Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Kamis, 25 November 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 4

Sambungan ...

Bagian ke 4: Cinta Kasih Yang Mendalam
Mulut berbicara, tangan pun bergerak cepat mengarah pada bagian tubuh Siau Liong yang mematikan. Itu membuat sekujur badan Siau Liong terkurung dalam pukulan-pukulan yang amat dahsyat.
Siau Liong berkelit ke sana ke mari menghindari jurus-jurus pukulan yang akan merenggut nyawanya. Dalam sekejap, mereka sudah berduel lebih dari tiga puluhan jurus.
Ilmu silat yang dimiliki Siau Liong memang tidak rendah, namun karena usianya masih sangat muda, maka lwee kang (Tenaga dalam)nya masih di bawah tingkat Tu Ci Yen. Biar bagaimana pun, ia tetap bukan tandingan pemuda tersebut.
Namun ia mampu berduel sekian jurus dengan Tu Ci Yen, itu sudah amat mengagumkan dan luar biasa.
Mendadak Tu Ci Yen membentak keras. Suara bentaknya bergema menusuk telinga. "Roboh!"
Menyusul terdengar pula suara 'Blam', dada Siau Liong terkena pukulan yang amat dahsyat sehingga badannya bergetar hebat dan sempoyongan ke belakang delapan langkah. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Jelas ia telah terluka dalam tapi masih kuat berdiri.
Betapa terkejutnya Siauw Hui Ceh. Gadis itu segera mendekati Siau Liong dengan wajah cemas.
"Kakak Siau Liong, bagaimana keadaanmu? Berat tidak lukamu itu?" tanyanya dengan penuh perhatian.
Siau Liong menghapus darah segar di bibirnya dengan ujung lengan bajunya, kemudian tertawa getir seraya berkata.
"Legakanlah hatimu, Hui Ceh! Nyawaku masih panjang dan luka ini tidak akan merenggut nyawaku."
Siauw Hui Ceh memandangnya dengan mata bersimbah air, dan tampak cemas sekali.
"Siau Liong ko, aku yang bersalah. Kalau tidak karena aku, bagaimana mungkin dia…..."
Siau Liong menggoyang-goyangkan sepasang tangannya, agar Siauw Hui Ceh tidak melanjutkan ucapannya.
"Hui Ceh, jangan berkata begitu! Ini bukan kesalahanmu, yang bersalah adalah diriku sendiri, karena tidak memiliki ilmu silat yang tinggi."
Ketika menyaksikan sikap Siau Liong dan Siauw Hui Ceh begitu mesra, hati Tu Ci Yen menjadi panas dan cemburu, ia lalu mendekati Siau Liong dengan mata berapi-api penuh kebencian.
"Tu Ci Yen!" bentak Siauw Hui Ceh dingin. "Jangan ke mari! Kalau engkau berani ke mari, mulai saat ini dan selanjutnya aku tidak akan memperdulikanmu lagi!" Tu Ci Yen tertegun mendengar ucapan Siauw Hui Ceh. Ia segera menghentikan langkahnya dan berdiri terpaku di tempat, tapi kemudian tertawa sinis.
"Hui moi, kenapa engkau begitu gusar?"
Siauw Hui Ceh menatapnya dingin, dan bertanya dengan nada dingin pula.
"Apakah dia dan engkau punya dendam kesumat?"
"Tidak," sahut Tu Ci Yen hambar.
"Kalau begitu, kenapa engkau turun tangan sedemikian berat terhadapnya?" Siauw Hui Ceh mengernyitkan kening.
"Oooh!" Tu Ci Yen manggut-manggut. "Jadi Hui moi gusar padaku karena itu?"
"Hmm!" dengus Siauw Hui Ceh dingin.
"Hui Moi," Tu Ci Yen tertawa. "Engkau telah salah paham terhadap diriku."
"Bagaimana aku salah paham padamu?"
"Dalam hal ini aku tidak bisa disalahkan."
"Lalu harus menyalahkan dia atau aku?"
"Hui moi," Tu Ci Yen menggelengkan kepala. "Tentunya tidak bisa menyalahkannya, juga tiada alasan untuk menyalahkanmu."
"Kalau begitu, menurutmu harus menyalahkan siapa?" tanya Siauw Hui Ceh sengit.
"Tidak dapat menyalahkan siapa pun, melainkan…..." Tu Ci Yen tidak melanjutkan ucapannya hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum getir.
"Lanjutkanlah!" desak Siauw Hui Ceh. Sepasang alisnya yang bagaikan bulan sabit itu terangkat ke atas.
"Hui moi, aku harus bagaimana mengatakannya? Yah!" Tu Ci Yen pura-pura menarik nafas panjang. "Karena aku tidak keburu menarik kembali pukulanku itu, jadi bukan sengaja aku ingin melukainya."
Siauw Hui Ceh tahu Tu Ci Yen menyangkal hal yang sebenarnya, maka ia pun tersenyum dingin.
"Kalau begitu, engkau memang tidak berniat jahat. Ya, kan?"
"Sesungguhnya memang begitu." Tu Ci Yen manggut-manggut.
"Sungguhkah begitu?" tanya Siauw Hui Ceh dingin.
"Kalau Hui moi tidak percaya, aku pun tidak bisa apa-apa." wajah Tu Ci Yen tampak serius.
Ketika Siauw Hui Ceh bersitegang dengan Tu Ci Yen, Siau Liong memanfaatkan kesempatan. Diam-diam ia menghimpun kekuatan tenaga dalamnya untuk menyembuhkan luka dalamnya lalu berkata.
"Tu Ci Yen, aku percaya engkau tidak keburu menarik kembali pukulanmu itu, namun…..."
"Siau Liong!" potong Tu Ci Yen cepat. "Walau tidak sengaja melukaimu, aku merasa tidak enak dalam hati. Kuharap engkau jangan menyimpan rasa benci dalam hati…..."
Tu Ci Yen tidak melanjutkan ucapannya, melainkan mengarah pada Siauw Hui Ceh sambil tersenyum lembut.
"Hui moi, Siau Liong percaya bahwa aku tidak sengaja melukainya, engkau pun percaya kan?"
Siauw Hui Ceh tidak menyahut, hanya terus memandang Siau Liong dengan penuh perhatian.
"Siau Liong ko, engkau percaya dia…..."
Siau Liong menggoyang-goyangkan tangannya, mencegah Siauw Hui Ceh melanjutkn ucapannya, kemudian menatap Tu Ci Yen seraya berkata dingin.
"Pukulanmu itu harus kau ingat baik-baik. Suatu hari nanti aku pasti membalasnya."
"Ha ha!" Tu Ci Yen tertawa gelak.
Sedangkan Siau Liong bicara mengarah pada Siauw Hui Ceh dengan rasa penuh terima kasih.
"Hui Ceh, engkau sedemikian memperhatikan diriku, seumur hidup aku tidak akan melupakannya. Mengenai jurus pedang itu, asal bu beng lo jin setuju, kalau kelak kita bertemu, aku pasti mengajarkan padamu. Hari ini kita berpisah di sini, kuharap engkau menjaga diri baik-baik."
Usai berkata begitu, Siau Liong langsung mengayunkan kakinya meninggalkan halaman itu.
"Siau Liong ko!" panggil Siauw Hui Ceh sambil berlari menyusulnya.
Siau Liong berhenti, dan Siauw Hui Ceh lalu berdiri di hadapannya sekaligus menatapnya dalam-dalam.
"Engkau sudah mau pergi, Siau Liong ko?" tanyanya.
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Aku telah mengambil keputusan untuk pergi hari ini."
"Mau pergi ke mana?"
"Ke tempat yang harus ku cari."
"Punya tujuan tertentu?"
"Ya."
"Bolehkah aku tahu?"
"Maaf!" ucap Siau Liong sambil menggelengkan kepala. "Tidak bisa kuberitahu padamu."
"Siau Liong ko......" Siauw Hui Ceh menarik nafas panjang dengan wajah muram sekali. "Masih bisakah kita bertemu?"
"Hui Ceh, kalau orang belum mati, tentunya masih ada kesempatan untuk bertemu kembali."
"Ya." Siauw Hui Ceh manggut-manggut dengan mata bersimbah air, kemudian gumamnya, "Siau Liong ko, kalau orang belum mati, tentunya masih bisa bertemu kembali."
"Betul."
"Siau Liong ko!" Mendadak Siauw Hui Ceh menatapnya dengan penuh rasa cinta kasih yang dalam. "Aku menunggumu."
Sikap yang mesra dengan ucapan yang menyentuh hati itu membuat wajah Tu Ci Yen semakin tak sedap dipandang. Hatinya bertambah panas dan rasa cemburunya pun bergejolak hebat.
Namun Tu Ci Yen berhati licik dan banyak akal busuknya, maka semua itu tidak tersirat pada wajahnya. Pemuda itu hanya menatap mereka dengan sorotan yang dingin sekali.
Apa yang diucapkan Siauw Hui Ceh, membuat hati Siau Liong terharu. Ia menatap gadis itu dengan lembut.
"Hui Ceh, paling lambat lima tahun, aku pasti kemari menengokmu." ujarnya berjanji dan melanjutkan. "Itu demi engkau dan demi aku. Baik-baiklah engkau menjaga diri!"
"Siau Liong ko, engkau juga harus baik-baik menjaga diri." Siauw Hui Ceh juga menatapnya lembut, namun sepasang matanya yang bening itu tampak bersimbah air.
"Ya." Siau Liong manggut-manggut. "Hui Ceh, aku pasti bisa menjaga diri. Legakanlah hatimu, kini aku mau pergi."
Usai berkata itu, Siau Liong pun mengayunkan kakinya meninggalkan halaman tersebut dengan langkah lebar.
Sementara Tu Ci Yen terus memandang punggung Siau Liong, kemudian tersenyum dingin dan timbul pula hawa membunuh yang hebat pada wajahnya.
*
* *
Tampak dua ekor kuda berlari kencang meninggalkan Siauw Keh Cung. Kedua ekor kuda itu berbulu hitam dan kuning. Penunggang kuda hitam seorang pemuda ganteng berpakaian hitam, sedangkan penunggang kuda kuning seorang tua berjubah abu-abu.
Di punggung pemuda itu, tergantung sebuah piau hok (buntalan pakaian), sedangkan orang tua tersebut tidak membawa apa-apa.
Kedua orang itu adalah Siau Liong dan orang tua pincang. Mereka menunggang kuda meninggalkan Siau Keh Cung. Dalam sekejap, kuda-kuda itu telah berlari dua puluh li. Berselang beberapa saat kemudian, Siau Liong menarik tali kendali menghentikan kudanya, lalu berkata pada orang tua pincang itu.
"Lo jin keh sudah cukup jauh lo jin keh mengantarku, lebih baik lo jin keh pulang saja!"
Orang tua pincang tersenyum lembut, dan menatap Siau Liong dalam-dalam seraya berkata.
"Siau Liong, tahukah engkau kenapa lo ciau mengantarmu sampai sekian jauh?"
Siau Liong tertegun, dan memandang orang tua pincang dengan penuh keheranan.
"Lo jin keh, apakah ada suatu alasan tertentu?" tanyanya.
"Benar." Orang tua pincang manggut-manggut. "Memang ada alasan tertentu."
"Oh?" Hati Siau Liong tergerak. "Adakah urusan penting yang ingin lo jin keh sampaikan padaku?"
"Tidak salah terkaanmu." Orang tua pincang tertawa. "Siau Liong, enam li lagi ada sebuah kedai teh, kita minum teh di sana sambil mengobrol."
Siau Liong manggut-manggut. Mereka lalu melanjutkan perjalanan menuju kedai itu. Sepanjang jalan Siau Liong terus berpikir, orang tua pincang itu akan menyampaikan urusan apa padanya? Ia terus berpikir, dan kuda yang ditungganginya pun terus berlari kencang.
*
* *
Siau Liong dan orang tua pincang itu duduk berhadapan di dalam sebuah kedai. Di atas meja telah tersedia sebotol arak dengan dua buah cangkir penuh berisi minuman keras itu.
"Siau Liong," Orang tua pincang tersenyum lembut sambil mengangkat minumannya. "Secangkir arak ini untuk perpisahan kita, semoga engkau selamat di perjalanan, aman sampai di tempat tujuan dan ….. cepat kembali ke utara!"
"Terima kasih!" Siau Liong segera mengangkat minumannya, ia tampak terharu sekali. "Lo jin keh sangat baik terhadap diriku, entah harus bagaimana aku membalas budi kebaikan lo jin keh. Kini aku menghormati lo jin keh dengan secangkir arak ini, semoga lo jin keh panjang umur dan sehat wal'fiat!"
Mereka meneguk arak itu. Sepasang mata orang tua pincang berbinar-binar sambil tertawa gelak.
"Siau Liong," Orang tua pincang menaruh cangkirnya, kemudian ujarnya serius, "lo jin keh ingin memohon sesuatu, sudikah engkau mengabulkannya?"
"Beritahukan saja, lo jin keh!"
"Jadi engkau mengabulkannya?"
"Ya." Siau Liong mengangguk tanpa ragu. "Lo jin keh, asal aku mampu melaksanakannya, aku pasti tidak akan ingkar janji. Walau itu harus menerjang lautan api.
Orang tua pincang tertawa terbahak-bahak.
"Tidak perlu menerjang lautan api, hanya saja….." Orang tua pincang menghentikan ucapnya sejenak kemudian menatap Siau Liong tajam sambil melanjutkan, "Tugas itu sangat berat, karena urusan itu teramat penting."
"Oh?" Sepasang alis Siau Liong yang berbentuk golok itu terangkat sedikit. "Lo jin keh, kita bersama sudah dua bulan, apakah lo jin keh masih belum melihat jelas sifatku? Asal aku telah mengabulkan, melaksanakannya tanpa memikirkan nyawa sendiri."
"Engkau memang berjiwa kesatria, lo ciau tidak salah melihat dirimu. Dengan ucapanmu barusan, lo ciau sudah merasa puas. Kalau mati, lo ciau pun tidak akan penasaran."
Orang tua pincang manggut-manggut kagum.
"Lo jin keh….." Ucapan orang tua pincang yang terakhir itu membuat hati Siau Liong tersentak. "Tidak usah berkata begitu!"
"Aaakh...!" Orang tua pincang menarik nafas panjang.
"Sebetulnya ada urusan apa lo jin keh." desak Siau Liong ingin mengetahui urusan itu.
"Siau Liong!" Orang tua pincang menatapnya dalam-dalam. "Engkau berangkat sekarang, harus membutuhkan waktu berapa lama baru bisa kembali ke utara?"
"Tidak dapat dipastikan…..." Siau Liong mengernyitkan kening. "Namun tidak akan lewat lima tahun."
Orang tua pincang manggut-manggut sambil berpikir, kemudian ujarnya seakan bergumam.
"Lima tahun bukan waktu yang pendek, tapi masih keburu. Mudah-mudahan keburu, itu lebih baik…..."
Siau Liong diam, tidak menyahut.
Berselang sesaat, orang tua pincang melanjutkan ucapannya sambil memandang Siau Liong dengan penuh perhatian.
"Kalau engkau kembali ke utara, sudikah mampir dulu ke Siauw Keh Cung?"
Siau Liong mengangguk, namun merasa heran.
"Itu kenapa, lo jin keh?"
"Sampai waktunya engkau akan mengetahuinya," sahut orang tua pincang.
"Kenapa tidak sekarang saja beritahukan padaku?"
"Siau Liong, sebetulnya lo ciau ingin beritahukan sekarang, tapi......" Orang tua pincang menarik nafas panjang sambil tersenyum getir. "Lo ciau tahu engkau berjiwa kesatria. Leher boleh putus dan darah boleh mengalir, tapi tekad tidak boleh putus di tengah jalan."
"Lo jin keh!" Kening Siau Liong berkerut. "Apakah tidak leluasa dan sulit mengutarakannya?"
"Tidak juga." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala. "Padahal sesungguhnya, lo ciau pun tidak tahu apa urusan itu, hanya berfirasat akan terjadi suatu malapetaka."
"Itu….. bagaimana mungkin?"
"Siau Liong," Mendadak orang tua pincang mengalihkan pembicaran. "Masih ingatkah kau ketika itu lo ciau mendesakmu agar tinggal tiga bulan di Siauw Keh Cung?"
"Aku ingat, kalau bukan karena kejadian tadi pagi, mungkin aku tidak akan berangkat sekarang. Aku mohon maaf padamu dalam hal ini."
"Anak yang berbakat dan berjiwa kesatria…..." Orang tua pincang menatapnya sambil tersenyum. "Lo ciau tidak melarangmu berangkat hari ini, tentunya juga tidak akan menyalahkanmu."
"Terima kasih, lo jin keh," ucap Siau Liong. "Atas kesudian lo jin keh memberi maaf padaku."
*
* *
(Bersambung bagian 5) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar