Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Minggu, 28 November 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 5

Sambungan

Bagian ke 5: Berpisah
"Ha ha!" Orang tua pincang tertawa gelak. "Siau Liong, engkau jangan berlaku sungkan. Ohya, tahukah engkau kenapa lo ciau menahan dirimu tinggal tiga bulan di Siauw Keh Cung?"
"Apakah lo jin keh punya tujuan tertentu?"
"Betul." Orang tua pincang mengangguk. "Lo ciau memang punya tujuan tertentu."
"Oh?" Siau Liong berpikir sejenak. "Maaf, aku sangat bodoh, sama sekali tidak tahu apa tujuan lo jin keh!"
"Ingin menyelidiki, bagaimana sifatmu, juga agar engkau tahu jelas mengenai keadaan Siauw Keh Cung."
Siau Liong tercengang dan tidak mengerti akan ucapan orang tua pincang itu.
"Kok begitu? Maksud lo jin keh?" tanyanya dengan heran.
"Apakah engkau telah menemukan sesuatu di Siauw Keh Cung?" Orang tua pincang balik bertanya.
"Keadaan Siauw Keh Cung begitu damai, maka aku tidak menemukan apa pun."
"Siau Liong, dalam dua bulan ini, benarkah engkau tidak menemukan suatu apa pun?" Siau Liong semakin tidak mengerti.
"Apakah di rumah Siauw ada sesuatu yang tak beres?" tanyanya dengan alis terangkat.
"Siau Liong!" Wajah orang tua pincang berubah serius. "Ada mara bahaya!"
"Apa?" Hati Siau Liong tersentak. "Mara bahaya?"
"Rumah Siauw sedang diselimuti bahaya. Di luar memang tampak tenang dan damai, namun….. justru dalam keadaan bahaya."
"Kok aku tidak melihat adanya mara bahaya itu?" Siau Liong tampak bingung. "Lo jin keh, aku memang bodoh, tidak bisa melihat adanya mara bahaya itu."
"Siau Liong!" Orang tua pincang menarik nafas panjang. "Jangan merasa malu hati. Engkau tidak bisa melihat adanya mara bahaya itu, lantaran engkau berhati luhur, bukan karena bodoh. Maka engkau tidak memperhatikan itu."
Siau Liong diam saja, ia tidak tahu apa yang harus dikatakan."
"Siau Liong." Lanjut orang tua pincang. "Mudah-mudahan pada waktu engkau kembali, lo ciau masih bisa bertemu denganmu!"
"Lo jin keh, kenapa berkata begitu?" Hati Siau Liong tergetar, karena ucapan orang tua pincang itu bernada bahwa hidupnya tidak akan lama lagi.
"Siau Liong….." Orang tua pincang menarik nafas panjang.
"Lo jin keh, kita bersama sudah dua bulan, kini kita pun akan berpisah, tapi aku masih belum tahu nama lo jin keh. Apakah lo jin keh masih tega tidak memberitahukan?"
"Siau Liong, lo ciau bukan tega, melainkan…..." Orang tua pincang menatapnya. "Bukankah kita telah bersepakat untuk tidak mengetahui riwayat hidup kita masing-masing?"
"Benar." Siau Liong mengangguk. "Namun kini….. kalau dugaanku tidak meleset, lo jin keh sudah tahu jelas mengenai jati diriku."
Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang tidak salah, dari tempo hari lo ciau sudah tahu jati dirimu. Tapi cuma menerka saja, belum berani memastikan bahwa engkau keturunan siapa?"
"Oh?" Siau Liong heran. "Kenapa begitu?"
"Siau Liong, tahukah engkau betapa kerasnya pukulan Tu Ci Yen?" tanya orang tua pincang.
Siau Liong manggut-manggut, namun tidak menyahut.
"Jurus telapak Tu Ci Yen dapat merenggut nyawamu, akan tetapi, Thai Ceng Sin Kangmu (Tenaga sakti pelindung badan) itu walau cuma mencapai tingkat keempat, masih mampu mengurangi tenaga pukulan Tu Ci Yen, maka telah menyelamatkan nyawamu sendiri."
"Lo jin keh!" Siau Liong tampak terkejut. "Lo jin keh kenal Thai Ceng Sin Kang?"
"Justru itu lo ciau berani memastikan jati dirimu." Orang tua pincang tertawa. "Nah, engkau mengerti, Siau Liong?"
Mata Siau Liong bersinar aneh, kemudian memandang orang tua pincang dengan mata terbelalak.
"Kalau begitu, lo jin keh kenal keluargaku?" Orang tua pincang manggut-manggut sambil tersenyum lembut dan penuh kasih sayang.
"Lo ciau pernah bertemu beberapa kali dengan orang tuamu."
"Oh? Kalau begitu, Siauw cung cu juga kenal keluargaku?"
"Seperti lo ciau, cung cu pun pernah bertemu beberapa kali dengan orang tuamu."
Kini Siau Liong sudah tahu jelas, bahwa cung cu Siauw Thian Lin dan orang tua pincang itu mempunyai hubungan erat dengan keluarganya, namun orang tua pincang tidak mau memberitahukan lebih jelas. Itu pasti ada sebab musababnya. Percuma ia bertanya, sebab kalau orang tua pincang mau beritahukan, dari tadi sudah beritahukan.
"Lo jin keh," ujar Siau Liong mengalihkan pembicaraan. "Ada suatu urusan yang aku tidak mengerti, apakah lo jin keh, tahu urusan itu?"
"Justru lo ciau juga tidak mengerti." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala, kemudian tanyanya mendadak, "Bagaimana menurutmu tentang diri Tu Ci Yen?"
"Jumawa, dingin dan ..... tidak menghargai orang lain," jawab Siau Liong.
Orang tua pincang manggut-manggut. Ia menatap Siau Liong dan bertanya lagi dengan suara dalam.
"Selain itu, apakah masih ada yang lain?" Siau Liong berpikir lama sekali, lalu menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak dekat dengannya, maka tentang yang lain aku tidak begitu jelas."
"Siau Liong, engkau sungguh tidak tahu ataukah tidak mau bilang?" Orang tua pincang menatapnya.
"Lo jin keh!" wajah Siau tampak kemerah-merahan. "Padahal sesungguhnya apa yang kukatakan tadi sudah keterlaluan."
Orang tua pincang menarik nafas ringan, berselang sesaat ia berkata perlahan-lahan.
"Siau Liong, engkau memang berbudi luhur seperti ayahmu. Lo ciau senang sekali." Orang tua pincang tersenyum dan melanjutkan, "Tu Ci Yen pemuda pendendam, lagi pula berhati licik dan sadis."
Siau Liong diam, tidak menyahut.
"Siau Liong, kalau kelak bertemu dengannya, engkau harus berhati-hati dan waspada terhadapnya!"
Ucapan itu membuat Siau Liong teringat sesuatu. Ia pun segera bertanya dengan suara rendah.
"Yang lo jin keh maksudkan mara bahaya itu, apakah…..?"
"Siau Liong," potong orang tua pincang. "Apa yang engkau curigakan, simpan saja dalam hati! Sebelum ada bukti, urusan apa pun jangan di cetuskan. Mengertikah Siau Liong?"
"Terima kasih atas nasihat lo jin keh!" ucap Siau Liong sambil mengangguk. "Aku sudah mengerti."
Orang tua pincang juga manggut-manggut, tapi kemudian mendadak wajahnya berubah serius.
"Siau Liong, ada suatu barang, sebetulnya cung cu ingin menyerahkan sendiri padamu, namun tidak leluasa. Maka lo ciau di perintah untuk menyerahkan padamu di tengah jalan."
Usai berkata, orang tua pincang mengeluarkan sebuah kotak kecil, lalu diberikan pada Siau Liong.
"Barang apa ini?" tanya Siau Liong sambil menerima kotak kecil itu. Namun ketika ia baru mau membukanya, orang tua pincang cepat-cepat mencegahnya.
"Siau Liong, jangan dibuka, cepatlah engkau simpan!"
Siau Liong menurut, dan segera menyimpan kotak kecil itu ke dalam saku.
"Lo jin keh, kotak kecil ini berisi apa? Sangat pentingkah?" tanyanya sambil menatap orang tua pincang itu.
Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa yang ada di dalam kotak kecil itu, lo ciau pun tidak tahu dan tidak pernah melihatnya," ujarnya.
"Oh?" Siau Liong mengerutkan kening.
"Kata cung cu, barang yang ada di dalam kotak itu sangat penting," Orang tua pincang memberitahukan. "Bahkan sangat membantu dalam perjalananmu. Maka cung cu berpesan, engkau harus berhati-hati menyimpannya. Jangan sampai orang lain melihat isinya. Itu akan merepotkanmu dan juga membahayakan nyawamu.
"Hah?!" Siau Liong terperanjat bukan main. "Cung cu bilang barang yang di dalam kotak itu sangat membantu dalam perjalananku, apakah cung cu sudah tahu tempat tujuanku?"
"Sebetulnya tidak tahu, namun pagi ini setelah mengetahui jati dirimu, barulah cung cu tahu tempat tujuanmu itu."
"Apakah lo jin keh yang memberitahukan pada cung cu?"
"Benar." Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang lo ciau yang memberitahukan padanya.
"Kalau begitu, apa kegunaan barang yang ada di dalam kotak kecil ini?" tanya Siau Liong mendadak.
"Kata cung cu, jika engkau tiba di tempat tujuan itu, dan menemukan halangan, maka engkau boleh mengeluarkan kotak kecil itu dan sekaligus membukanya. Lalu angkatlah kotak itu tinggi-tinggi dan sebutkan jati dirimu dengan suara nyaring! Saat itu pasti akan muncul orang untuk membawamu menemui orang yang ingin kau temui itu."
Mendengar keterangan itu Siau Liong pun percaya, bahwa Siauw Thian Lin telah mengetahui tempat tujuannya, namun ia masih merasa heran.
"Ini sungguh mengherankan," gumamnya. "Sebetulnya kotak ini berisi barang apa?"
"Siau Liong, pada saatnya nanti engkau akan mengetahui urusan ini," ujar orang tua pincang "Sementara ini engkau tidak perlu banyak berpikir tentang ini, hati-hatilah dalam perjalanan!"
"Ya, lo jin keh," Siau Liong mengangguk "Terima kasih atas semua budi kebaikan lo jin keh, kita pasti berjumpa lagi."
*
* *
Ketika hari mulai senja, kuda yang ditunggangi Siau Liong telah berlari ratusan li. Betapa indahnya panorama tempat-tempat yang dilalui Siau Liong. Namun anak itu tidak mempunyai waktu untuk menikmati keindahan alam sekitarnya. Ia terus memacu kudanya.
Kini Siau Liong telah memasuki rimba yang banyak pepohonan rindang. Oleh karena itu kudanya tidak bisa berlari kencang lagi, melainkan berjalan perlahan.
Mendadak terdengar suara bentakan yang keras dan dingin. Siau Liong terkejut dan segera menghentikan kudanya.
"Bocah! Cepat berhenti!"
Menyusul berkelebat tiga sosok bayangan, lalu berdiri menghadang di depan Siau Liong.
"Kenapa kalian bertiga menghadang perjalananku?" tanya Siau Liong dengan sikap sopan.
Salah seorang penghadang itu menatap Siau Liong dengan tajam, kemudian tertawa dingin.
"Mau mencabut nyawamu!" sahutnya.
Siau Liong mengernyitkan kening, dan memandang ketiga orang itu.
"Kenapa…..?" tanyanya.
"Diam!" bentak yang lain dengan wajah bengis. "Bocah! Cepatlah engkau turun untuk menerima kematianmu!"
"Selain nyawaku, apakah kalian bertiga masih menghendaki barang lain?" tanya Siau Liong dengan mata menyorot dingin.
Pertanyaan tersebut membuat ketiga orang itu tertegun. Mereka saling memandang, tidak tahu harus bagaimana menjawabnya.
"Kalian bertiga siapa yang menjadi kepala?" tanya Siau Liong lagi.
"Aku! Kenapa?" sahut orang yang Brewok.
"Tidak kenapa-kenapa." Siau Liong tertawa hambar. "Harap jawab pertanyaanku tadi!"
"Oh?" Sepasang bola mata si Brewok berputar sejenak. "Engkau membawa suatu barang istimewa?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Aku membawa ratusan tael perak dan sebilah pedang panjang."
Si Brewok tertawa gelak, dan menatap Siau Liong.
"Bocah! Ratusan tael perak itu memang terhitung banyak, namun masih tidak dalam pandangan Tuan besar. Mengertikah engkau, Bocah?"
"Kalau begitu…..." Kening Siau Liong berkerutkerut. "Kalian bertiga menghadangku, bukan demi uang perak itu?"
"Betul," sahut si Brewok sambil tertawa. "Kami justru cuma ingin mencabut nyawamu! Sudah lama kami menunggumu di sini, ha ha ha!"
"Bolehkah aku tahu nama besar Tuan?" tanya Siau Liong dengan mata menyorot tajam.
"Engkau tidak perlu mengambil hati kami!" bentak si Brewok.
"Tidak berani memberitahukan?" ujar Siau Liong menyindir.
"Apa?" Si Brewok melotot dan wajahnya pun berubah beringas. "Bocah! Hari ini engkau pasti mampus, kenapa kami tidak berani memberitahukan nama kami?"
"Nah!" Siau Liong tersenyum hambar. "Beritahukanlah nama kalian bertiga!"
"Baik! Engkau dengar baik-baik!" sahut si Brewok mengeraskan suaranya. "Kami bertiga adalah Ling Ni Sam Hou (Tiga Harimau Ling Ni)!"
"Oooh!" Siau Liong menatap mereka tajam. "Apakah kalian bertiga punya dendam denganku?"
"Bocah!" Si Brewok tertawa licik. "Pernahkah engkau bertemu kami?"
"Tidak pernah."
"Kalau begitu, apakah kami punya dendam denganmu, bocah?" Si Brewok terkekeh-kekeh.
Siau Liong mengerutkan kening sambil membatin. Ling Ni Sam Hou ini tidak punya dendam denganku, lalu kenapa menghadang di sini untuk membunuhku? Lagi pula bagaimana mereka bisa tahu bahwa aku akan melewati rimba ini? Berpikir sampai di sini, ia pun segera bertanya.
"Kalian bertiga tidak punya dendam denganku, kenapa ingin mencabut nyawaku? Ini membuatku tidak habis berpikir. Bolehkah kalian memberitahukan sebab musababnya?"
"Engkau ingin tahu?" tanya si Kurus, teman si Brewok.
"Tentu." Siau Liong mengangguk. "Kalaupun mati, aku tidak akan merasa penasaran lagi."
Si Kurus manggut-manggut, kemudian menatap Siau Liong dengan bengis. "Karena sesaat lagi engkau mampus, maka kami pun bersedia memberitahukan."
"Beritahukanlah!" desak Siau Liong.
"Kami hanya melaksanakan perintah!" Si Kurus memberitahukan.
"Perintah dari siapa?" tanya Siau Liong cepat.
"Perintah dari atasan kami!" sahut si Brewok dan menambahkan. "Kini engkau sudah tahu, bersiap-siaplah untuk mampus!"
*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar