Salam dari Taman Bacaan Saulus

Salam dari Taman Bacaan Saulus
Pandangan

Senin, 03 April 2017

BAB 03 KANE DAN ABEL, PERTUMBUHAN ABEL

SANG ANAK HARAM, TUMBUH .....

BAB  3
Lama setelah keributan kedatangan bayi mereda, dan seluruh sisa keluarga itu pergi tidur, ibu itu tetap terjaga sambil membopong bayi. Helena Koskiewicz percaya akan kehidupan. Dan ia telah membuktikannya dengan melahirkan 6 orang anak. Walaupun ia kehilangan tiga anak selagi kecil, tapi tak ada satupun yang dilepaskannya dengan mudah.

Kini dalam usia 35 tahun ia tahu bahwa suaminya Jasio, yang dahulu sangat bergairah, tidak akan memberinya anak lagi. Tuhan telah memberikannya bayi ini. Sudah barang tentu dimaksudkan supaya dapat hidup. Helena selalu memiliki iman sederhana. Memang baik begitu.

Sebab nasib tak akan memberinya lebih daripada hidup sederhana. Ia beruban dan kurus. Bukan karena memang menghendaki demikian, tetapi karena kekurangan makan. Kerja keras dan tak ada uang sisa. Tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk mengeluh. Tapi garis-garis di wajahnya lebih menunjukkan wajah nenek daripada wajah seorang ibu di dunia jaman sekarang. Seumur hidup ia tidak pernah mengenakan pakaian baru satu kali pun.

Helena memijit-mijit buah dadanya begitu keras hingga bintik-bintik merah muncul di sekitar punting. Susu mulai menetes ke luar. Pada usia 35, setelah menjalani kontrak hidup, kita semua memiliki sekeping pengalaman berguna yang dapat kita wariskan. Dan Helena Koskiewicz kini sedang memberikan premi.

"Si kecil milik Matka," bisik Helena lembut kepada bayi mungil itu. Dan memasukkan punting susu ke dalam mulut kecil. Mata biru terbuka. Dan hidung bayi mengeluarkan bintik-bintik keringat ketika ia berusaha menyedotnya. Akhirnya tak terasa ibu itu nyenyak.

Jasio Koskiewicz, seseorang gempal dan tegap dengan kumis lebat. Itulah satu-satunya tanda pernyataan kediriannya. Sedang keberadaannya pada hakikatnya hanyalah seorang pelayan. Ia mendapati mendapati isteri dan si bayi tertidur di kursi goyang, ketika ia bangun pada pukul lima pagi.

Ia tidak mengetahui ketidakhadiran isterinya diranjang malam itu. Ia memandang kepada si orok yangg, syukur alhamdulillah, telah berhenti merengek. Ape si orok sudah mati? Jalan paling mudah bagi Jasio dalam dilema itu ialah pergi bekerja. Tanpa mengurusi orok yang nekat memasuki hidupnya. Biar isterinya yang bergulat antara hidup dan mati.

Satu-satunya hal yang memenuhi benaknya ialah trerada di perkebunan Baron bila fajar menyingsing. Ia menenggak susu kambing. Dan mengusap kumis lebatnya dengan lengan baju. Lalu mencomot segumpal roti dengan satu tangan. Dan membawa jerat dengan tangan lainnya. Kemudian ia menyelinap ke luar pondok tanpa suara. Karena takut membangunkan isterinya dan dengan demikian terlibat dalam persoalan si orok, ia berjalan menuju hutan. Tanpa memikirkan si orok lagi. Hanya mengandaikan bahwa ia telah melihatnya untuk terakhir kalinya.

Florentyna, anak perempuan tertua, hampir saja masuk ke dapur. Tepat sebelum jam tua yang bertahun-tahun mengikuti waktunya sendiri, berdentang menyatakan bahwa pukul 6 pagi telah tiba. Tak lain dan takbukan hanyalah sebuah sumbangan pelayanan bagi mereka yang ingin tahu apakah tiba saatnya untuk bangun atau untuk pergi tidur. Salah satu kewajiban Florentyna sehari-hari ialah menyiapkan sarapan. Suatu pekerjaan kecil yang mencakup membagi susu kambing dalam mangkuk dan sepotong roti coklat di antara anggota keluarga yang berjumlah 8 orang.

Namun dituntut suatu kebijaksanaan Nabi Sulaiman untukmelaksanakan kewajiban itu. Sebab pelaksanaannya haruslah sedemikian rupa hingga tak ada yang mengeluh tentang bagian orang lain.

Bagi mereka yang melihatnya untuk pertama kali Florentyna mengesankan seorang gadis yang cantik, lemah gemulai, dan kurus. Tidaklah wajar bahwa selama 2 tahun terakhir ini ia hanya mengenakan satu pakaian saja. Namun bagi mereka yang dapat memisahkan pendapat mereka tentang gadis itu dari pendapat tentang lingkungannya dapat memahami mengapa Jasio jatuh cinta dengan ibu gadis itu. Rambut pirang Florentyna yang panjang mengkilat dan matanya yang bundar berbinar walau derajat kelahiran dan mutu makanannya kurang.

Ia berjingkat menuju kursi goyang. Lalu memandangi ibunya dan si orok yang sejak saat pertama ia melihatnya sangat ia sayang. Dalam usianya yang delapan tahun itu Florentyna belum pernah memiliki boneka.

Sebenarnya ia hanya pernah melihat sebuah boneka sekali saja yaitu ketika seluruh keluarga diundang merayakan pesta Sint Nikolas di puri Baron. Bahkan waklu itupun ia sebenarnya tidak menyentuh benda yang molek itu. Tapi kini ia merasakan do-rongan tak terperikan untuk membopong bayi tersebut. Ia membungkuk dan melepaskan si bayi dari ibunya. Lalu memandangi mata kecil yang biru. Begitu biru. Iapun mulai bersenandung. Perubahan suhu dari kehangatan buah dada ibu ke tangan gadis yang dingin membuat bayi itu marah. Ia langsung menangis dan membangunkan ibu yang reaksi satu-satunya adalah merasa bersalah karena telah tertidur.

"Ya Tuhan, ia masih hidup," katanya kepada Florentyna "Kamu menyiapkan sarapan bagi anak-anak, sementara aku mencoba menyusuinya lagi.”

Dengan enggan Florentyna menyerahkan bayi itu kembali. Dan mengawasi ibunya sekali lagi memompakan buah dadanya yang kini terasa sakit. Gadis kecil itu kesenangan.
"Cepat, Florcia" seru ibunya "seluruh keluarga juga masih harus makan.”

Florentyna patuh. Dan ketika saudara-saudaranya datang semua dari pondok lantai atas di mana mereka tidur, mereka mengecup tangan ibu mereka sebagai salam selamat pagi. Dan memandang pendatang baru itu penuh benci. Satu-satunya hal yang mereka ketahui hanyalah pendatang baru ini tidak datang dari perut Matka (ibu) mereka. Pagi ini Florentyna terlalu tegang untuk sarapan. Maka anak-anak lelaki itu membagi-bagikan porsi Florentyna, tanpa pikir panjang lagi. Dan menyisakan porsi ibu mereka di meja. Ketika mereka pergi hendak mengerjakan tugas mereka sehari-hari, tak ada seorang pun yang tahu bahwa ibu mereka belum makan suatu apa pun sejak kedatangan si bayi. Helena Koskiewicz senang bahwa anak-anaknya sejak dini sudah belajar melindungi diri. Mereka dapat memberi makan ternak, memeras susu kambing dan sapi, serta memelihara kebun sayuran tanpa bantuan atau pun dorongannya. Ketika Jasio pulang petang hari, ia tiba-tiba sadar bahwa belum menyiapkan makan malam baginya. Tapi Florentyna telah mengambil kelinci dari Franck, saudaranya, si pemburu muda. Dan telah mulai memasaknya. Florentyna bangga ditugasi mengurus makan malam. Suatu tangungjawab yang hanya diserahkan kepadanya bila ibunya merasa tak enak badan. Dan Helena Koskiewicz sendiri jarang mengenakkan dirinya seperti itu. Pemburu muda telah membawa pulang 3 ekor kelinci. Ayah mereka membawa 6 jamur dan 3 kentang. Malam ini mereka benar-benar berpesta.

Setelah makan malam Jasio Koskiewicz duduk di kursi dekat perapian. Dan untuk pertama kali dengan sungguh memperhatikan bayi itu. Sambil membopong bayi, ia menopang kepala bayi dengan kedua jari. Ia memeriksanya dengan mata seorang pemburu. Berkerut dan tanpa gigi, wajah itu hanya dihias oleh mata biru yang berbinar tanpa terpusatkan.

Ketika orang itu memandangi tubuh kurus, ada€sesuatu yang tiba-tiba menarik perhatiannya. Ia menegang dan menggosok dada si bayi dengan ibu jarinya.

'Apa telah melihat ini, Helena?" tanya tukang jerat sambil menekan tulang rusuk si bayi. "Anak jelek ini hanya punya satu putik." Isterinya mengernyit. Ia ganti menggosok kulit si bayi dengan ibu jari. Seolah-olah tindakan itu akan membuahkan putik yang tak ada itu.

Suaminya benar. Memang putik susu kiri ada. Kecil dan tanpa warna. Tetapi di sebelah kanan hanya ada dada sempit halus, dan seleruhnya merah jambu.

Kecenderungan bertakhyul wanita itu segera timbul. 'Ia telah dihadiahkan Tuhan kepadaku," serunya”Lihatlah ciriNya." Dengan marah orang itu menyodorkan bayi kembali kepada wanita itu.

'Gila kau Helena! Bayi ini dikaruniakan kepada ibunya oleh seseorang lelaki dengan darah buruk." Ia meludah ke perapian. Menyatakan pendapatnya tentang keturunan bayi itu dengan lebih tegas lagi.”Bagaimana pun juga, aku tak mau bertaruh dengan taruhan satu kentang pun tentang kelangsungan hidup anak blasteran ini." Bahkan Jasio Koskiewicz lebih memperhatikan sebuah kentang daripada kelangsungan hidup anak itu. Dari diri sendiri ia bukannya orang yang tak berperasaan. Tapi anak itu memang bukan anaknya. Dan sebuah mulut lagi yang harus disuapi berarti hanya menumpuk-numpuk masalah. Tetapi bila memang harus demikian, dia bukanlah orangnya yang harus menanyakannya kepada Yang Mahakuasa. Dan tanpa memikirkan anak itu lagi, ia tertidur sangat nyenyak di dekat perapian.

Hari berganti hari, Kini bahkan Jasio Koskiewicz mulai percaya akan kemungkinan kelangsungan hidup sibayi. Dan seandainya bertaruh, ia pasti akan kehilangan sebuah kentang. Anak sulungnya, si pemburu, dibantu oleh adik-adiknya, membuat sebuah ayunan dari kayu yang dikumpulkannya dari hutan pak Baron. Florentyna membuatkan pakaian. Dengan menggunting pakaian-pakaiannya sedikit-sedikit, lalu dijahitnya menjadi pakaian utuh. Mereka pasti akan menamakan si bayi itu Badut seandainya mereka tahu apa artinya. Sebenarnya memberi nama kepadanya menimbulkan perpecahan lebih besar lagi dalam rumah tangga itu daripada masalah-masalah lain berbulan-bulan lamanya. Hanya sang ayah yang tak mengemukakan pendapat. Akhirnya mereka setuju dengan nama Wladek. Hari minggu berikutnya dalam kapel di perkebunan besar Tuan Baron anak itu dibaptis dengan nama Wladek Koskiewicz. Sang ibu bersyukur karena Tuhan telah menyelamatkan hidup anak itu. Sedang sang ayah menerima apa yang harus terjadi.

Pada sore hari ada pesta kecil untuk merayakan baptisan tersebut. Ditambah dengan pemberian seekor angsa dari perkebunan Tuan Baron. Mereka semua makan dengan lahap.

Sejak hari itu Florenryna belajar membagi makanan menjadi sembilan bagian.

bersambung BAB 04, anak yang tumbuh dikeluarga kaya KANE ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar