Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Jumat, 10 Desember 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 10

Sambungan ...

Bagian ke 10: Menyambut Serangan
Betapa gembiranya Pat Kiam itu. Mata mereka berbinar-binar saking girangnya mendengar kabar tersebut. Sejak mereka lulus belajar ilmu pedang. sama sekali tidak pernah bertarung dengan lawan, maka malam ini…...
"Tapi aku harus mengingatkan kalian." ujar Se Pit Han serius. "Orang yang akan ke mari malam ini, kepandaiannya cukup tinggi. Kalau tidak terpaksa, janganlah kalian sembarangan melukainya! Mengerti kalian?"
"Kami mengerti," sahut mereka serentak dengan hormat.
"Bagus!" Se Pit Han manggut-manggut, kemudian bertanya pada Se Khi, "Sudah waktu apa sekarang?"
"Sudah lewat jam dua malam," jawab Se Khi memberitahukan dengan sikap hormat.
"Ng!" Se Pit Han mengangguk perlahan, lalu mengarah pada Huai Hong. "Kalau perhitunganku tidak salah, sekitar jam empat subuh pihak lawan akan ke mari. Sekarang masih ada waktu, sebaiknya kalian beristirahat."
"Ya," sahut Huai Hong sambil menjura, kemudian bertanya, "Maaf, Tuan Muda! Mohon tanya siapa lawan kita itu?"
Se Pit Han menggelengkan kepala.
"Aku pun cuma menduga, kemungkinan subuh nanti akan ada orang ke mari cari gara-gara. Siapa orang itu, aku sendiri pun tidak begitu jelas. Setelah orang itu datang, kalian bertanya langsung saja padanya."
Se Pit Han menjawab begitu, Huai Hong pun merasa tidak enak untuk bertanya lagi. Ia dan saudara-saudara seperguruannya memberi hormat pada Se Pit Han.
"Tuan Muda, kami mohon diri!" Huai Hong dan saudara-saudara seperguruannya mengundurkan diri dari kamar itu.
Sementara Siau Liong terus mengerutkan alis sambil berpikir. Setelah Pat Kiam pergi, ia pun segera bertanya.
"Saudara Se, sebetulnya ada apa?"
Pertanyaan yang tiada ujung pangkal itu membuat orang bingung, tidak tahu apa yang ditanyakannya.
Akan tetapi, Se Pit Han berotak cerdas. Ia dapat menerka apa yang ditanyakan Siau Liong. Namun ia berpura-pura tidak memahami pertanyaan itu, dan malah balik bertanya.
"Memangnya ada apa?"
"Saudara yakin, subuh ini akan ada orang ke mari cari gara-gara?" Siau Liong menatapnya.
"Saudara Hek." Se Pit Han tersenyum. "Engkau tidak percaya?"
"Bukan masalah tidak percaya." Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Terus terang, aku merasa heran."
"Oh? Kenapa heran?"
"Saudara menerka subuh ini ada orang ke mari cari gara-gara, tentunya telah menemukan sesuatu. Kalau tidak, bagaimana mungkin saudara akan menerka begitu?"
Se Pit Han diam saja.
"Saudara Se, sebetulnya siapa yang akan ke mari cara gara-gara?" tanya Siau Liong lagi.
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Padahal sesungguhnya, aku sama sekali tidak menemukan apa pun. Terkaanku itu berdasarkan hal-hal yang nyata saja."
"Oh?" Siau Liong tidak habis berpikir. "Saudara menerka berdasarkan hal-hal yang nyata, kalau begitu, apa tujuan orang itu ke mari? Tentunya Saudara tahu kan?"
"Aku memang tahu." Se Pit Han menatapnya. "Orang itu ke mari dengan tujuan mencarimu, Saudara Hek!"
"Oh, ya?" Siau Liong menarik nafas. "Kalau begitu, orang itu pasti Thi Sui Poa Toan Beng Thong."
"Seharusnya dia atau orang-orangnya," jawab Se Pit Han dan menjelaskan agar Siau Liong mengerti. "Engkau orang yang harus dibunuh atasannya, lagi pula Se Khi menyamar dirimu memancingnya pergi, sekaligus memberinya sedikit pelajaran, maka demi tugas dan sakit hati itu, dia pasti tidak akan melepaskanmu begitu saja. Oleh karena itu, aku pun berkesimpulan bahwa subuh ini, dia pasti menyuruh orang-orangnya ke mari."
Mendengar penjelasan yang masuk akal itu Siau Liong pun manggut-manggut dan berpikir dalam hati.
"Tapi dia kok tahu aku berada di rumah penginapan ini?" tanyanya.
"Kota Ling Ni ini tidak besar. Asal dia menyuruh orang menyelidikinya, pasti tahu engkau berada di sini."
"Oooh!" Siau Liong mengangguk.
"Se Khi!" Se Pit Han memandang orang tua itu. "Pat Kiam di luar sudah cukup untuk menghadapi lawan-lawan itu, namun kita pun harus berhati-hati, agar tidak dipermainkan pihak lawan. Kalau kita dipermainkan, itu sungguh memalukan."
"Ya, Tuan Muda." Se Khi mengangguk.
"Sasaran mereka adalah Tuan Muda Hek," ujar Se Pit Han sambil melirik Siau Liong. "Maka engkau harus melindunginya, urusan lain engkau boleh tidak perduli."
"Budak tua terima perintah." Se Khi memberi hormat. "Harap Tuan Muda berlega hati, budak tua pasti melindungi Tuan Muda Hek, sekaligus bertanggung jawab tentang ini."
"Bagus." Se Pit Han tersenyum sambil manggut-manggut.
"Tapi…..." Se Khi menatap Se Pit Han, kelihatannya mengkhawatirkannya. "Bagaimana dengan Tuan Muda sendiri?"
"Engkau tidak usah khawatir!" Se Pit Han tampak tenang sekali. "Aku bisa menjaga diri sendiri."
"Tuan Muda…..." Se Khi memandangnya dengan mata menyorotkan sinar aneh. "Apakah Tuan Muda sudah mengambil keputusan, apabila perlu, Tuan Muda akan turun tangan sendiri?"
"Itu sudah pasti." Se Pit Han mengangguk. "Apabila perlu, bagaimana mungkin aku cuma berpangku tangan?"
"Tapi…..." Se Khi menggelengkan kepala. "Budak tua tidak setuju Tuan Muda turun tangan sendiri."
"Apa alasanmu, Se Khi?" tanya Se Pit Han dengan alis terangkat tinggi.
"Diri Tuan Muda bagaikan giok, tidak pantas bergebrak dengan orang-orang kang ouw."
"Se Khi!" wajah Se Pit Han tampak serius. "Aku ingin bertanya, untuk apa aku belajar ilmu silat? Kalau begitu, percuma aku memiliki ilmu silat yang tinggi kan?"
"Tuan Muda…..." Se Khi menundukkan kepala. "Budak tua khawatir Tuan Muda belum berpengalaman, gampang terperdaya oleh lawan. Kalau terjadi begitu, budak tua......"
Se Pit Han tertawa kecil, ia memandang Se Khi seraya berkata,
"Tentunya Se Khi tahu bagaimana ilmu silatku, lagi pula masih ada dua pengawal Giok Cing dan Giok Ling, apakah mereka berdua akan membiarkan pihak lawan mendekati diriku? Pokoknya engkau cukup menjaga Tuan Muda Hek saja, jangan sampai dia terjadi sesuatu, itu adalah tanggungjawabmu."
Sementara Siau Liong cuma diam, dan terus mendengar pembicaraan mereka.
"Itu tidak bisa, aku tidak mengabulkan," selanya.
Se Pit Han tertegun. Ia menatap Siau Liong dengan wajah heran.
"Kenapa tidak bisa? Dan….. engkau tidak mengabulkan apa?" tanyanya.
"Kenapa keselamatan diriku harus dipertanggungjawabkan pada orang lain? Apakah aku tidak becus sama sekali menjaga diri sendiri?" jawat Siau Liong dengan kening berkerut. "Perlukah diriku dijaga dan dilindungi orang lain?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum. "Jadi maksudmu harus menjaga dan melindungi diri sendiri?"
"Tidak salah." Siau Liong mengangguk. "Kalau diriku masih harus dijaga dan dilindungi orang lain, apakah aku masih terhitung anak lelaki?"
"Oh?" Se Pit Han menatapnya tajam.
"Lebih baik kalian tidak usah mengurusi diriku," tandas Siau Liong, ia tampak tidak senang.
"Saudara Hek, Se Pit Han masih menatapnya tajam. "Aku pikir….. engkau sudah punya suatu rencana. Ya, kan?"
Siau Liong tersentak, namun tidak tersirat pada wajahnya, ia kelihatan tenang-tenang saja.
"Saudara Se, bagaimana mungkin aku punya suatu rencana?" sangkalnya sambil tersenyum hambar.
"Saudara Hek, engkau juga tidak perlu mengaku." Se Pit Han tersenyum serius. "Bagaimana mungkin engkau dapat mengelabui mataku?"
"Saudara Se…..."
"Mengenai siapa atasan Toan Beng Thong," lanjut Se Pit Han. "Dan kenapa mau membunuhmu, hingga saat ini engkau masih penasaran. Maka engkau ingin bertarung dengannya, sekaligus bertanya tentang itu. Dugaanku tidak meleset kan?"
Siau Liong terperanjat dan membatin. Sungguh lihay Se Pit Han, apa yang kupikirkan, dia dapat menduganya dengan tepat. Siau Liong menarik nafas, lalu manggut-manggut.
"Dugaan Saudara memang tidak salah, aku memang berpikir begitu…..." Kemudian tambahnya, "Padahal aku menuruti nasihat Saudara, memutuskan tidak akan mencarinya untuk menanyakan hal itu. Tapi….. seandainya dia ke mari mencariku, tentunya aku pun tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu."
"Oh?" Se Pit Han tertawa dingin. "Saudara Hek, engkau sungguh membuatku kecewa."
"Apa?!" Siau Liong tercengang. "Kok membuat Saudara kecewa? Apakah aku tidak harus berpikir begitu?"
"Engkau berpikir begitu, tentu tidak bisa dikatakan tidak harus," Se Pit Han menatapnya dingin. "Namun berdasarkan bu kang sekarang, masih bukan tandingan Toan Beng Thong."
"Oh?" Siau Liong mengerutkan kening. "Benarkah bu kang Toan Beng Thong begitu tinggi, sehingga aku bukan tandingannya?"
"Se Khi pernah mengatakan kepandaiannya biasa-biasa saja. Tapi engkau jangan beranggapan begitu, itu keliru besar."
"Maksudmu?"
"Se Khi memiliki tenaga dalam yang amat tinggi, begitu pula bu kangnya. Maka jarang bertemu lawan yang setanding dalam bu lim. Toan Beng Thong roboh dalam tiga jurus ditangannya, itu pertanda Toan Beng Thong memiliki bu kang yang cukup lihay, masih di atas tingkat Ling Ni Sam Hou. Mereka bertiga cuma mampu bertahan sampai sepuluh jurus bertanding dengan Toan Beng Thong."
Siau Liong diam. Ia tidak percaya akan apa yang dikatakan Se Pit Han. Tiba-tiba Se Khi berbatuk lalu mengarah pada Siau Liong sambil tersenyum.
"Tuan Muda Hek, dalam bu lim terdapat kiu pay it pang (sembilan partai satu perkumpulan). Menurutmu ketua partai mana yang paling tinggi bu kangnya?"
"Siau Lim Pay disebut sebagai gudang bu kang bahkan juga kepala dari partai lain, maka ketua Siau Lim Pay paling tinggi bu kangnya," jawab Siau Liong tanpa ragu.
"Ngmm!" Se Khi manggut-manggut sambil tertawa. "Kini aku akan omong besar. Liau Khong Taysu itu kalau bertanding denganku cuma mampu bertahan sampai seratus jurus. Saudara Hek, percayakah engkau?"
Siau Liong terbelalak, tentunya ia tidak percaya. Memang tidak bisa menyalahkannya, sebab siapa pun tahu, betapa tingginya bu kang Liau Khong Taysu, padri sakti itu. Maka bagaimana mungkin Siau Liong akan percaya kata-kata Se Khi?
Se Khi mengetahui akan hal itu. Ia menatap Siau Liong tajam seraya bertanya,
"Tuan Muda Hek, tidak percaya?"
"Aku tidak berani mengatakan tidak percaya. Namun tanpa menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, aku pun tidak berani mengatakan percaya."
"Ooh!" Se Khi tersenyum. "Kalau begitu, sudah jelas Tuan Muda Hek tidak percaya kan?"
Pada waktu bersamaan, mendadak terdengar suara sahutan yang amat nyaring di luar pintu kamar.
"Ha ha ha! Aku pun tidak percaya!"
Air muka Se Khi langsung berubah.
"Siapa di luar? Sungguh berani mencuri dengar pembicaraan kami!" bentaknya mengguntur.
"Ha ha! Aku pengemis kelaparan." terdengar suara sahutaan lantang, kemudian berkelebat sosok bayangan dan muncullah seorang pengemis tua berdiri di pintu. Badannya kurus pendek, rambut awut-awutan dan berjenggot kambing. Namun sepasang matanya bersinar tajam. Usia orang itu kira-kira tujuh puluhan.
Begitu melihat pengemis tua itu, seketika juga Se Khi tertawa terbahak-bahak saking gembiranya.
"Kukira siapa yang memiliki bu kang begitu hebat, tidak tahunya engkau pengemis tua!"
Ternyata Se Khi kenal pengemis tua itu, dan mereka pun tampak begitu akrab.
Sementara pengemis tua itu pun tertawa gelak. Suara tawanya memekakkan telinga.
"Ha ha! tidak sangka kan, keparat Se?"
"Hei! Pengemis tua! Jangan kentut di sini!" tegur Se Khi. "Dirimu sudah begitu bau…..."
"Oh, ya?" Pengemis tua tertawa, kemudian menengok ke sana ke mari seraya bertanya, "Keparat Se, tadi engkau bilang….. majikan muda kalian juga datang di Ting Goan?"
"Kalau tidak, bagaimana mungkin aku membawa Siang Wie (Sepasang Pengawal) dan Pat Kiam jalan bersama?"
"Oh? Di mana majikan muda? Kok aku tidak melihatnya?" pengemis tua tercengang.
"Ha ha! Pengemis bau!" Se Khi tertawa ngakak. "Jangan-jangan sepasang matamu telah lamur!"
"Sialan!" caci pengemis tua sambil melirik kian ke mari, akhirnya sepasang matanya memandang lekat-lekat pada Se Pit Han. "Eh? Engkau…..."
"Pengemis bau!" Se Khi segera mengirim suaranya. "Jangan membongkar jati dirinya!"
"Oh?" Pengemis tua menggaruk-garuk kepala.
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar