Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Jumat, 10 Desember 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 9

Sambungan no 8, bagian sembilan ....

Bagian ke 9: Pelangi Seakan Dalam Khayalan
"Tuan Muda, mohon maaf Se Khi bertanya lagi," ujar Se Khi setelah berpikir sejenak. "Kini orang tua itu berada di mana?"
Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. Ia sama sekali tidak mau berterus terang, khawatir jati dirinya akan ketahuan.
"Orang tua itu tidak punya tempat tinggal yang tetap, maka aku pun tidak tahu ia berada di mana sekarang."
Se Khi diam.
Melihat Se Khi diam, Se Pit Han memandang Siau Liong sambil tersenyum.
"Saudara Hek, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu pantas atau tidak mengatakannya."
"Jangan sungkan-sungkan, Saudara Se! Silakan katakan!"
"Saudara Hek!" Se Pit Han tersenyum lembut. "Apa yang akan kukatakan, mungkin akan menusuk perasaanmu. Maka kuharap engkau tidak akan gusar."
"Legakanlah hatimu, Saudara Se!" Siau Liong menarik nafas. "Aku tidak akan gusar, sebab aku tahu, perkataan yang menusuk perasaan justru sangat bermanfaat bagi si pendengar."
"Oh?" Se Pit Han tertawa kecil. "Saudara Hek, sejurus pedangmu itu memang hebat sekali, namun gerakannya agak lamban. Itu disebabkan ilmu tenaga dalammu masih belum begitu mencapa tingkat tinggi."
Siau Liong diam, tapi mendengarkan dengar penuh perhatian.
"Oleh karena itu," tambah Se Pit Han. "Kalau engkau ingin menegakkan keadilan rimba persilatan, harus terus-menerus melatih tenaga dalammu. Urusan lain harus dikesampingkan dulu. Carilah orang tua berkepandaian tinggi rimba persilatan untuk belajar kepandaian. Tentang siapa atasan Toan Beng Thong itu dan kenapa ingin membunuhmu, kelak engkau boleh menyelidikinya."
"Jadi......" Siau Liong menatapnya. "Urusan disudahi begitu saja?"
"Tentu tidak disudahi begitu saja. Meskipun kini engkau ingin menyudahi urusan itu, Toar Beng Thong dan atasannya pasti tidak akan melepaskan dirimu. Untuk sekarang ini, kepandaianmu masih sangat rendah. Seandainya engkau tahu siapa yang ingin membunuhmu, itu juga percuma sebab….. engkau tidak mampu melawan mereka. Maka alangkah baiknya kini engkau menghindar dan bersabar dulu."
Se Pit Han menghentikan ucapannya sejenak dan memandang Siau Liong.
"Asal engkau bisa belajar kepandaian tinggi tentunya kelak tidak sulit cari mereka. Mengena Bun Jiu Kiong itu, juga tiada masalah lagi. Saudara Hek, bagaimana perkataanku ini? Masuk akal tidak?"
"Saudara Se…..." Siau Liong terharu. "Memang benar apa yang kamu katakan, tapi…..."
Siau Liong menatapnya sambil tersenyum getir, itu justru membuat wajah Se Pit Han berubah dingin.
"Jangan bicara plintat plintut! Itu bukan sikap orang jantan." tegur Se Pit Han tidak senang. "Mau bicara apa, cetuskan!"
Siau Liong menarik nafas panjang. "Memang aku berniat belajar kepandaian tinggi, tapi harus ke mana cari orang tua rimba persilatan yang berilmu tinggi?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han menatapnya dengan alis berkerut. "Engkau takut susah?"
"Aku sama sekali tidak takut susah, bahkan mampu memikul kesusahan apa pun."
"Bagus! Bagus!" Wajah Se Pit Han berseri, kelihatannya ia ingin memberi petunjuk pada Siau Liong.
Itu tidak terlepas dari mata Se Khi. Maka ia cepat-cepat mengirim suara ke telinga Se Pit Han. Itu ilmu Coan Im Jip Kip (Penyampai suara) yang hanya dapat didengar oleh orang yang bersangkutan.
"Tuan Muda Istana, budak tua mohon maaf mengingatkan, Tuan Muda Istana harus mempertimbangkan sekali lagi, jangan ceroboh!"
Ternyata Se Pit Han tuan muda istana. Istana apa? Mungkinkah istana lemah lembut itu?
"Se Khi," sahut Se Pit Han. Ia juga menggunakan ilmu penyampai suara. "Bagaimana menurutmu? Dia pemuda baik kan?"
"Pandangan Tuan Muda memang tidak salah, dia memang pemuda baik, bahkan sangat berbakat."
"Kalau begitu......" Se Pit Han tersenyum. "Itu tidak jadi masalah."
Usai berbicara dengan Se Khi, Se Pit Han segera memandang Siau Liong dengan mata berbinar-binar.
"Siau Liong, pernahkah engkau mendengar Cai Hong To (Pulau Pelangi)?" tanyanya dengan suara rendah.
"Cai Hong To?" Sepasang mata Siau Liong menyorot aneh. "Saya pernah mendengar mengenai pulau misteri itu. Kenapa Saudara mendadak menyinggung pulau itu?"
"Tahukah engkau, terletak di mana pulau itu?"
"Lam Hai." Siau Liong menatapnya. "Saudara tahu jelas di mana pulau Cai Hong itu?"
"Aku…..." Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak tahu, tapi…..."
Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya, melainkan menatap Siau Liong dengan penuh perhatian, setelah itu barulah melanjutkan.
"Kebetulan engkau menuju ke Lam Hai, maka alangkah baiknya engkau cari pulau itu juga. Siapa tahu engkau berjodoh dengan pulau itu."
"Terimakasih atas petunjuk Saudara!" ucap Siau Liong hambar. "Setibaku di Lam Hai, aku pasti mencoba mengadu nasib untuk mencari pulau itu."
Siau Liong tampak begitu hambar, pertanda tidak begitu berharap. Se Pit Han tertegun menyaksikannya. Siapa yang mendengar nama Pulau Pelangi pasti akan memperlihatkan wajah serius. Namun sebaliknya Siau Liong malah tampak begitu hambar, sungguh di luar dugaan Se Pit Han.
"Saudara Hek, engkau tampak begitu hambar, apakah tidak tertarik pada Pulau Pelangi ataukah tidak yakin dan tidak punya harapan untuk mencapainya?"
"Terus terang, Pulau Pelangi boleh dikatakan merupakan semacam dongeng dalam kang ouw, maka aku tidak begitu berharap…..."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menatapnya tajam.
"Kalau aku yakin dan sangat berharap, bagaimana seandainya tidak tercapai? Bukankah akan menjadi putus asa?" lanjut Siau Liong. "Aku justru tidak menghendaki itu."
Memang benar apa yang dikatakan Siau Liong, maka Se Pit Han diam saja. Lagi pula ia pun tidak boleh berterus terang pada Siau Liong, hanya sekedar memberi petunjuk saja.
Hening beberapa saat lamanya, kemudian mendadak Se Pit Han mengalihkan pembicaraannya.
"Mungkin tidak lama lagi Toan Beng Thong akan pulang, lebih baik kita segera pergi, agar tidak terjadi keributan di sini."
Se Pit Han bangkit berdiri, kemudian mengarah pada kedua pemuda berbaju hijau yang duduk tak jauh dari situ, setelah itu ia memandang Siau Liong.
"Saudara Hek, mari kita pergi!" ujarnya sambil tersenyum.
Siau Liong tampak ragu, tetapi berselang sesaat ia manggut-manggut sambil bangkit berdiri. Setelah Se Khi menaruh setael perak di atas meja, mereka bertiga lalu meninggalkan rumah makan Si Hai itu.
Kedua pemuda berbaju hijau juga ikut pergi, bahkan mengikuti mereka dari belakang. Siapa kedua pemuda berbaju hijau itu? Kenapa mereka berdua mengikuti Se Pit Han, juga kenapa tadi Se Pit Han mengarah pada mereka berdua?
Itu sungguh mengherankan, bahkan agak luar biasa pula. Namun kalau dijelaskan, itu tidak akan mengherankan maupun luar biasa lagi. Karena kedua pemuda berbaju hijau itu pengawal Se Pit Han. Berhubung Se Pit Han ingin berkenalan dengan Siau Liong, maka ia menyuruh mereka berdua duduk di tempat lain.
Kalau begitu, bagaimana jati diri Se Pit Han? Tentunya berderajat sangat tinggi sebab Se Khi memanggilnya Tuan Muda Istana. Selain Se Khi dan kedua pemuda berbaju hijau, masih ada delapan pemuda yang berilmu tinggi, terutama ilmu pedang.
Keluar dari rumah makan Si Hai, mereka langsung menuju Rumah penginapan Sia Ping. Begitu sampai di rumah penginapan itu Se Pit Han pun memesan beberapa buah kamar.
*
* *
Se Pit Han dan Siau Liong duduk berhadapan di dalam kamar rumah penginapan Sia Ping tersebut. Tampak pula kedua pemuda berbaju hijau berdiri di belakang Se Pit Han.
Kini Se Khi telah melepaskan kedoknya. Ternyata ia seorang tua berusia tujuh puluh limaan yang rambut dan jenggotnya telah putih semua.
"Saudara Se," ujar Siau Liong. "Kita baru berkenalan, namun Saudara sedemikian baik terhadap aku…..."
"Saudara Hek," potong Se Pit Han sambil tersenyum. "Pepatah mengatakan empat penjuru lautan adalah saudara. Itu memang tidak salah. Lagi pula bertemu merupakan jodoh. Kita sudah jadi teman, maka tidak perlu sungkan-sungkan."
Siau Liong manggut-manggut.
"Mulai sekarang," tambah Se Pit Han sungguh-sungguh. "Aku tidak mau dengar ucapanmu yang bernada sungkan lagi. Kalau masih begitu lebih baik kita jangan menjadi teman."
"Baiklah." Siau Liong mengangguk lagi. "Aku menurut, mulai sekarang aku tidak akan sungkan sungkan lagi."
"Bagus." Se Pit Han tertawa kecil. "Saudara Hek, itu sifat jantan seorang pendekar di bu lim."
"Saudara Se, ucapanmu membuatku menjad malu hati." wajah Siau Liong kemerah-merahan.
"Oh, ya?" Se Pit Han menatapnya. "Kalau begitu, engkau harus dihukum."
"Apa?" Siau Liong terbelalak. "Kenapa aku harus dihukum?".
"Karena….. telah menyinggung perasaanku."
"Itu…..." Siau Liong menarik nafas. "Cara bagaimana Saudara menghukumku?"
"Aku akan menghukummu dengan cara......" Se Pit Han tersenyum serius. "Lain kali saja aku akan menghukummu."
"Kenapa harus lain kali?"
"Karena sekarang belum waktunya."
"Baiklah." Siau Liong mengangguk sambil ter senyum. "Lain kali aku pasti menerima hukuman itu."
Se Pit Han tertawa lebar, lalu mengarah pada Se Khi yang duduk tak jauh dari situ.
"Se Khi! Cepat panggil Pat Kiam (Delapan Pedang) ke mari!" ujarnya bernada perintah.
"Ya, budak tua terima perintah," sahut Se Khi hormat. Orang tua itu segera melangkah pergi.
"Saudara Se," tanya Siau Liong heran. "Siapa Pat Kiam itu? Apakah mereka bawahanmu?"
"Mereka ahli pedang didikan ayahku." Se Pit Han memberitahukan.
"Kalau begitu, ilmu pedang mereka pasti tinggi sekali. Ya, kan?" tanya Siau Liong bernada kagum.
Se Pit Han tidak menyahut, hanya manggut-manggut. Sebab kalau ia memberitahukan tentang ilmu pedang delapan orang itu, Siau Liong pasti tidak akan percaya. Karena Se Pit Han diam, maka Siau Liong pun bertanya lagi.
"Saudara Se, bagaimana Pat Kiam dibandingkan dengan Pendekar Pedang Yan San?"
Se Pit Han menatapnya, kemudian balik bertanya.
"Saudara Hek, apakah ilmu pedang Pendekar Pedang Yan San itu sangat tinggi?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Pernahkah engkau menyaksikannya?" tanya Se Pit Han mendadak.
"Tidak pernah, hanya pernah dengar," jawab Siau Liong jujur.
"Ooh!" Se Pit Han manggut-manggut, lalu tertawa mendadak. "Saudara Hek, engkau ingin membuka mata?"
"Maksud Saudara?"
"Dari sini ke Yan San tidak begitu jauh, mari kita ajak Pat Kiam ke sana untuk bertanding! Nah, bukankah engkau bisa membuka mata menyaksikannya?"
Siau Liong menggeleng-gelengkan kepala. "Itu tidak mungkin."
"Kenapa?" tanya Se Pit Han.
Siau Liong menarik nafas panjang seraya menyahut.
"Dengar-dengar Pendekar Pedang Yan San telah mati."
"Oh…..?" Se Pit Han mengernyitkan kening.
Pada waktu bersamaan, di pintu kamar telah muncul Se Khi bersama delapan pemuda yang mengenakan baju biru.
"Lapor pada Tuan Muda!" seru Se Khi hormat. "Pat Kiam sudah datang."
"Masuk!" sahut Se Pit Han serius dan berwibawa.
Se Khi melangkah duluan, delapan pemuda berbaju biru mengikuti dari belakang menghampiri Se Pit Han.
"Pat Kiam memberi hormat pada Tuan Muda!" ucap salah seorang pemuda berbaju biru sambil menjura hormat.
"Ngmm!" Se Pit Han manggut-manggut. "Kalian cepat beri hormat pada Tuan Muda Hek!"
"Pat Kiam memberi hormat pada Tuan Muda Hek!" ucap pemuda berbaju biru itu lagi, ternyata ia pemimpin Pat Kiam.
"Kalian tidak usah berlaku begitu hormat!" Siau Liong salah tingkah.
Setelah memberi hormat pada Siau Liong, Pat Kiam pun berdiri di sisi Se Pit Han, seakan sedang menunggu perintah.
"Kalian ingin mengembangkan kepandaian masing-masing?" tanya Se Pit Han mendadak pada Pat Kiam.
Wajah Pat Kiam tampak berseri, tapi tiada seorang pun berani menjawab. Mereka tetap berdiri mematung di tempat.
"Kenapa kalian diam saja?" tanya Se Pit Han sambil memandang pemimpin Pat Kiam. "Huai Hong, jawablah!"
"Huai Hong memang ingin sekali mengembangkan ilmu pedang yang telah lama dipelajarinya, tapi….. tapi......"
Huai Hong tidak melanjutkan ucapannya, ia tampak ragu.
Se Pit Han malah tersenyum.
"Tapi tiada kesempatan kan?"
"Ya." Huai Hong mengangguk hormat.
"Kalau begitu, aku ingin menyampaikan kabar gembira untuk kalian." Se Pit Han menatap mereka. "Malam ini kemungkinan kalian punya kesempatan itu."
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar