BAB 3
Lama setelah keributan
kedatangan bayi mereda, dan seluruh sisa keluarga itu pergi tidur, ibu itu
tetap terjaga sambil membopong bayi. Helena Koskiewicz percaya akan kehidupan.
Dan ia telah membuktikannya dengan melahirkan 6 orang anak. Walaupun ia kehilangan
tiga anak selagi kecil, tapi tak ada satupun yang dilepaskannya dengan mudah.
Kini dalam usia 35 tahun
ia tahu bahwa suaminya Jasio, yang dahulu sangat bergairah, tidak akan memberinya
anak lagi. Tuhan telah memberikannya bayi ini. Sudah barang tentu dimaksudkan
supaya dapat hidup. Helena selalu memiliki iman sederhana. Memang baik begitu.
Sebab nasib tak akan
memberinya lebih daripada hidup sederhana. Ia beruban dan kurus. Bukan karena memang
menghendaki demikian, tetapi karena kekurangan makan. Kerja keras dan tak ada
uang sisa. Tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mengeluh. Tapi
garis-garis di wajahnya lebih menunjukkan wajah nenek daripada wajah seorang
ibu di dunia jaman sekarang. Seumur hidup ia tidak pernah mengenakan pakaian
baru satu kali pun.
Helena memijit-mijit buah
dadanya begitu keras hingga bintik-bintik merah muncul di sekitar punting. Susu
mulai menetes ke luar. Pada usia 35, setelah menjalani kontrak hidup, kita
semua memiliki sekeping pengalaman berguna yang dapat kita wariskan. Dan Helena
Koskiewicz kini sedang memberikan premi.
"Si kecil milik
Matka," bisik Helena lembut kepada bayi mungil itu. Dan memasukkan punting
susu ke dalam mulut kecil. Mata biru terbuka. Dan hidung bayi mengeluarkan
bintik-bintik keringat ketika ia berusaha menyedotnya. Akhirnya tak terasa ibu
itu nyenyak.
Jasio Koskiewicz,
seseorang gempal dan tegap dengan kumis lebat. Itulah satu-satunya tanda pernyataan
kediriannya. Sedang keberadaannya pada hakikatnya hanyalah seorang pelayan. Ia
mendapati mendapati isteri dan si bayi tertidur di kursi goyang, ketika ia bangun
pada pukul lima pagi.
Ia tidak mengetahui
ketidakhadiran isterinya diranjang malam itu. Ia memandang kepada si orok yangg,
syukur alhamdulillah, telah berhenti merengek. Ape si orok sudah mati? Jalan
paling mudah bagi Jasio dalam dilema itu ialah pergi bekerja. Tanpa mengurusi
orok yang nekat memasuki hidupnya. Biar isterinya yang bergulat antara hidup
dan mati.
Satu-satunya hal yang
memenuhi benaknya ialah trerada di perkebunan Baron bila fajar menyingsing. Ia
menenggak susu kambing. Dan mengusap kumis lebatnya dengan lengan baju. Lalu
mencomot segumpal roti dengan satu tangan. Dan membawa jerat dengan tangan
lainnya. Kemudian ia menyelinap ke luar pondok tanpa suara. Karena
takut membangunkan isterinya dan dengan demikian terlibat dalam persoalan si
orok, ia berjalan menuju hutan. Tanpa memikirkan si orok lagi. Hanya
mengandaikan bahwa ia telah melihatnya untuk terakhir kalinya.
Florentyna, anak perempuan
tertua, hampir saja masuk ke dapur. Tepat sebelum jam tua yang bertahun-tahun
mengikuti waktunya sendiri, berdentang menyatakan bahwa pukul 6 pagi telah
tiba. Tak lain dan takbukan hanyalah sebuah sumbangan pelayanan bagi mereka
yang ingin tahu apakah tiba saatnya untuk bangun atau untuk pergi tidur. Salah
satu kewajiban Florentyna sehari-hari ialah menyiapkan sarapan. Suatu pekerjaan
kecil yang mencakup membagi susu kambing dalam mangkuk dan sepotong roti coklat
di antara anggota keluarga yang berjumlah 8 orang.
Namun dituntut suatu
kebijaksanaan Nabi Sulaiman untukmelaksanakan kewajiban itu. Sebab pelaksanaannya
haruslah sedemikian rupa hingga tak ada yang mengeluh tentang bagian orang
lain.
Bagi mereka yang
melihatnya untuk pertama kali Florentyna mengesankan seorang gadis yang cantik,
lemah gemulai, dan kurus. Tidaklah wajar bahwa selama 2 tahun terakhir ini ia
hanya mengenakan satu pakaian saja. Namun bagi mereka yang dapat memisahkan
pendapat mereka tentang gadis itu dari pendapat tentang lingkungannya dapat
memahami mengapa Jasio jatuh cinta dengan ibu gadis itu. Rambut pirang Florentyna
yang panjang mengkilat dan matanya yang bundar berbinar walau derajat kelahiran
dan mutu makanannya kurang.
Ia berjingkat menuju kursi
goyang. Lalu memandangi ibunya dan si orok yang sejak saat pertama ia melihatnya
sangat ia sayang. Dalam usianya yang delapan tahun itu Florentyna belum pernah
memiliki boneka.
Sebenarnya ia hanya pernah
melihat sebuah boneka sekali saja yaitu ketika seluruh keluarga diundang
merayakan pesta Sint Nikolas di puri Baron. Bahkan waklu itupun ia sebenarnya
tidak menyentuh benda yang molek itu. Tapi kini ia merasakan do-rongan tak
terperikan untuk membopong bayi tersebut. Ia membungkuk dan melepaskan si bayi
dari ibunya. Lalu memandangi mata kecil yang biru. Begitu biru. Iapun mulai
bersenandung. Perubahan suhu dari kehangatan buah dada ibu ke tangan gadis yang
dingin membuat bayi itu marah. Ia langsung menangis dan membangunkan ibu yang
reaksi satu-satunya adalah merasa bersalah karena telah tertidur.
"Ya Tuhan, ia masih
hidup," katanya kepada Florentyna "Kamu menyiapkan sarapan bagi
anak-anak, sementara aku mencoba menyusuinya lagi.”
Dengan enggan Florentyna
menyerahkan bayi itu kembali. Dan mengawasi ibunya sekali lagi memompakan buah
dadanya yang kini terasa sakit. Gadis kecil itu kesenangan.
"Cepat, Florcia" seru
ibunya "seluruh keluarga juga masih harus makan.”
Florentyna patuh. Dan
ketika saudara-saudaranya datang semua dari pondok lantai atas di mana mereka tidur,
mereka mengecup tangan ibu mereka sebagai salam selamat pagi. Dan memandang
pendatang baru itu penuh benci. Satu-satunya hal yang mereka ketahui hanyalah
pendatang baru ini tidak datang dari perut Matka (ibu) mereka. Pagi ini
Florentyna terlalu tegang untuk sarapan. Maka anak-anak lelaki itu membagi-bagikan
porsi Florentyna, tanpa pikir panjang lagi. Dan menyisakan porsi ibu mereka di
meja. Ketika mereka pergi hendak mengerjakan tugas mereka sehari-hari, tak ada
seorang pun yang tahu bahwa ibu mereka belum makan suatu apa pun sejak kedatangan
si bayi. Helena Koskiewicz senang bahwa anak-anaknya sejak dini sudah belajar
melindungi diri. Mereka dapat memberi makan ternak, memeras susu kambing dan sapi,
serta memelihara kebun sayuran tanpa bantuan atau pun dorongannya. Ketika Jasio
pulang petang hari, ia tiba-tiba sadar bahwa belum menyiapkan makan malam
baginya. Tapi Florentyna telah mengambil kelinci dari Franck, saudaranya, si pemburu
muda. Dan telah mulai memasaknya. Florentyna bangga ditugasi mengurus makan malam.
Suatu tangungjawab yang hanya diserahkan kepadanya bila ibunya merasa tak enak
badan. Dan Helena Koskiewicz sendiri jarang mengenakkan dirinya seperti itu.
Pemburu muda telah membawa pulang 3 ekor kelinci. Ayah mereka membawa 6 jamur
dan 3 kentang. Malam ini mereka benar-benar berpesta.
Setelah makan malam Jasio
Koskiewicz duduk di kursi dekat perapian. Dan untuk pertama kali dengan sungguh
memperhatikan bayi itu. Sambil membopong bayi, ia menopang kepala bayi dengan
kedua jari. Ia memeriksanya dengan mata seorang pemburu. Berkerut dan tanpa
gigi, wajah itu hanya dihias oleh mata biru yang berbinar tanpa terpusatkan.
Ketika orang itu
memandangi tubuh kurus, adasesuatu
yang tiba-tiba menarik perhatiannya. Ia menegang dan menggosok dada
si bayi dengan ibu jarinya.
'Apa telah melihat ini,
Helena?" tanya tukang jerat sambil menekan tulang rusuk si bayi. "Anak jelek ini hanya punya satu putik." Isterinya mengernyit. Ia ganti
menggosok kulit si bayi dengan ibu jari. Seolah-olah tindakan itu akan membuahkan
putik yang tak ada itu.
Suaminya benar. Memang
putik susu kiri ada. Kecil dan tanpa warna. Tetapi di sebelah kanan hanya ada
dada sempit halus, dan seleruhnya merah jambu.
Kecenderungan bertakhyul
wanita itu segera timbul. 'Ia telah dihadiahkan Tuhan kepadaku," serunya”Lihatlah
ciriNya." Dengan marah orang itu menyodorkan bayi kembali kepada wanita
itu.
'Gila kau Helena! Bayi ini
dikaruniakan kepada ibunya oleh seseorang lelaki dengan darah buruk." Ia meludah
ke perapian. Menyatakan pendapatnya tentang keturunan bayi itu dengan lebih
tegas lagi.”Bagaimana pun juga, aku tak mau bertaruh dengan taruhan satu
kentang pun tentang kelangsungan hidup anak blasteran ini." Bahkan Jasio
Koskiewicz lebih memperhatikan sebuah kentang daripada kelangsungan hidup anak
itu. Dari diri sendiri ia bukannya orang yang tak berperasaan. Tapi anak itu
memang bukan anaknya. Dan sebuah mulut lagi yang harus disuapi berarti hanya
menumpuk-numpuk masalah. Tetapi bila memang harus demikian, dia bukanlah orangnya
yang harus menanyakannya kepada Yang Mahakuasa. Dan tanpa memikirkan anak itu
lagi, ia tertidur sangat nyenyak di dekat perapian.
Hari berganti hari, Kini
bahkan Jasio Koskiewicz mulai percaya akan kemungkinan kelangsungan hidup
sibayi. Dan seandainya bertaruh, ia pasti akan kehilangan sebuah kentang. Anak
sulungnya, si pemburu, dibantu oleh adik-adiknya, membuat sebuah ayunan dari
kayu yang dikumpulkannya dari hutan pak Baron. Florentyna membuatkan pakaian.
Dengan menggunting pakaian-pakaiannya sedikit-sedikit, lalu dijahitnya menjadi pakaian
utuh. Mereka pasti akan menamakan si bayi itu Badut seandainya mereka tahu apa
artinya. Sebenarnya memberi nama kepadanya menimbulkan perpecahan lebih besar
lagi dalam rumah tangga itu daripada masalah-masalah lain berbulan-bulan lamanya.
Hanya sang ayah yang tak mengemukakan pendapat. Akhirnya mereka setuju dengan
nama Wladek. Hari minggu berikutnya dalam kapel di perkebunan besar Tuan Baron
anak itu dibaptis dengan nama Wladek Koskiewicz. Sang ibu bersyukur karena Tuhan
telah menyelamatkan hidup anak itu. Sedang sang ayah menerima apa yang harus terjadi.
Pada sore hari ada pesta
kecil untuk merayakan baptisan tersebut. Ditambah dengan pemberian seekor angsa
dari perkebunan Tuan Baron. Mereka semua makan dengan lahap.
Sejak hari itu Florenryna
belajar membagi makanan menjadi sembilan bagian.
bersambung BAB 04, anak yang tumbuh dikeluarga kaya KANE ....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar