Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Selasa, 09 November 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 2

Bagian ke 2: Tiga Pukulan Satu Jurus Pedang
Pemuda berjubah hijau itu memang cukup tampan. Sepasang alisnya berbentuk seperti golok, sepasang matanya, bersinar tajam dan hidungnya mancung.
Akan tetapi, kedua bibir atas dan bawah agak tipis. Wajahnya dingin dan angkuh, bahkan tampak tak berperasaan dan tak berbudi. Dia bukan pemuda yang berbudi luhur.
Orang tua pincang kelihatan tidak terkesan baik pada pemuda itu. Begitu melihat kemunculannya, keningnya pun berkerut.
"Ci Yen! ada urusan apa engkau ke mari?" tanyanya dengan nada dingin.
Ternyata pemuda berjubah hijau itu bernama Tu Ci Yen, anak yatim piatu yang diangkat anak oleh cung cu Siauw Thian Lin. Itu karena dia tergolong anak yang cerdik dan pandai.
Tidak hanya cerdik dan pandai, Tu Ci Yen pun berhati licik dan pandai bermuka-muka di hadapan Siauw Thian Lin suami istri. Oleh karena itu, Siauw Thian Lin dan istri sangat menyayangi sekaligus memanjakannya, maka menyebabkannya menjadi angkuh sekali. Siapa pun tidak berada dalam matanya, kecuali kedua orang tua angkatnya itu.
Tentunya Siauw Thian Lin tidak mengetahui akan hal itu. Kalau ada yang melaporkan, mereka suami istri pun tidak akan percaya, bahwa anak angkat mereka itu begitu macam.
Itu karena Tu Ci Yen selalu berlaku sopan di hadapan mereka, bahkan sangat menurut. Akan tetapi, di belakang Siauw Thian Lin suami istri, Tu Ci Yen bersikap angkuh dan sama sekali tidak memandang sebelah mata pada orang lain.
Mengenai orang tua pincang, berhubung dia itu jongos tiga turunan keluarga Siauw, maka Siauw Thian Lin suami istri masih harus menaruh hormat dan merasa segan padanya. Justru itu membuat Tu Ci Yen semakin penasaran. Walau merasa kurang puas dalam hatinya, pemuda itu tidak berani bersikap maupun berlaku kurang ajar di hadapan orang tua pincang tersebut.
Meskipun begitu, Tu Ci Yen telah bersumpah dalam hati dengan penuh rasa benci dan dendam.
"Hmm! Lo nu cai (budak tua) suatu hari nanti Siau Ya (tuan muda) pasti memperlihatkan kelihayan tindakan siau ya, pokoknya kau akan mati secara mengenaskan!"
Walau pernah bersumpah demikian dalam hati, saat ini ia sama sekali tidak berani berbuat apa-apa, sebaliknya malah bersikap hormat sekali terhadap orang tua pincang itu.
"Ngie peh (ayah angkat) memerintahku ke mari untuk mengundang lo jin keh ke rumah." ujarnya sambil menjura.
"Ada urusan apa?" tanya orang tua pincang, dengan nada suara agak lembut.
Mata Tu Ci Yen yang tajam itu mengarah pada Siau Liong. Ia tampak tertegun dan kemudian mengerutkan kening seraya berkata pada orang tua pincang.
"Siau tit (keponakan) juga tidak begitu jelas. Sepertinya..... berkaitan dengan urusan Ciok Lau San Cung (Perkampungan Loteng Batu)."
Begitu mendengar nama perkampungan itu disebut Tu Ci Yen, air muka Siau Liong langsung berubah, sekujur badannya pun menggigil.
Untung orang tua pincang dan Tu Ci Yen tidak mengetahui akan hal itu, seandainya tahu......
Sementara orang tua pincang memejamkan matanya, berselang sesaat baru dibukanya kembali dengan perlahan lalu memandang Tu Ci Yen dengan penuh perhatian.
"Ada urusan apa dengan San Si Ciok Lau San Cung (Perkampungan Loteng Batu di San Si)?"
"Dengar-dengar perkampungan itu telah diserang mendadak oleh penjahat. Pek Mang Ciu tay hiap (Pendekar Pek Mang Ciu) suami istri terbunuh, dan seluruh keluarganya yang berjumlah dua puluh lima orang dibantai, tiada seorangpun dapat meloloskan diri."
Sekujur badan orang tua pincang tampak bergemetar. Jenggotnya yang sudah putih itu pun bergerak, dan sepasang matanya menyorot tajam.
"Tahuhkah dari mana kabar berita itu? Kabar angin atau sungguhan?" tanyanya.
Tu Ci Yen menggeleng-gelengkan kepala, kemudian menjawab dengan bahu terangkat sedi kit.
"Tentang itu siau tit tidak mengetahuinya, kalau mau jelas, tanya saja pada ayah angkat!"
"Kapan kejadian itu?"
"Setengah bulan yang lalu."
Sementara itu, Siau Liong cuma duduk diam dan mematung. Sepasang matanya terus memandang pada api di dalam tungku. Entah apa yang sedang dipikirkannya?
Orang tua pincang melirik Siau Liong sejenak, lalu berkata.
"Siau Liong, engkau duduk saja di sini! Lo ciau pergi sebentar, dan akan segera kembali ke mari."
Siau Liong tetap tercenung sambil memandang api di dalam tungku. Apa yang dikatakan orang tua pincang seakan tidak masuk ke telinganya.
Orang tua pincang mengernyitkan kening, kemudian berkata lagi dengan suara yang agak keras.
"Siau Liong, kenapa engkau? Apakah yang lo ciau katakan barusan, engkau tidak dengar?"
Meskipun orang tua pincang mengeraskan suaranya, Siau Liong masih tetap duduk melamun.
Orang tua pincang mengernyitkan kening lagi, kemudian serunya dengan suara lantang.
"Siau Liong!"
Siau Liong tampak tersentak kaget, tapi mukanya tidak memperlihatkan perubahan apa pun, cuma kelihatan melongo.
"Heh! lo jin keh, ada urusan apa?"
"Siau Liong, engkau sedang memikirkan apa?" Orang tua pincang balik bertanya sambil menatapnya.
"Aku tidak memikirkan apa-apa." Siau Liong menggeleng-geleng kepala.
Orang tua pincang tahu, Siau Liong tidak mau berterus terang, maka tidak mendesaknya. Ia hanya tersenyum penuh kasih sayang seraya berkata.
"Engkau duduk di sini saja! lo ciau mau pergi membicarakan suatu urusan dengan cung cu, dan akan segera kembali ke mari. Engkau mengerti?"
Siau Liong manggut-manggut dengan wajah tanpa memperlihatkan perasaan apa pun.
"Aku mengerti." katanya.
Orang tua pincang menatapnya lagi, lalu bangkit berdiri perlahan-lahan. Namun ketika baru mengayunkan kakinya, tiba-tiba hatinya tergerak.
"Ci Yen, engkau tinggal di sini sebentar menemaninya!" ujarnya kepada Tu Ci Yen.
Tu Ci Yen tidak rela dalam hati, namun tidak berani menolak. Ia mengangguk terpaksa seraya berkata.
"Ya, baiklah."
Pada waktu bersamaan, Siau Liong pun membuka mulut.
"La jin keh, jangan merepotkan tay ko (saudara) ini!"
Orang tua pincang tertegun. Ia memandang Siau Liong dan bertanya.
"Engkau seorang diri berada di sini tidak akan merasa kesepian?"
"Tidak," jawab Siau Liong. "Aku justru ingin duduk seorang diri agar bisa tenang."
Orang tua pincang manggut-manggut. Ia tidak mengatakan apa lagi, lalu pergi untuk menemui Siauw Thian Lin bersama Tu Ci Yen.


Berselang beberapa saat kemudian, orang tua pincang sudah kembali ke rumah kecil itu.
Siau Liong masih tetap duduk di tempat, sama sekali tidak beranjak. Hanya saja saat ini ia bersandar ke belakang, dan kedua matanya terpejam seakan sudah pulas.
Orang tua pincang itu sendiri pun tidak tahu apa sebabnya dirinya begitu menaruh perbatian dan merasa sayang pada Siau Liong.
Kini orang tua pincang itu bertambah memperhatikannya. Berdasarkan mimik Siau Liong, dalam benak orang tua pincang terpikir suatu urusan. Kemungkinan besar Siau Liong ada hubungan dengan urusan itu.
Sementara Siau Liong diam saja, rupanya ia memang pulas. Orang tua pincang tidak mau mengejutkannya. Ia berjalan ke dalam dengan langkah ringan.
Akan tetapi, pada waktu bersamaan, Siau Liong membuka matanya, lalu duduk tegak sambil tersenyum.
"Oh! Sudah balik, lo jin keh?"
Orang tua pincang manggut-manggut dengan wajah penuh kasih sayang.
"Engkau tidak tidur?" tanyanya lembut.
"Sepasang mataku memang tidur, namun..... hatiku tidak ikut tidur," sahut Siau Liong.
Orang tua pincang mengerti akan ucapan itu, tapi tidak mengatakan apa pun. Dia lalu duduk di hadapan Siau Liong dan menatapnya tajam.
"Siau Liong," tanyanya, "Engkau pasti berangkat esok pagi?"
"Lo jin keh, justru mendadak pikiranku berubah," jawab Siau Liong berterus terang.
"Oh?" Orang tua pincang tampak gembira sekali. Sepasang matanya pun bersinar-sinar. "Jadi engkau bersedia tinggal tiga bulan di sini?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Lo jin keh, kupikir tidak seharusnya aku menolak kebaikan lo jin keh. Oleh karena itu aku mengambil keputusan untuk menuruti apa yang lo jin keh atur itu."
"Ha ha!" Orang tua pincang tertawa gembira. "Ini sungguh bagus. Lo ciau gembira sekali."
Orang tua pincang tertawa lagi. Berselang sesaat ia melanjutkan ucapannya dengan wajah ceria.
"Siau Liong, lo ciau yakin engkau pasti sudah mengantuk sekali. Nah, mari kita tidur, segala apa pun kita bicarakan esok saja."
*
* *
Sejak itu, Siau Liong tinggal bersama orang tua pincang. Tugasnya memotong rumput dan merawat taman bunga di halaman belakang rumah keluarga Siauw.
Siang hari, Siau Liong bekerja, malam harinya tidur bersama orang tua pincang di rumah kecil itu. Orang tua pincang pun telah menyediakan sebuah ranjang kayu untuknya.
Pekerjaan Siau Liong sungguh ringan, sama sekali tidak melelahkannya. Namun justru malah membuatnya tak bergairah.
Entah sudah berapa kali, ia bermohon pada orang tua pincang agar diberikan pekerjaan lain, namun orang tua pincang selalu mengalihkan pembicaraan, atau mengatakan tunggu beberapa hari akan dibicarakan lagi.
Apa boleh buat, Siau Liong terpaksa menunggu. Sehari lewat sehari, tak terasa sebulan telah berlalu. Begitu cepat, sehingga Siau Liong tidak menyadarinya.
Dalam waktu sebulan ini, Siau Liong mengetahui satu hal yang sangat mengejutkannya, yakni keluarga Siauw yang berjumlah dua puluh orang lebib itu rata-rata memiliki ilmu silat yang sangat tinggi.
Cung cu Siauw Thian Lin mempunyai seorang putri berusia empat belas tabun, namanya Hui Ceh yang berparas cantik jelita.
Selain Tu Ci Yen, anak angkat itu, masih ada tiga murid lain yang masing-masing bernama Siauw Shauw Lam, berusia tujub belas, Siauw Kim Beng berusia enam belas dan Siauw Peng Yang berusia enam belas juga.
Ketiga murid itu masih terhitung keponakan cung cu Siauw Thian Lin. Usia mereka lebih muda dari Tu Ci Yen, maka harus memanggilnya toa suheng (saudara tertua seperguruan). Berdasarkan ini, dapatlah diketahui bahwa cung cu Siauw Thian Lin merupakan tokoh persilatan yang berilmu tinggi.
Satu bulan bukan waktu yang pendek. Oleh karena itu, Siau Liong pun mulai kenal dengan orang-orang keluarga Siauw.
Siau Liong memang tergolong pemuda yang sangat tampan, babkan juga sopan dan ramah tamah. Oleh karena itu semua keluarga Siauw, baik yang tua maupun yang muda sangat menyukainya.
Pada suatu malam, ketika Siau Liong berbaring di ranjang kayu dengan mata terpejam dan pikiran menerawang, mendadak orang tua pincang menegurnya dengan suara rendah.
"Siau Liong! Engkau sudah tidur?"
Siau Liong segera membuka matanya, lalu duduk seraya menjawab.
"La Jin Keh, aku belum tidur. Ada urusan apa?"
"Bagaimana kalau kita mengobrol sejenak?"
Orang tua pincang turun dari ranjang kayu, lalu melangkah ke tempat duduk yang tak jauh dari ranjang itu.
Siau Liong juga turun mengikuti orang tua pincang, kemudian mereka pun duduk menghadap tungku.
Sepasang mata orang tua pincang menatap Siau Liong dalam-dalam dengan penuh perhatian, kemudian berbatuk ringan dan bertanya.
"Siau Liong, sudab berapa lama engkau tinggal di sini?"
"Hingga hari ini sudah satu bulan."
Orang tua pincang manggut-manggut, lalu bertanya lagi.
"Bagaimana kesanmu di sini?"
"Baik, lagi pula semua orang pun sangat baik terbadap diriku."
"Tahukah kamu apa sebabnya?" tanya orang tua pincang sambil tertawa.
Siau Liong berpikir sejenak, kemudian tersenyum.
"Aku mengerti, semua ini karena muka lo jin keh."
Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak begitu, Siau Liong, jawabanmu cuma benar separuh."
Siau Liong tertegun. Ia memandang orang tua pincang dengan mata terbelalak lebar.
"Kenapa jawabanku cuma benar separuh, lo jin keh?" tanyanya heran.
"Separuhnya lagi….." Orang tua pincang tersenyum lembut. "Justru karena engkau tahu diri, sopan dan ramah terhadap siapa pun. Maka semua orang baik padamu. Mengertikah engkau?"
"Ooooh!" Wajah Siau Liong agak kemerah- merahan. "Lo Jin Keh…..."
Orang tua pincang menggoyang-goyangkan tangannya, agar Siau Liong tidak melanjutkan ucapannya.
"Siau Liong, memang baik bersikap sopan dan ramah tamah. Akan tetapi, terlampau sopan dan ramah tamah malah dianggap bermuka-muka. Mengertikah engkau?"
"Ya." Siau Liong manggut-manggut. "Terima kasih atas nasihat lo jin keh!"
Orang tua pincang tertawa, lalu mengalihkan pembicaraan.
"Siau Liong, dalam sebulan ini apa yang kamu temukan?"
Pertanyaan yang tiada ujung pangkal itu membuat Siau Liong melongo dengan mulut ternganga lebar.
"Maksud lo jin keh?"
"Misalnya lo ciau sendiri, apakah engkau merasa diri lo ciau lain dari yang lain?"
Ucapan itu membuat Siau Liong paham. Matanya pun berbinar-binar seketika.
"Lo jin keh memiliki ilmu silat yang tinggi." jawabnya.
Orang tua pincang tertawa, gembira sekali.
"Jadi engkau telah tahu itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Sepuluh hari yang lalu, aku telah mengetahuinya. Lo jin keh adalah orang yang berilmu tinggi."
"Siau Liong!" Orang tua pincang tertawa lagi. "Katamu itu tidak salah, lo ciau memang memiliki ilmu silat yang tinggi, namun….." Orang tua pincang menggeleng-gelengkan kepala, kemudian melanjutkan.
"Dibandingkan dengan Thai Ceng Sin Kang (tenaga sakti pelindung badan) yang dimiliki keluarga Pek di Ciok Lau San Cung, sama juga seperti gunung kecil bertemu gunung besar."
Air muka Siau Liong langsung berubah. Ia pun lalu bangkit berdiri.
"Lo jin keh!" ujarnya terkejut.
Mendadak wajah orang tua pincang pun berubah serius.
"Duduklah, Siau Liong! Jangan gampang emosi!" tegur orang tua pincang dengan halus sambil menatap Siau Liong tajam.
Siau Liong menarik nafas dalam-dalam agar bisa tenang, lalu duduk dan memandang orang tua pincang itu.
"Lo jin keh...."
Orang tua pincang menggoyang-goyangkan tangannya, agar Siau Liong tidak melanjutkan ucapannya.
"Siau Liong, lo ciau telah melihat jelas tentang dirimu."
Siau Liong tersentak dan segera bertanya.
"Lo jin keh melihat jelas tentang apa?"
"Walau terus menutupi mengenai dirimu, engkau tidak bisa mengetahui sepasang mata lo ciau. Sudah lama lo ciau mengetahui bahwa dirimu memiliki ilmu silat yang tidak rendah."
Karena orang tua pincang telah mengetabui tentang itu, Siau Liong pun merasa tidak enak untuk menyangkal. Ia manggut-manggut dan tanyanya kemudian.
"Lo jin keh telah tahu tentang itu, lalu kenapa?"
"Tidak apa-apa." Orang tua pincang tertawa. "Hanya saja..... lo ciau berniat menyempurnakan dirimu."
"Mengapa?" Siau Liong tercengang.
"Itu….." Orang tua pincang tertawa lagi sambil menatapnya lembut. "Karena lo ciau sangat menyukaimu, lagi pula kita pun sangat cocok satu sama lain."
"Bagaimana cara lo jin keh menyempurnakan diriku?"
"Menurunkan kepadamu Sam Cau Ciang Hoat dan It Cau Kiam Hoat."
"Jurus pukulan apa dan apa nama jurus pedang itu?" tanya Siau Liong.
Orang tua pincang tidak menyahut, cuma tersenyum lembut.
"Jangan bertanya sekarang, kelak engkau akan mengetahuinya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar