Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Minggu, 05 Desember 2010

Panji Sakti - Khu Lung - Bagian 7

Sambungan ...

Bagian ke 7: Rumah Makan Empat Lautan
Kini Siau Liong sudah mengerti, apa sebabnya Si Kurus ingin mati, bahkan tahu tentang Bun Jiu Kiong. Sungguh lihay atasan tersebut memperalat pada bawahan dengan imbalan berupa gadis cantik. Bawahan mana yang tidak akan tergiur dan mati-matian melaksanakan perintah atasan itu? Kelemahan kaum lelaki memang terletak di situ, maka atasan tersebut memikat para bawahan dengan cara itu.
"Tahukah engkau di mana Istana Lemah Lembut itu?" tanya Siau Liong mendadak.
Si Kurus menggelengkan kepala.
"Aku tidak tahu, bahkan yang pernah ke sana pun tidak tahu di mana letak Bun Jiu Kiong itu." jawabnya jujur.
"Kok begitu?"
"Karena Bun Jiu Kiong itu berada di tempat yang rahasia. Siapa yang ke sana, harus di tutup matanya dengan kain, ada orang mengantar ke tempat itu. Keluar pun begitu, mata harus di tutup juga. Maka siapa pun yang pernah ke Bun Jiu Kiong itu, sama sekali tidak tahu tempatnya."
"Oooh!" Siau Liong manggut-manggut. Ia percaya akan apa yang dikatakan Si Kurus, kemudian mengalihkan pembicaraan. "Walau engkau tidak bisa pulang ke sana, menurutku, engkau pun tidak perlu mati."
"Itu tidak mungkin." Si Kurus tertawa sedih. "Apakah siau hiap punya akal untuk mengatasinya?"
Siau Liong mengangguk.
"Aku punya akal."
Sepasang mata Si Kurus tampak berbinar.
"Bagaimana akal siau hiap?" tanyanya penuh harap.
"Sekarang aku bertanya dulu, apakah engkau mau pulang ke sana?"
"Maksud siau hiaup......" Si Kurus dapat menduganya. "Menyuruhku jangan pulang ke sana?"
"Betul." Siau Liong tersenyum. "Engkau boleh pergi begitu saja."
Si Kurus tersenyum getir, dan tampak putus asa.
"Aku bisa ke mana?"
Siau Liong mengerutkan kening.
"Bumi begitu luas, tentunya engkau dapat menyembunyikan diri," ujarnya.
"Tidak salah kata siau hiap, tapi…..." Si Kurus menarik nafas panjang, sesaat baru melanjutkan ucapannya. "Kalau aku bisa kabur, tentunya tidak mau mati dan sudah kabur."
"Jadi..... engkau tidak bisa kabur?"
"Kini lenganku telah putus, dan masih dalam keadaan terluka. Lagi pula aku pun tidak punya uang, tenagaku juga telah berkurang karena terluka. Dengan sepasang kakiku ini, dapat kabur berapa jauh? Tidak sampai tiga puluh li, Toan Beng Thong pasti menyuruh orang untuk mengejarku, dan begitu tertangkap, aku pasti dihukum mati."
Apa yang dikatakan Si Kurus memang masuk akal. Maka Siau Liong mengerutkan kening sambil berpikir, setelah itu, ia pun mengambil suatu keputusan.
"Karena secara tidak sengaja aku telah membunuh kedua saudara angkatmu, itu membuat aku merasa tidak enak hati. Oleh karena itu, kuda yang kutunggangi itu, kuberikan padamu. Aku bawa ratusan tael perak, kita bagi dua, jadi engkau bisa pergi sejauh-jauhnya."
Usai berkata begitu, Siau Liong segera membuka buntalan bajunya. Diambilnya seratus lima puluh tael perak dan diberikannya kepada Si Kurus.
"Cepatlah engkau naik ke punggung kuda! Mengenai mayat kedua saudara angkatmu itu, aku akan menyuruh penduduk sini untuk menguburnya."
Ini sungguh di luar dugaan Si Kurus. Ia sama sekali tidak menyangka Siau Liong begitu baik hati. Betapa gembira hatinya dan terharu.
"Kalau begitu, bagaimana dengan siau hiap bukankah harus berjalan kaki?"
Siau Liong tersenyum lembut.
"Itu tidak apa-apa. Dari sini ke kota Ling Ni sudah tidak begitu jauh, malam ini aku bisa sampai di sana dan membeli seekor kuda."
"Haah?" Si Kurus terbelalak. "Siau hiap mau ke kota Ling Ni?"
"Ya. Aku mau ke Rumah makan Si Hai untuk menemui Toan Beng Thong. Aku mau memberitahukan kepadanya bahwa aku telah membunuh kalian.
"Siau Hiap!" Si Kurus terkejut bukan main. "Sebaliknya Siau hiap jangan ke sana."
"Aku tahu maksud baikmu." Siau Liong tersenyum. "Engkau takut aku mengantar diri ke mulut harimau, kan?"
"Betul." Si Kurus mengangguk. "Siau Hiap harus tahu, selain Toan Beng Thong di rumah makan itu masih ada yang lain yang memiliki ilmu silat tinggi. Kalau Siau Hiap ke sana, itu amat membahayakan."
Siau Liong tidak merasa gentar, ia cuma tersenyum hambar.
"Terima kasih atas peringatanmu! Namun engkau boleh berlega hati, aku tidak akan bertindak ceroboh."
"Tapi......"
"Sampai jumpa!" ucap Siau Liong sambil menjura, kemudian mendadak ia melompat pergi dengan ilmu meringankan tubuhnya. Dalam sekejap ia telah hilang dari pandangan Si Kurus.
"Dalam bu lim (rimba persilatan) akan muncul seorang pendekar budiman." gumam si Kurus, lalu melompat ke atas punggung kuda.
*
* *
Hari sudah malam. Di kota Ling Ni telah muncul seorang pemuda ganteng. Ia mengenakan baju hitam, dan tangannya menjinjing sebuah buntalan baju.
Siapa pemuda itu? Tidak lain Siau Liong. Ia melangkah perlahan menuju rumah makan Si Hai. Di dalam rumah makan itu telah penuh para tamu. Para pelayan sibuk melayani tamu yang memesan makanan dan minuman.
Tidak heran, ketika Siau Liong memasuki rumah makan itu, tiada seorang pelayan pun meladeninya.
Siau Liong menengok ke sana ke mari, tiada meja yang kosong. Akhirnya matanya mengarah ke sebuah meja. Di situ tampak seorang pemuda berbaju ungu duduk seorang diri.
Pemuda itu ganteng bukan main. Siau Liong sudah ganteng, namun masih kalah ganteng dibandingkan dengan pemuda itu. Walau pemuda itu duduk seorang diri, di atas meja justru tersedia dua buah cangkir, itu pertanda dia sedang menunggu temannya.
Tampak seorang pelayan mendekati Siau Liong dengan sikap hormat sambil tersenyum.
"Maaf, kong cu ya (Tuan terpelajar), semua tempat telah penuh…..."
Sebelum pelayan itu menyelesaikan ucapannya, pemuda baju ungu itu bangkit berdiri, lalu menjura pada Siau Liong.
"Semua tempat duduk di rumah makan ini telah penuh, kalau Saudara tidak merasa enggan, silakan duduk bersama di sini! Bagaimana?"
Ucapan tersebut membuat pelayan itu sangat girang. Ia segera menyahut dengan wajah berseri.
"Ini sungguh baik sekali! Silakan Tuan duduk di sini saja!"
Siau Liong manggut-manggut, lalu memandang pemuda berbaju ungu itu seraya berkata dengan sopan.
"Bukankah Saudara sedang menunggu teman? Itu rasanya kurang leluasa."
Pemuda berbaju ungu menggeleng kepala, kemudian tersenyum.
"Tidak apa-apa. Waktu yang dijanjikan, telah lewat, temanku mungkin ada urusan, dia tidak akan ke mari. Aku duduk seorang diri, bagaimana kalau kita bersama sambil mengobrol? Saudara, mari silakan duduk!"
Ucapan pemuda berbaju ungu itu sangat sopan dan ramah, Siau Liong merasa tidak enak apabila menolaknya.
"Terima kasih atas kebaikan saudara!" Siau Liong menjura. "Kalau begitu, aku akan duduk di sini."
"Jangan sungkan-sungkan!" Pemuda berbaju ungu tersenyum lembut.
Mereka lalu duduk. Pemuda berbaju ungu segera menjulurkan tangannya untuk mengambil botol arak.
Ketika melihat tangan pemuda berbaju ungu itu, Siau Liong tertegun dan membatin. Sungguh halus, mulus dan indah tangannya!
Tidak salah, pemuda berbaju ungu itu memiliki tangan yang amat halus, mulus dan indah, terutama jari tangannya, lebih indah dari jari tangan anak gadis.
Karena melihat Siau Liong sedang menatap tangannya, seketika juga wajah pemuda berbaju ungu itu tampak kemerah-merahan. Mengherankan sekali kan?
"Saudara," ujar pemuda berbaju ungu sambil menuang arak ke dalam cangkir Siau Liong. "Aku menghormatimu dengan secangkir arak ini."
"Terima kasih! Seharusnya aku yang harus menghormati saudara dengan secangkir arak." Siau Liong mengangkat minuman itu dengan sikap menghormat pada pemuda berbaju ungu. "Mari kita minum!"
"Terima kasih!" sahut pemuda berbaju ungu sambil tersenyum lembut.
Usai meneguk arak itu, pemuda berbaju ungu menaruh cangkirnya.
"Bolehkah aku tahu nama saudara?" tanyanya.
"Aku bernama Hek Siau Liong. Selanjutnya aku mohon saudara banyak-banyak memberi petunjuk."
"Oooh!" Pemuda berhaju ungu manggut-manggut. "Saudara jangan terlampau merendah diri!"
"Ohya, bolehkah aku tahu nama saudara?"
"Namaku Se Pit Han."
"Ternyata Saudara Se. Aku merasa senang sekali hari ini bisa berkenalan dengan saudara.
"Oh, ya?" Se Pit Han tersenyum lembut.
"Aku berkata sesungguhnya. Saudara Se memang pemuda yang baik hati, sopan dan ramah tamah…..."
"Sudah! Sudahlah!" Se Pit Han menggoyang-goyangkan tangannya.
"Saudara Hek, engkau memang pandai berbicara, aku percaya engkau berkata sesungguhnya."
Apa yang diucapkan Se Pit Han, membuat dua orang pemuda yang duduk tak jauh dari tempat itu tersenyum aneh. Kedua pemuda itu mengenakan baju hijau.
Siapa kedua pemuda berbaju hijau itu? Kenapa ucapan Se Pit Han membuat mereka berdua tersenyum aneh?
Selain mereka berdua, orang lain tidak akan mengetahuinya. Tidaklah demikian. Seharusnya masih ada seseorang yang tahu. Orang tersebut tidak lain Se Pit Han sendiri. Akan tetapi, saat ini Se Pit Han sedang menatap Siau Liong dengan penuh perhatian, sama sekali tidak melihat kedua pemuda baju hijau itu tersenyum aneh. Seandainya Se Pit Han melihat, dia pasti…..
Siau Liong tersenyum-senyum, kemudian mendadak mengalihkan pembicaraan.
"Logat saudara Se kedengarannya bukan orang utara. Di mana kampung halaman Saudara Se?"
"Kampung halamanku di Lam Hai."
Hati Siau Liong tersentak, namun sepasang matanya berbinar-binar.
"Saudara Se berasal dari Lam Hai?" tanyanya penuh perhatian.
Se Pit Han manggut-manggut sambil tersenyum, lalu tanyanya dengan wajah tampak heran.
"Kenapa Saudara Hek tersentak? Adakah suatu urusan?"
Siau Liong bersikap tenang, ia menggeleng-geleng kepala.
"Tidak ada urusan apa-apa."
"Saudara Hek," ujar Se Pit Han sambil menatapnya. "Engkau sudi berteman denganku?"
"Saudara Se, engkau baik, sopan dan ramah tamah….."
"Jangan bicara itu!" tandas Se Pit Han dingin. "Engkau cukup menjawab pertanyaanku. Engkau sudi berteman denganku?"
"Tentu," jawab Siau Liong cepat.
Seketika itu juga wajah Se Pit Han berseri dan suaranya pun berubah lembut.
"Kalau begitu, kenapa engkau tidak mau berkata sesungguhnya?"
Pertanyaan itu membuat Siau Liong melongo, ia memandang Se Pit Han dengan heran.
"Mana aku tidak berkata sesungguhnya?"
Mendadak Se Pit Han tertawa dingin.
"Begitu menyinggung Lam Hai, air mukamu langsung berubah. Itu pertanda di dalam benakmu terdapat suatu urusan, tetapi justru bilang tidak ada urusan apa-apa. Apakah ini engkau berkata sesungguhnya?"
"Ini…..." Siau Liong tergagap.
"Bagaimana?" Sepasang alis Se Pit Han terangkat.
Aku......" ujar Siau Liong perlahan. "Aku memang sedang menuju Lam Hai."
"Oh?" Se Pit Han menatapnya dalam-dalam. "Ada urusan apa engkau pergi ke Lam Hai?"
"Bolehkah sementara ini Saudara tidak menanyakan tentang itu?" Siau Liong mengerutkan kening.
"Mengapa? Engkau punya kesulitan untuk memberitahukan?" Se Pit Han tampak penasaran.
Siau Liong mengangguk.
"Benar. Maka aku mohon maaf padamu."
"Karena engkau punya kesulitan, aku tidak akan bertanya lagi," ujar Se Pit Han, lalu mengalihkan pembicaraan bernada teguran. "Saudara Hek, engkau sungguh berani!"
"Lho, kenapa?" Siau Liong bingung. "Kenapa saudara mengatakan begitu?"
Tiba-tiba wajah Se Pit Han berubah, ia menatap Siau Liong serius seraya berkata dengan suara rendah.
"Saudara Hek, engkau sungguh tidak mengerti atau sengaja berpura-pura?"
"Aku sama sekali tidak tahu maksud Saudara, maka tidak berpura-pura." Siau Liong tampak sungguh-sungguh.
Se Pit Han percaya, bahwa Siau Liong tidak berpura-pura, wajahnya berseri lagi.
"Saudara Hek, aku bertanya padamu, tahukah engkau tempat apa ini?"
"Si Hai Ciu Lau."
"Tahukah siapa pemilik rumah makan ini?" tanya Se Pit Han merendahkan suaranya.
"Tahu," jawab Siau Liong dan tersentak dalam hati.
"Kalau tahu, kenapa masih menempuh bahaya untuk ke mari?" tanya Se Pit Han bernada dingin.
"Eh? Saudara Se…..." Air muka Siau Liong berubah, bahkan matanya pun terbelalak lebar.
"Apa yang kumaksudkan, engkau sudah paham?" tanya Se Pit Han dingin.
Siau Liong berlaku tenang, ia manggut-manggut.
"Aku paham. Namun masih ada yang kurang kupahami. Sudikah saudara menjelaskan?"
"Apa yang tidak engkau pahami?" Se Pit Han menatapnya. "Beritahukanlah!"
"Saudara kok tahu urusan ini?"
"Saudara Hek," jawab Se Pit Han mengejutkan. "Engkau nyaris mati! Tahu?"
*
* *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar