Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Kamis, 11 November 2010

Panji Sakti - Khulung Bagian 3

Bagian ke 3: Satu Pukulan Menimbulkan Benci
Sang waktu berlalu satu bulan lagi. Kini Siau Liong sudah menguasai Sam Cau Ciang Hoat (tiga jurus pukulan telapak tangan) dan It Cau Kiam Hoat (satu jurus pedang) yang diturunkan orang tua pincang itu.
Meskipun cuma tiga jurus, Ciang Hoat penuh mengandung kekuatan yang amat dahsyat dengan perubahan yang tak terduga. Satu jurus pedang itu bahkan jauh lebih lihay dan dahsyat. Kendati pun cuma satu jurus, tapi banyak perubahan yang tak terduga.
Hingga saat ini, Siau Liong agak kecewa karena tidak mengetahui nama kedua jurus itu. Sudah berkali-kali ia bertanya namun orang tua pincang itu tetap tidak memberitahukannya.
Pagi yang cerah…..
Setelah menyapu bersih halaman belakang, Siau Liong duduk di bawah sebuah pohon rindang. Mungkin karena iseng, maka dipungutnya sebuah ranting, kemudian bangkit berdiri dan mulailah berlatih satu jurus pedang itu.
Ketika ia sedang berlatih dengan mencurahkan seluruh perhatiannya pada jurus pedang tersebut, mendadak terdengar suara tawa yang nyaring dan merdu di belakang gunung-gunungan.
"Siau Liong! Sungguh di luar dugaan, ternyata engkau bisa silat juga!"
Menyusul muncul sosok bayangan yang ramping dari belakang gunung-gunungan itu. Sosok bayangan itu ternyata seorang gadis yang cantik jelita.
Siapa anak gadis itu? Tidak lain putri kesayangan Siauw Thian Lin, yang bernama Hui Ceh.
"Socia (nona), selamat pagi!" ucap Siau Liong sopan sambil menjura.
Entah apa sebabnya, mendadak Hui Ceh cemberut.
"Bagaimana sih engkau, Siau Liong?" tegurnya tidak senang.
Siau Liong tertegun mendengar teguran itu, lalu cepat-cepat ia menjura lagi.
"Socia, memangnya aku kenapa?" tanyanya heran.
"Aku sudah bilang berapa kali padamu, jangan memanggilku Socia! Kenapa engkau masih memanggilku Socia? Telingaku jadi sakit mendengarnya."
"Oh?" Siau Liong tertawa geli. "Ini kesopanan, bagaimana mungkin aku berani melanggar tata krama?"
"Eh?" Hui Ceh mengernyitkan kening. "Jangan begitu, aku tidak suka akan kesopanan ini. Pokoknya engkau tidak boleh memanggilku Socia."
"Kalau begitu, selanjutnya aku akan memanggilmu kouw nio (anak gadis) saja."
"Tidak!" Hui Ceh mengernyitkan kening lagi. "Panggil kouw nio pun tidak boleh."
"Kalau begitu…..." Kening Siau Liong berkerut. "Aku harus memanggilmu apa?"
Pertanyaan ini membuat sepasang mata Hui Ceh yang bening itu berbinar-binar, lalu ujarnya dengan suara rendah namun merdu.
"Namaku Hui Ceh, selanjutnya kau panggil namaku saja!"
"Ini….. ini…..." Siau Liong tampak ragu.
"Lho, kenapa?" Hui Ceh menatapnya tajam.
"Aku tidak berani memanggil namamu, Socia." Siau Liong menundukkan kepala.
"Soda lagi Socia lagi!" tegur Hui Ceh cemberut. "Kenapa engkau tidak berani memanggil namaku?"
"Itu….. itu…..."
"Aku orang, engkau pun orang. Apakah ada perbedaan di antara kita?"
"Memang tidak berbeda, kita sama-sama orang. Tapi derajat kita tidak sama, maka…..."
"Sudahlah!" Hui Ceh tertawa cekikikan. "Engkau memang pandai bicara. Aku kalah kalau mengadu mulut denganmu. Pokoknya aku tidak senang kau panggil nona, dan aku mengharuskanmu memanggil namaku. Kalau tidak…..."
Hui Ceh tidak melanjutkan ucapannya, hanya memandang Siau Liong dalam-dalam dan mengalihkan pembicaraan.
"Siau Liong, barusan engkau berlatih jurus pedang ya?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Itu memang jurus pedang."
"Jurus pedang apa?" Hui Ceh ingin mengetahuinya..
"Aku......" Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Aku sendiri pun tidak tahu nama jurus pedang itu."
"Eh?" Hui Ceh melotot, namun justru bertambah cantik. "Engkau tidak mau memberitahukan padaku?"
"Aku sungguh tidak tahu."
Hui Ceh menatapnya dalam-dalam penuh selidik.
"Engkau tidak membohongiku?"
"Aku tidak perlu membohongimu." sahutnya bersungguh-sungguh. Hui Ceh menatapnya lagi, kemudian manggut-manggut percaya.
"Bolehkah aku tahu siapa yang mengajarmu jurus pedang itu?"
"Bu beng lo jin (Orang tua tak bernama)."
"Apa?" kening Hui Ceh berkerut-kerut. "Bu beng lo jin? Bagaimana rupanya?"
"Rambut dan jenggotnya sudah putih semua, badannya agak gemuk dan wajahnya agak dingin, namun penuh kasih sayang."
Siau Liong memang berdusta, tapi justru ada benarnya juga. Karena hingga saat ini, ia belum tahu juga nama orang tua pincang itu. Ia memberitahukan rupa orang tua pincang itu secara jujur, namun merahasiakan tentang kakinya yang pincang.
"Oooh!" Hui Ceh manggut-manggut. "Siau Liong, cukup lama aku bersembunyi di belakang gunung-gunungan menyaksikan engkau berlatih jurus pedang itu. Kelihatannya jurus itu amat lihay dan dahsyat, maka aku ingin belajar. Engkau mau mengajariku kan?"
Sungguh di luar dugaan, gadis itu ingin belajar jurus pedang tersebut. Itu membuat Siau Liong mengernyitkan kening dan tampak serba salah.
"Ini…..."
Wajah Hui Ceh yang cantik jelita tampak kecewa.
"Engkau tidak mau mengajariku?" tanyanya dengan nada tidak senang.
"Mau sih mau, tapi…..." Siau Liong salah tingkah.
"Tapi kenapa?"
"Menurutku, mengenai ini terlebih dahulu harus ada persetujuan dari orang tua itu."
"Orang tua itu berada di mana sekarang?" tanya Hui Ceh mendadak.
Pada waktu bersamaan, terdengar suara yang amat nyaring.
"Hui moi, engkau sedang berbicara dengan siapa?"
Meskipun tanpa melihat orangnya Siau Liong sudah tahu itu suara Tu Ci Yen.
Begitu suara itu hilang, muncullah Tu Ci Yen di pintu halaman. Ketika melihat Siauw Hui Ceh berdiri di hadapan Siau Liong. Sepasang mata Tu Ci Yen pun menyorot dingin sekelebatan, namun wajahnya tampak hambar.
"Oh, ternyata Siau Liong!" ujarnya sambil mendekati Siauw Hui Ceh.
Semula wajah Siau Liong tampak berseri, namun begitu melihat kemunculan Tu Ci Yen, langsung berubah dingin.
Siau Liong memang tidak terkesan baik terhadap Tu Ci Yen, tapi mau tidak mau ia harus berlaku sopan padanya.
"Siau Liong menghadap Tu siau ya (Tuan muda Tu)!"
"Ng!" sahut Tu Ci Yen dingin dan angkuh. "Engkau sedang berbicara apa dengan nona?"
"Oh, nona mengajukan beberapa pertanyaan padaku," ujar Siau Liong.
Tu Ci Yen mengarah pada Siauw Hui Ceb. "Benarkab Hui moi?" tanyanya.
"Kalau tidak percaya, janganlah bertanya," sahut Siauw Hui Ceh dingin.
Tu Ci Yen ketemu batu, tetapi tidak merasa tersinggung dan malah tertawa-tawa. Namun kemudian mendadak wajahnya berubah dingin dan berbicara mengarah pada Siau Liong.
"Nona mengajukan pertanyaan apa padamu?"
Siau Liong memang sudah menyiapkan jawaban, maka segera menjawab tanpa ragu sama sekali.
"Menanyakan aku berasal dari mana."
"Pertanyaan apa lagi yang diajukan nona?"
"Tentang margaku."
Mendadak hati Tu Ci Yen tergerak, dan cepat-cepat ia bertanya.
"Dengar-dengar engkau berasal dari San Si ya?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Engkau marga apa?"
"Marga Hek (Hitam)."
Begitu lancar Siau Liong menjawab, sama sekali tidak tampak berbohong, maka mau tidak mau Tu Ci Yen mempercayainya.
"Tadi saya dengar nona bertanya, orang tua itu berada di mana sekarang. Siapa orang tua itu?" tanya Tu Ci Yen.
"Orang tua itu yang mengajariku ilmu pedang."
"Siapa orang tua itu?"
"Bu beng lo jin."
"Oh?" Tu Ci Yen mengernyitkan kening. "Jadi engkau pernah belajar kiam hoat?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Jurus pedang apa?"
"Jurus pedang yang amat lihay dan aneh."
"Apa nama kiam hoat itu?"
"Bu beng lo jin itu tidak memberitahukan padaku."
"Kiam hoat itu berjumlah berapa jurus?"
"Delapan jurus."
Tu Ci Yen tersentak kaget dalam hati.
"Apakah Thian Liong Pat Kiam (Delapan jurus Naga Langit)?" tanyanya.
"Entahlah." Siau Liong menggelengkan kepala. "Aku sendiri pun tidak mengetahuinya."
"Coba mainkan jurus-jurus pedang itu untuk kulihat! Bagaimana?" Tu Ci Yen manatapnya.
Siau Liong mengangguk.
"Baiklah."
Siau Liong memungut ranting yang dibuangnya tadi, kemudian mulai memainkannya lagi.
Itu memang jurus pedang, namun merupakan jurus pedang yang kacau balau, bukan jurus pedang yang diajarkan orang tua pincang.
Itu membuat Hui Ceh nyaris tertawa geli, dan kemudian membatin.
"Tak sangka dia begitu nakal dan banyak akal!"
Tentunya Tu Ci Yen tidak tahu bahwa itu bukan merupakan jurus-jurus pedang, maka ia terus memperhatikannya. Semula keningnya tampak berkerut-kerut, tapi kemudian malah tertawa gelak.
"Kukira betapa lihay dan dahsyatnya jurus-jurus pedangmu, tidak tahunya cuma jurus-jurus pedang yang tidak karuan!"
"Hiyaaat! Ciaaat...!" Sementara Siau Liong masih terus memainkan ranting itu sambil berteriak keras.
"Berhenti, Siau Liong!" bentak Tu Ci Yen mendadak.
Siau Liong segera berhenti, setelah itu ia pun berpura-pura bernafas ngos-ngosan seraya bertanya.
"Kenapa Siau ya menyuruhku berhenti? Apakah jurus-jurus pedang ini tak sedap dilihat?"
Tu Ci Yen tertawa sinis, lama sekali barulah berkata.
"Jurus pedangmu itu cukup lihay, tapi belum bisa digunakan untuk memukul seekor anjing."
Siau Liong pura-pura tidak percaya, maka sepasang matanya terbelalak lebar.
"Tu Siau ya, terus terang, aku tidak percaya. Sebab kata bu beng lo jin itu, kalau aku menguasai delapan jurus pedang ini, maka diriku akan menjadi kiam khek (Pendekar Pedang) yang tak terkalahkan di kalangan kang ouw (Sungai telaga)."
Tu Ci Yen tertawa dingin, kemudian wajahnya berubah tak sedap dipandang, seraya menghardik.
"Siau Liong! Kau sungguh nyali anjing! Justru berani…..."
"Tutup mulutmu!" bentak Siau Liong.
Ternyata ucapan Tu Ci Yen tadi telah membangkitkan kegusarannya. Sepasang alisnya yang melengkung bagaikan golok terangkat tinggi, wajahnya berubah dingin dan sepasang matanya pun menyorot tajam.
"Wah!" seru Siauw Hui Ceh dalam hati. "Sungguh berwibawa!"
Selama ini, tiada seorang pun yang berani membentak Tu Ci Yen. Oleh karena itu, bentakan Siauw Liong tadi membuatnya tertegun.
"Tu Ci Yen! Aku memperingatkanmu! Kalau bicara sopanlah sedikit!" lanjut Siau Liong bernada dingin. "Jangan bicara begitu kasar!"
Setelah tertegun beberapa saat, Tu Ci Yen pun mulai gusar. Sepasang matanya berapi-api menatap Siau Liong.
"Hek Siau Liong, sungguh berani engkau membentak siau ya! Hm! Kelihatannya engkau mau cari penyakit!"
Siau Liong tertawa dingin.
"Tu Ci Yen, sadarlah kau! Sikapmu itu dapat menakutkan orang lain, tapi tidak dapat membuatku gentar!" sahutnya.
"Oh?" wajah Tu Ci Yen semakin dingin.
"Kalau membicarakan soal berkelahi, engkau punya sepasang tangan, aku pun sama! Nah, siapa yang cari penyakit? "Engkau atau aku?"
"Hek Siau Liong!" Tu Ci Yen tertawa dingin. Engkau punya nyali tidak?"
"Tentu punya!"
"Bagus! Bagus!" Tu Ci Yen terus tertawa dingin.
"Engkau katakan bagus, apakah ingin berduel denganku?" tanya Siau Liong dengan kening berkerut.
"Betul! Aku memang bermaksud begitu! Engkau berani?" Tu Ci Yen menatapnya dengan mata membara.
"Kenapa tidak?" sahut Siau Liong dengan alis terangkat tinggi.
"Bagus!" Tu Ci Yen tertawa licik. "Sambutlah satu pukulanku ini!"
Tu Ci Yen langsung menyerang Siau Liong. Kecepatan pukulannya bagaikan sambaran kilat mengarah pada bagian dada Siau Liong.
Siau Liong tidak menduga Tu Ci Yen akan menyerangnya secara mendadak, bahkan dengan jurus yang mematikan. Tidak salah Tu Ci Yen memang menghendaki nyawa Siau Liong.
Betapa terperanjatnya Siau Liong. Secepat kilat ia berkelit dan sekaligus membalas menyerang dengan sepasang telapak tangannya.
Siau Liong berhati bajik, serangan telapak tangannya hanya diarahkan pada kedua belah bahu Tu Ci Yen, bukan pada bagian yang mematikan.
Tu Ci Yen sama sekali tidak menyangka pukulannya akan terluput dari sasaran. Semula ia pikir Siau Liong pasti mati oleh pukulannya itu, tetapi, Siau Liong dapat berkelit secara cepat. Itu sungguh di luar dugaan dan membuatnya tersentak.
"Hmm!" dengusnya dingin. "Pantas engkau berani omong besar dan menantangku! Ternyata engkau memiliki jurus-jurus tangan kosong yang cukup lihay!"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar