berlalu dari s itu. Menanti
semua orang sudah bubaran dan disekeliling tempat itu tak ada orang
lain, Ho Koan Kim segera berkata sambil tertawa :“ Engkoh In,
tindakanmu memang sangat hebat. Bukan Cuma siluman tua yang mengaku
Malaikat Cinta itu berhasil kau usir pergi, mungkin Perkumpulan
Pelajar Rudinpun bakal mengalami kehancuran total “.
“ Kehancuran
total ?. Aku rasa tak mungkin hancur, sebab itulah aku baru mengambil
tindakan ini, coba kalau bukan begitu, apa salahnya bila sekali hajar
kuhabisi saja nyawa siluman tua Cukat Seng itu ? “.
Kembali
Ho Koan Kim tertawa :“ Engkoh In, apakah kau sudah membayangkan apa
akibatnya
dengan
tindakanmu yang salah ini ? “.
“ Apa
? “.
“ Kau
berbuat kelewat tergesa tidak dipikirkan masak masak dengan kepergian
Cukat Seng siluman tua itu. Bisa jadi dia akan segera mengumpulkan
teman temannya untuk berusaha menguasai Perkumpulan Pelajar Rudin
sepenuhnya, malah bisa jadi akan bermusuhan sendiri dengan kedua
orang tua tadi. Selain itu, meski si Langkah Sakti Tanpa Bayangan
kakak beradik telah mengundurkan diri dari situ. Namun dilihat dari
sikapnya yang mendongkol, jelas ini tak akan berakhir sampai disini
saja “.
Giam
In Kok sama sekali tidak menyangka kalau Ho Koan Kim yang baru
berusia tiga belas tahun ternyata cerdik dan teliti. Setelah
mendengar perkataan itu, dia segera sadar kalau keputusan yang
diambilnya tadi memang kurang dipikirkan secara masak masak serta
kelewat keburu nafsu.
Tanpa
terasa ia berseru :“ Wah bisa celaka kali ini. Aku takut Malaikat
Pedang serta Malaikat Pena akan menghadapi persoalan pelik ? “.
Namun
satu ingatan tampak melintas dibenaknya. Sambil terawa segera katanya
lagi :“ Tapi begitupun ada baiknya, biar mereka membersihkan
perkumpulan dari unsur unsur jahat dan saling gontok gontokan
sendiri. Dengan begitu akupun tidak usah bersusah payah untuk turun
tangan sendiri “.
“ Koko
In, aku rasa kita harus berangkat sekarang ? “
Berbicara
soal pergi dari situ, Giam In Kok berpikir sebentar kemudian baru
katanya :“ Rasanya kurang leluasa bila mesti mesti balik lagi ke
Kim Kok Wan, baik kita mencari kuil saja untuk bermalam…….. “.
Sejak
ditotok jalan darahnya oleh si Tikus dari Pecomberan tadi, Ho Koan
Kim merasakan peredaran tubuhnya terasa lancar tanpa hambatan, bukan
saja perasaannya lebih cerah, sifat
kewanitaannnya
juga makin tumbuh.
Begitulah
dengan menelusuri jalan setapak mereka berdua meneruskan
perjalanannya menuju keselatan. Suatu hari tibalah mereka di wilayah
Hopak. Tampak perbukitan yang menjulang keangkasa berjajar didepan
mata. Sebuah jalan setapak terbentang jauh kedepan sana dan entah
berakhir dimana.
Mendadak…..
Diantara
hembusan angin gunung terendus bau arak yang amat menusuk penciuman.
Giam In Kok yang mencium bau tersebut kontan saja berseru memuji “
Arak wangi ! “.
“ Engkoh
In. apakah kau tidak ingat bahwa kita sudah sampai di Mao Tay….. ?
“.
“ Adik
Koan, sejak kapan kau mendapat berita ? “.
“ Selama
beberapa hari belakangan ini kau selalu tertidur lelah, sementara kau
tidur akupun selalu berusaha mencari keterangan dari pelayan
penginapan. Akhirnya aku mendapat tahu kalau kita sudah hampir tiba
di Mao Tay. Nah sekarang sudah tengah hari. Bukankah ini berarti
perjalanan kita telah sampai di Mao Tay ? “.
“ Kapan
sih kau pernah datang ke Mao Tay ? “.
“ Aahhhhh….kau
ini memang gemar menggoda….. “. Mendadak berkilat sepadang mata
Ho Koan Kim, serunya cepat “ Coba dengar suara apakah itu ? “.
Padahal
sejak tadi Giam In Kok sudah mendengar ada suara keleningan yang
berbunyi dari arah belakang. Tapi karena sudah terbiasa dengan bunyi
suara tersebut maka sahutnya sambil tertawa :“ Paling paling ada
orang Han sedang naik kuda, buat apa kita mesti menggubrisnya ? “.
“ Engkoh
In. apakah kau tidak mendengar kalau suara kelentingan itu
kedengarannya agak aneh ? “.
Sementara
nona itu berseru kaget. Dari balik pepohonan telah terdengar
seseorang menghela nafas mengawasi keluar dengan sorot matanya yang
berwarna biru. Namun sayang sepasang muda mudi itu sedang asyik
bertanya jawab sendiri sehingga suara helaan nafas tesebut sama
sekali tak terdengar.
Dalam
pada itu Giam In Kok telah dibikin terkejut oleh teguran itu, segera
sahutnya dengan kaget :“ Ya, memang suara keleningan ini terdengar
aneh bahkan langkah kudanya tegap dan berat. Jelas bukan sembarangan
kuda “.
Sementara
mereka masih berbincang, suara keleningan kuda itu sudah bergema
makin dekat. Cepat cepat Giam In Kok menarik Ho Koan Kim untuk
menyingkir kesisi jalan.
Ketika
berpaling, nampak seekor kuda yang berwarna merah darah telah
berlarian mendekat bagaikan hembusan angin. Diatas kuda duduk seorang
nona bertubuh kecil yang memakai baju berwarna hijau. Ketika melewati
sisi mereka berdua, bagaikan sengaja tak sengaja dia melirik sekejap
kearah dua orang itu.
Dalam
waktu singkat kuda itu sudah melintas lewat sejauh puluhan kaki dari
hadapan mereka.
Tiba
tiba Giam In Kok berseru tertahan :“ Hei, kenapa diapun datang
kemari ? “
“ Siapa
? “.
“ Perempuan
Siluman Berhati Racun yang sering kita bicarakan, Enci Ciu Li Ya ?!
“.
“ Oh,
rupanya dia. Mari kita cepat mengejarnya, kenapa kau tidak memanggil
dirinya tadi ? “.
“ Sebenarnya
ingin kusapa tapi bila teringat kerugian yang pernah kualami gara
gara penyaruan dari Kho Yong dan Teng Song Seng sekalian, akupun jadi
ragu. Apa benar orang itu Enci Ciu yang sebenarnya. Siapa tahu baru
saja kuteliti dia telah pergi jauh “.
“ Lantas
orang tadi adalah Enci Ciu atau bukan ? “.
“ Sulit
untuk dikata. Hal ini harus dibuktikan setelah bertemu dengannya
nanti. Kita tanya saja kepadanya dengan cara apa dia memusnahkan
ketiga Jilid Kitab dari Tiong Giok. Dengan jawaban tersebut kita bisa
membuktikan apakah dia Enci Ciu yang asli atau bukan ? “.
“ Dengan
cara apa sih dia memusnahkan ketiga jilid kitab itu ? “.
” Dengan
gesekan tangannya kitab tersebut hancur menjadi debu dan beterbangan
ketika terhembus angin “.
“ Kalau
begitu mari kita cepat cepat memasuki kota Mao Tay, bila bertemu lagi
dengan Enci Ciu pertanyaan itu segera kita ajukan. Tapi aku merasa
sangat heran, Enci Ciu, Enci Tiangsun maupun Enci Kwik semuanya
dibilang orang baik. Tapi mengapa julukan mereka justru kurang sedap
didengar, yang satu disebut Perempuan Berhati Racun, satu lagi si
Rase Kecil dan yang terakhir di Perempuan Cantik Berwajah Dingin.
Julukan mereka membuat hati merasa bergidik
saja
“.
“ Tahukah
kau musuh menyebutmu sebagai apa “Giam In Kok segera bertanya
sambil tertawa.
Merah
padam selembar wajah Ho Koan Kim. Melihat disekelilingnya tidak ada
orang, maka segera menjawab sambil tertawa merdu : “ Engkoh In, kau
jahat sekali. Tapi asal aku bisa menemanimu seumur hidup, peduli amat
dengan sebutan orang. Mau dipanggil Siluman Banci boleh. Disebut
Siluman Kebiripun tak menjadi soal “.
Melihat
sikapnya yang mengharukan itu Giam In Kok menjadi tidak tega. Buru
buru selanya “ Hayo kita cepat menuju kekota “.
Sebagai
kota pusat pembuatan arak, begitu Giam In Kok memasuki kota tersebut,
terlihatlah sepanjang jalan berjajar penjual arak dengan aneka macam
aroma yang berbeda beda.
Mengendus
bau arak yang begitu tajam Giam In Kok segera berseru sambil tertawa
:“ Waahhhh kalau begini caranya, biar tak minum arakpun akhirnya
akan mabuk juga. Apalagi kalau sampai meneguk arak ? “.
Mendadak
ia berpaling tampak kuda berwarna merah yang dijumpai tadi diparkir
didepan sebuah rumah makan.
Begitu
melihat kuda merah itu Giam In Kok segera mengira Ciu Li Ya berada
didalam rumah makan itu. Maka sambil menggandeng tangan Ho Koan Kim
mereka memasuki rumah makan itu.
Siapa
tahu begitu mendekat mereka berdua segera tertegun dan serentak
menghentikan langkahnya.
Ternyata
kedai arak tersebut meski besar sekali, namun ruangan dipenuhi dengan
berbagai guci dan gentong arak sehingga yang tersisa hanya sebuah
jalan lewat yang sempit, Kecuali seorang lelaki setengah umur
bertubuh gemuk bermuka merah duduk dibelakang meja kasir serta
beberapa orang pertugas, disana sama sekali tak nampak bayangan tubuh
dari Ciu Li Ya.
Ketika
didepan pintu kedai, terlihat ada bayangan manusia lelaki setengah
umur itu segera berpaling, tapi setelah dilihatnya orang itu cuma
seorang pemuda dan seorang kacung kecil, segera tegurnya sambil
tertawa geli :“ Apakah Engkoh cilik hendak membeli obat ? “.
Giam
In Kok menggelengkan kepalanya berulang kali. Dia segera menarik Ho
Koan Kim dan diajak berlalu dari sana. Namun meskipun sekeliling
tempat itu telah diperiksa dengan teliti, ternyata bayangan tubuh Ciu
Li Ya belum terlihat juga.
“ Aneh
benar….. “ tanpa terasa pemuda itu berpikir dengan perasaan
tercengang.
Akhirnya
dengan perasaan kesal Giam In Kok mengajak Ho Koan Kim bersantap
disebuah kedai kecil.
“ Enci
Ciu benar benar sangat aneh “ bisik Ho Koan Kim , kemudian dengan
perasaan keheranan “ Kemana dia telah pergi ?. Bagaimana kalau kita
mencari keterangan ? “.
“ Dengan
dandanan kita sekarang, orang lain bisa menyangka kita sebagai
pencuri kecil “ kata Giam In Kok sambil tertawa getir. “Lebih
baik tak usah mencari keterangan. Kalau sampai terjadi kesulitan,
jejak kita akan segera ketahuan orang “.
“ Tapi
tidak ditanyapun kita bisa, siapa tahu dia berada dihalaman belakang
kedai arak tadi ?“.
Namun
Giam In Kok tetap menggelengkan kepala berulang kali :“ Tak usah
dibingungkan, setelah kudanya disini, dia toh tak mungkin pergi
dengan meninggalkan kuda tersebut. Mari kita mencari pemondokan dulu
baru malam nanti kita melakukan penyelidikan “.
Setelah
selesai berunding, mereka berduapun keluar dari kedai tadi. Siapa
tahu kuda merah yang semula berada disitu sekarang telah hilang
lenyap tak berbekas. Biarpun kejadian tersebut segera dinilai sebagai
suatu peristiwa aneh sekali, namun Giam In Kok berdua tidak terlalu
gelisah, karena mereka berdua sudah berencana untuk melakukan
penyelidikan malam nanti, Siapa tahu ketika mereka memasuki sebuah
rumah penginapan untuk mencari kamar.
Mendadak
tampak sesosok bayangan hijau berkelebat lewat belakang rumah
penginapan tersebut. Tanpa terasa Ho Koan Kim berseru : “ Hei,
bukankah dia adalah Enci Ciu ?’.
Walaupun
Giam In Kok sedang berbicara dengan pemilik penginapan, sesungguhnya
matanya melirik kebelakang, dia dapat melihat dengan jelas bahwa
bayangan hijau tersebut memang Ciu Li Ya. Maka sewaktu mendengar
seruan dari Ho Koan Kim tadi, diapun berkata cepat :“ Ya, memang
tampaknya mirip ?! “.
Kemudian
sambil berpaling kearah pemilik penginapan itu tanyanya lebih lanjut
:“ Tolong tanya, apakan nona berbaju hijau yang menginap disini
dari marga Ciu ? “.
Paras
muka si kasir tersebut berubah menjadi aneh. Segera tegurnya dengan
dingin :“ Sebenarnya kalian berdua ingin menginap disini atau
sedang melakukan penyelidikan ? “.
Giam
In Kok menjadi amat geram, ingin sekali ia menampar orang tersebut.
Tapi setelah berpikir lebih jauh, terpaksa sambil menahan geram dia
menyahut :“ Tentu saja kami ingin menginap, tapi nona berbaju hijau
itu…… “.
Tidak
sampai perkataannya tersebut selesai diucapkan, kasir itu sudah
tertawa dingin sambil menukas :“ Mau menginap ?. Tidak ada kamar
kosong lagi disini. Hemmmmm dengan tampang semacam kalian berani
menyelidik kabar tentang Pendekar Wanita Berbaju Hijau !? “.
Ho
Koan Kim menjadi gusar, maka bentaknya keras :“ Ngaco belo ! “.
Sambil
berseru keras ia segera menggebrak meja kasir itu :“ Brakkkk…. !
‘.
Diiringi
suara benturan keras meja kasir itu segera terhajar hingga hancur
berantakan.
Selama
beberapa bulan terakhir ini Ho Koan Kim memang tekun belajar silat
sehingga tidak heran kalau kepandaian yang dimilikinya telah
memperoleh kemajuan yang amat pesat.
Walaupun
demikian ia sama sekali tidak menyangka kalau gerakannya tadi
berhasil menghancurkan meja kasir yang begitu tebal. Tak heran kalau
ia sendiripun dibuat terkejut hingga mundur selangkah kebelakang.
Pucat
wajah kasir tersebut. Ia nampak terkejut bercampur ketakutan. Tapi
ketika dilihatnya ada bayangan hijau berkelebat lewat, mendadak
teriaknya keras keras :“ Kau sisetan cilik benar benar kurang ajar.
Sekalipun sebagai orang yang belajar silat masa kalian malah
mengganggu kami sebagai pengusaha ?. Hemmmm, Ciu Lihiap, coba kau
bilang apakah kejadian ini tidak kelewat batas ? “.
Begitu
mendengar perempuan berbaju hijau itu memang berasal dari marga “
Ciu “, padahal tingkah laku maupun raut mukanya tak jauh berbeda
seperti siluman Perempuan Berhati Racun. Giam In Kok segera yakin
kalau perempuan tersebut memang Ciu Li Ya.
Buru
buru ia menunjukkan senyuman paksa dan berkata :“ Berapa sih
harganya sebuah meja kasir ?. Biar kuganti saja……siapa suruh kau
tak menjawab secara baik baik, bahkan berani memandang rendah kami
orang dusun ? “.
“ Hemmmmm,
mau diganti ?, Kalian tahu meja kasir ini merupakan Dewa Rejeki kami,
sekalipun kulit kalian disayatpun tak nanti bisa membayar. Hemmmmm,
itu dia Ciu Lihiap berada disini, tapi…. Masa dia kenal dengan
bocah dungu macam dirimu ? “. Giam In Kok merasa sangat mendongkol.
Dari sakunya dia mengeluarkan sekeping uang sebesar sepuluh tail
perak dan dilemparkan kedepan kasir tersebut sambil bentaknya “
“ Apakah
ini belum cukup ?! “.
Melihat
uang tersebut beratnya hampir mencapai sepuluh tahil lebih, berkilat
sepasang matanya. Maka dia segera menggeleng sambil katanya :“ Masa
meja rejeki kami hanya dihargai sepuluh tahil ? “.
Dari
pembicaraan barusan agaknya Ciu Li Yapun mengetahui kalau pemuda
sederhana itu berniat mencarinya, tapi setelah diamati sekian lama
belum dikenal juga siapa gerangan orang ini, akhirnya dia menimbrung
:“ Cong Tauke, lebih baik mengalahlah sedikit. Belilah meja kasir
yang
baru dan potonglah beberapa ekor ayam untuk mengundang kembali si
Dewa Rejeki. Tapi siapa sih yang hendak mencariku ?.
“ Hemmm,
siapa lagi kalau bukan dua orang Suku Biau ini “ sahut sikasir
dengan jengkel. Ho Koan Kim yang mendengar perkataan tersebut ia
menjadi marah, segera bentaknya dengan keras :“ Hei hati hati kalau
bicara. Jangan sampai membuat siauya menjadi marah dan menghajar
gigimu sampai rontok !! “.
Ciu
Li Ya melirik sekejap kearah meja kasir yang jebol, lalu katanya pula
sambil tertawa :“ Engkoh cilik tak usah ribut lagi dengannya. Tadi
ada urusan apa kalian datang mencariku ? “.
Sambil
menjura Giam In Kok segera menegur :“ Enci Ciu, masa kau sudah
tidak mengenaliku lagi ? “.
“ Aaahhhh
kau adalah si….. “.
“ Benar,
Cici adalah pe…… “.
Kedua
orang itu sama sama hanya berbicara sampai setengah jalan namun tidak
melanjutkan perkataannya lebih jauh, bahkah kedua belah pihak sama
sama terawa tergelak.
Selang
beberapa saat kemudian Ciu Li Ya baru berpaling kearah kasir yang
ketakutan itu dan berkata :“ Ternyata mereka adalah rekanku, bila
masih ada kamar, cepat……. “.
“ Ciu
Lihiap “ seru si kasir cepat cepat. “ Sewaktu kau mencari kamar
aku toh sudah mengatakan kalau disini tinggal sebuah kamar saja. Aku
benar benar tidak bisa menyediakan yang lain. Harap Lihiap sudi
memaafkan “.
“ Huhhh,
sialan benar tempat ini….. “ omel Ciu Li Ya dengan mendongkol.
Kemudian sambil berpaling kearah Giam In Kok berdua katanya lebih
jauh sambil tertawa :“ Dasar kota ini terkenal sebagai kota setan,
makanya selain beberapa kedai arak hanya rumah penginapan ini saja
yang tersedia tempat tidur. Bila kalian memang tak punya teman lain,
bagaimana kalau kita ramai ramai menempati sebuah kamar saja ?’
“ Kebetulan
sekali, aku memang ada urusan hendak mencari Cici !? “ seru Giam In
Kok kegirangan.
“ Kalau
begitu mari kita berbicara didalam kamar saja “ seru Ciu Li Ya
kemudian.
Kepada
si kasir kembali bentaknya :“ Cong Tauke, cepat suruh pelayan
siapkan hidangan yang
terbaik
dan antar kedalam kamar. Kalau kau berani mencari keributan lagi
dengan kedua orang rekanku ini, hati hati dengan batok kepalamu “.
Biarpun
sikasir penginapan itu kasar orangnya, ternyata bersikap menghormat
terhadap Ciu Li Ya. Dia segera mengiyakan berulang kali dan segera
menyuruh pelayan untuk mempersiapkan. Giam In Kok mengira setiap
orang didunia ini selalu menghormati dandanan dan kekayaan seseorang.
Ciu Li Ya mempunyai kuda indah, lagipula berbadan tegap dan bagus,
tak heran kalau pemilik penginapan tersebut bersikap begitu
menghormat kepadanya.
Maka
tanpa banyak bicara lagi dia segera mengajak Ho Koan Kim untuk masuk
kedalam kamar. Setelah mengambil tempat duduk, Ciu Liya baru
mengalihkan sorot matanya yang jeli kewajah Ho Koan Kim, lalu
bertanya sambil tertawa :“ Rupanya adik ini adalah adik Ho yang
baru saja memulihkan tubuh kegadisannya di kota Lok Yang ! “.
Merah
padam wajah Ho Koan Kim karena jengah. Namun berhubung mukanya telah
dirubah dengan obat penyaru muka, maka tidak nampak sesuatu
perubahan. Dia hanya melirik sekejap kearah Ciu Li Ya dan menundukkan
kepalanya sambil tertawa :“ Dugaan cici memang tepat sekali “Giam
In Kok menyela sambil menyela. “ Dia memang adik Ho Koan Kim. Tapi
bolehkan aku menanyakan sesuatu kepada diri cici ? “.
“Aduh,
baru berpisah beberapa lama sikapmu terhadapku sudah nampak begitu
asing. Ada urusan apa sih ?. Katakan saja !? “.
“ Masih
ingatkah cici dengan peristiwa pada malam perpisahan kita dulu.
Dengan cara bagaimana kau telah memusnahkan ketiga jilid Kitab Tiong
Giong Sam Keng ?.
“ Aku
menggosoknya dengan tangan hingga hancur menjadi debu. Kenapa kau
tanyakan soal ini ? “.
Giam
In Kok menjadi amat girang, segera serunya
“ Kalau
begitu kau benar benar Enci Ciu. Aku takut ada orang yang telah
menyamar sebagai dirimu, maka terpaksa kuajukan pertanyaan tadi,
untuk itu harap kau jangan menjadi marah “.
“ Rupanya
sekali tepagut ular, tiga tahunan takut dengan tali tambang,
tapi…..yaaa, hal ini memang tak bisa menyalahkan dirimu. Sejak
berpisah denganmu aku bertemu Siluman Rase Kecil terus berangkat
keselatan untuk melacak jejakmu. Kini dia melacak kedaerah sekitar
Kui Yang dan Liong Li, sedang aku menuju kebarat dan baru hari ini
tiba disini. Biarpun ditengah jalan kita pernah bersua namun aku sama
sekali tak bisa mengenali dirimu. Kau memang tak malu disebut si
Bocah Ajaib Berwajah Seribu ? “.
“ Cici
kau masih tetap dengan dandanan seperti ini ?. Apakah tidak kuatir
dikenali musuh ? “.
Bersambung
Jilid 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar