Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Rabu, 08 Desember 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 8

Sambungan ...

Bagian ke 8: Pesan Wasiat Leluhur
Air muka Siau Liong berubah lagi. Ia sungguh terkejut akan ucapan Se Pit Han, sekaligus menatapnya dengan tajam.
"Saudara Se, maksudmu ada orang ingin mencelakaiku secara diam-diam?"
"Itu sih tidak."
"Kalau begitu, apa maksud saudara?"
"Saudara Hek." Se Pit Han tersenyum. "Ketika pedangmu membunuh kedua orang itu, ada orang lain bersembunyi di balik pohon."
"Oh?" Siau Liong terperanjat. "Orang itu juga ingin membunuhku?"
"Tidak salah." Se Pit Han manggut-manggut. "Itu karena engkau turun tangan terlampau sadis."
"Oh?" Siau Liong menarik nafas panjang. "Lalu kenapa orang itu tidak jadi membunuhku?"
"Karena engkau sendiri pun tidak tahu akan kehebatan sejurus pedang itu, juga tidak mau membunuh si Kurus yang ingin mati itu. Bahkan engkau pun memberikannya kuda dan seratus tael perak, itu pertanda engkau berhati bajik dan berbudi luhur. Oleh karena itu, orang tersebut pun berubah pikirannya tidak jadi membunuhmu."
"Oh?" Mata Siau Liong bersinar aneh. "Kok Saudara tahu tentang itu?"
"Karena pada waktu itu, aku juga bersembunyi di balik pohon yang lain." Se Pit Han memberitahukan.
"Jadi…... Saudara kenal orang itu?" tanya Siau Liong agak terbelalak.
"Ya." Se Pit Han mengangguk. "Aku memang kenal orang itu."
"Siapa orang itu?"
"Juga orang yang akan menemuiku di sini."
"Tidak sudikah Saudara memberitahukan namanya?"
"Setelah bertemu nanti, aku pasti memperkenalkannya padamu." Se Pit Han tersenyum, kemudian tanyanya, "Ketika memasuki rumah makan ini, engkau melihat pemiliknya?"
"Aku tidak mengenalnya." Siau Liong menggelengkan kepala. "Orang yang duduk di tempat kasir itu, aku yakin dia bukan pemilik rumah makan ini."
"Memang bukan dia. Sebab dia tidak akan begitu cepat pulang." Se Pit Han memberitahukan dengan wajah serius.
"Oh?" Siau Liong tercengang. "Tahukah saudara dia ke mana?"
"Tentu tahu."
"Dia pergi berbuat apa?"
"Mengejar orang."
Siau Liong tersentak, air mukanya pun tampak tegang.
"Mengejar siapa?"
Se Pit Han tidak segera menjawab, melainkan cuma tersenyum-senyum, berselang sesaat, barulah membuka mulut.
"Kenapa engkau tampak tegang?" tanyanya.
"Itu menyangkut mati hidupnya seseorang, bagaimana aku tidak tegang?" sahut Siau Liong sambil mengerutkan sepasang alisnya.
"Engkau kira dia pergi mengejar Si Kurus?" Se Pit Han tersenyum.
"Apakah bukan?" Diam-diam Siau Liong menarik nafas lega.
"Memang bukan." Se Pit Han tersenyum lagi. "Dia pergi mengejar orang yang ada janji denganku."
"Oh? Mereka berdua punya dendam?"
"Mereka berdua tidak pernah bertemu, bagaimana punya dendam?"
"Kalau begitu, kenapa dia pergi mengejar orang itu?"
"Karena......" Se Pit Han serius. "Orang itu menyamar engkau, sengaja memperlihatkan dirinya agar pemilik rumah makan ini mengejarnya."
"Kenapa dia mau menyamar diriku? Apa alasannya?" tanya Siau Liong heran.
"Alasannya…..." Se Pit Han tersenyum-senyum. "Demi menolong orang."
"Menolong siapa?"
"Menolongmu." Se Pit Han memberitahukan. "Sekaligus menolong si Kurus pula. Engkau mengerti?"
Siau Liong tentu mengerti, orang itu bermaksud baik. Namun ia tidak kenal orang itu. Kenapa orang itu justru menolongnya? Apakah orang itu mempunyai tujuan tertentu di balik kebaikan tersebut? Apa tujuannya? Siau Liong terus berpikir, sedangkan Se Pit Han pun terus menatapnya dengan penuh perhatian.
"Saudara Hek, apa yang sedang engkau pikirkan?" tanya Se Pit Han.
"Ti..... tidak. Aku tidak berpikir apa-apa," jawab Siau Liong sambil menggelengkan kepala.
"Tidak?" Se Pit Han menatapnya dalam-dalam. "Kalau begitu, kenapa engkau melamun?"
"Aku memikirkan teman Saudara itu. Dia menyamar diriku, tentunya usianya belum begitu tua bahkan juga memiliki ilmu silat yang tinggi. Ya, kan?"
"Ilmu silatnya memang tinggi, tapi usianya terpaut jauh dengan usiamu."
"Oh?" Siau Liong tertegun. "Usianya sudah tua sekali?"
"Berapa usiamu sekarang, Saudara Hek?" tanya Se Pit Han mendadak.
"Lima belas, berapa usiamu?"
"Tujuh betas."
"Lalu berapa usia orang itu?"
"Usianya lima kali usiamu."
"Apa?!" Siau Liong terperangah. "Usia orang itu sudah tujuh puluh lima?"
"Engkau tidak percaya?"
"Aku percaya, tapi…..."
"Kenapa?"
"Aku merasa heran, bagaimana orang yang berusia tujuh puluh lima dapat menyamar diriku? Itu….. itu sungguh tak masuk akal."
"Saudara Hek, pernahkah engkau dengar, dalam Rimba Persilatan, terdapat seorang tua yang punya julukan Ceng Pian Kui Bing (Setan Seribu Muka)?"
"Pernah." Siau Liong manggut-manggut. "Orang tua itu memang ahli merias wajah. Dalam sekejap ia mampu merias wajah yang berlainan."
"Betul."
"Apakah dia Ceng Pian Kui Bing?"
"Bukan." Se Pit Han menggelengkan kepala dan melanjutkan, "Dalam sekejap Ceng Pian Kui Bing memang mampu merubah wajahnya menjadi beberapa rupa, tapi itu bukan dengan cara merias wajahnya."
"Oh?" Siau Liong tampak bingung.
"Dia memakai kedok kulit manusia." Se Pit Han memberitahukan.
"Kalau begitu, orang tua yang menyamar diriku, juga memakai kedok kulit manusia?"
"Ya." Se Pit Han mengangguk, kemudian menatapnya tajam seraya bertanya, "Saudara Hek, barusan engkau sedang memikirkan persoalan ini?"
Sungguh lihay Se Pit Han. Walau sudah membicarakan lain, akhirnya tetap kembali pada pokok pembicaraan.
"Jadi Saudara masih tidak percaya padaku?"
"Aku memang kurang percaya, maka…..." Wajah Se Pit Han berubah dingin. "Saudara Hek, jadi teman haruslah jujur. Kalau punya kesulitan untuk membuka mulut pada orang lain, itu masih bisa dimaklumi. Tapi seandainya….."
Walau Se Pit Han tidak melanjutkan ucapannya, Siau Liong sudah tahu apa kelanjutan ucapan itu, maka wajahnya tampak kemerah-merahan.
"Saudara Se, bolehkah aku mohon tanya beberapa persoalan?"
"Silakan tanya, Saudara Hek!"
"Maaf!" ucap Siau Liong dan bertanya, "Apakah saudara Se seorang bu lim?"
"Boleh dibilang ya, boleh juga dibilang tidak."
"Eh?" Siau Liong melongo. "Aku tidak mengerti, mohon dijelaskan!"
"Keluargaku memang terhitung keluarga bu lim, namun ratusan tahun hingga kini, tiada salah satu anggota keluarga menginjak ke dalam bu lim, bahkan tidak mau tahu tentang urusan bu lim."
"Oh?" Siau Liong terbelalak. "Lalu bagaimana selanjutnya? Saudara Se juga tidak berniat terjun ke dalam bu lim?"
"Itu pesan wasiat leluhur, maka semua keturunan dilarang terjun ke bu lim, juga tidak boleh tahu menahu tentang urusan itu. Tentunya aku tidak boleh melanggar pesan wasiat itu."
"Seandainya ada orang bu lim, cari gara-gara dengan Saudara, apakah Saudara akan tinggal diam?"
"Itu sudah lain," sahut Se Pit Han.
"Saudara Se." Siau Liong tersenyum. "Aku bertanya lagi, orang tua yang menyamar diriku, apakah teman atau masih terhitung anggota keluarga Saudara?"
"Dia jongos tua tiga turunan keluargaku."
"Kalau begitu, orang tua itu terhitung anggota keluarga Saudara?"
Se Pit Han berotak cerdas, ia sudah tahu maksud tujuan pertanyaan Siau Liong, maka ia pun tersenyum.
"Walau dia terhitung salah seorang anggota keluargaku, di luar pesan wasiat leluhur. Oleh karena itu, dia boleh bergerak dalam bu lim.
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut mengerti. "Kalau begitu, dia menyamar diriku itu rencana Saudara?"
"Benar." Se Pit Han mengangguk. "Itu memang rencanaku."
"Saudara Se." Siau Liong menatapnya. "Kenapa engkau mau turut campur dalam urusan itu?"
"Apakah aku tidak harus turut campur?" tanya Se Pit Han.
"Aku justru tidak mengerti, kenapa Saudara mau turut campur?" sahut Siau Liong sambil menatapnya tajam.
"Jadi......" Wajah Se Pit Han berubah dingin. "Engkau bercuriga aku punya maksud tujuan tertentu?"
Siau Liong tertawa ringan mendadak.
"Aku sudah berkata jujur, maka Saudara jangan mencurigaiku lagi!" ujarnya.
Se Pit Han tertegun, ia menatap Siau Liong dengan mata terbeliak.
"Apakah engkau berkata secara jujur?" Se Pit Han tampak bingung.
"Bukankah Saudara ingin tahu apa yang kupikirkan tadi'?" sahut Siau Liong sambil tersenyum-senyum.
"Eh?" Mulut Se Pit Han ternganga lebar. "Kapan engkau menjawab pertanyaanku tadi secara jujur?"
"Barusan."
"Barusan?" Se Pit Han bertambah bingung, ia menatap Siau Liong dengan mata terbelalak lebar.
"Bukankah barusan Saudara sendiri telah mewakiliku menjawab pertanyaan itu?" Siau Liong tersenyum lagi.
"Apa?!" Se Pit Han mengerutkan sepasang alisnya. "Barusan aku mewakilimu menjawab pertanyaan itu?"
"Ya." Siau Liong mengangguk.
"Maksudmu….." Se Pit Han manggut-manggut, kelihatannya ia telah menyadari suatu hal.
Pada waktu bersamaan, mendadak muncul seorang pemuda berbaju hitam menghampiri Se Pit Han. Begitu melihat pemuda tersebut, Se Pit Han langsung diam, sedangkan pemuda berbaju hitam itu memberi hormat padanya.
"Menghadap pada Kong Cu (Tuan muda)!" ucap pemuda berbaju hitam sambil menjura dengan badan membungkuk.
"Tidak usah berlaku hormat!" sahut Se Pit Han sambil tersenyum. "Cepatlah engkau memberi hormat pada Tuan Muda Hek!"
Pemuda berbaju hitam segera memberi hormat pada Siau Liong. Ia membungkukkan badannya sambil menjura.
"Se Khi memberi hormat pada Kong Cu!" ucapnya.
"Tidak usah memberi hormat. Namaku Siau Liong, cukup panggil namaku saja," sahut Siau Liong sekaligus membalas memberi hormat pada pemuda berbaju hitam itu.
"Se Khi!" Se Pit Han tersenyum. "Duduklah!"
"Se Khi tidak berani," ujar pemuda berbaju hitam. "Se Khi berdiri saja."
Se Pit Han mengerutkan kening, lalu tegasnya.
"Kita berada di luar, bukan di dalam rumah. Engkau harus duduk, Tuan Muda Hek ingin mengajukan beberapa pertanyaan padamu."
"Ya." Se Khi memberi hormat lagi, kemudian duduk.
"Se Khi." Se Pit Han tersenyum. "Bagaimana dengan tugasmu itu."
"Sesuai dengan rencana Tuan Muda," jawab Se Khi hormat.
"Ceritakanlah!"
"Ya." Se Khi mengangguk. "Se Khi memancingnya keluar sampai belasan li. Setelah tiba di tanah perkuburan, barulah Se Khi menghadapinya. Semula Se Khi mengira dia memiliki ilmu silat tinggi, tidak tahunya......" Se Khi tertawa dan melanjutkan, "Kepandaiannya sangat rendah. Tidak sampai tiga jurus, Se Khi telah menotok jalan darahnya sehingga dia terkulai."
Betapa terkejutnya Siau Liong mendengar keterangan Se Khi. Walau ia tidak tahu berapa tinggi kepandaian Thi Sui Phoa Toan Beng Thong, orang tersebut pernah menggetarkan kang ouw, itu pertanda memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun justru roboh di tangan Se Khi dalam tiga jurus. Dapat dibayangkan, betapa tingginya kepandaian Se Khi.
"Se Khi." Se Pit Han tersenyum. "Jalan darah apa yang engkau totok?"
"Jalan darah tidur."
"Dengan jurus apa engkau menotoknya?"
"Dengan jurus yang biasa." Se Khi memberitahukan. "Satu jam kemudian dia akan mendusin sendiri."
"Emmh!" Se Pit Han manggut-manggut.
Pada waktu bersamaan, mendadak Siau Liong bangkit berdiri, lalu menjura pada Se Pit Han.
"Maaf! Aku mau mohon diri!" ujarnya.
Se Pit Han tertegun kemudian tanyanya heran.
"Saudara Hek, engkau mau ke mana?"
"Aku sudah merasa capek, ingin segera beristirahat di rumah penginapan," jawab Siau Liong memberitahukan.
"Saudara Hek." Se Pit Han menatapnya tajam. "Benarkah engkau ingin beristirahat di rumah penginapan?"
"Benar." Siau Liong mengangguk. "Aku sungguh sudah capek."
Walau mulut berkata demikian, Siau Liong merasa tidak enak dalam hati dan membatin. Maaf Saudara, aku telah berdusta!
Se Pit Han juga bangkit berdiri.
"Kalau begitu, mari kita pergi cari rumah penginapan!" ujarnya lembut sambil tersenyum.
Ini sungguh di luar dugaan Siau Liong, tidak heran kalau ia tertegun.
"Saudara ingin bersamaku pergi cari rumah penginapan?"
"Kenapa?" Wajah Se Pit Han berubah dingin. "Tidak boleh ya? Engkau sebal padaku?"
"Eeeh?" Siau Liong melongo. "Bagaimana mungkin aku sebal padamu, saudara Se?"
"Kalau begitu, kenapa engkau tampak tidak senang kuikuti?" tanya Se Pit Han dingin.
"Aku bukan tidak senang, melainkan..... melainkan…..." Siau Liong tidak melanjutkan ucapannya. Karena gugup wajahnya menjadi kemerah-merahan.
"Duduklah, saudara Hek," Se Pit Han tersenyum.
Apa boleh buat, Siau Liong terpaksa duduk kembali.
Se Pit Han menatapnya, kemudian tersenyum lagi.
"Saudara Hek, engkau mau ke mana? Jujurlah!"
Mendadak Siau Liong tersenyum getir, kemudian menarik nafas panjang.
"Saudara Se, engkau sudah tahu kok masih bertanya?"
"Saudara Hek!" Se Pit Han serius. "Beritahukan padaku, mau apa engkau pergi mencarinya?"
"Aku ingin bertanya padanya, siapa yang memerintah dia untuk membunuhku."
"Saudara Hek!" Se Pit Han menggeleng-gelengkan kepala. "Engkau pikir dia akan memberitahukan padamu?"
"Dia tidak mau beritahukan juga harus beritahukan." sahut Siau Liong yakin.
"Engkau akan mengancamnya dengan nyawanya itu?" tanya Se Pit Han sambil menatapnya dalam-dalam.
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Aku memang bermaksud begitu."
"Engkau pikir dia bisa diancam?"
"Kenapa tidak?"
"Engkau percaya kepandaianmu lebih tinggi dari dia?"
"Kalau bertarung, aku memang bukan lawannya." Siau Liong memberitahukan secara jujur. "Akan tetapi, kini dia…..."
"Dia masih tertidur lantaran jalan darah tidurnya tertotok?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Maka aku akan menotok lumpuh dirinya, barulah membuka jalan darah tidurnya, agar dia mendusin."
"Cara itu memang baik, namun…..." Se Pit Han tersenyum. "Dari sini ke sana, saudara telah memperhitungkan waktunya?"
Siau Liong tertegun, kemudian menjura pada Se Pit Han.
"Terimakasih atas petunjuk Saudara, aku memang ceroboh," ujarnya dengan wajah agak kemerah-merahan.
"Ohya!" Se Pit Han menatapnya. "Engkau masih ingin bertanya apa padanya?"
"Tentang Bun Jiu Kiong," jawab Siau Liong jujur. "Bun Jiu Kiong itu berada di mana?"
Sepasang mata Se Pit Han menyorot aneh, lalu tanyanya dengan suara dalam.
"Mau apa engkau menanyakan tentang Bun Jiu Kiong?"
"Aku ingin berkunjung ke sana."
"Berkunjung ke sana?" Wajah Se Pit Han langsung berubah dingin. "Ingin berlemah lembut di Bun Jiu Kiong itu?"
Wajah Siau Liong memerah, dan cepat-cepat menggelengkan kepala.
"Jangan salah paham, Saudara Se! Aku tidak bermaksud begitu."
"Hm!" dengus Se Pit Han dingin. "Lalu bermaksud apa?"
"Kalau benar Bun Jiu Kiong itu merupakan tempat yang bukan-bukan, maka aku ingin menghancurkannya."
"Oooh!" Wajah Se Pit Han kembali seperti biasa. "Engkau punya kekuatan itu?"
"Aku memang tidak punya kekuatan itu, tapi…..."
"Bukankah masih ada aku dan Se Khi? Ya, kan?"
"Saudara Se......" Siau Liong menggelengkan kepala. "Aku sama sekali tidak berniat minta bantuan kalian berdua."
"Jadi......" Se Pit Han menatapnya dingin. "Engkau ingin pergi seorang diri?"
"Apakah tidak boleh?"
"Aku tanya, berdasarkan apa engkau ke sana? Kepandaian atau keberanian?"
"Tidak berdasarkan apa pun." sahut Siau Liong dan menambahkan dengan nada tegas, "Hanya berdasarkan Bu Lim Cia Khi (Keadilan rimba persilatan)."
Se Pit Han menatapnya kagum, namun sepasang matanya justru menyorot dingin.
"Tidak salah. Berdasarkan keadilan rimba persilatan, tentunya akan menggemparkan rimba persilatan pula. Tapi…..."
"Kenapa?"
"Saudara Hek, tahukah engkau siapa yang ingin menegakkan keadilan rimba persilatan, dia harus memiliki kepandaian tinggi, barulah dapat melaksanakannya."
"Aku mengerti itu, namun….. aku percaya diri."
Betapa angkuhnya ucapan Siau Liong, siapa yang mendengar pasti tidak senang, bahkan mungkin akan mentertawakannya.
Akan tetapi, Se Pit Han justru tidak, sebaliknya ia malah menatap Siau Liong dengan kagum.
"Saudara yang baik, aku memang tidak salah melihat dirimu. Meskipun ucapanmu itu agak angkuh, aku tetap kagum padamu. Tapi engkau tahu kepandaianmu masih rendah, seharusnya engkau giat belajar kepandaian yang tinggi, carilah bu lim ko ciu (orang berkepandaian tinggi rimba persilatan) untuk belajar kepandaian yang tinggi."
Siau Liong diam, tak menyahut.
Mendadak Se Pit Han teringat sesuatu.
"Saudara Hek, aku masih belum tahu siapa suhu (guru) mu. Bolehkah engkau memberitahukan?"
"Siaute tidak punya guru."
"Kalau begitu, kepandaianmu berasal dari keluarga?"
Siau Liong mengangguk.
"Tuan Muda Hek." sela Se Khi mendadak. "Bolehkah Se Khi mengajukan satu pertanyaan?"
"Boleh. Silakan!"
"Apakah sejurus pedang itu juga berasal dari keluarga?" Ternyata ini yang ditanyakan Se Khi.
Siau Liong menggelengkan kepala.
"Bukan, melainkan Bu Beng Lo jin yang mengajar padaku."
"Tuan Muda tidak tahu nama orang tua itu?" tanya Se Khi heran.
"Kalau aku tahu, tentunya tidak akan menyebutnya Bu Beng Lo jin lagi."
"Emmh!" Se Khi manggut-manggut. "Ohya, apakah nama jurus pedang itu?"
"Sudah berkali-kali aku bertanya pada orang tua itu, tapi dia tidak mau beritahukan, hanya bilang kelak aku akan mengetahuinya."
"Cuma sejurus saja?"
"Ya." Siau Liong mengangguk. "Memang cuma sejurus."
"Se Khi," tanya Se Pit Han mendadak. "Engkau kenal jurus pedang itu?"
"Se Khi cuma mendengar," jawab Se Khi hormat. "Namun kini belum berani memastikan."
"Oooh!" Se Pit Han manggut-manggut.
Se Khi mengarah pada Siau Liong seraya bertanya.
"Orang tua itu tidak mengajarkan ilmu lain pada Tuan Muda?"
Tergerak hati Siau Liong, namun ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak," jawabnya.
Siau Liong berdusta. Ia memang harus berdusta demi menutupi jati dirinya.
Se Khi memakai kedok kulit manusia, maka orang lain tidak dapat melihat bagaimana air mukanya. Namun sepasang matanya penuh diliputi keheranan, pertanda ia sedang memikirkan sesuatu.
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar