Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 01 November 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 1

Bagian ke 1: Orang Tua Pincang
Udara amat dingin, angin yang berhembus pun terasa menusuk tulang. Siapa pun terhembus angin itu, sekujur badannya pasti menggigil kedinginan.
Dalam udara yang sedemikian dingin, orang biasanya, tidak akan keluar dari rumah kalau tiada urusan penting, lebih baik duduk di hadapan Anglo (tungku) untuk menghangatkan badan.
Akan tetapi, apabila ada urusan penting, itu apa boleh buat, terpaksa harus keluar rumah juga.
Siauw keh cung (Perkampungan keluarga Siauw), terletak lima belas li (mil) di sebelah selatan Teng Hong Sia (Kota Teng Hong). Perkampungan tersebut terdiri dari dua puluhan kepala keluarga, dan setiap keluarga pasti she Siauw (marga Siauw), tiada satu pun yang marga lain.
Cung cu (Majikan perkampungan) itu bernama Siauw Thian Lin, usianya lima puluh tahunan, baik budi dan tergolong orang kaya di daerah Teng Hong, bahkan sangat terkenal dan dihormati penduduk setempat.
Rumah Siauw Thian Lin sangat besar, di kiri kanan pintu rumah itu terdapat sepasang singa batu yang amat besar, maka membuat rumah tersebut tampak bertambah mentereng.
Ketika hari mulai gelap, terdengar suara langkah yang tidak teratur mendekati rumah Siauw Thian Lin, ternyata seorang anak lelaki berusia sekitar lima belas tahun berjalan tertatih-tatih mendekati rumah tersebut.
Rambut anak lelaki itu awut-awutan, mukanya pun tampak agak kekuning-kuningan.
Dia tampak seperti pengemis kecil, sebab pakaiannya sangat kumal dan robek sana-sini. Sungguh kasihan anak lelaki itu!
Ketika itu pintu rumah Siauw Thian Lin tertutup rapat, dan di pintunya terdapat sepasang gelang besi yang cukup besar. Meskipun hari sudah gelap, sepasang gelang besi itu masih tampak gemerlapan.
Pengemis kecil itu berdiri mematung di depan pintu. Berselang beberapa saat kemudian, ia memberanikan diri untuk menggoyang-goyangkan salah satu gelang besi itu.
Tak lama, terdengar suara sahutan yang serak dari dalam. Tampaknya suara orang tua.
"Siapa yang mengetuk pintu?"
"Aku," jawab pengemis kecil itu cepat. "Orang lewat, Lo Jin Keh (Orang tua), tolong buka pintu!"
Tak seberapa lama kemudian pintu itu terbuka. Yang membuka pintu itu ternyata seorang kakek berusia tujuh puluhan. Rambutnya sudah putih semua, dan kakinya pincang.
Orang tua pincang itu menatap si pengemis kecil dengan tajam, kemudian mengernyitkan kening.
"Siau hengte (saudara kecil), engkau ada urusan apa?" tanyanya.
"Lo jin keh, saat ini udara sangat dingin, cayhe (aku yang rendah), tidak punya uang untuk menginap di rumah penginapan, maka ingin menumpang semalam di sini, besok pagi segera pergi Boleh tidak?" sahut pengemis kecil dengan suara rendah dan sopan.
"Saudara kecil!" Orang tua pincang mengamatinya dengan penuh perhatian, lalu bertanya, "Engkau dari mana?"
"San Si (nama kota)," jawab pengemis kecil jujur.
"Mau ke mana?" tanya orang tua pincang lagi.
"Lam Hai (Laut Selatan)," jawab pengemis kecil itu dengan merendahkan suaranya.
Orang tua pincang tampak terperanjat, ia memandang pengemis kecil itu seraya berkata.
"Lam Hai? Tempat itu jauh sekali!"
Pengemis kecil manggut-manggut dan berkata.
"Benar, tempat itu memang jauh sekali." wajah pengemis kecil itu mencerminkan kebulatan hatinya, kemudian melanjutkan, "Meskipun berada di ujung langit, aku harus ke sana."
Ucapan yang mantap tersebut membuat orang tua pincang tergerak hatinya, bahkan sepasang matanya pun menyorotkan sinar yang aneh.
"Saudara kecil, engkau begitu bertekad ke Lam Hai, sebetulnya ada urusan apa?" tanya orang tua pincang sambil menatapnya.
Pengemis kecil itu tidak segera menjawab, malah mendadak mengalihkan pembicaraan.
"Lo jin keh, aku sangat lelah, lapar dan kedinginan. Bolehkah aku ke dalam untuk menghangatkan badan di depan tungku, setelah itu barulah kita mengobrol. Bagaimana?"
Memang, pengemis kecil itu tidak mau menjawab pertanyaan dari kakek pincang tadi. Sementara orang tua pincang manggut-manggut seraya berkata.
"Baiklah saudara kecil, silakan masuk!"
"Terima kasih!" Pengemis kecil itu melangkah ke dalam.
Orang tua pincang menutup pintu, lalu melangkah ke dalam seraya berkata pada pengemis kecil itu.
"Saudara kecil, mari ikut aku!"
Pengemis kecil mengikuti orang tua pincang itu ke sebuah rumah yang tak jauh dari situ. Rumah itu kecil dan terletak di sebelah kiri rumah Siauw Thian Lin.
Di dalam rumah kecil itu terdapat sebuah meja, dua buah kursi dan sebuah tungku di atas meja tersebut. Di sisi tungku itu terdapat sebuah teko dan dua buah cangkir.
Rumah kecil itu sederhana sekali, tetapi sangat bersih dan rapi, itu pertanda orang tua pincang tersebut suka akan kebersihan.
Orang tua pincang itu ternyata penjaga pintu rumah Siauw Thian Lin, tetapi orang luar tidak ada yang tahu. Dia pun jongos tiga turunan keluarga Siauw. Oleh karena itu cung cu Siauw Thian Lin juga harus menaruh hormat dan merasa segan padanya.
Entah sudah berapa kali Siauw Thian Lin menyuruh orang tua itu agar tinggal di rumahnya untuk hidup senang dan nyaman. Namun orang tua pincang itu selalu menolak, alasannya lebih cocok menghuni rumah kecil itu.
Siauw Thian Lin tahu jelas sifat aneh jongosnya itu, maka ia tidak pernah mendesaknya lagi, cuma diam-diam menarik nafas panjang.
Begitu memasuki rumah kecil itu, sekujur badan si pengemis kecil pun merasa hangat dan nyaman, sehingga membuatnya menjadi bersemangat, apalagi setelah berdiri di depan tungku yang menyala.
Orang tua pincang tersenyum, kemudian mengangkat teko sekaligus menuang air teh yang masih hangat ke dalam gelas.
"Saudara kecil, duduklah!" ujar orang tua pincang sambil menaruh minuman ke hadapannya.
Pengemis kecil mengangguk lalu duduk. Kini wajahnya tidak begitu pucat lagi. Sepasang matanya yang tadi redup pun sudah mulai bersinar, begitu bening dan tajam.
"Saudara kecil, silakan minum! Lo Ciau (Aku yang tua) mau ke dapur menyiapkan makanan untukmu."
Pengemis kecil segera menjura hormat.
"Terima kasih, lo jin keh! Aku sungguh merepotkan," ucapnya singkat, tetapi sopan dan ramah. Itu pertanda dia berpendidikan, bahkan mungkin mempunyai latar belakang keluarga yang baik.
Orang tua pincang menatapnya dalam-dalam. Hatinya pun semakin tergerak.
"Anak ini sedemikian tahu diri dan tahu kesopanan, tentunya bukan berasal dari keluarga biasa. Tapi….. mengapa menjadi begini rupa, lagi pula kenapa harus pergi ke Lam Hai yang sangat jauh itu?" batin lelaki tua pincang itu. "Suadara kecil, engkau tidak perlu sungkan-sungkan. Minumlah!" ujarnya dengan lembut, lalu dia melangkah ke dalam, sedangkan pengemis kecil mulai meneguk air teh hangat itu. Wajahnya mulai tampak kemerah-merahan penuh semangat.
Setelah membatin, dia pun tersenyum.
Tak seberapa lama kemudian, orang tua pincang sudah kembali. Tangannya membawa sebuah nampan kayu berisi semangkok nasi, sepiring daging dan semangkok sop ayam.
Pengemis kecil segera bangkit berdiri, lalu menyambut nampan kayu itu seraya berkata dengan haru.
"Terima kasih banyak, lo jin keh!"
"Saudara kecil," ujar orang tua pincang sambil tersenyum lembut. "Lo ciau tidak suka akan kesopanan palsu. Mumpung nasi dan sayur masih hangat, cepatlah engkau makan! Seusai makan, lo ciau ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu."
Pengemis kecil manggut-manggut, lalu menaruh nampan kayu itu di atas meja lalu duduk dengan kepala tertunduk dan mulai makan.
Orang tua pincang duduk di kursi lain. Ia mengambil cangklong sekaligus menyalakannya, kemudian menghisapnya dalam-dalam.
Pengemis kecil bersantap bagaikan harimau lapar. Maklum sudah satu hari perutnya tidak. diisi. Maka dalam waktu sekejap, habislah sudah nasi dan semua hidangan itu.
Orang tua pincang tersenyum. "Bagaimana? Engkau sudah kenyang belum? Kalau belum, akan lo ciau ambilkan lagi."
Pengemis kecil tertawa tersipu. Hatinya merasa tidak enak karena telah menghabiskan semua hidangan itu.
"Terima kasih, lo jin keh! Aku….. aku sudah kenyang," jawabnya. Wajahnya pun tampak segar seusai bersantap.
Orang tua pincang memandangnya dengan penuh perhatian.
"Saudara kecil, lo ciau ingin bertanya padamu, apakah engkau sudi menjawab secara jujur?" tanyanya sambil terbatuk-batuk ringan.
Pengemis kecil berpikir sejenak.
"Itu tergantung pada pertanyaan lo jin keh." jawabnya kemudian.
"Lo ciau ingin menanyakan namamu serta riwayat hidupmu."
Pengemis kecil mengernyitkan kening, lama sekali barulah berkata,
"Lo jin keh, aku cuma numpang menginap semalam di sini dan besok pagi akan pergi. Kenapa lo jin keh harus menanyakan itu?"
Orang tua pincang tertawa-tawa, kemudiar memandangnya seraya menjawab.
"Tentunya lo ciau punya alasan tertentu untuk menanyakan itu."
"Apa alasan to jin keh?"
"Begitu melihatmu, lo ciau terkesan baik."
"Ooooh…..!" Sepasang bola mata pengemis kecil berputar. "Terima kasih atas kesan baik lo jin keh namun ku harap lo jin keh jangan bertanya tentang itu."
"Kenapa?" Orang tua pincang tercengang "Apakah engkau punya suatu rahasia yang tidak bisa diberitahukan pada orang lain?"
Air muka pengemis berubah. Ia manggut-manggut seraya berkata,
"Betul. Aku memang punya suatu rahasia yang tidak bisa diberitahukan pada orang lain."
"Oh?" Orang tua pincang mengernyitkan kening. "Namamu juga tidak boleh di diberitahukan pada lo ciau?"
Pengemis kecil diam sejenak. "Lo jin keh nama kecil ku Siau Liong, maka panggil saja Siau Liong!" jawabnya kemudian dengan suara rendah.
"Ngmm!" Orang tua pincang manggut-manggut. "Siau Liong, mau apa engkau pergi ke Lam Hai? Bolehkah lo ciau tahu?"
Pengemis kecil tersenyum getir, kemudian sahutnya dengan suara dalam.
"Lo jin keh, maafkanlah aku sebab aku ke Lam Hai untuk mengurusi sesuatu yang amat penting, itu pun merupakan harapan kecil. Oleh karena itu, untuk sementara ini, aku tidak mau berpikir, juga tidak leluasa untuk membicarakannya."
Orang tua pincang diam, berselang sesaat barulah membuka mulut untuk bertanya. "Siau Liong, jarak dari sini ke Lam Hai puluhan ribu li. Saat ini musim dingin, lagi pula engkau tidak punya uang, bagaimana mungkin pergi ke sana?"
Tentang ini, memang merupakan kesulitan. Akan tetapi, Siau Liong tampak seakan sudah mempunyai jalan untuk mengatasi semua kesulitan itu. Oleh karena itu, Siau Liong malah tersenyum.
"Lo jin keh, mengenai semua kesulitan ini, aku telah memikirkan jalan keluarnya."
"Oh?" Orang tua pincang menatapnya tajam.
"Meskipun harus menempuh puluhan ribu li, aku telah membulatkan hati dan bertekad dengan segala keberanian, paling lambat setengah tahun pasti tiba di Lam Hai. Mengenai musim dingin, tiga bulan kemudian akan berganti musim semi yang nyaman. Maka dari sini ke Lam Hai, udara akan berubah nyaman perlahan-lahan. Aku memang tidak punya uang, tapi masih bisa memetik buah-buahan di hutan untuk mengisi perut. Malam harinya, aku akan berteduh di goa agar tidak kedinginan."
Ucapan Siau Liong itu membuat orang tua pincang itu kagum, kemudian tertawa gelak seraya berkata.
"Engkau memang anak baik dan pemberani bahkan punya tekad yang sungguh diluar dugaan. Namun......" Orang tua pincang menghentikan ucapannya sejenak, kemudian melanjutkan, "Sebenarnya aku punya cara terbaik. Cara itu tidak hanya dapat mengurangi penderitaanmu menahan lapar dan dingin, bahkan dapat mempercepat waktu agar engkau tiba di Lam Hai. Siau Liong sudikah engkau menuruti cara lo ciau?"
Siau Liong tertegun, lalu bertanya dengar heran.
"Lo jin keh punya cara apa untuk mengatur semua itu?"
"Engkau tinggal di sini tiga bulan, setelah musim semi tiba, barulah berangkat. Lo ciau akan bermohon pada cung cu agar menghadiahkan padamu seekor kuda yang kuat dan sehat serta pek gin (uang perak) ratusan real. Nah, engkau bisa berangkat tanpa kekurangan apa pun."
"Tinggal di sini tiga bulan?" Itu sungguh di luar dugaan Siau Liong. "Tanpa suatu syarat apa pun?"
"Tentunya engkau tidak bisa cuma makan tidur. Di kolong langit tiada urusan semacam itu. Ya, kan?" Orang tua pincang tersenyum.
"Betul, lo jin keh!" Siau Liong manggut-manggut. "Aku ingin bertanya, apa syarat itu?"
"Kerja keras," jawab orang tua pincang bernada dingin.
"Kerja keras?" Siau Liong tertegun.
Orang tua pincang manggut-manggut, wajahnya pun tampak dingin. "Engkau takut kerja keras?"
"Takut sih tidak, hanya saja…..." Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan ucapannya, "Merasa kaget dan sungguh di luar dugaan."
"Kenapa begitu?"
"Cuma kerja keras tiga bulan bisa mendapat uang perak ratusan tael, bukankah itu merupakan suatu kejutan?"
"Jadi….." Orang tua pincang menatapnya dingin. "Engkau merasa terlampau banyak uang imbalan itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Uang imbalan itu amat banyak, maka sungguh di luar dugaan."
"Engkau tahu betapa susahnya kerja keras itu?"
"Mohon diberitahukan!"
"Itu adalah kerja yang sangat sulit sekali." ujar orang tua pincang dan tetap bernada dingin.
"Susah sampai bagaimana?"
"Sampai waktunya engkau akan mengetahuinya."
"Sekarang tidak boleh mengetahuinya?"
Orang tua pincang menggelengkan kepala, dan menatap Siau Liong dengan dingin seraya berkata, "Tidak boleh."
"Lo jin keh…..." Siau Liong mengerutkan sepasang alisnya. "Ada alasan tertentu?"
"Pokoknya tidak boleh memberitahukan," sahut orang tua pincang dingin. "Lagi pula tidak perlu harus ada alasan tertentu."
Jawaban itu agak ketus, tidak masuk akal dan tidak beraturan. Namun orang tua pincang mempunyai maksud lain.
Siau Liong anak yang cerdas dan pintar, tapi baru berkenalan dengan orang tua pincang itu. Tentunya ia tidak mengenal watak maupun sifatnya. Lebih-lebih tidak akan menduga masih ada maksud lain dalam benak orang tua pincang itu.
Hening sesaat suasana dalam rumah kecil itu, kemudian mendadak orang tua pincang berkata dengan nada dingin lagi.
"Bagaimana Siau Liong? Lo ciau sedang menunggu jawabanmu."
Siau Liong mengernyitkan kening, lama sekali barulah menjawab dengan wajah serius.
"Banyak-banyak terima kasih, lo jin keh. Aku telah bertekad berangkat ke Lam Hai, lain hari akan kembali ke mari untuk memberi jawaban."
Orang tua pincang menatapnya.
"Tentang tinggal di sini tiga bulan, itu tidak perlu dibicarakan lagi." Siau Liong menambah ucapannya dengan tegas.
Mendadak orang tua pincang tertawa gelak, lalu ujarnya dengan suara dalam,
"Kalau begitu, engkau telah memutuskan tidak akan menerima apa yang lo ciau atur itu?"
"Mohon lo jin keh memberi maaf, aku berpikir lebih baik aku berangkat esok pagi saja." Siau Liong tertawa hambar.
"Apa alasanmu, Siau Liong?" Orang tua pincang menatapnya tajam.
"Lo jin keh, pergi atau tinggal adalah hak ku, maka tidak perlu alasan apa pun," tegas Siau Liong.
"Ha ha!" Orang tua pincang tertawa terbahakbahak. "Siau Liong, apa yang kau katakan itu memang tidak salah. Pergi atau tinggal tergantung padamu dan itu merupakan hakmu. Tapi….. lo ciau tahu itu cuma merupakan alasan belaka, padahal sesungguhnya terdapat sebab musabab lain."
"Lo jin keh kira ada sebab musabab apa?" tanya Siau Liong.
"Takut kerja keras. Ya, kan?" sahut orang tua pincang sambil menatapnya dalam-dalam.
Sepasang alis Siau Liong tampak berkerut lantaran merasa tersinggung oleh sahutan itu.
"Lo jin keh ingin memanasi hatiku?" tanyanya.
Orang tua pincang tersenyum hambar.
"Anggaplah benar lo ciau memanasi hatimu, lagi pula sesungguhnya..... engkau cuma keras di mulut saja. Sama sekali takut kerja keras." jawabnya.
"Maksud lo jin keh?" Ucapan Siau Liong terputus, karena mendadak berkelebat sosok bayangan memasuki rumah kecil itu. Muncullah seorang pemuda berusia tujuh belas tahunan, mengenakan jubah hijau. Pemuda itu cukup tampan, namun sikapnya agak angkuh. dia berdiri dekat pintu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar