Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Jumat, 10 Desember 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 12

Sambungan ...


Bagian ke 12: Berkelebat Sinar Pedang
"Aku tidak berani menjawab?"
Huai Hong tertawa nyaring.
"Aku harus menjawab apa?"
"Tuan muda kalian itu tergolong orang penting dalam bu lim?" sahut orang itu parau.
"Jawabanku tetap seperti tadi."
"Bagaimana jawabanmu tadi, Bocah?"
"Engkau tidak berderajat untuk mengetahuinya."
"Oh?" Orang itu tertawa dingin. "Orang macam apa yang berderajat tahu tentang diri tuan muda kalian itu? Cobalah engkau beritahukan!"
"Percuma aku beritahukan, sebab kalau aku beritahukan, nyalimu pasti langsung pecah!"
"Nyaliku nyali harimau, tidak akan pecah! Nah, Bocah! Katakanlah!"
"Kalau begitu…..." Suara Huai Hong mengalun nyaring menusuk telinga. "Baiklah, aku akan mengatakannya!
Namun engkau harus berdiri tegar dan pasang kuping. Hanya para pimpinan sembilan partai dan ketua perkumpulan pengemis yang berderajat mengetahui siapa tuan muda kami."
Sungguh jumawa ucapan Huai Hong, itu memang dapat memecahkan nyali orang yang mendengarnya.
Namun siapa akan percaya? Begitu pula orang itu, sama sekali tidak percaya akan apa yang dikatakan Huai Hong.
Bukan cuma tidak percaya, bahkan sebaliknya merasa dirinya telah dipermainkannya, sehingga ia menjadi gusar.
"Bocah!" bentaknya sengit dengan wajah bengis. "Engkau berani mempermainkan aku? Hm, engkau memang mau cari mampus!"
"Siapa yang mau cari mampus? Engkau atau aku?" Huai Hong sengaja memanasi hati orang itu, agar cepat-cepat bertarung.
"Bocah…..." Mata orang itu mendelik saking gusarnya.
"Kalau engkau menganggapku mempermainkanmu, terserah." Huai Hong tersenyum dingin.
Kegusaran orang itu telah memuncak, namun entah apa sebabnya, mendadak ia malah jadi tenang.
"Bocah! Aku tidak mau berdebat denganmu! Cepatlah engkau ke dalam dan suruh tuan mudamu menemuiku!"
"Hm!" dengus Huai Hong. "Enak saja engkau omong begitu! Pikirlah baik-baik! Bagaimana derajat tuan muda kami, engkau tidak berderajat bertatap muka dengannya!"
Sungguh mengherankan, orang itu masih bisa bersabar. Kelihatannya ia memang tidak mau berurusan dengan Huai Hong.
"Apa derajat tuan mudamu?"
"Sudah kukatakan dari tadi, engkau tidak berderajat menanyakan itu! Dasar tak tahu diri!"
"Bocah!" Sepasang mata orang itu berapi-api. Ia sudah tidak dapat mengendalikan kegusarannya lagi. Wajahnya berubah beringas sekaligus membentak mengguntur dan bengis. "Engkau mau cari mampus, aku pasti mengabulkannya! Ayoh! Minggir!"
Se Pit Han dan yang lain yang berada di dalam kamar mendengar suara 'Blang' yang amat dahsyat. Rupanya orang itu telah melakukan serangan tangan kosong.
Tidak salah, orang itu memang telah menyerang Huai Hong dengan tangan kosong, itu agar Huai Hong menyingkir. Akan tetapi, Huai Hong justru membalas menyerangnya dengan tangan kosong pula.
Blam!
Dua tenaga saling beradu, itu membuat masing-masing terdorong mundur selangkah. Ternyata lwee kang (tenaga dalam) mereka seimbang.
Meskipun begitu, air muka orang itu telah berubah hebat, dan hatinya pun tersentak kaget.
Padahal Huai Hong baru berusia dua puluhan, sedangkan orang itu berusia enam puluhan, bahkan tergolong orang berkepandaian tinggi dalam lwee kang. Tapi Huai Hong mampu menangkis serangan tangan kosongnya yang mengandung lwee kang tingkat tinggi. Itu sungguh mengejutkan orang itu.
Masih ada empat orang berdiri di belakang orang itu. Ketika menyaksikan kejadian itu, air muka mereka pun langsung berubah. Empat pasang mata mengarah pada Huai Hong dengan terbelalak lebar.
Huai Hong menatap mereka dengan dingin.
"Sekarang kuperingatkan kalian, cepatlah kalian pergi sebelum menemui ajal di sini! Kalau kalian tidak mau pergi, itu berarti kalian cari mati!"
Mereka berlima memang sangat terkejut akan kehebatan lwee kang Huai Hong. Namun karena mereka memikul tugas untuk membunuhnya, maka sebelum berhasil, bagaimana mungkin mereka berlima akan meninggalkan rumah penginapan itu?
"Bocah!" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh. "Tenaga pukulanmu cukup lumayan, tapi tidak akan membuatku mundur! Sebaliknya aku masih ingin mencoba kepandaianmu yang lain!"
Huai Hong tidak menyahut, cuma tersenyum dingin.
"Bocah! Beranikah engkau melawanku dengan senjata?" tanya orang itu menantang dengan jumawa.
Tantangan ini tidak membuat Huai Hong gentar namun ia malah girang karena sesuai dengan keinginan hatinya, ia ingin menjajal ilmu pedang yang telah dipelajarinya.
"Kenapa tidak?" sahut Huai Hong dingin. "Ayoh, cepat cabut senjatamu! Aku sudah siap melayanimu dengan senjata!"
Orang itu tertawa keras, lalu mendadak menggerakkan tangannya. Seketika juga ia telah menggenggam sepasang gelang baja yang bergemerlapan.
"Bocah! Kenapa engkau belum mencabut pedangmu?"
"Silakan engkau menyerang, barulah aku mencabut pedang!" Huai Hong tampak tenang sekali.
Ia berdiri tegak, sepasang matanya menatap orang itu dengan tajam. Kelihatan sangat angkuh, tapi sesungguhnya ia sedang pasang kuda-kuda.
Orang itu pun menatapnya tajam, kemudian tertawa terkekeh-kekeh sambil menggoyang-goyangkan sepasang gelang bajanya.
Trinnng! Terdengar suara yang amat nyaring menusuk telinga.
"Bocah! Terimalah jurusku ini!" bentaknya sambil menyerang Huai Hong secepat kilat dengan jurus Tong Ceng Pa Kou (Membentur lonceng memukul gendang). Serangan itu disertai dengan tenaga dalam yang amat dahsyat.
Sepasang alis Huai Hong terangkat, ia pun tertawa nyaring. Pada waktu bersamaan, ia pun berkelit dengan jurus Hu Tiap Hui Uh (Kupu-kupu menari), sekaligus pula ia mencabut pedangnya. Seketika juga tampak berkelebat sinar yang berkilauan.
Trang! Tring! Suara benturan pedang dengan gelang baja, bunga api pun berpijar.
Dalam waktu sekejap, mereka sudah bertarung belasan jurus. Sepasang gelang baja itu berputar dan melayang ke sana ke mari. Sinar pedang pun berkelebat menyilaukan mata. Mereka masing-masing mengeluarkan jurus-jurus ampuh untuk menjatuhkan lawan.
*
* *
Sementara itu, wajah orang-orang yang berada di dalam kamar tampak serius. Se Pit Han mengerutkan sepasang alisnya.
"Se Khi! Bukankah orang itu Toan Beng Thong?"
Se Khi menggelengkan kepala.
"Suara Toan Beng Thong agak serak, lagi pula tidak memakai senjata itu, maka orang itu bukan Toan Beng Thong."
"Dalam bu lim sekarang, siapa saja yang mahir menggunakan sepasang gelang baja?" tanya Se Pit Han.
Se Khi berpikir sejenak, lalu menjawab sambil menggelengkan kepala.
"Itu….. budak tua tidak begitu jelas."
Se Pit Han diam, sedangkan Se Khi mengarah pada Ouw Yang Seng Tek seraya berkata,
"Pengemis bau, tahukah engkau tentang itu?"
"Aku memang tahu ada beberapa orang yang mahir menggunakan sepasang gelang baja," sahut pengemis tua. "Tapi tidak berani memastikan bahwa itu mereka."
"Paman pengemis!" Se Pit Han menatapnya. "Kira-kira siapa mereka itu?"
"Dulu pernah muncul lima bersaudara yang punya nama busuk dalam bu lim," jawab pengemis tua setelah berpikir sejenak. "Mereka berlima adalah Thai Hang Ngo Sat (Lima penjahat Thai Hang), masing-masing bersenjata sepasang gelang baja. Tapi..... sudah lama mereka menghilang dari kang ouw, sama sekali tiada kabar beritanya lagi."
"Kalau begitu….." sela Siau Liong mendadak. "Kita tidak perlu menerka di dalam kamar, keluar saja biar melihatnya."
"Betul." Pengemis tua mengangguk. "Ayoh! Mari kita ke luar melihat-lihat!"
Pengemis tua langsung bangkit berdiri. Namun ketika ia baru mau mengayunkan kakinya, Se Pit Han berseru menahannya.
"Jangan keluar, Paman!"
"Eh?" Pengemis tua melongo.
Se Pit Han menatap Siau Liong tajam, kemudian menegur dengan nada agak gusar. "Engkau juga sih! Banyak ide!"
"Aku…..." Siau Liong menarik nafas.
"Saudara Hek!" Mendadak wajah Se Pit Han berseri, bahkan tersenyum manis, membuat Siau Liong tertegun dan tidak habis berpikir. Heran? Kenapa saudara Se suka marah-marah, tapi….. ketika tersenyum, wajahnya cantik sekali dan….. tampak agak manja. Kenapa begitu?
"Keponakan!" Pengemis tua tampak tidak senang. "Kenapa aku tidak boleh keluar?"
"Paman pengemis adalah Si Tongkat Sakti, para penjahat pasti pecah nyalinya jika melihat Paman. Maka kalau Paman keluar, bukankah akan mengecewakan Pat Kiam?"
"Kok mengecewakan mereka?" Pengemis tua menggaruk-garuk kepala. "Kenapa begitu?"
"Mereka tiada kesempatan lagi mencoba ilmu pedang yang mereka pelajari." Se Pit Han memberitahukan.
"Oooh!" Pengemis tua manggut-manggut seraya tertawa, "Ternyata begitu!"
"Betul." Se Pit Han mengangguk.
"Baiklah. Paman tidak akan keluar, tidak boleh menampilkan diri sama sekali." Pengemis tua menggeleng-gelengkan kepala, lalu duduk kembali.
Mendadak terdengarlah suara tawa yang nyaring di luar. Se Khi pun manggut-manggut dan tersenyum mendengar suara itu.
"Pengemis bau! Huai Hong telah menang!"
"Ngmm!" Ouw Yang Seng Tek mengangguk.
*
* *
Di luar, orang yang sedang bertarung dengan Huai Hong, semakin lama bertarung ia pun semakin terkejut. Ternyata mereka bertarung sudah lebih dari tiga puluh jurus.
Sementara Huai Hong semakin lama bertarung semakin bersemangat. Mendadak ia berteriak nyaring sekaligus menyerang orang itu dengan jurus Hoa Ih Pian Hun (Warna-Warni Bunga Hujan), yaitu jurus pedang yang amat ampuh.
Jurus itu membuat lawannya terperanjat bukan main. Cepat-cepat ia mengembangkan jurus simpanannya, Hong Khih In Yong (Angin Berhembus Awan Beterbangan) untuk menangkis serangan Huai Hong.
Meskipun itu jurus simpanannya, tetapi tidak mampu juga menghalau jurus pedang Huai Hong yang amat dahsyat itu. Ia merasa dadanya dingin, ternyata dadanya telah tergores pedang, darah pun merembes ke luar. Betapa terkejutnya orang itu, ia langsung melompat mundur sejauh kira-kira delapan langkah.
Huai Hong masih ingat akan pesan Se Pit Han, yakni melarangnya membunuh orang. Maka jurus Hong Khih In Yong itu cuma menggores dada orang tersebut. Padahal sesungguhnya, jurus itu dapat membelah badan lawan.
"Bocah!" Orang itu membentak, wajahnya telah menghijau. "Ilmu pedangmu memang lihay, aku mengaku kalah kali ini! Kita masih bisa bertemu, engkau berhati-hatilah!"
Usai berkata begitu, orang itu pun membalikkan badannya, lalu melangkah pergi dan diikuti keempat temannya.
"Berhenti!" Hardik Huai Hong nyaring.
Orang itu berhenti, lalu menoleh memandang Huai Hong sambil tertawa dingin.
"Bocah! Engkau mau bicara apa?" tanyanya.
"Engkau mau pergi begitu saja?" sahut Huai Hong dingin.
Air muka orang itu berubah, dan menatap Huai Hong sekaligus membentak berang.
"Aku sudah mengaku kalah, engkau masih mau apa?"
"Tidak mau apa-apa! Engkau tidak perlu tegang, hanya saja….. aku belum tahu namamu! Apakah engkau tidak mau memberitahukan namamu?"
"Seandainya aku tidak mau beritahukan?" sahut orang itu bernada menantang.
Huai Hong tertawa dingin, lalu mengarah pada tujuh orang saudara seperguruannya yang berdiri di belakangnya.
"Saudara-saudara, kepung mereka! Kalau tua bangka itu tidak mau beritahukan namanya, janganlah kalian lepaskan mereka! Terpaksa bunuh saja!"
"Ya." sahut ketujuh orang itu serentak. Mereka segera mengambil posisi mengepung kelima orang itu, sekaligus mencabut pedang masing-masing.
Cring! Suara pedang yang keluar dari dalam sarungnya.
Kelima orang itu tersentak, wajah mereka pun berubah. Orang yang bertarung dengan Huai Hong itu, mendadak tertawa keras.
"Bocah! Yakinkah engkau dapat menghadang kami?" tanyanya dingin.
"Yakin!" sahut Huai Hong tanpa ragu.
Orang itu mengerutkan kening, kemudian tertawa terkekeh-kekeh.
"Jangan omong besar, Bocah!" ujarnya menyindir. "Kami berlima......"
"Kalau engkau tidak percaya, boleh coba bertarung lagi! Tapi…..." Huai Hong menatapnya dingin. "Engkau jangan menyesal!"
"He he he!" Orang itu tertawa terkekeh-kekeh lagi. Kelihatannya ia telah lupa akan luka di dadanya. "Tentunya kami ingin mencoba!"
"Baiklah! Silakan!" tantang Huai Hong.
"Serang!" seru orang itu, sekaligus bergerak cepat menyerang keempat penjuru dengan sepasang gelang bajanya.
Keempat temannya juga tidak tinggal diam. Mereka pun menyerang serentak pada tujuh pedang yang berdiri mengepung dengan senjata berupa sepasang gelang baja pula.
Lima pasang gelang baja meluncur cepat bagaikan kilat. Pada waktu bersamaan, terdengarlah bentakan nyaring, sinar pedang pun berkelebat-kelebat. Ternyata Pat Kiam telah menangkis serangan-serangan itu dengan pedang masing-masing.
Trang! Trang! Suara benturan senjata yang amat nyaring memekakkan telinga.
Tui Hong dan Kiam Hong menangkis, kedua saudara seperguruan Huai Hong itu mulai mengembangkan jurus-jurus pedang yang sangat dahsyat.
Lima pasang gelang baja melayang dan meluncur secepat kilat, namun terhalau oleh sinar pedang yang berkelebatan.
Kelima orang itu terkejut bukan main setelah bertarung belasan jurus, sebab hawa pedang sangat menekan, membuat nafas merasa agak sesak. Cepat-cepatlah mereka menghimpun tenaga dalam masing-masing untuk melawan hawa pedang tersebut.
Sementara Pat Kiam bertarung dengan penuh semangat. Jurus demi jurus mereka kembangkan secara dahsyat, sekaligus mengerahkan lwee kang pada pedang masing-masing, sehingga pedang-pedang itu mengeluarkan hawa yang amat menekan pihak lawan.
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar